JIWA Group Terima Pendanaan, Konsep “Grab & Go” Mengubah Lanskap Industri Kopi Lokal

Startup coffee chain “JIWA Group” atau dikenal dengan salah satu produknya Kopi Janji Jiwa, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan dari Openspace dan Capsquare Asia Partners. Tidak disebutkan mengenai nominal investasi yang didapat, hanya saja disampaikan bahwa dana segar akan difokuskan untuk meningkatkan ekspansi bisnis. Terlebih kedua investor tersebut dinilai telah memiliki praktik terbaik di pasar value-chain lokal dan regional.

Sejak meluncur di tahun 2018, kini mereka telah menaungi 3 brand produk. Selain kopi, ada Jiwa Toast dan Jiwa Tea. Total ada sekitar 1000 outlet yang dioperasikan di 100 kota di Indonesia. Sepanjang 2021 ini, mereka mengatakan telah menjual 40 juta produk dengan peningkatan 2x lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Kami percaya brand JIWA yang kuat, penawaran produk yang unik, 1000 lokasi offline yang kuat, ditambah dengan meningkatnya penggunaan teknologi di semua elemen bisnis akan terus memantapkan posisinya sebagai pemimpin pasar,” ujar Executive Director Openspace Jessica Huang Pouleur.

Pengembangan teknologi dan strategi omnichannel

Menurut pemaparan Founder JIWA Group Billy Kurniawan, pertumbuhannya impresif yang didapat tak terlepas dari peran kanal digital. Termasuk penggunaan media sosial untuk engagement dengan pelanggan, hingga integrasi dengan platform online marketplace dan food delivery.

Mereka juga sudah meluncurkan aplikasi JIWA+, untuk mendukung model “grab & go” yang sejak awal menjadi khas Kopi Janji Jiwa. Pengguna bisa memesan menu dan membayar melalui aplikasi, kemudian bisa memilih opsi untuk ambil di outlet terdekat atau diantar ke lokasi. Di dalam aplikasi juga dibuat sistem loyalty untuk meningkatkan retensi pelanggan.

Selain meningkatkan operasi seperti menambah outlet, produk, warehouse, dan logistik, dengan dukungan dari para investor JIWA juga ingin mengakselerasi penggunaan teknologi. Fokusnya di beberapa area, seperti peningkatan pengalaman pelanggan, supply chain, dan mereduksi carbon footprint. Para founder juga memiliki misi untuk menjadi pemimpin industri untuk segmen F&B yang diberdayakan dengan teknologi, untuk selanjutnya masuk ke pasar Asia.

“Inovasi dan kepuasan pelanggan selalu menjadi bagian dari DNA Jiwa Group, memastikan kami tetap relevan dan berkelanjutan di industri F&B yang dinamis,” kata Billy.

Naik kelas bisnis F&B lewat digital

Menurut riset (MIX, 2020), 40% pelanggan kopi di Indonesia mulai beralih ke gerai grab & go. Permintaan ini didukung oleh pergeseran dari kopi instan, karena konsumen menginginkan minuman yang lebih berkualitas — serta memadukan dengan makanan ringan pelengkap. Menurut laporan yang dihimpun Statista, revenue dari bisnis kopi (roast coffee) akan mencapai $9,5 miliar di tahun ini. Diperkirakan akan mengalami pertumbuhan CAGR 9,76% sampai periode 2025.

Untuk menjaga tren pertumbuhan, para pemain industri memulai memanfaatkan kanal digital. Strategi tersebut dilakukan beriringan dengan peningkatan jumlah gerai. Konsep grab & go sendiri memang sangat bergantung dengan keberadaan gerai, kendati tidak sedikit yang hanya dijadikan tempat produksi (tanpa memiliki ruang untuk dine-in).

Aplikasi didesain untuk menghubungkan konsumen dengan outlet, membawa dari online menuju offline – atau sebaliknya. Model ini cukup efisien, karena perusahaan pun bisa memanfaatkan data yang didapat dari kebiasaan konsumen yang tercatat di aplikasi, sehingga dapat menyuguhkan produk dan layanan yang lebih sesuai dengan pangsa pasarnya. Dari sisi konsumen, adanya kemudahan dan value added menjadikan mereka mau untuk memanfaatkan aplikasi.

Para pemilik brand coffee chain terus berinvestasi mengembangkan teknologi. Selain memanfaatkan platform yang sudah ada, mereka juga membuat aplikasinya sendiri. Beberapa aplikasi bahkan menempati peringkat yang cukup signifikan. Berdasarkan pengamatan kami terhadap statistik Google Play per 05 November 2021, didapat data ini dari kategori Food and Drink:

Peringkat Aplikasi Unduhan Rating
6 Kopi Kenangan 1 juta+ 4,6
13 Boba Ceria 100 ribu+ 4,3
17 Chatime Indonesia 500 ribu+ 4,5
21 JIWA+ 100 ribu+ 4,7
22 ISMAYA 100 ribu+ 4,4
24 Fore Coffee 100 ribu+ 4,6
61 Flash Coffee 50 ribu+ 4,6
92 KULO 10 ribu+ 1,7

Didukung investor startup teknologi

Adopsi teknologi dalam model bisnis coffee chain menjadi perhatian tersendiri bagi investor. Dengan roadmap yang ada, para pemain mampu memberikan pembuktian dan proyeksi bisnis yang mengesankan – tidak hanya bisnis kopi saja, tapi F&B secara umum. Layanan berbasis food tech kemudian banyak terlahir dari inovator. Peluang pemanfaatan teknologinya sendiri memang menyeluruh, mulai dari supply chain bahan baku, untuk efisiensi operasional dan transaksi, hingga distribusi.

