Startup Coworking Space “CoHive” Resmi Kolaps

Startup coworking space CoHive diputus pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan ini tercantum dalam putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Register No: 231/Pdt/Sus-PKPU/2022/PN.Jkt.Pst, tertanggal 18 Januari 2023.

“Menyatakan termohon PKPU (PT Evi Asia Tenggara) dalam keadaan Pailit dengan segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan ini diucapkan,” tulis pengumuman tersebut, dikutip Rabu (1/2).

Berdasarkan pengumuman itu, Rio Sadrack M. Pantow dan Benny Marnala Pasaribu ditetapkan sebagai tim kurator. Debitor pailit, para kreditur, dan kantor pajak diminta menyaksikan sidang dan rapat lainnya.

Adapun sidang perdana diselenggarakan pada hari ini (1/2) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pukul 10.00 WIB. Sedangkan batas akhir pengajuan kreditor adalah 9 Februari 2023 pada pukul 10.00 WIB sampai 17.00 WIB.

Mengutip dari Katadata, sebelumnya Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan CoHive, PUKPS atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara pada 2 September 2022. PKPU adalah mekanisme penyelesaian utang untuk menghindari kepailitan.

Debitur dapat mengajukan rencana perdamaian dengan tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang pada kreditur selama periode yang telah ditetapkan oleh pengadilan. CoHive diberi waktu 45 hari sejak putusan.

Belum ada keterangan resmi yang diberikan oleh salah satu investor awal CoHive, East Ventures, mengenai kabar tersebut kepada media. Akan tetapi bila mengacu dari situsnya, saat ini CoHive masuk ke dalam kategori exit portofolio.

Perjalanan CoHive

Selain East Ventures, CoHive juga didukung oleh investor lainnya, seperti Insignia, Naver Corp, dan lain-lain. Terakhir, startup tersebut mengumumkan putaran seri B pada 2019 dengan total dana ekuitas sebesar $40 juta. Menurut sumber, pendanaan ini melambungkan valuasi perusahaan mencapai lebih dari $100 juta.

CoHive didirikan pada 2015 sebagai proyek internal East Ventures, yang awalnya dinamai EV Hive. Kemudian pada 2017 diambil alih oleh Jason Lee, Carlson Lau, dan Ethan Choi yang mengganti namanya menjadi Cocowork, kemudian diganti lagi menjadi CoHive.

Perusahaan semakin ekspansif masuk ke berbagai kota. Pada 2020, perusahaan mengoperasikan 30 lokasi dengan total luas area mencapai 60 ribu meter persegi, di Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. Layanan yang disuguhkan cukup beragam melalui keanggotan CoHive, mulai dari workspace, coworking, private office, meeting room, sampai dengan coliving.

Ekspansi terakhirnya di Surabaya diumumkan pada 2019 menggandeng Tanrise Property dan TIFA Property sebagai mitra strategis. Pada akhir 2020, salah satu investor CoHive, Chris Angka mengambil alih sebagai CEO perusahaan.

Industri coworking space

Menurut Coworking Space Global Market Report 2022, memprediksi ukuran pasar industri coworking space global bertumbuh dari $13,60 miliar di 2021 menjadi $16,17 miliar di 2022 dengan CAGR 18,9%. Laporan tersebut juga menggarisbawahi, pertumbuhan bisnis ini sangat dipengaruhi dengan peningkatan jumlah startup, termasuk tren ruang kerja fleksibel di kalangan pekerja muda.

Faktanya, bisnis ini juga mengalami turbulensi saat dampak virus corona memuncak pada pertengahan 2020. Diperkirakan jumlah penurunan permintaan coworking space melebihi 50%, ditengarai kebijakan bekerja dari rumah yang diberlakukan oleh para pegiat startup. Di era ini, kemudian muncul tren kerja hybrid –memadukan remote working dan bekerja di kantor—membuat para pekerja lebih fleksibel untuk menentukan tempat.

Besar kemungkinan CoHive terlalu ekspansif sehingga gagal mencapai unit economy sebelum pandemi meluluhlantakkan bisnisnya.

Pemain sejenisnya, GoWork masih beroperasi di Indonesia. Perusahaan tersebut mengantongi tambahan amunisi Seri C1 pada 2021. Sejumlah investor bergabung, termasuk Gobi Partners lewat Meranti Asean Growth Fund, dan telah mengumpulkan $3,6 juta.

