Apakah Konten Viral dapat Berkualitas?

Mendengar kata ‘viral’, apa yang langsung terlintas di benakmu? Meme? Hashtag? Atau, hoax?

Sudut pandang medis mengartikan viral sebagai sesuatu yang berhubungan dekat dengan virus. Sedangkan, dari terminologi digital, viral sering dikaitkan dengan konten yang mendapat jempol atau repost berlimpah, diperbincangkan di timeline media sosial, hingga menjadi wacana ringan di grup messenger. Kedua perspektif ini punya benang merah utama, penyebaran.

Saat startup-mu sukses menghasilkan produk yang cocok dengan kebutuhan pasar, mungkin kamu mulai berpikir untuk menciptakan content marketing yang membuat nama usahamu melambung, dan viral, apalagi jika kamu sudah mencapai seri pendanaan tertentu yang memungkinkanmu memperbesar skala dan mengenalkan produk startup seluas-luasnya.

Viral marketing memang menggiurkan karena penyebarannya yang cepat namun masif. Perlu kombinasi dari berbagai medium agar pesan marketing yang ingin disampaikan menjadi buah bibir. Belajar dari pengalaman, Dropbox mengadopsi integrasi antara kualitas produk, word of mouth, dan media sosial sebagai medium viral marketing.

Tantangannya sekarang konten viral seringkali diidentikkan dengan konten remeh-temeh, seperti contohnya konten hoax berbentuk artikel atau meme, yang bersifat clickbait.

Bukan hanya bisnis startup yang erat kaitannya dengan konten dan media saja, semua jenis bisnis dapat menciptakan konten seperti itu, selama menggunakan medium yang menghubungkan ke banyak orang. Jadi, semua berkesempatan menjadi viral, tapi semua juga ‘berkesempatan’ untuk melahirkan konten yang remeh-temeh.

Lantas, apakah konten viral tidak bisa berbanding lurus dengan kualitas konten yang baik? Apakah membuat meme untuk social media marketing menjamin menjadi viral? Bagaimana proses dibalik konten viral?

rsz_img-20170330-wa0001

CEO Brilio Joe Wadakethalakal akan berbagi dan mengajakmu berdiskusi seputar hal ini di #SelasaStartup dengan tema “Viral vs. Quality”, bertempat di kantor DailySocial. #SelasaStartup kali ini pas sekali untukmu yang berkutat di bidang startup, business development, marketing, dan content production.

Selain snack dan coffee, kamu juga akan mendapatkan insight seputar tren content marketing terkini serta kesempatan untuk berjejaring dengan sesama marketing geek dan tech enthusiast. Daftar gratis sekarang juga di sini!

 

Sasaran Empuk Bagi Bisnis Startup di Instagram

Popularitas Instagram sekarang sudah lebih dari perihal gambar-gambar artsy atau video pendek yang menarik perhatian kaum millennials. Bersama kemajuan industri yang berpaku pada kreativitas, kultur, dan teknologi, Instagram hadir sebagai solusi pelaku industri dalam berbisnis, termasuk di level startup.

Kekuatan platform jejaring media visual dan sosial yang telah diakuisisi Facebook ini ada pada konten yang terlihat berwarna, serupa logo terkini mereka, dan hal ini  dapat diserap keuntungannya oleh para pelaku startup.

Pasar Instagram bisa ‘memakan’ konten-konten yang dilayangkan oleh brand sebenarnya. Hanya, mereka baru akan dengan senang hati melakukan itu bila konten dari bisnis startup Anda tidak sekadar jualan produk. Mengemas konten dengan nilai-nilai humanis adalah apa yang Anda perlu lakukan agar konten Instagram bisa terkait dengan para konsumen. Sederhananya, jangan sampai Anda cuma menampilkan gambar produk. Suguhkan juga foto bagaimana produk Anda bekerja bagi para konsumen.

Di sanalah kekuatan Instagram. Platform ini dapat mengkonversi konten bermuatan jualan menjadi terlihat lebih ringan di mata, sehingga audiens tidak segan untuk menekan tombol hati di bawah konten Anda.

