Binar Academy with Its Mission to Advance Indonesian Digital Talents

One of the sectors that was rapidly growing during the pandemic was edtech. More Indonesian from various backgrounds are adapting to online learning.

As a platform that focuses on developing digital abilities and talents, Binar Academy claims to have successfully educated more than 8 thousand students in 2020 and generated an 80% increase in income.

Was founded in 2017, this startup was developed by Alamanda Shantika who was Gojek’s former VP of Technology and Products along with two other Gojek alumni, Dita Aisyah and Seto Lareno.

“The Covid-19 pandemic has encouraged educational institutions, teachers, students, and also parents in Indonesia to adapt to online learning. It is time for us to innovate in presenting education and create learning experiences that are both interesting and enjoyable. I believe that a combination of experiences contemporary learning, technology, and community will produce it all, “said Founder & CEO of Binar Academy Alamanda Shantika.

Binar Academy offers two main educational programs. Among these are Binar Bootcamp and Binar Insight. The Binar Bootcamp Program, an intensive course for beginners, has four classes of 4 to 6 months, including Product Management, UI / UX Design and Research, Android Engineering, and Fullstack Web Development.

Aslo, Binar Insight, a series of interactive webinars of 1.5 to 2 hours, with more diverse classes such as Product Management, Digital Marketing, and Data Science. The most popular classes are Product Management for Bootcamp Binars and Binar Insights.

In terms of demography, most Binar Academy users are high school graduates, students, and career shifter. This year, the company plans to increase collaboration with educational institutions including the government, universities and vocational schools. In addition, Binar Academy will also collaborate with companies affected by digitalization to upskilling employees to remain relevant.

In Indonesia, the bootcamp program becomes an alternative to non-formal education, especially for those who want to pursue a career in technology and programming. Apart from Binar, there are several other startups that offer similar services, including Hacktiv8, Impact Byte, and Skilvul. One of the unique options they offer is the “Income Share Agreement”, which allows students to gain knowledge first and pay accommodation fees later as they started to earn income.

Seed funding

Binar Academy’s Bootcamp class

In mid-April 2020, Binar Academy received seed funding led by Teja Ventures with the participation of several investors such as the Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF – a fund that aims to create social impact, managed by Moonshot Ventures and YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, as well as several angel investors from ANGIN.

The fresh funds will be used to increase tech-education growth, as well as recruit experts in the fields of education and technology to provide digitalization of content and curricula to continuously train digital talents.

Binar Academy also targetimg to increase the growth of technology education products, as well as to recruit more experts in the fields of education and technology so that they can digitize content and curriculum for 45 thousand students in Indonesia.

“In the last three years, we have continued to develop our main product, namely Binar Bootcamp to meet the learning experience of our students and the market demand for digital talents. Inspiring Indonesian youth and helping them to discover their true potential will always be my mission,” said Alamanda.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Binar Academy dan Misinya Tingkatkan Kemampuan Talenta Digital Indonesia

Salah satu sektor yang terdongkrak pertumbuhannya saat pandemi adalah edtech. Semakin banyak masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan untuk kemudian beradaptasi untuk belajar secara online.

Sebagai platform yang fokus pada pengembangan kemampuan dan talenta digital, Binar Academy mengklaim telah berhasil mengedukasi lebih dari 8 ribu siswa di tahun 2020 dan menghasilkan peningkatan pendapatan sebesar 80%.

Didirikan pada tahun 2017, startup ini dirintis oleh Alamanda Shantika yang merupakan mantan VP Technology and Product pertama Gojek bersama dengan dua alumni Gojek lainnya, yaitu Dita Aisyah dan Seto Lareno.

“Pandemi Covid-19 telah mendorong institusi pendidikan, guru, murid, dan juga para orang tua di Indonesia untuk beradaptasi belajar online. Sudah saatnya bagi kita untuk berinovasi dalam menyajikan pendidikan dan menciptakan pengalaman belajar yang menarik sekaligus menyenangkan. Saya yakin bahwa kombinasi dari pengalaman belajar kontemporer, teknologi, dan komunitas akan menghasilkan hal itu semua,” kata Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika.

Binar Academy menawarkan dua program pendidikan utama. Di antaranya adalah Binar Bootcamp dan Binar Insight. Program Binar Bootcamp, kursus intensif bagi pemula, mempunyai empat kelas berdurasi 4 sampai 6 bulan yaitu: Product Management, UI/UX Design and Research, Android Engineering, dan Fullstack Web Development.

Kemudian Binar Insight, berbagai seri webinar interaktif berdurasi 1,5 sampai 2 jam, mempunyai kelas yang lebih beragam seperti Product Management, Digital Marketing, dan Data Science. Kelas yang paling banyak dipilih pengguna adalah Product Management untuk Binar Bootcamp dan Binar Insight.

Secara demografi kebanyakan pengguna Binar Academy adalah lulusan SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang ingin berganti karier (career shifter). Tahun ini perusahaan berencana untuk meningkatkan kolaborasi dengan institusi pendidikan termasuk dengan pemerintah, universitas, dan sekolah vokasi. Selain itu, Binar Academy juga akan berkolaborasi dengan perusahaan yang terdampak oleh digitalisasi untuk upskilling employee agar kemampuannya kembali relevan.

Di Indonesia sendiri program bootcamp memang menjadi alternatif pendidikan nonformal, khususnya bagi mereka yang ingin menekuni bidang teknologi dan pemrograman. Selain Binar, ada beberapa startup lain yang tawarkan layanan serupa, di antaranya Hacktiv8, Impact Byte, dan Skilvul. Salah satu opsi menarik yang mereka tawarkan adalah skema “Income Share Agreement”, memungkinkan pelajar untuk terlebih dulu menimba ilmu dan baru membayar biaya akomodasi setelah mendapatkan penghasilan dari keahliannya.

Kantongi pendanaan tahap awal

Kelas Academy Bootcamp Binar Academy

Pertengahan April 2020 lalu Binar Academy telah menerima pendanaan tahap awal dipimpin oleh Teja Ventures dengan partisipasi dari beberapa investor seperti Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF— dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures dan YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, serta beberapa angel investor dari ANGIN.

