[Video] Inovasi Platform Pencarian dan Sewa Kos

DailySocial bersama Maria Regina Anggit, Co-founder dan CEO Mamikos, membahas tentang bagaimana tren dan adopsi The New Normal 2022 untuk penyedia layanan pencarian dan sewa kos.

Sempat mengalami kendala saat pandemi tahun lalu, Anggit mengklaim saat ini penyedia layanan pencarian dan sewa kos yang dikelolanya terus mengalami pertumbuhan yang positif.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Konsep Co-Living Makin Diminati, Rukita Perbarui Aplikasi Targetkan Komunitas

Konsep hunian co-living menjadi semakin diminati, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Penyewaan kamar pribadi jangka panjang dengan fasilitas dan ruang bersama sebenarnya bukanlah konsep yang baru, hanya saja di sini lebih akrab dengan sebutan indekos. Indekos dianggap terjangkau dan praktis, terutama bagi kalangan profesional muda, karena lebih terjangkau dan terletak dekat area institusi atau perkantoran.

Salah satu pemain yang menyasar segmen ini adalah Rukita, sebuah startup penyedia layanan co-living yang diklaim sangat praktis dan cocok untuk profesional muda dalam mencari hunian siap pakai. Belum lama ini Rukita meluncurkan aplikasi terbarunya, menawarkan informasi lengkap untuk eksplorasi ketersediaan unit sewa kost atau apartemen di lokasi terdekat.

“Profesional muda akan lebih mudah melihat dan memesan unit properti hanya dari gawai pribadi, baik ponsel atau pun komputer, di mana pun dan kapan pun,” ungkap Co-founder & CEO Rukita Sabrina Soewatdy.

Selain menawarkan kamar serta berbagai kebutuhan terkait hunian bagi pelanggan, dalam update aplikasi terbarunya, Rukita menyediakan fitur baru, “Community” untuk mendorong tenant dan masyarakat luas terutama para profesional muda saling berinteraksi dan membangun relasi yang lebih baik. Fitur ini diharapkan bisa semakin memberikan pengalaman co-living yang lebih optimal.

“Di aplikasi Rukita, masyarakat terutama para milenial dapat mencari pilihan unit, memantau status pembayaran, mendaftarkan diri dalam kegiatan komunitas, berinteraksi daring melalui kolom komentar, hingga mengakses kumpulan artikel menarik yang memperkaya wawasan,” ujar Sabrina.

Selama kurang lebih dua tahun berdiri, Rukita berhasil meningkatkan kerja sama dengan lebih dari 20.000 properti dalam platformnya. Hunian ini tersebar di area-area padat sekitar Jabodetabek dengan rentang harga yang ditawarkan beragam tergantung fasilitas dan posisi yang menunjang.

Sejalan dengan komitmen untuk membangun bisnis yang berkelanjutan di sektor proptech, Rukita menerapkan model bisnis yang berinvestasi pada kapasitas manajemen properti dari hulu ke hilir, meliputi pemeriksaan dan penilaian bangunan sebelum proses transformasi, pemasaran & akuisisi penghuni, operasional, pemeliharaan properti, hingga pasca-penyewaan.

“Para profesional muda yang punya sambilan investasi properti kosan juga akan dimudahkan dengan bermitra dengan Rukita. Mereka bisa terus bekerja seperti biasa dan sambil mendapatkan passive income tanpa ribet, karena semua sudah dikelola dengan baik oleh Rukita.” tambahnya.

Tren co-living di masa pandemi

Sebagai alternatif baru, perkembangan bisnis hunian co-living mulai mengalami peningkatan di awal 2020, terutama di Jakarta. Ketika pandemi Covid-19 melanda, alih-alih menurun seperti layanan coworking space, peminat hunian co-living justru melonjak. Hal ini seiring dengan berkembangnya tren bekerja dari rumah (WFH) serta kesadaran masyarakat akan harga beli properti yang tinggi dan akhirnya lebih memilih untuk menyewa hunian yang lebih terjangkau untuk menekan biaya.

Hal ini sempat disampaikan oleh Co-founder & COO Rukita Sarah Soewatdy yang mencatat jumlah penghuni baru bertumbuh hampir 2,5 kali lipat pada akhir tahun 2020. Pasalnya, konsep hunian ini menawarkan kenyamanan dengan harga terjangkau dan fasilitas yang lengkap, bahkan telah menjadi pilihan para milenial dan kaum urban.