Dengan hipotesis masing-masing, saat ini beberapa pemodal ventura di Indonesia turut masuk ke industri tersebut, di antaranya:

Pemodal Ventura Portofolio
Alpha JWC Ventures Google, Hangry, Kopi Kenangan, Lemonilo, Mangkokku
East Ventures Fore Coffee, Greenly, Legit Group
AC Ventures Coffee Meets Bagel, Fore Coffee
Vertex Ventures Dailybox
Openspace Ventures JIWA Group
SALT Ventures Hangry, Shiru

Kendati demikian, model bisnis kopi juga terus berkembang di Indonesia. Tahun 2020 lalu, Jago Cofee memperkenalkan diri dengan mobile coffe chain. Alih-alih dengan outlet, mereka memanfaatkan mitra untuk mendistribusikan produk berkeliling dengan gerobak yang sudah disediakan dan didesain khusus. Sama, Jago juga turut memanfaatkan aplikasi untuk memudahkan pelanggannya menemukan mitra dan melakukan pemesanan.

Lanskap industri ini menjadi menarik, apalagi kini Kopi Kenangan sebagai salah satu pemimpin pasar coffee chain berpotensi akan menjadi unicorn pertama dalam waktu dekat. Diketahui valuasi mereka sudah menembus hampir $900 juta. Artinya pangsa pasarnya memang sudah sebesar itu dan model bisnis yang diadopsi bisa diterima dengan baik dan di-scale up lebih besar lagi.

Application Information Will Show Up Here

Flash Coffee Membidik Pertumbuhan 18 Kali Lipat dengan Ekspansi 75 Gerai di Indonesia

Startup coffee chain berbasis teknologi Flash Coffee mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $15 juta atau Rp218 miliar. White Star Capital memimpin pendanaan ini, diikuti oleh sejumlah investor lain, yaitu DX Venture, Global Founders Capital, dan Conny & Co. Pendanaan baru ini menambah total modal yang diterima Flash Coffee menjadi $20 juta atau sebesar Rp290 miliar.

Perusahaan portofolio Rocket Internet ini akan melakukan ekspansi ke-10 negara di Asia Pasifik dengan menargetkan sebanyak 300 gerai baru atau tiga gerai baru setiap minggunya. Saat ini, Flash Coffee telah memiliki 50 gerai yang tersebar di Indonesia, Singapura, dan Thailand.

“Target kami menambah 300 outlet di Asia Pasifik, di mana menjadi 75 outlet diharapkan dari Indonesia pada akhir 2021. Kami juga membidik pertumbuhan 18 kali lipat di Indonesia tahun ini,” ungkap Founder & CEO Flash Coffee David Brunier dalam wawancaranya dengan DailySocial. 

Brunier mengungkap bahwa perusahaan telah mengantongi keuntungan dari 50 gerai yang dimiliki saat ini terlepas dari situasi pandemi. Pihaknya optimistis dapat kembali mempertahankan profitabilitas sejalan dengan ekspansi besar-besaran yang dilakukan untuk 2021 dan 2022.

Flash Coffee pertama kali hadir di Indonesia pada awal 2020 dengan 4 gerai saat itu. Per April 2021, pihaknya telah mengoperasikan 14 gerai yang tersebar di kawasan Jabodetabek. Tahun ini, jumlah gerai tersebut diharapkan bertambah menjadi 75 gerai dan pihaknya juga akan melihat peluang ekspansi di wilayah lainnya, seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan.

Momentum untuk ekspansi

Brunier menilai bahwa pasar gerai kopi ritel di Indonesia sangat menarik dan punya ruang pertumbuhan besar. Selain tingginya jumlah populasi jiwa, segmen kelas menengah atas yang haus mencoba produk baru dan konsumsi kopi per kapita terus meningkat.

Namun, pangsa Flash Coffee di Indonesia disebut sedikit lebih rendah dibandingkan di Singapura dan Thailand. Hal ini karena konsumen Indonesia cenderung lebih suka menikmati kopi sambil nongkrong di gerai, terutama di mal.

Maka itu, menurutnya pandemi Covid-19 telah membuat penjualan kopi dengan model grab-and-go menjadi lebih relevan bagi pelanggan di seluruh kawasan ini. Situasi ini juga membuka kesempatan bagi Flash Coffee untuk meningkatkan pengalaman pelanggan secara signifikan dengan menyajikan kopi berkualitas tinggi dan terjangkau. Salah satunya telah dijawab lewat peluncuran aplikasi Flash Coffee tahun lalu yang dilengkapi fitur pengambilan pesanan.

Situasi saat ini juga memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dengan mengoptimalkan lahan properti sehingga dapat menurunkan biaya sewa secara signifikan. Selain itu, konsep grab-and-go juga dapat meningkatkan produksi makanan dan minuman tanpa membutuhkan banyak barista. Dengan penghematan ini, perusahaan dapat membayar gaji yang layak kepada barista dan harga terjangkau kepada pelanggan.

“Kami optimistis melanjutkan ekspansi gerai fisik di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Di situasi ini kami justru dapat menyewa properti premium dengan harga yang lebih rendah. Saat ini, trafik pengunjung gerai meningkat dari tahun lalu. Kami harap trafiknya kembali ke semula di 2022. Kami juga akan melihat opsi lain untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan selain ekspansi gerai fisik,” papar Brunier.

Ekspansi teknologi dan tim

Flash Coffee menggunakan strategi 4E untuk pertumbuhan bisnisnya, antara lain Ekpand (gerai dan lokasi), Enlarge (tim), Enhance (teknologi), dan Engage (interaksi pelanggan). Dari sisi teknologi, ada beberapa hal yang akan diperkuat Flash Coffee. Pertama, (1) inovasi lewat aplikasi konsumen yang dapat diunduh di platform iOS dan Android serta aplikasi barista untuk meningkatkan efisiensi operasional dan pemberian insentif berbasis performa.

Selanjutnya, (2) pengambilan keputusan berbasis data untuk menyocokan produk dan pasar, (3) penerapan teknologi untuk untuk mengidentifikasi area dengan permintaan tinggi, alur konsumen, dan konversi trafik di gerai, serta (4) digitalisasi perlengkapan untuk membantu konfigurasi secara online dan terpusat dan memastikan konsistensi di seluruh gerai.

Lebih lanjut, Flash Coffee juga melakukan perekrutan besar-besaran dengan ekspansi masif ini. Secara total, perusahaan tengah melakukan perekrutan 2.000 orang di Asia Pasifik dalam satu tahun ke depan. Ini sudah termasuk penambahan orang untuk menempati posisi di tim teknologi untuk regional.

