Penguatan Strategi Omnichannel, Sociolla Kini Miliki 50 Toko di 30 Kota

Startup retailer kecantikan Sociolla meresmikan toko omnichannel yang ke-50 di Bengkulu. Pencapaian ini diraih dalam waktu tiga tahun sejak toko pertama diresmikan pada 2020, demi mewujudkan ambisinya sebagai pemain omnichannel kecantikan terdepan di Indonesia.

50 toko tersebar di 30 kota yang berada di provinsi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Di Sumatera saja, Sociolla telah meresmikan tokonya di tujuh dari 10 kota terbesarnya.

Dalam keterangan resmi, Co-founder & CMO Sociolla Chrisanti Indiana menyampaikan perusahaan mendapat banyak tanggapan yang positif dari pengguna dan pelanggan di setiap toko omnichannel yang dibuka. Tanggapan ini mendorong perusahaan untuk memberikan pengalaman terbaik sesuai dengan misinya ‘liberating self-care for everyone’, menjangkau semakin banyak beauty enthusiast di seluruh Indonesia.

“Sekarang kami telah membuat kehadiran Sociolla jauh lebih luas melalui 50 toko di 30 kota, kami siap meningkatkan layanan  untuk memastikan penggemar kecantikan di seluruh Indonesia dapat memiliki pengalaman belanja kecantikan terbaik, baik secara online, offline, ataupun keduanya,” kata Chrisanti.

Dia melanjutkan, pembukaan toko ke-50 ini merupakan pencapaian besar bagi perjalanan perusahaan. Seiring dengan kondisi yang terus membaik dan aktivitas kembali normal di masa pasca-pandemi, Sociolla akan hadir secara bertahap ke kota lapis dua dan tiga, seperti Karawang, Sidoarjo, dan Purwokerto. “Ke depan, kami berencana untuk terus memperluas cakupan kehadiran toko fisik Sociolla di banyak kota.”

Di dalam toko omnichannel, perusahaan menyediakan sejumlah fitur khusus, seperti Makeup Wall, fitur toko tempat pelanggan dapat menemukan semua jenis produk makeup untuk riasan wajah mereka; Makeup Bar, fitur toko tempat pelanggan dapat mencoba tester produk makeup; dan Wall of Mask, fitur toko tempat mereka dapat menemukan berbagai macam masker wajah untuk dipilih.

Di samping itu, tersedia fitur lainnya bagi pelanggan agar mereka dapat berbelanja sesuai dengan keinginan, seperti Click & Collect, pelanggan dapat memilih barang secara online melalui situs web Sociolla atau aplikasi SOCO dan mengambilnya di toko Sociolla pilihan mereka dan Shop & Deliver, pelanggan dapat berbelanja di toko Sociolla pilihan mereka dan barang-barangnya akan diantarkan ke alamat pilihan mereka.

Pelanggan juga dapat memanfaatkan opsi pengiriman gratis dan mengecek halaman toko pada aplikasi SOCO untuk melihat promo-promo yang bisa mereka temukan saat berbelanja di toko Sociolla pilihan mereka.

Melalui pendekatan unik dengan menggabungkan pengalaman online dan offline yang seamless, Sociolla dapat menghilangkan semua hambatan dan batasan bagi pelanggan untuk berbelanja sesuai keinginan mereka, di mana saja dan kapan saja.

Model omnichannel juga dikembangkan oleh startup lain yang memiliki pangsa pasar utama kalangan perempuan. Termasuk beberapa peritel fesyen, misalnya Hijup, iStyle, dan Pomelo. Terakhir, Female Daily juga masuk ke ranah ini menjajakan produk perempuan yang mereka kurasi.

Tren omnichannel

Perusahaan mengamati terjadinya peningkatan pengunjung toko yang signifikan dari tahun ke tahun, yang mana sebagian besar didorong oleh perilaku masyarakat yang secara bertahap kembali beraktivitas normal saat memasuki era pasca-pandemi. Berdasarkan laporan dari NielsenIQ, 6 dari 10 konsumen memiliki keinginan untuk mengunjungi toko fisik hanya untuk menelusuri pilihan produk kecantikan.

Sociolla juga melihat beberapa tren belanja yang menghadirkan kemudahan bagi pelanggan sejak era pandemi diprediksi akan tetap ada. Selain itu, strategi omnichannel menjadi lebih relevan dengan perilaku pelanggan saat ini. Bertahannya preferensi digital dan omnichannel di antara konsumen Indonesia adalah salah satu dari lima tema konsumen baru yang diperkirakan akan terus berlanjut pasca-COVID 19.

Selama bertahun-tahun, akses yang dapat diandalkan untuk mendapatkan produk otentik dan berkualitas hanya terbatas di kota-kota besar seperti Jakarta. Melalui peluncuran Sociolla.com pada 2015, Sociolla ingin menghilangkan batasan tersebut. Data Sociolla menunjukkan bahwa konsumen masih sangat bergantung pada belanja online dengan peningkatan pengguna Aplikasi SOCO meningkat hingga tiga kali lipat pada 2023 sejak pandemi.

Namun, di satu sisi Sociolla memahami pentingnya kehadiran toko fisik dalam hal produk kecantikan, pelanggan membutuhkan wujud fisik untuk melihat dan menemukan produk sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini juga yang menjadi salah satu alasan perusahaan membawa konsep toko omnichannel di 2019.

Application Information Will Show Up Here

Tujuh Tahun Social Bella, Ungkap Ambisi Garap Potensi “SHEconomy”

Social Bella, perusahaan beauty-tech pemilik brand Sociolla, mengungkapkan ambisi dan model bisnis baru guna memperluas jangkauan di luar pasar kecantikan dan perawatan diri dan fokus menggarap potensi “SHEconomy” di Indonesia secara maksimal. Salah satu inisiatif yang akan gencar dilakukan adalah pengembangan Lilla, brand untuk ibu dan anak.

