Lyke Shuts Down Services, Diverting Team to China’s E-Commerce Jollychic

Lyke, a curated fashion aggregator app has announced shutdown and diverted its team to China’s e-commerce service Jollychic, along with its strategy to develop business in Indonesia.

In an official statement to DailySocial, Lyke’s CEO Bastian Purrer did not explain the reason behind the shutdown of a company that he’s been handled for 2.5 years. However, the decision was taken to support Jollychic’s ambitions that began to focus on growing business in Indonesia.

On this merger, Lyke‘s team experience in Indonesia can be a powerful resource for Jollychic. Along with this announcement, Lyke app has started to advise the user to download Jollychic app.

“As a team, we are very proud of what we’ve accomplished and very excited to
continue the journey with Jollychic,” Purrer explained, Thu (3/1).

Aaron Li, Jollychic’s Founder & CEO, added, “Lyke team has already managed [and understand] its market and Indonesian consumers, we are looking forward to learning from their local wisdom.”

During its time, Lyke claimed to have 1.6 million users and introduced image search technology. In addition, Lyke has processed more than 500 thousand orders since early 2016.

Jollychic was first established in China in 2014. It was introduced in Indonesia last year. This app offers online shopping experience from hundreds of fashion, electronics, lifestyle products.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lyke Tutup Layanan, Tim Dialihkan ke Layanan E-Commerce Tiongkok Jollychic

Lyke, aplikasi agregator produk fesyen terkurasi, mengumumkan penutupan layanan dan mengalihkan seluruh karyawannya ke layanan e-commerce asal Tiongkok Jollychic, seiring strategi layanan tersebut mengembangkan bisnisnya di pasar Indonesia.

Dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial, CEO Lyke Bastian Purrer tidak menjelaskan alasan di balik tutupnya perusahaan yang sudah dinaunginya sejak 2,5 tahun tersebut. Akan tetapi, keputusan tersebut diambil untuk mendukung ambisi Jollychic yang mulai fokus pada pertumbuhan bisnisnya di Indonesia.

Dari hasil merger tersebut, bekal pengalaman tim Lyke dalam mengembangkan pasar Indonesia dapat menjadi amunisi yang ampuh buat Jollychic. Seiring pengumuman ini, aplikasi Lyke sudah mulai mengarahkan penggunanya untuk mengunduh aplikasi Jollychic, sebelum tutup total. Begitupun, merek Lyke itu sendiri.

“Sebagai sebuah tim, kami sangat bangga dengan apa yang kami capai bersama, dan sangat antusias untuk melanjutkan perjalanan ini bersama tim Jollychic,” terang Bastian, Kamis (1/3).

Founder & CEO Jollychic Aaron Li menambahkan, “Tim Lyke telah benar-benar berhasil memahami pasar dan konsumen Indonesia, dan kami sangat menantikan belajar dari keahlian lokal mereka.”

Selama Lyke berdiri, diklaim layanan ini telah memiliki 1,6 juta pengguna dan memperkenalkan teknologi pencarian gambar. Selain itu, Lyke telah memproses lebih dari 500 ribu pesanan sejak awal 2016. Adapun total toko terkurasi yang sudah bermitra mencapai 300 toko dengan 150 ribu pilihan produk.

Jollychic pertama kali hadir di Tiongkok pada 2014. Kehadirannya di Indonesia pertama kali dimulai pada tahun lalu. Aplikasi ini menawarkan penggunanya berbelanja dari ratusan ribu produk dari fesyen, elektronik, dan gaya hidup.

Layanan Pemesanan Hotel Budget “Tinggal” Dikabarkan Segera Tutup Layanan

Kami mendapatkan informasi dari sumber terpercaya bahwa layanan pemesanan hotel budget dan hotel independen Tinggal segera menutup layanannya. Dari sumber yang sama disebutkan semua karyawan segera di-layoff dan Pendiri berencana pivot ke layanan property management system.

Saat tulisan ini dibuat situs Tinggal sudah sulit diakses, sementara Co-Founder dan CEO Arjun Chopra yang kami kontak belum memberikan balasannya.

Tinggal didirikan di awal tahun 2016 dengan dukungan pendanaan $1 juta dari sejumlah investor, termasuk CEO Wudstay Prafulla Mathur. Wudstay adalah layanan serupa yang beroperasi di India.

