Jelang Peluncurannya, Aplikasi Google Stadia Sudah Bisa Diunduh dari Play Store

Peluncuran resmi layanan cloud gaming Google Stadia hanya tinggal hitungan hari. Tepat tanggal 19 November nanti, konsumen di 14 negara yang sudah membeli Stadia Founder’s Edition akhirnya dapat menikmati lebih dari 30 game AAA di beragam perangkatnya.

Maksud kata “beragam” di sini tentu mencakup perangkat Android dan iOS. Untuk pengguna Android, aplikasi Google Stadia bahkan sudah bisa mereka unduh sekarang juga melalui Play Store. Mereka bisa mengenali aplikasinya terlebih dulu sebelum menikmati suguhannya tidak lama lagi.

Selain untuk mulai bermain maupun membeli game baru yang tersedia di katalognya, aplikasi ini rupanya juga bakal memberikan akses ke semacam forum komunitas pengguna Stadia. Konten di segmen ini tentu masih akan sangat terbatas mengingat Stadia memang belum tersedia di banyak negara, dan perangkat yang didukung sejauh ini juga masih bisa dihitung jari.

Deskripsi singkat di halaman Play Store-nya menjelaskan bahwa game dapat dimainkan sesaat setelah dibeli, dengan catatan perangkat tersambung ke jaringan Wi-Fi. Saat ada patch atau update baru untuk setiap game, pelanggan tetap bisa memainkannya tanpa harus menunggu lama, sebab server Stadia yang akan mengurusi semuanya di belakang layar.

Fakta menarik lainnya adalah aplikasi Stadia ini dikembangkan menggunakan software development kit (SDK) bikinan Google sendiri bernama Flutter. Kelebihan utama Flutter adalah kemudahan untuk menciptakan aplikasi multi-platform, dan ini bisa diartikan aplikasi Stadia versi iOS nantinya bakal menawarkan pengalaman yang sama seperti versi Android-nya, sebab codebase yang digunakan pun juga sama.

Sumber: 9to5Google.

Ada Indikasi Valve Tengah Mengembangkan Layanan Cloud Gaming Steam

Meski pada dasarnya masing-masing platform game streaming mengusung penyajian hampir serupa, mereka punya konsep serta premis berbeda. Stadia mencoba memberi solusi cloud gaming menyeluruh, ditopang oleh studio game first-party Google, sedangkan Microsoft xCloud dirancang sebagai pelengkap layanan Xbox – didukung oleh tidak kurang dari 54 data center Azure yang tersebar di seluruh dunia.

Berkecimpungnya dua raksasa teknologi itu di segmen gaming on demand menunjukkan pada kita ke arah sanalah industri ini bergerak. Namun dapatkah Anda bayangkan ketatnya persaingan yang nanti terjadi jika pemilik platform distribusi digital terbesar di dunia turut berpartisipasi di ranah ini? Kabarnya, ada indikasi Valve tengah mengembangkan layanan cloud gaming khusus untuk Steam. Bisa menikmati permainan Steam tanpa perlu PC berspesifikasi tinggi? Sangat menarik!

Steam Database – tool third-party yang secara aktif menganalisis segala macam update dan perubahan di Steam – mendeteksi kode baru di situs Steam yang isinya meminta para mitra setuju dengan ‘Steam Cloud Gaming Addendum’. Kode ini bisa Anda lihat sendiri di GitHub SteamDB (atau via tampilan JavaScript website Steam, lalu cari keywordSteam Cloud Gaming Addendum‘). Penemuan ini diumumkan oleh Steam Database via akun Twitter resmi mereka.

Saat ini, kita hanya memperoleh nama: Steam Cloud Gaming. Selain tim  developer, tak ada yang tahu detail teknisnya, bagaimana Valve akan menyuguhkannya, apakah fitur cloud berlaku untuk seluruh permainan di Steam dan kapan mereka berencana meluncurkannya. Tapi ada satu hal yang pasti. Untuk mengoperasikan layanan gaming on demand, Valve perlu memperbarui perjanjian distribusi konten dengan pihak pengembang.