SHEconomy yang dimaksud ini adalah istilah yang dibuat oleh Social Bella, merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang semakin berfokus pada kebutuhan kaum perempuan. Perusahaan mengestimasi segmen ini menyimpan potensi bisnis sebesar $59 miliar dengan proyeksi CAGR sebesar 9,4%.

“Kami secara terbuka memperkenalkan model bisnis baru kami, yaitu SHEcosystem yang akan membantu kami membangun dan menghubungkan beberapa ekosistem dari berbagai industri berbeda menjadi satu ekosistem yang terintegrasi. SHEcosystem akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi multi-dimensional,” ujar Co-founder & President Social Bella Christopher Madiam dalam konferensi pers virtual, Selasa (29/3).

Untuk mewujudkan SHEcosystem, perusahaan akan menyatukan semua lini bisnis, baik itu dari platform dan logistik, kemudian mengintegrasikannya ke dalam satu sistem. Langkah tersebut menandai ambisi perusahaan menggarap pasar di luar kecantikan dan perawatan diri di usianya yang telah memasuki tahun ke-7. Bentuk nyata yang nantinya dirasakan konsumen akhir dari penyatuan ekosistem ini adalah program loyalitas yang tersambung di Sociolla dan Lilla.

Dirinci lebih jauh, salah satu inisiatif yang akan dijalankan perusahaan secara agresif pada tahun ini adalah mengembangkan platform Lilla, brand ibu dan anak, yang sekaligus menandai langkah pertama perusahaan untuk ekspansi di luar pasar kecantikan dan perawatan diri. Platform ini resmi diperkenalkan pada pertengahan 2020, kini telah bertransformasi menjadi sebuah ekosistem yang menjawab segala kebutuhan ibu dan anak di era digital.

Aplikasi Lilla ditenagai dengan empat fitur, di antaranya Easy Shopping yang menghadirkan produk dan kategori yang menyesuaikan dengan tahap tumbuh kembang anak; Motherhood Tracker untuk memantau perjalanan kehamilan, mengamati setiap fase tumbuh kembang anak; Personalized Experience; dan Learn from the Expert berisi berbagai informasi tentang ibu dan anak yang sudah divalidasi oleh para ahli di bidangnya.

Chris menyebut, untuk menyempurnakan pengalaman para ibu yang menjadi pengguna Lilla nantinya akan tersedia toko offline yang bisa dikunjungi. Strategi tersebut sebelumnya telah sukses dibuktikan lewat Sociolla yang kini memiliki 35 gerai tersebar di seluruh Indonesia, sejak pertama kali hadir dengan dua gerai di 2019. Sepanjang dua tahun mendatang, jumlah gerai akan ditambah hingga tiga kali lipat. “Salah satu fokus kami adalah ingin menjadi ekosistem terlengkap untuk ibu dan anak. Ada rencana omnichannel agar kami bisa berikan yang terbaik.”

Selain Lilla, Social Bella telah bertransformasi dari awalnya platform e-commerce menjadi ekosistem terlengkap yang didukung dengan pilar bisnis lainnya. Yakni, aplikasi super SoCo, media kecantikan dan gaya hidup dengan layanan end-to-end O2O marketing Beauty Journal, dan Brand Development, sebuah layanan distributor produk kecantikan dan perawatan diri dari hulu ke hilir.

Perjalanan tujuh tahun

Co-founder & CEO Social Bella John Rasyid menuturkan, selama tujuh tahun banyak pembelajaran yang dipetik oleh tim, dari awalnya sekadar platform e-commerce menjadi ekosistem. Menurutnya satu per satu inovasi yang diambil perusahaan ini membentuk keyakinan bahwa Social Bella ingin menjadi perusahaan tech-beauty dengan ekosistem terlengkap karena belum ada yang melakukan hal tersebut di Indonesia.

“Gerai omnichannel dan semua keputusan dan kesalahan ini adalah momen-momen yang paling bagaimana merayakan kesuksesan kita,” kata John.

Chris melanjutkan, tantangan terbesar yang datang di perusahaan, justru terjadi saat pandemi. Dalam kondisi tersebut, perusahaan mampu membuktikan dapat memberikan pengalaman yang terbaik buat konsumennya lewat ekspansi besar-besaran gerai omnichannel di berbagai kota, hingga ekspansi ke Vietnam. Kini di negara tersebut, perusahaan telah memiliki sembilan gerai.

Di Vietnam, perusahaan pertama kali hadir pada Oktober 2020 lewat platform e-commerce. Sebulan kemudian disusul dengan kehadiran satu gerai omnichannel di Hanoi. Chris mengaku, pada awal kehadirannya disambut dengan antusias oleh masyarakat, namun harus berjuang ekstra karena di sana berlaku lockdown penuh. “Namun ketika lockdown di longgarkan toko kami mulai ramai. Kami berusaha membawa brand lokal ke sana yang secara organik ternyata dapat respons yang baik.”

Dalam menyesuaikan strategi di sana, perusahaan tidak ujug-ujug mengasumsikan bahwa selera konsumennya persis sama dengan orang Indonesia. Co-founder dan CMO Social Bella Chrisanti Indiana menuturkan, perusahaan tetap memegang pedoman pada consumer-centric sebagai filter awal dalam rangka mengerti profil konsumennya seperti apa.

“Kami berusaha untuk mengerti market-nya seperti apa karena ternyata di Vietnam bagian utara itu kondisinya dingin, beda dengan Indonesia yang mayoritas tropis. Kurang lebih consumer profile-nya agak mirip tapi seleranya yang berbeda, jadi tren produknya juga berbeda,” katanya. Sejauh ini, Social Bella baru memboyong satu brand lokal ke Vietnam, yakni Esqa.