“Untuk menjadi gerai kopi berbasis teknologi terbaik di Asia, kami berinvestasi besar agar dapat menempatkan SDM terbaik di posisi yang tepat. Kami akan memperbesar tim kami menjadi 50 orang di hub teknologi regional Flash Coffee yang berbasis di Jakarta,” tambahnya.

Startup coffee chain di Indonesia

Salah satu kunci pertumbuhan coffee chain adalah ketersediaan gerai untuk menjangkau pasar. Ekspansi besar-besaran Flash Coffee ini akan menambah persaingan new retail di industri coffee chain berbasis teknologi di Indonesia.

Calon startup unicorn Kopi Kenangan kini telah memperkerjakan 3.000 karyawan yang tersebar di 324 gerai di Indonesia. Perusahaan membidik penambahan gerai menjadi 500 gerai pada tahun ini. Setelah menerima guyuran pendanaan seri B senilai lebih dari Rp1,6 triliun) di 2020, Kopi Kenangan juga akan memperkuat posisinya dengan menawarkan produk makanan dan minuman dari pedagang lokal serta mengembangkan cloud kitchen.

Kemudian, Fore Coffee yang juga mengantongi investasi Rp147 miliar di kuartal kedua 2020, juga masih menggenjot ekspansi gerai ke Bandung, Surabaya, dan Medan. Saat ini Fore Coffee telah memiliki sekitar 100 unit gerai per April tahun lalu. Sementara, Janji Jiwa menyebut telah memiliki 800 gerai kopi berkat program kemitraan di seluruh Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Jago Coffee Presents A New Breakthrough in the Coffee Industry With “Mobile Cafe Chain” Concept

Coffee has now become a lifestyle for Indonesian people, not just a drink to keep you awake. Even though this segment has diverse players, there are still some gaps to be explored, as what Jago Coffee‘s working on.

The startup was founded by Yoshua Tanu (CEO) and Christopher Laurence Oentojo (CTO). Yoshua alone is a barista and business owner of the St. Ali coffee and Common Grounds Coffee Roastery, while Christopher was ex-Gojek’s VP of Product.

Yoshua told DailySocial, the reason behind the mobile coffee chain concept is actually to bring coffee closer to consumers without having to visit a coffee shop or wait for online order. He said, online courier makes it easier for people to order coffee, however, the high-quality coffee might be at stake on the way.

“We want to offer high-quality coffee freshly made by personal baristas who come directly to consumers. With a cheaper price, we use high-quality ingredients, direct trading from local coffee farmers, we use Arabica coffee, fresh milk, and no canned products,” he explained, Thursday (13/8).

Jago coffee order is a whole digital experience through the application and connected to Gopay digital wallet for payment. The application will directly connect the closest Jago partner device from the consumer’s location.

Partners will go to the location and prepare orders on the spot and deliver them, therefore, consumers don’t have to visit the cafe. Some menu is available at IDR 18 thousand, from “So So Good” or iced coffee with milk, “Tanah Airku” a.k.a a brew of cold coffee with a little cinnamon, “Something Fresh” or hot black coffee, and “Something Fruity” filled with hot black coffee with a fruity taste.

UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee
Jago Coffee App UI/UX / Jago Coffee

Empowering micro business

Another mission Yoshua aims to deliver is to empower micro-entrepreneurs to own their own businesses by becoming Jago partners. They are trained to be professional baristas as well as business owners.

Before going to the field, the partners will be trained for two weeks to learn soft skills to hard skills to serve consumers, how to brew coffee, and practice riding the bicycle itself. The reason is, Jago uses electric bikes for partner vehicles to meet consumers.

For every bicycle unit, partners can sell up to 125 cups with a distance of up to 35 km. This bike comes from a partnership between the company and an electric bicycle developer.

“We created this partnership program based on aspirations coming from the barista association members that they want to have their own shop. However, it will be difficult if there is no ‘name’ for marketing. Then, we introduce them to micro business owners.”

In addition, he wants to promote “cart” micro-entrepreneurs as the perception that they come from the lower economic circles. He said, they are quite confident that Jago’s coffee products are of high quality and are connected to technology.

Yoshua said partners who want to join are free of charge. They will get a starter kit to start a business worth IDR 4 million, consisting of a set of manual brewing tools (electric kettle, V60 plastic dripper, range server, digital scale, and paper filter); bicycle helmet; sling bag; microfiber cloth and plas chamois; and jackets.

All starter kits will be proprietary with an installment scheme of 12 months. Meanwhile, electric bikes will be lent as long as they’re listed as Jago’s partner. Jago will provide coffee beverage products for sale by partners and the company will get a fee for each successful sale.

“Currently we have 14 Jago partners with a radius of 8 km from Kuningan, Jakarta which can reach Pondok Indah, the North area, to Monas.”

Plans and challenges

Jago Coffee offers quite a “fresh” concept from what most coffee shop players offer. They generally rely on physical assets to bring them closer to consumers and open online stores or applications for online courier delivery. Meanwhile, Jago chose the mobile outlet concept to make it easier to reach consumers.

“We can sell at low prices because we don’t have overhead costs, labor costs because the partner is the owner and operator. They are self-employed.”

Yoshua said, since this is quite new, the company’s challenge is to educate consumers, even though the products are delivered by “modern carts” but the quality of the coffee is fresh and of high quality. Also supported by digital applications for the backbone.

The company plans to continue adding partners with targeting five people per month. He did not want it to be very aggressive to maintain the amount of supply and demand. The menu development will not be limited to coffee variations, but will spread to foods, such as snacks.

As an entity, Jago Coffee has received an undisclosed amount of investment from Common Grounds, a company where Yoshua leads. It creates the possibility of external funding next year.

