Ide Saja Tidak Cukup, Butuh Kesiapan Lebih sebelum Menghadap ke Investor

Pada umumnya, proses terbentuknya sebuah startup baru berawal dari seseorang (founder) yang menemukan sebuah ide produk atau bisnis, lalu berusaha ingin merealisasikannya. Di tahap awal, walaupun mungkin jumlahnya tidak signifikan, ada banyak modal yang harus dipenuhi. Mulai dari waktu untuk mengerjakan produk tersebut, fasilitas pendukung, hingga hal lain berkaitan dengan operasional. Startup butuh modal awal, dan salah satu cara untuk memenuhinya dengan menggandeng rekanan investor guna mendapatkan seed-funding (pendanaan tahap awal).

Ide-ide baru yang dicetuskan startup tahap awal selalu menarik, mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara yang selalu diklaim lebih efisien dan lebih terjangkau. Nyatanya beberapa startup memang membuktikan bahwa ide yang dimilikinya berhasil “mengubah dunia”, sebut saja cikal-bakal GO-JEK atau Tokopedia. Tapi sekarang startup tengah menjadi tren, setiap hari selalu ada ide baru yang muncul, ada startup baru yang dilahirkan.

Fenomena tersebut sedikit menggeser pandangan tentang sebuah startup, yang tadinya memfokuskan pada penyelesaian masalah dengan ide-ide segar, kini banyak yang tidak konsisten dalam melakoninya. Publikasinya startup baru, tapi yang disampaikan ke konsumen atau investor hanya sebatas nama startup, logo dan landing page, tanpa ada progres yang berkelanjutan.

Mendapat investasi menjadi agenda yang banyak diinginkan startup baru, tujuannya untuk cepat merealisasikan ide tersebut menjadi bisnis yang nyata. Namun investor butuh diyakinkan tidak hanya menggunakan ide atau visi yang ditulis dalam slide. Ada beberapa hal yang seharusnya disiapkan dengan baik.

Ide yang sudah tervalidasi, berdasarkan kebutuhan di lapangan

Memvalidasi ide bisa dilakukan dengan beragam cara. Bisa dengan menunjukkan angka-angka hasil riset atau survei terkait dengan permasalahan yang ingin dipecahkan, atau coba menunjukkan ide tersebut kepada khalayak, apakah sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Konsep dari produk yang sudah dijalankan MVP-nya

Ide menjadi gambaran yang sangat abstrak, memiliki Minimum Viable Product akan memberikan pemahaman yang lebih gamblang kepada investor tentang bagaimana solusi tersebut bekerja. Atau setidaknya sudah harus ada proof-of-concept. Karena ini sekaligus menunjukkan bahwa ide tersebut sangat memungkinkan untuk dieksekusi dan direalisasikan.

Memahami betul konsumen dari produk

Pada akhirnya produk dikembangkan untuk digunakan oleh pangsa pasar, karena dari situ proses bisnis akan bekerja. Yakinkan bahwa solusi dari ide yang saat ini ada benar-benar ada yang membutuhkan. MVP bisa menjadi cara terbaik untuk menguji, apakah hipotesis terkait dengan ide tersebut sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Meyakinkan tentang kapabilitas founder dan tim

Di luar dari hal berkaitan dengan produk, unsur internal juga penting untuk digambarkan dengan jelas. Yakni tentang siapa founder dari startup tersebut dan tim pendukungnya. Latar belakang founder dan tim akan sangat berpengaruh –atau memberikan keyakinan lebih, bahwa produk yang dikembangkan bisa berhasil, karena memiliki keterampilan dan penguasaan terhadap masalah.

Jadi, pada dasarnya ide saja tidak cukup. Temuilah investor dengan empat kesiapan di atas. Suguhkan presentasi terbaik dengan menunjukkan bukti-bukti terukur tentang rencana bisnis yang akan digerakkan bersama startup baru.

Lima Alasan Mengapa Startup Tahap Awal Harus Bootstrapping

Ketika Anda ingin merintis startup, butuh semangat kewirausahaan untuk mewujudkannya, sebab akan ada banyak hal yang harus dikerjakan. Perlu disadari juga dari awal, untuk merintis suatu bisnis baru butuh dana investasi yang nilai tidak kecil.

