Lanskap E-commerce di Indonesia dari Perspektif Konsumen

Laporan terbaru eIQ bertajuk “Uncovering the Value of Indonesia’s Top Online Platforms” mencoba menggambarkan kondisi terkini dari lanskap e-commerce dan online marketplace di Indonesia. Mengawali laporannya, ecommerceIQ mendaftar 6 platform teratas, didasarkan pada tingkat frekuensi kunjungan dan peringkat aplikasi di Play Store.

Gambar 1

Memvalidasi popularitas keenam pemain di atas, survei menanyakan kepada 1240 responden penikmat online shopping seputar beberapa faktor penilaian terhadap platform belanja online, mulai dari reputasi, perbandingan harga, hingga layanan logistik.

Gambar 2

Dari temuan tersebut maka dapat dipetakan pola-pola yang menjadi karakteristik masing-masing penyedia layanan.

(1) Kategori C2C dan B2C semakin melebur

Daftar 6 pemain teratas kebetulan memiliki porsi yang imbang antara kategori C2C (Consumer-to-Consumer): Bukalapak, Shopee, Tokopedia; dan B2C (Business-to-Consumer): Blibli, Jd.id, Lazada. Dari penilaian reputasi, masing-masing memiliki angka yang cukup berimbang, Blibli dan Tokopedia mendapati angka tertinggi. Penilaian terhadap reputasi umumnya didasarkan pada kepercayaan konsumen yang terbentuk dari beberapa faktor, di antaranya jaminan produk, kualitas layanan, hingga efektivitas sistem yang disajikan.

JD.id dan Shopee adalah pemain yang paling baru, keduanya memiliki cara berbeda untuk berbaur dalam persaingan dengan top-players yang ada. Shopee misalnya, dengan nilai investasi besar yang didapat dari perusahaan induk –Sea (dulunya Garena)—mereka memanjakan konsumen dengan beragam diskon produk. Dari tabel penilaian di atas, Shopee memiliki peringkat teratas dalam urusan produk murah dan biaya pengiriman gratis. Sedangkan JD.id menguatkan brand dengan jaminan produk jualannya asli.

Meleburnya kategori C2B dan B2C juga ditengarai hadirnya “Official Store” di online marketplace –sebagai contoh brand tertentu memiliki tempat khusus di Bukalapak untuk menjual produk dari distributor resminya. Implikasinya justru menguatkan SKU produk yang dimiliki C2C, hal tersebut sekaligus tervalidasi dalam penilaian kelengkapan produk dengan persentase tertinggi didapat oleh Tokopedia.

Namun demikian salah satu keuntungan yang dapat dioptimalkan oleh para pemain B2C ialah seputar pengalaman pelanggan. Beberapa aspek yang mulai dieksplorasi misalnya menekankan pada kualitas produk, peningkatan layanan logistik –misalnya Lazada mengakomodasi layanan eLogistics secara mandiri atau bekerja sama dengan layanan on-demand untuk one-day-delivery, opsi pembayaran yang lebih beragam –memungkinkan adanya mekanisme seperti cash-on-delivery.

Gambar 3

(2) Produk elektronik dan fesyen menjadi komoditas utama

Persentase tertinggi yang dihimpun dari responden survei menyatakan produk elektronik dan fesyen menjadi komoditas yang paling banyak. Dua kategori produk tersebut hampir merata kuat di platform e-commerce yang ada di Indonesia. Menyusul namun belum begitu signifikan ialah bahan kebutuhan sehari-hari.

Gambar 4

Untuk kategori fesyen, Shopee menjadi pemimpin. Yang menarik justru di kategori elektronik, layanan B2C lebih tinggi persentasenya –dalam hal ini Bukalapak dan Tokopedia. Sebelumnya banyak yang mengasumsikan secara kasat mata bahwa untuk pembelian barang-barang elektronik tendensi orang akan memilih produk B2C untuk jaminan kualitas. Blibli dan JD.id idealnya dapat mengeksplorasi lebih mendalam untuk kategori kebutuhan sehari-hari. Tren pembelian produk tersebut meningkat melalui e-commerce lantaran dukungan berbagai faktor, termasuk yang paling signifikan ialah logistik.

Tak kalah penting soal rata-rata pengeluaran untuk berbelanja secara online. Sebagian besar responden menjawab di angka Rp100.000 hingga Rp500.000. Mengindikasikan persentase terbesar komoditas produk yang paling sering dibeli dengan rentang harga tersebut –sehingga jika dihubungkan dengan data sebelumnya kategori fesyen paling masuk akal menjadi komoditas terbesar e-commerce di Indonesia saat ini.

Gambar 5

(3) Logistik masih menjadi isu utama efektivitas e-commerce

Terdapat beberapa hal yang dikeluhkan oleh responden saat menggunakan platform e-commerce. Pertama soal waktu pengiriman yang sering kali lama. Sebenarnya untuk proses pengiriman tidak sepenuhnya dikontrol oleh penyedia platform e-commerce, melainkan pihak ketiga yang dipilih konsumen. Hanya saja mau tidak mau logistik memang menjadi salah satu dari bagian sistem terpenting dari jual beli online. Isu lain cukup merata, hanya saja ada permasalahan tentang pengalaman pengguna untuk platform Bukalapak dan permasalahan harga barang yang terlampau mahal di Blibli –dengan persentase tertinggi.

Gambar 6

Kematangan dalam menggunakan layanan belanja online justru terlihat pada data di atas. Proses pembayaran tidak lagi menjadi isu yang signifikan di setiap platform yang ada. Persentase terbesar masih berada pada opsi transfer bank. Namun yang menarik opsi COD cukup mencolok untuk JD.id dan Lazada, lantaran keduanya memang memberikan opsi tersebut.

Gambar 7

(4) Tren penggunaan e-commerce berdasarkan gender

Beda jenis kelamin umumnya akan memiliki kecenderungan yang berbeda. Hal tersebut turut ditunjukkan pada opsi yang diberikan responden dalam pemilihan layanan e-commerce. Grafik di bawah ini menggambarkan perbandingan untuk peminat di masing-masing platform berdasarkan gender.

Gambar 8

Data di atas tentu didukung dengan ulasan selanjutnya, yakni soal kebutuhan yang banyak dicari. Shopee lebih banyak digunakan oleh pengguna perempuan, hal tersebut berkorelasi dengan kategori produk yang banyak dicari perempuan ialah seputar kecantikan. Sementara untuk produk kebutuhan sehari-hari pengguna laki-laki yang lebih banyak memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian secara online.

Grafik kategori di atas cukup relevan dengan pengalaman belanja yang diharapkan. Contohnya otomotif, didominasi oleh konsumen perempuan, pasalnya konsumen laki-laki memiliki kecenderungan lebih suka memanjakan diri  dengan produk otomotif secara langsung di bengkel, dan sebagainya.

Informasi lebih lanjut tentang cara mendapat laporan lengkapnya bisa diperoleh di sini:



Disclosure: artikel ini adalah hasil kemitraan DailySocial dan eIQ

Tren yang Akan Membentuk [Lanskap] Ecommerce Asia Tenggara di 2018

Masuknya Alibaba ke Asia Tenggara merupakan bukti nyata bagi para pengusaha dan bisnis bahwa mereka sedang menuju sesuatu yang besar dan hal ini berujung kepada tahun yang subur bagi dunia ecommerce.

“Kita baru tiba di permulaan, [transaksi Alibaba-Lazada] ini yang akan memulai keseluruhan siklusnya. Hal ini akan menarik lebih banyak lagi investasi global dan pengusaha yang memandang wilayah ini sebagai tempat yang tepat untuk memulai bisnis.” – Stefan Jung, founding partner Venturra Capital yang berbasis di Indonesia dalam wawancara dengan Tech in Asia.

Bahkan ketika kita semakin mendekati 2018, sejumlah “korban” telah berjatuhan di salah satu pasar ecommerce berkembang yang paling menjanjikan ini.

Alibaba melipatgandakan investasinya di Lazada dengan meningkatkan bagiannya dari 51 persen menjadi 83 persen. Dan dalam upaya untuk memonopoli pasar, mereka juga “menancapkan kukunya” di Tokopedia, yang bisa dikatakan sebagai salah satu kompetitor terbesar Lazada di Indonesia.

Di tempat lain, Tencent, baik secara langsung atau melalui JD, telah mulai mengeksekusi buku pedoman Cina mereka dengan berinvestasi di perusahaan-perusahaan seperti Sea, Go-Jek, Traveloka, Pomelo Fashion, dan Tiki.vn.

Melengkapi trifecta ini adalah KKR, yang melalui Emerald Media, menaruh $65 juta dalam ‘agen senjata’ ecommerce aCommerce dalam usahanya mereplikasi dominasi Baozun dalam lansekap “TP” (Tmall Partner) Cina.

Permainan ini tidak akan berhenti di sini.

Memanfaatkan kekuatan konsolidasi mereka yang baru, para marketplace akan melintasi batas tradisional mereka dan memasuki area-area seperti merek label pribadi dan distribusi offline. Para brand juga akan semakin merasa terpojok menghadapi situasi yang seperti memakan buah simalakama.

Mereka yang berhasil bertahan di 2018 harus bisa menemukan niche yang lebih menjanjikan, misalnya fashion atau home, karena sudah tidak ada ruang yang cukup bagi pemain ecommerce horisontal besar lainnya. Sementara yang lain akan tergoda untuk mengambil jalan pintas yang penuh resiko seperti mengumpulkan pendanaan melalui ICOs.

Di tahun 2018 kita juga akan mendapati Tencent, bukan Alibaba atau perusahaan lokal, muncul sebagai pemenang dalam pembayaran mobile di Asia Tenggara.

Mungkin ini saat yang tepat untuk belajar bahasa Mandarin.

Plata o Plomo: Ecommerce di Asia Tenggara akan semakin terbelah menjadi kamp Alibaba dan Tencent, dan perusahaan lokal akan memilih sisi

Karena kesamaannya dengan Cina kurang lebih 10 tahun lalu, Asia Tenggara telah menjadi ladang emas bagi para raksasa internet Cina yang ingin berkembang di luar daratan. Akuisisi Alibaba atas Lazada tahun lalu menjadi pemicu “adu senjata” antara Alibaba dan Tencent di Asia Tenggara, dan sebagai gantinya, menyebabkan perusahaan-perusahaan lokal harus memilih sisi.

Sumber foto: Sohu
Sumber foto: Sohu

Sebagai tambahan dari akuisisinya atas Lazada, Alibaba juga memimpin investasi $1.1 juta atas Tokopedia di tahun 2017, melanjutkan pertaruhan besarnya atas ecommerce. Ke depannya, Alibaba diharapkan akan memposisikan Lazada dan Tokopedia sebagai Tmall dan Taobao di Asia Tenggara.

Sementara itu, Tencent secara agresif telah mencoba mereplikasi formula tiga-cabang yang telah sukses membantunya dalam pertarungannya melawan Alibaba di Cina: gaming, mobile, dan pembayaran.

Langkah pertama adalah menjadi pemegang saham terbesar dari Sea (sebelumnya Garena), perusahaan gaming ternama yang juga mengelola Shopee, marketplace ecommerce mobile-first. Langkah keduanya adalah bertaruh di Go-Jek, satu dari beberapa perusahaan unicorn di Indonesia, untuk menjadi “super app” seperti WeChat dan WeChat Pay.

Langkah ini sangat dimengerti mengingat WeChat Pay saat ini meraih 40% market share di Cina vs. 54% milik Alipay – meningkat dari 11% di 2015.[1][2]

 

Faksi Alibaba Faksi Tencent

(Tencent adalah pemegang saham terbesar di JD[3])

Lazada $1 miliar untuk 51% (Apr 2016)

$1 miliar untuk 83% (Jun 2017)[4]

Tokopedia $1.1 miliar pendanaan Seri F (Agu 2017)[5]
SEA (Shopee) 39.7%[6]
JD (Thailand) $250 juta dari $500 juta joint-venture dengan Central Group[7]
Go-Jek $100-150 juta (Aug 2017)

$100juta (Aug 2017) via JD[8]

Traveloka $0-150 juta (Jul 2017) via JD[9]
Pomelo Fashion $19 juta (Oct 2017, Lead) via JD[10]
Tiki.vn $44 juta (Nov 2017) via JD[11]

 

“Apakah saat ini ada lahan yang tersedia untuk aset seperti ini? Saya rasa dalam hal lahan, mereka [Tencent] mengikuti kami. Mereka melihat bahwa kami telah memposisikan diri kami dengan baik, maka itu mereka sedang bermain mengejar ketertinggalan. Karena kami telah berada di posisi ini, apa yang ingin kami lakukan selanjutnya adalah bekerja sama dengan para pengusaha lokal.” — Joe Tsai, Vice Chairman Alibaba, berbicara kepada Bloomberg.

Harga saham Tencent dan Alibaba meningkat dalam 7 tahun terakhir dibandingkan dengan gabungan Amazon dan NASDAQ. Sumber: Yahoo Finance (December 4, 2017)
Harga saham Tencent dan Alibaba meningkat dalam 7 tahun terakhir dibandingkan dengan gabungan Amazon dan NASDAQ. Sumber: Yahoo Finance (December 4, 2017)

Dengan kondisi pasar keduanya, Tencent dan Alibaba, yang berada pada posisi tertinggi, kita bisa berharap bahwa tren ini akan berlanjut di sepanjang 2018 dengan keduanya melahap lebih banyak lagi perusahan-perusahaan lokal lintas lansekap ecommerce dan meningkatkan saham mereka di perusahaan yang telah ada.

Menghadapi pertumbuhan organik yang lambat, Amazon akan menempuh jalur akuisisi untuk mempercepat ekspansi ecommerce-nya di wilayah ini

Sumber foto: Getty Images
Sumber foto: Getty Images

Masuknya Amazon di “Asia Tenggara” merupakan kejutan terbesar yang pada saat bersamaan, juga tidak mengejutkan.

Tidak mengejutkan karena peluncuran Amazon yang telah lama dinantikan dan dibicarakan di Singapura telah diberitakan besar-besaran oleh media bahkan sebelum layanan Prime Now secara resmi tersedia pada 26 Juli 2017.

