Sociolla Terbuka Untuk Garap Lini Bisnis Pergudangan Digital [UPDATED]

Social Bella, induk usaha dari retailer omnichannel Sociolla, mengungkapkan rencananya untuk terbuka merambah lini bisnis dari bidang pergudangan digital. Prospek digitalisasi pergudangan dinilai sangat cerah karena prosesnya saat ini masih manual.

Co-founder, CEO & President Social Bella Christoper Madiam menyampaikan optimisme untuk menyeruisi lini bisnis baru ini dikarenakan inovasi yang dikembangkan secara in-house ini telah terbukti membawa efisiensi yang begitu signifikan bagi internal Sociolla.

“Selama ini kita bangun teknologi untuk bisnis kita sendiri, namun terbuka untuk menjajakinya sebagai model bisnis baru. [Penggunanya] bisa multiple industry dengan kompleksitas yang sama [dengan Sociolla] bisa pakai,” ucap Christopher di sela-sela memperkenalkan Sociolla Warehouse di Cikupa, Tangerang, pekan lalu (27/10).

Dia mengaku, teknologi yang dikembangkan Sociolla untuk gudangnya ini sepenuhnya dikerjakan sendiri oleh tim teknologi, setelah melalui berbagai proses trial and error. Dari pengamatannya, tidak ada penyedia teknologi gudang yang mampu menjawab tantangan di Sociolla.

Tidak ada juga benchmark yang diambil oleh Sociolla dari pemain sejenisnya, mau di dalam negeri maupun di luar negeri untuk implementasinya. Akhirnya, diputuskan untuk bangun teknologinya dari awal. “Bahkan ada chip yang kami belinya dari Tokopedia,” tambahnya.

Tantangan Sociolla dalam menciptakan efisiensi ini terbilang unik dan tidak dialami oleh kebanyakan pemain digital lainnya. Seperti diketahui, produk kecantikan itu dalam proses penyimpanannya tergolong kompleks karena ukurannya kecil-kecil dan jumlah SKU yang banyak.

Alhasil, sulit untuk diidentifikasi oleh picker sebelum masuk ke proses pengemasan oleh packer. Ditambah lagi, setiap batch produk memiliki waktu kadaluarsa yang berbeda-beda. Kedua hal ini menjadi tantangan utama bagi Sociolla, sangat berbeda tantangannya dengan pemain fesyen.

“Tantangan ini sangat kompleks, kalau tidak ada teknologi yang mumpuni akan susah [durasi pengemasannya]. Kita melihat dari dua sisi, tim teknologi harus bisa bangun teknologi yang bisa dipakai dengan mudah oleh user [tim operasional].”

Sistem pergudangan di Sociolla

Christopher Madiam, Co-Founder, President and CEO of PT Social Bella Indonesia / Social Bella

Perusahaan mengembangkan sistem backend label harga digital yang didukung dengan IoT. Sistem ini terintegrasi dengan sempurna, memberi pandangan yang komprehensif dan real time untuk tim inventaris di semua saluran penjualan.

Hal ini memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi lokasi terdekat dan memilih mitra logistik yang optimal untuk pesanan online, memberikan panduan kepada toko offline mengenai penyimpanan produk, dan mengotomatiskan tugas-tugas, seperti pesanan pembelian, permintaan pembayaran, dan persetujuan.

Alurnya, setiap pesanan dari aplikasi Sociolla akan masuk ke sistem admin di gudang berdasarkan lokasi terdekat konsumen. Tim admin akan memberikan notifikasi ke PDA (Personal Digital Assistants) yang dipegang oleh masing-masing picker yang sudah bersiap di masing-masing area gudang.

Begitu notifikasi masuk, picker akan menerima tugas untuk mengambil pesanan konsumen ada apa saja dan titik produknya ada areanya di mana saja. Semua titik diberitahu secara akurat agar durasi picker jauh lebih efisien. Bisa jadi ada beberapa pesanan yang dikumpulkan oleh beberapa picker karena lokasi produk pesanannya berjauhan.

Setiap mengambil satu barang, picker akan scan barcode dari PDA yang tertera di tiap dus. Notifikasi ini akan langsung ke sistem admin untuk menandakan produk sudah berhasil diselesaikan oleh picker. Berikutnya, di ujung gudang terdapat console area yang menggabungkan seluruh pesanan.

“Dalam kotak console, terdapat chip yang terhubung dengan Wi-Fi dan dilengkapi lampu-lampu warna hijau, kuning, merah. Warna ini menandakan lengkap atau tidaknya pesanan. Bila ada pesanan yang belum digabungkan, sistem akan membaca dalam waktu tiga jam lampu berwarna merah. Bisa di-trace juga siapa picker yang ditugaskan, tracing-nya sangat detail.”

Berikutnya, setelah pesanan terkumpul dalam satu wadah akan diserahkan ke tim packer untuk pengemasannya. Terdapat tanda barcode di atas paket yang nantinya akan dibaca oleh kamera pintar untuk menandai barang tersebut sebaiknya dikirim oleh ekspendisi apa berdasarkan lokasi konsumen, dimensi dan ukuran paket. Seluruh proses ini dibantu dengan conveyer yang ditenagai dengan IoT.

Seluruh paket akan dikumpulkan dalam satu wadah berdasarkan masing-masing jenis ekspedisi yang sudah bekerja sama dengan Sociolla. Para ekspedisi ini biasanya sudah bersiap untuk melanjutkan prosesnya.

“Ketika kamera sudah scan paketnya, konsumen juga akan mendapat update status di aplikasi bahwa pesanannya sudah diproses oleh ekspedisi.”

Disebutkan implementasi teknologi ini membuat perusahaan jadi lebih efisien karena proses dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam sejak pemesanan. Produktivitas pekerja juga jauh lebih tinggi.

Chris menjelaskan, sistem ini sudah diimplementasikan ke tujuh gudang Sociolla yang tersebar di seluruh Indonesia. Cikupa adalah lokasi gudang pusat terbesar milik Sociolla dengan luas 12 ribu meter persegi. Gudang tersebut sudah berdiri sejak tahun lalu.

“Karena teknologi ini dibangun sendiri, jadi bisa terapkan ke pameran kecantikan punya kita. Konsepnya jadi mini gudang, konsumen beli barangnya langsung dari gudang Sociolla. Brand fokus di branding-nya.”