Berapa banyak yang harus Anda investasikan untuk membuat situs? Haruskah Anda beli peralatan? Ruang kantor macam apa yang perlu Anda sewa? Bagaimana Anda harus gaji diri sendiri?

Jika Anda masih ada di titik ini, disarankan untuk tidak berpikir mengambil kredit, melainkan bangun usaha sepenuhnya dari kantung sendiri. Ada lima alasan mengapa startup pada tahap awal harus bootstrapping. Berikut rangkumannya:

1. Model bisnis biasanya berubah pada tahap awal

Alasan pertama adalah karena sangat mungkin saat Anda mengembangkan gagasan dan model bisnis akan berfluktuasi, sementara Anda harus tetap fleksibel dengan hal tersebut. Biasanya rencana yang Anda siapkan matang-matang sebelum benar-benar diimplementasikan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Hal ini disebabkan ada faktor X, Anda pun harus siap dengan kondisi tersebut.

Ketika Anda mendanai startup dari kantung sendiri, Anda akan berpikir dua kali sebelum berkomitmen untuk menghabiskan uang yang begitu berharga.

2. Fase yang bisa menyeimbangkan pro kontra menjadi karyawan vs pengusaha

Ada pepatah yang menyebutkan, “Jangan tenggelamkan kapal Anda,”. Pepatah ini maksudnya jangan berhenti dari pekerjaan terlalu cepat. Ada risiko signifikan yang terkait apabila Anda bekerja dari kerja kantoran terlalu cepat, sebab Anda harus bertanggung jawab penuh atas seluruh biaya overhead. Mulai dari peralatan, perawatan, komputer TI, staf. Belum lagi hal-hal lainnya yang sering dianggap remeh, seperti asuransi kesehatan, tunjangan pekerjaan, gaji lembur, dan sebainya.

Jika Anda menyubsidi seluruh pertumbuhan awal startup Anda dengan pinjaman, Anda dapat dengan mudah kehilangan jalur dari bisnis sebenarnya. Maka itu, pastikan bisnis Anda memiliki progres hingga mampu menghidupi diri Anda dan karyawan sebelum meninggalkan pekerjaan yang selama ini sudah menghidupi Anda.

3. Menjadi batu loncatan sebelum memutuskan untuk scale up

Bila bisnis Anda hidup karena disubsidi oleh dana eksternal, Anda mungkin tergoda untuk scale up sebelum berhasil membuktikan model bisnis diterima di pasar. Katakanlah bisnis Anda menyediakan layanan kelas seni untuk pasangan di malam hari. Dengan uang sendiri, Anda bisa menguji model bisnis tersebut dengan menyewa ruangan di kedai kopi selama beberapa kali pertemuan.

Selama waktu tersebut, Anda perhatikan apakah model bisnis ini akan melahirkan pengguna loyal? Jika terbukti ada hasilnya, Anda bisa perlahan-lahan menyewa tempat tersebut untuk beberapa bulang sebelum memutuskan untuk sewa penuh. Langkah ini akan meminimalkan dana Anda terbuang sia-sia.

4. Ada hubungan emosional ketika menghabiskan tabungan sendiri

Anda memiliki keterikatan emosional dengan uang sendiri. Setiap kuitansi, pengeluaran, belanja perusahaan dan lain-lain harus membuat Anda mengatakan ke diri sendiri, “Apakah saya memerlukan ini?.”

Ada banyak pemilik usaha yang berjuang menjalani bisnisnya dengan strategi bakar uang, ambil kredit untuk kebutuhan yang tidak penting, seperti makan siang bisnis, beriklan, membuat merchandise, dan lainnya. Biaya seperti ini padahal tidak pernah mereka lakukan jika sedang bersama keluarga mereka dari tabungan sendiri.

Untuk itu, Anda perlu mulai membuat anggaran dengan nominal budget yang konservatif jika hal-hal seperti ini terjadi. Dengan demikian Anda bisa melanjutkan bisnis yang bisa membuat arus kas kembali positif.