Mengejutkan karena pencapaian Amazon yang diharapkan akan terjadi lintas wilayah ini berakhir sebelum dimulai.

Para fanboy Amazon merayakan peluncuran sebuah versi kecil dari Amazon – Amazon Prime Now – yang hanya menawarkan barang-barang kebutuhan rumah tangga dan sehari-hari.

“Saya mengharapkan lebih banyak barang yang tidak bisa didapatkan di Singapura, contohnya Sriracha atau hal kecil lain yang tidak tersedia di Singapura, namun kebanyakan barang di Prime Now adalah barang dasar yang bisa didapatkan dari Fairprice…” – Pengguna Reddit Ticklishcat

Namun ada alasan yang bagus untuk hal ini.

Tidak masuk akal bagi Amazon untuk membangun sebuah operasi lokal besar-besaran di negara kota ini. Penduduk Singapura, dengan pilihan dari Free Amazon Global Saver Shipping, sebenarnya sudah bisa medapatkan pengiriman barang gratis dari Amazon secara massal untuk pesanan di atas $125.

Singapura hanya menempati posisi #29 dalam hal sesi/tahun di Amazon.com dalam skala global namun #4 jika dinormalisasikan dengan ukuran populasi. Dengan rata-rata 14.04 sesi per orang yang mengunjungi Amazon.com per tahun, Singapura menempati posisi teratas di antara semua negara di Asia.

Penduduk Singapura sudah berbelanja langsung dari Amazon tanpa kehadiran operasi lokal penuh dari Amazon: Singapura hanya menempati posisi #29 akan traffic ke Amazon.com namun #4 saat dinormalisasi ke ukuran populasi (#1 di Asia). Sumber: SimilarWeb, World Bank
Penduduk Singapura sudah berbelanja langsung dari Amazon tanpa kehadiran operasi lokal penuh dari Amazon: Singapura hanya menempati posisi #29 akan traffic ke Amazon.com namun #4 saat dinormalisasi ke ukuran populasi (#1 di Asia). Sumber: SimilarWeb, World Bank

Peluncuran Amazon Prime di Singapura bulan ini menjadikan Amazon lebih tidak mungkin lagi membangun operasi lebih dari layanan Amazon Prime Now. Amazon tidak lagi mensubsidi pengiriman gratis untuk pesanan di atas $125 ke Singapura namun para anggota Prime Singapura mendapatkan pengiriman gratis untuk pesanan di atas S$60 di website global Amazon dan keuntungan lainnya dengan biaya keanggotaan sebesar S$8.99 per bulan.

Tidak banyak lagi hal yang terdengar tentang ekspansi lebih lanjut dari Amazon di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Thailand, di mana pasarnya secara cepat dilahap oleh Alibaba dan Tencent.

Dengan semakin sempitnya waktu untuk benar-benar masuk secara organik ke pasar-pasar yang berkembang pesat di Asia Tenggara, saham perusahaan yang berada di nilai tertinggi sepanjang masa, dan memori kegagalan mereka di Cina yang belum lama terjadi, kita bisa mengharapkan Amazon setidaknya melakukan satu akuisisi besar di 2018 untuk mempercepat ekspansi regionalnya.

Offline menjadi online yang baru: pemain ecommerce murni akan meluncurkan toko fisik untuk mengimbangi biaya akuisisi konsumen online yang tinggi, memperbaiki last-mile fulfillment, dan mempercepat pertumbuhan

Selagi retailer offline tradisional seperti Central di Thailand dan Matahari di Indonesia berlomba-lomba memindahkan bisnis mereka ke online, pemain ecommerce online murni justru akan melakukan ekspansi ke ranah offline mulai 2018.

Dengan saluran akuisisi konsumen online seperti Google dan Facebook yang dengan cepat mencapai kejenuhan dan menghasilkan profit yang semakin rendah, pemain ecommerce seperti Pomelo dan Lazada akan semakin melirik saluran offline untuk meraih konsumen baru.

Pomelo dalam beberapa tahun terakhir ini baru mencoba peruntungannya di toko pop-up, namun dengan penerimaan dana baru series B sebesar $19 juta, mereka baru saja meluncurkan toko pop-up terbesarnya di Siam Square, pusat fashion di Bangkok. Toko-toko ini memiliki konsep “click-and-collect”, memungkinkan kustomer untuk memesan secara online dan mencoba barangnya secara offline di toko sebelum memutuskan mana yang akan disimpan atau dikembalikan.

Sumber foto: Pomelo
Sumber foto: Pomelo

“Dalam fashion, penghalang nomor satu dalam pembelian adalah kebutuhan untuk mencoba produk disertai dengan kesulitan melakukan pengembalian barang. Kehadiran toko offline akan menjawab halangan ini secara langsung. Terlebih lagi, pelanggan bisa diakuisisi secara offline dan data dari online bisa digunakan untuk meningkatkan penjualan dan efisiensi operasional secara offline. Pendeknya, gabungan dari offline dan online merupakan strategi optimal untuk ritel fashion ke depannya.” — David Jou, Co-Founder dan CEO, Pomelo Fashion.

Love Bonito, merek fashion online-first lainnya dari Singapore, secara resmi meluncurkan toko flagship permanen di Orchard Road setelah tujuh tahun menjadi pemain ecommerce murni.

Sumber foto: Love Bonito
Sumber foto: Love Bonito

Sementara itu, Lazada kemungkinan akan mengikuti jejak Alibaba di Cina di mana mereka meluncurkan supermarket Hema di Beijing dan Shanghai. Tidak hanya untuk meningkatkan pengalaman brand dan akuisisi konsumen, toko-toko offline baru ini juga berperan sebagai pusat pemenuhan (fulfillment) yang secara efektif mengimbangi kekurangan infrastruktur logistik di Asia Tenggara.

Supermarket Hema milik Alibaba di Cina. Sumber foto: Quartz
Supermarket Hema milik Alibaba di Cina. Sumber foto: Quartz

Tidak hanya untuk meningkatkan pengalaman brand dan akuisisi konsumen, toko-toko offline baru ini juga berperan sebagai pusat pemenuhan (fulfillment) yang secara efektif mengimbangi kekurangan infrastruktur logistik di Asia Tenggara.

Toko pop-up Pomelo di Siam Center memberlakukan click-and-collect, memungkinkan kostumer untuk membeli barang online dan mencobanya di toko sebelum memutuskan produk mana yang ingin disimpan atau dikembalikan.

CEO Lazada Max Bittner telah memberi isyarat akan kemungkinan peluncuran toko fisik di Indonesia saat berbicara di sebuah konferensi tahun ini.

Dalam satu dekade terakhir di Cina, Alibaba mengalami kenaikan ecommerce tahunan (year-on-year) sebesar 50%+ hingga menjadi sebesar sekarang ini. Namun demikian, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ecommerce di Cina, Alibaba kemudian melipat-gandakan inisiatif seperti 11.11, “New Retail” (toko pop-up pintar di sekitar Cina), dan ekspansi pasar untuk mempercepat penjualan mereka (Asia Tenggara).

Walaupun Asia Tenggara diperkirakan akan menjadi cerita ecommerce besar selanjutnya, ecommerce hanya terhitung 1-2% dari total ritel saat ini. Jika para perusahaan seperti Lazada dan Shopee ingin tumbuh lebih cepat dari yang dimungkinkan pasar, memasuki ranah offline menjadi pilihan yang jelas.

Para startup ecommerce baru akan menggunakan ICO untuk mengumpulkan dana demi melawan para raksasa

Dengan Asia Tenggara semakin dikuasai oleh para raksasa seperti Alibaba dan Tencent dengan karakter pasar “winner-takes-all”, para startup ecommerce akan mencari alternatif untuk membiayai bisnis mereka.

Masuklah yang kini sedang populer, Initial Coin Offerings (ICOs).

Pengumpulan dana melalui cara ini di Asia Tenggara dipionirkan oleh Omise, sebuah startup fintech yang berbasis di Thailand, yang sukses mengumpulkan $2.5 juta dalam beberapa jam untuk membangun sistem pembayaran yang terdesentralisasi.

Berdasarkan spekulasi dini atas masuknya Amazon ke ranah cryptocurrency, kita akan memiliki lahan yang subur bagi ICO pertama untuk startup ecommerce. Sudah ada sebuah startup bernama HAMSTER yang menjual token HMT untuk membangun marketplace terdesentralisasi yang menjanjikan “tanpa biaya, tanpa perantara”.

09

Platform ecommerce yang revolusioner dibiayai oleh ICOs atau skema ponzi?
Platform ecommerce yang revolusioner dibiayai oleh ICOs atau skema ponzi?

Kita akan melihat para startup ecommerce memanfaatkan ICOs untuk membiayai akusisi konsumen, pembangunan produk baru, dan membiayai inventaris. Setidaknya, hingga gelembungnya pecah

2018 akan menjadi gelombang konsolidasi ecommerce terakhir seiring para pemain lokal menyesuaikan diri dengan Aturan Dunia Baru

Kami telah berbagi sekian banyak cerita mengenai korban dan konsolidasi di pertarungan tumpah darah ecommerce dalam prediksi tahunan sebelumnya.

Rakuten asal Jepang menjual hampir semua asetnya di Asia Tenggara saat keluar dari pasar pada 2015/2016. Rocket Internet melepaskan Zalora Thailand dan Vietnam di diskon besar-besaran pada 2016 dan menjual bisnisnya di Filipina kepada konglomerat lokal Ayala Group di tahun berikutnya.

Di Thailand, Ascend Group menaruh aset-asetnya, WeLoveShopping dan WeMall, dalam moda “life support” dan kemudian fokus kepada fintech.

Di Indonesia, bermunculan berita mengenai penjualan saham SK Planet di Elevenia kepada konglomerat Indonesia Salim Group yang diikuti oleh berita penawaran entitas mereka di Malaysia antara Alibaba dan JD.

Awal tahun ini, perusahaan telco terbesar di Indonesia Indosat Ooredoo menutup situs ecommerce-nya Cipika. Alfamart, rantai toko kelontong terbesar kedua di Indonesia juga harus memperkecil dan mempivot usaha ecommerce-nya, Alfacart, dari marketplace umum menjadi kanal online khusus grocery.

Memasuki 2018, perhatian akan tertuju pada para pemain ecommerce horizontal lokal. Seiring meningkatnya pertaruhan Alibaba dan Tencent, bisa diharapkan akan jatuh lebih banyak “korban” di tahun yang baru.

Go-Pay akan menjelajah ke luar Indonesia melalui Sea, Traveloka, dan JD untuk menjadi WeChat Pay versi Asia Tenggara

Situasi ecommerce di Indonesia saat ini terlihat seperti situasi Cina di tahun 2008 —  kecepatan perubahannya tidak terbayangkan. Saat saya mengunjungi kantor kami di Jakarta 12 bulan lalu, hampir tidak ada seorang pun yang menggunakan platform pembayaran dan dompet mobile milik Go-Jek, Go-Pay.

Enam bulan kemudian, hampir semua kolega menggunakan Go-Pay untuk mentransfer uang antar-sesama dan untuk membayar produk maupun jasa.

Di sebagian pasar berkembang Asia Tenggara (kecuali Singapura dan Malaysia), penetrasi kartu kredit masih rendah, hanya mencapai satu digit dan sebagian besar penduduk bahkan tidak memiliki akun bank.

Sumber: Global Findex, World Bank
Sumber: Global Findex, World Bank

Sayangnya, hanya beberapa startup fintech dan pembayaran di wilayah ini yang bisa membangun produk yang menjawab kurangnya penetrasi kartu kredit dan populasi unbanked yang besar. Mayoritas dari mereka malah membangun gerbang pembayaran dan dompet yang bergantung kepada kartu kredit dan warisan infrastruktur kartu kredit seperti di Amerika Serikat (Apple Pay, anyone?)

Tidak mengherankan jika cash-on-delivery (COD) masih mendominasi lebih dari 70% transaksi menurut data dari ecommerceIQ.

Mereka yang fokus menargetkan populasi unbanked dengan dompet mobile yang diisi secara tunai seperti True Money dari Thailand mengalami kesulitan mencapai “nilai utama produk” yang berkelanjutan dan meraih massa.

“Komunitas, Commerce, dan Pembayaran saling terhubung di Dunia Digital. Sejauh ini, semua permainan pembayaran mobile yang sukses, secara global, terpusat pada dagang dan komunitas sebagai sumbunya. PayPal dimulai dengan eBay, Alipay dengan Alibaba/Tmall/Taobao, WeChat Pay memanfaatkan WeChat/QQ dan Amazon Pay memiliki Amazon. Karena alasan inilah, bisnis pembayaran/dompet yang berdiri sendiri akan mengalami kesulitan.” — Gaurav Sharma, Pendiri Atlantis Capital

Go-Pay menjawab masalah fundamental ini dengan memungkinkan penggunanya mengirimkan pembayaran antar sesama (peer-to-peer/P2P) dan mengisi ulang dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek yang berperan sebagai mesin ATM mobile.

Isi ulang dompet mobile Go-Pay dimungkinkan dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek.
Isi ulang dompet mobile Go-Pay dimungkinkan dengan memberikan uang tunai kepada supir Go-Jek.

Lebih penting lagi, dengan GoJek sebagai bagian dari faksi Tencent, kita bisa mengharapkan perusahaan tersebut mendorong Go-Pay ke negara-negara di Asia Tenggara lainnya melalui platform komunitas dan dagang seperti Sea (Garena, Shopee, dll), Traveloka, dan JD).

Setelah beredarnya rumor pada bulan November, Go-Jek akhirnya mengumumkan akuisisinya terhadap Kartuku, Mapan, dan Midtrans. Yang terakhir, sebagai salah satu gerbang pembayaran terdepan di Indonesia, akan memberikan Go-Pay saluran distribusi tambahan dan menggunakan kasus-kasus seperti MatahariMall, Tokopedia, dan Garuda Indonesia — mendorong Go-Pay untuk melewati ranah P2P dan memasuki pembayaran B2C.