Arjun dalam wawancara terdahulu memberikan premis:

“Banyak dari hotel budget ini merupakan usaha keluarga yang sering kali mengalami kesulitan dengan penjualan, pemasaran, dukungan dan operasional. Oleh karena itu, kami bekerja sama sangat dekat dengan mitra hotel kami untuk membantu mereka meningkatkan standar hotelnya. Caranya adalah dengan memastikan adanya kontrol kualitas, memaksimalkan pengunaan wadah kami, membuat konten berkualitas tinggi dan menjangkau konsumen yang tepat, sehingga mitra hotel dapat menawarkan dan memberikan pengalaman menginap terbaik.”

Berbeda dengan kompetitornya, Tinggal didirikan dari awal untuk fokus ke pasar Indonesia. Setelah 1,5 tahun beroperasi, Tinggal tampaknya tak mampu jaminan bisnis berkelanjutan bagi para investornya. Pesaing Tinggal saat ini adalah RedDoorz, Nida Rooms, dan Airy Rooms.

BlackGarlic Konfirmasi Penutupan Layanan

Layanan on-demand bahan siap masak BlackGarlic mengumumkan penutupan layanannya per 15 Juli mendatang. Pasca tanggal tersebut, layanan BlackGarlic Express, yang menjual bumbu masak dan bahan makanan siap saji, bakal diambil alih tim William Wongso Kuliner sebagai pengembang produk ini. Tim BlackGarlic akan beroperasi hingga 19 Juli mendatang.

Informasi ini ironisnya muncul ketika role model layanan ini di Amerika Serikat, Blue Apron, justru sedang mempersiapkan diri untuk go public di bursa saham. Secara implisit, model bisnis seperti ini belum mampu untuk menopang kelangsungan hidup startup yang umurnya hampir mencapai dua tahun ini, meskipun mereka telah melayani 80 ribu porsi makanan dengan hampir 1000 menu dan 10 ribu konsumen yang berbeda.

BlackGarlic didirikan oleh tim yang sukses mengembangkan layanan pengantaran makanan on-demand Klik-Eat, yang kemudian diakuisisi layanan Jepang Yume no Machi. Mereka bekerja sama dengan tim William Wongso Kuliner, dengan Olivia Wongso menjadi Chief Product Officer BlackGarlic.

Dalam pernyataannya, Co-Founder dan CEO BlackGarlic Michael Saputra menyebutkan, ” Keberhasilan saya di startup sebelumnya ternyata tidak menjamin perjalanan ini akan sukses. Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua bisnis akan berhasil, tetapi pengalaman saya menutup bisnis yang sudah 2 tahun saya rintis bersama co-founders saya, dengan semua jatuh bangun, air mata dan jerih payah tetap sangat menyakitkan.”

Meskipun demikian Michael memastikan bahwa kegagalan ini membawa pengalaman yang sangat banyak dibandingkan kesuksesan dia sebelumnya.

Tidak ada informasi terbuka soal jumlah investasi yang dihimpun BlackGarlic selama beroperasi, tetapi Skystar Capital dan Convergence Ventures adalah jajaran investor yang telah menginvestasikan dananya ke layanan ini.

Dalam wawancara dengan DailySocial sekitar 4 bulan yang lalu, Michael mengatakan fokusnya tahun ini adalah loyalitas konsumen dan mereka menghadirkan paket berlangganan mingguan dan memperbarui situs. Sayang cita-cita tersebut kandas dan layanan ini harus ditutup.

Semoga penutupan ini bukan menjadi akhir kiprah Michael dan tim pengembang BlackGarlic dalam mewarnai ekosistem startup teknologi Indonesia.

Bornevia Hentikan Layanan Bulan Depan (Updated)

Melalui milis yang dikirimkan kepada para pelanggannya, pengembang layanan SaaS lokal untuk produk CRM Bornevia memutuskan untuk mengakhiri operasional bisnisnya pada akhir April 2017 mendatang. Dalam email tersebut dikemukakan bahwa para kustomer disarankan untuk melakukan migrasi ke layanan sejenis, seperti Zendesk.

“Sebagai co-founder, kami memutuskan untuk menghentikan layanan kami pada akhir April 2017 dan mengembalikan uang sisa capital dan revenue ke investor secara sah menurut shareholder agreement,” tulis Benny Tjia selaku Co-Founder dan CEO dalam pernyataannya via email.