Pembahasan ini lalu akan berujung pada sebuah pertanyaan: “Siapakah audiens tersebut?”

Anda perlu melakukan targeting di Instagram. Keunikan produk yang Anda miliki bisa menjadi nilai jual besar dan akan menarik perhatian kalangan yang spesifik di pasar. Secara garis besar, ada dua kelompok yang dapat Anda sasar: konsumen dan karyawan.

Konsumen tidak mungkin tidak menjadi sasaran Anda. Tidak mungkin Anda membuat gambar yang menarik dengan paduan warna yang apik dan ditambah jahitan kata-kata di dalam caption, bila tidak ditujukan untuk mereka? Entah itu yang prospektif maupun loyal, tawarkan karakter konten yang kuat untuk menceritakan produk Anda.

Di lain sisi, karyawan juga masuk ke dalam target pemasaran Anda di Instagram. Sadari bahwa, meski mereka berada di tubuh perusahaan, karyawan senang bila melihat tempat mereka bekerja memiliki konten yang seru. Mereka rela membagi-bagikan cerita seru kantor keren mereka dengan regram. Ditambah lagi, bila Anda fokus pada visualisasi situasi keseruan perusahaan, bisa jadi tidak akan sulit bagi Anda ke depannya untuk mencari karyawan yang tertarik pada perusahaan Anda.

Semua cara targeting itu perlu dibarengi dengan content planning yang terstruktur. Konsistensi brand voice milik startup Anda akan menjadi gaung yang besar di Instagram. Jangan ulangi kesalahan banyak brand baru di luar sana, yakni dengan menghantam timeline audiens secara bertubi-tubi lewat foto-foto mereka. Jaga saja konsistensi konten Anda, salah satunya dengan scheduling yang memanfaatkan free tool seperti ombaQ.


Disclosure: Artikel ini adalah advertorial hasil kerja sama dengan ombaQ.

Kuat Mendayung Content Marketing di Tengah Arus “Spamming”

Jangan terburu-buru berkecil hati dan merasa ukuran tubuh membesar, karena jemari Anda yang secara tidak sengaja menekan banner ads saat bermain game atau menjelajahi situs pencari. Sepenuhnya, hal ini bukan karena jemari gemuk saja, namun juga bisa disebabkan oleh tombol dari sebuah fitur yang sulit dipencet. Dan bahkan Anda bukan satu-satunya yang merasa demikian.

Faktanya, lebih dari 60% mobile banner ads terjadi karena ketidaksengajaan yang dilakukan user, di mana 65% dari mereka kebetulan mengalaminya saat sedang membaca berita terkini dan konten-konten news lewat smartphone. Para pengguna ini kemudian menganggap para pengiklan ini tengah menjalankan praktik spamming. Hal ini didukung data yang menunjukkan bahwa 22% dari 1,9 miliar pengguna smartphone dunia telah mengaktifkan ad-blocker saat mengarungi situs-situs berbasis konten.

Di titik inilah content marketing dan native advertising menerobos industri pemasaran dan periklanan. Fokus tujuan dari aliran marketing ini sebenarnya beririsan dengan penggunaan banner ads, yakni bagaimana membuat audiens sadar dan bersedia mencari tahu seluk-beluk brand tersebut.

Perbedaan mencolok dapat terlihat dari bagaimana native advertising menjalankan permainannya di dunia pemasaran, yaitu dengan menyampaikan pesan dari sebuah brand sekaligus mengedukasi pasar dengan kekuatan konten sebagai poros penggeraknya.

Arus “spamming” yang mengalir deras ini harus disikapi para kreator konten dalam menghidupkan content marketing dan native advertising. Mereka harus mendayung gaya pemasaran ini lebih kencang dengan memastikan bahwa campaign yang mereka gelontorkan tepat guna dan dapat dilacak performanya.

Berangkat dari tantangan ini, Patrick Searle dan Anthony Reza mendirikan sebuah startup bernama GetCRAFT, sebuah platform jejaring konten asal Indonesia. “Semua ini berawal dari pengalaman dan proses kreatif kami tentang bagaimana membuat konten,” ujar co-founder Patrick bercerita tentang GetCRAFT dari proses inkubasi pada tahun 2014 hingga sekarang.