Lawan kuat bagi “WeChat dari Asia Tenggara” ini adalah Grab, yang memiliki 2.5 juta perjalanan harian menjadikannya platform ride-hailing terbesar di Asia Tenggara. GrabPay, diluncurkan tahun ini, merupakan usaha Grab untuk menjadikan Singapura sebagai masyarakat non-tunai, dengan rencana ekspansi di wilayah Asia Tenggara pada tahun 2018.

Haruskah Go-Jek khawatir? Tidak juga.

Singapura bukan tempat tes yang ideal untuk meluncurkan dompet mobile karena negaranya telah memiliki platform pembayaran non-tunai yang ada di mana-mana — “kartu kredit”. Dan kerja sama GrabPay baru-baru ini dengan Ovo dari Lippo Group tidak menghasilkan banyak perhatian atau menunjukkan pemakaian yang luas.

“Walau sepertinya terlihat sebagai praktek yang umum untuk melakukan tes (ide) pertama di Singapura, dan kemudian membawanya ke regional dan kemudian ke seluruh dunia, dengan hormat, saya kira hal ini tidak masuk akal di situasi dunia saat ini.” — Min-Liang Tan, Co-Founder dan CEO dari Razer

Go-Pay, di lain pihak, memberikan nilai lebih kepada penggunanya di negara di mana hanya 36% dari penduduknya memiliki akun bank dan hanya 2% memiliki kartu kredit. Pasar berkembang seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina memiliki kesamaan akan kurangnya infrastruktur finansial seperti Indonesia.

Go-Jek sebagai bagian dari faksi Tencent memiliki akses ke saluran distribusi yang lebih beragam dan menawarkan bermacam kasus sehari-hari seperti gaming (Garena), belanja (Shopee, JD), travel (Traveloka) dan lain-lain (Go-Jek sendiri).

Marketplace fashion dan kecantikan baru yang berbasis mobile akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Zalora

Zalora, bisnis ecommerce fashion milik Rocket Internet, telah mengalami kesulitan di Asia Tenggara sejak peluncurannya di 2012. Zalora Thailand dan Vietnam kemudian diambil oleh konglomerat ritel Thailand Central Group dengan harga yang murah, sementara entitasnya di Filipina sebagian dijual kepada grup real estate Ayala.

Bahkan ada juga rumor bahwa Zalora Indonesia membicarakan exit ke peritel lokal MAP, yang kemudian disanggah.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada tantangan yang dialami perusahaan ini: 1. Pedagang langsung berjualan di Facebook, Instagram dan LINE, 2. Kontrol atas brand-brand yang dikuasai satu atau dua grup konglomerat ritel seperti Central di Thailand, MAP di Indonesia, dan SSI Group di Filipina.

Dua faktor tersebut mempersulit Zalora untuk mengubah arah menjadi marketplace bagi brand premium seperti ASOS.

Tantangan yang dihadapi Zalora meninggalkan sebuah kekosongan yang semakin banyak diisi oleh marketplace fashion mobile-first yang lebih gesit yang bisa melihat kesempatan di ruang yang didominasi oleh pasar-massal, platform ecommerce umum seperti Lazada dan Shopee.

Seperti dibuktikan oleh kesulitan Amazon dalam meminang merek fashion premium di AS, pemain merek mewah tidak menyukai berjualan di platform massal di mana katalog barang mereka muncul berdekatan dengan deterjen dan mesin cuci.

“Setelah membeli Whole Foods, Amazon sekarang memiliki akses ke kulkas terkaya di negara ini namun mereka masih tidak bisa memasuki lemari kita karena merek fashion dan beauty yang aspirasional tidak akan mau berdistribusi di platform mereka. Mengapa? Karena mereka tidak bodoh dan sadar bahwa cara Amazon melakukan kerja sama dengan para merek seperti cara sebuah virus bekerja sama dengan induknya.” — Scott Galloway, Founder L2 dan Professor di NYU Stern.

Di Cina, baik Tmall dan JD harus mengerahkan usaha yang luar biasa untuk menarik para merek fashion. Pada bulan Oktober, JD meluncurkan TopLife, platform online mewah yang berdiri sendiri untuk memberikan pengalaman high-end yang dijanjikan oleh merek-merek high-end ini.  Alibaba juga meluncurkan Luxury Pavilion, sebuah bagian dalam Tmall yang dikhususkan untuk merek mewah seperti Burberry dan Hugo Boss.

Mengepalai gelombang baru dari marketplace fashion berbasis mobile di Asia Tenggara adalah Zilingo, yang baru saja mendapatkan pendanaan seri B sebesar $18 juta, dan Goxip, startup berbasis di Hong Kong yang baru saja menutup pendanaan seri A sebesar $5 juta dengan rencana untuk memasuki Thailand. Di Indonesia, ada juga LYKE, yang ironisnya, didirikan oleh ex-CMO dari Zalora.

Diuntungkan dengan retrospeksi dan peran social commerce dalam menumbuhkan sektor fashion, para pemain baru ini akan menawarkan elemen seperti chat dan permainan konten murni serta jaringan influencer yang bisa mengatasi tantangan biaya akuisisi konsumen yang sering ditemui dalam upaya memperbesar ecommerce.

Marketplace akan “mendewasa” dan membersihkan diri dari “grey market” untuk melayani merek-merek mewah dan blue chip

Dalam enam tahun terakhir, kebanyakan dari pertumbuhan awal ecommerce difokuskan untuk meningkatkan GMV dengan memasukkan semua penjual dan merek yang ingin berjualan secara online.

Pada 2018, marketplace seperti Lazada dan Shopee berusaha memasukkan merek yang lebih besar, namun hal ini mengharuskan mereka untuk bisa mengontrol penjual “grey market” dan barang palsu serta membangun lingkungan di mana merek besar akan merasa nyaman untuk berjualan.

Alibaba melewati proses yang sama di Cina, ketika pembicaraan seputar pengontrolan barang palsu dan produk “grey market” yang ada di Tmall and Taobao mencapai puncaknya pada waktu IPO Alibaba pada 2014.

Berdasarkan data dari oleh platform analisis pasar BrandIQ, 80% SKU dari raksasa produk konsumen seperti Unilever, Samsung, dan L’Oreal rata-rata dijual oleh reseller pasar gelap yang tidak sah. SKU “grey market” ini dijual dengan harga 30% lebih rendah dari toko flagship resmi dan reseller resmi.

13

Mengapa hal ini menjadi penting? Karena penjualan pasar abu-abu berdampak pada citra penjualan merek di toko-toko resmi.

“Akhir-akhir ini, ledakan penjual pihak ketiga di situs online menyebabkan produk asli dari merek seperti Nike, Chanel, The North Face, Patagonia dan Urban Decay dijual di Amazon meskipun mereka tidak mengotorisasi penjualan tersebut, melemahkan kontrol mereka akan harga dan distribusi,” ujar Wall Street Journal.

Nike, misalnya, menolak untuk berjualan langsung melalui Amazon untuk waktu yang lama, menghindari pelemahan mereknya. Namun dengan tidak berjualan secara resmi di marketplace, meninggalkan ruang yang, seperti bisa kita lihat dari data BrandIQ sebelumnya, secara cepat diisi oleh penjual yang tidak resmi, reseller yang mencari kesempatan dari arbitrase.

Pelanggan seringnya mengganggap pembelian dari pasar abu-abu ini sebagai pembelian langsung dari brand tersebut, dan saat mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan, akan menyalahkan brand dan bukannya reseller yang tidak sah tersebut

Data BrandIQ menunjukkan bahwa nilai rata-rata SKU pasar kelabu 24% lebih rendah daripada ulasan untuk produk serupa yang dijual melalui toko resmi atau toko utama.

14

Memasuki 2018, kita akan melihat dorongan baik dari marketplace dan brand untuk mengatasi penjualan pasar abu-abu di Asia Tenggara. Marketplace akan menggunakan pegangan yang lebih erat bagi para reseller pihak ketiga untuk menarik merek yang lebih besar, sementara para brand akan tetap membangun kehadiran resmi di marketplace untuk secara proaktif mengelola pengalaman pelanggan dan citra brand.

Marketplace dan e-tailers akan memperkenalkan label pribadi dan mengalienasi brand

Seiring dengan semakin dewasanya pasar ecommerce di Asia Tenggara, marketplace, e-tailer dan startup ecommerce akan semakin teliti mencari cara untuk meningkatkan margin. Lewatlah sudah hari-hari mengejar pertumbuhan garis atas yang agresif dan pangsa pasar yang menghalalkan segala cara.

Dengan akuisisi Lazada post-Alibaba dan Shopee pasca-IPO (sebagai bagian dari Sea), layanan bernilai tambah apa yang akan dimiliki perusahaan-perusahaan ini untuk mencapai pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan?

Di kesempatan ini, perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara menyontek dari buku permainan Cina. Lazada meluncurkan unit Lazada Marketing Solutions untuk membantu memonetisasi 23 juta pengguna aktif tahunannya melalui pengiklanan mirip seperti bagaimana Tmall and Taobao mengumpulkan biaya untuk iklan di Cina.

Saat ini, Lazada menawarkan display ads dan iklan promosi produk programmatic bagi pelanggannya namun Lazada diharapkan meluncurkan iklan pencarian pay-per-click pada tahun 2018, berkompetisi dengan Google dan Facebook. Lintas wilayah Asia Tenggara, Shopee telah meluncurkan iklan pencarian per-per-click.

Lebih dari sekadar periklanan, kita bisa mengharapkan lebih banyak marketplace dan e-tailer akan mengikuti jejak Amazon dalam meluncurkan merek label pribadi untuk meningkatkan margin. Dengan data yang dikumpulkan dari merek pihak ketiga, platform ecommerce ini mengetahui betul barang jenis apa yang laku di pasaran, siapa pasarnya, serta kapan dan di mana penjualannya mencatat hasil terbaik.

Flipkart, satu dari marketplace terdepan di India yang bersaing dengan Amazon, baru-baru ini mengumumkan target mereka mendapatkan 20-22% kontribusi penjualan dari label pribadi dalam lima tahun ke depan.

“Saat kami memutuskan untuk memasuki label pribadi pada pertengahan 2016, sebuah “Tim Macan’ untuk merek label pribadi kemudian dibentuk secara internal untuk meneliti sekitar 50 peritel dari seluruh dunia, termasuk Eropa, AS, Cina, dan India, untuk membayangkan seperti apa lansekap label pribadi bagi Flipkart dalam beberapa tahun ke depan. Penelitian menunjukkan bahwa label pribadi bisa berkontribusi 10-20% dari bisnis suatu perusahaan. Sebagai contohnya, label pribadi dari perusahaan AS Costco Wholesale, Kirkland, berkontribusi sebesar 20-25% kepada bisnis mereka,” ujar Adarsh Menon, Kepala Label Pribadi Flipkart dalam interview dengan The Hindu.

Meluncurkan merek label pribadi di Asia Tenggara bukanlah hal yang baru. Zalora meluncurkan merek label pribadi EZRA sejak 2013 yang diikuti oleh Lazada dengan LZD Premium Collection pada 2014. Namun demikian, dengan fokus kepada pertumbuhan top line pada periode 2013-2015, merek label pribadi ini kurang diprioritaskan seperti bisa dilihat dari jumlah terbatas yang masih dijual di Zalora dan Lazada saat ini.

Althea, sebuah e-retailer produk kecantikan Korea yang meraih pendanaan seri B sebesar $7 juta, secara spesifik mengatakan bahwa mereka akan menggunakan dana tersebut untuk meluncurkan lebih banyak produk label pribadi.

“Berdasarkan data pengguna yang besar yang telah kami kumpulkan.. Kami saat ini bisa mengerti kebutuhan spesifik dari pelanggan kami di setiap pasar, mengumpulkan masukan secara instan melalui platform online kami, dan secara cepat mengubah itu semua menjadi satu produk dalam satu atau dua bulan,” ujar Co-Founder dan CEO Althea Frank Kang. “Kami memiliki pengetahuan yang dalam akan pelanggan kami yang tidak bisa disamai oleh brand tradisional.”

Di tengah semua ini, tidak mengejutkan bahwa Zalora menunjukkan ketertarikan untuk mendorong label pribadi mereka, “Something Borrowed” dan “Zalora”, di tahun yang baru.

15 Label pribadi Althea dijual di website mereka

B2B ecommerce akan mengganggu distributor offline, mengaburkan batas antara distribusi online dan offline

Meski ecommerce memiliki masa depan yang cerah di Asia Tenggara, nyatanya B2C ecommerce saat ini masih berada di persentase satu digit. Dengan target pertumbuhan yang agresif, para merek dan marketplace serta e-tailer akan meningkatkan usaha mereka untuk tumbuh lewat saluran non-B2C seperti B2B dan B2E.

Zilingo, marketplace fashion yang didukung oleh Sequoia, meluncurkan marketplace B2B, Zilingo Asia Mall. Inisiatif ini memungkinkan para pembeli fashion di AS dan Eropa untuk membeli produk Zilingo dengan harga grosir, secara efektif membangun “Alibaba” bagi fashion.

Shopee meluncurkan fitur grosir tahun ini, memungkinkan pedagang untuk menurunkan harga unit satuan untuk pesanan dalam kuantitas yang besar.

Shopee Malaysia menawarkan fitur grosir
Shopee Malaysia menawarkan fitur grosir

aCommerce, ecommerce enabler dan e-distributor di Asia Tenggara, yang baru saja mendapatkan pendanaan seri B sebesar $65 juta dari firma bangunan KKR — Emerald Media,  menciptakan istilah baru untuk semua ini — “B2A” atau Business-to-All.

Perusahaan ini merupakan pihak di balik inisiatif B2B dan B2E bagi merek seperti Samsung dan L’Oreal. Menurut aCommerce, B2B ecommerce saat ini berkontribusi kepada 20% dari total pendapatan di aCommerce, naik 10% dari tahun sebelumnya. (disclaimer, saya bekerja di sini).


Disclosure: artikel tamu ini ditulis oleh Sheji Ho, aCommerce Group Chief Marketing Officer

Opini yang dinyatakan ini merupakan pendapat pribadi saya dan tidak mewakili pandangan atau pendapat dari tempat saya bekerja.