Benny melanjutkan, “Alasan utama kami adalah karena masalah komitmen sebagai full-time entrepreneur yang dimiliki oleh Co-founder/CTO kami, Tjiu Suryanto, selama 2 tahun terakhir yang mengakibatkan banyak terjadinya miskomunikasi dan kesalahpahaman dengan saya selaku CEO, dan juga investor. Saya melihat hal ini tidak sehat untuk kelangsungan perusahaan kami untuk ke depannya, sehingga kami sebagai pendiri memutuskan untuk menghentikan layanan kami dan mengembalikan uang investor.”

Kabar ini cukup mengejutkan, ketika sebelumnya (kurang lebih 4 bulan lalu) Bornevia baru saja merilis sejumlah fitur baru untuk menguatkan posisinya di pangsa pasar korporasi. Beberapa inovasi terbaru juga belum lama ini digalakkan, seperti melakukan integrasi dengan LINE@.

Sebelumnya Bornevia mengklaim telah memiliki lebih dari 3000 perusahaan yang menggunakan layanan sejenis secara global, dan 50 persennya merupakan perusahaan lokal.

“Kami akan membantu customer kami dalam migrasi sistem ke alternative solution,” ujar Benny.

Bornevia didirikan oleh Benny Tjia dan Tjiu Suryanto pada tahun 2013. Di awal debutnya, Bornevia mendapatkan seed funding dari angel investor. Kemudian sempat mendapatkan pendanaan pre-seri A yang dipimpin oleh East Ventures (EV) dan Beenos Partners dengan nilai yang tidak disebutkan.

Melalui produk berbasis SaaS, Bornevia digadang-gadang sebagai startup lokal yang akan mungkin memberikan pengaruh besar di lanskap produk teknologi korporasi. Ternyata layanan ini harus layu sebelum memenuhi prediksi awalnya.

Tambahan sekaligus klarifikasi dari Benny:

“Saya sudah 10 tahun kenal Tjiu. Hubungan kami saat ini masing baik-baik saja. Ketidakcocokan kami hanya di ruang lingkup sebagai founder.”

Platform Crowdfunding Wujudkan Tutup Layanan

Hendak beranjak di usia lima tahun sejak pertama kali berdiri di 2012, platform crowdfunding Wujudkan justru memilih untuk menutup layanan. Pernyataan resmi disampaikan oleh CEO dan Founder Wujudkan Mandy Marahimini dalam blog-nya.

Kepada DailySocial, Mandy menjelaskan dari total proposal yang masuk ke Wujudkan hanya 51 proposal saja yang berhasil dicapai dari 375 proposal yang masuk, atau tidak pernah lebih dari 12%. Adapun donasi yang berhasil tersalurkan senilai Rp 1,19 miliar.

Pencapaian ini, menurut Mandy terlalu sedikit. Pihaknya terus berupaya meningkatkan jumlahnya dengan segala kemampuan, namun hasilnya tak kunjung meningkat.

“Angka ini menjadi penting karena Wujudkan bukanlah sebuah lembaga dana, melainkan badan usaha. Angka ini menjadi penting karena biaya operasional yang diperlukan menjadi terlalu besar,” ucap Mandy.

Saat ditanya lebih lanjut, Mandy enggan membeberkan hal lainnya, termasuk kendalanya menjalankan platform crowdfunding di Indonesia. “Saya belum bisa menjawab pertanyaan ini.”

Pasca mengumumkan kabar ini, pihak Wujudkan menetapkan situs akan berhenti beroperasi per 31 Maret 2017. Perusahaan telah memulai proses cut off dengan tidak menerima Kreasi (sebutan proposal) baru, saat ini tinggal tersisa 11 Kreasi saja yang membutuhkan dukungan dana.

Mandy memastikan pihaknya tidak akan menutup layanan Wujudkan begitu saja tanpa menyisakan jejak sama sekali. Pada tanggal yang sama, nantinya perusahaan akan mengirimkan laman statis dari semua kampanye yang pernah dijalankan kepada seluruh Kreator, agar dapat dipasang di blog atau server masing-masing.

Pihaknya juga akan memindahkan laman Wujudkan ke sebuah alamat WordPress agar selalu bisa diakses, sehingga semua tips cara crowdfunding yang pernah ditulis dapat terus dibaca.

