Glamos Berikan Kemampuan Deteksi Gerakan di Perangkat Elektronik Biasa

Beragam pilihan produk tersedia untuk memudahkan kita dalam berinteraksi dengan konten digital. Kini periferal input seperti keyboard dan mouse bertambah ringkas, didukung oleh luasnya aspek kompatibilitas sehingga mereka bisa terkoneksi ke beragam jenis perangkat. Namun di beberapa situasi, metode kendali yang lebih praktis – misalnya menggunakan gerakan tangan – memang lebih baik.

Tentu tak semua perangkat diitunjang sistem input berbasis motion ataupun sentuh. Kondisi inilah yang mendorong seorang mantan teknisi Samsung mengembangkan alat unik bernama Glamos. Dengan memanfaatkan teknologi LiDAR (light detection and ranging), Glamos dirancang untuk mengubah segala layar di rumah jadi touchscreen interaktif. Bukan cuma itu saja, pada dasarnya Glamos bisa bekerja layaknya sensor gerakan ala Kinect.

Portabilitas juga menjadi aspek yang diunggulkan oleh Glamos. Teknologi LiDAR di sana dikemas dalam tubuh super-mungil – berdimensi hanya 37x27x34mm dan memiliki bobot 17,7-gram. Wujud mini tersebut memudahkan kita untuk membawa-bawanya serta mencantumkan Glamos di mana pun. Meski berukuran kecil, ia mempunyai jangkauan deteksi yang lebih luas dari produk dengan fungsi serupa, misalnya Leap Motion atau Airbar.

Selain portabilitas tinggi, produsen Glamos juga menjanjikan kemudahan proses pemasangan. Anda hanya perlu menaruh atau menyematkan Glamos dan mencolokkan kabel, setelah itu ia siap digunakan. Alat ini kompatibel dengan berbagai jenis perangkat (dari mulai smartphone, tablet, laptop, PC desktop, televisi pintar hingga kios digital) serta mendukung sistem operasi Windows, Linux, Mac dan Android.

Glamos 2

Sensor LiDAR biasanya dimanfaatkan oleh robotic vacuum cleaner dan kendaraan driverless. Dan dalam bekerja, Glamos bersandar pada tiga buah elemen: modul cermin yang dapat berputar, software pelacak gerakan, serta sensor pengukur jarak. Setiap gerakan nantinya diubah jadi input dan ditransfer via Bluetooth. Glamos mampu membaca gerakan tangan/jari di frekuensi 40Hz di area atas tempatnya ditaruh – seluas 182x91cm 180 derajat.

Glamos 1

Glamos bisa membantu kita di beragam skenario: untuk mempermudah presentasi, navigasi konten smart TV hingga eReader, serta membuat proyeksi di dinding jadi interaktif. Produsen juga bilang bahwa Glamos dapat menyulap ‘segala game mobile jadi permainan ala Wii’, sangat membantu buat membebaskan si kecil dari jeratan perangkat bergerak. Ada banyak judul populer didukungnya: Fruit Ninja, Doodle Jump, Bowling King, Cooking Mama, Perfect Slices, dan lain-lain.

Glamos 4

Kampanye penggalangan dana Glamos berjalan mulus di Kickstarter dan saat ini produsen sudah memperkenankan kita untuk melakukan pemesanan. Selama periode crowdfunding masih berlangsung, Glamos dibanderol seharga mulai dari US$ 120. Pengiriman rencananya akan dilakukan di bulan Juli 2020.

‘Kacamata Audio Pintar’ Mutrics GB-30 Dirancang Khusus Buat Gamer

Selain menikmati hobinya, makin banyak gamer kini gemar mengekspresikan minatnya lewat busana, barang-barang koleksi dan aksesori. Produsen merespons minat tersebut dengan menyediakan berbagai produk, misalnya kaos, action figure, hingga gaming gear berlisensi resmi. Meski demikian, produsen memang jarang bereksperimen di ranah merchandising seperti yang dilakukan tim bernama Mutrics.

Perusahaan spesialis perangkat IoT dan AI tersebut saat ini tengah fokus mengembangkan GB-30, yaitu perangkat wearable yang dideskripsikan sebagai ‘kacamata audio pintar berdesain ultra-ramping untuk gamer‘. GB-30 bukanlah produk pertama Mutrics. Mereka sudah mulai menggarap kacamata audio sejak tahun 2017 dan tak lupa berpartisipasi di ajang CES. Jadi Anda tak perlu cemas dan berpikir bahwa Mutrics GB-30 merupakan proyek coba-coba.