“Dari situ, kami kemudian ingin bekerja sama dengan klien dan memudahkan mereka dalam membuat campaign,” sambungnya.

Bisnis yang dilakukan GetCRAFT adalah menghubungkan para kreator konten dengan brand-brand yang bertebaran di industri, dengan berbagai cakupan format konten seperti foto, artikel tulisan, video, infografis, dan lainnya. Bukan hanya dengan kreator konten, brand juga dapat terhubung langsung dengan media channel seperti YouTubers dan Instagram KOL. Sederhananya, mereka membuat sebuah ruang untuk memudahkan perusahaan dan agency mencari content producer dengan harga yang transparan.

Sejauh ini, sudah ada lebih dari 130 brand yang sudah menggunakan jasa GetCRAFT, seperti Samsung, Unilever, Nestlé, Indosat, MatahariMall, Go-Jek, AXA, FWD Life, Bintang, General Electric, Wego, dan Tourism Australia. Ditambah lagi, 10 agency besar juga ikut bekerja sama dengan GetCRAFT, di antaranya seperti GroupM, Havas, Starcom, IPG, Mirum, Redcomm, dan Dentsu.

Lingkup kerja sama yang luas ini turut mendorong pertumbuhan gross merchandise value GetCRAFT yang belakangan sudah mencapai 18% dari bulan Juni sampai September 2016. Mereka sudah menghasilkan 26 miliar rupiah untuk jejaring kreator konten mereka dengan rata-rata produksi ada satu konten per 12 menit.

“Beberapa klien mengaku mendapatkan hasil yang lebih besar setelah membuat content marketing yang bekerja sama dengan GetCRAFT,” aku Patrick.

Hal ini wajar terjadi, ketika kita tahu bahwa startup yang sedang melakukan ekspansi ke Asia Tenggara, khususnya Filipina, ini menitikberatkan bisnisnya pada kualitas konten. “Percaya atau tidak, kami tidak merekrut konten kreator di dalam GetCRAFT,” tutur Patrick.

“(Dalam membuat konten) hanya ada editor (Managing Editor dan Video Producer) yang bertugas melakukan quality assurance di dalam GetCRAFT. Selebihnya, hanya dari jejaring kami.”

“Kami punya lebih dari 1.200 kreator konten di dalam jejaring kreator dan publisher yang kami buat,” tambah co-founder Reza.

Namun di samping itu, GetCRAFT saat ini mulai melengkapi tim internal mereka yang beranggotakan 30 orang, dengan mengajak beberapa orang berpengalaman di bidang pembuatan konten untuk ikut berkolaborasi. Seiring dengan pelebaran sumber daya manusia, GetCRAFT tetap mementingkan kualitas hasil yang diberikan kepada media dan para marketeer agar content marketing dan native ads yang dilakukan berjalan dengan baik.

Langkah lain yang dilakukan GetCRAFT adalah dengan menjadikan dirinya sebagai one-stop platform bagi brand, di mana klien tidak hanya mendapat influencer marketing dan content marketing ‘semata’, tapi juga strategi pemasaran yang komprehensif.

“Maka dari itu, kami berusaha mengedukasi klien di saat yang bersamaan, mendalami apa kebutuhan dan masalah dari klien saat mempromosikan konten mereka,” ucap Patrick.

“Jadi kami tidak hanya berfokus pada teknis, tapi juga dalam edukasi tentang layanan yang kami berikan.”

Dengan cara ini, GetCRAFT siap memperkuat dayung content marketing Anda dalam mengarungi derasnya iklan-iklan yang bersifat “spamming” di smartphone Anda.

[Manic Monday] Pentingnya Simbiosis Antara Konten Dan Teknologi

Industri musik [rekaman] dan industri-industri konten lainnya bukan sebuah industri yang memiliki ilmu yang cukup pasti. Apabila dibandingkan dengan berbagai industri konsumsi lain, seperti bahan bakar minyak atau produk konsumen (FMCG atau rokok) yang potensi penjualannya dapat terukur dari survei konsumen, FGD sampai penawaran ke distributor. Hampir semua tahap pengembangan produk konsumen sudah terbentuk menjadi proses dan ilmu, dari riset, pengembangan produk, tes pasar hingga penjualan bebas. Berhubung industri konten merupakan sebuah industri yang menggantungkan keputusan pembelian terhadap sesuatu yang subyektif, sesuatu yang sebelumnya diterima pasar dengan baik, belum tentu akan diterima dengan baik lagi di masa datang.