“It is just an investment, Common Grounds as an investor, each entity stands alone,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bawa Terobosan Baru di Bisnis Kopi Kekinian, Jago Coffee Terapkan Konsep “Mobile Cafe Chain”

Minum kopi bagi orang Indonesia kini sudah menjadi gaya hidup, bukan lagi sekadar minuman penghilang kantuk. Meski pemain di segmen ini sudah beragam, masih ada celah yang bisa dikembangkan, seperti yang kini diupayakan oleh Jago Coffee.

Startup ini didirikan oleh Yoshua Tanu (CEO) dan Christopher Laurence Oentojo (CTO). Yoshua sendiri merupakan barista dan pemilik usaha dari kafe kopi St. Ali dan Common Grounds Coffee Roastery, sementara Christopher sebelumnya bekerja di Gojek sebagai VP of Product.

Kepada DailySocial, Yoshua menceritakan bahwa alasan di balik konsep mobile coffee chain sebenarnya keinginan untuk mendekatkan kopi kepada konsumen tanpa harus datang ke gerai kopi atau menunggu dari pesanan kurir online. Kurir online menurutnya memang memudahkan orang untuk memesan kopi, tapi ada yang harus dikorbankan, yakni turunnya kualitas rasa kopi.

“Kami ingin menawarkan kopi berkualitas tinggi freshly made oleh barista pribadi yang datang langsung ke konsumen. Harga kopi kami meski lebih murah, tapi menggunakan bahan-bahan berkualitas tinggi, direct trading dari petani kopi lokal, kami pakai kopi arabika, susu segar, dan tidak ada produk dari kaleng,” terangnya, Kamis (13/8).

Pemesanan kopi Jago dilakukan sepenuhnya secara digital melalui aplikasinya dan sudah terhubung dengan uang elektronik Gopay untuk pembayarannya. Aplikasi akan menghubungkan langsung ke perangkat mitra Jago terdekat dari lokasi konsumen.

Mitra akan mendatangi lokasi dan menyiapkan pesanan di tempat dan mengantarkannya, sehingga konsumen tidak perlu pergi ke kafe. Menu kopi yang bisa dinikmati seharga Rp18 ribu, dengan pilihan mulai dari “So So Good” atau es kopi susu, “Tanah Airku” yang merupakan seduhan kopi dingin dengan sedikit kayu manis, “Something Fresh” atau kopi hitam panas, dan “Something Fruity” yang isinya adalah kopi hitam panas dengan rasa buah.

UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee
UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee

Berdayakan pengusaha mikro

Misi lainnya yang ingin Yoshua salurkan adalah memberdayakan pengusaha mikro untuk memiliki bisnis sendiri dengan menjadi mitra Jago. Mereka dilatih menjadi barista profesional sekaligus pemilik bisnis.

Sebelum terjun ke lapangan, mitra tersebut akan dilatih selama dua minggu untuk mempelajari kemampuan soft skill hingga hard skill untuk melayani konsumen, cara menyeduh kopi, hingga berlatih menaiki sepeda itu sendiri. Pasalnya, Jago memanfaatkan sepeda elektrik untuk kendaraan mitra menemui konsumennya.

Setiap satu unit sepeda, mitra dapat menjual hingga 125 cup dengan jarak tempuh hingga 35 km. Sepeda ini adalah hasil kemitraan perusahaan dengan pengembang sepeda elektrik.

“Program kemitraan ini kami buat karena ada aspirasi yang datang dari anggota asosiasi barista bahwa mereka ingin punya kedai sendiri. Tapi itu akan susah kalau belum ada ‘nama’ untuk marketing-nya. Jadi kami perkenalkan mereka sebagai micro business owner.”

Di tambah, ia ingin memajukan pengusaha mikro “gerobakan” dari persepsi datang dari kalangan ekonomi bawah. Menurutnya, mereka sekarang memiliki kepercayaan tinggi bahwa produk kopi yang dijual Jago punya kualitas tinggi dan sudah terhubung dengan teknologi.

Yoshua mengungkapkan mitra yang ingin bergabung tidak dikenakan biaya. Mereka akan mendapat starter kit untuk memulai usaha senilai Rp4 juta yang terdiri dari satu set alat manual brewing (electric kettle, V60 plastic dripper, range server, digital scale, dan paper filter); helm sepeda; sling bag; lap mikrofiber dan plas chamois; dan jaket.

Seluruh starter kit akan menjadi hak milik dengan skema cicilan selama 12 bulan. Sementara sepeda elektrik akan dipinjamkan selama menjadi mitra Jago. Jago akan menyediakan produk minuman kopi untuk dijual mitra dan perusahaan akan mendapat fee dari setiap penjualan yang berhasil.

“Saat ini kita ada 14 mitra Jago dengan radius 8 km dari Kuningan, Jakarta yang bisa jangkau ke Pondok Indah, daerah Utara, hingga Monas.”

Rencana dan tantangan Jago

Konsep yang ditawarkan Jago Coffee bisa dibilang segar dari apa yang ditawarkan pemain kedai kopi kebanyakan. Umumnya mereka mengandalkan aset fisik untuk mendekatkan mereka dengan konsumen dan membuka toko online atau aplikasi untuk pengiriman dengan kurir online. Sementara Jago memilih konsep gerai mobile agar dapat lebih mudah jemput bola.

“Kita bisa jual harga rendah karena kita enggak ada overhead cost, labor cost karena mitra itu owner sekaligus operator. Mereka sendiri yang meng-operate.”

Yoshua menuturkan karena ini masih baru maka tantangan perusahaan adalah mengedukasi kepada konsumen, meski produk diantarkan dengan “gerobak modern” tapi kualitas kopi yang disajikan fresh dan berkualitas tinggi. Juga dibantu aplikasi digital untuk backbone-nya.

Perusahaan berencana untuk terus menambah mitra dengan target tambahan lima orang per bulannya. Ia tidak ingin penambahan terlalu agresif untuk menjaga jumlah supply dan demand. Untuk pengembangan menu nantinya tidak akan terbatas di variasi kopi saja, tapi akan menyebar ke makanan, seperti snack.

Secara entitas, Jago Coffee telah menerima investasi dengan nilai dirahasiakan dari Common Grounds, perusahaan yang Yoshua pimpin sendiri. Ia membuka kemungkinan untuk melakukan pendanaan eksternal pada tahun depan.