Dengan menganalisis namanya, beberapa dari Anda mungkin bisa menebak sumber inspirasi desain dari GB-30: Nintendo Game Boy. Ada banyak elemen desain di GB-30 yang merepresentasikan console portable klasik tersebut: rangkaian tombol yang menyerupai directional pad dan action button di tangkai, plus penampilan serta kombinasi warna bertema retro. Meski berkiblat pada rancangan klasik, GB-30 bukanlah perangkat bertubuh bulky dan tetap nyaman dikenakan.

Mutrics GB-30 2

Rancangan Mutrics GB-30 berpedoman pada prinsip ergonomis. Bobotnya hanya 33-gram dengan ketebalan bingkai 6-milimeter. Saat dikenakan di waktu lama, kacamata audio pintar ini tidak akan menekan hidung serta menyakiti bagian belakang telinga. Uniknya lagi, GB-30 mempunyai dua bagian lensa. Satu dibekali filter ultraviolet 400 dan satu lagi bisa digonta-ganti. Tersedia lensa penangkal sinar matahari dalam berbagai warna serta lensa anti-sinar biru. Alternatifnya, kita dapat memasangkan lensa resep.

Mutrics GB-30 1

Tentu saja, fitur andalan Mutrics GB-30 ialah kemampuannya menyajikan suara. Perangkat ini memanfaatkan teknologi near-field surround system (NFSS), disuguhkan lewat speaker yang diposisikan di bagian dalam tangkai. Ia mampu mentransfer suara stereo tanpa menutup lubang telinga dengan earbud, itu berarti GB-30 tak akan menyakiti telinga dan tidak mengisolasi kita. Output speaker diarahkan ke telinga pengguna sehingga audio game tidak mengganggu orang-orang di sekitar.

Mutrics GB-30 4

Mutrics sempat pula membahas soal kapabilitas GB-30 menyuguhkan audio ‘virtual 5.1’ demi mempermudah gamer mengidentifikasi sumber bunyi dan membantu mereka mendominasi permainan. GB-30 terkoneksi ke perangkat gaming Anda secara wireless melalui Bluetooth 5.0, yang menjanjikan sambungan rendah latency dan mendukung jarak pemakaian hingga 20-meter. Perangkat juga dapat digunakan buat mengakses Siri maupun Google Assistant.

Mutrics GB-30 bisa dipesan sekarang di Kickstarter. Di masa crowdfunding ini, produk dijajakan seharga mulai dari US$ 100. Setelah itu, ia akan dibanderol di harga retail US$ 200.

Zanco Perkenalkan Generasi Kedua Ponsel Termungil di Dunia, Tiny t2

Smartphone modern bisa melakukan apa yang dahulu tak pernah terbayangkan. Ia merupakan alat komunikasi, pendukung kerja, pusat hiburan, sekaligus akses ke beragam informasi. Tapi seiring dengan meningkatnya konsumsi konten, desain smartphone cenderung bertambah besar demi mendukung penggunaan layar lebar. Kondisi ini mendorong Zanco buat mengembalikan fungsi ponsel ke akarnya lewat cara yang unik.

Setelah sukses dengan proyek pengembangan telepon seluler terkecil di dunia di tahun 2017 silam, Zanco baru-baru ini memperkenalkan penerusnya yang mereka namai Tiny t2. Perangkat tetap mengusung arahan desain pendahulunya, namun sang produsen tak lupa membubuhkan sejumlah pembaruan. Tiny t2 dijanjikan mampu memenuhi berbagai kebutuhan, dan dapat jadi solusi di situasi-situasi ketika smartphone susah untuk digunakan.

Zanco Tiny t2 mempunyai ukuran sebesar USB/thumb drive, tepatnya berdimensi 61x30x16,5mm. Bobotnya juga sangat ringan, hanya 31-gram. Kombinasi kedua aspek ini memastikannya mudah diselipkan di dalam kantong. Penampilan Tiny t2 sendiri berkiblat pada desain umum feature phone. Di bawah layar TFT seluas 1-incinya, Anda bisa menemukan rangkaian tombol standar, termasuk angka dan huruf. Selain itu, ada modul kamera di sisi belakang.