Dana segar tersebut rencananya akan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan pendidikan teknologi, serta merekrut pakar di bidang pendidikan dan teknologi agar dapat menyediakan digitalisasi konten dan kurikulum untuk melatih kemampuan talenta digital secara terus-menerus.

Binar Academy tahun ini juga memiliki target untuk meningkatkan pertumbuhan produk pendidikan teknologi, serta merekrut lebih banyak pakar di bidang pendidikan dan teknologi agar dapat menyediakan digitalisasi konten dan kurikulum untuk 45 ribu siswa di Indonesia.

“Dalam tiga tahun terakhir, kami terus mengembangkan produk utama kami yaitu Binar Bootcamp untuk memenuhi pengalaman belajar siswa kami dan permintaan pasar akan talenta digital. Menginspirasi pemuda Indonesia dan membantu mereka untuk menemukan potensi mereka yang sesungguhnya akan selalu menjadi misi saya,” kata Alamanda.

Glints Future Plan in Indonesia after Series C Funding

After securing $22.5 million series C funding or equivalent to 327 billion Rupiah led by PERSOL Holdings, the technology-based recruiting platform Glints plans to focus on accelerating their business in Indonesia.

As a country with the largest population in Southeast Asia, Indonesia is considered capable of producing young workforce. Moreover, with a median age of 29 years, it indicates a young workforce that is ready and adaptive for the future. Coupled with an increasingly skilled talent pool, Indonesia is able to stand out from other economies.

“In the near future, we will expand our geographic reach to other cities including Surabaya and Bandung. In parallel, we will also invest in Expert Class Glints product, to enable our talent community to engage with experts from various fields and help professionals improve their expertise,” Glints’ Co-founder & CEO, Oswald Yeo said.

Apart from Indonesia, Glints is to focus on empowering the career development of 120 million professionals in Southeast Asia and to solve the regional talent crisis, by building more teams, features and solutions in the Glints Talent Ecosystem. They also plans to deepen the company’s footprint in Singapore, Vietnam and Taiwan.

The Series C round includes participation from investors such as Monk’s Hill Ventures, Fresco Capital, Mindworks Ventures, Wavemaker Partners, as well as angel investors including Binny Bansal (co-founder of Flipkart), and Xiaoyin Zhang (Ex-Goldman Sachs TMT China Head & Partner who brought Tencent, Baidu, and Alibaba go-public).

“With PERSOL Group’s commercial distribution and experience in Asia and the Glints talent platform with their leading technology, we will empower Southeast Asian professionals and help solve the talent crisis in Southeast Asia,” PERSOL Asia Pacific’s CEO, Takayuki Yamazaki said.

Pandemic and business growth

During the pandemic the company observed an immediate decline in local hiring business activity as companies suspended their recruiting activities. On the other side, the pandemic has helped to accelerate the future of employment, including the trend of remote working and is driving major changes in recruitment as companies become more accustomed to working with distributed teams.

“In addition, many Singaporean and regional companies are now more comfortable recruiting Indonesian talent. This has allowed Glints to maintain strong revenue growth despite the pandemic.”

By 2020, Glints managed to double its annual revenue. With the pandemic accelerating the future of employment and the future of hiring, it is considered as an opportunity to sustain a trend in annual income that has grown triple digit percentage every year for the past 3 years.

“The pandemic has accelerated the future of jobs and caused major changes in the labor market,” Oswald said.

Officially launched in Indonesia in early 2016, Glints currently has around 7000 active job lists per month and 4 million professionals who have visited the platform every month. On average, Glints recorded that their clients are capable to perform the successful recruitment process and faster in 28 days, compared to the industry standard of 40-50 days with recruitment fees up to 40% -100% cheaper by utilizing their platform.

In Indonesia, there are many job marketplace platforms that offer recruitment services with different added values. For example, Kalibrr as a recruiting company from the Philippines is available in Indonesia since 2016. They combine an AI-based recruitment platform and employer branding services to help companies demonstrate their values, attract the right candidates, and realize a seamless process.

As local players there are also several platforms that provide similar service such as Urbanhire, Ekrut, Nusatalent, and several others. During the pandemic, they were also quite active in helping companies to digitize HR systems. For example, Urbanhire positioned itself not only as a job opening portal, but HR technology and talent solutions, thanks to their strategic partnership with Mercer.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Rencana Glints di Indonesia Usai Peroleh Pendanaan Seri C

Setelah mengantongi pendanaan seri C senilai $22,5 juta atau setara 327 miliar Rupiah yang dipimpin oleh PERSOL Holdings, platform perekrutan berbasis teknologi Glints berencana untuk fokus mengakselerasi bisnis mereka di Indonesia.

Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia dinilai mampu menciptakan tenaga kerja muda. Terlebih, dengan median usia 29 tahun, menunjukkan angkatan kerja muda yang siap dan adaptif untuk masa depan. Ditambah dengan kumpulan bakat yang semakin terampil, Indonesia mampu tampil beda dari negara ekonomi lainnya.

“Dalam waktu dekat, kami akan memperluas jangkauan geografis kami ke kota-kota lain termasuk Surabaya dan Bandung. Secara paralel, kami juga akan berinvestasi pada produk Expert Class Glints, untuk memungkinkan komunitas talenta kami terlibat dengan pakar dari berbagai bidang dan membantu para profesional meningkatkan keahlian mereka,” kata Co-founder & CEO of Glints Oswald Yeo.

Selain fokus kepada Indonesia, Glints juga ingin memberdayakan pengembangan karier 120 juta profesional di Asia Tenggara dan untuk memecahkan krisis bakat regional, dengan membangun lebih banyak tim, fitur, dan solusi di Glints Talent Ecosystem. Mereka juga memiliki rencana untuk memperdalam jejak perusahaan di Singapura, Vietnam, dan Taiwan.

Putaran seri C mencakup partisipasi dari investor seperti Monk’s Hill Ventures, Fresco Capital, Mindworks Ventures, Wavemaker Partners, serta angel investor meliputi Binny Bansal (co- pendiri Flipkart), dan Xiaoyin Zhang (Ex-Goldman Sachs TMT China Head & Partner yang membawa Tencent, Baidu, dan Alibaba go-publik).

