Waste4Change Dapat Pendanaan Tambahan dari Rumah Group Setelah Memenangkan CIIC 2023

East Ventures dan Temasek Foundation baru saja mengumumkan juara dari pagelaran Climate Impact Innovations Challenge (CIIC) 2023. Seperti diketahui sebelumnya, ini merupakan program kompetisi yang ditujukan untuk startup dengan solusi teknologi iklim di Indonesia. Pengumuman ini disampaikan dalam sideline event ASEAN Business and Investment Summit 2023 yang berlangsung 2 September 2023 di Ritz-Carlton Jakarta.

Kompetisi ini mengambil 4 pemenang dengan trek yang berbeda. Berikut daftar pemenangnya: AferOil dari trek Energi Terbarukan; Qarbotech dari trek Pangan & Pertanian; BANIQL dari trek Mobilitas; dan Waste4Change dari trek Kelautan. Para pemenang mendapatkan total hadiah Rp10 miliar.

Waste4Change juga turut mendapatkan investasi senilai $70 ribu atau Rp1 miliar dari Rumah Group. Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) juga berkomitmen untuk memberikan investasi dengan nilai yang sama kepada salah satu finalis CIIC 2023. Namun demikian sampai saat ini masih di tahapan internal review — akan diumumkan segera.

Sejak diluncurkan pada awal Maret 2023 lalu, CIIC berhasil menerima 330 pendaftar. Lalu terpilih 12 finalis untuk maju ke babak final mewakili 4 trek yang dilombakan.

“Di tengah tantangan yang dihadapi dunia, CIIC 2023 menjadi sebuah harapan yang menampilkan aksi nyata dalam mendorong perkembangan solusi iklim yang positif menuju masa depan yang berkelanjutan […] Menjelang akhir dari program ini, kami yakin masih banyak yang dapat kami lakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kami tetap berkomitmen untuk terus mendukung inovator iklim di Indonesia dan kawasan,” kata Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Sementara itu Head Programmes Temasek Foundation Lim Hock Chuan mengatakan, “Keempat pemenang masing-masing menawarkan cara yang menjanjikan untuk mengatasi masalah iklim yang mendesak dengan potensi untuk berdampak luas jika ditingkatkan. Kami antusias dengan prospek keberlanjutan baterai mobilitas ramah lingkungan melalui penggunaan bijih limbah nikel; energi terbarukan melalui produksi gas sintetis dari limbah biomassa; meningkatkan hasil panen dan nutrisi melalui peningkatan fotosintesis dengan larutan semprot; dan model bisnis sirkular dalam mendaur ulang sampah plastik.”

East Ventures –sebagai inisiator CICC 2023—beberapa tahun terakhir memang santer menyerukan tentang investasi berdampak. Keseriusan mereka turut dibarengi dengan dibentuknya tim impact investment di dalam firmanya. Sejumlah startup yang fokus ke energi hijau dan perubahan iklim juga telah mendapatkan investasi seperti Xurya, Waste4Change, Rekosistem, Aria, Kabina, dan beberapa lainnya.

Mereka juga telah mengembangkan Kerangka Kerja Investasi Berkelanjutan (Sustainable Investment Network) untuk mengukur, melacak, dan meningkatkan dampak portofolionya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.

Laporan investasi berdampak East Ventures / East Ventures

OJK Terbitkan Aturan Bursa Karbon

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan peraturan mengenai Bursa Karbon menyusul instruksi pemerintah dalam mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), dan sejalan dengan Perjanjian Paris terkait perubahan iklim.

Disampaikan dalam keterangan resminya, Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 memuat Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang akan menjadi pedoman dan acuan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang dilaksanakan oleh penyelenggara pasar.

POJK Bursa Karbon diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) untuk mengatur perdagangan karbon melalui bursa karbon. Penyusunan POJK Bursa Karbon telah melalui proses konsultasi dengan Komisi XI DPR.