5. Anda pegang kendali atas uang sendiri

Bila bisnis yang dirintis malah membawa hutang, berarti Anda membawa risiko yang mana harus menyerahkan bunga untuk memuaskan kreditur. Ini sama saja artinya Anda kehilangan kendali.

Ada istilah bisnis yang biasa digunakan untuk perusahaan publik terkait hal ini, disebutnya rasio hutang terhadap modal. Rasio ini dihitung untuk mengukur rasio semua kewajiban perusahaan terhadap semua aset atau ekuitas.

Bila bisnis berada di atas rasio hutang, bisa menjadi tanda bahwa perusahaan Anda sekarat. Kemungkinan startup Anda ini dimulai dengan modal yang sangat kecil. Dalam hal ini, hutang yang Anda keluarkan akan menyebabkan rasio hutang terhadap modal melonjak dengan sangat cepat. Artinya ini risiko besar.

Risiko akan semakin besar ketika pada tahap awal Anda mengajak investor dan menukarnya dengan saham perusahaan. Anda akan kehilangan kendali, bahkan bisa jadi dipaksa keluar dari jabatan oleh investor.

Lima alasan ini secara langsung mendorong Anda untuk tidak meminjam uang sama sekali dari pihak mana pun. Juga jangan mengandalkan investor. Ketika bisnis Anda telah menemukan pasarnya, namun dapat diandalkan berarti Anda ada potensi untuk scale up.

Pahami Tiga Prinsip Ini Sebelum Mendirikan Startup

Ketika Anda menjalankan bisnis, saran terbaik yang perlu Anda lakukan sebagai pemilik, pendiri, eksekutif dari perusahaan startup adalah mendengar masukan sebanyak mungkin dan mengimplementasikan usulan yang paling relevan dengan skenario Anda.

Kesalahan umum seperti mengabaikan kebutuhan pelanggan, hanya merekrut talenta berdasarkan resume yang impresif saja, dan fokus pada mencari keuntungan merupakan beberapa yang harus Anda hindari sebelum mendirikan startup.

Artikel ini akan fokus membahas tiga prinsip yang perlu Anda perhatikan sebelum mendirikan startup. Berikut rangkumannya:

Tentukan identitas perusahaan Anda

Saat pertama kali memulai, Anda mungkin tergoda untuk mendasarkan diri pada produk yang dimiliki, apa adanya, dan peduli pada penampilannya. Anda beranggapan hal tersebut bakal membuat perusahaan jadi menonjol. Atau bisa jadi, Anda menemukan diri setelah mendefinisikan perusahaan berdasarkan pesaing Anda. Ini adalah sebuah kesalahan, sebab lambat laun akan memaksa Anda untuk bersikap reaktif, bukan proaktif.

Sebaiknya Anda pusatkan perhatian pada pelanggan terlebih dahulu. Pahami dan hargai pengaruh mereka terhadap kesuksesan perusahaan. Dengan memperhatikan apa yang dikatakan pelanggan tentang produk Anda di online, email, atau media sosial, membuat Anda jadi lebih siapa memenuhi permintaan mereka.

Sebelum Anda dapat menentukan atau mendefinisikan ulang tentang startup Anda, sebaiknya Anda harus tahu siapa pelanggan dan apa yang mereka inginkan. Jika tidak, Anda akan selalu bereaksi terhadap tren pasar, bukan menciptakan tren.

Media sosial adalah salah satu cara terbaik untuk terlibat dengan pelanggan lewat percakapan dua arah. Setelah Anda membangun basis pelanggan, pastikan untuk rajin meninjaunya secara berkala. Beri kesempatan pada pelanggan untuk meninjau produk dan saran yang perlu Anda lakukan untuk masa depannya.

Pilih karakter dan kepribadian talenta

Jangan remehkan dampak dari budaya perusahaan. Seberapa baik talenta baru bergaul dengan teman sebayanya sama pentingnya dengan keahlian mereka, tidak peduli seberapa mengesankan resume yang dimilikinya. Keterampilan itu bisa diajarkan dan dipelajari, namun tidak bagi karakter dan kepribadian.

Selagi talenta masih muda, sangat penting untuk membentuk karakter dan kepribadian karena saat mereka sudah capai di tingkat profesional, kepribadian dan karakternya telah terbentuk dengan baik.

