Fajrin Rasyid: Telkom Pertimbangkan “Spin-off” Unit Bisnis Digital di 2023

Sosok M. Fajrin Rasyid telah lama dikenal sebagai Co-founder Bukalapak, salah satu marketplace terbesar dan perusahaan teknologi yang telah melantai di bursa saham Indonesia. Pada 2020, ia diangkat menjadi Direktur Digital Business Telkom untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai digital-telco (digico).

Telkom Group telah mencetak jejak cukup panjang dalam melahirkan berbagai inisiatif digital, seperti Blanja.com (marketplace hasil kemitraan dengan eBay) dan LinkAja. Telkom juga memiliki kendaraan investasi MDI Ventures dan incubator Indigo agar dapat berkontribusi terhadap industri kreatif digital.

Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Fajrin bilang unit Digital Business yang dipimpinnya sejauh ini membawa pencapaian pesat. Bahkan, tak menutup kemungkinan unit bisnis digital di dalamnya akan dieskpos ke jaringan investor atau mitra strategis yang lebih luas.

Apa agenda transformasi yang Anda bawa ke Telkom?

Jawab: Semakin ke depan, industri telekomunikasi semakin mendapat tekanan, semakin commoditized, capex semakin tinggi. Sama seperti perusahaan telekomunikasi di dunia, mereka ingin go digital.

Ada banyak yang perlu dipelajari karena telekomunikasi sedikit berbeda meski beririsan dengan digital. Saya pelajari dan beri masukan, lalu saya usulkan untuk ubah atau improve apabila kurang bagus. Ini termasuk kapabilitas hingga kultur [organisasi].

Ada dua agenda Digital Business, yakni menciptakan model bisnis baru yang dapat memberikan pendapatan dan valuasi, termasuk pada bisnis existing. Agenda kedua, kami bantu di sisi internal. Contohnya, kami membuat aplikasi myIndiHome untuk dorong business process dan customer experience. IndiHome sendiri berada di Direktorat Consumer. 

Apa saja yang perlu ditransformasi?

J: Ada dua sisi ekstrem di sini, yakni ekstrem rigid dan ekstrem agile. Startup sangat agile, sedangkan perusahaan BUMN atau publik sangat rigid dan birokratik. Bukan berarti keduanya punya sisi lebih baik dari yang lain.

Startup yang awalnya agile, pasti akan butuh good corporate governance. Di perusahaan saya sebelumnya, [laporan] tidak diaudit di tahun pertama dan kedua karena saat itu masih kecil. Namun, lama-lama investor meminta audit.

Sebaliknya, perusahaan telekomunikasi yang ingin go digital harus ke arah yang lebih agile. Saat hiring orang, startup biasanya lebih cepat. Di [Telkom] harus buat proposal dulu untuk justifikasi kebutuhan. Langkah ini sebetulnya masuk akal bagi perusahaan besar [untuk hindari risiko] seperti KKN.

Buat proposal bisa lama, begitu jadi, baru mulai hiring. Realitanya, mencari orang butuh waktu. Saya usul lakukan secara paralel. Jangan tunggu proposal jadi, kita bisa sambil cari orangnya. Ini salah satu aspek yang kami tingkatkan.

Lalu, saya memperkenalkan metode Objective Key Result (OKR) ke organisasi daripada memakai metrik pencapaian (achievement). Di e-commerce, OKR-nya berbasis Gross Merchandise Value (GMV), atau daily active user untuk video.

Ketika bikin aplikasi, lalu undang acara launching. Apakah bulan depan masih ada yang pakai aplikasinya? Kalau belum ada, berarti belum sesuai target. Bagi saya oke saja tidak buat acara [peluncuran] selama GMV naik terus.

Apa ada pertentangan dengan metrik yang Anda perkenalkan?

J: Pasti ada dinamika di dalamnya, banyak yang bertanya. Jika bicara digital, yang terpenting adalah customer. OKR itu merupakan terjemahan dari [kebutuhan] customer.