Zanco Tiny t2 1

Meski belum mengusung kapabilitas pintar dan belum dilengkapi 4G LTE (hanya 3G), Tiny t2 memiliki banyak fitur esensial. Kamera 0,3Mp-nya bisa digunakan buat merekam video, ada fungsi SOS, alarm dan kalender, didukung radio FM, lalu Tiny t2 juga mampu menjalankan file MP3 dan MP4. Untuk ponsel berukuran mini, daya tahan baterai Tiny t2 terbilang memuaskan. Dalam sekali charge, perangkat bisa aktif hingga seminggu dalam keadaan standby serta menyuguhkan waktu bicara selama empat jam.

Ponsel mungil ini turut ditopang oleh konektivitas Bluetooth. Silakan sambungkan Tiny t2 ke headset wireless, dan Anda mendapatkan sebuah MP3 player. Kita bahkan bisa memperluas ruang penyimpanan dengan menambahkan kartu microSD. Dan jika Anda perlu menghabiskan waktu, Zanco membekali Tiny t2 bersama game-game kasual seperti Tetris, Snake serta Doodle Jump.

Tentu saja Tiny t2 tidak dirancang untuk menggantikan smartphone utama Anda. Zanco mencoba memasarkannya sebagai perangkat komunikasi sekunder atau darurat – ketika baterai smartphone habis atau sewaktu Anda menemui kendala lain. Saat ini Zanco tengah melangsungkan kampanye crowdfunding Tiny t2 di Kickstarter. Kabarnya respons konsumen terhadap produk ini sangat positif dan target pendanaan berhasil tercapai dalam waktu kurang dari satu hari.

Di periode crowdfunding ini, Tiny t2 bisa dibeli seharga mulai dari US$ 60. Produk rencananya akan dibanderol di harga retail US$ 130.

Via DigitalTrends.

JBL Reflect Eternal Adalah Headphone Wireless yang Tidak Perlu Di-Charge

JBL punya headphone wireless baru. Namanya cukup mencolok: JBL Reflect Eternal, dan ini menggambarkan salah satu keunggulannya, yakni baterai yang ‘abadi’. Well, kata “eternal” mungkin terkesan hiperbolis. Saya pribadi lebih sreg dengan penggunaan kata “self-sustaining“, tapi ini jelas kurang menarik dipakai sebagai nama produk.

Menggunakan headphone ini, kita tidak perlu bingung soal charging. Semakin sering Reflect Eternal kita kenakan selagi berada di luar rumah, semakin panjang pula daya tahan baterainya. Ya, perangkat ini dapat mengubah energi cahaya menjadi listrik. Cahaya, bukan sebatas matahari saja.

JBL Reflect Eternal

Semakin terang cahayanya, semakin besar energi listrik yang bisa didapat, itulah mengapa skenario penggunaan paling idealnya adalah ketika sedang berada di luar rumah di pagi atau siang hari. Cahaya dalam ruangan pun juga dapat dimanfaatkan, dan andai benar-benar kepepet, charging via USB masih bisa dilakukan.

Teknologi yang digunakan bukan rancangan JBL sendiri, melainkan besutan perusahaan asal Swedia bernama Exeger. Diestimasikan bahwa 1,5 jam penggunaan selama di luar bisa menyuplai energi yang cukup untuk pemakaian selama 68 jam. Self-sustaining, seperti yang saya bilang.

JBL Reflect Eternal

Seperti yang sudah bisa ditebak, komponen penyerap cahayanya ini disematkan pada bagian-bagian yang terekspos, macam headband dan sisi luar earcup. Reflect Eternal sendiri mengadopsi tipe on-ear, dan di masing-masing earcup-nya tertanam driver berdiameter 40 mm.

Fitur-fitur pendukung, macam multi-point connection dengan bekal Bluetooth 5.0, mode ambient untuk mempersilakan suara luar masuk, serta dukungan terhadap Google Assistant maupun Amazon Alexa, semuanya telah tersedia sebagai standar.

Juga menarik adalah metode pemasaran yang diterapkan. JBL memilih platform crowdfunding Indiegogo untuk memperkenalkan Reflect Eternal. Harga paling murah yang bisa didapat saat ini adalah $99, sedangkan harga ritelnya diperkirakan berkisar $165.