Valve sendiri cukup familier dengan penyediaan teknologi streaming. Mereka menggarap Remote Play yang memperkenankan kita bermain game di PC non-gaming, lalu terdapat pula Steam Link buat menikmati permainan video via smartphone ataupun tablet Android (penyuguhannya diperluas oleh Steam Link Anywhere). Dan berbekal metode stream, Valve belum lama ini meluncurkan Remote Play Together yang mempersilakan Anda dan kawan mengakses mode multiplayer lokal secara online.

Bagi Anda yang kurang akrab dengan cloud gaming atau gaming on demand: layanan ini memungkinkan kita menikmati permainan video kapan pun dan di mana pun cukup berbekal perangkat dengan sambungan internet. Semua proses pengolahan data dan grafis di lakukan di sisi server, kemudian kontennya di-stream langsung ke device Anda. Lewat metode ini, cloud gaming tidak membebani hardware, tetapi biasanya menuntut koneksi internet yang cepat dan stabil.

Via The Verge.

Yakin Bisa Berikan Internet Berkualitas, MyRepublic Kerja Sama dengan Skyegrid

Ketika Anda hendak bermain game, Anda harus membeli perangkatnya terlebih dulu, baik PC ataupun konsol. Sayangnya, tidak semua orang dapat membeli konsol atau PC gaming. Cloud gaming bisa menjadi solusi dari masalah ini, memungkinkan Anda untuk bermain game di PC atau laptop berspesifikasi rendah atau bahkan smartphone selama Anda memiliki koneksi internet yang memadai. Cloud gaming dianggap sebagai masa depan industri gaming. Karena itu, tidak heran jika perusahaan raksasa seperti Google dan Microsoft tertarik untuk menyediakan layanan cloud gaming. Google memperkenalkan layanan cloud gaming, Stadia, pada Maret lalu. Namun, sebenarnya, perusahaan asal Indonesia, Skyegrid telah terlebih dulu memperkenalkan layanan cloud gaming di Tanah Air.

Setelah Google meluncurkan Stadia, kami pernah membahas tentang keunggulan dan kelemahan layanan cloud gaming. Di Indonesia, salah satu hal yang bisa menjadi penghalang adopsi layanan cloud gaming adalah sulitnya untuk memiliki jaringan internet yang cukup baik untuk memastikan pengalaman bermain game yang memuaskan. MyRepublic yakin dapat memberikan koneksi yang memadai untuk cloud gaming, mendorong mereka untuk bekerja sama dengan Skyegrid.

“Kebutuhan gamer itu sedikit berbeda dari pengguna biasa. Mereka perlu jaringan dengan latensi rendah dan stabil. Itu yang coba kami penuhi,” kata Sammy Kristiyanto, Residential Product Manager, MyRepublic, saat ditemui di MyRepublic Plaza di Green Office Park, BSD Tangerang. Dia juga mengaku, tuntutan gamer akan jaringan internet biasanya lebih tinggi dari konsumen non-gamer. “Kalau kita bisa memenuhi permintaan para gamer, kita bisa penuhi kebutuhan pelanggan lain. Makanya, kita membuat produk dengan gamer in mind.” Sammy mengatakan, berdasarkan survei internal yang dilakukan oleh MyRepublic, 80 persen pelanggan mereka memang merupakan gamer. Inilah alasan mengapa MyRepublic fokus untuk menyediakan paket internet untuk gamer.

ki-ka: Rolly Edward, Sammy Kristiyanto, dan Vanya Sutanto | Sumber: Dokumentasi Hybrid
ki-ka: Rolly Edward, Sammy Kristiyanto, dan Vanya Sunanto | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Kenyamanan bermain game menggunakan layanan cloud gaming sepenuhnya tergantung pada koneksi internet. CEO Skyegrid, Rolly Edward mengatakan, Skyegrid merekomendasikan internet dengan kecepatan 5Mbps untuk mengakses platrform cloud gaming di smartphone dan 10Mbps saat bermain di laptop/PC/televisi. Terkait hal ini, Sammy mengatakan, berdasarkan statistik speed test MyRepublic, dari 2017 ke 2018, kecepatan internet yang didapat pengguna mencapai 15Mbps. Angka ini naik menjadi 20Mbps pada 2019. Selain itu, dia juga membanggakan fakta bahwa MyRepublic tidak menggunakan peraturan Fair Usage Policy (FUP).