Meskipun begitu, tidak sedikit dari penghuni indekos yang berfikiran untuk meninggalkan hunian saat ini dan memilih untuk pulang ke kampung halaman atau kembali ke rumah. Mengingat sebagian dari mereka adalah perantau, yang ketika mendapat kabar WFH tanpa pikir panjang langsung berkemas. Hal ini sebagai salah satu upaya menghemat biaya hidup di kota.

Aplikasi sejenis di Indonesia

Populasi anak muda yang besar serta proses urbanisasi di Indonesia yang sangat cepat mendorong terjadinya pertumbuhan permintaan untuk model hunian co-living. Dalam segmen ini, Rukita tidak sendiri. Setidaknya ada empat platform lain yang menawarkan layanan sejenis di Indonesia, seperti Mamikos, Flokq, Travelio, Roomme, dan Cove yang berbasis di Singapura.

Aplikas Properti kelolaan Area Unduhan Rating
Rukita 20 ribu+ Jabodetabek 10 ribu+ 4.0
Mamikos 2 juta+ 140 kota 1 juta+ 4.5
Flokq Jabodetabek, Bali 1.000+ 3.9
Travelio 8.000+ 25 kota 1 juta+ 4.5
Cove 1.000+ (Jakarta) Singapura, Jakarta
Roomme 10 ribu+ Jabodetabek 50 ribu+ 3.4

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan real estat termasuk sektor bisnis yang tumbuh sepanjang kuartal I/2021. Data dari Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) juga menunjukkan bahwa apartemen siap huni menjadi salah satu subsektor yang paling terlihat pertumbuhannya. Sektor properti yang terus bertumbuh diproyeksi akan menjadi pendorong meningkatnya peluang bisnis co-living di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Bobobox Expands Services, Optimistic with Local Tourism Industry

The tourism industry is the first most affected layer by the Covid-19 pandemic. Many companies are competing to develop other businesses as a pivot to buffer due to survival. The same strategy is taken by proptech startup Bobobox, which is developing several innovations outside the capsule hotel.

Bobobox’s Co-Founder and CEO, Indra Gunawan said to DailySocial that his startup was quite affected by the pandemic. However, thanks to the team persistence, the company was able to adapt quickly and continue to innovate during that time.

“As a result, we managed to get a V shape recovery that is much faster than we predicted. This is also the fact that 90% of our market is domestic, has helped us to survive the crisis better,” Indra said.

The Series A funding was announced in March 2020, which is the right ammunition for Bobobox to stay afloat. Currently, the company has launched two new products, accommodation services with the concept of co-living (Boboliving) and glamping/glamor camping (Bobocabin). There are other products currently in progress, including hourly rental single pods and campervan accommodation.

Indra explained that Bobobox and Boboliving originated from the company’s internal findings from its customers. It was found that the domestic market rose faster and used to stay in the range of 1-2 days, now it is longer by around weeks to months. This condition is reflected in the Bobobox report, where long-term guests have grown rapidly during the pandemic.

As narrowed down, there are now two types of hotel guests. First, those who still need to go to the office during the pandemic and want to avoid long-distance travel. Second, people who work from home, but do not have fast work facilities such as high-speed Wi-Fi and a safe environment. “This led us to develop Boboliving and the product was sold out within 3 weeks on the market.”

The result is, Bobobox noticed that WFH lifestyle will continue in the future, even when Covid-19 has ended. Then, today’s consumer trends are driven by self-protection and social distancing. “We want to develop solutions where people can have alternative options for work and school fees (for the younger ones).”

Bobocabin and Boboliving

Boboliving / Bobobox
Boboliving / Bobobox

Bobocabin and Boboliving take advantage of existing technology for their operations. In terms of design, Bobocabin is designed by adopting a futuristic modular design with a capacity of two adults and one child while considering the need for social distancing restrictions. Each cabin is equipped with modern facilities, supported by IoT technology to control the features in it, such as windows, lights, doors, and audio speakers that can be controlled from a visitor’s smartphone.

Bobocabin is available in two areas in Bandung, Rancupas, and Cikole by utilizing land owned by Perhutani. Respectively an area of ​​1.26Ha and 1Ha. Apart from the rooms, Bobocabin is also equipped with 24-hour front desk, barbecue and bonfire. The official fee ranges from IDR 450 thousand to IDR 550 thousand per night.

Bobocabin emphasizes the need for sustainable tourism through the nature-based tourism segment that offers more benefits from an economic, social, and environmental perspective.