Seseorang yang cocok dengan perusahaan tapi kurang memiliki keterampilan yang kurang mumpuni, pada bagaimanapun juga dapat diajarkan untuk memperbaiki wilayah tersebut.

Saat Anda merekrut talenta baru, perhatikan hal tersebut. Ada sisi positif dan negatifnya ketika Anda memutuskan untuk merekrut talenta lewat bantuan agensi. Di satu sisi, Anda akan menghemat lebih banyak waktu dan tenaga, tapi daya kontrol terhadap talenta yang diinginkan jadi kurang maksimal.

Fokus pada tim, bukan uang

Sebagai pemilik bisnis, secara alami Anda akan fokus pada keuangan perusahaan. Ini cukup dimaklumi, sebab tanpa uang, Anda tidak dapat membuat produk atau merekrut talenta untuk menjual produk tersebut. Namun bila hanya terfokus pada uang saja, perusahaan akan gagal.

Anda harus memprioritaskan dua hal daripada uang, yakni pelanggan dan talenta. Bangun produk yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan daripada menjual produk laris yang sudah dahulu laku di pasar niche lainnya. Fokuslah pada produk yang diminta konsumen, sebab hal ini adalah cara terbaik mendapatkan penjualan dan meningkatkan margin keuntungan.

Kemudian, fokuskan diri Anda untuk talenta/karyawan. Tanpa bantuan tim, bisnis Anda mungkin tidak akan berjalan. Dengan mendengarkan tim, Anda memastikan bahwa Anda selalu memiliki orang baik di belakang untuk memproduksi, mengemas, memasarkan, dan mengirimkan produk yang memberi keuntungan dan membayar tagihan.

Uang mungkin ada di depan baris dari dasar pemikiran Anda, tapi sebelumnya harus pastikan bahwa Anda juga menjaga posisi orang-orang di belakang tetap berada di nomor satu. Tanpa pelanggan dan karyawan, bisnis hanya sebatas mimpi.

Faktor Bisnis dan Manajerial, Isu Utama Startup Tahap Awal

Istilah startup kini tak asing lagi di kalangan millennials di Indonesia. Bekerja di startup atau membuat startup sendiri menjadi jalan karier dambaan banyak orang. Sejak tahun 2014, saya mencoba mengamati tentang dinamika startup di tahap awal atau sering disebut dengan istilah early-stage startup. Umumnya startup di fase ini masih dijalankan dengan bootstrapping alias modal sendiri, dengan keyakinan akan produk yang dikembangkan dan komposisi tim yang terikat kesamaan visi.

Banyak yang hadir menyajikan layanan baru, namun tak sedikit yang ambruk mengakhiri apa yang telah dimulainya, walaupun beberapa ada yang memilih untuk pivot dan mencoba pendekatan lain. Mulai dari startup yang mencoba menghadirkan kanal media sosial untuk kategori aktivitas tertentu, pengembang aplikasi akuntansi berbasis SaaS (Software as a Service), hingga penyedia layanan on-demand pernah menghiasi tag “ Startup News” di DailySocial.

Menyimpulkan beberapa tulisan tips dari para pakar yang pernah disadur oleh DailySocial, saya mencoba memetakan beberapa kendala yang mengakibatkan early-stage startup sulit untuk melanjutkan debutnya dalam atmosfer bisnis. Permasalahan tersebut terbagi menjadi dua faktor, yakni faktor bisnis dan faktor manajerial.

Faktor Bisnis

Permasalahan ini berkaitan langsung dengan apa yang mereka suguhkan, baik dalam strategi ataupun pengembangan produk.

(1) Salah sasaran

Ada beberapa penafsiran terkait dengan poin pertama ini. Sebuah startup bisa dibilang salah sasaran karena memang produk yang dikembangkan tidak cocok dengan pangsa pasar yang ditargetkan atau karena pangsa pasar yang ditargetkan masih jauh dari kata siap untuk penerapan solusi terkait.