Berikut sejumlah substansi yang dimuat dalam POJK Bursa Karbon:

  1. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp100 miliar. Modal ini dilarang berasal dari pinjaman.
  2. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki izin usaha dari OJK.
  3. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki persetujuan dari OJK untuk melakukan kegiatan lain dan mengembangkan produk Unit Karbon.
  4. Unit karbon yang dapat diperdagangkan di Bursa Karbon adalah Efek dan wajib terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan Penyelenggara Bursa Karbon.
  5. OJK akan melakukan pengawasan di Bursa Karbon, seperti pengawasan (1) Penyelenggara Bursa Karbon
, (2) Infrastruktur pasar pendukung Perdagangan Karbon
, (3) Pengguna Jasa Bursa Karbon
, (4) Transaksi dan penyelesaian transaksi Unit Karbon
, hingga (5) Pihak, produk, dan/atau kegiatan yang berkaitan dengan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.

Bursa Karbon

Bursa Karbon adalah mekanisme pasar yang mengatur perdagangan dengan mempertemukan penjual jasa penyerapan emisi dan pembeli yang memproduksi gas rumah kaca. Bursa Karbon dibentuk untuk mencapai target pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi GRK dengan ketetapan nasional (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri atau hingga 41% dengan dukungan internasional pada 2030.

Mengutip informasi ICDX yang diwartakan Koran Tempo, perdagangan karbon terdiri dari dua model, yakni perdagangan karbon secara sukarela dan wajib. Model pertama mencakup penerbitan, pembelian, dan penjualan kredit karbon secara sukarela.

Sementara, model perdagangan wajib akan dilaksanakan sesuai mekanisme cap and trade yang ditetapkan suatu negara, yaitu menentukan kuota emisi karbon perusahaan suatu perusahaan berdasarkan kriteria yang ada dan dalam periode tertentu. Per Februari 2023, terdapat 42 perusahaan yang boleh melakukan perdagangan emisi karbon.

Inovasi di bidang karbon

Kebutuhan terhadap solusi di bidang teknologi hijau (cleantech), khususnya dekarbonisasi, mulai berkembang di Indonesia. Kemunculan pengembang inovasi di bidang karbon, diharapkan dapat membantu perusahaan/industri yang selama ini memproduksi emisi gas rumah kaca terbesar.

Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial.id, ada berbagai macam model bisnis yang ditawarkan oleh pengembang inovasi karbon di Indonesia, misalnya perhitungan karbon, penyerapan karbon, atau pengumpulan data jejak karbon.

Sektor berdampak, terutama di sektor lingkungan, umumnya sulit beroperasi karena terkendala modal. Namun, sejumlah startup hijau di Indonesia berhasil memperoleh pendanaan, baik lewat pemodal ventura maupun lewat program akselerator.

Beberapa di antaranya adalah Fairatmos yang mendapat pendanaan awal Rp69 miliar dipimpin Go-Ventures (sekarang bernama Argor Capital) dan Kreasi Terbarukan TBS, serta Gree Energy yang mengantongi pendanaan pra-seri A Rp49,9 miliar dipimpin Earthcare Group.

Selain itu, upaya mencapai target pengurangan emisi karbon juga mendorong minat sejumlah firma investasi, organisasi nirlaba, dan venture builder untuk memberikan akses permodalan yang fokus terhadap solusi berdampak. Beberapa di antaranya adalah East Ventures, AC Ventures, New Energy Nexus Indonesia, dan Ecoxyztem.

Gambaran Umum Ekosistem Startup Cleantech di Indonesia

New Energy Nexus Indonesia mengulas perkembangan ekosistem teknologi bersih (cleantech) di tanah air melalui laporan terbarunya berjudul “Clean energy technology startups in Indonesia: How the government can help the ecosystem”.

Laporan ini menggali sejumlah tantangan yang dihadapi oleh pelaku startup terkait pengembangan teknologi bersih, operasional, hingga sumber pendanaan berdasarkan hasil survei terhadap 50 startup cleantech di Indonesia. Perlu dicatat, dari 50 responden yang disurvei, hanya 42 startup yang masih hidup, sisanya tidak lagi beroperasi hingga laporan ini dirilis. Selain itu, kebanyakan responden menduduki posisi C-level (84%) dan beroperasi di wilayah Jawa.

