Mamang.id Sediakan Teknologi untuk Pedagang Makanan

Mamang.id (Mamang) dikembangkan dengan membawa semangat membuat online UKM, pedagang keliling dan warung kaki lima di bidang jajanan dan makanan. Digitalisasi yang dilakukan diharapkan bisa membuat mereka “mudah ditemukan” pelanggan dan merapikan catatan penghasilan mereka.

Platform ini dikembangkan oleh Taufik Hajami dan Hadid Mubarak. Keduanya merupakan alumni Politeknik Negeri Bandung yang memiliki misi yang sama, membantu UKM di Indonesia melalui teknologi. Setelah melewati serangkaian survei, lahirlah Mamang.

Mamang mulai terjun ke lapangan dan memberikan pengarahan dan edukasi mengenai manfaat teknologi kepada pelanggan pada bulan Oktober 2018. Hampir setengah tahun berjalan, kini mereka sudah mendapatkan lebih dari 750 pedagang terdaftar yang semuanya berada di kota Bandung.

“Karena respon dari pedagang positif ketika mereka akan dibantu oleh teknologi, hanya saja perlu edukasi untuk sebagian besar pedagang di Indonesia yang masih belum melek teknologi. Saat ini untuk meyakinkan pedagang kami mendatangi lagnsung dan menjelaskan langsung kepada mereka, karena masih cukup sulit jika melalui media digital. Kita juga akan mencoba untuk bekerja sama dengan komunitas-komunitas pedagang dan kuliner yang ada di setiap wilayah di Indonesia,” terang CEO Mamang Taufik Hajami.

Saat ini Mamang memiliki tiga layanan. Yang pertama adalah aplikasi pedagang. di dalamnya terdapat menu untuk memasang foto dagangan, deskripsi, dan juga lokasi berjualan. Di dalam aplikasi ini juga pedagang akan mendapat fitur untuk mengelola menu dan fitur POS (Point of Sales). Lengkap dengan laporan statistik, resep dan lainnya.

Mamang juga menyediakan aplikasi untuk pembeli. Tujuannya memudahkan masyarakat mencari jajanan atau makanan di sekitar pengguna sesuai dengan kategori atau kata kunci. Informasi yang akan didapatkan meliputi informasi jadwal, lokasi, dan menu pedagang dan event.

Layanan ketiga, yang baru saja diluncurkan, adalah layanan crowdfunding. Fitur ini memungkinkan masyarakat terlibat dalam pendanaan UKM di bidang jajanan atau makanan. Di dalamnya pengguna bisa mendanai, mendapatkan laporan penjualan, bagi hasil, dan informasi sejenis.

“Prosesnya kita melibatkan orang yang sudah berpengalaman bertahun-tahun untuk menjadi mentor UMKM, sehingga diharapkan masalah-masalah yang sering muncul dalam usaha bisa dicegah sebelumnya. Mentor ini yang akan membantu UMKM merencanakan pendanaan dan hitungan lainnya, termasuk komposisi bagi hasil. Sehingga setelah kami validasi kami masukkan ke daftar UMKM yang membutuhkan pendanaan, barulah para investor dapat mulai mendanai melalui halaman investor,” terang Taufik.

Selanjutnya, setelah terkumpul, dana akan diserahkan ke mentor dan pelaku usaha menjalankan rencananya. Mamang akan menyediakan aplikasi mencatat setiap aktivitas dan transaksi yang terjadi.

Sebagai layanan yang belum genap berusia satu tahun, Mamang terus berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan layanannya. Salah satunya adalah dengan memperkuat sektor pemasaran. Targetnya tahun ini Mamang menargetkan terbentuk 300 UKM baru.

“Fokus kami saat ini adalah terus meningkatkan jumlah UMKM yang terdaftar dan terdanai melalui layanan crowdfunding dan mencari pendanaan yang akan digunakan untuk biaya marketing,” jelas Taufik.

