3 Catatan Penting Bagi Startup Pemula untuk “Agile” di Situasi Pandemi

Bagi pelaku startup, metode agile bukan lagi hal baru. Startup telah terbiasa menerapkan metode ini dalam pengembangan produknya. Metode ini memungkinan startup untuk lebih luwes dan dinamis dengan keterbatasan SDM dan pendanaan.

Namun lain cerita jika startup menerapkan agile di situasi pandemi sekarang ini. Ini bukan lagi masalah keterbatasan SDM dan pendanaan, tetapi kondisi semacam ini semakin mempersulit ruang gerak startup–terutama tahap pemula atau early stage–untuk bisa bertahan.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, Founder dan CEO Qlue Rama Raditya berbagi tips bagi startup yang dapat menjadi pelajaran di situasi semacam ini ke depannya.

Menanam mindset disiplin keuangan

Ibarat menabung, disiplin keuangan juga wajib dilakukan oleh pelaku startup. Mindset ini idealnya ditanamkan sejak awal membangun bisnis. Jika situasi semacam ini terjadi di masa depan, startup sudah lebih dulu menyiapkan cadangan.

Salah satu bentuk disiplin keuangan ini, misalnya, jangan terburu-buru menghabiskan belanja modal (capex) di awal. Tipsnya, startup dapat mengalokasikan modal per bulannya selama beberapa bulan ke depan.

Contoh lainnya, startup perlu berhati-hati dalam menyepakati kontrak penagihan pembayaran dengan klien enterprise. Jika tidak disepakati sesuai kondisi keuangan, bisa-bisa runway startup keburu habis karena klien tidak kunjung membayar.

“Jangan berekspektasi investor selalu menyelamatkan. Kita mungkin berpikir investor selalu ada. Tapi, seiring waktu, investor akan semakin selektif meskipun punya modal besar. Mereka harus exit dalam 3-4 tahun,” ujar Rama.

Jangan “kepepet” galang pendanaan baru

Menggalang dana baru membutuhkan waktu lama. Menurut Rama, due diligence-nya saja bisa memakan lima bulan. Maka itu, startup sebaiknya jangan baru menggalang dana ketika modalnya sudah mau habis. “Selalu raise money saat tidak butuh, kalau perlu sembilan bulan sebelum habis,” tambahnya.

Ia juga merekomendasikan pelaku startup yang baru mengantongi pendanaan untuk menyisihkan modal dalam 5-6 bulan ke depan dan kalau perlu dalam bentuk mata uang dollar.

Trik ini akan membantu startup mengingat situasi sekarang tidak banyak memberikan opsi. Seluruh pelaku bisnis mengalami kondisi keuangan serupa sehingga sulit bagi startup untuk menjaga kinerja keuangan.

“Satu hal, startup early stage selalu maintain hubungan baik dengan bank. Ketika investor tidak bisa membantu dan klien sulit ditagih, kita punya opsi untuk menarik pinjaman dari bank,” jelas Rama.

Jangan terpaku pada pengembangan satu produk

Rama juga menekankan pentingnya melakukan diversifikasi produk dan ekosistem. Hal ini dapat berguna di kemudian hari apabila ada satu layanan utama startup terdampak besar dari situasi semacam ini .

“Kita bisa manuver lebih lincah karena terbantu dari diversifikasi layanan. Untuk mengembangkannya, coba cari masalah yang ingin diatasi,” ungkap Rama.

Tentu untuk melakukan strategi ini, startup perlu menganalisis sejumlah metrik untuk memilah seberapa besar masalah yang ingin diatasi. Hal ini dapat membantu pelaku startup untuk lebih fokus tanpa perlu melibatkan banyak SDM terlalu banyak.

“Situasi ini dapat menjadi momentum bagi startup untuk bertumbuh, karena setelah pandemi berakhir, solusinya akan tetap berjalan. Pada intinya, setiap entrepreneur yang committed harus mencari jalan keluar di setiap situasi. ini menjadi momen pengujian agar founder lebih mantap,” tutupnya.

Willson Cuaca Menanamkan Lebih dari Sekadar Uang dalam Sebuah Bisnis

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai salah satu investor yang paling aktif dalam industri VC, Willson Cuaca telah berinvestasi lebih dari sekadar uang dalam sebuah bisnis. Sejak awal, ia percaya pada ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara.

Banyak orang hanya memandang Wilson identik dengan industri VC, sementara ada banyak bidang yang juga ia kuasai dengan baik. Ia merasa terlahir untuk berada dalam industri teknologi, menggeluti bidang komputer sedari belia hingga berbagai pencapaian sebagai nomor satu di masa-masa awal kariernya . Siapa sangka ia tumbuh menjadi seseorang dengan intuisi tinggi yang berhasil masuk ke dalam industri melalui pendekatan yang berbeda.

Didirikan pada tahun 2009, portfolio East Ventures kini sudah mencapai 160 startup dan beberapa diantaranya sudah profitable. Tahun ini tercatat sebagai ulang tahun ke 10 mereka dan pastinya banyak kisah yang sudah menanti. Ia percaya pada kekuatan bangsa ini beserta populasinya.