Selain kecepatan internet, kuota volume memang jadi salah satu hal lain yang harus dipertimbangkan. Dengan asumsi Anda memerlukan kecepatan 10Mbps untuk bermain pada resolusi 720p, Anda akan memerlukan kuota 4,5GB per jam. Sementara jika Anda ingin bermain pada resolusi 1080p, Anda akan membutuhkan 9GB per jam. Jika Anda menggunakan layanan internet dengan FUP, kecepatan internet akan turun setelah Anda penggunaan internet Anda mencapai batas tertentu. Saat Anda bermain via cloud gaming, penurunan kecepatan akan memengaruhi pengalaman bermain Anda.

Skyegrid di smartphone Android | Sumber: dokumentasi Hybrid
Skyegrid di smartphone Android | Sumber: dokumentasi Hybrid

“Semua paket kita tidak ada batasan atau kuota untuk volume, semua unlimited. Untuk main game, download game, streaming, peer-to-peer, atau remote networking, itu semua unlimited, tidak ada FUP,” ujar Sammy. Dia mengaku, MyRepublic memang memonitor pemakaian pengguna. Namun, mereka tidak akan membatasi penggunaan dengan mengurangi kecepatan. “Saya sempat cek, untuk pelanggan paket gamer, rata-rata pemakaian mereka setiap minggu mencapai 200GB per pengguna,” ungkapnya. Dia meyakinkan, hal ini tidak akan membuat pengguna harus membayar biaya ekstra atau mengalami penurunan kecepatan internet.

Mengingat sebagian besar pelanggan mereka bermain game, tidak heran jika MyRepublic cukup aktif dalam menjalin kerja sama dengan perusahaan yang bergerak di bidang game. Pada Agustus lalu, MyRepublic mengumumkan kerja sama dengan PlayStation. Sekarang, MyRepublic menggandeng Skyegrid. Salah satu bentuk kerja sama ini berupa diskon bagi para pelanggan MyRepublic. Pelanggan MyRepublic dapat berlangganan Skyegrid dengan harga Rp89.500 untuk bulan pertama dan Rp149.000 untuk bulan-bulan berikutnya. Sebagai perbandingan, harga standar Skyegrid adalah Rp179.000 per bulan. Selain itu, pelanggan MyRepublic juga bisa membayar biaya berlangganan Skyegrid bersamaan dengan pembayaran tagihan internet.

Google Akan Berikan Kesempatan Bagi Anda Untuk Menjajal Stadia

Suka tak suka, bertambah canggihnya teknologi game berdampak pada meningkatnya kebutuhan hardware pendukung. Dan demi mendapatkan konten berkualitas terbaik, perangkat gaming memang disarankan untuk selalu up-to-date. Namun kita tahu, tak semua orang mampu meng-upgrade sistemnya tiap tahun. Itu mengapa konsep cloud yang ditawarkan oleh layanan-layanan seperti Stadia dan xCloud terdengar atraktif.

Tapi terlepas dari segala janji dan premis unik dari platform gaming on-demand, banyak orang masih ragu-ragu terhadap efektivitas layanan dalam menyajikan permainan. Saat ini, pertanyaan terbesar yang ada di benak mayoritas calon konsumen adalah, apakah internet pas-pasan di rumah mampu menjalankan Stadia dengan lancar? Bahkan ketika Stadia dipamerkan di GDC 2019 saja pengunjung masih merasakan lag.

Ada kabar baik jika Anda tengah mempertimbangkan untuk jadi pelanggan Stadia. Saat nanti layanan cloud gaming itu meluncur, kita diperkenankan buat menjajalnya terlebih dulu. Hal tersebut diungkapkan oleh head of product Stadia John Justice dalam wawancara bertajuk StadiaCast. Sesi uji coba akan diterapkan baik pada layanan dasar dan juga pada permainan-permainan di sana secara individual.

Dari keterangan Justice, fitur trial akan hadir menyusul, setelah Stadia resmi dirilis. Tim belum bisa memberikan waktu pasti ketersediaannya karena saat ini mereka fokus pada persiapan peluncuran, dan mungkin akan tiba beberapa bulan lagi. Ada deretan panjang hal-hal yang mesti mereka kerjakan, tapi jangan cemas, membubuhkan trial merupakan salah satu prioritas developer.