Dalam diskusi, manajemen Social Bella juga turut memamerkan gudang terbaru sekaligus terbesar seluas 12 ribu meter persegi. Gudang tersebut berlokasi di Cikupa, Tangerang, yang berfungsi untuk mengakomodasi seluruh kebutuhan online dan offline di ekosistem Social Bella dan mampu memroses pesanan antara 40 ribu-45 ribu pesanan dalam sehari. Gudang tersebut sekaligus untuk mendukung 24 gudang multifungsi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, mampu melayani lebih dari 55 ribu titik penjualan untuk bisnis Brand Development.

Saat ini, Sociolla memiliki lebih dari 150 brand kecantikan dan perawatan diri yang dipasarkan. Adapun jumlah pengguna meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi, secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata 15% peningkatan pengguna e-commerce di Indonesia pada tahun lalu.

Dari segi retensi, diklaim juga jauh lebih baik dengan angka lebih dari 40% retensi dalam satu tahun, lonjakan lebih dari 23% dari AOV, serta lebih dari 109% untuk jumlah pembelian harian jika dibandingkan dengan pra-pandemi. Untuk jumlah karyawan, hampir menyentuh angka 2 ribu orang yang tersebar di Indonesia, Vietnam, dan India.

Application Information Will Show Up Here

Sociolla Terus Optimalkan Konsep Omnichannel, Sembari Tambah Gerai Ritel Baru

Perusahaan beauty-tech Social Bella (induk dari brand Sociolla) mengungkapkan kondisi pandemi berhasil memvalidasikan konsep omnichannel tetap berjalan optimal saat ekspansi gerai baru. Sepanjang tahun ini Sociolla meresmikan 10 gerai baru yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Bogor, Bandung, dan Surabaya.

Perusahaan pertama kali meresmikan gerai pertamanya di Lippo Mall Puri Jakarta pada pertengahan tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, gerai berkonsep omnichannel ini memiliki tampilan interaktif yang terhubung langsung ke situs Sociolla dan platform SOCO. Dengan demikian, para pengunjung mendapat produk yang tepat sambil menikmati pengalaman belanja yang unik, dan seamless.

Untuk mendapatkan informasi dan review seputar produk yang akan dibeli, pengujung cukup scan barcode di aplikasi SOCO. Atau jika pengunjung sudah memiliki daftar produk yang ingin dibeli di keranjang belanja di situs Sociolla dapat langsung melakukan transaksi di bagian pembayaran.

“Hadirnya 10 gerai baru Sociolla Store merupakan bentuk komitmen kami untuk senantiasa menghadirkan pengalaman berbelanja produk perawatan diri dan kecantikan secara komprehensif dan menyenangkan bagi para beauty enthusiast,” kata Co-Founder & CMO Social Bella Indonesia Chrisanti Indiana dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, pembukaan 10 gerai ini adalah rangkaian dari langkah perusahaan sebagai beauty-tech terdepan di Indonesia, pasca ekspansi internasional perdananya ke Vietnam pada Oktober lalu.

Pemilihan lokasi gerai ini, selain didasarkan pada lokasi strategis di tiap area tersebut, merujuk pada data internal perusahaan memperlihatkan pertumbuhan permintaan yang signifikan dari lima kota tersebut. Meski gerai tersebut diresmikan saat pandemi, tetap mendapat antusiasme yang cukup baik dari para pengunjung saat grand opening.

Pihaknya tetap memberlakukan sejumlah kebijakan ketat dan protokol kesehatan sebagai upaya memberikan rasa aman bagi pelanggan yang berbelanja langsung ke toko. Secara berkala, gerai disemprot disinfektan, menerapkan kebijakan untuk jaga jarak aman, no touch dan no tester, memakai masker, dan sebagainya.

“Saat ini dapat dikatakan pelanggan masih dalam proses adaptasi dengan peraturan mengenai PSBB di masing-masing daerah. Hal ini berpengaruh terhadap kegiatan berbelanja langsung di gerai offline yang mana belum seoptimal seperti dalam keadaan normal, namun kami memastikan agar konsumen tetap nyaman dan aman saat berbelanja,” terangnya.

Ditanya lebih jauh bagaimana rencana perusahaan berikutnya untuk ekspansi pada tahun depan, Chrisanti enggan membeberkan lebih lanjut. Ia hanya menuturkan, “Kami akan terus berusaha memberikan yang terbaik bagi konsumen, bila ada informasi terkait pembukaan toko di tahun depan, kami akan informasikan lebih lanjut,” ucapnya saat dihubungi secara terpisah oleh DailySocial.

Praktik omnichannel oleh perusahaan teknologi

Konsep omnichannel yang dijalankan Sociolla, sudah banyak dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan teknologi di Indonesia sebagai bentuk mendekatkan diri kepada konsumen. Salah satunya adalah Blibli, mereka membentuk aplikasi Blibli Mitra untuk menyasar pedagang kelontong dapat go digital.

Sebenarnya ia tidak jauh berbeda dengan layanan sejenis yang dirilis kompetitor, seperti Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia atau Mitra Shopee. Aplikasi ini membuka akses produk digital, seperti pulsa, paket data, voucher game, token listrik, BPJS, dan tiket kereta api yang dapat dijual mitra kepada pelanggannya.

Pembeda yang mencolok adalah Blibli Mitra sudah terintegrasi dengan ekosistem e-commerce yang dibentuk Blibli, baik itu sistem pembayaran, pengadaan & logistik, hingga platform online. Dengan demikian, pengalaman mitra saat stok barang untuk warungnya, persis seperti saat mereka belanja lewat platform e-commerce Blibli karena terhubung dengan Fulfillment by Blibli (FBB). Mitra yang berbelanja dapat menikmati fasilitas gratis ongkos kirim.