“Bentuknya sebagai investasi saja, Common Grounds sebagai investornya, masing-masing entitas berdiri sendiri,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Kopi Kenangan Announces Over 1.6 Trillion Rupiah Worth of Series B Funding

The new retail startup Kopi Kenangan has announced Series B funding worth of $109 million (over 1.6 trillion Rupiah) led by the previous investor, Sequoia Capital India. There are some new investors, such as B Capital, Horizon Ventures, Verlinvest, Kunlun, and Sofina participated in this round, also the seed investor, Alpha JWC Ventures.

It is reported that one of Facebook’s co-founders, Eduardo Saverin has joined Kopi Kenangan’s board of commissioners, through B Capital. His participation is expected to help make a faster business transformation.

“I look forward to working with Kopi Kenangan and building a global brand that celebrates the distinctive flavors of Indonesia and Southeast Asia,” Saverin stated in the official release, Tuesday (5/12).

Historically, Kopi Kenangan has acquired seed funding from Alpha JWC Ventures worth of $8 million in 2018. A year later, they raised a series A round of $20 million led by Sequoia Capital India with additional funds at an undisclosed value from Arrive, Serena Ventures, NBA’s Caris LeVert, and Sweetgreen’s founder, Jonathan Neman.

In separate occasion, Kopi Kenangan’s Co-Founder & CEO, Edward Tirtanata confirmed to DailySocial that the company is yet to acquire the unicorn status. As a general note, Kopi Kenangan’s valuation is said to exceed the centaur position. “Kopi Kenangan is yet to be a unicorn,” he said.

He revealed the plan with this fresh funding is to tighten its positionn in Indonesia. One thing, it’s the plan to offer food and beverages from local partners and developing a cloud kitchen.

“As a startup in the growth stage, we are quickly adapting to challenges through contactless transactions and highly-curated hygiene standards throughout our stores. Employee welfare is a big priority and we are investing in their safety, along with increasing health benefits and additional training to help them cope with this big change,” he said.

The pandemic hits Kopi Kenangan’s business hard. Edward said all other industries, including F&B, are experiencing a significant decline, especially offline outlets. However, thanks to the grab and go business model, the company saw an increase in online orders by 50% in certain locations.

He believes businesses that quickly adapt to conditions can survive in a crisis, unlike the most brilliant or with large capital ones. “Kopi Kenangan has gained investor trust by adopting a grab and go business model that fits the current situation.”

To date, Kopi Kenangan employs 3 thousand employees in 324 outlets in all cities in Indonesia. It is expected that this year the store can add up to 500 stores. The company also has ambitions for post-pandemic regional expansion. Thailand, the Philippines, and Malaysia, are the countries they are after.

“Regional expansion is still on schedule, by adapting to the post-Covid-19 situation,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kopi Kenangan Umumkan Pendanaan Seri B Lebih dari 1,6 Triliun Rupiah

Startup new retail Kopi Kenangan mengumumkan pendanaan seri B senilai $109 juta (lebih dari 1,6 triliun Rupiah) yang dipimpin investor terdahulunya Sequoia Capital India. Beberapa nama baru seperti B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, dan Sofina turut bergabung dalam putaran ini, sekaligus investor pertamanya Alpha JWC Ventures.

Dikabarkan pula, salah satu co-founder Facebook Eduardo Saverin bergabung ke dalam jajaran komisaris Kopi Kenangan, melalui B Capital. Keterlibatannya diharapkan dapat membantu transformasi perusahaan jauh lebih cepat.

“Saya berharap dapat bekerja sama dengan Kopi Kenangan dan membangun merek global yang merayakan citarasa khas Indonesia dan Asia Tenggara,” kata Saverin dalam keterangan resmi, Selasa (12/5).

Dalam rekam jejaknya, Kopi Kenangan pertama kali mengantongi pendanaan tahap awal dari Alpha JWC Ventures senilai $8 juta pada 2018. Setahun kemudian, menggalang pendanaan seri A sebesar $20 juta dipimpin oleh Sequoia Capital India dan tambahan dana dengan nilai dirahasiakan dari Arrive, Serena Ventures, pebasket NBA Caris LeVert, dan pendiri Sweetgreen Jonathan Neman.

Bila ditotal, investasi yang diterima perusahaan mencapai lebih dari $137 juta (lebih dari 2 triliun Rupiah).

Secara terpisah, kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengonfirmasi, sampai tahap ini perusahaan belum menyandang status unicorn, sebelumnya diketahui bahwa valuasi Kopi Kenangan sudah tembus status centaur. “Sampai saat ini Kopi Kenangan belum menjadi unicorn,” ujarnya.

Dia menerangkan mengatakan pendanaan segar ini akan digunakan untuk memperkuat posisinya di Indonesia. Salah satunya, rencana untuk menawarkan berbagai produk makanan dan minuman dari pedagang lokal serta mengembangkan cloud kitchen.

“Sebagai startup yang sedang tumbuh, kami cepat beradaptasi terhadap tantangan melalui transaksi tanpa kontak dan standar kebersihan yang tidak kenal kompromi di seluruh toko kami. Kesejahteraan karyawan adalah prioritas besar dan kami berinvestasi untuk keselamatan mereka, bersamaan dengan itu peningkatan manfaat kesehatan dan pelatihan tambahan untuk membantu mereka mengatasi perubahan besar ini,” ujarnya.

Dampak pandemi, juga menghantam bisnis Kopi Kenangan. Edward menuturkan, semua industri lain, F&B juga mengalami penurunan signifikan, terutama di gerai offline. Tapi berkat model bisnis grab & go, perusahaan melihat adanya peningkatan online order sebesar 50% di lokasi-lokasi tertentu.

Dia pun percaya, bisnis yang cepat beradaptasi dengan kondisi dapat bertahan di tengah krisis, bukanlah mereka yang terpintar atau punya modal besar. “Kopi Kenangan mendapatkan kepercayaan investor dengan mengangkat model bisnis grab and go yang cocok dengan situasi saat ini.”