Model bisnis Sociolla

Sejak beroperasi di 2015, Social Bella membangun SHEcosystem yang menyatukan ekosistem dari berbagai industri ke dalam satu ekosistem terintegrasi dan menjadi rumah bagi lebih dari 2.000 karyawan di tiga negara. Perusahaan punya empat model bisnis. 1) SOCO, superapp kecantikan, telah menjadi wadah bagi para beauty enthusiast dan komunitas dalam berbagi ulasan dan insight akan produk-produk kecantikan. SOCO memiliki hampir 3 juta ulasan yang mencakup sekitar 36.000 produk.

2) Beauty Journal, media online untuk kecantikan dan gaya hidup dengan layanan pemasaran O2O dari hulu ke hilir, 3) Sociolla, retailer omnichannel untuk produk kecantikan dan perawatan diri. Kini gerai Sociolla tersebar di 55 toko yang tersebar di 35 kota di Indonesia dan 12 gerai di empat kota di Vietnam. Selain menjadi retailer, Sociolla juga menggarap segmen B2B dengan menjadi retailer untuk distribusi produk ke toko modern dan tradisional. 4) Lilla, ekosistem yang dibangun oleh ibu untuk ibu dengan toko omnichannel pertama dibuka pada 2022.

Perusahaan juga membawa brand kecantikan lokal untuk ekspansi ke Asia Tenggara. Sejauh ini sudah ada tiga brand, yakni Esqa, Carasun, dan Avoskin yang sudah diorbitkan ke Vietnam.

*) Kami mengoreksi minor judul artikel

Application Information Will Show Up Here

Omnichannel Semakin Populer Dorong Pemasyarakatan Beauty Tech

Pandemi mempercepat pertumbuhan industri beauty tech, termasuk di Indonesia. Salah satu faktor utama yang mendorong pertumbuhan platform beauty tech di Indonesia adalah penutupan toko dan salon kecantikan (gerai fisik) selama masa social distancing.

Brand D2C (direct-to-consumer) semakin marak. Model D2C populer karena memungkinkan brand menjual produk langsung ke konsumen melalui saluran sendiri maupun platform pihak ketiga. Mereka memotong perantara dan

Menurut data Tokopedia, kategori kecantikan menjadi salah satu kategori dengan peningkatan jumlah transaksi paling tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya di periode Januari-Maret 2023.

Di tahun 2023, pandemi melandai. DailySocial.id mencoba melihat bagaimana strategi omnichannel, kehadiran secara online dan offline/gerai fisik, dihadirkan para pemain beauty tech.

D2C semakin populer

Menurut President & CEO PT Social Bella Indonesia Christopher Madiam, dibandingkan produk kecantikan konvensional, startup kecantikan/marketplace D2C cenderung memiliki pendekatan yang lebih customer-centric approach, dengan fokus pada memberikan pengalaman belanja yang personal dan seamless.

Perusahaan seperti ini memanfaatkan kehadiran media sosial dan saluran pemasaran digital lainnya untuk membangun kesadaran terhadap brand dan mencapai audiens target mereka. Di sisi lain, brand kecantikan konvensional biasanya mengandalkan metode pemasaran yang lebih tradisional, seperti iklan cetak dan TV.

Selama perjalanan bisnis, Sociolla mengklaim telah mempelajari pentingnya beradaptasi dengan perilaku digital yang terus berkembang.

“Di Sociolla, kami mengutamakan pemahaman terhadap pelanggan kami dan preferensi mereka. Kami tahu bahwa menjaga fleksibilitas dan fokus pada kebutuhan konsumen serta merespons dengan cepat perubahan di pasar sangat penting. Pendekatan kami selalu mengutamakan pengalaman pelanggan, memungkinkan kami untuk membangun loyalitas pelanggan dan mencapai pertumbuhan bisnis,” kata Christopher.

Menurut Founding dan Managing Partner Creative Gorilla Capital Benz  Budiman, segmen beauty tech menjadi bisnis yang menjanjikan. Hal ini terlihat dari besarnya penjualan dan pemasaran yang dilakukan oleh para pemain memanfaatkan berbagai platform media sosial.

“Namun demikian saat ini beauty industry juga sangat kompetitif dan sangat tersaturasi. Karena semua orang ingin melakukan hal tersebut, mereka yang bisa bermain dan bertahan di industri ini adalah, pemain yang harus bisa menjalin kolaborasi dengan pemain yang sudah established di industri tersebut,” kata Benz.

Kehadiran omnichannel memberi dampak

Industri kecantikan adalah pasar yang sangat kompetitif, dan pelanggan memiliki banyak pilihan. Dengan pertumbuhan layanan marketplace dan mobile shopping, pelanggan berharap memiliki akses ke produk dan informasi kapan saja, di mana saja, dan di perangkat apa saja.

Menurut data Riverty, pelanggan generasi muda lebih memilih memesan produk kecantikan secara online. 71% responden disebutkan membeli melalui perangkat mobile.

Preferensi baru ini memberikan kelonggaran bagi startup dan brand untuk memanfaatkan keunggulan kompetitif mereka: kemampuan memanfaatkan data untuk memberikan pelanggan apa yang mereka inginkan dengan cepat.

Perwakilan East Ventures mengatakan, “Kami melihat penerapan strategi omnichannel ini melibatkan integrasi antara toko fisik dan toko online, yang tentunya memerlukan manajemen operasional yang baik. Hal ini meliputi manajemen stok barang, distribusi, metode pembayaran, dan penerapan teknologi serta pengelolaan data yang baik. Penerapan strategi omnichannel juga menerima respon yang sangat baik di Indonesia. Kami melihat perkembangan positif dari sisi portofolio kami, Sociolla, yang telah memiliki 50 toko di 30 kota.”

Amir Karimuddin berkontribusi untuk penulisan artikel ini

Pendekatan Omnichannel untuk Imbangi Perubahan Tren Belanja Ritel di Indonesia

Sepanjang pandemi, jargon omnichannel mungkin terkubur. Berbagai aktivitas offline terhambat. Perusahaan teknologi mencoba beradaptasi. Dengan asumsi adanya perubahan perilaku yang lebih memilih menjaga jarak, layanan-layanan difokuskan ke arah go online. Sejak tahun 2022 lalu, kondisinya membaik. Masyarakat kembali ke mall, restoran, salon untuk merasakan pengalaman beraktivitas.