Saya memberi contoh ini ke diri sendiri. Saya jarang minta tim untuk mengembangkan fitur di aplikasi A, misalnya. Belum tentu fitur itu dibutuhkan customer atau sama dengan saya. Dengan mengacu pada data, kita tahu apa yang dibutuhkan. Ini saya coba tularkan ke organisasi, baik direktorat maupun grup.

Bagaimana struktur organisasi hingga pengembangan Digital Business ke depan?

J: Mengubah unit bisnis di Telkom butuh prosedur. Namun, kami kelola secara agile. Kami bentuk tribe yang dedicated membuat suatu produk. Chapter itu functional, semacam horizontalnya, terdapat manager, engineer, atau designer. Masing-masing punya tribe. Saat ini, ada 20 tribe, mulai dari logistik, agrikultur, health, dan education.

Pengembangan produknya dibagi dalam dua kategori, yakni internal dan eksternal. Di internal, tujuannya untuk dorong customer experience atau business process. Di eksternal, pengembangan produk bertujuan pada growth sehingga tribe bisa capai pendapatan dan valuasi. Ini menjadi justifikasi investasi yang telah dikelarkan. Perusahaan besar umumnya menghitung pendapatan per karyawan, EBITDA per karyawan.

Bagi tribe yang belum menghasilkan pendapatan karena masih di growth stage atau EBITDA masih negatif, kami ukur valuasi per karyawan. Jadi, kami tahu valuasi untuk tribe dengan 100 orang sekian atau tribe 50 orang sekian. Telkom punya Digital Investment Committee (DIC) untuk mengevaluasi kinerja dan metrik ini. Kalau tidak bagus, opsinya bisa tutup atau garap peluang baru. Jadi, tidak perlu ubah organisasi, geraknya lebih cepat.

Untuk mengukur keberhasilan bisnis digital, kami pakai metrik RBV atau revenue, benefit, dan valuation. Hasilnya bisa berupa pendapatan, efisiensi, atau peningkatan customer experience. Biasanya, produk startup-based belum ada pendapatan, tetapi baru GMV. Ini menghasilkan valuasi. Nah, untuk mencapai OKR, parameter ini tidak harus terpenuhi ketiganya.

Sejak tahun lalu, Digital Business mengalami pertumbuhan pesat. Kami telah mengembangkan Logee (logistik), Agree (Agrikultur), dan Pasar Digital (UMKM). GMV Logee dan PaDi sudah capai triliunan Rupiah per tahun, sedangkan Agree sudah ratusan miliar Rupiah per tahun. Agree kini tak hanya bermain di pertanian saja, tetapi juga ke perikanan.

Saya melihat ketiga sektor di atas punya potensi besar ke depannya. Secara umum, biaya logistik Indonesia masih tinggi, banyak ruang untuk digitalisasi. Industrinya juga sangat besar, mulai dari first mile, middle, dan last mile. Ada pandemi atau tidak, orang tetap butuh logistik. Sejumlah riset juga menyebut logistik sebagai sektor dengan pertumbuhan tercepat beberapa tahun terakhir.

Di agrikultur, setiap orang butuh makan, itu kebutuhan dasar meski ada pandemi atau resesi. Potensi UMKM juga masih besar. Untuk jump start, PaDi masuk ke segmen BUMN, tetapi kami perluas juga nanti untuk enterprise.

Bagaimana strategi eksekusinya?

J: Essentially, kami menerapkan strategi buy, build, and borrow. Kami bangun kapabilitas internal, misalnya melalui training. Namun, bangun kapabilitas itu butuh waktu, apalagi untuk level senior. Dalam hal ini, kami coba model borrow dan buy. Bisa lewat kerja sama atau membeli perusahaan yang punya keahlian. SDM juga dikombinasikan antara internal dan prohire.

Strategi ini untuk mengkomplemen kapabilitas sebagaimana yang saya jelaskan di awal. Bagaimana ke depannya? Ketiga cara tersebut akan terus kami lakukan untuk memastikan kapabilitas tercapai. Tentu ini tergantung pada justifikasi investasi, karena tidak bisa bakar uang terus kalau tidak menghasilkan.

Apakah ada rencana untuk spin off unit bisnis digital?