Sumber: Exeger.

Platform Urun Dana Bizshare Perkaya Fitur, Incar Biayai 200 Bisnis Tahun Depan

Platform urun dana (equity crowdfunding) Bizshare memperkenalkan sejumlah fitur baru yang dirangkum dalam Bizshare 2.0 untuk menggaet lebih banyak investor. Perusahaan sendiri menargetkan dapat membiayai 200 bisnis pada tahun depan, dari posisi saat ini 23 bisnis.

Co-Founder & CEO Bizshare Heinrich Vincent menjelaskan, sejak dua tahun berdiri perusahaan telah membukukan kenaikan bisnis yang cukup signifikan. Dari 23 unit bisnis yang diakomodasi, berhasil terkumpul dana Rp46 miliar dari investor dan telah dicairkan Rp26 miliar ke bisnis terkait.

Jumlah investor yang bergabung ada 32.000 orang, lebih banyak dari tahun pertama sebanyak 2.500 orang. Kemudian pada tahun lalu meningkat hingga 12.500 orang. Dividen yang telah diberikan kepada para investor ini sebesar Rp811 juta.

Imbal hasil yang mereka terima berkisar antara 20%-30% per tahun, tergantung risiko bisnis yang didanai. Nominal saham yang dibeli adalah Rp5 juta per lembar dan bisa mendapatkan dividen dari bisnis tersebut secara berkala.

“Usaha yang kita biayai kebanyakan adalah franchise untuk F&B, lalu ada bidang jasa seperti laundry dan barber shop. Tahun depan kita mau perluas jenis usahanya, ada properti, tambak udang, dan masih banyak lagi, intinya kita ingin solve soal transparansi di bisnis tersebut,” ujarnya Selasa (17/12).

Beberapa usaha franchise yang didanai lewat Bizshare misalnya Flip Burger, Alfamart, Indomaret, Refit, Mr Montir, Fish Street, Kebab Baba Rafi, Holycow, dan Donburi Ichiya.

Setiap usaha yang akan didanai ini sudah melewati berbagai proses analisis oleh tim Bizshare. Beberapa komponen yang diperhatikan adalah unsur legalitas, analisa arus bisnis dan penilaian berdasarkan data-data keuangan, lokasi dan pasar, SWOT, dan risiko.

Perkaya fitur baru

Dalam Bizshare versi 2.0 ada sejumlah pengembangan fitur, di antaranya perubahan UI dan UX yang lebih ramah buat para investor, fitur Dashboard Investor untuk mengakses laporan keuangan, grafik perkembangan bisnis yang diinvestasikan, Tanya Admin untuk layanan investor relation yang permudah proses investasi.

“Kami juga merilis Bizshare versi PWA (Progressive Web Apps) untuk memudahkan investor mengakses seluruh fiturnya karena lebih mudah untuk di-maintain dan low cost. Dari sisi user, PWA juga sangat ringan [kapasitas memorinya],” tambah Co-Founder & CTO Giovanni Umboh.

Perilisan fitur ini, sambungnya, bertepatan dengan dikantonginya izin usaha sebagai pemain urun dana di bawah regulasi POJK Nomor 37 Tahun 2018, pada tanggal 6 November 2019.

Giovanni menyebut ke depannya perusahaan akan mengembangkan lebih banyak empat fitur tambahan. Yakni, perilisan secondary market untuk investor yang ingin menjual kepemilikan sahamnya (exit) di suatu usaha.

Lalu, investasi terlokalisasi untuk mendorong masyarakat sekitar menjadi investor di suatu usaha dekat tempat tinggal mereka dan menggaet banyak pemain di vertikal lain untuk mendigitalkan UKM.

Vincent menyebut fitur secondary market akan segera dirilis pada kuartal pertama tahun depan. Lantaran fitur ini sudah banyak diminta oleh para investor yang ingin exit dari satu usaha.

Berdasarkan regulasi dari OJK, penggalangan secondary market dilakukan secara terbatas hanya bisa dua kali dalam setahun. Harga saham yang dijual harus disesuaikan dengan harga pasar atau bid offer dari investor lain. “Nanti prosesnya ada di dalam platformnya, pembedanya hanya primary dan secondary market.”