“Dengan distribusi komersial dan pengalaman PERSOL Group di Asia dan  platform talenta Glints dengan teknologi terkemuka mereka, kami akan memberdayakan para profesional di Asia Tenggara dan membantu menyelesaikannya krisis bakat di Asia Tenggara,” kata CEO PERSOL Asia Pacific Takayuki Yamazaki.

Pandemi dan pertumbuhan bisnis

Selama pandemi perusahaan mencatat terdapat penurunan langsung dalam aktivitas bisnis perekrutan lokal karena perusahaan membekukan/menunda sementara kegiatan perekrutan mereka. Namun di sisi lain, pandemi juga membantu mempercepat masa depan pekerjaan, termasuk tren remote working dan mendorong perubahan besar dalam rekrutmen karena perusahaan semakin terbiasa bekerja dengan tim yang terdistribusi.

“Selain itu banyak perusahaan Singapura dan regional kini lebih nyaman merekrut talenta Indonesia. Hal ini memungkinkan Glints untuk mempertahankan pertumbuhan pendapatan yang kuat meskipun pandemi.”

Pada tahun 2020, Glints berhasil menggandakan pendapatan tahunan. Dengan pandemi yang mempercepat masa depan pekerjaan dan masa depan perekrutan, hal tersebut dilihat sebagai peluang untuk mempertahankan tren pendapatan tahunan yang tumbuh pada persentase tiga digit setiap tahun selama 3 tahun terakhir.

“Pandemi telah mempercepat masa depan pekerjaan dan menyebabkan perubahan besar di pasar tenaga kerja,” kata Oswald.

Resmi meluncur di Indonesia awal tahun 2016 lalu, Glints saat ini telah memiliki sekitar 7000 daftar pekerjaan aktif per bulan dan 4 juta profesional yang telah mengunjungi platform setiap bulannya. Glints mencatat rata-rata klien mereka mampu melakukan proses perekrutan secara sukses dan lebih cepat dalam waktu 28 hari, dibandingkan dengan standar industri yaitu 40-50 hari dengan biaya rekrutmen hingga 40%-100% lebih murah dengan memanfaatkan platform mereka.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak platform job marketplace yang menawarkan layanan perekrutan dengan value added yang berbeda. Misalnya Kalibrr, sebagai perusahaan perekrutan asal Filipina yang sudah hadir di Indonesia sejak tahun 2016. Mereka menggabungkan platform rekrutmen berbasis AI dan layanan employer branding untuk membantu perusahaan menunjukkan nilai-nilai mereka, menarik kandidat tepat, dan merealisasikan proses yang mulus.

Untuk pemain lokal juga ada beberapa platform yang menangani kebutuhan serupa seperti Urbanhire, Ekrut, Nusatalent, dan beberapa lainnya. Selama pandemi mereka juga cukup aktif membantu perusahaan untuk melakukan digitalisasi sistem HR. Misalnya yang dilakukan Urbanhire, kini mereka tidak hanya memosisikan diri sebagai portal lowongan pekerjaan saja, tetapi HR technology dan talent solutions, berkat kemitraan strategisnya dengan Mercer.

Application Information Will Show Up Here

Mendorong Peningkatan Jumlah dan Kompetensi Talenta Digital di Indonesia

Meskipun pertumbuhan startup lokal makin besar jumlahnya, hal ini tidak dibarengi dengan pertumbuhan jumlah para pengembang siap kerja. Banyak perusahaan teknologi besar yang mengambil jalan pintas dengan mempekerjakan tenaga kerja dari negara lain, terutama India.

DailySocial mencoba memahami kendala, tantangan, dan potensi solusi untuk membantu meningkatkan jumlah dan kompetensi tenaga pengembang lokal.

Memahami kurikulum

Meskipun secara basic mereka sudah cukup mengerti apa itu pemrograman, diklaim masih banyak sarjana ilmu komputer yang tidak menguasai benar konsep bahasa pemrograman secara keseluruhan.

CEO Hactiv8 Ronald Ishak mengklaim kurikulum yang diajarkan ke mahasiswa di universitas tidak dibarengi dengan update teknologi yang cepat berubah. Standarisasi pengajaran yang diberikan dosen kebanyakan hanya seputar konsep-konsep fundamental. Hal ini membatasi wawasan dan pengetahuan mereka mengenai bahasa pemrograman.

“Berdasarkan laporan yang dirilis oleh World Bank tahun 2019 lalu, hanya sekitar 16% saja lulusan Computer Science di Indonesia yang bekerja. Jumlah tersebut menurut saya sangat buruk,” kata Ronald.

Menurut pantauan CEO Kotakode Peter Tanugraha, masih banyak universitas yang tidak menggunakan materi terkini. Idealnya semua materi, modul, dan textbook selalu diperbarui. Tidak disarankan menggunakan materi lama yang sudah tidak relevan.

“Misalnya untuk proyek akhir tahun di sekolah masih menggunakan stack yang lumayan tua usianya yang saat ini tidak pernah digunakan, tapi sebagian besar masih diajarkan di sekolah,” kata Peter.

Sementara menurut CEO PT Brainmatics Cipta Informatika Romi Satria Wahono, belajar dari pengalamannya selama ini ketika bersinggungan dengan dunia pendidikan dan akademisi, persoalan kurikulum memang menjadi kendala yang menyebabkan belum masifnya jumlah pengembang yang berkualitas di Indonesia. Persoalan menumpuknya mata kuliah juga dianggap membatasi para mahasiswa melakukan pelatihan langsung.

“Berbeda dengan negara lain, Indonesia sistem pembelajaran fokus kepada hafalan. Mahasiswa tidak diajarkan untuk berpikir lebih kritis dan inovatif, yang dalam hal ini akan sangat membantu mereka menguasai bahasa pemrograman,” kata Romi.

Romi melihat ada baiknya dosen lebih aktif memperkaya wawasan, mengikuti seminar, dan terlibat lebih dekat lagi dengan mahasiswa dengan cara mengajak mereka bergabung ke sebuah proyek. Penting juga untuk universitas melakukan pembaruan modul dan textbook, menyesuaikan update dari materi yang mereka kumpulkan.