Di sini, Willson membahas perkara keyakinan serta nilai inti dalam menjalankan bisnis. DailySocial telah menerjemahkan percakapan tersebut ke dalam susunan paragraf di bawah ini.

Anda dikenal sebagai salah satu investor paling aktif di dalam industri VC. Kapan Anda mulai merintis karier ini?

Banyak orang mungkin berpikir saya hanya bermain dalam industri VC, padahal sejak awal saya sangat melekat dengan hal-hal terkait komputer dan jaringan.

Saya memulai perjalanan akademik di Binus University pada tahun 1996, di mana Binus baru dinobatkan menjadi universitas – sebelumnya bernama STMIK. Masa-masa kuliah saya dipenuhi dengan kegiatan selain belajar. Saya juga menjadi instruktur kursus di BNTRC sebelum berganti nama menjadi Binus Center. Di tengah jadwal yang ketat sekalipun, saya masih punya waktu untuk bersenang-senang dengan bermain game.

Saya selalu berusaha menjadi yang pertama mempelajari segalanya. Selama kuliah, saya mempelajari semua tentang jaringan area lokal dan mendalami Linux yang kemudian menjadi inti sistem Android dan iOS. Slackware menjadi distribusi Linux favorit saya saat itu. Saya mencoba memahami lebih dalam dan menjadi salah satu orang pertama yang belajar tentang peralatan Cisco. Setelah itu, saya ditunjuk menjadi instruktur Cisco Certified pertama di Indonesia yang melatih insinyur Cisco untuk mendapatkan sertifikasi CCNA, dan menjadi bagian dari tim pendiri Cisco Networking Academy di Indonesia.

Pada tahun 2000, saya menyelesaikan pendidikan di universitas kemudian diangkat sebagai Kepala Infrastruktur di sebuah perusahaan pertanian. Pekerjaan ini mengharuskan saya untuk mengelola konektivitas intra-jaringan nasional yang sangat luas.

Mengapa Anda pindah ke Singapura?

Sebenarnya, saya adalah seseorang yang mudah bosan, saya merasa perlu mencari sesuatu yang baru untuk dilakukan. Saat itu masih tahun 2001, ketika saya mengamati tren internet security dan memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi spesialis, mendukung beberapa perusahaan di Singapura.

Sekitar tahun 2006, aplikasi web semakin populer lalu saya termotivasi untuk membuat aplikasi sendiri bernama Foyage. Hal ini terjadi sebelum iPhone diluncurkan dan Blackberry banyak digunakan. Saya juga menjadi bagian dari pengembang iPhone pertama di Singapura dan satu dari beberapa pengembang Blackberry pertama di kawasan ini.

Setelah Foyage, saya juga menciptakan Apps Foundry dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi dan aplikasi. Terobosan pertama kami adalah Scoop – #1 digital magazine reader di Indonesia- yang kemudian diakuisisi oleh Kompas.

wilson cuaca 1

Boleh ceritakan sedikit tentang masa-masa awal berdirinya East Ventures? Bagaimana Anda menemukan mitra saat ini?

Relasi saya dengan Batara sudah terjalin jauh sejak 1993 ketika kami masih berada di SMA. Ketika saya pergi ke Jakarta, ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Jepang. Sementara saya berjuang dengan Foyage, ia pun memutuskan keluar dari perusahaannya sendiri yang bernama Mixi. Mixi merupakan sebuah situs web yang memulai debut di pasar saham pada tahun 2006 dan bernilai miliaran dolar, hal ini terjadi sebelum istilah unicorn mencuat ke permukaan. Kami kemudian kembali berkolaborasi untuk membuat East Ventures pada tahun 2009 dengan dua mitra lainnya. Taiga Matsuyama, salah seorang mitra, adalah investor pertama Batara di Mixi.

Foyage mengumpulkan dana awal dari skema investasi pemerintah Singapura pada tahun 2008. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa Indonesia juga memiliki peluang besar dalam industri ini. Pada tahun 2009, kami memutuskan untuk membentuk East Ventures.

Kami memulai Jakarta Ventures Night, mengundang beberapa investor dari Jepang dan juga startup lokal. Pada tahun 2010, turut berpartisipasi dalam acara tersebut, Rama Mamuaya dari DailySocial, serta William Tanuwijaya dari Tokopedia, yang akhirnya menjadi portfolio pertama kami. Setelah itu, kami berinvestasi di Disdus dan berhasil exit untuk pertama kali. Sebenarnya, kami adalah VC pertama yang memiliki siklus lengkap dan hal itu seketika meningkatkan kepercayaan diri kami. Hal ini kemudian membantu menciptakan the flywheels effect.

Hingga saat ini, East Ventures telah berinvestasi di 160 perusahaan, sebagian besar adalah startup tahap awal yang berfokus pada konsumen internet, ponsel, SaaS, media, pendidikan ritel, dan banyak lagi. Baru-baru ini, beberapa diantaranya telah mendapatkan keuntungan mengikuti ekonomi digital Indonesia yang telah mencapai titik perubahan.

Dengan begitu banyak portofolio di tangan, bagaimana Anda bisa mengaturnya?