Kami pernah meliput tentang startup yang mencoba menyajikan solusi berbasis big data untuk sektor pendidikan dan kesehatan pada awal tahun 2015. Akselerasinya tidak begitu terlihat sampai sekarang, bahkan bisa dibilang stagnan. Terbukti dengan website yang saat ini tidak dikembangkan, bahkan salah satu portofolionya tidak jalan lagi.

Di sektor pendidikan dan kesehatan, proses masih sangat terpaku dengan model konvensional –sebuah fakta yang tidak bisa dielakkan. Kalaupun komputerisasi digunakan, masih sebatas operasional dasar. Kalangan digital immigrant masih sangat mendominasi di sektor tersebut. Konsep seperti big data, artificial intelligence dan banyak terobosan teknologi lain sifatnya masih berupa riset (untuk dua sektor tersebut).

Terlalu dini menyiapkan produk dengan teknologi canggih seperti bertaruh: adaptasi cepat atau tidak tersentuh sama sekali.

(2) Produk yang bermasalah

Beberapa pakar pemasaran selalu mengutarakan bahwa memperkenalkan produk ke calon konsumen harus dilakukan secara cepat. Salah satunya sering dilakukan dengan meluncurkan versi beta dari aplikasi. Namun ini akan menjadi buruk jika kualitas produk belum benar-benar siap. Apalagi untuk varian produk yang memiliki banyak pilihan. Konsumen digital unik, kadang mereka langsung memberikan cap buruk (underestimate) kepada sebuah apps jika first impression yang mereka dapat buruk –menemui bugs di aplikasi.

Tidak hanya masalah pada aplikasi saja, namun termasuk pelayanan. Hilangnya layanan on-demand pesaing Go-Jek menjadi salah satu contohnya. Pernah tahu ke mana Blue-Jek, LadyJek, dan produk sejenis lain yang pernah berusaha mencoba meramaikan persaingan di ibukota? Transportasi dibutuhkan pengguna kapan saja ketika mereka butuh, maka layanan harus menyesuaikan. Jika tidak, maka tetap sama saja, akan dianggap bermasalah dari sisi pelayanan.

Masalah produk atau layanan bisa berkaitan langsung dengan produk yang dikembangkan dan juga unsur lain yang mendukung kegiatan bisnis tersebut.

(3) Bisnis model yang tidak matang

Dijalankan anak-anak muda, semangat menggebu-gebu sering diperlihatkan ketika sebuah startup dimulai. Kadang ada yang terlewatkan jika sebuah model bisnis harus tervalidasi dengan baik sebelum dieksekusi. Untuk model bisnis baru, perlu dipikirkan secara jeli dampak seperti apa yang ingin dihadirkan pada konsumen.

Pun demikian dengan model bisnis yang disalin dari luar. Mencoba peruntungan dengan membawa model bisnis startup Silicon Valley menjadi aplikasi taste lokal. Tak hanya validasi, riset mendalam perlu dilakukan.

Eksekusi adalah kunci, namun perlu memastikan apakah kunci yang digunakan untuk membuka (peluang) itu membawa ke pintu yang benar atau tidak.

Faktor Manajerial

Permasalahan ini menghinggap dalam unsur internal bisnis, sering menyengat dan menghadirkan isu pada komponen penggerak bisnis di ruang operasional.

(1) Manajemen yang tidak jelas

Salah satu yang menyatukan visi sekelompok orang hingga akhirnya membentuk startup salah satunya karena pertemanan, baik karena di kampus yang sama, bertemu di komunitas atau lain sebagainya. Kadang tidak adanya gap karena faktor pertemanan ini yang membuat disiplin manajemen kurang diterapkan. Terdapat banyak aspek dalam manajemen, mulai dari pengelolaan tanggung jawab, pembagian tugas, hingga kepemilikan.

Konflik yang mungkin muncul karena pengelolaan manajemen yang buruk bisa menimpa antar co-founder ataupun karyawan dalam bisnis. Pada akhirnya tidak akan membuat nyaman orang di dalamnya dalam bekerja, dan akselerasi bisnis pun terganggu. Contoh paling sederhana dan sering terjadi: pembagian tugas yang tidak jelas, pembagian kepemilikan yang tidak jelas, hingga mekanisme upah yang tidak transparan.