Teaching people tidak bisa memikirkan materi saja, tapi lebih kepada keinginan untuk memberikan edukasi yang relevan kepada mahasiswa,” kata Romi.

Di sisi lain, Romi melihat idealnya perusahaan teknologi ternama di Indonesia tidak hanya terpaku pada mereka yang siap bekerja.  Perusahaan seharusnya memberikan edukasi dan pelatihan ke mereka yang baru saja lulus kuliah saat bergabung di perusahaan.

Peranan platform coding class

Saat ini makin mahasiswa dan kalangan umum yang memanfaatkan kelas coding atau pelatihan pemrograman yang dtawarkan platform seperti Hacktiv8, DicodingProgate atau Kotakode. Salah satu keunggulan yang diklaim platform seperti ini adalah pembaruan materi yang dilakukan secara rutin.

“Sudah banyak jumlah para siswa yang kemudian memutuskan untuk mengambil pengetahuan tambahan secara mandiri memanfaatkan platform kami. Kami melihat sebagian besar sudah sukses dan berhasil bekerja di startup dan perusahaan teknologi ternama di tanah air,” kata Ronald.

Hacktiv8 juga melakukan pendekatan ke perusahaan teknologi. Mereka membantu mencari talenta dengan skill yang sedang dibutuhkan perusahaan saat ini.

“Hacktiv8 lebih mempersiapkan talenta yang sesuai dengan arahan yang mereka coba capai. Dengan demikian, ketika mereka sudah lulus dari program kita, mereka akan lebih siap bekerja,” kata Ronald.

Sementara Kotakode mencoba mempermudah para pengembang Indonesia mempelajari materi yang biasanya hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Meskipun pengembang idealnya harus mengerti bahasa Inggris, perusahaan mencoba menjembatani para talenta untuk mempelajari lebih dalam materi-materi teknis.

“Kotakode sedang membangun infrastruktur programming dengan menambahkan konten di Google dan menyediakan Q&A yang bisa diakses. [..] Itu adalah kontribusi Kotakode untuk membantu talenta di Indonesia dengan memberikan resources yang besar,” kata Peter.

Potensi pengembang Indonesia

Memasuki tahun 2021, menurut Ronald, sudah banyak prestasi dan peningkatan jumlah talenta digital Indonesia. Namun demikian, ada beberapa persoalan yang masih mengganjal baginya. Salah satunya rendahnya apresiasi startup ke pengembang Indonesia dari sisi gaji. Masih banyak pengembang dengan kemampuan di atas rata-rata tidak dihargai dengan gaji yang sesuai. Akibatnya banyak yang memilih bekerja di negara lain.

“Kondisi remote working saat ini telah memudahkan mereka untuk bekerja secara fleksibel, sehingga makin banyak programmer asal Indonesia yang memilih bekerja di perusahaan asal Singapura dan Malaysia yang menawarkan gaji yang (lebih) besar,” kata Ronald.

Menurut Ronald, di tahun 2021 yang menjadi sorotan saat ini tidak lagi pengembang, tapi arsitek atau Product Manager yang kualitasnya dianggap masih di bawah rata-rata dan kurang memahami cara membangun produk yang ideal. Ujung-ujungnya perusahaan teknologi (kembali) menggunakan tenaga kerja asing yang memiliki kemampuan dan pengalaman mumpuni dalam merancang produk.

“Dari kondisi tersebut baiknya programmer lokal bisa belajar gaya dan skill mereka [tenaga kerja asing], sehingga bisa menambah wawasan dan pengalaman,” kata Ronald.

Sementara menurut Peter, tren mempekerjakan tim dari negara lain didasari kebutuhan perekrutan tim dalam jumlah besar dan memiliki pengalaman dan skill yang baik. Tak heran berujung pada pembukaan kantor di negara lain. Hal ini adalah langkah strategis.

Ke depannya Romi memprediksi skill yang dibutuhkan pengembang tidak hanya kepiawaian dalam hal coding, tetapi juga kemampuan menyampaikan ide dan komunikasi yang baik. Untuk itu Romi menyarankan mahasiswa untuk lebih aktif lagi bergabung dengan berbagai komunitas di kampus.

“Saya melihat tidak hanya specialist geek saja yang akan lahir nantinya, namun juga versatilist yang mampu menyampaikan ide mereka dengan baik,” kata Romi.

Bagaimana Startup di Luar Jawa Mengejar Ketertinggalan SDM

Sumber daya manusia merupakan faktor penting, jika bukan yang terpenting, dalam sebuah startup. Tanpa ada talenta yang mumpuni, sebuah perusahaan rintisan tidak akan bisa bergerak cepat dan berdampak sebagaimana karakter startup pada umumnya.

Beberapa tahun terakhir ini, kebutuhan akan SDM, khususnya di bidang teknologi dan informasi, terus meningkat. Kebutuhan tersebut mungkin relatif tidak terlalu menjadi masalah bagi startup-startup di kota besar, terutama di Jakarta tempat kebanyakan mereka bermukim.

Namun bagaimana dengan mereka yang di luar Pulau Jawa? Bagaimana pandemi memengaruhi aspek SDM startup di sana? Kami berbicara dengan tiga pemimpin startup yang beroperasi di Medan, Makassar, dan Batam.

Jauh tertinggal

CEO Topremit Hermanto Wie mengakui keberadaan talenta di sektor digital di Sumatera Utara masih minim jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Kurangnya SDM di sektor ini merupakan buah dari banyak variabel. Hermanto menyebut salah satu yang paling berkontribusi ialah minimnya startup digital di sana.

“Bisa dibilang berbanding lurus dengan jumlah demand, yaitu jumlah startup di Sumut ini masih berkembang,” cetus Hermanto.

Menurut Hermanto usaha berbasis digital memang belum menjamur. Sekalipun ada talenta unggulan, keberadaan startup belum begitu dilirik. Manufaktur, perbankan, logistik, masih menjadi pilihan utama SDM di sana. Ia menilai hal itu terjadi karena pengetahuan akan kerja startup di tempatnya belum diketahui banyak orang, sehingga tidak mencerminkan sebagai salah satu destinasi tempat kerja yang menarik.