Kuncinya adalah berinvestasi pada individu. Setelah Anda menemukan seseorang yang tepat dan klik, Anda akan percaya sepenuhnya pada kemampuan mereka untuk berjalan secara independen dan membawa hasil terbaik melalui kesepakatan ini.

Kami membutuhkan 3 titik keselarasan dengan pengusaha.
1. visi, masalah apa yang harus dipecahkan, apa tujuannya?
2. strategi, bagaimana menyelesaikannya, bagaimana cara sampai ke sana?
3. taktis, hal ini lebih kepada eksekusi.

East Ventures dan tim pendiri harus memiliki visi yang sama. Lagipula, saya tidak percaya bahwa investor dapat mengubah portofolionya. Kami bisa menyarankan strategi tetapi individu (para pendiri) adalah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk perusahaan mereka.

Anda telah meluncurkan aplikasi, membuat VC, serta menjalankan bisnis. Selama perjalanan karier Anda, adakah hal yang menjadi batu sandungan?

Tentu saja, ada pasang surut, tetapi satu hal yang saya selalu yakini adalah “hal-hal yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat”.

Saya pernah sangat putus asa karena tidak bisa mengumpulkan dana untuk Foyage, namun saya bukanlah tipe orang yang berhenti dan meratap sementara industri kian berkembang pesat. Kami mendirikan East Ventures pada tahun 2009, dimana sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang-orang pada saat itu. Kami pergi ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang percaya, kecuali beberapa investor Jepang, itu pun karena kepercayaan pada Batara. Namun, saya merasa disini letak kekuatan untuk tidak menyerah sampai sampai pada titik di mana semua bagian pada akhirnya tersusun rapi.

masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri
masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri

Jika tidak ada yang percaya pada industri digital Indonesia, bagaimana bisa Anda percaya?

Secara emosional, ini karena saya orang Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Dalam hal bisnis, ada 30 juta pengguna internet di Indonesia. Pasar ini berukuran sangat besar, mengapa tidak ada yang membuat pergerakan? Saat itu, masalahnya hanya satu. Jika kita mulai sekarang, kapan kita akan berhasil? Di sinilah peran keyakinan sangat diperlukan.

Masalahnya, Indonesia mampu membuat sesuatu yang mustahil terjadi. Alih-alih berbicara tentang American Dreams, mengapa kita tidak bisa menciptakan Mimpi Indonesia. Kita terlalu fokus pada kisah beberapa orang yang menciptakan hal-hal besar di suatu tempat, mengapa tidak kita saja yang menyelesaikannya dan membuat orang melihat kita. Inferiority complex semacam ini seharusnya lenyap dari pola pikir kita. Kita adalah bangsa yang hebat dengan begitu banyak populasi.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk menanamkan investasi?

Ada tiga hipotesis tentang individu;
1. integritas, standar moral, Anda melakukan hal yang benar bahkan ketika tidak ada yang melihat,
2. kesadaran diri, mengetahui kapasitas dan kemampuan diri sendiri,
3. paradoks, memiliki sifat kontradiktif, yang berarti adaptif.
Hal-hal ini tidak dapat dipelajari secara langsung atau dipalsukan.

Begitu saya menemukan kriteria ini pada setiap orang, tidak perlu lagi banyak berpikir atau membuang waktu. Itulah sebabnya sebagian besar penawaran bagus kami terjadi dalam waktu 28 jam setelah pertemuan pertama. Secara konsisten, hal ini terjadi dengan Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai dan banyak lagi. Kami juga mencoba menciptakan ekosistem yang sehat di VC ini. Karenanya, saya tidak akan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki persaingan. Kami mendukung para pendiri kami dengan sepenuh hati.

Perihal latar belakang akademis, bagaimana Anda melihat orang-orang dengan gelar dari luar negeri memiliki dampak dalam industri ini?

Secara kasual, orang-orang yang belajar di luar negeri akan memiliki privilese untuk mendapatkan wawasan lebih serta pengetahuan global. Namun, saya tidak percaya orang yang belajar di luar negeri akan selalu lebih sukses. Yang saya percayai adalah, setiap orang harus memiliki pengetahuan global untuk mengetahui apa yang terbaik dalam eksekusi lokal. Hal ini tidak harus dengan belajar di luar negeri.

Selama bertahun-tahun bertahan menjalankan bisnis dalam industri. Apakah Anda memiliki support system khusus?

Keluarga harusnya menjadi dukungan mendasar yang membentuk diri kita saat ini. Saya juga percaya bahwa karakter itu dikembangkan, bukan dipelajari. Inilah mengapa saya merasa sulit untuk percaya pada konsep akselerator atau mentoring yang bertujuan untuk mengubah seseorang menjadi entepreneur.

Program akselerator, mereka mungkin telah melakukan proses dengan kurasi ketat untuk menemukan bakat, tetapi dalam konsep saya, sebuah permata yang sudah tercipta, meskipun tertutup tanah, adalah tetap permata. Potensi itu ada sejak awal dan berkembang melalui zaman.