Application Information Will Show Up Here

What Pandemic Means to The Future of Indonesian Beauty Tech

In 2019, the former Minister of Communication and Information, Rudiantara, mentioned that the beauty tech industry would be one of the prima donna in the Indonesian digital economy market.

This is partly due to the beauty and personal care industry that has captured a lot of attention from startups in the last few years. The power of e-commerce in Indonesia opens up opportunities in various new business verticals and this is one of those.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion. However, will this forecast remain valid given the unexpected health crisis that emerged in early 2020?

DailySocial interviewed some beauty tech players and VC actors to find out about future trends in the beauty industry.

The rise of beauty tech in Indonesia

Beauty tech is defined as a new model for the beauty industry players in reaching consumers. Its business model is no longer focused on conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

In Indonesia, the term beauty tech cannot be separated from the emergence of Sociolla in 2015. Its founders, namely John Rasjid, Christopher Madiam, and Chrisanti Indiana, developed a platform that can connect consumers with various kinds of beauty brands. Sociolla may be the only beauty e-commerce platform that has been able to survive and develop until now.

Long before this term became popular, the Female Daily Network (FDN) had appeared and can be said to be the pioneer of the Indonesian beauty tech industry. FDN started as a personal blog about beauty content founded by Hanifa Ambadar and Affi Assegaf in 2005. At that time the penetration of the internet and technology was not as massive as it is now.

Over the past 15 years, FDN has transformed into a platform for beauty junkies to gather. FDN has a strong community base in Indonesia thanks to a rating system that allows anyone to review products from various brands. In fact, FDN is now starting to monetize its business through the Beauty Studio e-commerce platform.

For Co-founder and CEO of Female Daily Network Hanifa Ambadar, the development of beauty tech can accelerate the dissemination of information on beauty products. This means that beauty brands have the opportunity to get the spotlight from a wider audience. Technology actually makes it easier for them to understand the needs of consumers for their products.

“The voice of consumers can not only be used for the next product development, but also to read the tastes and maneuvers of competitors, and to design marketing campaigns,” Hanifa said in the #SelasaStartup session some time ago.

FDN and Sociolla are two clear examples of how technology is changing the beauty industry and becoming a promising business for Indonesia’s digital industry. FDN has received investment injections from several well-known venture capitals (VC), namely Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, and Convergence Ventures. Now, FDN has been acquired by CT Corp, which oversees Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia).

Last July, Sociolla secured $58 million in Series E funding from Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. Meanwhile, East Ventures was also involved in funding the previous series. Crunchbase data records that the total funding raised by Sociolla from 2015 to date has reached $110 million.

The growth of the beauty industry doesn’t stop there. Ease of access to technology and digital platforms in Indonesia also contributes to the birth of new beauty brands in the country. Some of them, such as Rose All Day and Base, use a Direct-To-Consumer (DTC) approach to reach consumers.

Their appearance marks the positive market enthusiasm for beauty products. Market behavior changes. Information dissemination and product marketing are easier to do with the support of digital platforms.

Pandemic changes consumer behavior

The digital economy is predicted to be a sector that will contribute greatly to the Indonesian economy. However, with the current Covid-19 pandemic situation, what does this mean for the beauty tech industry in Indonesia?

According to Sociolla’s Co-founder and CMO Chrisanti Indiana, the pandemic will certainly change the trend of the beauty industry. Over the past six months, Sociolla discovered three new trends. First, the pandemic is driving an increasing trend of online shopping for beauty and personal care products.

Second, users inevitably take advantage of digital channels to buy beauty products. Third, the Work From Home (WFH) policies in many companies motivate people to take care of themselves.

Quoting Analytic Data Advertising (ADA), online shopping activities in Indonesia skyrocketed to 400 percent due to the pandemic in March 2020. Bank Indonesia said the number of e-commerce transactions since March 2020 reached 98.3 million transactions. Meanwhile, the total value of e-commerce transactions increased by 9.9 percent to IDR 20.7 trillion in the same period compared to February 2020.

Referring to the three findings above, Chrisanti said that the beauty sector still has stable growth going forward. In fact, she said that this sector has been a sector that has survived the pandemic era for the past six months.

“There are indeed changes in behavior and consumption, trends in make-up, and health protocols. However, [changes in behavior] actually strengthen the beauty industry in today’s difficult situation. Please note, self-care is a basic human need. We are optimistic that the beauty industry has great potential to grow.” in the future,” she told DailySocial.

Pandemic encourages local brands with DTC approach

As mentioned earlier, the development of the digital ecosystem has also contributed to the growth of new businesses in Indonesia. A number of domestic beauty brands are using the DTC approach to reach consumers easily and efficiently.

In terms of Base, for example, the brand was founded in 2019 and currently relying only on product marketing through the website. Meanwhile, the Rose All Day brand only relies on the marketplace as the front-end of online sales, such as Tokopedia and Shopee.

Generation Z and the millennial segment who are increasingly attached to the seamless lifestyle are considered to be reasons for some of the local brands to adopt this model. Moreover, physical stores are considered no longer relevant for this segment, considering that information and product availability can be accessed anytime and anywhere.

In a time of pandemic, the mushrooming trend of new brands is predicted to continue. The pandemic has indeed limited all kinds of offline activities. However, this can be an opportunity for the emergence of other new brands that apply a similar business model.

“Currently, marketing activities not only owned by big brands and existing players but also young and aspiring brands. For us, new trends will exist and are built on the presence of new brands that are established because of the digital ecosystem. This will continue to shape the beauty industry in Indonesia,” Chrisanti said.