Keadaan serupa dialami Roro Mega Cahyani. Roro adalah CEO & Co-Founder Zeal Indonesia, startup yang beroperasi di Batam, Kepulauan Riau. Minimnya pengetahuan masyarakat akan peluang kerja di startup menjadi tantangan. Keberadaan Nongsa Digital Park (NDP) yang dibuat pemerintah sebagai kawasan ekonomi khusus sedikit lebih menguntungkan Roro dan pelaku startup digital di sana. Menurutnya, tak sedikit yang berkeinginan mengadu nasib di Singapura dan Malaysia dengan bekal keahlian digital.

Mindset mereka sudah mengerti kalau kuliah doang enggak cukup. Kerjanya nanti mungkin di Singapura atau Malaysia. Tapi yang jadi kendala butuh waktu untuk belajar. Kadang kendalanya finansial,” ujarnya.

Jika faktor informasi mengenai pekerjaan startup yang masih sedikit di Batam dan Sumatera Utara menjadi faktor dominan, di Makassar kondisinya berbeda. CEO Mallsampah Saifullah Adi menjelaskan, ekosistem startup di Makassar memang sudah terbentuk. Hanya saja pertumbuhannya tergolong stagnan.

Ekosistem startup berarti institusi-institusi yang biasa mendukung perkembangan startup termasuk inkubator dan akselerator. Menurut Adi, jumlah keduanya di Makassar dan Kawasan Timur Indonesia secara umum masih terlampau sedikit untuk mengangkat pertumbuhan startup di sana.

“Salah satu penyebab mungkin ekosistem yang belum cukup baik. Inisiatif pemerintah dan swasta belum cukup besar dalam memantik ekosistem tumbuh. Bisa dihitung jari berapa inkubator, komunitas, atau akselerator di Indonesia Timur,” tutur Adi.

Mengakali keadaan

Keberadaan SDM krusial bagi perjalanan hidup startup. Tanpa kemewahan yang dinikmati kolega mereka di Pulau Jawa, pelakon startup di luar Pulau Jawa mengakali hal ini dengan berbagai cara. Adi memilih menjalin hubungan erat dengan sejumlah komunitas. Komunitas itu bisa ada di dalam atau luar kampus. Dengan begitu, Adi mengaku bisa sedikit lebih mudah mencari bakat-bakat yang diperlukan.

Di situasi pandemi ini, kebutuhan transformasi digital jadi jauh lebih cepat. Keberadaan talenta yang tepat, lagi-lagi, jadi kebutuhan yang wajib dipenuhi.

“Kami menggunakan bantuan komunitas-komunitas di sekitar kami, misal komunitas tech di luar atau dalam kampus,” imbuhnya.

Sementara Hermanto menilai sosialisasi tentang dunia startup perlu lebih gencar menyasar talenta muda di sana. Sosialisasi itu bisa berbentuk sesi berbagi informasi untuk pelajar di bangku kuliah dan sekolah. Startup yang sudah ada di sana, menurutnya, juga harus membuka kesempatan lebih lebar kepada lulusan baru. Selain diserap ke industri lain, ada kalanya Hermanto melihat SDM unggulan di wilayahnya justru hijrah ke ibu kota.

Untuk itu Hermanto memilih memberi keleluasaan bagi karyawan Topremit mengeksplorasi keahlian dan mendukungnya dengan sejumlah fasilitas mumpuni untuk pengembangan diri.

“Kami melakukan employer branding dan memperlihatkan suasana kerja yang fun, tim yang solid, dan tempat untuk belajar dan berkembang,” lengkap Hermanto.

Data Digital Competitive Index 2020 dari East Ventures memperlihatkan masih ada jurang besar antara suplai talenta digital di Jawa dan luar Jawa. Namun itu tidak menjadi alasan bagi tiga startup tersebut untuk tidak berkembang.

Hermanto menyebut pihaknya berencana mempekerjakan SDM yang berada di zona waktu berbeda untuk mengantisipasi permintaan pelanggan setiap saat. Dengan sumber daya yang mereka miliki, ketertinggalan SDM di wilayahnya bisa ditutup dengan merekrut SDM di negara lain.

“Kita ingin hire employee di timezone yg berbeda sehingga permintaan customer tetap bisa terpenuhi 24/7 dan team saya dpt belajar tentang culture dari nationality lain,” pungkas Hermanto.

Sementara Adi berpendapat kebutuhan SDM yang tepat dan unggul sangat krusial untuk startupnya yang bergerak di bidang lingkungan. Kebutuhan itu menguat seiring kesadaran masyarakat tentang lingkungan terus meningkat selama masa pandemi ini sehingga permintaan untuk layanan mereka otomatis juga terangkat.

Sadar akan ketertinggalan ekosistem digital di wilayahnya, Adi memperkirakan perkembangannya akan lebih lambat dibanding kolega mereka di Pulau Jawa.

Supply and demand yang ada tentu tidak sebesar di Pulau Jawa. Ini salah satu yang membuat ekosistem mungkin tidak berkembang dengan cukup baik,” ujar Adi.

Sedikit optimis, Roro melihat perkembangan ekosistem digital di Batam yang diinisiasi pemerintah sebagai kesempatan besar. Keberadaan NDP, menurutnya, akan jadi faktor pembeda bagi ekosistem digital di Batam dan lingkunp Sumatera pada umumnya, sekaligus mempercepat daya saing talenta digital di sana.

“Makanya enggak heran ada talenta dari Jawa yang pindah ke Batam,” pungkas Roro.

The Story of Overpaid Talents in Indonesia’s Tech Startup Ecosystem

It is quite common to find most startups offering substantial salaries for a series of expertise. Software Engineer, for example, is a type of work that is often associated with a high salary in startups.

Not only engineers but some other occupations are also tempted by a large sum of salaries. All this is inseparable from the combination of imbalanced supply-demand human resources and startup culture that emphasized rapid growth compared to traditional companies.