Salah satunya investor GoWork, Indogen Capital, menyampaikan pandangannya terkait prospek industri ini.

“Hipotesis kami melihat bahwa permintaan terhadap coworking space akan bounce back dan tetap bertumbuh secara modest. Kami melihat future of working itu akan hybrid, orang sudah terbiasa dengan produktivitas kerja yang baru selama pandemi tapi secara bersamaan tidak mau kehilangan fungsi sosial untuk bertemu tatap muka. Alhasil akses multi-lokasi dari coworking space akan menjadi strong moat dalam jangka panjang untuk address change of behavior ini,” ucap Vice President Indogen Capital Kevin Winsen.

Sudah Didanai Investor Lebih dari Rp600 Miliar, CoHive Alami Kesulitan Bisnis

Menurut Coworking Space Global Market Report 2022, ukuran pasar industri coworking space global akan bertumbuh dari $13,60 miliar di 2021 menjadi $16,17 miliar di 2022 dengan CAGR 18,9%. Laporan tersebut juga menggarisbawahi, pertumbuhan bisnis ini sangat dipengaruhi dengan peningkatan jumlah startup, termasuk tren ruang kerja fleksibel di kalangan pekerja muda.

Faktanya, bisnis ini juga mengalami turbulensi saat dampak virus corona memuncak pada pertengahan 2020. Diperkirakan jumlah penurunan permintaan coworking space melebihi 50%, ditengarai kebijakan bekerja dari rumah yang diberlakukan oleh para pegiat startup. Di era new normal ini, kemudian muncul tren kerja hybrid –memadukan remote working dan bekerja di kantor—membuat para pekerja lebih fleksibel untuk menentukan tempat.

Di tengah proyeksi optimis di atas, baru-baru ini kabar kurang sedap datang dari salah satu operator coworking space paling berkembang di Indonesia, CoHive. Startup yang dinakhodai oleh Chris Angkasa (CEO) tersebut tengah terlilit utang dan kini sedang melakukan restrukturisasi. Kasusnya juga telah sampai di meja hijau, disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bahkan sumber DealStreetAsia mengatakan, dampak dari masalah ini berpotensi membuat CoHive menutup operasional coworking space-nya.

DailySocial.id telah menghubungi pihak perusahaan untuk meminta komentar terkait kabar yang beredar. Namun sampai pemberitaan ini terbit, pihak CoHive masih enggan memberikan tanggapan.

Ekspansi bisnis coworking space memang sangat bergantung pada biaya operasional. Dalam menyuguhkan layanan, mereka menyediakan ruang dan fasilitas kerja berkualitas tinggi, didukung dengan berbagai program-program unggulan.

Menurut laporan DSInnovate, di Indonesia ada lebih dari 300 pemain coworking space dengan berbagai skala, tersebar di 45 kota — mengikuti pertumbuhan signifikan jumlah pelaku startup.

CoHive telah didukung sejumlah investor seperti East Ventures, Insignia, Naver Corp, dan lain-lain. Terakhir, mereka mengumumkan putaran pendanaan seri B, menjadikan total dana ekuitas yang berhasil dibukukan sekitar $40 juta atau setara 623 miliar Rupiah. Menurut sumber, pendanaan ini telah melambungkan valuasi perusahaan mencapai lebih dari $100 juta.

Saat ini CoHive mengoperasikan layanannya di berbagai kota. Selain Jakarta, juga ada di Medan dan Surabaya. Layanan yang disuguhkan cukup beragam melalui keanggotaan CoHive, mulai dari workspace, coworking, private office, meeting room, sampai dengan coliving. Ekspansi terakhirnya di Surabaya pada rentang 2019-2020 menggandeng Tanrise Property dan TIFA Properti sebagai mitra strategis.

Hipotesis investor tentang coworking pasca-pandemi

Menurut data yang diinputkan ke regulator, tahun lalu dua pemain di industri coworking lokal telah mendapatkan pendanaan. Pertama ada GoWork yang dikabarkan memulai putaran pendanaan seri C1. Sejumlah investor bergabung, termasuk Gobi Partners lewat Meranti Asean Growth Fund, dan telah mengumpulkan $3,6 juta atau setara 51,8 miliar Rupiah.