Application Information Will Show Up Here

Empat Penemuan Menarik saat Membangun Platform Crowdfunding

Fenomena digital kini tak dapat dihindari. Meski demikian, tak berarti masyarakat harus kehilangan nilai-nilai kearifan lokalnya. Di Indonesia, budaya gotong-royong telah mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat. 

Konsep gotong-royong inilah yang ingin terjemahkan secara digital lewat platform Kitabisa.com, sebuah platform crowdfunding (penggalangan dana) yang menghubungkan seluruh masyarakat di Indonesia.

Sesi #SelasaStartup kali ini berbagi seputar pengalaman dalam membangun platform yang berdiri pada 2014 ini. Kitabisa.com telah mengampanyekan puluhan ribu campaign penggalangan dana, di mana sekitar 12.000 campaign sukses. 

Satu hal yang pasti, mendirikan platform crowdfunding tak berarti langsung mengalami kesuksesan instan. Dalam perjalanannya hingga pada pencapaiannya saat ini, banyak penemuan menarik yang juga dapat menginspirasi khalayak dalam mengembangkan platform serupa.

Berikut ini pengalaman yang diperoleh Co-Founder dan Chief Product Officer Kitabisa.com Vikra Ijas di sesi #SelasaStartup.

Pendekatan melalui influencer dan komunitas

Faktanya menyukseskan sebuah kampanye donasi digital ternyata memerlukan dorongan lebih untuk menggerakan masyarakat. Di tahun-tahun pertamanya, Vikra mengaku memanfaatkan strategi publik figur untuk mendorong pertumbuhan Kitabisa.com.

Fokus utamanya saat itu adalah pendekatan melalui sosok atau figur yang populer untuk menyebarkan pesan atau informasi dari campaign tertentu.

“Pada suatu kampanye, ada selebriti yang ikut meramaikan. Ini menjadi pendekatan sukses, terutama apabila selebriti tersebut punya passion di situ. Jadi sebetulnya (campaign ini) jangan sekadar bawa jargon saja,” ungkapnya.

Selain artis, komunitas juga memiliki pengaruh sangat kuat dalam menyukseskan sebuah campaign penggalangan dana. Partisipasi komunitas akan menggerakan lebih banyak orang untuk ikut berdonasi.

Vikra mencontohkan sebuah kasus di mana saat bencana asap di Riau terjadi, campaign penggalangan dana justru datang dari sebuah komunitas suporter sepakbola.

Peran media sosial pertemukan audiensi yang tepat

Media sosial memiliki peran begitu besar dalam memviralkan sebuah cerita di dunia maya. Hal ini turut berlaku dalam penggalangan dana yang dilakukan secara online. Menurut Vikra, campaign yang diiklankan melalui media sosial dapat sukses apabila bertemu dengan audiensi yang tepat.

“Ketika story needs the right audience, media sosial menjadi channel yang tepat. Return on Investement sangat bagus dan jelas. Budget juga lebih efisien karena tidak seberapa (yang dihabiskan). Dan di sini tidak ada kompetisi,” ungkap Vikra.

Kendati demikian, dalam kasus ini, tidak semua campaign perlu diiklankan melalui channel media sosial. Hal ini bergantung pada kekuatan kampanye itu sendiri dan kategori yang diiklankan, misalnya pendidikan atau pertolongan medis.

Ia mencontohkan, di Kitabisa.com, pihaknya baru mengeluarkan budget untuk campaign di media sosial pada tahun 2016. Budget yang dikeluarkan berkisar Rp 1-2 juta dan hanya untuk beberapa campaign yang perlu diangkat ke media.

Peningkatan layanan dan eksperimen melalui aplikasi

Disadari atau tidak, tampaknya tak semua platform penggalangan dana menghadirkan layanannya dalam bentuk aplikasi. Pada dasarnya, layanan crowdfunding sebetulnya tidak begitu membutuhkan aplikasi yang mengikat pengguna.