Recently, there was a problem as we observed the startup habit of giving exorbitant salaries to their employees. First, when funding dried up, employees’ layoffs can occur quickly. Second, their previously high salary can make it harder for companies to recruit due to their grade which is considered above average.

The budget hotel startup, OYO, has recently made the news after firing thousands of its employees in India, China, and also in the United States. Similar official announcements have not yet been heard from their operations in Indonesia. However, rumors have been spreading on social media.

We discuss with several people from the headhunter’s office to find out more whether it is true that startups are to “blame” for resources’ too expensive labels and considered “damaging prices”.

Lack of Resources

David Wongso, who works as Transearch International’s Managing Director, a human resources recruitment company, said that the first thing to understand is the availability of human resources which is sadly not getting along with the growing number of startups in Indonesia, at least until 2030. Not only startups, but the rise of conventional companies to digitize their businesses also add to the imbalance of the supply-demand of digital talent.

David also discovered another factor on the lean structure of startups that often caused some employees to level up so quickly from junior to senior management. Therefore, David said it is not surprising that such a large gap can causes remuneration for some human resources swelling.

“Some of them get leapfrog promotions jumping from middle to senior management,” David told DailySocial.

Rendi – an alias – is Gojek alumnus with expertise in marketing. The ex-Gojek status has successfully paved the way to join other startups. Although, not exactly as stated by David, Rendi managed to jump over mid-level management when moving to another startup.

Rendi agrees on the startup habit that is willing to pour out a large amount of remuneration of the desired talents. However, this does not apply at all levels and places. As Rendi said, his previous office only provides fantastic remuneration at the senior management level, not the junior and middle levels.

“For example, entry-level marketing for the strategic category has quite low offering. Nevertheless, other marketing positions such as Head or VP or any kind can be the real deal because mostly hijacked from big companies,” Rendi said.

High Demand

Another story comes from Haryotomo Wiryasono who works as a senior consultant at Glints, a recruitment platform. Haryo claimed that the term overpaid for startup talents is quite debatable.

According to Haryo, the demands and workload of startup employees are the main factors of the high salary. Investors’ pressure to achieve growth and impact leads to the extra work of the startup members. This is different from the conventional business model of the company which focuses on profits and the company’s long-term survival even though the results are slower growth.

“They don’t have the privilege of conventional companies. While we know that one of the startups that we know the oldest, like Facebook, is still in its teens but it has a huge impact,” he explained.

The three people above admit that startup culture influences the workforce climate. Haryo claimed to get a story from his client that the price tag of startup talents is too expensive. Rendi, in his new place, had failed several times to acquire talents of well-known startups because of the different standard salary.

However, David who has a long journey in the HR recruitment sector said the expensive price tag was not everlasting sweet. It’ll soon be a burden for the workers if they are unable to meet the expectations of their price tags. In the end, exorbitant salaries for digital talents who have worked in startups can be justified if they succeed in bringing their expertise, which is actually needed by many companies.

“Indeed, digital talents selected and eliminated from startup, when they return to work in large companies, they must be able to adapt to the company’s culture. Whether they are overpaid and have no leadership and managerial skills, it will be an obstacle for them,” David said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fenomena Talenta “Overpaid” di Ekosistem Startup Teknologi Indonesia

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tak sedikit startup menawarkan gaji yang cukup besar bagi sejumlah bidang keahlian. Software Engineer misalnya adalah jenis pekerjaan yang identik dengan bayaran mahal di startup.

Tak hanya engineer, beberapa talenta di keahlian lain pun tak luput dari iming-iming gaji besar. Semua ini tak lepas dari kombinasi supply-demand sumber daya manusia yang masih berat sebelah dan kultur operasional startup yang menekankan pertumbuhan yang cepat jika dibandingkan dengan perusahaan tradisional.

Belakangan ada masalah yang terlihat dari kebiasaan startup memberi gaji selangit kepada karyawannya. Pertama, ketika sumber pendanaan mengering, pemutusan hubungan kerja bisa terjadi dengan cepat. Kedua, gaji tinggi mereka di tempat sebelumnya dapat menyulitkan perusahaan-perusahaan untuk merekrut talenta tadi karena dianggap jauh di atas rata-rata yang mereka sanggupi.

Belum lama startup hotel bujet, OYO, masuk ke dalam pembicaraan ini setelah memecat ribuan karyawan mereka di India, Tiongkok, juga di Amerika Serikat. Pengumuman resmi serupa memang belum terdengar dari operasional mereka di Indonesia. Meski demikian desas-desus mengenai hal itu sudah berkeliaran di media sosial.

Kami berbicara dengan beberapa orang dari kantor headhunter untuk mengetahui lebih jauh apakah benar startup pantas “disalahkan” atas label SDM yang terlalu mahal sehingga dianggap “merusak harga”.

Kelangkaan sumberdaya

David Wongso yang bekerja sebagai Managing Director Transearch International, sebuah perusahaan rekrutmen sumber daya manusia, mengatakan pertama-tama yang harus dipahami adalah ketersediaan SDM belum mengimbangi jumlah startup yang terus bertambah di Indonesia setidaknya hingga 2030 nanti. Tak hanya startup, gelombang perusahaan konvensional mendigitalisasi bisnis mereka juga menambah jomplangnya neraca permintaan dan suplai talenta digital.

Faktor lain yang ditemukan David adalah struktur ramping startup kerap kali menyebabkan sejumlah personel mengalami lompatan yang relatif lebih cepat dari level manajemen junior ke manajemen senior. Maka, menurut David, tak mengherankan gap yang sedemikian besar itu menyebabkan remunerasi bagi sejumlah SDM jadi membengkak.

“Sebagian dari mereka mendapatkan leapfrog promosi melompati jenjang middle management ke senior management,” ujar David kepada DailySocial.

Rendi–bukan nama sebenarnya–merupakan alumni Gojek dengan keahlian di bidang pemasaran. Status alumni Gojek berhasil memuluskan jalannya bergabung ke startup lain. Meski tidak persis seperti yang diutarakan David, Rendi berhasil melompati manajemen level menengah saat pindah ke startup lain.