Saat ini Kopi Kenangan memperkerjakan 3 ribu karyawan tersebar di 324 gerai di seluruh kota di Indonesia. Diharapkan pada tahun ini dapat menambah lokasi toko hingga mencapai 500 gerai. Perusahaan juga berambisi untuk ekspansi regional pasca pandemi. Thailand, Filipina, dan Malaysia, menjadi negara yang mereka incar.

“Rencana ekspansi regional akan tetap dilaksanakan, dengan melihat situasi pasca-Covid-19,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Coffeeshop’s Creative Strategies Amid the Tight Market Competition

Coffeeshop business becomes very mushrooming for the past few years. More brands are coming and the competition rate is getting higher than ever. Eventually, each player is required to create innovation for loyal customers. Are you expecting some tips?

In order to provide you with some answers, #SelasaStartup has invited Janji Jiwa’s Founder & CEO, Billy Kurniawan as a speaker. Janji Jiwa is a coffeeshop with grab-and-go concept. Since its first debut two years ago, Janji Jiwa has expanding its branches into 800 outlets throughout Indonesia, thanks to the partnership program. Here’s an exerpt of the session:

Clarify the motive, is it passion or just following the “hype”

For some young entrepreneurs who grow interests in the coffee industry, he suggests them to clarify whether this is a passion or just another trend-following act. He thought this is one essential foundation before they can step further into the next process, such as going on research, supplier-hunting, exploring ways of roasting, to the pricing area.

When you follow your passion, you can have special added value to a certain brand. The coffee alone, he continued, still has large opportunity for exploration.

Simply put, coffee is one of Indonesia’s main commodity with such great followers. Everybody, of all ages, social status, gender, can have a certain market for each brand.

“Therefore, discover the identity first and do market research for the right target. Coffee needs personal attachment, a philosophic story. Janji Jiwa, it’s all about passion, we present for those in need for a company to achieve their passion,” he said.

If only for the trend, without particularly strong passion in the coffee industry, it’ll be harder for brand to stay in the game. In fact, the target is to compete among brands and provide an added value other competitors’ can’t afford.

Regarding competition, if you only desired to win, it’ll only lead to a price war. The quality and other components must be put aside in order to provide a cup of cheap coffee.

Create a product-market fit

In the food and beverages (FnB) industry, a product-market fit is required to produce a result to meet consumer’s demand. Billy recommends us to use the five senses. In terms of sight, make sure the logo represented the inner brand.

In terms of taste, this should be a highlight since the tongue never lies. Next, the touch of its packaging should be made simple, nothing too fancy.

Fourth, the smell tells everything about the coffee’s “aroma”. It’s a key to brew a good coffee for we talk about quality. Last, the hearing about one’s brand acceptance by its consumer, the word-of-mouth will surely travel fast.

“For the new brand, it’s better to first find the market, simply by creating a survey through samples.”

Janji Jiwa always held a routine internal survey for every new product to launch. There will be results on consumer response, is it good-to-go or require improvements.

Once you gain profit, he also suggests focusing on growth. The extra money should turn into investment until the brand sustainable enough.

However, he said to be the leading player is very important and the market competition for the grab-and-go concept is more intense.

No such thing as zero cost, but minimal cost applied

In order to start a new business, Billy highlights the fact that no such thing as zero cost. The coffee business, if adjusted to the target consumer, requires equipment that is not cheap. It’s a form of long-term investment.

He said, Janji Jiwa was founded with an initial capital of Rp70 million. The nominal has included the rental fee for the first outlet at ITC Kuningan, Jakarta. Back then, he wanted to prove whether the hypothesis of grab-and-go coffee shops could really be a real business.

“When you know that the outlet has high traffic, it must do continuous improvement. This means investing in better tools, therefore, consumers not disappointed. ”

In terms of marketing, Janji Jiwa relies heavily on Instagram as a marketing medium. In order to have strong brand awareness and exposure, but thin capital, he decided to collaborate product barter with local brands.

“Creative marketing is important for it should be able to survive with the current capital. Collaboration with local brands such as product barter is better hence giving money is another cost.”

Penetration through online platform

The grab-and-go coffee shop concept has been very supported by the presence of GrabFood and GoFood for online delivery. Billy told the rate has reached 30% of total bookings every day.

This concept can be further strengthened indeed, once the brand has its own application. However, application alone is not enough. It must provide added value for consumers with some features, such as loyalty programs, nearby locations, free merchandise, and so on. “Janji Jiwa is on to that [for application].”

Moving to adjust trends, he continued, is a way to anticipate that a brand is not only limited to its hype. Therefore, Janji Jiwa has released other vertical products for toasts menu.

“We can make sure the synergy between the two brands [Janji Jiwa and Jiwa Toast] can work. Thus, we create our own toast menu, we didn’t use sweet toppings because there are already too many out there.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Strategi Kreatif Kedai Kopi Bersaing di Tengah Ketatnya Pasar

Bisnis kedai kopi menjadi suatu ranah usaha yang banyak digeluti oleh banyak orang. Semakin banyak brand baru bermunculan, persaingannya otomatis semakin ketat. Pada akhirnya, masing-masing pemain kembali dituntut untuk berinovasi agar tetap mendapat konsumen loyal. Lalu seperti apa kiat-kiatnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, #SelasaStartup kali ini mengundang Founder dan CEO Kopi Janji Jiwa Billy Kurniawan sebagai pembicara. Janji Jiwa merupakan kedai kopi yang menggunakan konsep grab-and-go. Sejak didirikan dua tahun lalu, Janji Jiwa kini sudah memiliki 800 outlet di seluruh Indonesia, berkat program kemitraan. Berikut rangkuman hasil diskusinya:

Pastikan apakah passion atau sekadar mengikuti tren

Untuk pengusaha muda yang tertarik terjun ke industri kopi, dia menyarankan untuk memastikan terlebih dulu apakah ini passion atau sekadar ikut tren saja. Menurutnya ini adalah fondasi dasar yang harus diperkuat sebelum melangkah ke proses selanjutnya, seperti riset asal usul kopi, cari supplier, cara roasting, hingga mengatur harga jual.