[1] http://www.kpcb.com/internet-trends

[2] http://knowledge.ckgsb.edu.cn/2017/08/28/mobile-commerce/wechat-economy-messaging-wechat-pay

[3] https://asia.nikkei.com/Business/Deals/Tencent-becomes-top-shareholder-of-e-retailer-JD.com

[4] https://techcrunch.com/2017/06/28/alibaba-ups-its-stake-in-southeast-asias-lazada-with-1-billion-investment

[5] https://techcrunch.com/2017/08/17/alibaba-tokopedia

[6] https://techcrunch.com/2017/09/23/sea-files-for-a-1-billion-u-s-ipo

[7] https://www.reuters.com/article/us-jd-com-centralgroup/jd-com-thai-retailer-central-group-form-500-million-e-commerce-jv-idUSKCN1BQ0A1

[8] https://asia.nikkei.com/Business/Companies/Indonesia-s-Go-Jek-gets-a-lift-from-Tencent-JD.com-funding

[9] https://techcrunch.com/2017/07/28/expedia-invests-350m-in-traveloka

[10] https://techcrunch.com/2017/10/31/jd-com-leads-19m-investment-in-pomelo

[11] https://e27.co/jd-com-puts-us44m-vietnamese-e-commerce-platform-tiki-vn-fight-lazada-20171121

11 Tren yang Akan Membentuk E-commerce Asia Tenggara di 2017

Di saat presiden-terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sedang bekerja keras untuk menghentikan Cina untuk menjadi kekuatan adidaya dunia, Cina belum memperlambat hegemoni digital-nya di Asia Tenggara (saat berbicara Cina tentu saja itu berarti Alibaba). Setelah menobatkan Asia Tenggara di posisi puncak masa keemasan ecommerce dalam edisi tren 2015 kami, Jack Ma dan timnya memasuki kawasan ini hanya empat bulan setelahnya dan membeli Lazada, perusahaan ecommerce terkemuka di Asia Tenggara, dengan nilai $1 miliar.

Kesepakatan Lazada-Alibaba yang merupakan akuisisi luar negeri terbesar Alibaba hingga saat ini adalah sebuah peristiwa penting bagi Asia Tenggara yang implikasinya menjangkau seluruh rantai nilai commerce mulai dari periklanan digital, logistik, keuangan, asuransi, bahkan pelayanan kesehatan.

Kilas balik ke tahun 2016

Bahkan tanpa akuisisi Lazada, tahun ini tetap terbukti penting untuk ecommerce di kawasan ini: industri fast-fashion mengalami penurunan dan bahkan perusahaan fashion Zalora milik Rocket Internet berakhir dengan pembelian murah oleh konglomerat ritel Thailand, Central Group.

Masalah yang dialami Singpost masih berlanjut. Setelah kehilangan Group CEO Wolfgang Baier secara mendadak di tahun 2015, perusahaan ini juga kehilangan COO, CFO dan komisaris grup yang mengundurkan diri di tengah-tengah skandal kepemimpinan perusahaan. Hal ini mendorong kembali kesepakatan perusahaan ini dengan Alibaba untuk ketiga kalinya dan tidak mencapai kesepakatan hingga bulan Oktober.

Di seluruh kawasan, ecommerce B2C beraset besar mengalami penderitaan. RedMart asal Singapura diakuisisi oleh Lazada setelah tidak bisa lagi mengalirkan uang dan iTruemart milik Ascend Group tutup di Filipina hanya beberapa bulan setelah mengumbar akan menjadi pemain ecommerce Thailand regional pertama pada 2017.

Raksasa ecommerce asal Jepang Rakuten menarik diri dari Asia Tenggara dan menjual bisnisnya di Thailand kembali ke pendiri aslinya. Moxy berpindah dari tradisional ecommerce massa saat bergabung dengan Bilna dari Indonesia untuk membentuk Orami yang bisnis dan kontennya berfokus kepada perempuan dan berhasil mendapatkan pendanaan dari co-founder Facebook Eduardo Saverin.

Meminjam istilah Jack Ma, jika 2016 adalah pembuka, maka 2017 akan menjadi hidangan utama untuk ecommerce di Asia Tenggara. Dengan $238 miliar hadiah utama dan Amazon yang telah siap memasuki Singapura pada Q1, sudah membentuk tahun ini sebagai tahun yang menarik.

Permainan dimulai.

(1) Raksasa akhirnya terbangun: Alibaba menjadi lebih aktif pasca mengakuisisi Lazada

Bisa dibilang pencapaian terbesar ecommerce di Asia Tenggara tahun ini adalah akusisi Lazada oleh Alibaba seharga $1 miliar, namun tidak banyak aksi yang terjadi pada permukaan setelahnya. Hal ini akan segera berubah dan Alibaba akan segera memperkenalkan seluruh ekosistem ecommerce mereka ke Asia Tenggara di tahun mendatang. Yang terdiri dari beberapa nama seperti Ant Financial, Cainiao dan Taobao Partner (TP).

Diluncurkan di Cina tujuh tahun yang lalu, program TP bertujuan untuk mendaftarkan para pemasok untuk menyediakan layanan yang berhubungan dengan ecommerce untuk para penjual di Taobao. Beberapa TP seperti Baozun dan Lili & Beauty menawarkan operasional toko dan layanan pergudangan yang memungkinkan Taobao dan Tmall tumbuh sebagai dua platform ecommerce terbesar di Cina.

Peluncuran terdekat dari program serupa di Asia Tenggara (ahem, Lazada Partner?) akan menciptakan banyak kesempatan untuk seluruh ekosistem mulai dari instansi digital hingga perusahaan pengiriman. Penyedia layanan ecommerce full-service seperti aCommerce dan SP eCommerce berada di posisi yang baik untuk terus menumbuhkan kesempatan $238 miliar ecommerce Asia Tenggara.

(2) Logistik last-mile akan menjadi komoditas, dipercepat oleh jaringan Cainiao milik Alibaba

Logistik sering dianggap sebagai hambatan terbesar bagi pertumbuhan ecommerce di Asia Tenggara dan karenanya telah menciptakan cukup banyak pendanaan venture capital yang dihasilkan oleh pasukan last-mile dan on-demand delivery startup seperti Ninja Van, Sendit milik Ascend Group, dan Skootar. Bahkan hailing apps untuk taksi dan motor seperti Go-Jek dan Grab telah merambah ke layanan pengiriman sebagai sebuah aliran pendapatan tambahan. Semua hal ini menambah tekanan kepada pemain-pemain lama seperti Kerry Logistics, DHL dan JNE yang hanya menyentuh permukaan di ruang logistik ecommerce yang serba cepat.

Ekosistem yang baru terfragmentasi dan sangat kompetitif ini memiliki kesamaan dengan Cina satu dekade yang lalu dan memacu Alibaba untuk meluncurkan Cainiao Network, sebuah platform terbuka yang mengumpulkan semua vendor last-mile. Pendekatan ringan aset ini memecahkan rantai terlemah Alibaba – logistik – dan memungkinkan mereka untuk memanfaatkan permintaan yang sangat besar untuk mengontrol pembicaraan.

Lebih dari 70% bisnis bagi third-party logistics (3PLs) di Cina saat ini datang dari ecommerce yang sebagian besar didorong oleh Alibaba. Hal ini mengizinkan mereka untuk menetapkan standar industri dan meningkatkan kompetisi harga di antara penyedia last-mile yang pada dasarnya mengubah yang para pemain ini menjadi sebuah perlombaan ke bawah, permainan komoditas.

Alibaba telah memulai dengan membawa Alipay and Ant Financial dan dengan ekosistem logistik di Asia Tenggara mengikuti cara di Cina, pengenalan Cainiao Network hanya perihal waktu.

Cainiao Network adalah bagian teka-teki yang hilang bagi Alibaba untuk mengontrol seluruh rantai nilai ecommerce (via ecommerceIQ)

Gambar 1(3) Pertarungan untuk “first-mile”: Ancaman baru untuk Google dan Facebook

Hanya sedikit orang yang sadar bahwa raksasa ecommerce seperti Alibaba dan Amazon bukan hanya sebuah ancaman bagi pesaing langsung mereka seperti JD dan Wal-Mart tetapi juga untuk Baidu dan Google.

Dengan peningkatan pencarian produk yang berpindah dari mesin pencari dan langsung mengarah ke situs ecommerce, Alibaba dan Amazon mengguncang periklanan yang ada di internet. Di AS, saat ini 55% orang mulai mencari produk di Amazon, naik dari 44% di tahun 2015. Ini menjadi masalah besar karena pencarian produk adalah salah satu kategori pencarian kata kunci yang paling menguntungkan dan memiliki cost-per-clicks tertinggi.

Di Cina, persaingan antara Alibaba dan Baidu telah membuat Alibaba memblokir mesin pencarian Baidu untuk ‘merangkak’ dan mengindeks halaman Alibaba sejak 2009, secara efektif mencegah pengguna pergi ke Baidu untuk pencarian produk.

Pertempuran “first-mile” ini diduga akan dimulai pada tahun 2017 di Asia Tenggara ketika Alibaba bermigrasi dengan Lazada ke platform Tmall dan memperkenalkan Alimama, yang memiliki platform iklan self-service serupa dengan Google Adwords.

Para penjual di Lazada akan memiliki akses ke berbagai periklanan berbasis PPC (Pay-Per-Click), CPM (Cost-Per-Thousand Impressions) dan CPS (Cost-Per-Sale) seperti P4P Tmall “Express Train” iklan pencarian PPC. Iklan ini menguasai sekitar 25% dari total pencarian online Cina yang secara tradisional didominasi oleh Baidu. Untuk memberi gambaran tentang perkembangan Alibaba dalam iklan pencarian, pasar iklan pencarian milik Google Cina memiliki 30% market share sebelum menyerah dan keluar dari pasar Cina.

Bisnis periklanan Alibaba lebih dari sekedar pencarian. Selain Alimama, mereka juga mengoperasikan sebuah platform afiliasi yang disebut Taobao Affiliate Network, sebuah jaringan iklan tampilan yang disebut TANX (Taobao Ad Network and Exchange) serta Data Management Platform yang merupakan kompetitor Bluekai milik Oracle dan Audience Manager dari Adobe.

Perusahaan media lebih baik mempersiapkan diri mereka untuk kompetisi baru dan agensi digital harus mulai belajar bagaimana membeli dan mengoptimalkan media dalam platform Lazada di tahun 2017.

(4) Masuknya Alipay ke Asia Tenggara akan mendorong konsolidasi dalam sektor pembayaran online

Tahun baru akan menandai dimulainya konsolidasi dalam ruang pembayaran di Asia Tenggara. Dominasi cash-on-delivery (COD) – 75% dari transaksi ecommerce di kawasan ini – yang menginspirasi startup seperti Omise dan DOKU serta perusahaan telekomunikasi dan perbankan yang telah berdiri untuk membangun PayPal selanjutnya.

Tetapi kebanyakan dari inisiatif ini tidak menyelesaikan permasalahan utamanya – kurangnya penetrasi kartu kredit dan besarnya populasi yang tidak memiliki rekening bank di Asia Tenggara. Sebagai contoh, LINE Pay, solusi serupa Apple Pay dari satu aplikasi pengiriman pesan paling terkenal di Asia Tenggara, hanya bisa digunakan dengan kartu kredit. Meski menarik dari perspektif PR, inisiatif ini belum menggeser cara pembayaran konsumen dari COD.

Mayoritas ‘solusi’ fintech telah diciptakan untuk melakukan “teknologi demi kepentingan teknologi” – membangun mobil yang lebih cepat ketika yang kurang adalah lebih banyak jalan.

Gambar 2

Dengan kurangnya hal yang terpenting – saluran distribusi yang scalable – bisa diprediksi perusahaan pembayaran ini harus berjuang keras di sepanjang 2017. Dengan Lazada, Alibaba menggunakan strategi kuda trojan untuk membawa Alipay dan Ant Financial ke Asia Tenggara. Marketplace ini menawarkan sebuah basis pengguna yang besar dan saluran distribusi yang membuat banyak startup pembayaran di Asia Tenggara iri.

Gambar 3

(5) “Ecommerce 1.0” to “Ecommerce 2.0”

Seperti yang telah diprediksi sebelumnya, Zalora milik Rocket Internet harus menjual bisnisnya yang ada di Thailand dan Vietnam dengan harga rendah kepada ritel lokal Central Group. Di tahun yang sama, Cdiscount Thailand, bagian dari konglomerat ritel Prancis Group Casino, terjual senilai $31.5 juta ke TCC, sebuah perusahaan lokal Thailand yang juga pemilik merek bir terkenal Chang.

Kehadiran Alibaba dan kabar peluncuran Amazon di Singapura pada Q1 2017 menutup kesempatan bagi permainan “Ecommerce 1.0” – yang berjualan produk kepada khalayak luas. Bahkan MatahariMall, inisiatif ecommerce “anti-Lazada” yang diluncurkan oleh konglomerat Lippo Group asal Indonesia, telah memposisikan ulang identitas mereka sebagai sebuah online-to-offline ecommerce daripada menjadi pesaing langsung bagi Lazada.

Memasuki tahun 2017, kesempatan di ecommerce akan semakin bergeser dari “Ecommerce 1.0” menuju “Ecommerce 2.0” di mana perusahaan tidak lagi mendasarkan keunggulan kompetitif mereka berdasarkan nilai ekonomi tradisional namun gabungan dari apa yang pemilik Bonobos Andy Dunn sebut proprietary harga, seleksi, pengalaman, dan produk.

Di mana Ecommerce 1.0 adalah sebuah permainan kekerasan dan kekuatan, Ecommerce 2.0 mengeksploitasi celah 1.0 di banyak cara kreatif yang menghindari permainan zero-sum dengan para raksasa seperti Alibaba dan Amazon.

Merupakan pertanda bagus untuk melihat perusahaan di Asia Tenggara telah mulai bergerak menuju Ecommerce 2.0. Pomelo Fashion, sebuah merek fashion yang langsung menjual ke konsumen, hanya secara online, berfokus untuk membangun mereknya sendiri dan mengintegrasikan rantai pasokannya secara vertikal dengan memproduksi pakaian mereka sendiri.