CoHive juga dikabarkan mendapatkan suntikan dana tambahan dari investor sebelumnya. Namun demikian, pihak terkait yang kami konfirmasi soal pendanaan ini memilih tidak berkomentar.

Adanya pendanaan ini mengindikasikan sinyal positif dari para investor, yang masih meyakini tentang hipotesis mereka di segmen coworking. Untuk memvalidasinya, tahun lalu kami berbincang dengan sejumlah investor, salah satunya dari Indogen Capital (yang berinvestasi di GoWork).

Vice President Indogen Capital Kevin Winsen mengatakan, “Hipotesis kami melihat bahwa permintaan terhadap coworking space akan bounce back dan tetap bertumbuh secara modest. Kami melihat future of working itu akan hybrid, orang sudah terbiasa dengan produktivitas kerja yang baru selama pandemi tapi secara bersamaan tidak mau kehilangan fungsi sosial untuk bertemu tatap muka. Alhasil akses multi-lokasi dari coworking space akan menjadi strong moat dalam jangka panjang untuk address change of behavior ini.”

Sementara itu perwakilan East Ventures juga memberikan pandangannya. Mereka berinvestasi di CoHive dan CirCO (Vietnam).

Operating Partner East Ventures David Fernando Audy mengatakan, “Ruang fleksibel atau coworking telah menjadi bagian terintegrasi dari tren pasar perkantoran dan akan terus berlanjut. Diyakini akan ada permintaan yang baik untuk layanan tersebut, ketika pandemi mereda. Tentu saja dalam jangka pendek, pembatasan mobilitas memberikan banyak tekanan pada operator. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengharapkan beberapa strategi yang bergeser ke arah konsolidasi pasar.”

CoHive Perkuat Bisnis di Surabaya, Menanti Terobosan Bisnis Coworking Space Tahun Depan

Hari ini (22/12), operator coworking space CoHive mengumumkan cabang kedua di Surabaya dengan menggaet TIFA Properti sebagai mitra di Graha Bukopin Surabaya (GBS) untuk lantai 7, 8 , dan 12. Di lokasi teranyar ini diklaim menjadi coworking terbesar bertaraf internasional di Jawa Timur dengan total wilayah seluas 2500 square/meter.

CoHive pertama kali merambah ke Surabaya pada Oktober 2019 dengan menggaet Tanrise Property.

Surabaya dipilih karena menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kota ini memiliki pelaku ekonomi kreatif terbesar di Indonesia yakni 6,41% di tahun 2016. Pemkot Surabaya di bawah kepemimpinan Walikota Tri Rismaharini telah menunjukkan komitmen untuk mendukung perekonomian kreatif melalui berbagai inisiatif, seperti “Pahlawan Ekonomi Surabaya” yang telah memberdayakan lebih dari 5,000 ibu rumah tangga untuk membangun usaha kecil mereka.

“Selain pertumbuhan industri ekonomi kreatif yang begitu pesat, member CoHive cukup banyak yang ingin ekspansi ke Surabaya, sehingga dengan munculnya cabang kedua, akan memudahkan member CoHive yang ingin mencari ruang kerja baru di Surabaya,” ucap CEO CoHive Chris Angkasa dalam keterangan resmi.

Berbekal data dari BPS di atas, sejalan dengan komitmen CoHive yang ingin menjadi wadah ekosistem pengusaha untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan startup di Surabaya yang kian berkembang. Juga, memberikan akses jejaring bisnis yang lebih luas.

“Selain menyediakan akses terhadap komunitas dan jejaring bisnis, CoHive menjawab kebutuhan usaha kecil-menengah akan ruang kerja yang fleksibel dan terjangkau.”

Chris melanjutkan, di lokasi ini perusahaan menawarkan berbagai jenis keanggotaan seperti daily pass, team desk, dan private office. Ruang lain yang disediakan, antara lain meeting room dengan sistem sewa per jam.

Pekan lalu, Chris resmi diumumkan sebagai CEO baru CoHive menggantikan Jason Lee yang kini menempati posisi Presiden CoHive. Sebelumnya Chris mendirikan Clapham Collective di Medan pada 2015. Pasca Clapham dan CoHive (saat itu EV Hive) pada 2017, ia terus terlibat di dalam CoHive sebagai salah satu anggota Dewan Penasihat perusahaan.