Hal ini diakui Vikra di tahun ketiganya mengembangkan Kitabisa.com. Ia tak yakin ada pengguna yang memakai aplikasi hanya sekadar untuk berdonasi. Namun, setelah mempelajari perilaku penggunanya, Vikra mendapat penemuan menarik.

“Dari proper research yang kami lakukan, ternyata ada donatur yang sering berdonasi. Setelah perdebatan tiga tahun, kami memutuskan untuk bikin aplikasi,” katanya.

Dengan aplikasi, banyak hal yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan sebuah layanan. Vikra mengungkap pihaknya dapat melakukan eksperimen layanan untuk pengguna aplikasi. Sementara, pengguna yang tidak memakai aplikasi dapat difokuskan pada content marketing.

Tetapkan fokus pada kategori kampanye tertentu

Platform crowdfunding semacam Kitabisa.com mengampanyekan berbagai macam kategori, mulai dari pendidikan, medical emergency, hingga anak-anak. Semua kategori memang terbilang penting, namun tetap ada prioritas yang membutuhkan dorongan lebih.

Medical emergency selalu menjadi kategori terbesar. Tanpa perlu pasang iklan dan billboard, kategori ini akan growing dengan sendirinya. Bukan karena kategori lain tidak penting, tetapi biasanya untuk kategori semacam ini lebih cepat karena sangat dibutuhkan cepat,” ungkap Vikra.

Menurut Vikra, mengembangkan platform ini tak sekadar hanya membuat produk yang tepat sasaran, tetapi juga fokus pada kategori campaign tertentu dinilai cukup penting. Hal ini ternya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan platform Kitabisa.com

“Ide utamanya adalah bantuan kemanusiaan dan kami ingin memberikan contoh yang baik tentang bagaimana bergotong-royong secara digital.”

Dukung.id’s Mission to Improve Educational Quality

Initiated because of concern on Indonesia’s education, Zaky Zakaria created Dukung.id. As an Executive Director, he said that there are so many educational issues in Indonesia nowadays.

Dukung.id is introduced as an attempt to help public and government to accelerate the distribution of quality and access to Indonesia’s education. It’s a crowdfunding platform to support campaign related to educational activities in Indonesia.

“Education issues can’t be solved only by the government. The public should have contributed. The one who knows the issue in the area is its own population. The one aware of the teachers’ concern is not the ministry or the officials but their neighbors. The first one to know school’s damage is not government officials but the environment.”

The solution can be found anywhere, Zakaria added. After a few discussion with several parties, he found solutions, new ideas, movements, and spirit from the people, but there’s no specific platform for it.

“For those who want to use Dukung.id, just enter the site, register, and fill out the form. Follow the instruction. Later, the team will verify the identity and initiatives,” he added.

dukunggg

After verification, users can directly use the donation. The success of the initiatives depends on its distribution coverage. Therefore, spread the initiatives through social media. Monetizing strategy applied by Dukung.id is to take 5% fee of every donation.

Dukung.id platform is similar to crowdfunding mechanism, but it’s focused on education, particularly in the remote area.

Dukung.id positive activity

Up until now, Dukung.id has supported six activities, two of them have been accomplished. Computer for change is an example, a movement from Tedihouse and volunteers. There’s also campagin to build Rumah Teladan in Nusa Tenggara Timur, a study center for Waturaka people, literacy act of Panti Baca Ceria, and so on.

Dukung.id also provides donation options for trusted and registered organization. It’s to facilitate users who want to donate. Each initiative consists of five categories,: extracurricular, infrastructure, props, research, and campaign.

“In 2018, we’re trusted as people’s top of mind to find a solution and to solve educational issues,” Zakaria said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Angon Perluas Kerja Sama dengan Peternak di Australia dan Selandia Baru

Startup investasi ternak Angon mengumumkan perluasan kerja sama bisnis bersama peternak di kawasan Australia dan Selandia Baru. Kerja sama tersebut memungkinkan pengguna platform berinvestasi pada peternakan di kawasan tersebut. Hal ini dilakukan lantaran potensi ternak yang cukup besar. Menurut data yang disampaikan tim Angon di Australia populasinya mencapai 70 juta ekor, sedangkan di Selandia Baru mencapai 30 juta ekor.