Strategi omnichannel, yang mengombinasikan kehadiran offline dan online, kembali mencuat dengan pendekatan berbeda.

Menurut hasil riset yang dirilis The Trade Desk pada Februari 2022, konsumen Indonesia kembali berbelanja secara offline setelah pandemi mulai terkendali. Namun, percepatan adopsi online di industri ritel tidak serta merta ditinggalkan. Kehadiran saluran berbelanja online dan offline jadi saling melengkapi.

Kondisi ini didukung hasil survei McKinsey berjudul “Indonesian consumer sentiment during the coronavirus crisis” pada Agustus 2022. Survei menunjukkan ada 60%-90% responden Indonesia menggunakan solusi omnichannel di tahap pembelian. Kedua riset ini memvalidasi bahwa omnichannel akan tetap ada untuk sekarang dan yang akan mendatang bagi bisnis ritel.

McKinsey : Indonesian consumer sentiment during the coronavirus crisis

Di sisi lain, menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, 90% dari anggotanya telah mengadopsi strategi omnichannel. Akan tetapi, sebagian besar peritel fisik di seluruh Indonesia masih tidak memiliki keahlian dan sumber daya internal yang memadai maupun investasi teknologi yang substansial untuk menjalankan model ritel omnichannel secara efektif. Oleh karenanya, hanya sejumlah kecil peritel besar mampu menerapkan inisiatif omnichannel.

Bagi perusahaan yang sudah mengadopsi konsep ini, pekerjaannya tidak bisa dilakukan sekali. Usaha terus dilakukan secara berkelanjutan, karena harus ada nilai tambah yang diciptakan agar tetap unggul. Perusahaan perlu mencermati target konsumen yang diinginkan dari perspektif omnichannel.

“Dengan menanamkan prinsip-prinsip ini ke dalam strategi ritel mereka, para pemimpin ini dapat menggunakan momentum—dan urgensi— pada saat ini untuk menentukan keuntungan yang ingin dicapai,” tulis laporan McKinsey dalam laporan terpisah bertajuk “Omnichannel: The path to value”.

Blibli

DailySocial.id menghubungi dua pemain e-commerce, Blibli dan Sociolla, yang menerapkan strategi omnichannel untuk memahami hipotesis masa depan dalam rangka mendukung posisi perusahaan.

SVP O2O Blibli David Michum menyampaikan, hipotesis Blibli dalam memulai strategi ini selalu dilihat dari perspektif konsumen Indonesia yang terus berevolusi. Di satu sisi, omnichannel adalah masa depan bagi bisnis ritel, terutama setelah melihat potensi pasar di sektor ini semenjak pandemi. Prospek tersebut menjadi langkah bagi Blibli untuk menjadi perusahaan berkelanjutan.

“Strategi physical (physical-digital) atau omnichannel dalam hal ini menjadi salah satu fokus utama kami yang bertujuan meningkatkan customer journey untuk berbelanja dan bertransaksi secara seamless di setiap touchpoints pelanggan, baik secara online maupun offline,” terang David.

Riset yang dirilis The Trade Desk dan McKinsey tersebut menjadi alasan kuat bagi Blibli untuk menguatkan strategi omnichannel. Perusahaan berambisi ingin menjadi omnichannel commerce dan platform gaya hidup terdepan di Indonesia.

Peresmian Toko Tukar Tambah pertama yang berlokasi di Dago, Bandung / Bali

Dalam membangun misi tersebut, perusahaan mencoba menjawab tantangan yang ada, di antaranya: membangun multiple touchpoints, menstandarkan pengalaman konsumen, mengintegrasikan keberadaan toko online dengan fisik, dan menciptakan pengalaman ritel yang lebih baik untuk pelanggan.

Perjalanan awal Blibli membangun omnichannel dimulai pada 2016 melalui peluncuran fitur Blibli Instore dan diikuti Click & Collect pada 2018, dengan menggandeng para mitra bisnis dalam menjawab kebutuhan immediate omnichannel presence, dan opsi pembayaran yang beragam dalam satu platform terintegrasi. Layanan Click & Collect semakin terintegrasi sejak diluncurkan Bliblimart sebagai toko offline pertama Blibli pada 2020, serta akuisisi Ranch Market pada 2021.

Inovasi terus berlanjut hingga tahun lalu dengan memperkuat kehadiran di toko fisik untuk flagship store. Inisiatif toko fisik ini dijalankan oleh anak usaha Blibli, Blibli Omnichannel Mobility Group (Blibli OMG). Terdapat monobrand store, seperti Samsung Experience Store dan Hello (monobrand store Blibli untuk Apple, khusus untuk partner tier-1 di Indonesia). Bila ditotal, saat ini perusahaan telah mengoperasikan lebih dari 100 flagship stores dan 70 gerai Ranch Market yang tersebar di seluruh Indonesia.

Selanjutnya, terdapat multibrand store, seperti Blibli Store dan toko Tukar Tambah yang jumlahnya lebih dari 27 ribu titik per September 2022. Lokasinya tersebar di tujuh kota, temasuk Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya.

David optimistis sinergi tiga layanan di bawah Blibli: e-commerce, OTA (Tiket.com), dan groceries (Ranch Market) menempatkan perusahaan tetap di posisi relevan dengan kebutuhan masyarakat masa kini.

“Melalui ekosistem Blibli Tiket, kami dapat memenuhi hingga 90% kebutuhan masyarakat Indonesia, mulai dari belanja kebutuhan harian hingga leisure. Kami memahani kesibukan para pelanggan, untuk itu pelanggan kian dimudahkan dengan pemesanan kebutuhan harian lewat aplikasi Blibli.”

Sociolla

Pendekatan yang mirip juga ditempuh Sociolla agar tetap relevan dengan konsumennya. Co-Founder dan President Social Bella (perusahaan pengelola Sociolla) Christopher Madiam menyampaikan, sejak awal meski Sociolla beroperasi sebagai platform e-commerce kecantikan, mereka paham betul bahwa pengalaman belanja offline akan selalu relevan bagi konsumen di segmen ini.