Gugurnya Wujudkan, mungkin menjadi pertanda bahwa strategi bisnis crowdfunding di Indonesia harus makin matang, agar semakin menarik bagi penggagas proyek juga pendana. Misalnya, dengan mengarahkan ke sektor yang lebih beraroma sosial, seperti yang dilakukan oleh KitaBisa dan Gandeng Tangan.

Layanan E-Commerce Khusus Lingerie Lolalola Resmi Tutup Layanan

Setelah menjalankan bisnisnya selama dua tahun, layanan fashion commerce yang secara khusus menghadirkan produk pakaian dalam wanita atau lingerie, Lolalola resmi menutup bisnisnya hari ini. Startup yang mendapat dukungan investasi dari Ardent Capital ini resmi meluncur di Indonesia pada bulan Maret 2015 setelah sebelumnya melakukan soft launching Agustus 2014 silam.

Ditutupnya layanan niche yang menyasar kalangan perempuan ini merupakan salah satu startup pertama yang secara resmi tidak lagi beroperasi di tanah air di awal tahun 2017. Lolalola merupakan salah satu startup pertama yang menghadirkan produk khusus pakaian dalam untuk perempuan, startup lain yang kemudian mencoba layanan serupa dan terbilang baru usianya adalah Asmaraku.

Sejak awal berdiri, Lolalola, yang juga mendapat dukungan fulfillment dan logistik dari aCommerce, telah melengkapi layanannya dengan pilihan pembayaran yang cukup beragam, yaitu pembayaran melalui kartu kredit hingga COD (Cash on Delivery). Pengiriman barang pun disanggupi bisa disebar di seluruh Indonesia.

Minat dari konsumen juga terlihat cukup antusias setelah melakukan proses uji coba. Kepada DailySocial CEO Lolalola Donna Lesmana mengungkapkan Lolalola ingin mengubah cara pelanggan di Indonesia berbelanja produk lingerie atau pakaian dalam.

Saat ini situs Lolalola masih bisa diakses namun tidak lagi menampilkan ragam produk pakaian dalam kepada konsumen. Dalam situs tersebut tertulis produk Lolalola masih dapat dibeli melalui akun media sosial seperti Instagram, Facebook Page, dan Line.

Kerasnya persaingan fashion commerce di Indonesia

Tutupnya layanan fashion commerce Lolalola menjadi bukti kerasnya persaingan layanan fashion commerce di Indonesia. Bukan hanya harus bersaing dengan penjual yang memanfaatkan media sosial seperti Instagram dan Facebook Page, Lolalola juga harus bersaing dengan marketplacce raksasa seperti Tokopedia, elevenia hingga Lazada yang juga memiliki kanal khusus untuk produk pakaian dalam wanita.

Meskipun mengklaim memiliki produk yang unik dan menarik, jika tidak dibarengi strategi pemasaran dan akuisisi pelanggan yang cukup masif akan sulit mencapai kondisi sustainable, seperti yang dialami Lolalola.

Gnews Tutup Layanan

Di penghujung tahun ini, kisah penutupan startup belum berakhir. Gnews, platform pencarian berita berbasis media sosial, menutup layanannya. Menurut informasi yang kami terima, perbedaan visi antara manajemen dan pemegang saham lainnya menjadi penyebab utama penutupan layanan ini. Semua karyawan Gnews sudah mengundurkan diri atau di-PHK.

Gnews didirikan hampir 2 tahun yang lalu sebagai bagian dari GDILab yang mengkhususkan diri menganalisis tren media sosial. Berbeda dengan GDILab yang sekarang menjadi platform analitik, Gnews mengarah menjadi aplikasi baca (reader app).

Sekitar setahun lalu, Gnews spin off menjadi perusahaan sendiri, dengan dua co-founder GDILab, Yopie Suryadi dan Masas Dani, exit dan masing-masing menjadi CEO dan CTO perusahaan baru.

Sempat berencana ekspansi ke Asia Tenggara, mimpi Gnews tersebut akhirnya kandas. GDILab sendiri tetap bertahan dan telah mengamankan beberapa pendanaan lanjutan.

Simak pandangan-pandangan Yopie tentang tren media sosial dan pemanfaatan machine learning untuk melihat perilaku konsumen dalam DScussion beberapa waktu yang lalu.