“Ketika member Angon ingin beternak di Australia dan Selandia Baru, mereka tidak perlu repot mengurus ijin investasi, pembelian lahan, serta membangun infrastruktur peternakan mulai dari nol. Cukup dengan buka aplikasi Angon, pilih ternaknya, bayar dan selesai. Kita semua bisa memiliki ternak walau pun hanya dengan satu ekor saja,” ujar Founder & CEO Angon, Agif Arianto.

Aplikasi Angon mewajibkan setiap transaksi yang ada di dalamnya menggunakan mata uang Rupiah. Peternak luar negeri yang ingin memasukkan produknya di Angon untuk diinvestasi harus memiliki kerja sama dengan peternak dalam negeri sebagai groundholding. Hal tersebut berimplikasi pada kesepakatan aturan dan regulasi transaksi di masing-masing negara, sehingga tercatat sebagai devisa juga.

Berikan asuransi untuk investor ternak

Peresmian kerja sama dengan Jasindo Syariah / Angon
Peresmian kerja sama dengan Jasindo Syariah / Angon

Angon juga menandatangani kerja sama strategis dengan Jasindo Syariah. Kerja sama tersebut untuk menyediakan asuransi bagi peternak dalam proses pemeliharaan. Termasuk sebagai antisipasi jika terjadi bencana. Hal ini dilakukan untuk membuat member lebih mantap ketika menggelontorkan investasinya. Biaya asuransi dibebankan kepada member, dan dibayarkan otomatis pada saat memutuskan untuk membeli hewan ternak melalui aplikasi Angon.

“Pemilik ternak akan mendapatkan SKTB (Surat Kepemilikan Ternak Berjangka), berfungsi sebagai bukti sah mitra peternak Angon. SKTB Angon telah terintegrasi dengan nomor polis asuransi ternak yang diterbitkan oleh Jasindo Syariah. SKTB berfungsi dalam proses klaim jika terjadi kematian pada hewan ternak milik para member saat proses ternak online berlangsung dalam 1 periode masa ternak, yaitu 3 bulan,” jelas Agif.

Angon juga tengah mematangkan kerja sama dengan BNI46 untuk proses pembiayaan untuk para peternak. Dengan PKPU juga akan membuat program konversi tabungan qurban menjadi beternak online. Sampai saat ini Angon juga telah memiliki 223 mitra peternak yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Saat ini masih dengan Telkom [sebagai investor], Angon berencana akan mengeluarkan prospektus saham baru di akhir tahun 2018, namun jika ada tawaran yang menarik dari para investor juga sangat terbuka, terutama investor dari dalam negeri. Angon masih menjadi startup binaan Telkom Indigo,” tutup Agif.

Application Information Will Show Up Here

Menimbang Investasi melalui Crowdfunding Properti

Salah satu manfaat penting dari hadirnya financial technology (fintech) adalah tercapainya keuangan inklusif. Keuangan inklusif, sebagai kebalikan dari eksklusif, adalah terjangkaunya layanan keuangan oleh kelompok masyarakat yang lebih luas. Layanan keuangan seperti tabungan, kredit, dan investasi yang biasanya hanya dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, kini mulai bisa dinikmati juga oleh masyarakat dengan dana yang pas-pasan. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Contohnya jelas, masyarakat yang selama ini tidak bisa mendapatkan pembiayaan dari perbankan, kini bisa mengambil skema peer-to-peer (P2P) lending. Dengan pembiayaan tersebut diharapkan mereka bisa melakukan usaha produktif yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Di sisi lain, jika selama ini bunga tabungan premium hanya bisa didapatkan oleh mereka yang memiliki dana besar, kini masyarakat juga bisa mendapatkan bunga di atas bunga deposito dengan menjadi investor pada skema P2P lending.