J: Sebagai bagian dari BUMN, membentuk anak usaha harus melalui justifikasi menyeluruh. Kami sedang menganalisis karena ada kemungkinan ke sana. Opsi ini makes sense karena spin-off dapat membuka kolaborasi dengan partner, baik melalui investasi maupun kerja sama mendalam.

Technically, saat ini sulit kalau ada yang mau berinvestasi [ke unit bisnis] karena berarti investasinya masuk ke Telkom dong. Jika di-spin off, investor bisa menjadi pemegang saham di perusahaan. Unit mana yang akan dilepas duluan? Tentu saja yang paling siap. Namun, jika lihat skala atau ukuran [bisnisnya], yang sudah triliunan itu Logee dan PaDi UMKM. Apalagi, PaDi sedang dipersiapkan untuk ekspansi ke luar segmen BUMN saja.

Sebagai perusahaan digital-telco, kami tak hanya menawarkan produk digital saja, tetapi juga platform dan infrastruktur. Ini menjadi kelebihan kami jika bicara kebutuhan yang sifatnya terintegrasi. Satu hal yang kami lakukan di Digital Business dan Direktorat Strategic Portfolio adalah mengorkestrasi portofolio digital di Telkom Group untuk memastikan terciptanya kolaborasi.

Bagaimana rencana spin-off IndiHome ke  Telkomsel?

J: IndiHome sebetulnya berada di Direktorat Consumer, tetapi the digital strategy  will follow the business. Kami belum tahu rencana detail pengembangan dari sisi digital [setelah bergabung dengan Telkomsel].

Bisa saja namanya nanti bukan IndiHome lagi. Ini belum diputuskan, masih didiskusikan. Yang pasti, salah satu premisnya adalah kolaborasi produk IndiHome dan Telkomsel akan lebih baik dengan penggabungan ini.

Apa sektor lain yang ingin Anda eksplorasi selanjutnya?

J: Telkom banyak terekspos dengan tren di green economy. Personally, saya memang tertarik untuk mengeksplorasi. Ini sesuatu yang sedang kami pelajari. How can we play, apa yang dapat Telkom bantu untuk digitalisasi.

Kami mulai ngobrol dengan Gesists, anak usaha BUMN di bidang motor listrik. Mereka memproduksi motor listrik, tapi barangkali ada kebutuhan aplikasi untuk enhance layanannya. Kami sedang analisis posisi Telkom dengan melihat tren-tren besar ini. Kami tak mau masuk ke bisnis kalau tidak punya kapabilitas.

Who knows ke depannya Telkom akan menyasar bisnis lain yang adjacent atau berdampingan.

Jajaki Sektor Wellness, Indosat Ooredoo Luncurkan Aplikasi IMove

Perusahaan telekomunikasi Indosat Ooredoo meluncurkan inisiatif barunya IMove, sebuah platform yang menawarkan pengalaman gaya hidup sehat dengan konsep gamifikasi yang berhadiah. Peluncuran ini juga sebagai upaya Indosat Ooredoo untuk mendukung Pemerintah mewujudkan Indonesia Sehat 2025.

Menurut data WHO, jumlah orang dewasa yang kelebihan berat badan di Indonesia telah meningkat dua kali lipat selama dua dekade terakhir. Obesitas pada anak juga meningkat, dengan satu dari lima anak usia sekolah dasar dan satu dari tujuh remaja di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, menurut Survei Riset Kesehatan Dasar nasional 2018.

Dalam laporan ini, aktivitas fisik yang rendah juga disebut sebagai faktor utama keempat penyebab kematian. Kehidupan di kota besar menjadi salah satu yang mempengaruhi gaya hidup tidak sehat dengan akses yang relatif mudah untuk makanan olahan serta kurangnya pergerakan melalui penggunaan transportasi bermotor dan peningkatan penggunaan layar untuk bekerja, pendidikan dan rekreasi.

IMove menawarkan pendekatan holistik untuk kesehatan yang optimal, dengan fokus pada gerakan, nutrisi, dan kesehatan emosional. Pengguna dapat mengikuti berbagai tantangan gamifikasi untuk berolahraga lebih banyak, menurunkan berat badan, makan lebih sehat, dan menjadi pribadi yang lebih sehat.