Untuk mendukung seluruh rencana bisnis Bizshare, perusahaan akan menggalang pendanaan pra seri A pada pertengahan tahun depan. Saat ini perusahaan telah mengantongi pendanaan tahap awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari Plug And Play Indonesia, Digitaraya, dan GDILab.

Melalui Skema “Crowdfunding”, BenihBaik Ingin Pertemukan UKM dengan Investor

Bertujuan untuk menghadirkan layanan yang bisa bermanfaat untuk banyak orang, Andy F. Noya bersama dengan rekannya Anggit Hernowo dan Firdaus Juli mendirikan Benihbaik sebagai platform crowdfunding. Selama ini Andy dikenal sebagai wartawan senior dan memiliki pengalaman membangun Kick Andy Foundation.

Serupa dengan platform lainnya yang digunakan untuk kegiatan penggalangan dana, BenihBaik diharapkan bisa mempertemukan orang yang membutuhkan bantuan dengan orang-orang yang ingin berbuat baik untuk membantu sesama.

“Di situlah BenihBaik.com berperan menjembatani orang-orang baik tersebut untuk menemukan siapa yang layak mereka tolong,” kata Andy.

Secara khusus BenihBaik memiliki dua pilar utama kegiatan. Pertama, pilar yang berkaitan dengan kegiatan sosial. Siapa saja bisa memanfaatkan wadah ini untuk mencari bantuan atas masalah yang mereka hadapi. Mulai dari bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, budaya, bencana alam, dan bantuan sosial lainnya. Kedua, pilar yang berkaitan dengan kegiatan usaha, terutama yang berkaitan dengan kewirausahaan sosial (sociopreneurship).

“Pengusaha-pengusaha kecil bisa memanfaatkan BenihBaik untuk menjual produk-produk mereka, sekaligus sarana bagi investor untuk investasi di perusahaan-perusahaan setara UKM yang kami pilih dan tampilkan di BenihBaik. Dengan demikian para pengusaha skala UKM yang mempunyai dampak sosial juga berpeluang mendapatkan investasi melalui platform ini,” lanjut Andy.

Tidak disebutkan lebih lanjut seperti apa kinerja proses tersebut nantinya. Namun demikian BenihBaik berharap, platform ini juga bisa digunakan pihak terkait untuk dimanfaatkan oleh investor yang ingin menanamkan modal dari pihak UKM terkurasi yang bergabung dengan BenihBaik.

Menjalankan bisnis secara bootstrap

Bagi pengguna yang ingin melancarkan kampanye atau mengumpulkan donasi yang merupakan dua fokus dari BenihBaik, bisa mengakses melalui situs. Bagi mereka yang akan berdonasi, cukup dengan memilih kasus yang akan disumbang, menentukan jumlah donasi dan melakukan pembayaran dengan berbagai macam metode pembayaran.

Pilihan dompet digital yang bisa digunakan seperti Dana, Ovo, Gopay, Doku hingga LinkAja. Pembayaran melalui bank transfer juga dihadirkan.

BenihBaik juga memberikan kesempatan kepada donatur untuk menyumbang melalui platform yang bekerja sama dengan BenihBaik seperti Telkomsel Poin, Tokopedia donasi yang dikenal dengan Toped 500, serta Grab Reward yang bisa dilakukan dari 8 negara tempat Grab beroperasi.

Saat ini BenihBaik masih menjalankan bisnis secara bootstrapping dan belum memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana. Masih fokus kepada kampanye dan donasi yang disediakan dalam platform, mereka menargetkan untuk dapat membantu menggalang dana untuk 150 kasus terkurasi per bulan yang nantinya jumlahnya akan terus ditingkatkan, melalui dukungan teknologi automasi.

“Semakin banyak yang bergabung, semakin banyak investasi yang masuk, maka BenihBaik akan semakin besar. Dengan begitu akan semakin besar juga dampak yang bisa kami berikan untuk membantu masyarakat,” kata Andy.

Saat ini sudah banyak platform crowdfunding yang hadir di Indonesia, di antaranya adalah Kitabisa, Gandengtangan, Indiegogo dan Kolase.