Stadia 3

Fitur uji coba akan ditawarkan bagi kedua jenis paket Stadia, yaitu standar maupun Pro. Google tidak memungut biaya untuk layanan dasar. Selama memiliki game-nya, Anda bisa menikmati konten via metode stream di resolusi 1080p 60FPS. Pro sendiri dibanderol US$ 10 per bulan, memungkinkan Anda bermain di 4K serta didukung oleh audio surround 5.1. Selain itu pelanggan Pro juga akan memperoleh berbagai promo menarik dan akses ke judul-judul premium secara gratis.

Menurut Justice, memberikan kesempatan bagi calon konsumen untuk mencoba sangat penting karena mereka ingin agar ada banyak orang mencicipi Stadia dan menemukan hal-hal baru di sana.

Stadia rencananya akan melakukan debutnya di tanggal 19 November lewat Founder’s Pack, berisi bundel controller, keanggotan Pro selama tiga bulan dan kesempatan untuk mengajak seorang teman buat turut menikmati Stadia Pro. Paket ini dijajakan seharga US$ 130, di pasarkan di beberapa negara. Setelah itu, Google akan memperluas jangkauan Stadia di tahun 2020.

Via PC Gamer.

Bos Xbox: Cloud Gaming Tak Bisa Dihindari, Tapi Belum Dapat Menggantikan Console

Secara teori, metode streaming yang diusung cloud gaming memungkinkan orang menikmati permainan kapan pun menggunakan perangkat apapun yang bisa mengakses internet. Inilah penawaran utama layanan-layanan seperti Google Stadia dan Shadow, hingga platform-platform lokal semisal Skyegrid dan gameQoo. Terkait hal ini, seorang petinggi Microsoft mengungkap pandangan menarik.

Sudah cukup lama Microsoft mengumbar agenda penggarapan xCloud. Waktu itu, eksistensinya membuat orang bertanya-tanya apakah xCloud akan jadi bagian dari ekosistem Xbox atau disajikan terpisah. Lewat Xbox Wire di bulan Mei kemarin, Microsoft menyingkap secara lebih rinci bagaimana mereka akan menyajikan xCloud – termasuk kesiapannya menyajikan seluruh game Xbox di tiap generasi.

Berbicara pada GameSpot, bos Xbox Phil Spencer mengakui bagaimana industri gaming bergerak ke solusi cloud dan hal tersebut tidak terelakkan. Namun transisi ke arah itu pada dasarnya dipengaruhi oleh gamer, dan Spencer menekankan bahwa hardware khusus gaming kemungkinan tetap masih dibutuhkan di masa depan. Buat sekarang saja, ada begitu banyak perangkat komputasi, dari mulai smartphone, Surface Hub ataupun Xbox; dan mereka diperlukan untuk menikmati cloud gaming.

Spencer juga mencoba mengklarifikasi satu hal: terlepas dari pengembangan xCloud, Microsoft tidak punya niatan untuk menyediakan console/set-top box khusus streaming. Yang mereka lakukan adalah menggarap home console baru ‘secara tradisional’. Dengan menyiapkan dua solusi berbeda itu, konsumen dipersilakan memilih, apakah mereka ingin mengakses game secara streaming via smartphone atau secara lokal/langsung di console.

Arahan gaming on demand sebetulnya merupakan kelanjutan dari strategi baru Microsoft. Sejak beberapa tahun lalu, perusahaan memutuskan agar game Xbox juga bisa dimainkan dari PC ber-Windows 10. Eksklusivitas tampaknya tak lagi jadi prioritas. Spencer menjelaskan bagaimana timnya berupaya buat menghadirkan game di perangkat apapun yang Anda pilih, baik itu PC, Xbox bahkan termasuk produk kompetitor seperti PlayStation.

Sang bos Xbox juga memaparkan singkat kekurangan dan kelebihan dari solusi game stream. Karena mengandalkan koneksi internet, kita tidak mungkin mendapatkan konten 8K 120Hz, namun kualitas xCloud tetap nyaman dan memuaskan. Lalu bahkan jika layanan gaming on demand nantinya dibekali fitur-fitur semisal multiplayer coop dan voice chat, pengalamannya sudah pasti berbeda dari seperti ketika Anda duduk di atas sofa di depan TV.