“Karena para pecinta kecantikan ingin dapat menyentuh dan mencoba produk secara langsung sebelum membeli produk. Memahami hal tersebut, pada 2019 kami memperkenalkan toko berkonsep omnichannel, yang memadukan pengalaman berbelanja online dan offline secara seamless dan terintegrasi bagi konsumen kami,” kata Chris.

Dari pengamatan perusahaan, saat ini konsumennya —yang mayoritas adalah perempuan— mengharapkan tempat belanja yang dapat memberikan pengalaman berbelanja yang seamless dari URL ke IRL (In Real Life), memiliki spesialisasi dalam hal produk yang dijual, dan menawarkan pengalaman berbelanja yang unik. Perusahaan menyebut tren ini sebagai Future Commerce 3.0 dan sudah dihadirkan melalui toko omnichannel-nya.

Menurutnya, konsep omnichannel harus menawarkan pengalaman online ke offline atau sebaliknya, seamless dan mudah bagi konsumen. Kunci utama untuk memberikan pengalaman kecantikan yang seamless dan holistik di omnichannel Sociolla terletak pada kemampuan dalam membangun kolaborasi yang solid, berjalan secara seamless dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk fungsi internal dan eksternal (brand, supplier, layanan pengiriman, dll).

“Kedua, being agile is a must. Kami selalu berusaha untuk beradaptasi dan berkembang agar dapat memenuhi perubahan permintaan yang konstan dari konsumen yang sangat digital.”

Gerai Sociolla / Sociolla

Chris tidak memungkiri perjuangan untuk mewujudkan omnichannel tidaklah mudah. Namun, ia optimistis berbekal pemahaman yang mendalam tentang perilaku dan kebutuhan pecinta kecantikan yang berkembang secara konstan, serta didukung dengan kapabilitas teknologi yang kuat, mampu mengisi kesenjangan antara kebutuhan konsumen dan solusi yang tersedia di pasar.

“Sejak pertama kali didirikan, Social Bella telah berinvestasi dengan kuat tidak hanya dalam peningkatan teknologi front-end tetapi juga pengoperasian back-end, dengan warehouse pusat yang dilengkapi dengan sistem teknologi end-to-end.”

Disebutkan, jangkauan toko offline Sociolla meningkat hingga 30 kali lipat dibandingkan sebelum pandemi dengan total 49 toko omnichannel di 29 kota di seluruh Indonesia. Di Vietnam sendiri, kini mencapai 13 toko sejak ekspansi perdana di 2020 lalu.

“Rencana kami berikutnya di tahun 2023 adalah terus memperluas jangkauan dan melayani konsumen untuk berbelanja dengan cara yang mereka sukai, baik itu secara online, offline, ataupun keduanya melalui aplikasi SOCO, situs Sociolla, serta gerai omnichannel.”

Beberapa fitur yang sudah dihadirkan untuk mendukung omnichannel di antaranya:

● Click and Collect: Belanja produk dari berbagai brand melalui aplikasi SOCO atau web Sociolla dan konsumen dapat memilih untuk mengambil barang langsung di gerai Sociolla sesuai pilihan.
● Shop and Deliver: Belanja berbagai brand dan produk di gerai Sociolla yang konsumen kunjungi saat ini, lalu hanya dengan memindai Kode QR dari aplikasi SOCO. Kemudian kirim barang ke rumah/tujuan sesuai keinginan konsumen.
● Store Page on SOCO App: Ketika mengunjungi gerai Sociolla mana pun, konsumen dapat mengetahui informasi tentang promosi atau hal baru yang ditawarkan pada hari itu dengan memindai Kode QR di stasiun check-in SOCO dan menggunakan voucher khusus yang tersedia untuk transaksi.

“Kami terus berinovasi dengan fitur-fitur baru di omni stores kami untuk memastikan bahwa konsumen akan mendapatkan pengalaman belanja kecantikan terbaik sesuai keinginan dan preferensi mereka,” pungkas Chris.

Social Bella Raih Pendanaan 927 Miliar Rupiah Dipimpin Temasek dan L Catterton

Startup beauty-tech Social Bella, pemilik brand dari Sociolla, mengumumkan perolehan investasi baru yang dipimpin oleh Temasek dan L Catterton. East Ventures, Jungle Ventures, dan investor lain yang berpartisipasi dalam putaran sebelumnya juga bergabung dalam putaran yang bernilai $60 juta ini (lebih dari 927 miliar Rupiah).

Seluruh investor yang berpartisipasi dalam putaran ini adalah investor lama Social Bella. L Catterton merupakan investor sebelumnya yang memimpin pendanaan Social Bella pada Mei 2021 senilai $57 juta. Sementara, Temasek berpartisipasi dalam putaran senilai $58 juta pada Juli 2020.

Penggalangan ini dinilai sukses terlepas dari kondisi ekonomi makro yang menantang. Social Bella berhasil membuktikan pertumbuhan berkelanjutan, dengan peningkatan margin dan ekspansi bisnis yang tumbuh hingga 20 kali lipat sejak 2020.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan pada hari ini (18/10), President dan Co-Founder Social Bella Christopher Madiam menyampaikan, strategi keberlanjutan telah menjadi prinsip inti Social Bella sejak pertama kali berdiri dan semua langkah berani perusahaan selalu diperhitungkan dengan baik.

“Inilah mengapa kami mampu menghasilkan pertumbuhan yang luar biasa meskipun ada pandemi dan mengumpulkan dana baru dari investor besar, memvalidasi model bisnis kami dan fundamental yang kuat. Meskipun kami tidak pernah takut untuk menjadi pengubah permainan industri, pengejaran tanpa henti kami untuk pertumbuhan berkelanjutan dalam jangka panjang yang mendefinisikan kami dan akan terus memandu jalan kami ke depan,” kata Christopher.

Sementara itu, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, investor lama Social Bella, mengungkapkan pujiannya terhadap rekam jejak Social Bella yang terbukti berhasil dalam bisnis berkelanjutan. Menurutnya, Social Bella selalu bersemangat membangun bisnis berkelanjutan yang mengutamakan pelanggan.

Misalnya, terkesan menyaksikan bagaimana perusahaan dapat mengubah tantangan pandemi menjadi peluang ekspansi sambil beradaptasi dengan cepat untuk melayani perubahan kebutuhan jutaan pelanggan dengan lebih baik selama pandemi COVID-19, dengan strategi luar biasa yang belum pernah terlihat sebelumnya di industri ini.