Dana Crowdfunding Game Star Citizen Kini Melampaui $ 250 Juta

Ketika sebuah game diumumkan, menanti perilisannya memberikan sensasi tersendiri. Di waktu ini, developer biasanya mengungkap update dan para gamer akan menginterpretasikan informasi itu sembari berharap tim pengembang sanggup menepati seluruh janjinya. Namun ada pula permainan yang dikembangkan dengan begitu ambisius, sehingga kita tidak tahu lagi kapan ia siap meluncur. Star Citizien ialah satu contohnya.

Pengerjaan Star Citizen dimulai di tahun 2011, dipimpin oleh Chris Roberts selaku pencipta seri Wing Commander yang populer di tahun 90-an bersama studio barunya, Cloud Imperium Games. Proyek tersebut didanai melalui metode crowdfunding, dan dalam waktu singkat (di tahun 2012), developer berhasil mengumpulkan modal US$ 6 juta. Dan delapan tahun sesudah mulai digarap, Cloud Imperium Games mengumumkan bahwa dana pengembangan Star Citizen telah melampaui US$ 250 juta terlepas dari belum adanya jadwal rilis.

Berbeda dari permainan lain, pengembangan Star Citizen dilakukan secara ‘terdistribusi’. Prosesnya dilakukan oleh Cloud Imperium Games dan Foundry 42 dengan studio yang tersebar di Austin, Frankfurt, Santa Monica, Wilmslow dan Derby. Masing-masing tim fokus pada ‘modul’ berbeda yang nantinya akan jadi komponen Star Citizen. Menggunakan MMO sebagai basisnya, permainan ini mencoba mengombinasikan genre berbeda: simulasi pertempuran ruang angkasa, trading, hingga first-person shooter.

Uang US$ 250 juta tersebut berasal dari 2,45 juta lebih pemain. Angka ini begitu besar, melampaui modal yang dibutuhkan dalam pembuatan mayoritas permainan blockbuster. Sebelumnya, dana crowdfunding Star Citizen menembus US$ 200 juta di bulan November 2018. Developer juga memperoleh investasi privat senilai US$ 46 juta, tapi mereka tidak menyertakannya di informasi funding. Itu berarti, rata-rata gamer/backer mengeluarkan uang US$ 130 ribu per hari untuk membeli konten virtual (berupa pledge atau pesawat).

Bulan kemarin, Star Citizen juga memperoleh pemasukan sebesar US$ 9,5 juta sebelum ajang CitizenCon 2019 di kota Manchester dilangsungkan. Di sana, Chris Roberts memamerkan planet baru yang tertutup salju bernama microTech. Pemain dipersilakan menjelajahinya melalui rilis versi alpha 3.8, rencananya akan tersedia di bulan Desember ini. Selain itu, Cloud Imperium juga menyingkap Theatres of War, yakni mode multiplayer 20v20 yang memadukan shooter dengan formula pertempuran berbasis kendaraan.

Tahun depan, developer berniat untuk memulai uji coba beta mode single-player Star Citizen bertajuk Squadron 42 yang peluncurannya lama tertunda. Mode ini dirancang sebagai ‘penerus spiritual’ permainan Wing Commander, akan dibagi menjadi beberapa episode. Bagian pertamanya menyuguhkan 70 misi, menjanjikan waktu bermain kurang lebih 20 jam. Squadron 42 juga dimeriahkan oleh aktor-aktor Hollywood seperti Gary Oldman, Mark Hamill, Gillian Anderson, Mark Strong, Liam Cunningham serta Andy Serkis.

Via Eurogamer & GamesIndustry.

Diveroid Ubah Ponsel Anda Menjadi Sebuah Dive Computer Sekaligus Kamera Bawah Air

Fotografi bawah air merupakan hobi yang cukup mahal. Beberapa komponen esensial yang dibutuhkan mencakup kameranya itu sendiri, housing khusus untuk memproteksinya di bawah air, serta sebuah dive computer untuk memantau informasi-informasi penting seperti tingkat kedalaman maupun durasi.

Alternatif murahnya adalah produk bernama Diveroid berikut ini. Pengembangnya mendeskripsikan Diveroid sebagai solusi all-in-one untuk fotografi bawah air, dan seperti yang sudah bisa Anda tebak dari gambarnya, yang dijadikan kamera di sini adalah smartphone.

Diveroid pada dasarnya merupakan sebuah underwater housing untuk smartphone, lengkap dengan sebuah modul dive computer terintegrasi. Ia siap membawa ponsel Anda menyelam hingga kedalaman 60 meter, dan selagi menyelam, aplikasi pendampingnya di ponsel akan menampilkan data menyelam yang diterima dari modul dive computer secara real-time.