Tentu saja Phil Spencer sangat percaya diri pada apa yang xCloud bisa sajikan. Layanan ini ditopang oleh data center Azure yang tersebar secara global. Kondisi ini memastikan Microsoft dapat lebih mudah menjangkau konsumen serta mempercepat proses pematangannya.

Google: Jangan Anggap Stadia Sebagai Netflix-nya Para Gamer

Bulan November nanti, layanan streaming game Google Stadia bakal mulai beroperasi secara resmi. Demi mengantisipasi hype yang tinggi yang kerap berujung pada kesalahpahaman dari pihak konsumen, Andrey Doronichev selaku Product Director Google Stadia pun menyempatkan diri menjawab segala pertanyaan terkait Stadia melalui sesi Reddit AMA.

Ada banyak info sekaligus klarifikasi mengenai Stadia yang bisa kita simpulkan dari sesi tanya-jawab tersebut. Yang paling utama, Andrey mengingatkan agar kita jangan menyamakan Stadia dengan Netflix, menganggapnya sebagai Netflix-nya para gamer, sebab kalau di Netflix kita benar-benar tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk bisa menikmati semua konten yang tersedia.

Stadia di sisi lain tidak demikian. Paket berbayarnya, Stadia Pro, menawarkan sejumlah fasilitas seperti gameplay dalam resolusi 4K/HDR, surround sound 5.1, sejumlah diskon eksklusif serta akses gratis ke sejumlah game. Kalau dirata-rata, pelanggan Stadia Pro bakal mendapatkan setidaknya satu game baru secara cuma-cuma setiap bulannya, diawali oleh Destiny 2.

Ini jelas berbeda dari penawaran Netflix, meskipun jenis kontennya memang berbeda. Andrey pun lebih sreg menyamakan Stadia Pro dengan layanan Xbox Live Gold atau PlayStation Plus. Singkat cerita, tidak semua game bisa Anda mainkan di Stadia secara cuma-cuma, meskipun Anda telah membayar biaya berlangganan sebesar $10 setiap bulannya.

Google Stadia

Untuk paket gratisannya, Stadia Base, konsumen malah diwajibkan untuk membeli game-nya sendiri sebelum bisa dimainkan via Stadia. Ini sangat penting untuk diingat: Stadia Base memang gratis, tapi game yang bisa dimainkan tidak ada yang gratis, kecuali memang ada game free-to-play yang masuk dalam katalognya.

Konsumen Stadia Base pada dasarnya hanya dipinjami akses ke gaming PC berspesifikasi wahid secara cuma-cuma. Mereka bisa menyimpan tabungannya untuk membeli game yang hendak dimainkan, tanpa perlu menyisihkan dana lebih untuk membeli kartu grafis baru, atau bahkan merakit gaming PC dari nol.

Kalau disimpulkan, Google Stadia memang masih punya banyak batasan, tapi tetap saja kehadiran layanan ini bakal mendisrupsi industri streaming game secara menyeluruh. Sebagian besar layanan streaming game yang sudah ada sekarang memiliki mekanisme “bayar biaya berlangganannya, tapi sediakan sendiri game-nya”. Stadia Base nantinya bakal menghapus syarat membayar tersebut.

Sumber: GamesRadar.

Akui Signifikansi Cloud Gaming, Nintendo Janji Tak Akan Tertinggal

Kesederhanaan sering kali menjadi inti dari sebuah terobosan. Lihat saja kehadiran home console yang membuat video game tak lagi cuma bisa diakses dari arena arcade. Inovasi sekelas inilah yang orang harapkan dari merakyatnya layanan cloud gaming: bayangkan jika Anda bisa menikmati konten digital kapan saja dan di mana saja tanpa harus memiliki perangkat khusus gaming.

Anda mungkin telah mendengar atau memahami konsep game streaming. Kini hal paling menarik adalah melihat respons pemain ‘tradisional’ di industri game terhadap naik daunnya tren ini, apalagi setelah raksasa seperti Google dan Microsoft mengonfirmasi keikutsertaan mereka. Microsoft sudah siap dari sisi infrastruktur, dan Sony diketahui setuju untuk berkolaborasi dengan rival lamanya itu demi menyongsong era gaming on demand. Lalu bagaimana dengan Nintendo?