Di Indonesia, startup lain mengambil ide dari penjualan di Facebook dan Instagram kemudian memberikannya steroid. Sale Stock, startup fast-fashion yang berbasis di Jakarta, telah mengambil jalan yang serupa dengan Pomelo Fashion dengan keunikannya sendiri dan sedikit eksperimen.

Dengan peningkatan jumlah pesanan Sale Stock yang datang dari sesi chat di mobile website, perusahaan ini kemudian berinvestasi dan meluncurkan ecommerce chatbot pertama di kawasan ini untuk memproses pesanan mobile chat di Facebook Messenger yang dibangun oleh para insinyur ‘lulusan’ Google, Palantir, dan NASA.

Gambar 4

(6) Lebih banyak korban dari persaingan Amazon – Alibaba di masa depan

2016 adalah tahun yang besar untuk konsolidasi di ruang ecommerce Asia Tenggara:

  • Zalora Thailand dan Vietnam dijual murah ke konglomerat ritel Thailand Central Group
  • Cdiscount dibeli oleh raksasa Thailand TCC Group milik Charoen Sirivadhanabhakdi
  • Pemain ecommerce yang berfokus ke perempuan, Moxy, kembali muncul sebagai Orami setelah bergabung dengan Bilna asal Indonesia
  • Rakuten asal Jepang menutup bisnisnya di pasar Indonesia, Malaysia dan Singapura, serta mengembalikan bisnisnya di Thailand kepada pendiri aslinya
  • Toko grocery online yang berbasis di Singapura, RedMart, terjual kurang dari dana yang telah didapatkan kepada Lazada di tengah isu masuknya Amazon ke pasar dengan AmazonFreshEntitasnya di Filipina, diluncurkan di akhir 2015, tutup tahun ini, dan dengan fokus perusahaan pada fintech – mereka menjual sahamnya sebesar 20% di Ascend Money kepada Ant Financial tahun ini – Ascend kemungkinan akan keluar dari ecommerce ritel sepenuhnya di tahun 2017.
  • Dan hal ini akan berlanjut sepanjang tahun 2017, terutama dalam ruang “Ecommerce 1.0” yang sangat kompetitif. Salah satu yang bisa menjadi korban besar adalah Ascend Group yang berbasis di Thailand, yang memiliki aset portfolio ecommerce dan fintech seperti Wemall (B2C) dan WeLoveShopping (C2C). Sudah terlihat ada tanda-tanda.

(7) Brand melewatkan bait-and-switch marketplace untuk mengambil pendekatan direct-to-consumer atau multi-channel

Ada banyak keuntungan bagi brand untuk menjual produk mereka di marketplace seperti Lazada, MatahariMall dan 11street – yang persiapannya sangat mudah dengan akses ‘gratis’ ke trafik yang dihasilkan oleh marketplace tuan rumah. Itulah mengapa di 2016 kita melihat banyak brand seperti L’Oreal dan Unilever membuka toko di platform ini.

Namun demikian, brand mulai menyadari bahwa kontra-nya lebih besar daripada pro. Marketplace mengumpulkan sejumlah besar data yang secara tepat menentukan kategori produk dan brand yang laku terjual, pada waktu dan lokasi apa dan kepada siapa. Amazon telah memanfaatkan informasi yang berharga ini untuk memperkenalkan label pribadi mereka yang bersaing langsung dengan para penjual di platform mereka.

Di tahun 2017 ini, kita akan melihat brand semakin pintar dan akan memanfaatkan kehadiran marketplace sebagai sebuah inisiasi dan strategi jangka pendek. Strategi jangka panjangnya adalah menjual langsung ke konsumen melalui situs brand.com milik mereka di mana mereka memiliki semua data pelanggan, mengelola brand image mereka sendiri dan bisa menawarkan fitur seperti penjualan langganan atau subscription commerce.

Gambar 5

Yang lain mungkin mengadopsi pendekatan multi-channel yang berlawanan dan menggunakan marketplaces untuk menjual lebih rendah dan titik harga produk terendah sambil mempersiapkan saluran brand.com untuk pengalaman yang lebih premium.

(8) Kompetisi yang tinggi akan mendorong para pengusaha dan perusahaan yang telah lama berdiri untuk menjelajah ke bidang asuransi, keuangan, dan kesehatan.

Dengan semakin tingginya kompetisi ecommerce dan besarnya modal yang diperlukan, para pengusaha sudah mulai melihat lebih dari sekadar ritel fisik untuk menemukan kesempatan baru. Mengikuti langkah yang serupa dengan AS dan Cina, startup di Asia Tenggara secara bertahap berpindah ke bidang asuransi, keuangan, dan kesehatan. Konsep dasarnya sama, menggunakan internet dan teknologi untuk menciptakan marketplace atau langsung menuju ke konsumen untuk produk non-fisik seperti pinjaman, asuransi jiwa dan bahkan data.

Di tahun 2016 ini telihat beberapa startup baru seperti EdirectInsure—dengan frank.co.th di Thailand dan frankinsure.com.tw di Taiwan—mencoba untuk mengubah cara penjualan asuransi mobil serta pemain lama seperti Asia Insurance yang menawarkan asuransi mikro Pokémon Go dan mobile phone secara langsung ke konsumen dan eksklusif online.

Akuisisi Lazada oleh Alibaba sendiri bukanlah semata tentang menambah pertumbuhan jumlah barang ritel mereka namun lebih untuk mendapatkan sebuah saluran distribusi yang scalable untuk produk lain milik Alibaba yang memiliki margin yang lebih tinggi. Jack Ma menyinggung hal ini dalam pidatonya di depan para pemegang saham di tahun 2015:

“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur ecommerce untuk masa depan. Ecommerce hanya langkah pertama. […] Sekitar setengah tenaga kerja Alibaba Group dan perusahaan afiliasi kami, termasuk Ant Finansial dan Cainiao, bekerja pada bidang-bidang penting dari ekosistem kami, termasuk logistik, keuangan internet, big data, cloud computing, mobile internet, periklanan, serta apa yang disebut juga industri double HHealthcare dan Happiness (bisnis kesehatan dan hiburan berbasis big data di mana diperlukan 10 tahun untuk menjadi data-driven).”

Gambar 6

Peluncuran layanan serupa dari Alipay dan Ant Financial (perbankan, penilaian kredit, reksadana, dan lain-lain) bisa diharapkan muncul menjelang akhir tahun 2017. Selain itu, kita akan melihat lebih banyak pemain lama seperti bank tradisional, asuransi, dan bisnis kesehatan yang bergerak ke online.

(9) Diabaikan tapi tidak dilupakan, perusahaan akan fokus pada bagian yang tersisa di Asia Tenggara: Myanmar

Para pebisnis secara geografis akan terus menjelajahi pasar baru di Asia Tenggara dengan semakin jenuhnya para pasar besar sehingga membuat lahan hijau di Myanmar lebih menarik.

Dengan total 53 juta orang penduduk, Myanmar adalah negara terbesar kelima di Asia Tenggara. Negara ini juga sangat unik jika dibandingkan dengan tetangganya sebagai negara yang menutup diri dari dunia hingga 2011 dan saat ini langsung melompat ke era mobile. Tidak seperti sepupunya yang “mobile-first”, Myanmar lebih ke mobile-only”—dengan estimasi populasi yang sudah online sebesar 20%, di mana sebagian besar terjadi dalam dua tahun terakhir.

Rocket sebagai Rocket masuk ke Myanmar pada awal 2012 dengan meluncurkan situs iklan baris seperti Work.com.mm dan Ads.com.mm. Usaha ecommerce pertama mereka yang serius di Myanmar bernama Shop.com.mm dimulai pada akhir 2014. Dengan rata-rata 90.000 sesi per bulan dalam enam bulan terakhir dan mengalami pertumbuhan yang datar, Shop.com.mm tidak terlalu memberikan gambaran positif mengenai peluang ecommerce di Myanmar.

Namun mengingat bahwa Myanmar memiliki 10 juta pengguna Facebook di negaranya, mungkin pemasaran bisnis ecommerce dengan cara tradisional bukanlah pendekatan yang tepat. Dengan begitu banyak penggunaan internet di Myanmar merupakan penggunaan social channels, memulai dari Facebook shop mungkin menjadi cara yang lebih baik untuk memasuki apa yang bisa menjadi salah satu pasar ecommerce masa depan yang paling menarik di Asia Tenggara.

(Sumber: Minzayar Oo / BuzzFeed News)
(Sumber: Minzayar Oo / BuzzFeed News)

Hal ini sudah terbukti efektif di Thailand di mana diperkirakan sepertiga sampai setengah dari transaksi ecommerce terjadi di Facebook, Instagram dan LINE. Diharapkan nantinya conversation commerce bisa tumbuh lebih luas di Myanmar.

“Pengaruh Facebook di Myanmar sulit untuk diukur, namun dominasinya sangat mutlak sehingga masyarakat Myanmar menggunakan “internet” dan “Facebook” secara bergantian.” – Sheera Frenkel dalam laporannya tentang Myanmar di BuzzFeed.

(10) Permintaan di Asia Tenggara akan mengalami pengurangan di beberapa industri di mana model sebenarnya masuk akal

Setelah dipuji oleh para ahli sebagai holy grail dari ecommerce karena tidak memiliki beban aset fisik yang mahal, model on-demand terlihat hampir berakhir di AS. Selain Uber sendiri, banyak Uber-for-X clones yang tutup atau sedang berjuang, beberapa di antaranya seperti Homejoy, SpoonRocket, DoorDash, dan Postmates.

Unit ekonomi yang rendah, kebocoran platform, dan sebuah ekonomi yang menguat secara umum adalah isu-isu yang mengganggu startup on-demand selama setahun terakhir.

Di Asia Tenggara, keadaannya juga tidak terlihat terlalu cerah untuk beberapa startup on-demand. Happy Fresh, sebuah layanan groceries on-demand, baru-baru ini menutup operasinya di Taipei dan Manila serta melakukan beberapa pemberhentian pegawai. Mereka juga secara diam-diam menggantikan mantan pendiri dan CEO Markus Bihler dengan orang baru. Di Thailand, Tapsy, sebuah marketplace untuk layanan pribadi yang didukung Inspire Ventures, juga ditutup hanya beberapa bulan sejak peluncurannya.

Go-Jek, aplikasi pemanggilan motor asal Indonesia dan yang sekarang merupakan unicorn on-demand untuk segala hal, mengalami kepergian massal para pendirinya, dengan co-founder dan VP produk mereka meninggalkan perusahaan pada bulan Oktober lalu, memicu kecurigaan adanya gejolak internal.

Meski sentimen secara umum untuk startup on-demand mengalami keterpurukan baik secara global maupun di Asia Tenggara, dalam kenyataannya ini hanya awal dari proses alami dalam menyingkirkan para pemain yang hanya ‘ikut-ikutan’ di vertikal di mana model on-demand tidak masuk akal.

“Masalahnya bukan tentang konsep akan sesuatu yang tersedia secara “on-demand”. Ini tentang apakah konsumen atau sebuah bisnis akan membayar suatu pesanan secara premium untuk memiliki akses sesegera mungkin. Hanya karena Anda membuat sesuatu tersedia sesuai permintaan, itu tidak berarti orang akan membayar untuk hal itu.” ujar Mathew Ward, co-founder dan CEO Helpster, perusahaan berbasis di Bangkok yang mencocokkan pekerja dengan kandidat yang mencari pekerjaan blue-collar.

Ia melanjutkan.

Home services adalah satu area yang “menyenangkan untuk didapat” secara cepat, namun bukan sebagai sebuah keharusan. Orang tidak akan mau membayar premium untuk ini dan unit ekonomi Anda tidak akan bekerja, ini mengapa kita kemudian melihat banyak yang gagal dalam area ini. Jika Anda berfokus pada hal yang memiliki urgensi seperti transportasi atau dalam kasus Helpster, akses terhadap staf berkualitas yang diperlukan untuk mengisi kebutuhan staf yang mendesak, orang-orang akan membayar harga premium dan karena itu Anda bisa membangun sebuah bisnis yang benar-benar bekerja. Model “on-demand” tidak rusak—Anda hanya perlu melihat ke area di mana kecepatan akses merupakan hal yang sangat berharga. Jika Anda temukan, Anda bisa membangun sebuah bisnis “on-demand” yang berkembang dan sukses.

Gambar 8

Dengan sentimen pendanaan Asia Tenggara yang bergeser di tahun 2017 dari ‘pertumbuhan dengan segala cara’ menuju kepada keberlanjutan dan profitabilitas, kami berharap untuk melihat startup on-demand berkembang di vertikal di mana model ini bekerja, sementara yang hanya “ikut-ikutan” lainnya gagal. Proses ini hanya akan dipatahkan oleh orang-orang seperti Uber dan Grab yang akan memberikan dua kali lipat usaha mereka di Asia Tenggara dengan peperangan mereka yang besar.

(11) Amazon masuk ke Asia Tenggara (akhirnya)

“Keep your friends close but your enemies closer.”—Michael Corleone dalam The Godfather Part II

Gambar 9


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Mengungkap Kesalahan Anggapan Tentang  Potensi E-Commerce Sebenarnya di Asia Tenggara

Dengan populasi sebesar 600 juta orang, kelas menengah yang terus bertumbuh dan meningkatnya penetrasi internet, Asia Tenggara sering dianggap sebagai tambang emas selanjutnya bagi ecommerce. Akuisisi Lazada oleh Alibaba sebesar $1 miliar — akuisisi terbesar Jack Ma diluar negeri hingga saat ini — terjadi di awal tahun ini. Namun di balik headline dan hiperbola yang ada, seberapa besar sebenarnya potensi ecommerce di Asia Tenggara sesungguhnya.

Peluang $88 Miliar

Hanya ada sedikit data yang ada mengenai ukuran pasar ecommerce Asia Tenggara saat ini ataupun proyeksi di masa depan. Sebagian dari alasan ini adalah karena industri ini masih sangat baru dan sebagai hasilnya, institusi warisan seperti pemerintahan dan firma penelitian masih mencoba tetap update. Sebagian lainnya karena C2C ecommerce, yang diestimasi merupakan sepertiga atau setengah dari total GMV ecommerce, tidak teregulasi dan dikenai pajak. Kenyataan bahwa transaksi C2C di Asia Tenggara terjadi di platform sosial seperti Facebook dan Instagram, difasilitasi dengan percakapan di aplikasi seperti LINE dan Facebook Messenger.