SVP-Head of Digital Services Indosat Ooredoo, Sudheer Chawla mengatakan, “Melakukan gaya hidup sehat sangat penting, terutama di masa pandemi ini. Oleh karena itu, kami meluncurkan IMove untuk mendorong masyarakat menjalani gaya hidup yang lebih sehat dengan konsep gamifikasi. Melalui IMove, kami menawarkan platform goal-setting, habit tracker, dan komunitas online, membantu pengguna mencapai tujuan individu mereka, tetap berkomitmen, dan mendapatkan hadiah. Kami berharap pelanggan kami akan memilih IMove sebagai pilihan pertama mereka untuk menerapkan gaya hidup sehat dan lebih aktif.”

Platform ini memiliki tiga fitur utama: Coaches, Social Wall, dan Rewards. Dalam fitur Coaches, pengguna dapat menikmati berbagai wawasan informatif, seperti rencana dan resep makan, rutinitas dan latihan kebugaran, serta tips gaya hidup sehat dari para pelatih profesional bersertifikat. Melalui Social Wall, pengguna dapat berbagi kemajuan mereka untuk saling mendukung dan berinteraksi. Sementara itu, pengguna dapat mengumpulkan trofi untuk setiap kegiatan dan melakukan redeem di store dengan fitur Rewards.

Selain itu, terdapat fitur Tantangan Leaderboard of Step, pengguna IMove dapat membandingkan kemajuan mereka dengan peserta lain. Platform ini menawarkan tantangan gratis hingga pro dengan berlangganan mulai dari Rp1.000/hari. Aplikasi ini telah tersedia di Google Play Store dan App Store.

Platform wellness di Indonesia

Pandemi Covid-19 ini menyerang satu hal yang terkadang tidak dianggap serius oleh sejumlah orang, yaitu kesehatan tubuh. Banyak orang yang kini lebih peduli dengan kesehatan mereka dan mulai mau menyisihkan uang demi menjaga kebugaran. Namun, pembatasan interaksi fisik memaksa mereka untuk menjalankan workout atau olahraga di rumah. Hal ini membuka peluang bagi pasar wellness di tanah air.

Dalam Laporan DSResearch bersama FITCO yang bertajuk “Pemahaman Pasar Wellness di Indonesia”, pangsa pasar industri wellness terbilang sangat menjanjikan. Hasil riset Global Wellness Institute (GWI) di tahun 2017 memprediksi industri ini bernilai $4,2 triliun secara global dengan pertumbuhan mencapai 6,4% per tahun.

Di Indonesia sendiri, beberapa platform yang fokus untuk menyediakan solusi gaya hidup sehat termasuk Doogether dan FITCO. Selain solusi kebugaran, untuk menguatkan posisi sebagai wellness tech startup dengan ekosistem yang holistik, FITCO juga mengembangkan beberapa subvertikal bisnis, seperti makanan sehat dan marketplace untuk alat olahraga.

Dalam kaitannya dengan perusahaan telekomunikasi, IMove bukan satu-satunya inisiatif kesehatan sosial yang didukung oleh operator telekomunikasi. Sebelumnya, Telkomsel juga telah lebih dulu menjajaki ranah layanan kesehatan digital dengan aplikasi Fita. Belum banyak eksplorasi yang dilakukan dalam platform ini, baru tersedia program olahraga, tutorial olahraga, serta tutorial resep makanan sehat.

Application Information Will Show Up Here

“Operator Digital”, Adu Keberuntungan Tarik Konsumen Baru

Pada awal bulan ini, Indosat Ooredoo meresmikan MPWR (dibaca: Empower), menandai bertambahnya operator telekomunikasi yang masuk ke produk prabayar digital. Sebelumnya, ada Telkomsel (by.U), Smartfren (Switch Mobile), dan XL Axiata (Live.On), tinggal menunggu waktu kapan Hutchison (3) apakah akan mengambil strategi yang sama.