Saat ini, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya tengah mendorong upaya transisi energi untuk mencapai target tersebut. Namun, transisinya kurang berjalan cepat di mana bauran energi terbarukan (EBT) secara nasional baru mencapai 12,3% dari target 23% di 2025.

Maka itu, pengembang teknologi bersih dikatakan dapat membantu mengakselerasi tercapainya target net-zero emission (NZE) yang ditetapkan pemerintah Indonesia pada 2060. Selain itu, kemunculan startup cleantech juga dapat membuka potensi ekonomi. Sebagai ilustrasi, sektor teknologi hijau di AS tercatat telah menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di 2021.

Ekosistem cleantech

Di Indonesia, kebangkitan startup hijau ini mulai terlihat dengan pertumbuhan investasi sebagai salah satu indikatornya. Berdasarkan data yang dihimpun, laporan ini menyebutkan terdapat 300 startup cleantech di tanah air, termasuk Xurya dan Swap Energi yang telah mencapai tahap pendanaan seri A.

New Energy Nexus Indonesia sebagai program akselerator untuk startup di segmen ini, telah mendukung 85 startup (termasuk non-cleantech) sejak 2019.

Menurut hasil survei, 52% dari total responden berbasis di kota tier 1. Namun, survei menunjukkan bahwa startup cleantech berada di luar kota tier 1 dengan tingkat pertumbuhan 48% pada periode 2017-2022, mengindikasikan pelaku usaha di bidang ini mulai tumbuh.

Sementara, 42 startup cleantech yang masih beroperasi relatif memiliki runway yang pendek. Sebanyak 22 di antaranya hanya mampu bertahan operasi selama 1-6 bulan sebelum kehabisan modal, sedangkan 11 startup mengklaim punya runway lebih dari 1 tahun. Temuan ini menjadi isu penting mengingat startup idealnya harus punya runway minimum 18 bulan.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Kemudian, 64% responden yang masih beroperasi mengaku berada di fase ideation/prototyping atau pilot (testing kepada mitra/pengguna). Sementara, responden yang berhenti beroperasi kebanyakan gagal di tahap awal.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

“Sebagian besar responden menyebut bahwa sumber pendanaan mereka kebanyakan berasal dari kantong pribadi founder-nya. Temuan ini konsisten dengan hasil interview pelaku startup cleantech yang mengaku mengalami kendala dalam mencari pendanaan eksternal dan akhirnya beralih ke bootstrapping. Mereka juga bergantung pada dana hibah dan inkubator untuk mendukung operasionalnya,” demikian tulis laporan ini.

Investasi dan dukungan regulasi

Pemodal ventura (VC) cenderung berinvestasi di fintech, tetapi sektor lain— SaaS, F&B, dan transportasi—juga memperoleh investasi yang signifikan. Dari hasil interview dengan Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), regulasi menjadi faktor utama penghambat investasi di cleantech.

AMVESINDO mengatakan bahwa kebijakan atau kerangka regulasi yang ada saat ini kurang mendukung adopsi EBT, teknologi untuk efisiensi energi, hingga kendaraan listrik. Alhasil, investor pun kurang tertarik berinvestasi karena minat pasar terhadap produk/solusi cleantech di Indonesia masih relatif rendah.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Beberapa contoh investasi VC dalam negeri di sektor ini adalah East Ventures dan Saratoga ke pengembang panel surya Xurya. Di samping itu, Kejora Capital juga menyuntik pendanaan ke Swap Energi, pengembang baterai tukar (swap battery) untuk kendaraan listrik.

“Tak cuma soal minat pasar, investor juga melihat ekosistem startup cleantech tak banyak memiliki founder dan tim yang cakap sehingga ini menahan mereka untuk berinvestasi di sektor ini.”

Ditanya tentang insentif pemerintah terhadap startup cleantech, responden lebih menyoroti kebutuhan pendanaan. Sementara, bagi inkubator, akselerator, dan venture builder, insentif seperti kerangka regulasi yang mendukung cleantech, akses pendanaan untuk R&D, kemudahan memperoleh izin usaha dan sertifikasi, akan memberikan dorongan motivasi lebih.

Demikian juga insentif pengurangan pajak bagi perusahaan yang mendukung adopsi energi bersih, akses ke pasar, hingga peluang pengadaan publik untuk produk dan layanan buatan startup cleantech.