Proyeksi bisnis coworking pada 2021

Bisnis coworking space termasuk banyak industri yang terkena imbas akibat pandemi. Dalam tulisan DailySocial sebelumnya, disebutkan pada tiga bulan pertama pandemi okupansi hampir 0% karena mayoritas anggota menutup lokasinya selama dua sampai tiga bulan. Data tersebut dihimpun dari mini-survei yang dibuat oleh Asosiasi Coworking Indonesia. Survei ini diikuti oleh 30%-40% anggota dari total 250 anggota yang mewakili sekitar 100 bisnis coworking space.

Sekarang kondisi sudah mulai berangsur membaik karena pelonggaran PSBB secara bertahap di kota-kota besar, meski belum 100% kembali ke kondisi sebelum pandemi.

Dalam wawancara terpisah bersama DailySocial, Chris menuturkan masih berada dalam posisi wait and see dengan situasi pasar. Perlu pengamatan cermat karena perilaku pekerja akan berubah. Namun untuk konteks Indonesia, sambungnya, perilaku pekerja tidak akan berubah total, terutama yang berhubungan dengan tangible capital, tentu saja demand dari physical space masih ada.

“Secara tradisional, permintaan ini masih bisa dipenuhi oleh bisnis penyewaan ruang secara konvensional. Namun untuk sektor jasa atau teknologi, permintaan ruang kerja akan berkurang karena kebanyakan jenis kerja yang dilakukan banyak yang bisa dilakukan di luar kantor, misalnya di rumah atau kedai kopi.”

Oleh karenanya, terkait strategi perusahaan pada tahun depan, ia mengaku sulit melakukan proyeksi karena sekarang berhadapan dengan dunia yang berbeda dengan masa lalu. “Jadi kita tidak bisa ekstrapolasi data di masa lalu ke masa depan. Mungkin dalam 3-6 bulan, kita bisa memiliki pandangan yang lebih jelas akan landscape bisnis di tahun mendatang.”

CoHive sendiri termasuk salah satu operator coworking space dengan jaringan terluas di Indonesia. Mereka mengoperasikan 30 lokasi dengan total luas gedung mencapai 60 ribu meter persegi di Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. Dalam pantauan DailySocial, CoHive menutup lokasi di Bali yang kemungkinan besar terjadi pada tahun ini.

Menyambung dari situ, mengutip dari hasil laporan DSResearch “Lanskap Creative Hub di Indonesia 2020” yang disusun bersama Direktorat Infrastruktur Ekonomi Kreatif, menyatatkan pandemi bisa jadi mendorong lebih banyak pekerja untuk menggunakan creative hub (sebutan dari coworking space) sebagai opsi tempat kerja fleksibel.

Para operator pun melakukan adaptasi model bisnis untuk menyesuaikan dengan situasi, seperti periode pembatalan yang lebih santai, atau harga yang lebih rendah untuk anggota baru dan promo untuk anggota aktif; menerapkan standar sanitasi; menentukan target market dan mengembangkan inovasi dalam strategi marketing; preferensi kantor privat, dan sebagainya.

Meski coworking space mengalami penurunan pengguna, namun ke depannya akan menjadi pilihan yang lebih cocok untuk perusahaan yang ingin menghemat pengeluaran ketimbang harus sewa bangunan fixed. “Peluang bisnis seperti ini mungkin belum terlihat nilainya, tetapi dalam mengatasi tantangan saat ini akan bisa menempatkannya pada antrean terdepan untuk bisa dimanfaatkan pada waktunya,” tulis laporan tersebut.

Masih dalam laporan yang sama, keberadaan coworking space di suatu kota sebenarnya amat memengaruhi pertumbuhan industri startup atau pengguna. Di Yogyakarta, disebutkan ada banyak perusahaan dari luar negeri, seperti Singapura yang mulai mencari talenta-talenta di Indonesia.

Setiap tahunnya ada sekitar 50 startup baru yang mencoba talenta di Yogyakarta. Alhasil, semakin banyak startup, semakin besar peranan coworking space. “Jadi kalau ada startup yang tertarik berekspansi ke luar negeri atau di dalam negeri, mereka pasti lebih suka memiliki kantor di coworking space,” kata CEO Waktukita.com, Ilham selaku pengguna Block71 di Yogyakarta.