Apabila sesuai minat, maka ada spesialisasi yang bisa dikembangkan untuk memberikan nilai tambah kepada brand tersebut. Kopi itu sendiri, sambungnya, masih punya ruang yang luas untuk dikembangkan.

Alasannya simpel, kopi adalah salah satu komoditas utama di Indonesia yang peminatnya banyak. Semua orang, dari berbagai kalangan usia, status sosial, jenis kelamin, bisa menjadi pasar tersendiri untuk masing-masing brand.

“Jadi harus cari identitas dulu dan cari tahu market-nya agar tidak salah sasaran. Kopi itu butuh personal attachment, harus ada cerita di baliknya. Kalau Janji Jiwa itu tentang passion, kita mau menemani teman-teman yang sedang mengerjakan sesuatu sesuai passion mereka,” katanya.

Kalau hanya sekadar mengejar tren, tanpa diikuti passion yang kuat di kopi, menurutnya akan susah untuk suatu brand bisa bertahan. Pasalnya, yang pasti diincar adalah bersaing dengan brand dan memberikan kelebihan-kelebihan yang tidak ada di kompetitor.

Sementara kalau hanya ingin bersaing, ujung-ujungnya adalah perang harga. Kualitas kopi dan komponen lainnya harus diturunkan demi menawarkan satu gelas kopi dengan harga murah.

Membuat product market fit

Di industri food and beverages (FnB), juga butuh product market fit untuk mendapatkan produk yang disukai konsumen. Billy merekomendasikan untuk menggunakan lima panca indera. Dari pengelihatan, pastikan logo brand tersebut harus merepresentasikan jati dirinya.

Dari pengecapan, harus mengutamakan rasa karena lidah tidak bisa dibohongi. Lalu, dari peraba, perlu dipastikan dari pengemasannya harus memudahkan konsumen bukan justru merepotkan mereka.

Keempat, indera penciuman berbicara tentang aroma kopi. Aroma adalah kunci terpenting dalam membuat kopi karena berbicara tentang kualitas. Terakhir, pendengaran, ketika suatu brand diterima dengan baik oleh konsumen pasti word of mouth-nya akan kencang.

“Buat brand baru bisa mulai cari tahu market-nya dulu, bisa buat survei sendiri dengan buat sampel-sampel.”

Di Janji Jiwa, secara rutin perusahaan membuat survei internal untuk setiap produk yang akan dirilis. Dari situ akan ada gambaran kasar bagaimana respons konsumen, apakah perlu dilanjutkan atau diperbaiki.

Ketika sudah mendapat profit, dia juga menyarankan untuk fokus ke pertumbuhan. Profit tersebut sebaiknya harus diinvestasi kembali hingga brand tersebut menjadi bisnis yang berkelanjutan.

Lantaran, ia memandang bahwa menjadi pemimpin pasar itu sangat penting dan persiangannya untuk grab-and-go lebih intens.

Tidak ada zero cost, tapi bisa terapkan minimal cost

Dalam rangka merintis bisnis baru, Billy memastikan bahwa tidak ada yang bisa dikatakan sebagai zero cost. Bisnis kopi, bila disesuaikan dengan target konsumen, membutuhkan peralatan yang harganya tidak murah. Itu adalah investasi yang dapat berguna untuk jangka panjang.

Dia bercerita, Janji Jiwa ia didirikan dengan modal awal Rp70 juta. Nominal tersebut sudah masuk biaya sewa untuk outlet pertamanya di ITC Kuningan, Jakarta. Pada saat itu, ia ingin membuktikan apakah hipotesis dari kedai kopi grab-and-go benar bisa menjadi bisnis nyata.

“Ketika tahu outlet tersebut punya traffic tinggi, harus lakukan continous improvement. Artinya harus investasi alat yang lebih bagus agar konsumen tidak kecewa.”

Untuk pemasarannya, Janji Jiwa sangat mengandalkan keberadaan Instagram sebagai media pemasarannya. Agar punya brand awareness dan exposure yang kuat, tapi modal tipis, ia memutuskan untuk melakukan kolaborasi barter produk dengan brand lokal.

Creative marketing itu penting karena harus bisa survive dengan modal yang ada sekarang. Kolaborasi dengan brand lokal, buat barter produk itu lebih baik karena memberikan uang itu adalah cost.”

Masuk ke platform online

Kedai kopi dengan konsep grab-and-go saat ini sangat terbantu sekali dengan kehadiran GrabFood dan GoFood untuk pengiriman online. Billy mengungkapkan porsinya mencapai 30% dari total pemesanan setiap harinya.

Tentunya, konsep ini bisa semakin diperkuat apabila brand tersebut punya aplikasi sendiri. Namun jika hanya menyediakan aplikasi untuk memesan saja, itu tidak cukup. Aplikasi harus memberikan nilai tambah buat konsumen dengan fitur-fitur, seperti program loyalitas, cek lokasi terdekat, free merchandise, dan sebagainya. “Janji Jiwa juga sedang ke arah sana [buat aplikasi].”

Bergerak menyesuaikan tren, lanjutnya, adalah cara antisipasi agar suatu brand tidak hanya menjadi sebatas hype. Oleh karenanya, saat ini Janji Jiwa juga merilis vertikal produk lainnya untuk roti bakar.

“Kita pastikan sinergi antara kedua brand ini [Janji Jiwa dan Jiwa Toast] bisa jalan. Makanya kita buat toast yang kita develop sendiri rasanya, tidak yang topping-nya manis karena sudah banyak yang jual.”

Kopi Kenangan Peroleh Tambahan Pendanaan Seri A, Incar Ekspansi Regional

Startup new retail Kopi Kenangan umumkan tambahan pendanaan Seri A dari Arrive, Serena Ventures, pebasket NBA Caris LeVert, dan pendiri Sweetgreen Jonathan Neman dengan nominal dirahasiakan. Sequoia India, yang memimpin pendanaan seri A senilai $20 juta pada Juni 2019, juga berpartisipasi dalam putaran ini.