Sejauh ini, belum ada perbedaan yang signifikan dari keseluruhan pemain di atas. Semuanya, secara umum, menyasar generasi muda ke atas sebagai pengguna dengan brand dan model bisnis yang berbeda dari produk seluler terdahulu.

Mereka semua berupaya menawarkan produk yang terpersonalisasi, simpel, dan dapat dikendalikan sendiri lewat aplikasi. Aplikasi menjadi multifungsi untuk mengatur segala aktivitas, mulai dari pemesanan kartu, memilih nomor, registrasi, hingga memilih paket.

Semua pengalaman ini sebelumnya absen dari produk prabayar/pascabayar yang disediakan para operator ini. Kendati serba digital, pengguna tetap membutuhkan kartu fisik layaknya kartu prabayar konvensional untuk terhubung dengan seluruh pengalaman yang ditawarkan.

Sebagai pendatang baru, Indosat Ooredoo percaya diri bahwa MPWR punya diferensiasi kuat di sisi pemenuhan gaya hidup para pengguna milenial untuk mendapatkan promo dari brand yang mereka suka. Diklaim ada ratusan kerja sama dengan brand berisi ribuan penawaran eksklusif.

“Diferensiasi terkuat kami adalah lifestyle offer. Produk lifestyle digabung dengan produk telko, pengguna bisa pursue their digital lifestyle, dengan jaringan premium, bisa pilih nomor yang diinginkan,” ucap MPWR Spokesperson Alexander Christian kepada DailySocial, kemarin (10/12).

Meski pangsa pasar operator telekomunikasi diyakini sudah sempit untuk mendapatkan pengguna baru, Alex meyakini cara mujarabnya adalah meracik produk sebaik mungkin agar dapat menjawab kebutuhan pengguna. Agar MPWR dapat berkembang pesat, tim MPWR disusun terpisah dari Indosat. “Anggap brand baru, tapi powered by Indosat.”

Ia mengaku tidak membuat segmentasi pengguna berdasarkan kelas ekonomi, degan berapa banyak pulsa dan paket kuota internet. Pasalnya pengguna dapat memilih apa yang mereka inginkan sesuai preferensi masing-masing.

Pada tahun lalu tercatat, ada 317,5 juta pelanggan operator di Indonesia. Telkomsel menjadi pemilik pengguna terbanyak dengan total 171,1 juta orang, disusul Indosat dengan 59,3 juta, XL Axiata 56,7 juta dan Hutchison 30,4 juta.

Mengingat produk pascabayar digital ini masih menjadi barang baru, Alex mengakui diperlukan proses edukasi agar dapat diterima dengan baik. Keberadaan pemain sejenis MPWR dianggap dapat memberi pilihan kepada calon pengguna baru.

“Kombinasi telko dengan produk gaya hidup digital itu sesuatu yang baru, dan saat ini sangat dibutuhkan generasi muda.”

Penyegaran di bawah brand baru

Dalam tulisan sebelumnya, munculnya brand baru adalah bagian dari upaya perusahaan untuk penyegaran. Mantan Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini menyebutkan, Telkomsel dianggap sebagai merek lama karena telah berdiri selama 25 tahun. Produk by.U dianggap dapat menyegarkan brand Telkomsel, tanpa menganibalisasi produk yang sudah ada, yakni, Simpati, AS, dan Loop.

“Gen Z itu tidak mau diatur produknya, mereka tidak product-driven. Berbeda dengan selama ini produk-produk yang sudah ada di-drive oleh operator. Nah, by.U ini bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna,” papar Emma.

Dihubungi secara terpisah, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys mengatakan hal senada. Menurutnya, ia ingin merek seluler ini [Switch Mobile] dapat dikenal sebagai produk baru di pasaran tanpa perlu diasosiasikan dengan merek existing Smartfren.

“Saat ini, pelanggan kami sebagian besar berada di kelas C dan D. Dengan Switch ini, kami ingin membidik high market di kelas B dan C,” ungkap Merza.