(null)

[Manic Monday] The Importance of Symbiosis Between Content And Technology

The [recorded] music industry and other content industries are not industries with a definite science; especially when compared to other consumption-based industries, like fuel, FMCG and tobacco, which have more measurable sales potential based on consumer surveys, FGDs and trade offerings. Almost all the steps of consumer product development has shaped into a process and science, from research, product development, market testing to retail offering. Since the content industry that depends on a subjective purchase decision, something that has previously been accepted by the market may not always have the same reception in the future.

Continue reading [Manic Monday] The Importance of Symbiosis Between Content And Technology

[Manic Monday] Remember the “Old” Content Industry?

One of the tragic things of our increasingly digital lives is that, whatever appears to us on a ‘screen’ (whether it be a TV screen, computer screen or mobile phone screen’, is just there, in seconds, and can practically be pulled up on demand. Either its on the Internet, or it isn’t. There’s hardly a transitional state for anything on the internet – even services that are in beta are well, right there already, and you probably won’t notice its building progress unless you look closely. Mimicking its basic building blocks of bytes, the conditions of ‘0’ and ‘1’ apply. It’s either on, or off. And in many cases, it’s either good, or bad. ‘Liked’, or not liked.

Continue reading [Manic Monday] Remember the “Old” Content Industry?

Government and the Industry in Disagreement Over Premium Content Regulation

Several content and service providers are in disagreement with the government regarding the revision of premium content regulation that the government is working on through the Ministry of Communications and Informatics and the Indonesia Telecommunications Regulatory Agency.

Continue reading Government and the Industry in Disagreement Over Premium Content Regulation

[Manic Monday] Would You Rather Pay For Content Or Access?

I almost always start my articles with an “old world” comparison – you know, when the only media you consumed was in pre-defined formats from the producer’s choosing (and obvious profit). And then I would go on that since the Internet age, things have turned more or less upside down, changing the game, with or without the producer’s consent. And then I’d go on to explain the various possibilities of making sure this “Internetz” thing works for you, your band, your movie or your business.

Continue reading [Manic Monday] Would You Rather Pay For Content Or Access?

Indonesia Internet Association Develops Platform For Selling Legal Music Content

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) – Association of Indonesia Internet Provider is developing a platform to sell legal music content. This business scheme is a response from Internet Service Provider (ISP) of APJII in dealing with the development of technology business. According to APJII, as reported by Detikinet, telematic business is now growing to content, platform and app development.

On the other side, by the existence of this platform, ISP will block music content illegal downloading. When one of its users downloads an illegal content, ISP will be notified and block the content. This scheme is expected to be able to eliminate the spread of illegal music.

APJII’s developed platform is basically similar to the platform owned by cell phone vendor or platform developer such as Nokia Store or iTunes. ISP will receive something from each of downloaded music content. This profit sharing scheme is still discussed with music industry player. The scheme will be based on songs, KB of data or other policy.

Continue reading Indonesia Internet Association Develops Platform For Selling Legal Music Content

PlasaMSN announces video content partnership with SCTV and Viki

Yesterday online news portal PlasaMSN officially announced that they’re partnering with video provider startup Viki and local TV station SCTV. PlasaMSN is a joint venture company between Microsoft and Telkom Indonesia through one of its subsidiary Metranet.

Through an event in Jakarta last night, Microsoft Director Andreas Diantoro also announced that PlasaMSN’s content will be integrated with Windows Live and Skype. The media party / press conference event was attended by Microsoft Indonesia director, representative from Microsoft Advertising, Viki and Telkom Indonesia. The party itself is a place for Microsoft to introduce the news portal to media agencies, future partners and clients of PlasaMSN.

Continue reading PlasaMSN announces video content partnership with SCTV and Viki