Meanwhile, Boboliving is like a boarding house with more spacious room facilities for work areas. The rooms are prepared with 10 pods containing mattresses and wardrobes. These capsules can be rented daily, weekly, monthly, and yearly. Currently, Boboliving is available in Pancoran, South Jakarta.

“Bobobox sees the huge economic potential with the existence of a residential business ecosystem such as co-living, especially for property business activists who want to start a business yet constrained by limited land. This is also driven by the need for housing which is increasing every year, but it is inversely proportional to the availability of land, especially in big cities,” Indra said in an official statement.

Regarding the latest development of the Bobobox capsule hotel, it has distributed in several cities on Java, including Yogyakarta, Semarang, and Solo. Until the fourth quarter of 2020, this product recorded an occupancy rate of back to 80% from the pre-pandemic position which reached the 80% -90% range.

Indra is optimistic from the various sources he summarized, indicating that more than 70% are interested in traveling. This shows that vacations seem non-negotiable to many. “With a market fit for our new product, we are confident that we can reimagine tourism across Indonesia with an extraordinary experience.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ekspansi Layanan, Bobobox Optimis dengan Industri Pariwisata Lokal

Industri pariwisata adalah layer pertama yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Perusahaan banyak berlomba-lomba mengembangkan bisnis lain sebagai langkah pivot untuk buffer agar tidak jatuh terlampau dalam. Strategi yang sama juga diambil oleh startup proptech Bobobox yang mengembangkan beberapa inovasi di luar hotel kapsul.

Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO Bobobox Indra Gunawan menuturkan, startupnya juga ikut terdampak dari pandemi. Akan tetapi berkat kegigihan tim, perusahaan dapat beradaptasi dengan cepat dan tetap melanjutkan inovasi dalam kurun waktu tersebut.

“Sebagai hasilnya, kami berhasil mendapat pemulihan kurva V (V shape recovery) yang jauh lebih cepat dari yang kami prediksi. Ini juga fakta bahwa 90% pasar kami adalah domestik, berhasil membantu kami untuk bertahan lebih baik dari krisis,” terang Indra.

Pendanaan Seri A yang diumumkan pada Maret 2020 lalu merupakan amunisi tepat buat Bobobox untuk tetap bertahan. Saat ini perusahaan sudah meluncurkan dua produk baru, yakni produk jasa akomodasi dengan konsep co-living (Boboliving) dan glamping/glamour camping (Bobocabin). Produk lainnya yang sedang disiapkan adalah akomodasi dengan konsep sewa perjam (hourly rental single pods) dan campervan.

Indra menjelaskan Bobobox dan Boboliving berawal dari hasil temuan internal perusahaan dari para konsumennya. Ditemukan bahwa pasar domestik bangkit lebih cepat dan dulunya masa inap berada di kisaran 1-2 hari, sekarang jadi lebih panjang sekitar mingguan hingga bulanan. Kondisi inilah yang tercermin dengan laporan Bobobox, yang mana tamu jangka panjang telah berkembang pesat selama pandemi.

Bila dikerucutkan, kini ada dua tipe tamu hotel. Pertama, mereka yang masih perlu pergi ke kantor selama pandemi dan ingin menghindari perjalanan jarak jauh. Kedua, orang yang bekerja dari rumah, tatapi tidak memiliki fasilitas kerja yang cepat seperti Wi-Fi berkecepatan tinggi dan lingkungan aman. “Ini mengarahkan kami untuk mengembangkan Boboliving dan produknya terjual habis dalam waktu 3 minggu di pasaran.”

Dari hasil kajian ini, Bobobox menangkap bahwa ke depannya WFH adalah gaya hidup yang akan terus berlanjut, bahkan ketika Covid-19 sudah berakhir. Lalu, tren konsumen saat ini didorong oleh perlindungan diri dan jarak sosial. “Kami ingin mengembangkan solusi di mana orang dapat memiliki pilihan alternatif untuk bekerja dan biaya sekolah (untuk yang lebih muda).”

Bobocabin dan Boboliving

Boboliving / Bobobox
Boboliving / Bobobox

Bobocabin dan Boboliving memanfaatkan keberadaan teknologi untuk operasionalnya. Dari segi desain, Bobocabin dirancang dengan mengadopsi desain modular yang futuristik berkapasitas dua orang dewasa dan satu anak dengan tetap memerhatikan kebutuhan untuk pembatasan jarak sosial. Tiap kabin dilengkapi dengan fasilitas modern, didukung teknologi IoT untuk mengontrol fitur-fitur di dalamnya, seperti jendela, lampu, pintu, dan audio speaker yang bisa dikendalikan dari smartphone pengunjung.