Namun demikian, beberapa organisasi bereputasi telah mencoba menilai ukuran ecommerce di wilayah ini. Salah satu usaha yang dilakukan di awal datang dari AT Kearney yang berkolaborasi dengan CIMB. Dirilis pada awal 2015 dan berjudul ‘Lifting the Barriers to E-Commerce in ASEAN’, laporan ini mengestimasi ukuran pasar terkini sebesar $7 miliar (tahun 2013) dan memprediksikan potensi di masa depan sebesar $86 miliar.

Yang terbaru, Google bekerja sama dengan Temasek, merilis laporan berjudul ‘e-conomy SEA: Unlocking the $200 billion digital opportunity in Southeast Asia’ yang mengukur nilai pasar ecommerce saat ini di $5.5 miliar (pada tahun 2015) dan memprediksi pertumbuhannya hingga akan mencapai sebesar $88 miliar pada 2025. Namun demikian, perlu diingat bahwa Google dan Temasek hanya memberikan setengah gambaran karena mereka tidak memasukan pasar C2C dan P2P seperti OLX, Carousell dan Instagram karena sulitnya mendapatkan data.

Pertumbuhan Model Ecommerce Barat vs. Tiongkok: Mengapa Estimasi Mengenai Potensi Ecommerce di Asia Tenggara Tidak Tepat

$88 miliar tampak besar namun jika kita menaruhnya di dalam konteks, orang akan berpikir jika ini adalah tafsiran yang tepat. Pasar ecommerce AS saat ini sebesar $394 miliar. Namun demikian, sangat jelas bahwa pasar ecommerce AS lebih dewasa dan baik Amazon maupun eBay berumur lebih tua dari beberapa staff junior di tim kami. Bagaimana dengan Tiongkok? Tiongkok telah jauh melewati AS pada 2013 untuk menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia dalam hal GMV.

Dan saat ini, pasar ecommerce di Tiongkok bernilai $700 miliar, menyusun 13% dari total retail di seluruh negara. Dengan populasi sebesar setengah populasi Tiongkok, bukankah seharusnya potensi ecommerce di Asia Tenggara lebih besar dari ‘sekedar’ $88 miliar?

GMV e-commerce (aktual dan proyeksi)
GMV e-commerce (aktual dan proyeksi)

Hal ini kemudian semakin menarik jika kita melihat angka yang diproyeksikan untuk 2025 dan menyesuaikannya dengan ukuran populasi. Metriks ini memberi gambaran seberapa besar rata-rata orang menghabiskan uang untuk ecommerce dalam setahun. Kami menggunakan kalkulasi di bawah ini untuk beberapa pasar utama di Asia Tenggara serta negara benchmark seperti AS dan Tiongkok:

eIQ-Southeast-Asia-Ecommerce-Potential_3

Beberapa hal mencuat di sini. Tentu saja, Cina masih menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia dengan $3 triliun GMV dan penetrasi sebesar 25%. Pada 2025, rata-rata pembelanja Tiongkok diperkirakan akan menghabiskan sebesar $2,000 per tahun online, hampir tiga kali lipat jumlah orang Singapore dan akan melebihi orang Amerika yang, 10 tahun dari sekarang, akan menghabiskan $3,000 untuk ecommerce per tahunnya.

Hal menarik lainnya, negara Asia Tenggara yang bertumbuh di sini diwakilkan oleh Thailand dan Indonesia. Laporan dari Google dan Temasek memproyeksikan dua pasar ini akan mencapai masing-masing $11.1 dan $46 miliar. Angka ini sudah sangat impresif namun jika disesuaikan dengan ukuran populasi, GMV ecommerce per angka kapita sangatlah rendah — $155 dan $157, masing-masing untuk Thailand dan Indonesia. Mungkin ada alasannya untuk hal ini.

GDP per kapita AS dan Singapura tentunya lebih tinggi dari negara berkembang seperti Thailand dan Indonesia, masyarakatnya secara umum memiliki lebih banyak uang untuk dihabiskan, dan Tiongkok bukan lagi negara berkembang dengan GDP per kapita nya yang diprediksi mencapai $14,000 pada tahun 2025.

Tetapi jika kita bandingkan Cina dan Thailand di tabel di bawah ini, kita bisa lihat bahwa GDP per kapita Thailand diestimasikan mencapai $11,000 pada 2025, yang merupakan lebih besar daripada GDP per kapita Cina pada saat ini dan tidak jauh dari proyeksi GDP Cina pada 2025. Namun berdasarkan proyeksi ecommerce saat ini, pembelanjaan online per kapita Thailand hanya sebesar $155 atau 1% dari kemampuan belanja rumah tangga.

Hal ini tidak masuk akal jika mengingat bahwa konsumen Thailand mempunyai daya beli tinggi dan ritel merupakan bagian besar dari ekonomi Thailand seperti dibuktikan pada penetrasi retail dan angka GDP per kapita. Bahkan jika bagian C2C dan P2P yang menghilang disertakan — katakan jika 50%, menjadikan $155 menjadi $300 — angka ini masih rendah jika dibandingkan Cina saat ini.

southeast-asia-ecomemrce-potential_graph-2

Sejak 2006 hingga 2016, GMV ecommerce per kapita Cina tumbuh 127x. Sulit dipercaya jika GMV per kapita Thailand hanya akan bertumbuh 9x dalam sepuluh tahun mendatang, terlebih jika orang Thailand telah berbelanja online lebih banyak dari yang orang Cina lakukan pada awal trend ecommerce mereka di tahun 2006. Hal ini hanya masuk akal jika kita asumsikan bahwa pertumbuhan pasar ecommerce di wilayah Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia akan tumbuh lebih lambat seperti wilayah Barat sebesar 18% (AS 2000-2015) dan tidak akan bertumbuh seperti CAGR 10 tahun terakhir di Cina sebesar 68%.

Seperti yang akan kita temukan jawabannya, penyebab dari perbedaan alasan ini adalah kesalahan aplikasi dari model pertumbuhan ecommerce bergaya Barat, dimana model yang tepat untuk mengukur ecommerce di Asia Tenggara adalah model hyper-growth milik Cina.

Saudara Lain Ibu? E-commerce Asia Tenggara yang Berkembang Memiliki Persamaan dengan Cina Dibanding Lainnya

Kekeliruan dari proyeksi yang ada adalah seringnya mereka menjadikan model Barat sebagai dasarnya, yang dalam hal ini Barat dilihat sebagai jalur yang telah terpercaya menuju ecommerce. Namun demikian, untuk beberapa alasan yang akan dijelaskan di bawah ini, ecommerce Asia Tenggara lebih mirip Cina daripada pasar lainnya yang telah berkembang lebih dahulu seperti AS, Eropa dan Jepang. Sebagai hasilnya, kita harus mengharapkan pertumbuhan dua digit tinggi seperti yang dialami oleh Cina selama sepuluh tahun terakhir dan bukannya progress gradual tahun-per-tahun seperti pasar ecommerce legasi lainnya.

1.     Kurangnya infrastruktur retail offline

“Mengapa ecommerce berkembang sangat cepat di Cina dibanding di AS? Karena infrastruktur dari commerce di Cina sangat buruk. Tidak seperti di sini dimana Anda memiliki semua toko (fisik): Wal-Mart, K-Mart, apa pun, dimana pun. Namun di Cina, kami tidak memiliki apa-apa, tidak dimana pun. Jadi ecommerce di AS hanyalah makanan penutup; sebagai pelengkap bisnis utama. Namun di Cina, ecommerce adalah makanan utama.” — Jack Ma, Pendiri dan Chairman Alibaba.

Bangkok dan Jakarta adalah rumah bagi mall-mall papan atas dan department stores mewah di Asia Tenggara seperti Central Word, Paragon dan Grand Indonesia. Namun demikian, begitu Anda berada di luar kota besar, tidak banyak yang bisa ditemui. Cina pun demikian, dengan sebagian besar offline ritel berada di kota-kota tier 1 seperti Beijing, Shanghai dan Guangzhou.

Retail GFA (Gross Floor Asia) per kapita mencapai 2,200 sqm di AS versus 500, 500 dan 100 sqm masing-masing di Cina, Thailand dan Indonesia menurut data dari CLSA. Sebagai hasilnya, mayoritas konsumen di Thailand dan Indonesia tidak memiliki pilihan selain untuk berbelanja online, khususnya mereka yang berada di luar kota besar. Menurut data yang diagregat aCommerce, 70% order di Thailand datang dari luar Bangkok.

Seperti di Cina, semua ini diharapkan akan mengakselerasi pertumbuhan ecommerce pada kecepatan yang lebih cepat dibanding pasar legasi.

2.     Cash-on-delivery sebagai metode pembayaran yang dominan

Kurangnya kartu kredit tidak menghalangi ecommerce di Cina tumbuh 68% per tahun selama satu dekade terakhir. Dengan sistem keuangan yang kurang dari ideal, perusahaan logistik dan jasa pengiriman akhirnya mengisi kesenjangan ini dengan menawarkan solusi cash-on-delivery (COD). Pada masanya di tahun 2008, COD mengisi 70% dari total transaksi B2C di Cina. Namun, pada tahun 2014, Alipay milik Alibaba telah melampaui COD sebagai metode pembayaran yang dominan, dengan lebih dari 85% dari pembelanja untuk 11/11 mengungkapkan preferensi mereka menggunakan Alipay vs. hanya 21% untuk COD.

Asia Tenggara saat ini sangat mirip dengan China 10 tahun lalu. Dengan penetrasi kartu kredit di satu digit, COD telah menjadi metode pembayaran yang dominan, dengan 74% jumlah transaksi di negara berkembang di Asia Tenggara dibayar tunai berdasarkan data dari aCommerce. Seperti Cina, ecommerce di Asia Tenggara tidak selamanya akan bergantung kepada COD. Dengan akuisisi Lazada ini, Alibaba sekarang tengah mengeksekusi rencana utama mereka untuk membawa Alipay dan Ant Financial ke wilayah ini.

3.     Kurangnya cross-border ecommerce karena tingginya bea masuk dan pajak

Cross-border ecommerce Cina tidak pernah jadi hal yang besar hingga baru-baru ini, dengan pembentukan kawasan gudang berikat yang disetujui pemerintah yang memungkinkan pengiriman internasional yangl lebih cepat dan biaya yang lebih rendah. Merek global dan pengecer sekarang dapat memasuki pasar Cina yang menguntungkan dengan mendirikan toko pada platform seperti Tmall Global dan JD Worldwide tanpa kehadiran toko fisik yang mahal di negara ini.

Sebelum ini, memesan barang dari luar negeri terbatas bagi banyak konsumen di Cina karena bea masuk yang tinggi (30%). (Bea masuk ini masih berlaku untuk pedagang yang tidak berlisensi untuk menjual dalam jaringan cross-border ecommerce Cina, misalnya memesan langsung dari Amazon.com).

Serupa dengan Cina, pasar bertumbuh di Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia saat ini memiliki bea masuk yang mahal dan pajak. Kurangnya lapangan bermain tingkat global ini memberikan tekanan pada perkembangan ekosistem ecommerce lokal yang sehingga apa yang terjadi adalah pertumpahan darah ecommerce di Indonesia seperti bisa kita lihat saat ini.

southeast-asia-ecommerce-potential-3-1024x512

4.     Ekosistem “no-tail”

Adopsi internet di Cina dan negara-negara berkembang Asia Tenggara tidak mencapai massa kritis sampai pertengahan tahun 2000 ini. Pasar ini melewatkan sebagian besar Web 1.0 dan “Web 1.5” booming dan melompat langsung ke Web 2.0, yang mengarah kepada pembentukan apa yang kita sebut sekarang ekosistem “No-Tail”. Akibatnya, iklan digital di negara-negara ini tertinggal dari pasar yang lebih matang seperti Amerika Serikat dan Jepang di mana perusahaan seperti Facebook dan Pinterest sering melihat penjualan iklan sebagai cara yang paling jelas – dan kadang, satu-satunya – untuk menghasilkan uang.

Kurangnya lingkungan periklanan yang matang, perusahaan internet di Cina tidak punya banyak pilihan selain untuk melihat commerce untuk dimonetisasi sehingga mengangkat industri ecommerce di Cina menjadi status raksasa-nya yang sekarang.

“Sementara perusahaan-perusahaan AS fokus pada pendapatan iklan, perusahaan Cina telah menjadi penentu kecepatan dalam ecommerce,” laporan The Washington Post.

“Anda mengunjungi Facebook dan tidak bahkan bisa membeli apa-apa, tapi dengan WeChat dan Weibo Anda dapat membeli apa pun yang Anda lihat,” ucap William Bao Bean, partner di SOS Ventures yang berbasis di Shanghai direktur Chinaccelerator, di artikel Washington Post yang sama.

Uber mengalami kegagalan di Cina bukan karena kurang dalamnya kantong mereka; raksasa ride-sharing ini hilang karena berjuang melawan pesaing yang berfokus pada monetisasi ecommerce dalam jangka panjang, bukan pada penghasilan transportasi jangka pendek.

Mirip dengan Cina satu dekade yang lalu, Asia Tenggara memiliki pasar periklanan yang sama-sama baru lahir. “Tidak ada cukup penerbit lokal, karena itu tidak ada pembelian yang cukup dari pengiklan,” ujar Lichi Wu, seorang ahli teknologi iklan Asia Tenggara yang sebelumnya bekerja di Google dan AdMob.

Dengan “kebun bertembok” seperti Facebook dan Instagram mendominasi semua pembuatan konten, tidak ada kekuatan yang cukup kuat untuk memutus siklus ayam-dan-telur ini. Menghadapi realitas suram RPM rendah (pendapatan per 1.000 tayangan atau tampilan halaman) banyak bisnis online kemudian memeluk ecommerce sebagai model bisnis.