Application Information Will Show Up Here

The Operator “Branding” Wear Off Through Digital-Based Prepaid Service

Amid the stagnant industrial growth, telco operators continue to seek new breakthroughs through their products/services. Experienced in failing to develop a digital business, operators are getting serious to enter the application-based prepaid card service since last year.

In Indonesia, this service is considered new by the way it works very differently from ordinary prepaid cards. All activities from card ordering, number selection, registration, and data purchases are made through the application.

This service was first launched in Indonesia by Telkomsel in October 2019 under the brand by.U. A few months later, a similar service Switch Mobile was launched on the market. Switch Mobile is the latest Smartfren prepaid product.

In addition to the two operators, XL Axiata (XL) will dive into digital-based prepaid services in the near future. Based on DailySocial’s data, XL will soon join the club with Live.On.

The Live.On application is available on Google Play, but is not yet run officially. In our observation, XL opened Live.On official shop in Shopee to purchase the starter packs.

XL did not comment on this matter. Although, our sources say XL has partnered with Circles.Life to build Live.On. The Live.On app link on Google Play is similar to Circles.Life.

Circles Life is a digital telco startup (MVNO) available in Singapore, Australia, and Taiwan. Circles Life has indeed planned expansion to Indonesia since last year. It is not clear what kind of partnership between XL and Circles Life.

Provide young generations with “refreshment”

The initiative to develop a digital prepaid business indicates cellular operators to seriously targeting young people through branding and business models which is different from the previous cellular products.

Operators strive to present products to be personalized by user demands. This product is considered suitable for young people who tend to choose specific services.

Previously, former Telkomsel’s Managing Director Emma Sri Hartini had mentioned that Telkomsel had been established for 25 years and was seen as an old brand. The launch of by.U is considered to be a “refreshment” step to embrace generation Z without cannibalizing its existing products, such as simPATI, AS, and Loop.

“Gen Z does not want to have boundaries in terms of products, they are not product-driven. In contrast to all this time products that have been driven by the operator. Well, this by.U can be customized according to user demands,” Emma said.

Contacted separately, Smartfren’s President Director Merza Fachys said similar things. He said he wanted this cellular brand [Switch Mobile] to be known as a new product on the market without the need to be associated with the existing Smartfren brand.

“To date, our customers are mostly in class C and D. With this switch product, we aim at higher markets in B and C classes,” Merza said.

Enough with the price war

Furthermore, Merza, who is also the Deputy Chairperson of the Association of Indonesian Telecommunications Providers (ATSI), acknowledged that the telecommunications industry is starting to move towards digital prepaid services. The market awaits whether Indosat and Tri Indonesia to enter similar services.

In fact, prepaid products are actually common. Each operator has more than one cellular product targeting different market segments. However, digital-based prepaid products can be a new strategy for operators to get out of the long-standing price war.

Digital prepaid services promote brand and product novelty without being associated with telecommunications companies. According to Merza, this service can open up opportunities to compete in two market segments, which are affordable and premium markets.

After the failure era of e-commerce, e-wallet, and OTT, operators are still trying to find the right business model to become a digital telco (digico) operator. However, it is yet to find whether this strategy can have a positive impact on the growth of the telecommunications industry. Moreover, the growth space for cellular customers in Indonesia is increasingly difficult.

“To play on existing products, operators can no longer raise prices, customers will started to leave,” he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Melepas “Branding” Operator Lewat Layanan Prabayar Berbasis Digital

Di tengah stagnannya pertumbuhan industri, operator telekomunikasi terus berupaya mencari gebrakan baru melalui produk/layanannya. Berpengalaman gagal mengembangkan bisnis digital, sejak tahun lalu satu per satu operator mulai masuk ke layanan kartu prabayar berbasis aplikasi.

Di Indonesia, layanan ini mungkin bisa dibilang baru karena cara kerjanya sangat berbeda dengan cara masyarakat biasa membeli kartu prabayar. Segala aktivitas mulai dari pemesanan kartu, pemilihan nomor, registrasi, hingga pembelian paket dilakukan melalui aplikasi.