Bobocabin tersedia di dua kawasan di Bandung, yaitu Rancupas dan Cikole dengan memanfaatkan lahan milik Perhutani. Masing-masing seluas 1,26Ha dan 1Ha. Selain kamar, Bobocabin dilengkapi dengan fasilitas resepsionis 24 jam, barbeque, dan api unggun. Biaya yang banderol berkisar dari Rp450 ribu hingga Rp550 ribu per malam.

Bobocabin ini mengedepankan kebutuhan pariwisata yang keberlanjutan melalui segmen nature-based tourism yang menawarkan manfaat lebih dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Sementara itu, Boboliving seperti indekos dengan fasilitas kamar yang lebih luas untuk area bekerja. Kamar yang disiapkan sebanyak 10 unit pods berisi kasur dan lemari pakaian. Kapsul ini dapat disewa harian, mingguan, bulanan, hingga tahunan. Saat ini Boboliving sudah tersedia di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

“Bobobox melihat potensi ekonomi yang besar dengan adanya ekosistem bisnis hunian seperti co-living, terutama bagi pegiat bisnis properti yang ingin memulai bisnis namun terkendala oleh keterbatasan lahan. Hal ini didorong pula oleh adanya kebutuhan hunian yang semakin meningkat setiap tahunnya, namun berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan terutama di kota-kota besar,” ujar Indra dalam keterangan resmi.

Terkait perkembangan terkini hotel kapsul Bobobox, sekarang sudah tersebar di beberapa kota di pulau Jawa, antara lain Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Hingga kuartal IV 2020, produk ini mencatatkan tingkat okupansi kembali ke besaran 80% dari posisi sebelum pandemi yang mencapai kisaran 80%-90%.

Indra optimis dari berbagai sumber yang ia rangkum, menunjukkan bahwa lebih dari 70% tertarik untuk bepergian. Hal ini memperlihatkan bahwa liburan tampaknya tidak bisa dinegosiasikan bagi banyak orang. “Dengan kesesuaian pasar untuk produk baru kami, kami sangat yakin dapat menata kembali pariwisata di seluruh Indonesia dengan pengalaman yang luar biasa.”

Application Information Will Show Up Here

Cove Ramaikan Persaingan Layanan Co-Living di Indonesia

Industri proptech khususnya yang mengusung konsep co-living di Indonesia tampaknya kian ramai. Cove, proptech asal Singapura memperluas kehadirannya di Indonesia dengan setelah membukukan pendanaan seri A yang baru mereka umumkan.

Cove telah hadir di Jakarta sejak April 2020. Proptech yang bermarkas di Singapura ini dipimpin oleh Guillaume Castagne, Sophie Jackson, Luca Bregoli. Bertindak sebagai country director di Indonesia adalah Rizky Kusumo. Layanan tersebut menargetkan profesional muda dan mahasiswa sebagai pasarnya. Mereka mengklaim sudah memiliki total 550 kamar di Singapura dan Jakarta.

Guillaume melihat masalah yang muncul dalam industri penyewaan kamar yang kerap ditemui adalah harga yang tidak terjangkau; desain yang tak sesuai dengan cita rasa muda-mudi saat ini; pemeliharaan properti yang kurang baik; hingga proses penyewaan yang tidak fleksibel, lamban, dan tidak transparan.

“Cove mampu meningkatkan efisiensi ruang dan menciptakan produk yang sesuai dengan minat pasar milenial dan generasi Z yang sedang berkembang sehingga dapat memaksimalkan keuntungan bagi para pemilik aset,” jelas Guillaume.

Guillaume mengklaim yang membedakan Cove dengan pemain lain adalah prosesnya yang lebih mulus dan transparan dalam proses penyewaan. Di samping itu Cove menawarkan kamar yang sudah lengkap dengan perabotan, housekeeping berkala, pemeliharaan rutin, koneksi wifi, dan kontrak bulanan fleksibel.

Adapun sistem kerja sama yang mereka buat dengan pemilik properti ada beberapa jenis termasuk sistem bagi hasil. Laporan dari e27 menyebut Cove juga menawarkan jaminan pemasukan untuk pemilik properti. Namun satu yang pasti mereka menjamin tidak ada biaya bagi untuk middlemen.