Sama seperti filosofi pohon, semakin tinggi semakin kencang tiupan angin. Pastikan akarnya kuat agar tidak roboh. Peraturan dan kebijakan yang clear menjadi akar dalam hal ini.

(2) Tidak punya seni pemecahan masalah

Jika diumpamakan, mengelola startup tidak jauh berbeda dengan membina rumah tangga. Masalah kecil hingga masalah besar bisa saja menimpa kapan saja. Mulai dari permasalahan internal antar pegawai, masalah legal, perpajakan, hingga masalah dengan konsumen. Yang diperlukan adalah sebuah seni pemecahan masalah.

Sayangnya tidak ada rumusan baku untuk hal ini, karena yang akan membawa kepada keputusan paling solutif adalah intuisi dan pengalaman. Tak heran jika beberapa startup kini menunjuk mentor untuk mendampinginya bertumbuh. Pengalaman mereka kadang dibutuhkan untuk memberikan insight sebelum memutuskan sesuatu.

Tidak ada teori baku, setiap permasalahan itu unik, pun demikian penyelesaiannya. Pengalaman sangat berperan di sini.

(3) Merekrut orang yang salah

Terdapat banyak justifikasi yang digunakan ketika merekrut seseorang untuk masuk dalam bisnis. Mulai dari kriteria yang sesuai, kenal secara pribadi hingga disarankan oleh orang lain. Merekrut seseorang masuk ke bisnis, artinya menyerahkan satu sandaran bisnis kepada orang tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan: pastikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan, pastikan ditempatkan dalam role yang tepat, dan pastikan orang yang tepat.

Kehadiran seseorang dalam sebuah lingkungan sedikit atau besar akan memberikan pengaruh. Kultur bisnis yang sudah kuat terbangun bisa saja berubah dengan hadirnya orang baru, terlebih jika ditempatkan dalam posisi strategis. Mengapa sebegitunya? Sederhana, startup di tahap awal timnya masih sedikit, hadirnya satu orang pun akan memberikan dampak signifikan. Ini yang perlu disiasati dan diamati sejak awal.

Jika kejernihan air bisa ternoda akibat setetes tinta, sebuah tim startup bisa hilang kompaknya akibat hadirnya satu orang. Tapi jika tinta tersebut sudah berbaur pun tetap bisa dihilangkan dengan proses penyulingan yang ketat.

(4) Terlalu boros

Mengapa teknologi komputasi awan sering diunggulkan untuk startup? Karena skalabilitas dan elastisitas yang ditawarkan. Saat pengguna memulai dengan spesifikasi yang kecil, jika di tengah jalan memerlukan sumber daya yang lebih besar maka bisa ditambah kapan saja. Konsep ini sebenarnya juga berlaku untuk kebutuhan lain, termasuk pembiayaan dalam operasional. Sama halnya ketika harus menyewa tempat bekerja, memberikan penggajian dan sebagainya, semua harus pas pada porsinya. Terlebih jika bisnis masih harus “membakar uang” dan belum menghasilkan profit.

Tiga Kategori Penentu Keberhasilan Pitch Deck Startup

Sebelum Anda bersiap melakukan pitching kepada investor, baiknya cermati terlebih dahulu konten pitch deck yang Anda susun. Apakah sudah memuat penjelasan serta data pendukung untuk presentasi? Idealnya slide atau halaman untuk pitch deck maksimal 10 slide saja. Hindari untuk membuat terlalu banyak slide ketika sedang melakukan pitching kepada investor. Hal tersebut wajib diperhatikan untuk startup yang masih dalam early-stage.

Artikel berikut akan menjelaskan tiga hal yang wajib dicantumkan dalam pitch deck, yaitu informasi soal tim, produk dan traksi. Jika Anda pendiri startup bisa merangkum semua, akan melengkapi pitch deck Anda.

Anggota tim

Awali presentasi Anda dengan informasi singkat yang berisikan tentang, layanan atau produk apa yang ingin Anda hadirkan, kemudian tunjukkan kredibilitas tersebut dalam tampilan beberapa slide. Berikan informasi singkat tentang anggota tim, pengalaman bekerja di startup sebelumnya, latar belakang pendidikan, siapa saja mentor atau penasihat Anda selama ini.