Diveroid

Untuk mengoperasikannya, Diveroid mengemas tiga tombol fisik yang menempel langsung ke layar sentuh smartphone, dan tentu saja tampilan aplikasinya sudah dioptimalkan untuk ini. Daftar ponsel yang kompatibel pun cukup lengkap. Beberapa model yang populer mencakup iPhone 11, Samsung Galaxy Note 10, Galaxy S10 dan Google Pixel 4.

Fitur pemotretan yang ditawarkan aplikasi Diveroid pun cukup melimpah. Selain dapat memilih sejumlah focal length, pengguna pun juga dapat mengaktifkan kamera depannya. Juga menarik adalah fitur real-time color correction, yang pada dasarnya merupakan filter warna merah untuk ‘menetralkan’ gambar yang didominasi warna hijau atau biru selagi pengguna terus menyelam lebih dalam.

Diveroid

Terakhir, aplikasi Diveroid turut mengemas fitur logbook. Foto maupun video yang pengguna ambil selama menyelam telah disinkronisasikan secara otomatis dengan data-data yang relevan, sehingga pengguna bisa memantau di kedalaman berapa saja mereka berhasil mengabadikan lanskap laut yang indah.

Buat yang tertarik, saat ini Diveroid sedang ditawarkan melalui platform crowdfunding Kickstarter. Harga paling murah yang bisa didapat selama masa kampanyenya saat ini adalah $249, sekitar 40% lebih terjangkau dibanding estimasi harga ritelnya.

Sumber: DPReview.

castAway Adalah Case Sekaligus Layar Kedua Untuk Smartphone Anda

Hidup tanpa layar ialah hal yang mustahil bagi manusia di era digital. Layar merupakan elemen penting dalam berinteraksi, membantu kita berkomunikasi hingga mengakses konten digital. Dengan kehadirannya di perangkat elektronik, berbagai hal dapat dilakukan. Esensialnya display juga mendorong para raksasa teknologi mengembangkan perangkat-perangkat berstruktur foldable hingga dual screen.

Lalu bagaimana dengan pengguna biasa yang butuh layar tambahan di smartphone, tapi mereka tak punya banyak modal buat membeli perangkat baru? Sebuah solusi menarik diajukan oleh inventor bernama Ken Mages dan mantan desainer Dell Joe Jasinski. Melalui Indie Gogo, mereka memperkenalkan castAway, yaitu aksesori cover/case smartphone yang juga berperan sebagai layar ultra-slim sekunder. castAway dirancang untuk mempermudah multi-tasking, memperkenankan kita melakukan beberapa hal sekaligus secara lebih simpel.

castAway 1

castAway terdiri dari beberapa bagian. Pertama, kita perlu memasang case pelindung smartphone – layaknya aksesori casing pada umumnya. Selanjutnya, bagian cover sekaligus layar kedua didesain agar terpasang ke engsel via magnet. castAway sejauh ini baru mendukung resmi dua merek smartphone, yaitu Apple iPhone dan Samsung Galaxy. Aksesori kompatibel dengan varian iPhone 6 dan Galaxy S7 hingga model-model terbaru (termasuk iPhone 11 Pro dan Galaxy Note 10).

Sejatinya, castAway merupakan tablet yang mampu bekerja mandiri. Itu alasannya tim desainer memanfaatkan engsel magnet yang dapat dilepas. Perangkat diotaki prosesor berkecepatan 1,5Gz, dilengkapi dua buah port USB type-C, slot microSD dan audio, ada sensor gravitasi dan gyroscope, penyimpanan internal eMMC 32GB, koneksi Wi-Fi 802.11 ac dan Bluetooth 4.1, serta ditenagai oleh baterai 35WHr – menjanjikan waktu pemakaian ‘seperti smartphone pada umumnya’.

castAway 4

castAway bahkan mempunyai kamera depan 2Mp serta kamera belakang 5Mp, dan bergantung dari tipe yang dipilih, aksesori case sekaligus layar sekunder ini memiliki layar sentuh seluas 5,8- atau 6,3-inci beresolusi 2048x1535p.