Dalam pertemuan tahunan bersama pemegang saham, para eksekutif Nintendo ditanya pendapat mereka soal cloud gaming. Sejauh ini, Nintendo merupakan perusahaan hiburan yang terus berpegang pada pendekatan konservatif dalam menyajikan produk. Bahkan penyediaan platform distribusi eShop saja boleh dikatakan cukup terlambat dibanding kompetitor, baru meluncur pada tahun 2011 untuk 3DS.

Terkait game streaming, Nintendo mengakui bahwa metode ini akan menjadi bagian dari masa depan dan mereka tidak boleh tertinggal. Presiden Shuntaro Furukawa menyampaikan bahwa meski tak semua game akan dihidangkan via cloud dalam waktu dekat, teknologi ini akan bertambah canggih. Pelan-pelan, ia terus berkembang menjadi solusi andal buat mendistribusikan permainan ke konsumen.

Nintendo sendiri merasa optimis mengenai kesiapan mereka menyongsongnya, seandainya cloud gaming menjangkau populasi gamer global. Menurut Furukawa, keadaan tersebut malah memberikan mereka kesempatan untuk memperdalam integrasi antara pengembangan lini software dan hardware, kemudian menyuguhkannya lewat ‘cara-cara unik khas Nintendo’.

Senior executive officer Ko Shiota menjelaskan lebih jauh bagaimana konektivitas 5G dapat mempercepat proses pengembangan game streaming. Nintendo telah mulai mengeksplorasinya, namun perusahaan tak mau hanya sekadar mengejar tren. Nintendo ingin agar teknologi anyar yang mereka usung bisa menghidangkan pengalaman baru serta gameplay revolusioner. Selain itu, produsen harus mempertimbangkan ongkos. Sulit bagi mereka buat mengimplementasikan teknologi mutakhir jika modalnya terlalu mahal.

Shigeru Miyamoto selaku representative director mengomparasi layanan game stream dengan virtual reality. Ia mencoba mengingatkan kita bahwa Nintendo merupakan salah satu pionir di VR dan sudah lama melakukan berbagai eksperimen – misalnya lewat Virtual Boy. Tapi karena Nintendo tak pernah memublikasikan pencapaian tersebut hingga teknologi dirilis dalam bentuk produk (berupa Labo Toy-Con 04: VR Kit), banyak orang mengira mereka tertinggal.

Kini, kita hanya tinggal menunggu terobosan apa yang ditawarkan Nintendo di ranah cloud gaming

Via The Verge.

Layanan Baru Meluncur di Bulan November, Controller Google Stadia Sudah Mulai Dijual

Meski ada sejumlah hal yang harus dimatangkan, premis layanan cloud gaming seperti Google Stadia memang terdengar mengagumkan di telinga kita: siapa yang tidak mau bisa bermain game di mana dan kapan saja tanpa dibatasi perangkat? Platform game stream ini dijadwalkan untuk meluncur pada bulan November 2019, tapi kita sudah dipersilakan buat siap-siap menyambutnya.

Saat ini sang raksasa internet telah memperkenankan kita memesan bundel Founder’s Edition Stadia di Google Store. Paket ini terdiri dari akses ke keanggotaan Stadia Pro, badge Founder’s serta Buddy Pass yang memberikan Anda kesempatan untuk mengajak seorang teman buat menikmati konten-konten Pro. Dan demi mendukungnya, minggu ini Google juga mulai menawarkan unit controller Stadia secara terpisah.

Controller Google Stadia 1

Controller Stadia belum bisa dikatakan revolusioner dilihat dari sisi desain. Bagi saya, Google malah mencoba mengambil bagian terbaik dari periferal-periferal yang sudah Anda. Bentuknya sedikit berisi seperti gamepad Xbox namun dengan penempatan tombol dan thumb stick simetris ala DualShock 4. Anda dapat memilih controller berwarna putih, hitam dan ‘wasabi’.

Perangkat tersambung via Wi-Fi dan kita dapat memanfaatkan fungsi cross-screen untuk berpindah secara ringkas dari TV plus Chromecast ke PC dan smartphone. Tersedia pula tombol khusus buat mengaktifkan fungsi Google Assistant, memungkinkan Anda memasukan input suara via microphone terintegrasi. Di sana juga ada port headset 3,5mm dan sebuah tombol capture sebagai cara mudah menyimpan video dan screenshot.