Saya percaya pada serendipity, itulah sebabnya saya memusatkan perhatian pada individu. Konsep Chronos dan Chairos, bahwa setiap orang memiliki garis waktu mereka sendiri, dan saat keduanya bertemu, keputusan dibuat, apakah akan terlibat atau tidak dalam kehidupan masing-masing.

Jika Anda benar-benar percaya pada industri digital Indonesia, mengapa Anda tidak tinggal saja di Indonesia?

Di Singapura, kami selalu mendapatkan skenario terbaik, dalam hal regulasi dan banyak hal lain. Sementara di Indonesia, semuanya menjadi kasus terburuk, hal-hal tak terduga kerap terjadi. Saya ingin mempertahankan kesadaran dengan berada di dalam kontras. Seperti Yin dan Yang, jika diibaratkan. Jadi, hidup saya bisa lebih kontras dengan pikiran yang lebih jernih untuk mengidentifikasi sebuah masalah.

Selain itu, Singapura saat ini merupakan hub di Asia Tenggara.

Setelah meraih berbagai pencapaian “nomor satu” dalam industri komputer dan teknologi, juga dengan East Ventures, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?

Ini juga menjadi pertanyaan yang selalu hadir dalam diri saya setiap hari, Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Bagaimana saya bisa menurunkan pengetahuan saya ke tim yang ada saat ini, lalu mereka dapat melanjutkannya dengan kapasitas mereka sendiri, dengan gaya mereka sendiri, serta memiliki entitas sendiri.

Saya tidak bisa menjalankan peran ini selamanya, itulah sebabnya saya memiliki mitra. Saya ingin membangun East Ventures dan menjadikannya sebuah institusi, membesarkan tim generasi berikutnya, dan memastikan setiap mereka tetap setia pada misinya, untuk menjadi Platform Kewirausahaan. Kemudian, saya akan memiliki waktu dan ruang untuk memikirkan sesuatu yang baru lagi – atau mungkin saya akan melakukan ini selamanya. Mari menunggu waktu yang tepat agar semua bisa selaras.

Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi
Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi

Jika Anda memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang industri VC, apa yang akan Anda katakan?

Industri VC saat ini memiliki kue yang jauh lebih besar. Indonesia, dengan begitu banyak masalah di negara ini, menawarkan banyak peluang. Jadi, saya pikir industri VC akan betah di sini.

Bagi saya, industri VC adalah tentang bisnis individu. Teknologi sendiri hanyalah alat.


Artikel ini awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Willson Cuaca to Invest a Lot More than Just Money in People Business

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As one of the most active investors in the VC industry, Willson Cuaca has invested a lot more than just money in the people business. He is the early believer of Indonesia and Southeast Asia digital economy.

Many people only associate him with the VC industry, while he’s expert at much larger field. Cuaca was born to be in the tech industry, he started young in the computer field and achieved many firsts during his early career. Who knows that he is a person with guts that can make it into the industry through a different approach.

Was founded in 2009, East Ventures managed to have 160 startup portfolios in hand and some are getting profitable. This year marked their 10th anniversary and more stories to come. He believes in the power of this nation and its population.

He talks about beliefs and the core value to run a business. DailySocial has translated the conversation into paragraphs below.

You are best known as one of the most active investors in the VC industry. When did you start?

Many people might think I only about VC industry, meanwhile, my early days was full of computer stuff and network thingy.

I began my academic year at Binus University in 1996, this was also the year when it becomes a university – from previously named STMIK. My school year is filled with other activities besides study. I became a course instructor at BNTRC before renamed into Binus Center. Amidst the tight schedule, I still find time to have fun playing games.

I always tried to be the first to learn everything. In my college years, I learned all about the local area network and find out about Linux which was actually the core to Android and iOS systems. Slackware was my favorite distribution. I tried to fathom the knowledge and become one of the first people to learn about Cisco equipment. I was the first Cisco Certified instructor in Indonesia to trained Cisco’s engineer to be CCNA certified and the founding team of Cisco Networking Academy in Indonesia.

In 2000, I graduate university then hired as the Head of Infrastructure in an agriculture company. My job requires me to manage national wide intra-network connectivity.

Why did you move to Singapore?

Actually, I get bored easily, I need to find something new to do. It was 2001 when I observed the trend in internet security and learned enough to be a specialist, supporting firms in Singapore.

Around 2006, web-app was getting hype and I was encouraged to create my own app named Foyage. It was before iPhone launched and Blackberry widely used. I was also part of the first iPhone developer in Singapore and a few first Blackberry developers in the region.

After Foyage, I also created Apps Foundry with the aim to develop technologies and applications. Our first breakthrough is Scoop – #1 digital magazine reader in Indonesia- which was later acquired by Kompas.

Tell me about the early days of East Ventures? How did you meet the partners?

My relation with Batara is all the way to 1993 when we’re still in high school. When I went to Jakarta, he left for college in Japan. While I struggle with Foyage, he also exited his own company named Mixi. The website debuted on the stock market in 2006 and valued billions dollar, it was before the term unicorn coined. We then re-group again to create East Ventures in 2009 with 2 other partners. Taiga Matsuyama, the other partner, was the first investor of Batara’s Mixi.