“Kini okupansi kami sudah di atas 90 persen,” imbuhnya.

Baru mengantongi pendanaan seri A

Dalam jumpa media hari ini (16/12), Cove juga mengumumkan pendanaan seri A senilai $4,6 juta atau setara Rp64,84 miliar. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Keppel Land diikuti oleh Idinvest Partners-Eurazeo Group, Smarty City Venture Fund, dan Idinvest HEC Venture Fund.

Sebagai tambahan informasi, Cove mengamankan pendanaan awal pada September 2019 yang diikuti oleh Venturra Capital, Yuj Ventures, Investigate, dan Picus Capital.

Dengan pendanaan tersebut Cove meneguhkan fokus bisnisnya di Indonesia. Fokus pertama Cove masih di Jakarta dan sekitarnya, namun mereka juga berniat ekspansi ke kota-kota besar lain seperti Bandung, Surabaya, Bali, dan Semarang. Target mereka hingga pertengahan 2021 adalah menggandakan akuisisi semua kamar mereka hingga 1.000 unit.

“Cuma untuk ekspansi ke kota-kota baru pertama-tama kita harus tumbuh dulu di pasar utama kita yakni di Jakarta,” tukas Rizky Kusumo.

Setelah cukup yakin dengan pencapaian di Indonesia, negara berikutnya yang akan Cove singgahi adalah Vietnam dan Filipina. “Pasar di Indonesia itu nomor satu dalam prioritas,” pungkas Guillaume.

Hadirnya Cove di Indonesia jelas kian meramaikan persaingan proptech yang mengusung konsep co-living. RoomMe, Rukita, dan Flokq adalah beberapa contohnya. Belum lagi pemain lain seperti RedDoorz dan Bobobox yang turut mengeluarkan produk co-living.

Observing the Potential of Co-Living Business in the Digital Era

The well-established ecosystem of boarding house [further mentioned by kost-kostan] sector or what is recently known as co-living, has become an opportunity for startups like RoomME. This platform, which specifically caters for homestay owners and seekers, tries to boost the company’s acceleration by providing further education and introduction to technology and the use of applications to make it easier for homestay owners and seekers.

In this #Selasastartup edition, DailySocial presents RoomME Co-Founder & COO Winoto Hartanto.

Kost-kostan business transformation

The concept of kost-kostan has always been very familiar to the people of Indonesia. By prioritizing a family culture and a close relationship between the owner and the seeker, makes this business never subside and they are always glimpsed by the house owners. Seeing this potential, RoomME founders tried to find opportunities that could then be explored to target this sector.

“For a long time, this business was known as kost-kostan. However, nowadays when many investors come and to simplify a more general term, co-living has been introduced, but it does not leave the essence of the business,” Winoto said.

Many insights were later found by Winoto along with other colleagues when he then started building RoomME. Starting from quite a lot of feedback from the boarding house owner to the ability of technology to make it easier for both parties. This then differentiates a platform like RoomME from other similar platforms.

“Since the beginning, we have focused on providing services to boarding owners as well as boarding house seekers, in contrast to other platforms, which are mostly marketplaces,” Winoto said.

Pandemic drives acceleration

About the pandemic hindered the growth of RoomME’s business, Winoto emphasized that at the beginning of the pandemic, it had experienced problems. However, the pandemic has also created creativity among the management and RoomME team to move faster.

Among those are accelerating the digital and educational process for owners and seekers. Education is a powerful way that is claimed to be able to accelerate awareness and digital adoption of RoomME’s target market.

“Using the application, we strive to provide information and convenience to boarding owners to manage their boarding business. Meanwhile, for boarding seekers, using the application gives them the flexibility to search for boarding houses anywhere and anytime,” Winoto said.

In particular, RoomME offers two service options to boarding owners, those who want to have the freedom to manage their boarding business and services that make it easier for homestay owners when they want to jump right into managing their business.

“To date, with the education we have launched, we have not encountered any obstacles. From various groups, young and old alike, have adopted RoomME technology very well,” Winoto added.

In the future, RoomME sees that the future of the co-living business in Indonesia is very bright, as seen from the stable interest of boarding house seekers and a large number of house owners in Greater Jakarta. Expansion to reach a wider market is also the next for RoomME’s plan.