Rendi mengamini kebiasaan startup yang rela menggelontorkan uang yang cukup besar untuk remunerasi SDM yang diinginkan. Meskipun demikian, hal itu tak berlaku di semua level dan tempat. Menurut Rendi, di tempat ia bekerja sebelumnya remunerasi fantastis hanya terjadi di level manajemen senior, namun tidak di level junior dan menengah.

“Misal ya entry level marketing yang masih kategori strategic, itu offering-nya lumayan rendah. Tapi marketing yang misal Head atau VP atau apapun bisa gede banget karena kebanyakan hijack dari perusahaan besar,” ucap Rendi.

Tuntutan tinggi

Cerita lain datang dari Haryotomo Wiryasono yang bekerja sebagai konsultan senior di Glints, sebuah platform rekrutmen. Haryo mengaku istilah overpaid untuk para talent asal startup masih bisa diperdebatkan.

Menurut Haryo, tuntutan dan beban kerja personel startup menjadi penyebab utama bayaran yang mereka terima jadi sangat tinggi. Tekanan investor untuk mencapai target pertumbuhan dan dampak yang diincar berujung pada kerja ekstra para punggawa startup. Ini berbeda dengan model bisnis perusahaan konvensional yang menitikberatkan profit dan keberlangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang meski hasilnya pertumbuhan mereka lebih lambat.

“Mereka tidak punya privilese seperti perusahaan konvensional. Sementara kita tahu salah satu startup yang kita kenal paling tua, seperti Facebook, itu umurnya masih belasan tahun tapi dampaknya sudah besar banget,” jelasnya.

Ketiga orang di atas mengakui bahwa kultur startup berpengaruh terhadap iklim tenaga kerja. Haryo mengaku mendapat cerita dari kliennya bahwa label harga tenaga kerja dari startup terlampau mahal. Rendi di tempat barunya beberapa kali gagal mendaratkan talenta dari startup ternama karena standar gajinya yang berbeda cukup jauh.

Namun David yang sudah lama bekerja di sektor rekrutmen SDM berujar label harga mahal tak selalu manis. Label harga mahal akan jadi beban bagi si pekerja ketika mereka tak mampu memenuhi ekspektasi dari label harga mereka. Pada akhirnya gaji selangit bagi talenta digital yang pernah bekerja di startup dapat terjustifikasi jika berhasil membawa keahlian mereka yang sejatinya kian dibutuhkan banyak perusahaan.

“Tentunya talenta digital yang terseleksi dan gugur dari startup, ketika mereka kembali bekerja di perusahaan besar, harus bisa beradaptasi dengan budaya yang unik dari perusahaan. Bila mereka overpaid dan tidak memiliki kemampuan leadership dan manajerial, maka akan menjadi kendala bagi mereka,” pungkas David.

Alibaba Cloud Membangun Ekosistem Digital dengan Menggelar Pelatihan Talenta

Lihat artikel ini dalam tampilan baru DailySocial.id

Cloud, big data, machine learning adalah jenis teknologi paling sering disebut di era serba digital seperti sekarang. Dapat dikatakan menguasai ketiga teknologi tersebut, merupakan modal mutlak untuk memenuhi kebutuhan industri saat ini.

Dari ketiga jenis teknologi di atas, cloud merupakan salah satu yang paling krusial. Ia memudahkan konsumen, baik individu maupun korporasi, untuk menganalisis data dari mana pun dan kapan pun. Khusus untuk korporasi, mereka tidak perlu repot-repot membangun sendiri infrastruktur penyimpanan yang rumit dan mahal.

Alibaba Cloud adalah salah satu penyedia layanan cloud terbesar di dunia dengan sekitar 61 availability zone di 20 kawasan yang tersebar di seluruh dunia. Mereka mendirikan pusat data pertamanya di Indonesia pada Maret 2018, disusul yang kedua pada Januari 2019, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar terpenting bagi Alibaba Cloud di Asia Pasifik.

Dari beberapa tonggak-tonggak penting tersebut, cukup membuat Alibaba Cloud memahami bahwa Indonesia sedang bergerak menuju (sepenuhnya) digital. Menjamurnya startup dan transformasi digital oleh banyak korporasi, menciptakan permintaan layanan digital, seperti cloud, lebih tinggi dari sebelumnya.

Namun apa yang dilakukan oleh Alibaba Cloud untuk mendukung transformasi digital di Indonesia lebih mengedepankan pendekatan yang holistik.

Salah satunya dengan menggelar “Digital Talent Empowerment Program” dengan menggandeng perguruan tinggi dan institusi. Tujuan dari program tersebut adalah melatih 2.000 mahasiswa dalam bidang teknologi digital, khususnya teknologi cloud dan intelijen.

Empowerment partnership ini merupakan bagian dari komitmen Alibaba Cloud untuk pemberdayaan talenta. Selain itu yang dilatih juga tidak hanya mahasiswa, tapi juga para trainer, agar mereka dapat memberdayakan teknologi Alibaba Cloud yang terbaru,” jelas Head of Alibaba Cloud Indonesia, Leon Chen.

Leon menjelaskan keinginan Alibaba Cloud menggelar program ini bukan tanpa alasan. Ia melihat sumber daya manusia di Indonesia punya potensi dan keinginan belajar yang besar. Potensi tersebut dapat dimaksimalkan apabila didukung dengan akses pengetahuan yang memadai untuk masyarakat luas.

Alibaba Cloud memandang ini sebagai kesempatan untuk berbagi pengetahuan. Sebagai pihak yang memiliki teknologi, Alibaba Cloud membantu publik menjembatani mereka untuk dapat memiliki akses terhadap pengetahuan teknologi teranyar.

“Sebenarnya tidak ada isu SDM di Indonesia, tapi saya rasa mereka hanya belum menemukan caranya mencari pengetahuan tersebut. Dan itu yang mendorong Alibaba Cloud membuat startup program, pelatihan, karena yang terlihat SDM di sini sangat mau belajar, berpotensi besar, serta menyerap pengetahuan dengan cepat,” imbuh Leon.