Base’s CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta assessed that Indonesia has a great opportunity to push the domestic beauty market. Especially if you look at the fact that Indonesian consumers are one of the big markets for beauty products in Asia, such as South Korea and Japan.

“Indonesia is one of the largest markets for beauty products in East Asia, for K-Beauty and J-Beauty. About 15 years ago, not many people used these types of products for several reasons; availability and distribution. Therefore, we see that Indonesia has the opportunity to boost penetration of local brands in the region. We have many international standard cosmetic manufacturers,” she explained.

Although this trend will trigger fierce competition, Yaumi believes that it will open up opportunities for consumers that local brands have the ability to create good quality products.

Challenges in the beauty tech

Behind the optimism of local brand growth, Hanifa emphasized that this is also a challenge. He acknowledged that the online platform provides wider access to information on beauty products.

However, consumers have the potential to be easily “distracted” and switch to another brand if they do not have a strong differentiating factor.

“Without it, people will no longer stay only on one website because there are more sources of ‘distraction’. Reflecting on this, we want to become an integrated ecosystem for beauty products,” she added.

Meanwhile, Yaumi sees her business model is having a competitive advantage during the pandemic. Base is positioned as a digitally native vertical brand (DNVB) whose main sales channel is online. Furthermore, a seamless shopping experience becomes big homework for the company.

“Because most consumers are currently not fully mobilized, this has triggered a shift in consumer behavior to shop online. For DNVB like Base, we must ensure that we can provide a seamless shopping experience on all channels, not only the website but also the communication channel,” he said.

Beauty tech optimism in the eye of investors

 

From an investor’s point of view, East Ventures (EV) Partner Melisa Irene sees several findings to validate the optimism of Indonesia’s beauty tech business in the pandemic era.

Based on its track record, EV is one of the VCs with great interest in this sector. Sociolla is the first EV portfolio in the beauty tech sector. In line with Sociolla’s growth and strong position in this sector, EV continues to invest in new DTC brands, namely Base (2019) and Nusantics (2020).

Returning to the matter of findings, Melisa believes her DTC portfolio will grow in the pandemic era. According to him, e-commerce is beneficial for DTC players due to the increasing trend of user screen time during WFH. A number of businesses have also started shifting sales from offline to online. This opens up opportunities for brands to reach receptive consumers.

“In addition, another opportunity is for many brands to diversify their products to meet consumer’s demand during a pandemic. Beauty products are easy to consume. As the industry matures, they have the opportunity to provide a strong shopping experience, especially from wellness/health products,” she said to DailySocial.

No wonder some of the existing and local brands are busy releasing sanitizer and mask products, two health products that have been highly sought after during the pandemic in the last few months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Arti Pandemi Bagi Masa Depan Industri “Beauty Tech” Indonesia

Pada 2019, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sempat menyebutkan bahwa industri beauty tech bakal menjadi salah satu primadona di pasar ekonomi digital Indonesia.

Pasalnya industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) banyak dilirik oleh pelaku startup dalam beberapa tahun terakhir. Kekuatan e-commerce di Indonesia membuka peluang di berbagai vertikal bisnis baru dan ini adalah salah satunya.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar. Namun, apakah perkiraan ini akan tetap valid dengan situasi krisis kesehatan tak terduga yang muncul di awal 2020 ini?

DailySocial mewawancarai sejumlah pelaku beauty tech dan VC untuk mengetahui tren industri kecantikan di masa depan.

Beauty tech dan kebangkitannya di Indonesia

Beauty tech didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Di Indonesia, istilah beauty tech tak lepas dari kemunculan Sociolla di 2015. Para pendirinya, yakni John Rasjid, Christopher Madiam, dan Chrisanti Indiana, mengembangkan platform yang dapat menghubungkan konsumen dengan berbagai macam brand kecantikan. Sociolla mungkin jadi satu-satunya platform e-commerce kecantikan yang mampu bertahan dan berkembang hinggai saat ini.

Jauh sebelum istilah ini populer, Female Daily Network (FDN) sudah lebih dulu muncul dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal pelopor industri beauty tech Indonesia. FDN bermula dari blog pribadi seputar konten kecantikan yang didirikan oleh Hanifa Ambadar dan Affi Assegaf di 2005. Saat itu penetrasi internet dan teknologi saat itu belum semasif sekarang.

Selama 15 tahun terakhir, FDN telah bertransformasi menjadi platform berkumpulnya para beauty junkie. FDN memiliki basis komunitas kuat di Indonesia berkat rating system yang memampukan siapapun untuk mengulas produk dari berbagai brand. Bahkan, FDN kini mulai memonetisasi bisnisnya melalui platform e-commerce Beauty Studio.

Bagi Co-founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar, perkembangan beauty tech dapat mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Artinya, brand kecantikan memiliki kesempatan untuk mendapat sorotan dari audiensi yang lebih luas. Teknologi justru memudahkan mereka memahami kebutuhan konsumen terhadap produknya.

“Suara konsumen tak hanya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk berikutnya, tetapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran,” papar Hanifa di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

FDN dan Sociolla menjadi dua contoh nyata bagaimana teknologi mengubah industri kecantikan dan menjadi bisnis menjanjikan bagi industri digital Indonesia. FDN pernah mendapat suntikan investasi dari beberapa venture capital (VC) ternama, yaitu Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, dan Convergence Ventures. Kini, FDN telah diakuisisi CT Corp yang menaungi Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia).

Sociolla sendiri Juli lalu mengantongi pendanaan Seri E sebesar $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Adapun, East Ventures juga terlibat pada pendanaan seri sebelumnya. Data Crunchbase mencatat total pendanaan yang dihimpun Sociolla sejak 2015 hingga saat ini sudah mencapai $110 juta.