“Kami telah menyaksikan bagaimana tim Social Bella, dari mengelola perusahaan selama pandemi hingga pasca-pandemi, dengan terampil menyalip pemain lain dan melaju kencang saat hujan deras,” ucap Willson.

Christopher melanjutkan, Social Bella berambisi menyasar kategori SHEconomy di Asia Tenggara yang bernilai lebih dari $10 miliar. Pihaknya percaya diri memosisikan Social Bella sebagai pemimpin industri yang jelas di Indonesia lewat sejumlah pencapaian.

Di antaranya, platform Sociolla diklaim telah dikunjungi oleh jutaan pengunjung bulanan, didorong oleh kekuatan ekosistem, fokus konsumen, dan kemampuan teknologinya. Gerai omnichannel kini tersebar di 48 titik di 15 kota di Indonesia, bahkan sudah masuk ke Vietnam yang mencakup di 13 lokasi. Di negara tersebut, Social Bella memboyong produk lokal untuk ekspansi. Sejauh ini ada tiga brand, yakni Esqa, Avoskin, dan Carasun.

Selain itu, meluncurkan Lilla, unit bisnis yang berfokus pada pasar ibu dan bayi, mendapatkan daya tarik yang signifikan. Sama seperti Sociolla, Lilla juga mencapai tonggak sejarah terbaru melalui pembukaan toko fisik pertama di Indonesia yang berhasil mendapat respons positif dari pasar.

Selain Lilla, Social Bella telah bertransformasi dari awalnya platform e-commerce menjadi ekosistem terlengkap yang didukung dengan pilar bisnis lainnya. Yakni, aplikasi super SoCo, media kecantikan dan gaya hidup dengan layanan end-to-end O2O marketing Beauty Journal, dan Brand Development, sebuah layanan distributor produk kecantikan dan perawatan diri dari hulu ke hilir.

Application Information Will Show Up Here

Social Bella Bags Another Funding Worth 818 Billion Rupiah Led by L Catterton

Beauty-tech startup Social Bella today (05/5) announced the latest funding of IDR 818 billion or around $57 million led by L Catterton, an investment company based in the United States. Indies Capital with two previous investors, East Ventures and Jungle Ventures, are also participated in this round.

Previously, in the middle of last year, Social Bella has received funding worth $58 million from Temasek, Pavilion Capital and Jungle Ventures. Recently, the company is aggressively expanding its omnichannel channel by opening offline shops in various cities. Currently their B2C business “Sociolla” already has 21 stores in 9 cities in Indonesia and 1 shop in Ho Chi Minh, Vietnam.

“Amidst the challenges [of the pandemic], we are very proud to see the consistent efforts of the Social Bella team to bring the best omnichannel service to our customers [..] The cooperation and investment from L Catterton, Indies Capital, East Ventures, and Jungle Ventures will drive our maximum potential to be the leading technology-based innovations as well as the best products to our customers in Indonesia, Vietnam and other regions,” Social Bella’s Co-founder & President, Christopher Madiam.

With its technology, omnichannel stores are designed to be interactive and directly integrated to the Sociolla website and the SOCO application. In order to get information and reviews about the products, visitors can simply scan the barcode on the SOCO application. In other way, if the visitor already has a wishlist of products to buy in the shopping cart on Sociolla, they can immediately make a transaction in the payment section.

In fact, the business concept is still running amidst various restrictions due to the pandemic. Last October 2020, at a media gathering, Social Bella said that there was an increase throughout the year of nearly 50% in terms of shopping at Sociolla. There are more self-care products, because the average consumer is motivated to take advantage of their moments of activity at home to take care of themselves.

“The beauty and personal care industry penetration in Southeast Asia continues to grow rapidly with innovative ‘players’ such as Sociolla providing more choice, premium products and expanding both online and offline to its consumers [..] Innovations made by Sociolla is able to satisfy both consumers and brand principal equally,” L Catterton’s Principal & Investment Lead for Southeast Asia, Yock Siong Tee said.

Meanwhile, East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca added, “Sociolla has the elements that a beauty tech-company needs to have; integrated content, community, commerce, and retail. Moreover, looking at the results of our market research as well, we’re very excited to continue working with Social Bella.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Social Bella Kembali Bukukan Pendanaan Senilai 818 Miliar Rupiah, Dipimpin L Catterton

Startup beauty-tech Social Bella hari ini (05/5) mengumumkan perolehan pendanaan terbaru senilai 818 miliar Rupiah atau sekitar $57 juta dipimpin L Catterton, sebuah perusahaan investasi berbasis di Amerika Serikat. Indies Capital bersama dua investor sebelumnya, yakni East Ventures dan Jungle Ventures, turut terlibat dalam pendanaan ini.

Sebelumnya pada pertengahan tahun lalu Social Bella juga baru mendapatkan pendanaan senilai $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Akhir-akhir ini perusahaan sedang agresif memperluas kanal omnichannel dengan membuka toko-toko offline di berbagai kota. Saat ini bisnis B2C mereka “Sociolla” sudah memiliki 21 toko di 9 kota di Indonesia dan 1 toko di Ho Chi Minh, Vietnam.

“Di tengah semua tantangan [pandemi], kami sangat bangga melihat upaya konsisten tim Social Bella untuk menghadirkan layanan omnichannel terbaik untuk pelanggan kami [..] Kerja sama dan investasi dari L Catterton, Indies Capital, East Ventures, dan Jungle Ventures akan mendorong kapabilitas kami dalam menghadirkan inovasi berbasis teknologi terdepan serta produk-produk terbaik bagi pelanggan kami di Indonesia, Vietnam, dan wilayah-wilayah lainnya,” Co-founder & Presiden Social Bella Christopher Madiam.

Memanfaatkan teknologi, gerai omnichannel yang disuguhkan ke pelanggan didesain interaktif dan terhubung langsung ke situs Sociolla dan aplikasi SOCO. Untuk mendapatkan informasi dan ulasan seputar produk yang akan dibeli, pengujung cukup scan barcode di aplikasi SOCO. Atau jika pengunjung sudah memiliki daftar produk yang ingin dibeli di keranjang belanja di situs Sociolla dapat langsung melakukan transaksi di bagian pembayaran.