“Last year we were present in Jabodetabek. Next year we plan to expand to Bandung and Yogyakarta. In the future RoomME wants to be a platform that unites industries that are still very fragmented,” Winoto said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyimak Potensi Bisnis Co-Living di Era Digital

Sudah mapannya ekosistem yang ditawarkan oleh sektor indekos atau yang sekarang dikenal dengan istilah co-living, menjadi peluang yang kemudian diincar oleh startup seperti RoomME. Platform yang secara khusus meng-cater pemilik dan pencari indekos ini, mencoba untuk mempercepat akselerasi perusahaan dengan melakukan edukasi dan pengenalan lebih jauh tentang teknologi dan penggunaan aplikasi untuk mempermudah pemilik dan pencari indekos.

Dalam edisi #Selasastartup kali, DailySocial menghadirkan Co-Founder & COO RoomME Winoto Hartanto.

Transformasi bisnis kos-kosan

Sejak dulu konsep indekos sudah sangat familiar oleh masyarakat Indonesia. Dengan mengedepankan kultur kekeluargaan dan relasi yang dekat antara pemilik dengan pencari, menjadikan bisnis ini tidak pernah surut dan selalu dilirik oleh mereka pemilik indekos. Melihat potensi tersebut kemudian para pendiri RoomME mencoba untuk mencari peluang yang kemudian bisa dijajaki untuk menyasar sektor ini.

“Sejak dulu bisnis ini memang dikenal dengan nama kost-kostan. Namun saat ini ketika banyak investor yang masuk dan untuk mempermudah istilah yang lebih umum, co-living kemudian mulai diperkenalkan, namun tidak meninggalkan esensi dari bisnis itu,” kata Winoto.

Banyak insight yang kemudian ditemukan oleh Winoto bersama dengan rekan lainnya ketika kemudian mulai membangun RoomME. Mulai dari feedback yang cukup banyak dari pemilik indekos hingga kemampuan teknologi untuk mempermudah kedua belah pihak. Hal tersebut yang kemudian membedakan platform seperti RoomME dengan platform serupa lainnya.

“Sejak awal kami fokus memberikan layanan kepada pemilik indekos juga pencari indekos, berbeda dengan platform lainnya yang kebanyakan adalah marketplace saja,” kata Winoto.

Pandemi percepat akselerasi

Disinggung apakah pandemi menghambat pertumbuhan bisnis RoomME, Winoto menegaskan saat awal pandemi memang sempat mengalami kendala. Namun di sisi lain pandemi juga menciptakan kreativitas di antara manajemen dan tim RoomME untuk bergerak lebih cepat.

Di antaranya adalah mengakselerasi digital dan proses edukasi kepada pemilik dan pencari. Edukasi merupakan cara ampuh yang diklaim mampu mempercepat awareness dan adopsi digital kepada target pasar dari RoomME.

“Memanfaatkan aplikasi kami berupaya untuk memberikan informasi dan kemudahan kepada pemilik indekos untuk mengelola bisnis kost mereka. Sementara untuk pencari kost, memanfaatkan aplikasi memberikan mereka fleksibilitas pencarian kost di mana saja dan kapan saja,” kata Winoto.

Secara khusus RoomME menawarkan dua pilihan layanan kepada pemilik indekos, yaitu bagi mereka yang ingin memiliki kebebasan mengelola bisnis indekos mereka dan layanan yang memudahkan pemilik indekos ketika ingin terjun langsung mengelola bisnis mereka.

“Sejauh ini dengan edukasi yang kami lancarkan kami tidak menemui kendala. Dari berbagai kalangan tua maupun muda, telah mengadopsi teknologi RoomME dengan sangat baik,” kata Winoto.

Ke depannya RoomME melihat masa depan bisnis co-living di Indonesia sangat cerah, dilihat dari stabilnya minat di kalangan pencari indekos dan jumlah yang cukup besar mereka pemilik indekos di Jabodetabek. Ekspansi untuk menjangkau pasar yang lebih luas juga menjadi rencana RoomME selanjutnya.

“Tahun lalu kami sudah hadir di Jabodetabek, tahun depan kami berencana untuk melakukan ekspansi ke Bandung dan Yogyakarta. Ke depannya RoomME ingin menjadi platform yang menyatukan industri yang hingga kini masih sangat fragmented,” kata Winoto.