Jika Anda tidak memiliki pengalaman atau kisah sukses yang cukup untuk diceritakan dalam pitch deck, tempatkan founder story tersebut di bagian akhir presentasi. Yang perlu dicermati adalah untuk selalu menuliskan pengalaman Anda sebagai pendiri dalam pitch deck.

Produk

Halaman berikut menjadi faktor penentu dari keberhasilan sebuah presentasi. Untuk itu jangan lupa memasukkan informasi di pitch deck berupa jenis produk atau layanan yang akan dibuat, apa yang membuat produk atau layanan tersebut menjadi inovasi terkini, apakah produk tersebut memiliki potensi untuk mengalami pertumbuhan (product/market fit), siapa target pasar Anda, estimasi atau ukuran dari target pasar, apakah Anda memiliki hak paten atau hak cipta.

Yang perlu diperhatikan adalah jika produk atau layanan yang bakal Anda hadirkan bergantung pada kemitraan, wajib untuk mempertimbangkan kembali. Karena pada umumnya kemitraan kebanyakan tidak berjalan dengan baik dan berakhir gagal. Untuk itu pastikan Anda telah memperoleh kredibilitas terkait dengan produk yang dimiliki, agar bisa memperkuat kemitraan.

Traksi

Hal berikut menjadi tujuan utama dari sebuah produk atau layanan yang bakal dihadirkan. Sebaik apa pun produk atau layanan yang dimiliki, tidak akan berhasil tanpa adanya traksi. Untuk itu tampilkan traksi serta keunggulan kompetitif, bukti yang menyatakan bahwa model bisnis bekerja dengan baik dan bisa untuk scale up.

Berikan pula rencana eksekusi level tertinggi, pastikan Anda mendapatkan data CAC (customer acquisition cost), tampilkan MRR (monthly recurring revenue), metrik pelanggan yang puas (seperti testimoni, ulasan di blog atau platform lainnya yang relevan) serta MoM (month over month), dan yang terakhir ROI (return on investment).

Investor tahap awal akan mencari pengenalan pola, lanskap kompetitif dan indikator lain dari keberhasilan atau kegagalan. Hal tersebut bisa membantu untuk menampilkan ekosistem tempat startup Anda tidak hanya bertahan, tapi mengalami pertumbuhan yang baik.

Saat ini masih banyak startup tahap awal yang belum bisa merangkum tiga kategori utama tersebut, untuk itu fokuskan salah satu dari ketiga kategori saja, apakah itu anggota tim, traksi dan produk. Pastikan pertemuan pertama serta kesempatan untuk presentasi dengan investor, menjadi pengalaman yang berkesan bagi Anda pendiri startup dan investor.

Layanan Crowdfunding untuk Investasi Startup Bigcolors Bakal Masuki Pasar Indonesia

Layanan crowdfunding yang memfasilitasi investasi startup Bigcolors bakal memperluas pasarnya ke Indonesia tahun ini. Di paruh pertama tahun 2014, seperti dikutip dari TechCrunch, Indonesia termasuk dalam negara-negara Asia Pasifik yang menjadi lahan incaran Bigcolors — yang berbasis di Hong Kong. Sebelumnya Bigcolors sudah memasuki pasar Singapura bulan Desember yang lalu dan membuka layanannya di Thailand bulan Januari ini.

Continue reading Layanan Crowdfunding untuk Investasi Startup Bigcolors Bakal Masuki Pasar Indonesia

Kelola Dana Baru $30 Juta, SparkLabs Bidik Berikan Seed Funding ke Startup Indonesia

SparkLabs Global Venture umumkan perolehan dana baru $30 juta yang bakal digunakan untuk berinvestasi (seed stage fund) di Asia, Eropa, Israel dan Amerika Serikat. SparkLabs yang dikelola oleh Bernard Moon, Net Jacobsson dan Frank Meehan awalnya didirikan untuk membantu pendanaan (sebagai akselerator) 16 startup di Korea Selatan. Kini SparkLabs membidik startup di sejumlah negara baru, termasuk Indonesia.

Continue reading Kelola Dana Baru $30 Juta, SparkLabs Bidik Berikan Seed Funding ke Startup Indonesia