Foyage raised first money from Singapore government investment scheme in 2008. Not until then, I realized that Indonesia also has a huge opportunity in this industry. In 2009, we decided to form East Ventures.

We started Jakarta Ventures Night, inviting few investors from Japan and some local startups. In 2010, DailySocial’s Rama Mamuaya also presented in the event and William Tanuwijaya from Tokopedia, the first in our portfolio. Later on, we invest in Disdus and made our very first exit. We’re actually the first VC to have a complete cycle and that instantly boosted our confidence. It helped creating the flywheels effect.

To date, East Ventures has invested in 160 companies, mostly are the early-stage startups focuses on consumer internet, mobile, SaaS, media, retail education and much more. Recently, some are getting profitable as Indonesia’s digital economy hit the inflection point.

With so many portfolios in hand, how could you manage?

The key is to invest in people. Once you meet the right one and clicked, you trust them enough to run independently and to bring out the best result through this deal.

We need 3 point of alignment with entrepreneur.
1. vision, what kind of problems to solve, what’s the goal?
2. strategy, it’s how to work things out, how to get it done?
3. tactical, this is more like the execution.

East Ventures and the founding team must have a same vision. In fact, I don’t believe that investors could change their portfolios. We might advise strategy but it’s the people (founders) who know what’s best for their company.

You’ve created your own app, built your own VC, run the business. During your journey, have you faced any stumbling block?

Of course, there are ups and downs, but one thing I always believe is “things that don’t kill you make you stronger”.

I was so desperate that I couldn’t raise funds for Foyage, but I’m not the kind of person who stops and stares while the industry’s rapidly growing. We founded East Ventures in 2009, it was really hard to gain trust from people that time. We went some places, but no one believes except some Japanese innvestors, it was due to Batara’s credential. However, I think it’s the power of not giving up until it gets to the point where all the pieces put down together.

Early days of East Ventures, managing the whole portfolios alone

 

If no one believes in Indonesia’s digital industry, why would you?

Emotionally, It’s because I’m Indonesian. If not us, who else?

In terms of business, there are 30 million internet users in Indonesia. A huge size market, why wouldn’t anyone make a move? At that time, there’s only one problem. If we start now, when will we make it? This is where the leap of faith is necessary.

The thing is, Indonesia is capable of making something impossible happened. Instead of talking about American Dreams, why can’t we create the Indonesian Dream. We are too focused on the story of some people who create big things somewhere, why don’t we work things out and have people look at us. This kind of inferiority complex should have vanished from our mindset. We are a great nation with lots of people.

What makes you decide to invest in one?

There are three hypotheses on people;
1. integrity, a moral standard, you do the right thing when no one sees,
2. self-awareness, to know yourself and what you’re capable of,
3. paradox, having contradictive traits, which means adaptive.
These things cannot be learned instantly or faked.

Once I met these criteria in people, no need to think or waste time. That is why most of our good deals were closed within 28 hours after the first meeting. These consistently happened overtime with Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai and many more. Also, we tried to create a healthy ecosystem in this VC. Therefore, I wouldn’t invest in competing businesses. We back our founders wholeheartedly.

In terms of academic background, how do you see people with the overseas title have an impact in the industry?

Casually, people who study overseas will have the privilege to gain insight from the global knowledge.  However, I don’t believe people who study overseas will always be more successful. In fact, I believe people should have global knowledge to know and what’s best for local execution.It is not always by studying abroad.

You survived many years in this industry. Do you have any specific support system?

Family is indeed the fundamental support that shapes your current self. I also believe that character was developed, not learned. That is why I find it hard to believe in the accelerator or mentoring concept that aims to turn someone into an entrepreneur.

The accelerator program, they might have done a very curated process to find talents, but in my concept, once a jewel, although it’s covered in dirt, is still a jewel. The potential was there from the very beginning and developed through times.

I believe in serendipity, that is why I put my focus on people. A Chronos and Chairos concept, everybody has their own timeline, and the moment we met, the decision was made, whether to involve or not at each other’s life.

If you really believe in Indonesia’s digital industry, why won’t you live in Indonesia?

In Singapore, we always get the best scenario, in terms of regulation and many more. While in Indonesia, everything is in the worst case, unexpected things often arose. I’d like to maintain my consciousness by having the contrast. The yin and yang, so to say. Therefore, My life could be more contrast and I have a clearer mind to identify the problem statement.

Also, Singapore is currently the hub in Southeast Asia.

After achieving many firsts in the computer and technology industry, also with East Ventures, what’s next?

This is also the question I always ask myself every day, What should I do next? How can I transfer my knowledge to my team, for they can do their own things, in their own style, and have their own investees.

I can’t have this role forever, that is why I have partners. I want to build East Ventures and make it institutional, raise the next generation team, and make sure it stays true to its mission, to be an Entrepreneurship Platform. Then, I will have time and space to think of something new again – or maybe I will do this forever. Let’s wait for the stars to align.

This year marked as East Venture's 10th year anniversary
This year marked as East Venture’s 10th year anniversary

If you have something to say about the industry, what would you say?

The industry currently has a much larger pie. Indonesia, with so many issues in the country, offers quite many opportunities. Thus, I think the VC industry will stay long here.