Tak hanya melalui P2P lending, dengan fintech orang kini juga memiliki banyak pilihan investasi lainnya. Salah satunya adalah berinventasi ke properti. Selama ini properti menjadi primadona investasi karena harganya yang terus-terusan naik, bahkan tiap hari Senin. Namun demikian, karena harganya yang cenderung tidak masuk akal, hanya mereka berpenghasilan tinggi dan tinggi banget yang bisa berinvestasi pada sektor ini. Itu sebelum fintech menyerang. Sekarang, hanya dengan lima ratus ribu pun orang bisa berinvestasi membeli properti melalui skema crowdfunding.

Di Indonesia, kini setidaknya ada tiga layanan fintech yang menawarkan crowdfunding untuk berinvestasi pada properti yakni Tavest, PropertiAnda, dan Napro. Skema crowdfunding properti adalah urunan bersama-sama untuk membeli sebuah properti, menikmati pembagian biaya sewa selama beberapa tahun, kemudian mendapatkan keuntungan kenaikan harga atas penjualan properti tersebut pada tahun kesekian.

Investasi melalui crowdfunding properti ini mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan investasi melalui P2P lending. Salah satu kelebihannya, investasi ini lebih “syariah” dibandingkan dengan P2P lending. Keuntungan dari investasi P2P lending berasal dari bunga, sedangkan dengan crowdfunding properti keuntungan berasal dari sewa dan jual beli. Bagi beberapa orang ini terdengar sepele, tapi bagi orang-orang yang alergi terhadap riba, ini adalah salah satu poin penting.

Namun kelemahannya, crowdfunding properti ini mempunyai jangka waktu investasi yang lebih lama dibandingkan dengan investasi P2P lending. Jika jangka waktu P2P lending hanya terbilang bulanan, crowdfunding properti mempunyai jangka waktu investasi hingga tahunan sampai properti tersebut dijual kembali. Platform PropertiAnda menawarkan fitur resale di mana pengguna bisa menjual share-nya kapan saja, tapi peminatnya mungkin agak terbatas sehingga bisa jadi tidak langsung terjual. Crowdfunding properti bukan investasi likuid untuk investor yang menginginkan dananya bisa kembali sewaktu-waktu dibutuhkan.

Ditilik secara imbal balik, selalu berlaku hukum investasi high risk high return, low risk low return, dan no risk no return. Pada investasi P2P lending, pengguna selalu bisa memilih untuk memberikan pinjaman pada usaha yang berisiko tinggi dengan imbalan yang lebih tinggi, atau memilih konservatif dengan tingkat imbalan yang lebih rendah. Crowdfunding properti mungkin mempunyai tingkat pengembalian yang moderate, namun ada risiko yang melekat dengan properti itu sendiri.

Secara teori memang nilai tanah dan properti akan terus naik. Namun demikian, masih terdapat kejadian-kejadian yang membuat properti tersebut tidak laku terjual atau disewa misalnya lingkungan sekitar properti tidak berkembang, kerusakan pada properti karena tidak terawat, banjir, macet, adanya sengketa hukum terkait kepemilikan, dan lain sebagainya. Karena risiko ini, investor dituntut untuk pintar-pintar untuk memilih properti sebelum menanamkan dananya.

Pilih-Pilih Platform Crowdfunding

Selain pada properti, risiko crowdfunding properti juga terletak pada platform crowdfunding sebagai penyedia layanan. Yang harus dicatat, sampai dengan saat ini, belum ada otoritas yang mengatur dan mengawasi skema kegiatan ini. Paling pahit, uang investor bisa-bisa dilarikan oleh investasi bodong berkedok platform crowdfunding. Salah kelola uang investasi juga bisa membuat uang investor tidak kembali.