Zeemi Ganti Model Bisnis, Tutup Layanan Live Streaming Berbasis User Generated Content

Platform live sharing berbasis video Zeemi mengibarkan bendera putih di sektor ritel. Jika kita mengakses situs Zeemi sekarang, akan muncul pop up yang berisi pengumuman tentang “penutupan” fitur live streaming, termasuk akses melalui aplikasi. Meskipun demikian, pihak Zeemi seperti dikonfirmasi DailySocial menegaskan tidak sepenuhnya berhenti beroperasi.

Zeemi yang beroperasi sejak tahun 2014 merupakan salah satu pemain lokal di kancah platform hiburan berbasis streaming video. Ia menghadapi persaingan ketat dari para pemain regional, termasuk Cliponyu, Bigo, dan Nonolive yang makin ke sini semakin banyak menampilkan konten negatif. Dengan bermodalkan pendanaan awal sebesar $1 juta (atau sekitar 13 miliar Rupiah) dari 500 Startups dan DeNA yang diperoleh setahun yang lalu, Zeemi tampaknya tak mampu bersaing.

Dalam konfirmasinya yang singkat kepada DailySocial, Pendiri dan CEO Zeemi Tom Damek menyebutkan pihaknya mengubah model bisnis dan tetap beroperasi, meskipun tidak menyebutkan detil akan berubah ke mana. Belum ada informasi juga apakah ada karyawan yang dilepas (layoff) terkait perubahan ini.

Seperti disebutkan di pengumumannya, Zeemi berangsur-angsur mengurangi kemampuan pengguna untuk melakukan live streaming. Aplikasi Android-nya pun sudah tidak lagi terdaftar di Google Play. Zeemi mengisyaratkan akan menggunakan teknologi live video streaming yang dimiliki untuk membidik pasar korporasi dan pengembang.

Kita tunggu kiprah Zeemi selanjutnya.

[Tidbit] Startup Mulai Berguguran, Go-Jek Resmikan Go-Auto, Harga iPhone 7 di Asia Tenggara

Infografis Beberapa Startup yang Berguguran Sepanjang 2015-2016

Beberapa startup yang tutup sepanjang 2015-2016 / Katadata
Beberapa startup yang tutup sepanjang 2015-2016 / Katadata

Go-Jek resmikan Go-Auto

Untuk terus memberikan layanan terbaik bagi pengguna, GO-JEK meluncurkan layanan terbaru khusus untuk para pemilik kendaraan bermotor, GO-AUTO. GO-AUTO merupakan solusi mudah untuk memperoleh layanan otomotif untuk motor maupun mobil mulai dari cuci & perawatan mobil, tune-up kendaraan, ganti oli dan aki, hingga bantuan darurat yang praktis, nyaman, dan terpercaya.

Layanan GO-AUTO terdiri dari : Auto Care merupakan layanan perawatan mobil yang meliputi cuci mobil (interior, exterior, ban), wax, pembersihan jamur kaca, serta pembersihan mesin. Untuk mobil tersedia layanan tune-up, ganti oli, dan ganti aki. Emergency meliputi layanan jumper aki mobil, serta ganti ban mobil.

Harga iPhone 7 di Asia Tenggara

Harga iPhone 7 di negara-negara Asia Tenggara / iPrice Group
Harga iPhone 7 di negara-negara Asia Tenggara / iPrice Group

Bagaimanapun, jika kita memperhatikan di negara-negara Asia Tenggara, harga iPhone 7 jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan U.S, dengan beberapa alasan seperti biaya expor/impor dan juga pajak yang ditetapkan tiap negara. Bagi negara di mana iPhone 7 belum diluncurkan seperti Thailand, Vietnam, Indonesia, Malaysia dan Filipina, para penggila teknologi rela pergi ke luar negeri berharap menjadi pemilik pertama iPhone 7.

Para penjual gelap membeli iPhone 7 dari Singapore & Hong Kong (di mana iPhone 7 sudah di luncurkan) dan menjualnya di negara mereka dengan harga yang lebih mahal 14% di Vietnam dan juga 49% di Thailand. Terlepas dari harganya yang cukup mahal, iPhone 6 dan 6s terjual sebanyak 61,2 juta unit pada kuartal awal di tahun 2015. Bagi kelas menengah yang memiliki rata-rata gaji sebesar 1.8 USD atau 23.877/jam, orang Indonesia harus bekerja selama 87 hari untuk memiliki iPhone 7 (Diasumsikan seseorang akan bekerja dan menggunakan 100% gajinya).