Konsep bisnis tersebut nyatanya juga tetap jalan di tengah berbagai pembatasan akibat pandemi. Oktober 2020 lalu, dalam acara temu media, pihak Social Bella mengatakan bahwa sepanjang tahun ada peningkatan hampir 50% ukuran belanja di Sociolla. Tercatat produk perawatan diri lebih, karena rata-rata konsumen termotivasi untuk memanfaatkan momen beraktivitas di rumah untuk merawat diri.

“Penetrasi industri kecantikan dan perawatan diri di Asia Tenggara terus berkembang pesat dengan ‘pemain’ yang inovatif seperti Sociolla yang menyediakan lebih banyak pilihan, produk-produk premium dan meningkatkan jangkauannya baik secara online maupun offline terhadap konsumennya [..] Inovasi-inovasi yang dilakukan oleh Sociolla mampu memuaskan baik konsumen serta brand principal secara seimbang,” sambut jelas Yock Siong Tee selaku Principal & Investment Lead for Southeast Asia L Catterton.

Sementara itu Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, “Sociolla memiliki faktor-faktor yang perlu dimiliki oleh sebuah beauty tech-company; konten, komunitas, commerce, ritel yang terintegrasi. Selain itu, melihat hasil dari riset pasar kami juga sangat bersemangat untuk melanjutkan kerja sama bersama Social Bella.”

Application Information Will Show Up Here

Capaian Positif Saat Pandemi Dorong Social Bella Ekspansi ke Vietnam

Pandemi bukan hanya memberikan dampak kepada pertumbuhan bisnis Social Bella, namun juga telah menciptakan behaviour baru di kalangan masyarakat, khususnya beauty enthusiast di Indonesia. Kepada DailySocial Co-Founder & President Social Bella Christopher Madiam menyebutkan, industri kecantikan dan skincare menjadi salah satu yang memiliki ketahanan cukup baik selama pandemi beberapa bulan terakhir.

“Kami juga melihat adanya pergeseran pola perilaku konsumen dari offline ke online yang cukup signifikan. Hal tersebut terlihat dari adanya peningkatan tren berbelanja kebutuhan produk kecantikan dan perawatan diri secara online,” kata Christopher.

Tercatat produk perawatan diri lebih mendominasi saat ini, karena rata-rata konsumen termotivasi untuk memanfaatkan momen beraktivitas di rumah untuk merawat diri. Disinggung tentang berapa besar market share dari Sociolla saat ini, Christopher enggan untuk menyebutkan lebih jauh.

Namun secara garis besar selama periode pandemi mulai awal Maret sampai dengan September, terdapat sejumlah peningkatan organic traffic secara signifikan terhadap platform selama masa pandemi dan adaptasi baru. Selain itu, terdapat juga peningkatan hampir 50% dalam ukuran keranjang belanja untuk Sociolla selama periode Covid-19 dibandingkan dengan sebelumnya.

“Dengan ekosistem Social Bella yang terintegrasi, didukung oleh teknologi serta pemahaman yang mendalam tentang konsumen di Indonesia, kami mampu melayani konsumen dengan relevan dan tetap kompetitif,” kata Christopher.

Sejak didirikan pada tahun 2015, Sociolla kini memiliki ribuan pilihan produk seperti make-up, skincare, hair care, wewangian, dan alat kecantikan dari ratusan brand terkemuka yang melayani para beauty enthusiast di seluruh Indonesia. Selain platform e-commerce, Sociolla juga memiliki 8 toko offline dengan konsep OmniChannel dan memiliki beberapa unit bisnis yang diperkirakan akan melayani kebutuhan sekitar 30 juta pengguna pada 2020.

“Secara keseluruhan, kami melihat industri kecantikan tetap menyimpan potensi yang menjanjikan. Lewat dukungan teknologi, kami berharap industri ini dapat terus bertumbuh dengan lebih baik,” kata Christopher.

Berkembangnya konsep bisnis direct-to-consumer melalui kanal digital sebenarnya juga membuka kesempatan bagi produsen produk kecantikan untuk bermanuver lebih. Di Indonesia, tren tersebut mulai terlihat, banyak brand produk perawatan “indie” bermunculan, beberapa di antaranya  BaseCallista, dan Neuffa.

Ekspansi ke Vietnam

Konsisten dengan rencana perusahaan usai mengantongi pendanaan senilai $58 juta (lebih dari 841 miliar Rupiah) pada bulan Juli lalu, perusahaan mengumumkan ekspansinya ke Vietnam. Ekspansi ke Vietnam ditandai dengan hadirnya platform e-commerce kecantikan dan perawatan pribadi Sociolla di negara tersebut.

Fokus perusahaan ke depannya adalah, berupaya untuk memperkenalkan Sociolla kepada masyarakat Vietnam dan bagaimana mengembangkan bisnis dengan menyediakan produk-produk kecantikan dan perawatan diri berkualitas dan terstandardisasi.

“Kami sangat senang dapat memperluas kehadiran Social Bella di luar Indonesia. Sebagai salah satu pasar kecantikan dan perawatan diri dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara ditambah populasi masyarakat muda yang melek digital, Vietnam memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia. Oleh karena itu, kami yakin Vietnam adalah negara yang tepat untuk rencana ekspansi internasional pertama kami,” kata Christopher.

Ekspansi ini diklaim telah dipersiapkan dengan matang, termasuk dalam pemahaman perilaku konsumen lokal di Vietnam. Dari hasil analisa internal terhadap pasar-pasar potensial untuk bidang kecantikan dan perawatan diri, Vietnam adalah salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat untuk kecantikan dan perawatan pribadi di Asia Tenggara.

“Setelah ekspansi yang dilakukan ke Vietnam di tahun ini, kami fokus untuk meningkatkan kemampuan teknologi kami untuk lebih memahami pelanggan kami, dan terus berinovasi untuk memberikan yang terbaik bagi para pelanggan dan konsumen kami,” kata Christopher.

Application Information Will Show Up Here

Sociolla Receives 567 Billion Rupiah Series D Funding Led by EV Growth and Temasek

Social Bella (Sociolla brand) announced series D funding worth of $40 million (over 567 billion Rupiah) led by EV Growth and Temasek. Newcomers in this round are EDBI, Pavilion Capital, and Jungle Ventures.