Selain dari aspek konteks wilayah, salah satu penawaran yang cukup menjanjikan di masa depan adalah fasilitas online dari creative hub. Creative hub akan tetap berkembang selama dapat mengoptimalkan dan meningkatkan penggunaan perangkat online.

Sebagaimana diungkapkan oleh CEO Growpal Paundra selaku pengguna Block71 Jakarta, akomodasi untuk acara melalui platform online lebih mudah karena terbatasnya jumlah pengguna yang dapat berkumpul seperti sebelumnya. Upaya ini sejalan dengan kebiasaan orang yang telah beralih ke aktivitas online sejak pandemi.

EV Hive and Clapham Collective Merges, Will Use “EV Hive @ Clapham” for Medan and Sumatra

EV Hive has announced the merger with coworking space provider in Medan, Clapham Collective, for operational expansion. EV Hive plans in pouring investment to build coworking space in Medan and Sumatra. In associated with its own brand, EV Hive reported to be using the name “EV Hive @ Clapham”.

Chris Angkasa, Clapham’s founder, will join EV Hive advisory board. In terms of services, the EV Hive team is currently consolidating, as EV Hive @ Clapham will be using EV Hive’s SOP and platform technologies.

“As the third largest city in Indonesia, Medan becomes the main entrance for business in Sumatra. Along with the vision of EV Hive’s founder, coworking space will be popularize as cultural exchange platform as well as meeting places to strengthen business relationships of entrepreneurs in Jakarta and Medan,” Angkasa said.

Carlson Lau, EV Hive’s Co-Founder and CEO, added, “We are excited about the huge demand for coworking space and strong community scope from local communities and startups in the region. Moreover, Chris as a leader figure and investors with integrity. We are enthusiast to make him as our advisor. While extending network to 100 coworking space in Indonesia, we will continue to build strategies for partnering with local communities, as well as connecting people in our ecosystem.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

EV Hive dan Clapham Collective Merger, Lahirkan Brand “EV Hive @ Clapham”

EV Hive hari ini mengumumkan peresmian merger dengan penyedia layanan coworking space di Medan, Clapham Collective, untuk perluasan wilayah operasional. Bersama dengan penyatuan ini, EV Hive berencana untuk menggelontorkan investasi guna membangun ruang coworking yang lebih banyak di area Medan dan Sumatera. Terkait dengan brand-nya sendiri, disampaikan pihak EV Hive akan menggunakan nama “EV Hive @ Clapham”.

[Baca juga: Strategi EV Hive di Tengah Eksplorasi Industri Coworking Space]

Bersama dengan peresmian merger ini, Chris Angkasa selaku pendiri Clapham akan bergabung dalam jajaran Dewan Penasihat EV Hive. Dari sisi penyuguhan layanan, saat ini tim EV Hive sedang mengkonsolidasikan, karena EV Hive @ Clapham akan menggunakan SOP dan platfrom teknologi yang sudah menjadi standar di EV Hive.

“Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Medan menjadi gerbang utama dalam berbisnis di Sumatera. Sejalan dengan visi para pendiri EV Hive, coworking space pun akan kami populerkan sebagai platform pertukaran budaya sekaligus tempat pertemuan yang memperkuat hubungan bisnis para pengusaha di Jakarta dan Medan,” ujar Chris Angkasa.

[Lihat juga: DStour #33 Berbagai Ruangan Kreatif di EV Hive IFC Tower]

Carlson Lau, Co-Founder dan CEO EV Hive menambahkan, “Kami sangat antusias mengetahui banyaknya permintaan layanan coworking space dan wadah komunitas yang kuat dari para UKM dan startup di kawasan ini. Apalagi Chris sebagai sosok pemimpin dan investor yang berintegritas. Kami antusias bisa menjadikannya sebagai penasihat kami. Sambil memperluas jejaring kami ke 100 lokasi coworking space di Indonesia, kami akan terus merancang strategi untuk bermitra dengan para komunitas lokal, sekaligus menghubungkan setiap orang dalam ekosistem kami.”