Controller Google Stadia 3

Perlu diketahui bahwa Anda tidak bisa segera mengakses Stadia begitu membeli controller-nya. Penawaran ini hanya ditujukan untuk mereka yang dipilih temannya buat mendapatkan Buddy Pass. Jika belum punya teman yang rela memberikan Buddy Pass, maka Anda perlu membeli Founder’s Edition seharga US$ 130 – berisi akses ke Stadia Pro selama tiga bulan.

Ketika periode tiga bulan berlalu, Stadia Pro dijajakan dengan biaya berlangganan sebesar US$ 10 per bulan. Melaluinya, Anda dihidangkan koleksi permainan yang terus bertambah. Judul-judul pertama Stadia Pro yang segera dapat dinikmati meliputi Destiny 2, The Division 2 dan Ghost Recon Breakpoint. Anda juga disuguhkan opsi resolusi 4k di 60fps dan suara 5.1.

Controller Google Stadia 2

Jika Anda tidak mau menggunakan opsi Pro, versi dasar dari Google Stadia sendiri disajikan gratis dan secara dasar pengoperasiannya mirip seperti memiliki console atau PC: Anda harus membeli game terlebih dulu agar bisa memainkannya. Kualitas konten versi basic juga sama sekali tidak buruk. Permainan dijalankan di resolusi full-HD 60-frame per detik.

Controller Google Stadia bisa Anda miliki dengan mengeluarkan uang sebesar US$ 70.

Via TechRadar.

Microsoft xCloud Siap Hidangkan Seluruh Game Xbox, Baik Judul Lawas Hingga yang Akan Tiba

Menimbang dari angka penjualan dan jangkauan layanan, PlayStation 4 terlihat jauh mengungguli Xbox One. Namun keadaan mungkin berubah di era berikutnya, terutama setelah para raksasa teknologi mulai berkonsentrasi menyiapkan infrastruktur cloud gaming. Begitu besar potensi ranah bisnis baru itu, Sony memutuskan untuk menggandeng Microsoft demi memperoleh akses ke teknologi Azure.

Dari sisi prasarana dan teknologi cloud, Microsoft memang berada jauh di depan Sony. Tak lama setelah mengonfirmasi keberadaan Project Scarlett, perusahaan asal Redmond itu mengumumkan pengembangan teknologi game streaming Project xCloud. Sebagaimana platform on demand lain, xCloud menjanjikan akses mudah ke permainan tanpa dibatasi hardware. Namun waktu itu kita belum tahu apakah teknologi ini akan diintegrasikan ke layanan Xbox atau disajikan secara mandiri.

Namun gerak-gerik Microsoft memang mengindikasikan bahwa xCloud akan jadi bagian dari platform Xbox next-gen. Dan lewat posting di laman Xbox Wire, Microsoft mengungkapkan bagaimana xCloud siap menghidangkan seluruh permainan di keluarga Xbox, termasuk varian lawas serta game Xbox One yang akan tiba. Itu berarti, Anda disuguhkan dukungan permainan yang ada di tiga generasi console berbeda.

xCloud

Project xCloud diklaim mampu menghidangkan lebih dari 3.500 judul permainan via metode stream, ditopang oleh datacenter Azure yang tersebar di 13 titik di dunia. Di tahan awal penyediaannya, xCloud akan difokuskan di wilayah Amerika Utara, dan sebagian Eropa serta Asia. Beberapa nama gaming terkenal sudah mulai berpartisipasi, misalnya Capcom dan Paradox Interactive. Mereka dipersilakan menguji kreasi-kreasi digitalnya langsung di platform xCloud tanpa porting.

Baik di permainan video baru maupun lama, developer dibebaskan buat menyesuaikan dan men-scalling game ke perangkat lain, tanpa harus membutuhkan proses pengembangan tambahan atau update terpisah. Misalnya ketika sebuah studio mengimplementasikan pembaruan/patch di game, update tersebut juga segera diterapkan ke seluruh versi yang ada.