Tidaklah mengherankan kemudian bahwa salah satu sumber yang paling populer dari pendapatan “pasif” di Thailand dan Indonesia adalah membeli barang dari Taobao dan AliExpress dan menjualnya kembali demi margin di Facebook dan Instagram, sedangkan di AS, pengusaha rumahan seringnya melakukan blogging, SEO dan afiliasi pemasaran untuk menghasilkan pendapatan iklan.

Mengukur Ecommerce Asia Tenggara Berdasarkan Pertumbuhan Model E-commerce Cina

Melihat semua metriks sebelumnya, kita dapat mengamati kesamaan antara ecommerce di negara berkembang Asia Tenggara saat ini dan Cina pada tahun 2006. Sebagai contoh, ecommerce GMV per kapita dan penetrasi ecommerce Thailand pada tahun 2016 sudah sebanding dengan Cina pada tahun 2006. (Untuk lebih tepatnya, berdasarkan angka-angka ini Thailand ecommerce pada tahun 2016 sudah di depan Cina pada tahun 2006.).

Sebagai patokan dimana ecommerce Asia Tenggara berada 10 tahun dari sekarang, mari kita lihat ecommerce GMV per kapita sebagai persentase dari PDB nasional per kapita. Metriks ini harusnya bisa memberikan kita gambaran tentang daya beli ecommerce individu relatif terhadap standar hidup. Kita tidak bisa benar-benar menggunakan GMV per kapita ecommerce Cina di 2016 karena PDB per kapita Thailand akan lebih tinggi dari Cina pada tahun 2016, sehingga hasilnya kita bisa meremehkan potensi yang ada.

GMV per kapita ecommerce Cina sebagai persentase dari PDB nasional per kapita adalah 6% pada 2016. Jika kita kalikan ini dengan PDB per kapita Thailand dan Indonesia diproyeksikan untuk 2016, kita akan mendapatkan ecommerce GMV per kapita masing-masing sebesar $711 dan $533. Kemudian menerapkan ini untuk menghitung populasi yang diproyeksikan, kita akan mendapatkan pasar ecommerce berukuran masing-masing $51 dan $157 miliar untuk Thailand dan Indonesia. Kontras dengan proyeksi Google dan Temasek sebanyak $11 dan $46 miliar dan kita bisa melihat berapa banyaknya potensial yang sebenernya tersisa.

Mengambil angka Thailand dan Indonesia dari laporan Google dan Temasek dan memasukan estimasi untun C2C, katakan sebesar 30%, memberi kita permulaan untuk proyeksi tahunan kami. Kemudian merata-rata pertumbuhan tahunan untuk mencapai angka mencapai $51 dan $157 miliar, kita akan mendapatkan proyeksi tahunan seperti di bawah. Dalam skenario ini, CAGRs yang  baru adalah 43% dan 50% untuk Thailand dan Indonesia, dibandingkan yang sebelumnya hanya 29% dan 39%.

Proyeksi e-commerce Thailand dan Indonesia berdasarkan model Tiongkok
Proyeksi e-commerce Thailand dan Indonesia berdasarkan model Tiongkok

Tanpa menyesuaikan untuk Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam (di mana dua nama terakhir tidak mengikuti model Cina), kita akan mendapatkan total diproyeksikan ukuran minimal $238 miliar. Proyeksi ecommerce ulang yang telah disesuaikan Indonesia saja mencapai  $157 miliar, jauh lebih besar $88 miliar yang diperkirakan untuk semua enam pasar Asia Tenggara yang digabungkan.

Revisi proyeksi ini memberikan gambaran potensi sesungguhnya dari ecommerce di Asia Tenggara dan menjelaskan mengapa semua orang di sini adalah tumbuh dua kali lipat, dengan akusisi Alibaba terhadap Lazada sebesar $1 miliar, Tokopedia mendapatkan pendanaan hingga $248 juta sampai saat ini, dan MatahariMall baru saja mendapatkan $100 juta. Seperti di Cina sepuluh tahun yang lalu, orang-orang yang berinvestasi dalam ecommerce lebih dulu dan mengambil prospek strategi jangka panjang akan berakhir memiliki potongan terbesar ini $238 miliar – bukan $88 miliar – dari  tambang emas ecommerce di Asia Tenggara.

 


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Kuda Trojan Alibaba bagi Asia Tenggara

Sudah enam bulan berlalu sejak Alibaba mengakuisisi Lazada, platform ecommerce paling populer di Asia Tenggara. Sejak terbitnya berita ini, para pengamat dan kritikus mendebatkan baik tidaknya kerja sama ini bagi kedua belah pihak, bagaimana hal ini akan mempengaruhi para rival seperti MatahariMall, Tokopedia dan Orami, dan bagaimana wilayah ini nantinya akan dibanjiri oleh produk murah asal Tiongkok.

Sementara itu, para pendiri startup dan VC saling menepuk pundak masing-masing karena hal ini telah menaruh wilayah Asia Tenggara di peta persaingan global dan diharapkan bisa merangsang lebih banyak pendanaan dan exit perusahaan di masa di depan.

Namun demikian, semua orang sepertinya lupa untuk berpikir lebih jauh dari hanya observasi superfisial semata. Akuisisi Lazada oleh Alibaba lebih dari sekadar menumbuhkan GMV (gross merchandise value) ritel mereka, membuktikan bahwa Jack Ma adalah Jack Ma dan mengapa ia selalu beberapa langkah di depan dalam permainan ini. Mereka yang merayakan berita ini, khususnya yang berada di sektor ritel, mungkin akan berakhir mengigit lidah mereka sendiri.

Peter Thiel, PayPal, dan Pentingnya Distribusi

Peter Thiel mendirikan PayPal pada tahun 1998 dan membangunnya menjadi salah satu platform pembayaran terbesar di dunia dengan 145 juta pengguna aktif bulanan yang memproses hingga 9 juta transaksi per hari. PayPal menjadi perusahaan publik pada tahun 2002 dan kemudian diakuisisi oleh eBay dengan harga $1.4 milyar. Setelah tumbuh lebih besar dari eBay, PayPal kemudian memisahkan diri dari eBay pada tahun 2015 dan melakukan IPO keduanya, menjadikan perusahaan ini bernilai $46.6 milyar dan membuatnya melampaui nilai pasar eBay yang ‘hanya’ $34 milyar.

Namun demikian, tanpa eBay, PayPal mungkin tidak akan eksis hari ini. Dalam bukunya ‘Zero to One’, Peter Thiel bercerita bagaimana PayPal hampir gagal jika bukan karena keberuntungan mereka bertemu dengan apa yang kemudian akan menjadi channel distribusi terbesar mereka, mesin pertumbuhan, dan kemudian pengakuisisi: eBay.

PayPal fokus untuk menargetkan Power Seller yang dimiliki eBay — yang bertanggung jawab akan banyaknya pesanan melalui eBay — dan kemudian menambahkannya dengan membayar mereka untuk setiap pendaftaran pengguna dan undangan ke teman, secara efektif menjadikan PayPal sebagai sebuah platform pembayaran mainstream.

Tidak heran jika Peter Thiel merupakan seorang advokat yang mengutamakan distribusi, di samping membangun produk yang hebat.

“Distribusi yang buruk – bukan produk — adalah penyebab kegagalan nomor satu. Jika Anda bisa membuat satu saja channel distribusi bekerja dengan baik, Anda bisa memiliki bisnis yang hebat. Jika Anda mencoba beberapa namun tidak menguasai satu pun, Anda akan gagal.” tulis Thiel.

eBay mengakselerasi pertumbuhan PayPal karena jangkauan dan kecepatan transaksinya — pemakaian yang tinggi menjadikan perusahaan pembayaran terus berkembang. Distribusi adalah apa yang dibutuhkan Alibaba dari Lazada. Namun untuk apa? Tentu saja bukan untuk produk murah asal Tiongkok.

Di Dalam Perut Sang Raksasa

Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan akuisisi PayPal, eBay juga berusaha mendapatkan market share lebih di Tiongkok melalui investasi yang berkembang menjadi akuisisi dari perusahaan EachNet di 2002, yang pada saat itu adalah marketplace C2C terbesar di Tiongkok.

Merespon hal ini, Alibaba meluncurkan Taobao pada May 2003 yang kemudian mengalahkan EachNet dalam menjadi marketplace ecommerce C2C terbesar di Tiongkok. Dalam waktu 3-4 tahun, market share eBay di pasar C2C jatuh dari 72% ke 8% dan menyebabkan mereka kemudian mundur dari kompetisi ini sementara dominasi Taobao terus menanjak hingga mencapai lebih dari 80% pada tahun 2007.

Setelah peluncuran Taobao, Alibaba mengenalkan Alipay pada tahun 2004, sebuah platform pembayaran pihak ketiga untuk membantu memfasilitasi transaksi yang terjadi di Taobao. Saat ini, Alipay adalah platform pembayaran pihak-ketiga terbesar di Tiongkok dengan dominasi pasar sebesar 70%, memiliki lebih dari 400 juta pengguna dan memproses lebih dari 80 juta transaksi per harinya (dibandingkan PayPal yang berjumlah 9 juta).

Jika PayPal fokus kepada platform pembayaran online peer-to-peer (P2P) yang berdasarkan email dan terhubung dengan kartu kredit, Alipay terhubung dengan rekening bank dan memiliki layanan yang disesuaikan dengan pasar di Tiongkok, seperti layanan escrow.

Menurut Jack Ma, budaya Tiongkok, meskipun menghargai nilai kepercayaan dan integritas, tidak memiliki sistem yang menjaga nilai ini. Sebagai hasilnya, fitur escrow dari Alipay merupakan solusi yang tepat untuk menjembatani kurangnya kepercayaan dan menggeser perilaku konsumen ecommerce Cina dari cash-on-delivery (COD) ke mobile payment yang mendominasi 68% dari transaksi saat ini.

Memanfaatkan 400 juta penggunanya dan menjangkau platform-platform ecommerce milik Alibaba, Alipay telah tumbuh lebih dari sekadar platform pembayaran berbasis internet menjadi sebuah raksasa finansial dan banking yang juga mengancam para pemain finansial lama.

Pada tahun 2011, Alipay berpisah dari Alibaba untuk menjadi Ant Financial Services Group, yang melayani mulai dari pembayaran online, peminjaman mikro, hingga perbankan dan skor kredit. Menilai dari putaran pendanaan terakhirnya yang bernilai $4,5 miliar di awal tahun ini, perusahaan ini sekarang dihargai sebesar $60 miliar, menjadikannya perusahaan teknologi non-publik paling berharga setelah Uber.

Dengan perlengkapan perang ini, Ant Financial mencari peluang untuk berekspansi ke pasar baru dan selama beberapa waktu telah mencoba menjejakkan kakinya ke Asia Tenggara. Perusahaan ini sebenernya telah mendirikan entitas di Singapura cukup awal pada tahun 2010 namun tidak memiliki channel distribusi yang layak. Keberuntungan Ant Financial nampaknya muncul pada awal tahun ini.

Mengincar Kesempatan Pembayaran di Asia Tenggara

Dari berbagai sisi, ecommerce di Asia Tenggara sama dengan ecommerce di Tiongkok 8 tahun yang lalu. Pada tahun 2008, cash-on-delivery (COD) masih menjadi metode pembayaran yang dominan di Cina, menguasai hingga lebih dari 70% total pembayaran.

Saat ini, Asia Tenggara sangat bergantung kepada COD ketika berbelanja online, menyumbang hingga 70% dari total transaksi.

Untuk menghilangkan ketergantungan konsumen yang tinggi terhadap COD, banyak startup yang memiliki modal besar atau berasal dari konglomerat yang telah berusaha untuk menyelesaikan masalah pembayaran ini, termasuk Omise (Thailand), Doku (Indonesia), LINE Pay (Thailand), dan True Money (Thailand).

Namun demikian, meski dengan PR dan hype media yang besar, solusi asal dalam negeri ini belum bisa menggeser konsumen dari COD karena banyak dari usaha yang dilakukan ini hanyalah “teknologi demi kepentingan teknologi” semata — membangun mobil yang lebih cepat saat yang dibutuhkan adalah jalanan yang lebih banyak.

Tantangan Produk

  • Platform seperti Omise dan 2C2P hanyalah gerbang pembayaran dan tidak menawarkan solusi yang lebih baik bagi ruang C2C dan P2P yang besar yang diprediksi oleh Google dan Temasek mencapai ‘beberapa milyar dollar’. Para payment gateway ini terutama masih memproses kartu kredit dan, dengan penetrasi kartu kredit di pasar berkembang Asia Tenggara masih bernilai hanya satu digit, tidak terlalu mengatasi masalah utama yang ada. Selain itu, solusi ini juga tidak menawarkan obat dari masalah kepercayaan yang sering menghalangi transaksi C2C dan P2P — terutama escrow.
  • 2C2P dan Omise juga berisiko ditinggalkan pengguna karena tidak adanya ikatan apapun dengan pengguna akhir, yang berarti jika ada alternatif yang lebih murah dan lebih baik muncul tidak ada yang bisa menghentikan para merchant untuk beralih ke produk tersebut. Taobao mengharuskan pengguna untuk mendaftar ke Alipay, sehingga membuatnya lebih mudah untuk meyakinkan platform ecommerce non-Taobao untuk turut mengadopsi Alipay.
  • Rabbit LINE Pay, sebelumnya LINE Pay, tidak pernah menangkap jumlah market share yang dominan meski dengan asosiasinya dengan LINE, platform berkirim pesan populer yang memiliki 33 juta pengguna di Thailand. Layanan ini juga terbatas karena hanya melayani kartu kredit, lagi-lagi tidak memecahkan masalah fundamental kurangnya penetrasi kartu kredit di wilayah ini.

Tantangan Distribusi

  • Meski dengan usaha yang baik untuk memberikan konsumen dengan pilihan metode pembayaran kedua, startup fintech seperti Digio dan Deep Pocket hanya membangun dompet mobile sebelum memecahkan masalah utamanya.
  • Sangat sulit bagi dompet mobile untuk digunakan secara luas saat awareness masih sangat rendah dan pengguna tidak memiliki insentif yang kuat (biasanya finansial) untuk untuk mengadopsinya. Akuisisi pengguna kemudian menjadi mahal tanpa adanya channel distribusi yang terpaut.