To me, the VC industry is all about people business, the technology is just a tool.

East Ventures Masih Akan Terus Menambah Portofolio Startup Baru di Tahun 2019

Sebagai salah satu modal ventura yang cukup aktif memberikan pendanaan, East Ventures konsisten dengan misi mereka membantu startup early stage. Mengklaim bersifat agnostik, pihaknya mengatakan tidak memiliki kriteria khusus mengenai startup kategori apa yang bakal diinvestasi.

Saat ini East Ventures telah berinvestasi di ratusan perusahaan di Indonesia, Singapura, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Mayoritas portofolio East Ventures mampu mendapatkan pendanaan lanjutan, mendominasi pasar dan bahkan menjadi pemimpin di bidangnya.

Di antara startup yang saat ini sudah sukses dan masih mendapatkan pendanaan tahapan lanjutan adalah Tokopedia, Traveloka, Ruangguru, Warung Pintar, Disdus (diakuisisi oleh Groupon), Kudo (diakuisisi oleh Grab), Loket (diakuisisi oleh Gojek), Shopback, Techinasia, IDN Media, Moka, CoHive, dan Omise.

Menurut Partner East Ventures Melisa Irene, memasuki usia yang ke 10 tahun bulan Oktober mendatang, East Ventures masih memiliki rencana untuk terus memberikan pendanaan tahap awal kepada startup Indonesia. Sedikitnya sudah 30 startup yang mendapatkan pendanaan tahun 2018 lalu. Dan tahun 2019 ini, East Ventures memiliki target untuk menambah jumlah tersebut.

“Selama 6 bulan terakhir kami sudah closed 12 deal, saat ini 6 startup sedang dalam tahap persiapan dan target closed East Ventures adalah 24 startup sampai kuartal tiga mendatang,” kata Melisa.

Selain mendukung berbagai startup, East Ventures juga mengembangkan tiga proyek internal di Indonesia yaitu CoHive, Warung Pintar dan Fore Coffee. Ketiga proyek tersebut berhasil menemukan produk yang tepat untuk pasar (product market fit) dan kemudian berdiri menjadi startup mandiri.

Menurut Melisa, keputusan East Ventures untuk menjalankan proyek dengan menempatkan tim East Ventures adalah melihat peluang dan ekosistem yang mendukung untuk meluncurkan proyek tersebut.

“Saya juga melihat belum ada entrepreneur yang bisa menawarkan kepada kami solusi yang kemudian kami jalankan sebagai proyek internal,” kata Melisa.

Awal tahun ini, East Ventures memperkenalkan hipotesis investasi baru, yaitu New Consumption. Beberapa portofolio East Ventures yang sejalan dengan hipotesis tersebut adalah Fore Coffee dan juga The FIT Company, startup yang memanfaatkan teknologi dalam membangun wellness ecosystem dengan misi membantu individu mencapai tujuan hidup sehat.

Pentingnya Product Market Fit

Bagi East Ventures, semua model bisnis jika memiliki inovasi yang menarik, tim yang solid dan potensi yang menjanjikan, pastinya akan menjadi perhatian untuk diberi pendanaan. Di East Ventures sendiri terdapat tiga poin penting yang diterapkan saat proses kurasi startup dilakukan. Di antaranya adalah people, potensial market dan product.

“Kita juga menyarankan startup tersebut sudah mengerti dengan baik product market fit. Jika startup sudah melakukan proses tersebut, kami sebagai investor akan melirik produk yang ditawarkan,” kata melisa.

Disinggung apakah dalam waktu ke depan East Ventures tertarik untuk berinvestasi kepada e-sports, Melisa menegaskan untuk saat ini belum tertarik. Sebagai modal ventura, East Ventures tidak tertarik memberikan pendanaan kepada industri yang hanya bersifat trending dan hype saja, namun belum bisa menjanjikan masa depannya secara long term.

“Kita melihat e-sports, meskipun sangat populer saat ini hanya bersifat hype sesaat saja, sementara secara long term prospeknya belum terlihat menjanjikan,” kata Melisa.

Sembilan Startup Lokal Siap Bertarung Memperebutkan Tiket Seedstars Summit

Ajang kompetisi global untuk startup tahap awal Seedstars World kembali diadakan tahun ini di Jakarta. Pasca rangkaian seleksi, penyelenggara telah memilih 9 startup terbaik dari Indonesia yang akan bertarung memperebutkan tiket Seedstars Summit di Swiss. Startup tersebut berkesempatan memenangkan berbagai hadiah, termasuk investasi hingga $1 juta.

Acara final pitching 9 startup terpilih akan dilaksanakan pada 21 September 2018 di Jakarta. Adapun nama-nama startup yang terpilih yakni Bizhare (platform equity crowdfunding), Do-Cart (fulfillment), Pakaruto (layanan pencari kerja untuk buruh), Ammana (p2p lending), Expedito (cross-border shipping), Lacak (GPS untuk logistik), Aglonera (platform supply chain pertanian), Qiwii (sistem antrean), Varises Indonesia (layanan kesehatan untuk penyakit varises).