Saat ini kabarnya ada lebih dari 1.900 permainan yang tengah dikembangkan untuk Xbox One, dan semuanya dapat dinikmati via Project xCloud. Yang perlu developer lakukan hanyalah menggarap game secara normal dan menggunakan perkakas pilihan mereka; dan selanjutnya, Microsoft akan bekerja demi memastikan konten tersebut bisa dinikmati oleh lebih banyak pemain.

“Project xCloud ialah sebuah perjalanan menarik yang kita semua bisa ikuti,” tutur Kareem Choudhry selaku corporate vice president gaming cloud Microsoft. “Kami tak sabar untuk mengundang komunitas buat memberikan masukan, membantu pembangunan xCloud, serta berpartisipasi dalam proses pengerjaannya yang terbuka dan transparan. Tunggu kabar selanjutnya dari kami…”

Konsumen Habiskan $ 387 Juta Demi Menikmati Cloud Gaming di Tahun 2018

Seberapa pun revolusionernya premis cloud gaming, banyak orang masih belum yakin layanan ini akan benar-benar menggantikan platform permainan video konvensional. Keraguan itu tentu punya alasan jelas. Streaming game pada dasarnya membutuhkan dukungan internet yang cepat dan stabil. Lalu hingga saat ini, jasa gaming on demand (termasuk buatan para raksasa hiburan) juga baru bisa diakses secara terbatas.

Kepercayaan terhadap cloud gaming berpeluang meningkat begitu layanan Google, Microsoft dan Amazon tersedia global nanti. Untuk sekarang, sebagian besar pemain menyediakan jasa on demand secara domestik, termasuk milik developer-developer lokal seperti gameQoo dan Skyegrid. Namun satu hal menggembirakan yang kita tak sadari ialah, platform game streaming ternyata berhasil menciptakan keuntungan cukup besar di tahun lalu.

Minggu ini, IHS Markit menyingkap hasil studi mereka terhadap industri cloud gaming di 2018. Tahun lalu, konsumen mengeluarkan jumlah uang yang tidak sedikit demi mengakses konten-konten on demand, yakni sebesar US$ 387 juta. Angka tersebut diprediksi meningkat berkali-kali lipat dalam lima tahun ke depan, berpotensi menyentuh US$ 2,5 miliar di tahun 2023.

IHS Markit Cloud Gaming 2018

IHS Markit menjelaskan bahwa pengumuman serta pengambil alihan strategis yang dilakukan oleh raksasa-raksasa teknologi seperti Microsoft, Amazon, Google serta Tencent mengindikasikan bagaimana cloud akan jadi medium persaingan berikutnya. Sebelumnya, cloud gaming sempat memberi dampak bagi sektor gaming high-end, tapi baru di masa-masa ini ia akan mendisrupsi industri secara masif.

Tim analis menilai, kondisi ini akan menguntungkan nama-nama yang memiliki akses ke infrastruktur cloud serta perusahaan yang mampu menyuguhkan layanan secara efisien. Begitu besar potensi ranah ini dan efeknya pada industri hiburan, Sony terdorong untuk menggandeng Microsoft demi memperoleh akses ke teknologi cloud Azure. Sementara itu, pemilik platform game stream yang ada sekarang berupaya terus memperluas strategi, kemudian para publisher permainan juga mulai berani menantang pemegang platform tradisional.

IHS Markit mencatat ada 16 platform cloud gaming di PC yang aktif beroperasi di level global hingga akhir 2018 dan Sony PlayStation Now merupakan pemimpin pasar dengan mengusai 36 persen. Menariknya, selama ini Sony terlihat menahan diri dan baru mulai bermanuver agresif dalam waktu 12 bulan ke belakang. Koleksi konten eksklusif masih menjadi senjata andalan mereka.

Dilihat dari perspektif wilayah, gamer Jepang ternyata yang mengeluarkan uang paling banyak demi menikmati game secara on demand di tahun 2018, yaitu sebesar US$ 178 juta. Di posisi kedua adalah konsumen di Amerika, mayoritas didorong oleh ketersediaan PlayStation Now. Lalu di tempat ketiga ada Perancis yang menjadi tempat inkubasi subur startup-startup cloud gaming.

Analisis terhadap status dan dampak cloud gaming bagi industri dapat Anda simak di sini.