Arrive adalah VC yang didirikan oleh selebriti internasional Jay-Z, menandakan debut keduanya mendanai startup di ASEAN. Sementara Serena Ventures adalah VC yang dibentuk petenis internasional Serena William. Kedua VC ini sama-sama fokus pada pendanaan tahap awal.

“Kami ingin membangun brand yang legendaris dan kami sangat senang dapat bekerja sama para investor dan penasihat baru kami yang telah sukses membangun waralaba konsumen global di bidang olahraga, hiburan, makanan dan minuman, serta teknologi,” ucap Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata dalam keterangan resmi.

Edward berujar pendanaan akan dipakai untuk melancarkan ekspansi ke ASEAN, menambah lebih dari 1000 gerai dalam dua tahun ke depan. Tercatat, Kopi Kenangan telah hadir di lebih dari 200 gerai secara nasional di 18 kota, mempekerjakan 1800 pegawai.

Kenaikan pesat ini begitu terasa, sambungnya, tahun lalu perusahaan baru mengelola 16 toko dan menjual beberapa ribu gelas per hari. Sekarang perusahaan berhasil menjual lebih dari 3 juta gelas kopi per bulan.

Diklaim perusahaan telah mencatatkan keuntungan dan menorehkan pertumbuhan pendapatan sebanyak 20 kali lipat sejak menerima pendanaan tahap awal yang dipimpin Alpha JWC pada tahun lalu.

“Kami telah bertumbuh pesat sejak bisnis ini dimulai dua tahun lalu dan kami ingin terus belajar, serta meningkatkan layanan dan produk kami untuk memenuhi harapan pelanggan kami di Indonesia dan negara lain.”

Kopi Kenangan didirikan pada 2017 oleh Edward Tirtanata, James Prananto, dan Cynthia Chaerunnisa. Perusahaan berhasil mengisi kesenjangan antara kopi mahal yang disajikan peritel kopi internasional, yang tidak terjangkau sebagian masyarakat Indonesia, dan kopi instan yang dijual oleh kedai di pinggir jalan.

Menurut Nielsen Company, Kopi Kenangan adalah merek dengan top-of-mind awareness nomor satu untuk kategori Kopi Susu dan merek nomor dua setelah jaringan kopi internasional untuk kategori kopi umum.

Application Information Will Show Up Here

Penggunaan Data dan Teknologi untuk Industri Berbasis Ritel

Memanfaatkan teknologi, saat ini proses jual beli hingga pemesanan makanan dan minuman, sudah bisa dilakukan lebih cepat dan lebih mudah. Melihat potensi tersebut, Fore Coffee, coffee chain yang fokus menghadirkan kopi berkualitas asli Indonesia, mulai mengembangkan teknologi yang relevan dan memanfaatkan big data.

Di sesi #SelasaStartup, Deputy CEO Fore Coffee Elisa Suteja mengungkapkan potensi industri kopi di Indonesia dan bagaimana teknologi bisa membantu Fore Coffee memberikan layanan yang lebih baik kepada pelanggan.

Data untuk mengenal pelanggan

Sebagai salah satu coffee chain yang menawarkan aplikasi untuk pemesanan kopi, Fore Coffee menyadari benar fungsi dan manfaat data pelanggan yang dikumpulkan. Tidak hanya untuk memberikan layanan yang lebih baik bagi pelanggan, dengan data yang terkumpul, Fore Coffee bisa mengetahui lokasi yang strategis dan siapa saja pelanggannya.

“Awalnya kita fokus hadir di area perkantoran saja. Namun dengan mempelajari data yang ada ternyata di kawasan perumahan juga menginginkan adanya coffee shop. Karena alasan itulah Fore Coffee kemudian mulai merambah ke pemukiman warga,” kata Eliza.

Data yang dimiliki kemudian juga dimanfaatkan Fore Coffee untuk scale up. Meskipun masih belum bisa memprediksi seperti apa target dan rencana dalam waktu lima tahun ke depan, paling tidak manajemen bisa mengetahui secara detail demografi dari pelanggan yang ternyata kebanyakan adalah perempuan.

“Saat ini Fore Coffee telah memiliki sekitar 300 ribu pengguna yang berhasil kami kumpulkan secara bertahap memanfaatkan aplikasi,” kata Eliza.

Pendekatan teknologi

Eliza mencatat Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara yang mengalami pertumbuhan yang baik dalam hal industri kopi dan coffee shop. Peluang ini yang kemudian mendorong makin menjamurnya coffee shop konvensional dan mereka yang mulai mengadopsi teknologi.

“Untuk itu saya melihat pie-nya masih sangat besar untuk kemudian dibagi-bagi dengan coffee shop lainnya. Meskipun pada akhirnya coffee shop adalah industri brick and mortar, namun dengan pendekatan teknologi tentunya bisa memberikan layanan yang berbeda dan lebih baik lagi kepada pelanggan,” kata Eliza.

Dengan alasan itu juga East Ventures berinvestasi ke Fore Coffee dengan nilai putaran terakhir senilai $8,5 juta (sekitar 120 miliar Rupiah dengan kurs hari ini).

“Jika tidak didukung dengan pendanaan tentunya akan sulit untuk industri kopi bisa tumbuh dengan cepat. Karena alasan itulah mengapa East Ventures tertarik untuk berinvestasi di Fore Coffee,” kata Eliza.

Target pasar yang tepat

Dengan mengedepankan toko retail yang unik, Fore Coffee ingin menyasar target pasar yang relevan, yaitu pecinta kopi. Peningkatan kelas menengah juga menjadi salah satu alasan menjamurnya pertumbuhan pecinta kopi.

“Pada dasarnya semua bisnis memiliki peluang, apakah itu menjual kopi memanfaatkan teknologi atau secara konvensional. Eksekusi dan menyasar target pasar yang tepat yang kemudian menjadi penting,” kata Eliza.

Untuk menciptakan hype, Fore Coffee juga memanfaatkan influencer di media sosial yang dinilai relevan untuk memperkenalkan Fore Coffee. Misalnya ke kalangan perempuan yang ternyata merupakan demografi pelanggan terbesarnya.