Layanan ini pertama kali di Indonesia diluncurkan oleh Telkomsel pada Oktober 2019 dengan merek by.U. Berselang beberapa bulan kemudian, layanan serupa Switch Mobile juga hadir di pasaran. Switch Mobile merupakan produk prabayar terbaru Smartfren.

Selain dua operator tersebut, XL Axiata (XL) bakal terjun ke layanan prabayar berbasis digital dalam waktu dekat. Berdasarkan informasi yang dihimpun DailySocial, XL akan masuk dengan merek Live.On.

Aplikasi Live.On telah tersedia di Google Play, tetapi belum resmi beroperasi secara komersial. Menurut pantauan kami, XL membuka toko resmi Live.On di Shopee untuk pembelian kartu perdana.

Pihak XL tidak memberikan komentarnya terkait hal ini. Meskipun demikian, sumber kami menyebutkan XL menggandeng Circles.Life untuk membangun Live.On. Tautan aplikasi Live.On di Google Play serupa dengan Circles.Life.

Circles Life adalah startup telko digital (MVNO) yang telah beroperasi di Singapura, Australia, dan Taiwan. Circles Life memang telah merencanakan ekspansi ke Indonesia sejak tahun lalu. Belum jelas seperti apa bentuk kemitraan antara XL dan Circles Life.

Merangkul anak muda dengan “penyegaran”

Langkah mengembangan bisnis prabayar digital menandakan operator seluler mulai serius membidik segmen anak muda melalui branding dan model bisnis yang berbeda dari produk seluler pendahulunya

Operator berupaya menghadirkan produk yang dapat dipersonalisasi sesuai kebutuhan pengguna. Produk ini dianggap cocok untuk kalangan anak muda yang cenderung tak ingin didikte dalam menikmati layanan.

Sebelumnya, mantan Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini sempat menyebutkan bahwa Telkomsel telah 25 tahun berdiri dan dipandang sebagai merek lama. Peluncuran by.U dinilai dapat menjadi langkah “penyegaran” untuk merangkul generasi Z tanpa menganibalisasi produk existing-nya, yakni simPATI, AS, dan Loop.

“Gen Z itu tidak mau diatur produknya, mereka tidak product-driven. Berbeda dengan selama ini produk-produk yang sudah ada di-drive oleh operator. Nah, by.U ini bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna,” papar Emma.

Dihubungi secara terpisah, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys mengatakan hal senada. Menurutnya, ia ingin merek seluler ini [Switch Mobile] dapat dikenal sebagai produk baru di pasaran tanpa perlu diasosiasikan dengan merek existing Smartfren.

“Saat ini, pelanggan kami sebagian besar berada di kelas C dan D. Dengan Switch ini, kami ingin membidik high market di kelas B dan C,” ungkap Merza.

Keluar dari perang harga

Lebih lanjut, Merza, yang juga adalah Wakil Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), mengakui bahwa industri telekomunikasi mulai mengarah ke layanan prabayar digital. Pasar menanti apakah Indosat dan Tri Indonesia untuk masuk ke layanan serupa.

Sebetulnya, peluncuran produk prabayar adalah hal lumrah. Setiap operator memiliki lebih dari satu produk seluler yang menyasar segmen pasar berbeda. Namun, produk prabayar berbasis digital dapat menjadi strategi baru operator untuk keluar dari lingkaran perang harga yang telah berlangsung lama.

Layanan prabayar digital mengedepankan kebaruan merek dan produk tanpa diasosiasikan dengan perusahaan telekomunikasi. Menurut Merza, layanan ini dapat membuka peluang untuk berkompetisi di dua segmen pasar, yani pasar terjangkau dan premium.

Setelah era kegagalan e-commerce, e-wallet, dan OTT, operator masih terus mencoba mencari model bisnis yang tepat untuk menjadi operator digital telco (digico). Kendati demikian, belum dapat diketahui apakah strategi ini dapat memberi dampak positif terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi. Apalagi, ruang pertumbuhan pelanggan seluler di Indonesia semakin sulit.

“Untuk bermain di produk existing, operator tidak bisa lagi menaikkan harga, pelanggannya bisa kabur,” paparnya.

Application Information Will Show Up Here