Pertumbuhan industri kecantikan tidak berhenti sampai di situ. Kemudahan akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Kemunculan mereka menandai adanya antusiasme positif pasar terhadap produk kecantikan. Perilaku pasar berubah. Penyebaran informasi dan pemasaran produk semakin mudah dilakukan dengan dukungan platform digital.

Pandemi ubah tren perilaku konsumen

Ekonomi digital digadang menjadi sektor yang bakal berkontribusi besar terhadap perekenomian Indonesia. Namun, dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini, apa artinya bagi industri beauty tech di Indonesia?

Menurut Co-founder dan CMO Sociolla Chrisanti Indiana, pandemi tentu akan mengubah tren industri kecantikan. Selama enam bulan terakhir, Sociolla menemukan tiga tren baru. Pertama, pandemi mendorong peningkatan tren belanja online untuk produk kecantikan dan perawatan diri.

Kedua, pengguna mau tak mau memanfaatkan channel digital untuk membeli produk kecantikan. Ketiga, kebijakan Work From Home (WFH) di banyak perusahaan memotivasi masyarakat untuk melakukan perawatan diri.

Mengutip Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online di Indonesia meroket hingga 400 persen akibat pandemi pada Maret 2020. Bank Indonesia menyebutkan jumlah transaksi e-commmerce sejak Maret 2020 mencapai 98,3 juta transaksi. Sementara, total nilai transaksi e-commerce naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun pada periode sama dibandingkan Februari 2020.

Mengacu pada tiga temuan di atas, Chrisanti menilai bahwa sektor kecantikan masih memiliki pertumbuhan stabil ke depan. Bahkan ia menyebut sektor ini menjadi sektor yang bertahan di era pandemi selama enam bulan terakhir.

“Memang ada perubahan perilaku dan konsumsi, tren make up, dan protokol kesehatan. Namun [perubahan perilaku] justru memperkuat industri kecantikan di situasi sulit saat ini. Perlu diketahui, self care adalah kebutuhan dasar orang. Kami optimistis industri kecantikan punya potensi besar untuk tumbuh di masa depan,” paparnya kepada DailySocial.

Pandemi dorong brand lokal dengan pendekatan DTC

Sebagaimana disebutkan di awal, perkembangan ekosistem digital turut mendorong pertumbuhan bisnis-bisnis baru di Indonesia. Sejumlah brand kecantikan dalam negeri menggunakan pendekatan DTC untuk menjangkau konsumen secara mudah dan efisien.

Pada contoh kasus Base, misalnya, brand yang berdiri pada 2019 tersebut saat ini baru mengandalkan pemasaran produk melalui website. Sementara, brand Rose All Day hanya mengandalkan marketplace sebagai front-end penjualan online, yaitu melalui Tokopedia dan Shopee.

Generasi Z dan segmen milenial yang semakin lekat dengan gaya hidup seamless dinilai menjadi alasan bagi sejumlah brand lokal untuk menerapkan model ini. Terlebih toko fisik dinilai sudah tidak lagi relevan bagi segmen tersebut mengingat informasi dan ketersediaan produk dapat diakses kapanpun dan di manapun.

Dalam konteks pandemi, tren menjamurnya brand baru diprediksi terus berlanjut. Pandemi memang membatasi segala macam aktivitas offline. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kemunculan brand baru lainnya yang menerapkan model bisnis serupa.

“Sekarang kegiatan marketing tidak hanya dimiliki oleh big brand dan pemain existing, tetapi juga young and aspiring brand. Bagi kami, tren baru akan ada dan dibangun dari kehadiran brand baru yang berdiri karena ekosistem digital. Ini akan terus membentuk industri kecantikan di Indonesia,” papar Chrisanti.

Kepada DailySocial, CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menilai Indonesia punya peluang besar untuk mendorong pasar kecantikan dalam negeri. Apalagi jika melihat fakta bahwa konsumen Indonesia termasuk salah satu pasar besar bagi kiblat produk kecantikan di Asia, yakni Korea Selatan dan Jepang.

“Indonesia adalah salah satu pasar terbesar produk kecantikan di Asia Timur, yaitu K-Beauty dan J-Beauty. 15 tahun lalu belum banyak orang yang pakai jenis produk itu karena beberapa hal; ketersediaan dan distribusi. Maka itu, kami lihat Indonesia punya peluang untuk dongkrak penetrasi brand lokal ke regional. Kita punya banyak manufaktur kosmetik berstandar interasional,” jelasnya.

Meski tren tersebut akan memicu persaingan ketat, Yaumi menilai bahwa hal tersebut justru akan membuka kesempatan bagi konsumen bahwa brand lokal memiliki kemampuan dalam menciptakan produk berkualitas baik.

Tantangan bagi industri kecantikan

Di balik optimisme pertumbuhan brand lokal, Hanifa menekankan bahwa hal tersebut juga menjadi tantangan. Ia mengakui bahwa platform online memberikan akses lebih luas terhadap informasi produk kecantikan.

Akan tetapi, konsumen berpotensi mudah “terdistraksi” dan berpindah ke brand lain apabila tidak memiliki faktor pembeda yang kuat.

“Tanpa itu, orang tidak bisa lagi berlama-lama di satu situs karena sumber ‘distraksi’ semakin banyak. Berkaca dari hal ini, kami ingin menjadi satu ekosistem terpadu untuk produk kecantikan,” tambahnya.

Sementara Yaumi melihat model bisnisnya justru memiliki keuntungan kompetitif selama masa pandemi. Base diposisikan sebagai digitally native vertical brands (DNVB) yang channel penjualan utamanya adalah online. Maka itu, pengalaman belanja yang seamless menjadi PR besar bagi perusahaan.