Funding is to fully focused on recruiting new talents and developing technology, particularly in So.Co.  The offline store‘s expansion will continue although the company confirmed no plans to enter the global market.

“Funding was closed last week. There are four new investors and the single investor, EV Growth, was there from the seed and now the co-lead in the series D,” Social Bella’s Co-Founder and CEO, John Rasyid said on Monday (9/2).

Social Bella’s Co-Founder and President, Christopher Madiam added, “Through the strategic partnership with our investors, we are to build a growing beauty-tech ecosystem.”

Last Year, the company announced series C funding worth of $12 million (around 169 billion Rupiah) led by EV Growth, Japan-based beauty platform,, Istyle Inc., and UOB Ventures.

Focus on So.Co development

Social Bella owns three business units,  Sociolla (e-commerce), So.Co and Beauty Journal (media), and brand development. Sociolla is the earliest one and the biggest contributor in Social Bella. Nevertheless, they didn’t mention an exact number.

“The whole business runs in parallel, we didn’t put a single fighter. Despite all units, the e-commerce has been established for four years and become our biggest contributor,” he added.

“Therefore, GMV is not our company’s achievement matrix since e-commerce is not our only business line, but we also provide media. It involves different matrix, GMV alone will not make our business unique,” Madiam said.

So.Co becomes the database bank for customers and now the company focused on its development. So.Co stores various kinds of customer’s data, from the profile, transactions, and others to be utilized for a better experience.

The concept might be different because it combines Sociolla and Beauty Journal. It’s not only for consumers who want to shop online at Sociolla but also those interested in reviews and other activities.

Madiam said there will be an additional feature soon to improve customer experience on So.Co. Users will not be limited to end-user, but also brands.

Customers can log in via So.Co before visiting Sociolla offline to help them decide what products to buy based on their skin condition. It’s for their efficiency when shopping at an offline store.

In order to create an ecosystem, the company builds all technologies, including POS machine integrated with So.Co at the offline stores.

“Our warehouse has integrated with technology in order to create an integrated ecosystem.”

He also guaranteed the data collected will not be used for monetization. It will be managed accordingly to improve user experience, therefore, the company will keep all the private data secure.

Based on the monthly unique visitor, John said there are 5 to 7 million and 1,2 million of them are all registered customers. In accumulation, there are 20.2 million visitors joined Social Bella platform since 2018, via Sociolla, So.Co. or Beauty Journal.

Despite all strategies, they expect to increase unique visitors to 100 million by 2021.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Sociolla Peroleh Pendanaan Seri D 567 Miliar Rupiah Dipimpin EV Growth dan Temasek

Social Bella (pemilik brand Sociolla) mengumumkan perolehan pendanaan Seri D sebesar $40 juta (lebih dari 567 miliar Rupiah) yang dipimpin EV Growth dan Temasek. Jajaran investor baru yang masuk dalam putaran ini adalah EDBI, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures.

Pendanaan ini sepenuhnya akan diarahkan untuk merekrut lebih banyak talenta baru dan mengembangkan teknologi khususnya di So.Co. Penambahan lokasi gerai offline Sociolla juga akan terus dilakukan ke depannya, meski perusahaan menegaskan belum ada rencana untuk ekspansi ke luar negeri.

Funding ini baru close minggu lalu. Ada empat investor baru yang masuk dan satu investor EV Growth sudah ikut dari funding tahap awal dan menjadi co-lead investor untuk Seri D ini,” terang Co-Founder dan CEO Social Bella John Rasyid, Senin (2/9).

Co-Founder dan Presiden Social Bella Christopher Madiam menambahkan, “Melalui kerja sama strategis yang kami miliki dengan para investor, kami dapat terus membangun ekosistem beauty-tech yang terus berkembang pesat.”

Tahun lalu, perusahaan mengumumkan pendanan Seri C sebesar $12 juta (sekitar 169 miliar Rupiah) yang dipimpin EV Growth, platform kecantikan Jepang Istyle Inc., dan UOB Ventures.

Fokus kembangkan So.Co

Social Bella memiliki tiga unit bisnis, yakni di bidang commerce (Sociolla), media (So.Co dan Beauty Journal), dan brand development. Sociolla itu sendiri adalah bisnis unit tertua karena sudaha ada sejak perusahaan berdiri, sekaligus kontributor terbesar di Social Bella. Kendati, angka detailnya tidak disebutkan secara detail.

“Seluruh bisnis berjalan secara parelel, tidak ada yang kami unggulkan. Tapi memang bisnis commerce itu sudah berjalan sejak empat tahun, itu yang menjadi kontributor utama kami,” ucap Christopher.

“Oleh karenanya, GMV itu bukan jadi metriks pencapaian perusahaan karena kami bukan hanya punya e-commerce saja, tapi juga ada medianya. Yang mana untuk metriks di media itu berbeda, bukan GMV. Ini yang menjadikan bisnis kami menjadi unik,” tambahnya.

So.Co menjadi bank database konsumen yang kini menjadi salah satu fokus perusahaan untuk di kembangkan. So.Co menyimpan berbagai data konsumen, baik dari profil mereka, transaksi, dan lainnya yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memberikan pengalaman lebih baik.

Konsep aplikasi So.Co makanya cukup berbeda karena gabungan dari Sociolla dan Beauty Journal. Sehingga tidak hanya diperuntukkan buat konsumen yang ingin beli barang online di Sociolla saja, tapi juga buat orang-orang yang ingin membaca ulasan, dan kegiatan lainnya.

Christopher memastikan ke depannya akan ada tambahan fitur yang bisa meningkatkan pengalaman konsumen jadi lebih baik di dalam So.Co. Pengguna So.Co tidak hanya end user saja tapi juga brand.

So.Co juga hadir sebagai alat login konsumen sebelum masuk ke gerai offline Sociolla untuk bantu mereka menentukan produk mana yang mereka butuhkan sesuai kondisi kulit masing-masing. Harapannya ketika masuk toko, konsumen tidak lagi harus meraba-raba, produk apa yang cocok untuk mereka.

Karena ingin menjadi sebuah ekosistem, makanya semua teknologi dibangun sendiri oleh perusahaan, termasuk untuk mesin POS di dalam gerai karena sudah terintegrasi dengan So.Co.

“Bahkan gudang kami sudah terintegrasi dengan teknologi karena kami ingin semuanya menjadi satu ekosistem yang saling terhubung.”