Kendati begitu, laporan ini menemukan sebagian besar startup cleantech yang disurvei justru belum memanfaatkan insentif yang diberikan pemerintah. Hal ini dikarenakan kurangnya awareness dan gaung informasi terkait insentif kepada pelaku startup, serta kompleksnya proses pengajuan dan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi.

Temuan dari survei ini mengindikasikan kurangnya engagement antara pelaku startup cleantech dan pemerintah. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terbatasanya pengetahuan dan pemahaman pemerintah tentang ekosistem startup cleantech.

Rekomendasi

Dalam rangkuman akhir, laporan ini memaparkan beberapa rekomendasi untuk mengatasi berbagai tantangan di sektor cleantech. DailySocial.id merangkum sebagian di antaranya:

Kendala pendanaan

  • Pendanaan dalam bentuk dana hibah sering kali harus melalui acara seremonial dan tidak mendukung upaya startup meningkatkan skala bisnisnya.
  • VC milik negara belum memiliki opsi investasi ekuitas untuk startup cleantech.
  • Energy fund yang baru dibentuk tidak memiliki komitmen dan implementasi pendanaan yang jelas.
  • Startup cleantech sulit berinovasi karena terbatasnya akses ke dana R&D pemerintah.
  • Rendahnya kolaborasi antara startup cleantech dan universitas untuk R&D.

Rekomendasi

  • Program hibah disesuaikan dengan tahapan pengembangan startup, dan memastikan dana hibah ini berkontribusi pada pertumbuhan startup dengan menekankan pada publikasi intensif.
  • Mengkatalisasi investasi dari pihak swasta ke startup cleantech lewat dana pemerintah dan VC milik negara.
  • Menjembatani fasilitas pinjaman bank lewat skema venture debut atau pinjaman lunak untuk startup cleantech tahap lanjutan (later stage)
  • Pemerintah daerah perlu memberikan dukungan finansial kepada startup cleantech.

Kendala kebijakan

  • Kualitas regulasi rendah dan penegakan hukum di sektor energi masih lemah
  • Persyaratan modal minimum terbilangtinggi untuk mendirikan VC dengan struktur dana ventura yang tidak fleksibel.

Rekomendasi

  • Memperkuat kebijakan energi dan penegakannya untuk mendukung permintaan terhadap solusi cleantech.
  • Mengurangi persyaratan modal minimum, misalnya mengadopsi model corporate venture capital (CVC) yang memungkinkan struktur investasi lebih fleksibel.

Rekosistem Hadirkan Solusi Pengelolaan Sampah untuk Bisnis dan Rumah Tangga

Sampah adalah produk dari hasil konsumsi, sehingga tidak bisa dieliminasi dari proses kehidupan masyarakat, akan bertumbuh sesuai dengan kemampuan daya beli dan jumlah populasi. Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, pengelolaan sampah di negara ini dinilai masih jauh dari kata ‘optimal’.

Rekosistem didirikan pada tahun 2018 oleh Ernest Layman dan Joshua Valentino atas dasar kekhawatiran akan masalah pengelolaan sampah di Indonesia. Berawal dari usaha kecil berbentuk UMKM bernama “Kahiji (Khazanah Hijau Indonesia)”, layanan ini berkembang menjadi startup teknologi pengelolaan sampah yang inovatif.

Sesuai dengan namanya, Rekosistem diambil dari dua kata yaitu re-, mengacu pada aktivitas yang mendukung keberlanjutan (sustainability) seperti reuse, reduce, recycle, renewable, serta segala prinsip keberlanjutan lainnya yang diimplementasikan pada produk mereka. Lalu ekosistem, sebagai tujuan dari solusi untuk mendorong perubahan pola hidup menjadi ramah lingkungan dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik.

Produk utama yang ditawarkan Rekosistem meliputi Jemput Sampah (Repickup Service) dan Setor Sampah ke Waste Station (Redrop Service). Repickup Service mencakup layanan pengambilan dan penjemputan sampah untuk rumah tangga atau perumahan, bisnis, perkantoran, sekolah, sarana umum, sarana olahraga, dan tempat komersial.