Mengenal Flokq dan Optimismenya sebagai Startup Operator Co-Living

Peminat hunian indekos di Indonesia tergolong tinggi, namun belum banyak tersentuh dengan teknologi dan solusi yang dibutuhkan penggunanya. Flokq sebagai pemain baru di industri ini hadir tidak hanya menawarkan solusi indekos, tapi juga co-living yang tersegmentasi untuk kalangan professional.

Flokq didirikan oleh Anand Janardhanan dan Harmeet Singh pada Agustus 2019. Startup tersebut telah mengelola ratusan unit kamar tersebar di berbagai lokasi di pusat bisnis Jakarta, seperti Mega Kuningan, Senayan, Rasuna Said, Sudirman, Semanggi, dan lainnya.

Dalam wawancara bersama sejumlah media pada pekan lalu, Co-Founder & CEO Flokq Anand Janardhanan menjelaskan Flokq memberikan solusi untuk mereka yang ingin upgrade hunian indekos dari sebelumnya atau mencari apartemen dengan harga lebih terjangkau.

Perusahaan secara khusus mengincar kalangan professional sebagai pengguna, kebetulan penghuni terbanyaknya adalah ekspatriat dan pengusaha muda yang tetap ingin bangun jaringan dan terhubung dengan penghuni co-living lainnya di tempat yang mereka huni dalam suatu komunitas.

“Kekuatan utama dari Flokq adalah komunitas, kami ada aplikasi yang dikhususkan untuk menghubungkan antar penghuni yang punya kesamaan ketertarikan pada hobi atau spesialisasi tertentu,” terangnya.

Dalam satu gedung apartemen, biasanya Flokq mengelola sejumlah kamar di beberapa lantainya dari pihak manajemen, kisarannya antara lima sampai 20 unit. Tiap satu unit apartemen yang disewakan idealnya terdiri dari tiga kamar tidur privat untuk tiap tenant yang sudah lengkap dengan furniturnya dan ruang tengah yang dapat digunakan secara bersama.

Anand menerangkan Flokq menyewakan tiap unit kamarnya mulai dari Rp2,7 juta sampai Rp20 juta per bulan, dengan kontrak sewa minimal tiga bulan tanpa skema uang muka. Penentuan harga ini akan bergantung pada lokasi. Biaya sewa bulanan sudah termasuk listrik, jasa kebersihan, laundry, WiFi, dan fasilitas lainnya seperti area gym, kolam renang, layanan 24 jam, dan bebas parkir.

Dampak pandemi terhadap bisnis

Dia mengklaim pemberlakuan PSBB dan pengetatan lainnya untuk mengurangi penyebaran pandemi, tidak begitu memberikan dampak penurunan bisnis buat Flokq. Tercatat ada 26 penghuninya yang berkewarganegaraan luar Indonesia yang menyewa kamar melalui Flokq.

Dalam rangka mengurangi penyebaran pandemi, tim Flokq membuat sejumlah aturan yang diberlakukan di tiap huniannya. Beberapa di antaranya adalah frekuensi jasa kebersihan jadi seminggu sekali, dilarang berkunjung ke unit lain, dan peniadaan acara mingguan.

“Jadi situasinya tidak banyak berubah untuk okupansinya, meski ada yang keluar tapi ada yang masuk. Akan tetapi kami membuat aturan baru dalam rangka pencegahan ini, ada sistem yang memantau untuk memastikan setiap tenant ada di unitnya masing-masing.”

Di sisi lain, perusahaan jadi berbangga diri bahwa konsep co-living seperti ini ke depannya akan jauh lebih cerah karena tingkat permintaan yang lebih tinggi daripada co-working space pasca pandemi berlalu.

Flokq Advisor Akash Mulani menerangkan konsep co-living pada masa mendatang akan sangat berkaitan dengan kondisi masyarakat dan ekonomi yang terdampak pada Covid-19. Kegiatan isolasi mandiri yang dilakukan oleh banyak orang, berarti akan mengurangi interaksi manusia dan menurunkan kualitas kesehatan mental.

“Dengan co-living, orang-orang mendapat kesempatan untuk menjaganya tetap stabil sambil tinggal di dalam rumah. Kebijakan WFH yang menjadi umum, masyarakat butuh ruang untuk dirinya bekerja, teman yang dapat diandalkan karena persamaan minat dan latar belakang, atau tentunya ruang dengan biaya sewa ringan,” tuturnya.

Atas optimisme tersebut, pihaknya sedang menggodok konsep penggabungan co-living dan co-working dalam gedung yang sama. “Ini adalah konsep baru yang sedang kami jajaki dalam beberapa tahun ini. Kami berencana meluncurkannya dalam 12 atau 24 bulan ke depan.”