“Karena sebagian besar konsumen saat ini belum sepenuhnya mobilisasi, ini memicu pergeseran perilaku konsumen untuk berbelanja online. Bagi DNVB seperti Base, kami harus memastikan dapat memberikan pengalaman belanja yang seamless di semua channel, tidak hanya website tetapi juga communication channel,” tuturnya.

Optimisme bisnis beauty tech di mata investor

Dari kacamata investor, Partner East Ventures (EV) Melisa Irene melihat ada beberapa temuan yang dapat memvalidasi optimisme bisnis beauty tech Indonesia di era pandemi.

Berdasarkan rekam jejaknya, EV merupakan salah satu VC yang memiliki ketertarikan besar di sektor ini. Sociolla merupakan portofolio pertama EV di sektor beauty tech. Sejalan dengan pertumbuhan dan posisi kuat Sociolla di sektor ini, EV melanjutkan investasinya ke brand DTC baru, yakni Base (2019) dan Nusantics (2020).

Kembali ke soal temuan, Melisa meyakini portofolio DTC-nya akan tumbuh di era pandemi. Menurutnya, e-commerce menjadi beneficial bagi pelaku DTC karena tren screen time pengguna semakin meningkat selama WFH. Sejumlah bisnis juga sudah mulai shifting penjualan dari offline ke online. Ini membuka peluang bagi brand untuk menjangkau receptive consumer. 

“Selain itu, peluang lainnya adalah banyak brand melakukan diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen di masa pandemi. Produk kecantikan itu mudah dikonsumsi. Dengan semakin matangnya industri, mereka punya peluang untuk memberikan pengalaman belanja yang kuat, terutama dari produk wellness/kesehatan,” ungkapnya kepada DailySocial.

Tak heran sejumlah brand lokal existing maupun ramai-ramai mengeluarkan produk sanitizer dan masker, dua produk kesehatan yang sangat dicari selama pandemi beberapa bulan terakhir.

Sociolla Buka Gerai Offline Berkonsep “Omni-Channel”

Platform produk kecantikan Sociolla mengumumkan gerai offline flagship pertama berteknologi omni channel di Lippo Mall Puri, Jakarta. Di dalam toko seluas 425 meter persegi ini, dibekali berbagai tampilan interaktif yang terhubung langsung ke situs Sociolla dan platform Soco.

Co-Founder & CMO Social Bella (nama PT dari brand Sociolla) Chrisanti Indiana menjelaskan, inovasi ini memungkinkan konsumen untuk mendapatkan produk yang tepat sambil menikmati pengalaman belanja baru. Pasalnya, mereka akan mendapat gambaran produk sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kulit dari layar smartphone-nya

“Sebelum masuk ke toko, mereka perlu sign in akun Soco-nya dengan scan barcode di layar Sociolla Store. Di situ akan terhubung dengan rekomendasi produk yang sesuai dengan kebutuhan. Jadi mereka tidak bingung ketika masuk ke toko harus apa,” terang Chrisanti, Selasa (13/8).

Soco adalah platform online ulasan konsumen untuk produk kecantikan dan perawatan pribadi yang sudah dirilis sejak tahun lalu. Diklaim telah diisi oleh lebih dari 1,2 juta ulasan produk. Sayang, Chrisanti enggan menyebut total pengguna Soco saat ini.

Sociolla juga menyiapkan berbagai aktivitas offline yang bisa dilakukan konsumen. Seperti beauty bar (selayaknya di salon kecantikan) dan skin shelf (rak kosmetik yang disertai wastafel).

Setiap susunan rak produk di dalam gerai telah disesuaikan berdasarkan tren yang berkembang di Sociolla. Makanya, secara berkala akan susunan produk akan berubah.

Selain gerai flagship ini, sebenarnya Sociolla juga punya gerai offline lain namun berukuran lebih kecil berlokasi di Kota Kasablanka, Jakarta. Pihaknya tidak menutup kemungkinan ekspansi gerai ke lokasi lainnya, namun masih mempertimbangkan lokasinya dan persebaran konsumen.

Masuknya Sociolla ke lini offline ini, merupakan jawaban perusahaan untuk menggarap potensi belanja kosmetik di Indonesia. Menurut Statista, prediksi tingkat belanja produk kecantikan dan perawatan di Indonesia baru mencapai $24 per kapita di 2018.

Angka ini masih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Singapura ($178), Malaysia ($75), Filipina ($50). Negara lebih maju seperti Inggris ($229) sudah jauh lebih tinggi, Amerika Serikat ($247), Jepang ($287).

Adapun potensi dari industri kecantikan di Indonesia pada 2025 mendatang naik 15% menjadi $8 miliar dengan kontribusi dari platform e-commerce diprediksi mencapai $1,2 miliar. Kenaikan ini cukup drastis bila dibandingkan pada 2018 sebesar $5,2 miliar dan 2011 sebesar $2,3 miliar.

Perkenalan lini bisnis lain

Nama brand Sociolla memang sudah cukup tenar di kalangan konsumen sejak situs ini dirilis pada 2015. Padahal, sebenarnya Social Bella punya dua unit bisnis lainnya yang semuanya membangun ekosistem produk kecantikan secara keseluruhan.

Mereka adalah Beauty Journal yang berawal dari media online kecantikan dan gaya hidup yang sekarang menjadi agen pemasaran O2O dari hulu ke hilir. Telah bermitra dengan perusahaan kecantikan terkemuka di Indonesia.

Dan, Brand Development merupakan unit bisnis perusahaan yang menawarkan layanan distribusi end-to-end untuk merek kecantikan dan perawatan diri yang dipercaya berbagai manufaktur internasional terkemuka.