Syarat untuk mengikuti Seedstars World, startup berumur kurang dari 2 tahun dan telah mengumpulkan pendanaan tidak lebih ari $500 ribu. Tim juri juga menekankan pada kriteria produk yang dapat dipasarkan ke level regional dan global. Di Indonesia acara ini terselenggara atas dukungan Merck Accelerator dan Kibar.

“Di Seedstars kami percaya bakat dan ide bagus ada di mana-mana. Kami melihat diri kami sebagai platform yang menghubungkan investor dengan generasi pengusaha pemula di tempat-tempat di mana biasanya orang tidak akan berpikir ekosistem startup memiliki traksi, pertumbuhan, dan buzz seperti itu. Kami sangat senang berada di Indonesia dan terkesan dengan inovasi yang keluar dari ekosistem tahun ini,” sambut Rosie Keller selaku Regional Manager Asia Seedstars.

Program Seedstars memang fokus di negara berkembang. Saat ini ada sekurangnya 65 negara yang disinggahi. Dari lulusan di tahun sebelumnya, startup Seedstars telah mengumpulkan investasi kolektif mencapai $92 juta dan memperkerjakan lebih dari 2100 karyawan di seluruh dunia.

Acara pitching kali ini akan terbuka untuk umum. Sehingga dapat menginspirasi para inovator dan calon pendiri startup berikutnya. Informasi lebih lanjut tentang acara dapat disimak melalui tautan berikut ini: http://bit.ly/SSWJakarta18.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Seedstars World 2018

Pertumbuhan Startup Baru Melambat, Kesempatan Startup Tahap Awal untuk Berkembang

Sekitar 5-6 tahun lalu, istilah “startup” mulai banyak diperbincangkan. Di kalangan muda, istilah tersebut menjadi lebih populer ketimbang “entrepreneur“. Banyak sekali orang yang antusias dengan dunia startup dan berkeinginan mendirikan startup-nya sendiri, karena terinspirasi pemain yang telah berhasil menoreh sukses.

Istilah startup sendiri muncul ketika teknologi mulai mengambil peran penting dalam sebuah sistem bisnis. Kendati tidak serta-merta, startup banyak merujuk pada bisnis digital yang berupaya menciptakan disrupsi dengan menyuguhkan solusi penyelesaian masalah yang lebih efektif. Lantas, sudah sampai mana perkembangannya sampai saat ini?

DailySocial mencoba menggali insight dari salah satu investor yang cukup berpengalaman dalam bisnis startup, Kevin Darmawan. Ia adalah Founder & Managing Partner Coffee Ventures, spesialisasinya pada early stage startup. Mengawali perbincangan, Kevin menyampaikan pendapatnya bahwa gerakan yang cenderung melambat di lanskap startup saat ini merupakan proses yang sangat wajar.

“Kesuksesan startup yang ada kala itu cukup membuka mata banyak orang. Semua menjadi berpikir membuat perusahaan menggunakan teknologi menjadi solusi keren. Maka banyak orang dengan berbagai latar belakang mencoba masuk ke sana, dengan kapasitas yang belum mumpuni. Sekarang kondisinya berbeda, orang jadi lebih tahu tentang model bisnis dan kondisi yang sebenarnya. Jika diibaratkan perang, sekarang senjatanya jauh lebih siap,” ujar Kevin menerangkan mengapa hype startup terlihat lebih turun dibandingkan awal tren tersebut muncul.

Kevin menjelaskan, perubahan tersebut juga terjadi di kalangan investor. Di awal mungkin banyak investor yang berpikir, investasi di startup nilai dan perputarannya uang kecil. Namun dua tahun terakhir anggapan tersebut cukup terpatahkan, pasalnya investasi di startup juga mampu menghasilkan Return of Investment (ROI) besar. Di Indonesia sendiri investor dari berbagai tempat mulai hadir. Startup mulai diinvestasi dengan nilai yang besar dan dampak yang paling terasa adalah dinamika pasar yang cukup tergoncang.

Terkait melambatnya pertumbuhan startup yang mungkin mulai dirasakan dari dua tahun terakhir Kevin justru beranggapan bahwa itu adalah sebuah proses “seleksi alam” yang baik. Dari sana akan terlihat mana startup yang mau belajar memperbaiki diri dan mana juga yang bisa bertahan dengan persaingan yang semakin ketat.

Proses yang seharusnya di tahap awal

Menurut Kevin, proses eksperimen di startup adalah hal yang tidak bisa dihindari. Misalnya ide awal A harus berubah ke ide B sebagai hasil pivot setelah diuji coba ke konsumen. Yang perlu diperhatikan adalah proses eksperimen tersebut juga harus efektif. Founder harus jeli, bagaimana membuat proses tersebut menjadi lebih cepat dan semurah mungkin.

Ketika harus gagal, setidaknya masih ada energi tersisa untuk memperbaiki diri. Faktanya kebanyakan pelaku startup yang sudah sukses melalui fase awalnya dengan proses eksperimen yang tidak sedikit.