Rencana Flokq berikutnya

Anand menerangkan pada tahun depan perusahaan masih akan fokus mengelola apartemen di Jakarta. Ditargetkan angkanya bisa mencapai 3 ribu unit kamar yang bisa menampung 10 ribu penghuni. Berikutnya, perusahaan baru ekspansi ke kota potensial lainnya seperti Surabaya, Bandung, dan Medan.

Untuk bantu ekspansi, perusahaan sudah mengantongi pendanaan pra seri A pada awal tahun ini. Hanya saja terkait nominal dan investor yang dirahasiakan. “Investornya dari keluarga pengusaha real estate. Kemungkinan akhir tahun ini akan ada funding tambahan.”

Monetisasi perusahaan, sambungnya, diambil dari komisi yang dibayarkan tenant. Persentasenya sekitar 8%-10% tergantung kesepakatan dengan manajemen gedung. Adapun untuk tim Flokq saat ini ada 35 orang.

Untuk penyewaan kamar, Flokq belum menyediakan aplikasinya. Seluruh pemesanan diproses melalui situs sebagai gerbang utamanya, lalu WhatsApp untuk diskusi dengan admin untuk diskusi lebih lanjut.

Pemain lainnya di ranah co-living yang beroperasi di Indonesia ada Coliving Space by CoHive, YukStay, Wellspaces, Rukita, RedDoorz, Cocohub, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup Manajemen Indekos RoomMe Kantongi Pendanaan Seri A dari BAce Capital

Startup manajemen indekos resmi mengumumkan pendanaan Seri A dengan nilai yang dirahasiakan dipimpin oleh BAce Capital. Dua investor sebelumnya, Vertex Ventures dan KK Fund turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Dalam keterangan resmi, pendanaan bakal dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi dan ekspansi hingga 1000 rumah kos yang berlokasi di Bodetabek sampai tahun 2020 mendatang.

BAce Capital didirikan oleh veteran yang pernah bekerja di Alibaba dan Ant Financial. Pengetahuan lintas batas dari BAce diharapkan bisa menjadi wawasan yang berharga untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan RoomMe.

“BAce tidak hanya telah menunjukkan pemahaman mendalam tentang pasar Asia Tenggara, juga di Tiongkok. Kami bisa mendapatkan pemahaman mendalam tentang model bisnis serupa di berbagai wilayah, yang nantinya akan membantu kami menyempurnakan pengembangan arah bisnis RoomMe,” ucap CEO RoomMe Glen Ramersan.

Di wawancara sebelumnya, Glen menjelaskan bahwa kos adalah ranah awal yang akan diseriusi perusahaan sebelum masuk segmen lainnya. Tidak menutup kemungkinan RoomMe ekspansi layanan untuk manajamen di apartemen dan residen ekspatriat, misalnya.

Potensi bisnis kos di di Jabodetabek saja, sambungnya, diprediksi ada lebih dari 25 ribu gedung kos yang masih dijalankan secara konvensional.

Ketika sebuah kos bekerja sama dengan RoomMe, ada kualitas layanan yang terstandarisasi, informasi lengkap soal lokasi dan ketersediaan. Semuanya bisa diakses lewat aplikasi dan saluran OTA lainnya.

Fasilitas kos di RoomMe memiliki standar karena akan ditemui di hampir semua unit kamar yang ada, termasuk suasana kebersihan dan keamanan kamar selayaknya hotel, seperti air panas, TV layar datar, toiletries, dan wifi.

Kamar mandi dalam kamar dan pantry juga disediakan. Harga sudah standar ditentukan oleh RoomMe. Semua fasilitas ini menjadi standar yang tidak akan dibebankan ke penyewa kos, termasuk biaya perbaikan fasilitas dan promosi ke publik.

RoomMe punya empat produk untuk menjangkau seluruh segmen masyarakat. Ada RoomMe reguler, RoomMe+ untuk kalangan menengah atas, RoomMe Eco untuk kalangan mahasiswa dan harga terjangkau, dan RoomMe Syariah. Harga sewa dimulai dari Rp1 juta sampai Rp11 juta per bulannya.

Glen menyebut perusahaan telah menggaet ratusan rumah kos yang berlokasi di Jakarta dengan total lebih dari 2 ribu kamar.

Application Information Will Show Up Here