Ketiga lini bisnis ini membangun ekosistem kecantikan yang saling terintegrasi dan disusun berdasarkan cycle konsumen saat mengunjungi Sociolla. Perusahaan juga berupaya membangun ekosistem yang lebih sehat dengan memberikan produk asli dan aman sesuai BPOM.

“Kita selalu mulai dari apa yang dibutuhkan konsumen. Makanya di awal kami mulai dengan e-commerce, lalu masuk ke Beauty Journal. Berikutnya kami lihat konsumen itu senang berbagai ulasan dari produk yang dibeli, makanya kami buat Soco. Terakhir kami buat unit bisnis baru Brand Development untuk bantu brand luar yang mau masuk ke sini, kami jadi distributor eksklusifnya,” terang Co-Founder & President of Social Bella Christopher Madiam.

Terkait unit Brand Development, saat ini perusahaan jalin kerja sama eksklusif dengan 12 brand luar negeri. Adapun secara total ada 200 brand tersedia di Sociolla.

Perusahaan memiliki dua gudang yang menampung seluruh produk dan memasarkannya ke berbagai platform online dan offline tergantung strategi brand tersebut. Sebelum brand masuk ke Indonesia, perusahaan mengatur seluruh persyaratan dan memastikan keamanannya lewat BPOM demi memastikan jaminannya buat konsumen.

Sayangnya, Co-Founder & CEO Social Bella John Rasjid enggan membeberkan pencapaian perusahaan. Dia hanya menyebut pada kuartal pertama 2019 tumbuh lebih dari tujuh kali lipat dibandingkan kuartal yang sama sebelumnya.

Application Information Will Show Up Here

Sociolla Peroleh Investasi 169 Miliar Rupiah dari EV Growth

Layanan e-commerce produk kecantikan Sociolla mengumumkan perolehan investasi sebesar $12 juta (sekitar Rp169 miliar) dipimpin oleh EV Growth, platform kecantikan Jepang istyle Inc., dan institusi besar Singapura yang tidak disebutkan identitasnya.

EV Growth adalah sebuah fund baru yang dibentuk East Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), dan Yahoo Japan Digital khusus untuk pendanaan Seri B dan lanjutan. Fund ini mulai aktif beroperasi di kuartal kedua tahun 2018.

Partner EV Growth Willson Cuaca dalam keterangan resmi menyebutkan East Ventures telah mendukung Sociolla sejak 2015 melalui seed funding. Pihaknya melihat kemampuan serta kesiapan Sociolla untuk memenangkan kategori beauty tech di Indonesia.

“Melalui pendanaan tambahan ini, kami ingin mengukuhkan posisi Sociolla sebagai leading beauty tech company di Indonesia dan ditambah dengan dukungan kerja sama strategis bersama pemain global istyle,” ujarnya.

Partner EV Growth Shinichiro Hori menambahkan, “Dari sudut pandang peluang pasar, kami percaya sektor kecantikan sangat menjanjikan. Teknologi kecantikan sudah dibuktikan oleh istyle di Jepang dan dukungan mereka akan membuahkan hasil yang besar di masa depan bagi Sociolla. Kami sangat menantikan kerja sama dengan Sociolla.”

Penggunaan dana investasi

Co-Founder Sociolla Chrisanti Indiana menerangkan perusahaan akan menggunakan dana segar tersebut untuk mengembangkan platform terbaru Soco (Sociolla Connect) yang baru diluncurkan pada awal tahun ini. Soco merupakan platform digital kecantikan yang menggabungkan e-commerce dengan media.

Platform ini melengkapi dua platform kecantikan yang sudah ada Sociolla itu sendiri dan Beauty Journal (situs media), dengan memanfaatkan teknologi single sign on sehingga memudahkan user dalam mengakses berbagai konten dari Beauty Journal dan UGC (User Generated Content).

Dengan demikian pengguna dapat mengatur belanjaan mereka di Sociolla dan bergabung dengan digital beauty community, mendapatkan rekomendasi produk yang relevan dengan profil dan minat mereka.

“Pengguna yang sudah memiliki akun di Soco juga dapat berkontribusi sebagai pembuat konten dan berinteraksi atau berbagi dengan sesama pecinta kecantikan lain di Soco,” ujar Chrisanti.

Menurutnya, keberadaaan Soco itu sendiri akan melengkapi misi Sociolla untuk membantu dan membentuk masa depan industri kecantikan lewat teknologi.

Tak hanya untuk Soco, perusahaan juga akan memakai dana segar tersebut untuk biaya pemasaran mereka yang didistribusikan lewat Sociolla. Perusahaan akan bekerja sama dengan merek kecantikan populer dari luar negari yang tertarik untuk masuk ke Indonesia.

Terhitung saat ini di luar lebih dari 150 merek yang telah di jual lewat Sociolla, ada tambahan tujuh merek kecantikan dari Asia dan Australia telah menandatangi perjanjian distribusi secara langsung dengan perusahaan.

Perusahaan juga berkolaborasi dengan salah satu pemegang sahamnya istyle dengan memberikan akses kepada 14 juta ulasan produk kecantikan dari Cosme dan situs kecantikan dari Amerika Serika Make Up Alley. Situs ini sebelumnya sudah diakuisisi oleh istyle pada tahun lalu.

istyle masuk ke Sociolla lewat pendanaan seri B pada Januari 2017, sebelumnya perusahaan mendapat pendanaan seri A dari Venturra Capital pada November 2015.

Secara kumulatif, pada tahun lalu Sociolla berhasil mengumpulkan lebih dari 12 juta pengunjung masuk ke situs Sociolla atau sekitar 1 dari 9 wanita di dalam target market perusahaan ada di Indonesia.