Tim pengembang mengaku, aspek tersulit dari proses pengembangan castAway adalah memastikannya dapat bekerja kompak dengan smartphone Anda. castAway berjalan di Chrome OS terbaru, dan agar bisa tersinkronisasi, ia dan perangkat Anda perlu mengoperasikan aplikasi MultiTask+ sehingga memungkinkan kedua device mandiri tersebut dapat berkomunikasi via Wi-Fi terenkripsi.

castAway 3

Saat ini, Ken Mages dan kawan-kawan tengah melangsungkan kampanye pengumpulan dana di Indie Gogo. Agar proyek castAway bisa dimulai, mereka membutuhkan modal minimal sebesar US$ 50 ribu. Jika semuanya berjalan lancar, castAway rencananya akan didistribusikan perdana pada bulan Mei 2020. Produk bisa Anda pesan sekarang, dibanderol seharga mulai dari US$ 130.

PhoneBook Bisa Ubah Segala Macam Smartphone Jadi Laptop

Beberapa dekade lalu, mungkin kita akan sulit menjelaskan bahwa di masa depan akan ada perangkat kecil serbaguna yang mampu mengakses informasi dari mana saja, kapan pun kita menginginkannya. Saat ini, alat bernama smartphone tersebut sulit dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia modern. Kita menggunakannya buat bekerja, berkomunikasi, serta menghibur diri.

Dahulu, banyak orang memprediksi bahwa smartphone dan tablet akan menggantikan peran PC tradisional. Nyatanya, mereka malah saling melengkapi. Saat ini laptop masih jadi perangkat penunjang kegiatan produktif utama, namun di situasi-situasi darurat, banyak pula pengguna yang tak keberatan untuk bekerja dengan smartphone. Dan pengalaman bekerja lewat smartphone bisa jadi lebih praktis berkat bantuan aksesori bernama PhoneBook.

PhoneBook adalah perangkat plug-and-play unik yang mampu mengubah smartphone menjadi notebook berlayar 15,6-inci. PhoneBook berperan sebagai ‘cangkang’ berwujud PC laptop. Untuk menggunakannya, kita hanya perlu menyambungkan ponsel pintar via kabel ke PhoneBook. Segala macam proses pengolahan data dilakukan sepenuhnya oleh CPU di smartphone, jadi performanya bergantung dari jenis ponsel yang Anda miliki.

Tim pengembang menjelaskan bahwa smartphone merupakan perangkat portable yang bertenaga. Dengannya, kita dapat melakukan banyak hal: chatting, browsing hingga bermain game. Meski begitu, jarang sekali orang memanfaatkannya buat mengetik berlembar-lembar laporan atau menonton film berdurasi dua jam lebih. Produktivitas dan pengalaman penggunaan smartphone umumnya dibatasi oleh kecilnya layar dan kurang efisiennya keyboard berbasis touchscreen.

PhoneBook dirancang untuk menampilkan konten di smartphone ke layar yang lebih lebar. Panel berjenis IPS di sana menyuguhkan resolusi full-HD dan bisa membaca sentuhan jari. Dan layaknya laptop, PhoneBook menyuguhkan keyboard full-size lengkap dengan numpad serta touchpad. Perangkat juga memiliki speaker, menyimpan baterai internal (berdaya tahan hingga delapan jam) yang akan men-charge smartphone ketika terkoneksi, serta dibekali port-port fisik penting seperti USB, audio, HDMI, USB type-C – memperkenankan kita menyambungkan mouse.

Tim Anyware menjelaskan bahwa PhoneBook mempunyai banyak keunggulan dibandingkan solusi yang ditawarkan kompetitor, terutama dari sisi kompatibilitas. Contohnya: Samsung DeX hanya mendukung beberapa smartphone saja, sedangkan PhoneBook siap merangkul hampir seluruh perangkat Android dan iOS (termasuk model baru semisal iPhone 11). Perlu dicatat bahwa PhoneBook belum dapat bekerja dengan smartphone ber-SOC MediaTek.

Lewat kampanye crowdfunding di situs Kickstarter, sang produsen asal Shenzhen berhasil mengumpulkan modal berkali-kali lipat dari target awal mereka. PhoneBook rencananya bakal didistribusikan di bulan Desember 2019, diprioritaskan ke para backer. Produk bisa dipesan sekarang seharga mulai dari US$ 170.