Inisiatif Alibaba Cloud ini melibatkan beberapa universitas terkemuka seperti Universitas Bina Nusantara dan Universitas Prasetia Mulya, Di sisi lain Alibaba Cloud juga menggandeng Trainocate, PT Inovasi Informatika, dan BLOCK71 Jakarta untuk melengkapi rangkaian inisiatif pengembangan bakat digital ini. Diah Wihardini, Direktur BINUS Global di Universitas Bina Nusantara, mengatakan kolaborasi dengan Alibaba Cloud ini menguntungkan para mahasiswanya. Dengan kemitraan seperti ini maka kesempatan mereka untuk mengakses pengetahuan teknologi teranyar dari pelaku industrinya langsung.

“Kami berharap mahasiswa yang belajar di Binus ini bisa terserap, cepat mendapat pekerjaan, cepat tanggap, sehingga mereka dapat bekerja untuk kemajuan bangsa. Melalui kerja sama ini, Binus terbantu dengan resources dari Alibaba Cloud dengan materi pengajaran yang up-to-date,” sambung Diah.

Dalam program ini Alibaba Cloud akan turut memberi pelatihan bagi 60 pengajar dari Binus dan Prasetia Mulya. Dari pengajar ini nantinya ilmu yang diperoleh akan disebarluaskan kembali ke 2.000 mahasiswa dari kedua kampus. Leon menambahkan, Alibaba Cloud tak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi lainnya di masa mendatang.

Keberlangsungan industri akan lebih baik ketika ekosistemnya sudah terbentuk. Membangun jaringan sumber daya manusia yang unggul merupakan langkah yang tepat untuk menciptakan ekosistem yang baik.

Namun Alibaba Cloud menganggap inisiatif mereka tak hanya akan menguntungkan industrinya sendiri. Bakat-bakat yang mengikuti pelatihan mereka nantinya akan tersebar luas ke banyak tempat dan mengimplementasikan ilmu yang diperoleh dari Alibaba Cloud. Apalagi sudah umum diketahui, penggunaan cloud computing sudah merentang luas ke berbagai sektor, seiring dengan menjamurnya bisnis digital.

“Dari program empowerment ini, yang terbantu bukan Alibaba Cloud sendiri, dampaknya bahkan bisa dirasakan seluruh negeri ini. Cloud sangat cocok, terutama untuk market seperti Indonesia yang populasinya banyak, sehingga butuh solusi teknologi yang dapat cepat beradaptasi,” pungkas Leon.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Alibaba Cloud.

Nadiem Makarim Tekankan Fungsi Pendidikan dan Teknologi untuk Meningkatkan Kualitas Talenta Digital

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menekankan fungsi pendidikan dan teknologi sebagai jalan pintas (shortcut) untuk meningkatkan kualitas talenta digital di Indonesia.

“Saya sangat excited mengenai program pendidikan teknologi di Indonesia. Alasan pertama, ini bidang saya, jadi saya sedikit biased, saya diakui itu. Kedua, kalau Indonesia ingin maju, SDM-nya unggul, enggak mungkin bisa dilakukan dengan jalur yang sama seperti negara lain, enggak bakal sampai,” terangnya saat hadir di Google for Indonesia, Rabu (20/11).

Menurutnya, cara tercepat untuk meningkatkan talenta adalah melalui digitalisasi pendidikan dan teknologi. Akan tetapi, yang terpenting bukan dari sisi teknologinya, melainkan dari software atau sistemnya itu sendiri. Bagaimana dia bisa membentuk manusia, meningkatkan kapabilitasnya yang tadinya level 1, 2, jadi level 5, 6, dan 7.

“Ada skalabilitas yang dilakukan satu individu dengan panduan teknologi, dia bisa jadi multiplier, bisa berdampak 10 kali lebih produktif, lebih efisien.”

Bekerja membangun teknologi, menurutnya, juga membuat cara kerja jadi berbeda. Lewat cara itu, manusia bisa mengasah produk atau layanan yang sangat user centric. Teknologi juga memberikan hasil yang jujur, tidak ada yang bisa disembunyi-sembunyikan.

Kalau produk tidak jalan, hasilnya akan langsung terlihat secara real time,  ini sangat dibutuhkan buat sebuah perusahaan atau organisasi yang sangat user oriented.

“Teknologi juga memaksa kita untuk kolaborasi, memaksa kita untuk menanyakan keputusan kita setiap hari, memaksa kita untuk menciptakan outcome yang user oriented.”

Pendidikan teknologi yang diusung Google lewat Bangkit, sangat ia apresiasi karena momentum ini terbilang jarang terjadi. Namun ia meminta, program ini bisa diperluas cakupannya, tidak hanya 300 anak saja, kalau bisa 300 ribu anak. Pemerintah siap bantu untuk hal tersebut.

“Jangan bilang enggak possible dulu, coba kita pikirkan over the time bisa tidak kita capai skala tersebut.”

Dia juga meminta kepada seluruh perusahaan teknologi, tidak hanya Google, untuk memprioritaskan Indonesia sebagai nomor satu di dunia. Oleh karenanya, dia mengimbau seluruh perusahaan teknologi yang memiliki komunitas atau lainnya untuk terbuka. Tidak segan-segan minta bantuan kepada pemerintah apa yang mereka butuhkan.

“Sampaikan langsung, ini yang kita butuhkan untuk capai angka-angka ini.” Jangan segan-segan karena di kementerian saya, sekarang paradigmanya diubah. Kita bukan regulator tapi ecosystem enabler.”

Menurutnya, saat ini kabinet dipersiapkan untuk sangat progresif dan siap diajak kolaborasi. Bahkan di tempatnya menerapkan metodologi pendekatan yang agile, layaknya umum dipakai dalam startup teknologi. Konsep OKR (Objective and Key Results) juga mulai diimplementasikan.

Nadiem percaya kolaborasi antara pihak swasta dan pemerintah adalah hal terpenting untuk memajukan SDM lokal.

“Terus terang kita enggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, yang penting adalah adaptabilitas bangsa kita untuk menghadapi, dengan karakter kuat, keberanian dan keingintahuan yang tinggi, dan kejujuran. Semoga ini awal dari partnership besar dengan ekosistem dan pemerintah.”