MobilKamu Announces Seed Funding from East Ventures and Denali Partners

The online platform that provides end-to-end solutions for car purchase, MobilKamu, has received seed funding, in undisclosed amount, from East Ventures and Denali Partners. Fund obtained will be used to expand into more cities in Indonesia. MobilKamu has also secured an exclusive partnership with BukaLapak for BukaMobil.

MobilKamu is not only a listing platform like classified ads. The platform, with its virtual assistant concept, will help consumers find the best deal for new car, from initiation to delivery.

The platform is co-founded by Wilton Halim and Kalen Iselt. It’s said to have made $500,000 in profit during 2017. Further expansion into more cities is logical move to expand the market. According to DBS, the new car purchases (first hand) in Indonesia will continue to grow as much as 5% per year within the next two years.

Wilton said to DailySocial, “We will open new offices in Tangerang and Bekasi to widen our reach in various places throughout Jakarta. In March 2018, we are planning to expand our business  into some major cities with high demand for new vehicles, such as Surabaya, Bandung, and Medan. ”

Chris Angkasa from Denali Partners said, “MobilKamu has a strategic position to improve the process and access of car purchases in Indonesia. There are many problems to be solved in this industry, and they can bring many solutions to improve the existing ecosystem. We are excited to see more potential in the future. ”

“This funding will draw us closer to our vision to help anyone buys new car. Previously, our focus was to build partnerships and to increase the number of sales and salespeople. We are now shifting our focus to technology development to support the processes we’ve built and helping us expand sales. In particular, it will come in the form of application that helps our salespeople efficiently sell more and makes it all easier to buy through MobilKamu,” said Wilton.


Original article is in Indonesian and translated by Kristin Siagian

MobilKamu Umumkan Perolehan Pendanaan Awal dari East Ventures dan Denali Partners (UPDATED)

Platform online yang menyediakan solusi end-to-end untuk pembelian mobil MobilKamu mengumumkan perolehan pendanaan awal, dalam jumlah yang tidak disebutkan, dari East Ventures dan Denali Partners. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk berekspansi ke lebih banyak kota di Indonesia. MobilKamu juga telah mengamankan kemitraan eksklusif dengan platform marketplace BukaLapak untuk pengelolaan BukaMobil.

MobilKamu bukanlah sekedar platform listing seperti halnya iklan baris online. Platform ini, dengan konsep asisten virtualnya, membantu konsumen mencari deal terbaik untuk mobil baru yang diinginkannya, mengurus pembayaran, hingga mengantarkannya ke tangan konsumen.

Platform yang diiniasi CEO Wilton Halim dan COO Kalen Iselt ini disebutkan telah memperoleh keuntungan $500 ribu selama tahun 2017. Ekspansi ke lebih banyak kota adalah hal yang logis untuk memperluas pasar. Menurut studi DBS, disebutkan pembelian mobil baru (tangan pertama) di Indonesia akan terus bertumbuh sebanyak 5% per tahun dalam dua tahun ke depan.

Kepada DailySocial, Wilton mengatakan, “Kami akan membuka kantor di Tangerang dan Bekasi untuk memperluas jangkauan kami di berbagai tempat di Jakarta. Di bulan Maret 2018, kami berencan memperluas operasional ke sejumlah kota besar yang memiliki permintaan tinggi untuk kendaraan baru, seperti Surabaya, Bandung, dan Medan.”

Chris Angkasa dari Denali Partners tentang pendanaan ini menyebutkan, “Mobilkamu memiliki posisi strategis untuk memperbaiki proses dan akses pembelian mobil di Indonesia. Ada banyak masalah yang harus dipecahkan di industri ini, dan mereka dapat membawa banyak solusi untuk memperbaiki ekosistem yang ada. Kami sangat antusias untuk potensi mereka di masa depan.”

“Pendanaan ini akan membantu kami lebih dekat ke visi kami untuk membantu siapapun membeli mobil baru. Sebelumnya fokus kami adalah membangun kemitraan dan meningkatkan jumlah tenaga penjual dan jumlah penjualan. Kini kami mengubah fokus ke pengembangan teknologi untuk mendukung proses yang kami telah bangun dan membantu kami memperluas penjualan. Secara khusus, hal ini bakal muncul dalam bentuk aplikasi yang membantu tenaga penjual kami menjual dengan lebih efisien dan membuat semuanya lebih mudah untuk membeli melalui MobilKamu,” ungkap Wilton.