Ada dua permasalahan utama yang sering ditemui pada pemikiran founder di startup tahap awal oleh Kevin. Pertama ialah seputar ide dan asumsinya. Kebanyakan founder berpikir, bahwa ide yang ia temukan terkait permasalahan tertentu memiliki market size yang besar. Kadang mereka lupa untuk memvalidasi melalui riset yang lebih mendalam. Ketika waktu, investasi, dan tenaga sudah terserap banyak, mereka baru menyadari bahwa pasar tidak menginginkan solusi yang ditawarkan.

Yang kedua adalah soal SDM. Hal ini masih berkaitan dengan permasalahan pertama—bahwa kebanyakan dari founder memiliki mindset semua harus cepat. Yang disebut eksperimen, menurut Kevin, harus dilalui dengan sabar, karena yang sebenarnya dipelajari founder dari proses tersebut adalah “detail”.

“Semua pikirannya mau growth hack, growth hack, dan growth hack. Tapi namanya eksperimen harus sabar mempelajari setiap detail, karena dalam startup masing-masing ada ilmunya yang harus dipelajari satu-satu, dari buat produk sampai pemasaran. Harus mendalami eksperimen,” lanjut Kevin.

Banyak masalah yang bisa digali sebagai sumber ide

Salah satu keuntungan tinggal di Indonesia adalah bisa ditemukan banyak permasalahan yang unik. Bahkan tiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kevin mencontohkan kebutuhan di Jakarta saja juga berbeda-beda. Katakanlah antara Jakarta Selatan dan Jakarta Utara, dengan pangsa pasar yang heterogen seperti ini, idealnya inovasi bisa ditempatkan secara lebih tepat.

Hal ini menjadi kesempatan besar, karena pada hakikatnya startup di tahap awal fokusnya memang harus pada penyelesaian masalah. Namun demikian ada hal yang sering disepelekan, yakni untuk fokus pada satu titik ide yang sudah tervalidasi di awal.

“Kalau startup identik dengan tim yang masih kecil, dana terbatas, waktu terbatas, sumber daya terbatas, oleh karena itu mereka harus fokus. Jika mereka tidak fokus –misalnya mencoba menyelesaikan dua atau tiga masalah—maka mereka akan selalu mencoba untuk memecahkan semua masalah, ujung-ujungnya malah jadi nothing,” imbuh Kevin.

Startup perlu menemukan spesialisasinya. Di fase awal ini kepercayaan menjadi penting. Kepercayaan tersebut yang akan membentuk brand image startup itu sendiri. Pun ketika melakukan pitching, yang disuguhkan pertama adalah apa yang mau diselesaikan, bukan medium teknologi yang akan disuguhkan sebagai produk.

“Analoginya seperti ini tentang fokus. Katakanlah kita punya bensin satu liter, tapi kita tidak tahu mau ke mana kita pergi, maka kita tidak akan sampai ke mana-mana. Beda saat kita memutuskan untuk mencari jalan terdekat mencari pom bensin, di sana kita bisa mengisi lebih banyak dan bisa pergi lebih jauh. Startup juga seperti itu, keterbatasan di awal harus dimaksimalkan seefektif mungkin,” ujar Kevin.


Prayogo Ryza terlibat dalam kegiatan wawancara tulisan ini.

Wavemaker Partners Siapkan Dana $50 Juta, Indonesia Menjadi Prioritas Investasi

Perusahaan modal ventura Wavemaker Partners hari ini mengumumkan tengah menyelesaikan proses kucuran dana baru senilai $50 juta (atau 664,5 miliar rupiah) untuk wilayah Asia Tenggara. Pada kucuran pendanaan keduanya kali ini di Asia Tenggara, Indonesia akan menjadi sasaran utama untuk berinvestasi. Startup digital di tahap awal (early-stage) di sektor B2B akan menjadi fokus sasaran Wavemaker Partners.

Ditargetkan investasi akan ditargetkan kepada kurang lebih 80 startup, setelah sebelumnya memiliki 10 portofolio di Indonesia. Di Asia Tenggara debut Wavemaker Partners bisa dikatakan sukses, dalam dua tahun setidaknya 5 startup sudah berhasil “exit“, termasuk dua di antaranya diakuisisi oleh Google dan LVMH. Keberadaan Wavemaker juga menjadi representatif dari Draper Venture Network (DVN) di Asia Tenggara.

[Baca juga: Rencana Investasi Tim Draper di Indonesia]

Untuk memastikan upayanya berinvestasi di Indonesia, bersama investor Tim Draper dari DVN, perwakilan Wavemaker mengunjungi Indonesia. Dalam kunjungannya Draper mengatakan bahwa ada banyak hal menarik di Indonesia, salah satunya pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) yang sangat cepat didorong oleh populasi muda yang cerdas dan piawai secara digital, berimbas pada angkatan kerja yang semakin terampil dan peningkatan kelas menengah di kalangan masyarakat.

“Ini adalah lingkungan yang bagus untuk memulai scaling startup. Saya di sini untuk bertemu dengan para pendiri dan investor, belajar lebih banyak tentang negara ini dan berbagi beberapa pelajaran yang telah saya pelajari mengenai startup. Saya ingin menemukan lebih banyak kesepakatan untuk berinvestasi bersama Wavemaker dan memanfaatkan DVN untuk membantu mereka tumbuh,” ujar Draper.