Masalahnya, properti yang dibeli dan sebenarnya adalah milik puluhan investor, akan diatasnamakan founder atau badan usaha platform crowdfunding. Jika terjadi salah urus, investor akan mengalami masalah hukum sebelum bisa mendapatkan investasinya kembali. Jika nilai investasi terbilang kecil (di bawah lima juta Rupiah katakanlah), biaya legal bisa jadi tidak sebanding dengan nilai investasi yang hilang. Karenanya, investor perlu cerdas mempertimbangkan platform crowdfunding yang digunakan.

Terkait kepemilikan properti, perlu dicatat bahwa platform Tavest berani untuk mengambil risiko yang lebih besar. Selama masa beta testing, Tavest tidak menjamin bahwa tanah atau properti yang dibeli tidak dijaminkan kembali pada Bank atau lembaga keuangan manapun. Meskipun mungkin tidak ada intensi negatif dari Tavest atas hal tersebut, hal ini menambah risiko bagi investor jika terdapat mismatch dalam pengelolaan arus kas Tavest.

Sebagai pengelola investasi, platform crowdfunding juga harus transparan dalam skema monetisasi mereka. Transparansi tersebut membantu calon investor dalam menghitung imbal balik bersih mereka, setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang ditarik oleh platform crowdfunding. Transparansi metode monetisasi juga membantu calon investor untuk memilih platform crowdfunding yang akan mengusahakan agar investor memperoleh keuntungan. Hal tersebut bisa dinilai dari sumber pendapatan platform. Platform yang menggantungkan pendapatannya dari keuntungan investor, baik berupa presentase atas keuntungan sewa maupun keuntungan jual beli, akan lebih berkepentingan pada keuntungan investor.

Dalam hal ini, Napro memiliki kekurangan karena adanya potensi konflik kepentingan pada saat pembelian properti oleh investor. Salah satu skema monetisasi Napro adalah komisi atas penjualan properti yang didapatkan dari developer. Hal ini memang seolah-olah menguntungkan calon investor karena Napro mendapat keuntungan dari pengembang, bukan dengan memotong uang investasi. Namun demikian, konflik kepentingan bisa terjadi apabila Napro mempromosikan properti yang sebenarnya kurang potensial karena adanya komisi penjualan yang cukup besar dari developer properti tersebut.

Dari ketiga platform yang telah disebutkan di atas, memang tidak ada yang benar-benar mendasarkan pendapatannya pada keuntungan investor. PropertiAnda, yang paling transparan terkait dengan monetisasinya, mengambil biaya admin sebesar 2% pada awal investasi. Artinya, nilai investasi malah akan langsung berkurang sebelum berkembang. Selain itu, jika biaya admin tersebut dimaksudkan sebagai biaya penggunaan infrastruktur, rasanya kurang tepat jika biaya admin diambil secara presentase mengingat biaya penggunaan infrastruktur sifatnya fixed cost.

Rasanya masih akan lama sampai dengan adanya pengawasan terhadap fintech crowdfunding. Industrinya masih mencari bentuk untuk berkembang, sementara portofolio-nya juga masih terbilang kecil. Bentuknya yang beragam juga memerlukan analisa yang cukup sampai dengan munculnya aturan untuk mengawasi platform crowdfunding sekaligus melindungi investornya.

Selama belum ada aturan tersebut, tak ada benar salah terkait dengan model bisnis dan skema monetisasi dari masing-masing platform. Lagipula, skema bisnis masing-masing platform crowdfunding masih belum teruji. Belum ada platform di Indonesia yang telah melewati satu siklus bisnis di mana properti yang dibeli telah dijual kembali. Atas hal tersebut, belum diketahui skema bisnis mana yang mampu bertahan sekaligus menguntungkan bagi investor. Sepanjang belum diatur dan diawasi oleh otoritas, maka pilihan investasi melalui platform crowdfunding tersebut merupakan tanggung jawab dari calon investor sendiri.


Disclosure: Artikel tamu dibuat oleh Andi Miftachul. Penulis merupakan Pengawas Bank pada Otoritas Jasa Keuangan. Tulisan merupakan opini pribadi yang tidak terkait dengan DailySocial maupun OJK.