Christopher memastikan seluruh data yang dikumpulkan So.Co, tidak akan dimanfaatkan perusahaan untuk dimonetisasi demi menarik penjualan. Justru dimanfaatkan untuk diolah kembali agar ada peningkatan dari sisi user experience, sehingga pihaknya menjamin privasi konsumen akan tetap terjaga.

Bila melihat dari monthly unique visitor, John menyebut ada sekitar 5 juta-7 juta kunjungan dan pengguna teregistrasinya sekitar 1,2 juta orang. Secara kumulatif ada lebih dari 20,2 juta pengunjung yang telah bergabung dengan platform Social Bella sejak 2018, baik melalui situs Sociolla, So.Co, maupun Beauty Journal.

Dari seluruh strategi di atas, diharapkan dapat mendongkrak jumlah unique visitors menjadi 100 juta pengguna pada 2021 mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Sociolla Buka Gerai Offline Berkonsep “Omni-Channel”

Platform produk kecantikan Sociolla mengumumkan gerai offline flagship pertama berteknologi omni channel di Lippo Mall Puri, Jakarta. Di dalam toko seluas 425 meter persegi ini, dibekali berbagai tampilan interaktif yang terhubung langsung ke situs Sociolla dan platform Soco.

Co-Founder & CMO Social Bella (nama PT dari brand Sociolla) Chrisanti Indiana menjelaskan, inovasi ini memungkinkan konsumen untuk mendapatkan produk yang tepat sambil menikmati pengalaman belanja baru. Pasalnya, mereka akan mendapat gambaran produk sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kulit dari layar smartphone-nya

“Sebelum masuk ke toko, mereka perlu sign in akun Soco-nya dengan scan barcode di layar Sociolla Store. Di situ akan terhubung dengan rekomendasi produk yang sesuai dengan kebutuhan. Jadi mereka tidak bingung ketika masuk ke toko harus apa,” terang Chrisanti, Selasa (13/8).

Soco adalah platform online ulasan konsumen untuk produk kecantikan dan perawatan pribadi yang sudah dirilis sejak tahun lalu. Diklaim telah diisi oleh lebih dari 1,2 juta ulasan produk. Sayang, Chrisanti enggan menyebut total pengguna Soco saat ini.

Sociolla juga menyiapkan berbagai aktivitas offline yang bisa dilakukan konsumen. Seperti beauty bar (selayaknya di salon kecantikan) dan skin shelf (rak kosmetik yang disertai wastafel).

Setiap susunan rak produk di dalam gerai telah disesuaikan berdasarkan tren yang berkembang di Sociolla. Makanya, secara berkala akan susunan produk akan berubah.

Selain gerai flagship ini, sebenarnya Sociolla juga punya gerai offline lain namun berukuran lebih kecil berlokasi di Kota Kasablanka, Jakarta. Pihaknya tidak menutup kemungkinan ekspansi gerai ke lokasi lainnya, namun masih mempertimbangkan lokasinya dan persebaran konsumen.

Masuknya Sociolla ke lini offline ini, merupakan jawaban perusahaan untuk menggarap potensi belanja kosmetik di Indonesia. Menurut Statista, prediksi tingkat belanja produk kecantikan dan perawatan di Indonesia baru mencapai $24 per kapita di 2018.

Angka ini masih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Singapura ($178), Malaysia ($75), Filipina ($50). Negara lebih maju seperti Inggris ($229) sudah jauh lebih tinggi, Amerika Serikat ($247), Jepang ($287).

Adapun potensi dari industri kecantikan di Indonesia pada 2025 mendatang naik 15% menjadi $8 miliar dengan kontribusi dari platform e-commerce diprediksi mencapai $1,2 miliar. Kenaikan ini cukup drastis bila dibandingkan pada 2018 sebesar $5,2 miliar dan 2011 sebesar $2,3 miliar.

Perkenalan lini bisnis lain

Nama brand Sociolla memang sudah cukup tenar di kalangan konsumen sejak situs ini dirilis pada 2015. Padahal, sebenarnya Social Bella punya dua unit bisnis lainnya yang semuanya membangun ekosistem produk kecantikan secara keseluruhan.

Mereka adalah Beauty Journal yang berawal dari media online kecantikan dan gaya hidup yang sekarang menjadi agen pemasaran O2O dari hulu ke hilir. Telah bermitra dengan perusahaan kecantikan terkemuka di Indonesia.

Dan, Brand Development merupakan unit bisnis perusahaan yang menawarkan layanan distribusi end-to-end untuk merek kecantikan dan perawatan diri yang dipercaya berbagai manufaktur internasional terkemuka.

Ketiga lini bisnis ini membangun ekosistem kecantikan yang saling terintegrasi dan disusun berdasarkan cycle konsumen saat mengunjungi Sociolla. Perusahaan juga berupaya membangun ekosistem yang lebih sehat dengan memberikan produk asli dan aman sesuai BPOM.

“Kita selalu mulai dari apa yang dibutuhkan konsumen. Makanya di awal kami mulai dengan e-commerce, lalu masuk ke Beauty Journal. Berikutnya kami lihat konsumen itu senang berbagai ulasan dari produk yang dibeli, makanya kami buat Soco. Terakhir kami buat unit bisnis baru Brand Development untuk bantu brand luar yang mau masuk ke sini, kami jadi distributor eksklusifnya,” terang Co-Founder & President of Social Bella Christopher Madiam.

Terkait unit Brand Development, saat ini perusahaan jalin kerja sama eksklusif dengan 12 brand luar negeri. Adapun secara total ada 200 brand tersedia di Sociolla.

Perusahaan memiliki dua gudang yang menampung seluruh produk dan memasarkannya ke berbagai platform online dan offline tergantung strategi brand tersebut. Sebelum brand masuk ke Indonesia, perusahaan mengatur seluruh persyaratan dan memastikan keamanannya lewat BPOM demi memastikan jaminannya buat konsumen.

Sayangnya, Co-Founder & CEO Social Bella John Rasjid enggan membeberkan pencapaian perusahaan. Dia hanya menyebut pada kuartal pertama 2019 tumbuh lebih dari tujuh kali lipat dibandingkan kuartal yang sama sebelumnya.

Application Information Will Show Up Here