Sedangkan Setor Sampah ke Waste Station adalah inovasi yang diluncurkan sebagai bentuk standar baru fasilitas pengumpulan sampah daur ulang. Rekosistem Waste Station dengan dimensi yang cukup besar dapat menampung sampah daur ulang dalam jumlah banyak dan mendorong masyarakat untuk memulai kebiasaan daur ulang sampah dengan memberikan reward point.

Beroperasi untuk layanan B2B sekaligus B2C, Rekosistem menawarkan jasa jemput dan setor sampah sesuai kebutuhan. Layanan ini berfokus pada penggunaan teknologi dalam aplikasinya, baik melalui web untuk pengambilan sampah secara berkala dari area pemukiman dan tempat komersial; maupun  lewat mobile app untuk pengguna individu yang menyetorkan sampah secara mandiri ke station Rekosistem yang tersedia.

Hingga saat ini, total sampah yang telah didaur ulang sudah melebihi 1.000 ton, berasal dari sekitar 50 korporasi dan 11 ribu rumah tangga. Untuk beberapa layanan Rekosistem masih tersedia terbatas di Jakarta dan Surabaya. Targetnya, tahun ini bisa ekspansi ke 5 kota dan memproses 10x lipat lebih banyak sampah di Indonesia.

Perusahaan memperkenalkan sistem reward point yang diberlakukan untuk per kilogram sampah yang disetorkan. Sampah-sampah dari berbagai titik pengangkutan dan pengumpulan Rekosistem akan dikirim ke Rekosistem Waste Hub (Material Recovery Facility) untuk dipilah menjadi lebih dari 50 kategori. Setiap pilahan sampah akan didistribusikan ke mitra daur ulang Rekosistem untuk diolah lebih lanjut sesuai dengan jenis masing-masing.

Co-Founder & CEO Rekosistem Ernest Layman mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang membedakan Rekosistem dengan pemain cleantech lainnya. Pertama, dari sisi proses, perusahaan bekerja sama dengan pemain dari berbagai lini dalam lingkaran pengelolaan sampah yang ada. Lalu, sampah yang diterima juga tidak hanya yang bernilai, namun juga yang tercampur. Terakhir, Ia bersama tim menerapkan langkah edukasi yang sederhana agar bisa masuk ke semua kelas masyarakat.

Ernest yang dulu sempat menjadi pekerja profesional di perusahaan multinasional dan kini alih profesi menjadi wirusahawan sosial ini mengungkapkan, “Misi kami tidak hanya berfokus pada meningkatkan penyerapan sampah daur ulang di Indonesia, namun juga senantiasa memperkenalkan tren pola hidup ramah lingkungan kepada masyarakat.”

Investasi untuk startup berdampak

Seiring banyaknya perusahaan yang mulai bergerak ke arah impact, begitu pula investasi di ranah ini kian meningkat.  Belum lama ini, Rekosistem juga mengumumkan perolehan seed round dari Bali Investment Club serta penandatanganan kerja sama strategis dengan perusahaan asal Jepang, Marubeni, untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sampah.

Selain Rekosistem, ada juga Duitin, pengembang layanan digital yang memfasilitasi daur ulang di Indonesia. Startup ini juga masuk sebagai salah satu lulusan Google for Startup Accelerator, program akselerator Google pertama yang diadakan di Indonesia.

Selain itu, Google sendiri juga memiliki inisiatif investasi untuk perusahaan yang bergerak di ranah impact. Melalui lengan nonprofit Google.org, mengumumkan dana kelolaan baru “Sustainability Seed Fund” yang difokuskan pada pendanaan hibah untuk startup impact di kawasan Asia Pasifik.

Perlahan tapi pasti, investasi berdampak  kian tumbuh di Indonesia. Tidak hanya Google, IIF yang dikelola oleh Mandiri Capital Indonesia, merupakan dana kelolaan social impact swasta pertama di Indonesia yang berbasis pada nilai ESG (Environmental, Social, and Governance) dengan tujuan menciptakan kerja sama antar sektor publik dan swasta di dalam industri modal ventura.

Application Information Will Show Up Here