Tantangan (Kurangnya) Praktik Penggunaan

  • Salah satu dompet mobile terdepan di Thailand yang dimiliki oleh Ascend, True Money, tersambung dengan bank besar di Thailand dan memiliki akses distribusi ke perusahaan-perusahaan di portfolio konglomerat CP, termasuk lebih dari 19 juta pelanggan mobile.
  • Namun demikian, True Money dilaporkan hanya memiliki 100,000 pengguna aktif bulanan dari 6 juta pengguna yang terdaftar sejak 2014. Praktik penggunaan True Money saat ini hanya terbatas pada top-up telepon seluler, top-up online game, dan pembayaran tagihan dan pembayaran di konter, biasanya di toko 7-11 yang dimiliki oleh CP.

Ecommerce merupakan penggunaan yang lebih jelas dan natural bagi dompet mobile dan karena itu True Money juga digunakan sebagai metode pembayaran di perusahaan ecommerce milik Ascend seperti WeMall dan WeLoveShopping. Namun demikian, dengan total gabungan trafik mereka yang hanya mencapai 26% dari total trafik Lazada, Ascend masih memiliki jalan yang panjang untuk mengikuti jejak Peter Thiel dan mengubah properti ecommerce mereka menjadi tempat bertumbuh bagi solusi pembayaran mereka.

Akuisisi Lazada: Strategi Kuda Trojan?

Langkah Alibaba ke Asia Tenggara tidak pernah hanya tentang menumbuhkan GMV ritel mereka. Dalam jangka panjang, bukan masalah mengalahkan rival Lazada atau mencari pasar baru di luar Tiongkok; semua ini tentang mendapatkan akses ke basis pelanggan besar di pasar yang kekurangan infrastruktur ecommerce-nya sangat mirip dengan Tiongkok pada masa permulaannya. Permainan akhir Jack Ma adalah untuk mengenalkan dan memonetisasi produk dan layanannya yang lain, dimulai dengan Alipay.

Kuda trojan Alibaba
Kuda trojan Alibaba

Mengadopsi Alipay akan berperan besar dalam pertumbuhan ecommerce di skala regional dan Lazada pada khususnya. Adopsi secara luas dari sebuah platform pembayaran nyaman yang menjembatani krisis kepercayaan antara pembeli dan penjual akan berujung kepada kenaikan transaksi secara keseluruhan seperti yang telah terlihat di Tiongkok, pasar ecommerce terbesar si dunia dalam hal penetrasi dan GMV-nya.

Berita tentang pembelian 20% saham Ascend Money, induk perusahaan True Money, oleh Alibaba yang datang hanya beberapa bulan setelah pembelian Lazada, menunjukan master plan Jack Ma bagi Asia Tenggara mulai membuahkan hasil.

Semua ini lebih dari hanya sekadar Alipay dan memfasilitasi pembayaran di marketplace. Seperti yang telah disebutkan di atas, Ant Financial, induk perusahaan Alipay, mengoperasikan seluruh ekosistem finansial digital di Tiongkok yang terdiri, namun tidak terbatas, dari: Yu’e Bao, dana bersama terbesar di Tiongkok dalam rangka investor dengan aset sebesar $108 miliar; Zhaocai Bao, sebuah platform peminjaman P2P dengan transaksi sebesar $32 miliar di tahun pertamanya; dan Sesame Credit, sebuah sistem credit-scoring yang didasarkan dari — bisa Anda tebak — data ecommerce.

Dan sektor finansial hanyalah permulaan. Jack Ma, di dalam surat bagi pemegang sahamnya di tahun 2015, mengisyaratkan banyaknya hal yang masih akan datang:

“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur ecommerce untuk masa depan. Ecommerce hanyalah langkah pertama. […] Sekitar setengah dari tenaga kerja Alibaba Grup dan perusahaan terafiliasinya, termasuk Ant Financial dan Cainiao, bekerja di area-area penting bagi ekosistem kita, termasuk logistik, finansial internet, big data, cloud computing, mobile internet, periklanan dan juga yang disebut Industri double H – Health and Happiness (bisnis kesehatan dan hiburan digital berbasis big data yang akan memerlukan 10 tahun untuk menjadi data-driven)”

Karena itu, seharusnya bukan para peritel seperti MatahariMall atau Central yang khawatir akan meningkatnya kompetisi; namun para bank, penyedia asuransi, rumah sakit dan yang lainnya yang harus bersiap menerima pecutan keras.

Sebagai kilasan apa yang mungkin akan terjadi di Asia Tenggara, kita hanya perlu melihat apa yang terjadi pada Uber baru-baru ini di Tiongkok.

Belajar dari Tiongkok atau Bagaimana Strategi Kuda Trojan Alibaba Membunuh Uber Tiongkok

“Uber tidak kalah dari Tiongkok pada tahun 2016. Mereka kalah di 2014 saat baru masuk, dan menyadarinya 2 tahun kemudian.” — Wang Di, Pengguna Quora

Alibaba, bekerja sama dengan rival lama mereka Tencent, mengadopsi strategi yang mirip di Tiongkok untuk menyingkirkan Uber. Orang luar sudah sering mendengar alasan strategi buku teks klasik “bagaimana-perusahaan-internet-asing-gagal-di-Tiongkok” seperti kurangnya pelokalan (halangan bahasa/budaya), kurangnya koneksi/guanxi, perlindungan pemerintah dan kurangnya pelaksanaan hukum IP.

Meskipun semua hal ini memiliki perannya sendiri, tidak satupun menjelaskan alasan utama mengapa Uber mengalami kegagalan di Cina.

Uber gagal karena mereka mengira bahwa persaingan mereka hanya di ruang transportasi dengan Didi. Yang tidak mereka ketahui, pemegang saham mayoritas Didi, Alibaba dan Tencent, bermain dengan peraturan yang sama sekali berbeda. Bagi Alibaba (dan Tencent), Didi bukanlah hanya aplikasi penyedia jasa transportasi; strategi Didi dan tujuan tersembunyinya adalah untuk berperan sebagai channel akuisisi scalable Alipay Wallet, versi mobile dari Alipay, serta WeChat Wallet milik Tencent, menurut jawaban brilian di situs Quora ini:

Sekitar tahun 2012, kesuksesan besar WeChat membantu banyak perusahaan IT di Tiongkok untuk menggeser fokus mereka ke pasar aplikasi mobile. Sementara itu, meski dengan beberapa suspensi, pemerintah mulai mendukung pembangunan pembayaran mobile. Semuanya telah siap bagi Tencent dan Alibaba untuk meluncurkan aplikasi pembayaran mobile mereka untuk menjadi hal yang besar. Semua, kecuali kebiasaan pengguna di Tiongkok.

Masyarakat di Tiongkok belum terlalu familiar dengan pembayaran mobile pada saat itu. Bahkan, belum ada sama sekali sebuah grup masyarakat di dunia yang secara signifikan lebih baik pada saat itu. Lebih lagi, masyarakat Tiongkok sangat berhati-hati saat melakukan proses pembayaran, dan banyak dari mereka bukanlah penggemar gadget terbaru.

Namun mereka semua menyukai diskon atau pembayaran kembali! Satu dollar yang dihemat adalah satu dollar yang dihasilkan.

Aplikasi pemanggil taksi Didi dan Kuaidi menjadi pengenalan trafik pengguna yang sempurna.

Anda bisa menggunakan Didi untuk memanggil taksi dan membayar 30 yuan secara tunai, namun jika Anda membayar taksi dengan menggunakan Tencent Wallet (diarahkan dari Didi), Anda hanya harus membayar 10 yuan. Apakah Anda bersedia untuk menghemat 20 yuan—$3 atau 4—dengan menggunakan fitur yang sudah tersedia di aplikasi tersebut? Hanya dengan memencet di sini dan di sana? Tentu saja.

Dan sekarang Anda telah tersambung dengan WeChat Wallet. Seperti yang diinginkan oleh Tencent.

Dengan Didi sebagai channel distribusi penting bagi Alipay Wallet, Alibaba berhasil mengakuisisi lebih banyak pengguna ke dalam ekosistem layanannya termasuk Taobao, Tmall, Ant Finance dan lebih banyak lagi, yang memimpin monetisasi ke seluruh produk lainnya. Uber hanya memiliki transportasi.

Tencent dan Alibaba telah menaruh jumlah uang yang sangat banyak untuk membayar subsidi pembayaran kembali ini. Terlalu banyak untuk sebuah aplikasi pemanggil taksi, namun sangat wajar jika Anda ingin menandai wilayah Anda di pasar terbesar dengan sistem pembayaran mobile yang paling terdepan di dunia.

Masa Depan Bagi Asia Tenggara

Dengan didaulatnya Asia Tenggara sebagai pasar ecommerce yang besar dan belum terjamah selanjutnya di dunia, kita akan melihat banyak pemain yang mensubsidi jalan mereka demi mencapai pertumbuhan melalui diskon dan kupon. Tidak mengherankan, kritikus sering melihat cara ini sebagai perlombaan ke bawah bagi semua pihak.

Tidak selamanya benar. Sebagaimana contoh yang telah ditunjukan Uber Cina kepada kita, hal ini hanya akan gagal bagi para perusahaan yang tidak melihat gambar yang lebih besar dan tidak mampu memonetisasi melalui set produk atau layanan yang berbeda, baik saat ini maupun di masa depan.

Dengan mempertimbangkan hal ini, seseorang bisa berargumen bahwa Alibaba mendapatkan penawaran yang baik dengan Lazada, terutama mengingat kesempatan jangka panjang yang ada di Asia Tenggara melebihi ecommerce ritel. Saham Alibaba pun mengkonfirmasi hal ini—Harga saham Alibaba melonjak naik setelah berita akuisisinya diumumkan pada 12 April dan meningkat 35% sejak saat itu (per 3 Oktober 2016).

Akuisisi Alibaba secara luas dianggap kemenangan bagi pertumbuhan ecommerce di Asia Tenggara namun berapa banyak di antara kita yang siap menghadapi fakta bahwa piala apapun yang kita dapatkan tidaklah berbentuk kuda unicorn namun mungkin kuda yang lain?


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Menyambut Musim Diskon Online: Bagaimana Asia Tenggara Menirukan Fenomena Online Tiongkok

Bagi para pembelanja online, 11.11 telah menjadi fenomena belanja tersendiri. Acara diskon online terbesar di Tiongkok ini diprakarsai oleh raksasa ecommerce Alibaba, di mana besaran diskon dari para penjual yang berpartisipasi berkisar dari 25%-70% dan mencatat rekor $5 miliar produk terjual dalam 90 menit pertama pada tahun lalu.

Alibaba, yang memiliki marketplace online Tmall dan Taobao, berhasil menjual produk seharga $14.3 miliar selama periode diskon tahun lalu, yang ditargetkan kepada 386 juta pengguna aktif tahunan – angka yang lebih besar dari populasi di AS.

Fortune menyebut kampanye ini, cukup akurat, sebagai “Black Friday on steroids”.

Penghasilan gabungan dari Black Friday dan Cyber Monday, periode sale terbesar di Amerika Utara, berjumlah $7.54 miliar pada tahun lalu, yang walaupun mengesankan namun hanya merupakan setengah dari pemasukan Alibaba di periode penjualan yang sama.

Pendapatan Alibaba di Single's Day vs Cyber Monday di Amerika Serikat
Pendapatan Alibaba di Single’s Day vs Cyber Monday di Amerika Serikat

Latar Belakang Budaya 11.11

‘Single’s Day’ awalnya berasal dari Universitas Nanjing pada tahun 1993 di mana sekumpulan grup para orang lajang berkumpul untuk merayakan status ketidak-terikatan mereka dengan cara berbelanja. Pada tahun 2009, Jack Ma, Chairman dari Grup Alibaba, melihat potensi hal ini kemudian menciptakan acara belanja online bagi para kaum muda ini, memposisikan hari ini untuk memanjakan diri sendiri.

‘Single’s Day’ kemudian meraih pamornya dan dimonetisasi oleh Alibaba, menjadikan hari ini sebagai pertunjukan perbelanjaan online di platform marketplace mereka dan mendorong transaksi bisnis selama periode sepi di Tiongkok, antara Golden Week pada bulan Oktober dan Tahun Baru Tiongkok di bulan Januari hingga Februari. Hal ini juga pertama kali diperkenalkan saat ecommerce sedang meledak di Tiongkok, menghasilkan pertumbuhan sebesar 5,470% bagi program diskon “Double 11” selama 2009 dan 2013.

rts6cc7-1024x813

Perusahaan ini sejak saat itu telah menjadikan istilah tersebut sebagai merk dagang mereka pada Desember 2012, yang memungkinkan mereka mengambil aksi hukum terhadap outlet media yang menerima iklan dari kompetitor yang secara spesifik menggunakan istilah ini.

Diskon 11.11 juga telah mencapai ratusan juta pembelanja Tiongkok di luar kota besar seperti Beijing dan Shanghai, yang mengandalkan Taobao dan Tmall karena mereka tidak memiliki mall besar di kota mereka.

Program marketing offline yang mereka lakukan juga berkontribusi kepada kesuksesan 11.11. Dengan menghadirkan selebritas global seperti Daniel Craig dan Kevin Spacey ke acara launching-nya, Alibaba menjadikan fenomena belanja ini sebagai acara yang patut untuk dirayakan.

Untuk pertama kalinya sejak promosi 11.11 diluncurkan, Grup Alibaba telah mengumumkan bahwa acara tahun ini akan berlangsung selama 24 hari dan bukannya 24 jam. Mereka juga akan menandai acara ini dengan memperkenalkan teknologi virtual reality milik Alibaba, Buy+, yang menjanjikan pembelanja sensasi berbelanja langsung ke toko ritel melalui headset VR. Tahun ini juga akan melihat ekspansi 11.11 ke Hong Kong dan Taiwan.

Dengan kesuksesan kampanye 11.11 dari Alibaba, tidak mengherankan jika Asia Tenggara kemudian mengikuti jejak Tiongkok. Meskipun bukan untuk merayakan status-kesendirian, marketplace online besar seperti Lazada dan Moxy (sekarang dikenal sebagai Orami) telah mengadopsi kampanye 11.11 Alibaba dengan versi mereka sendiri.

lazada1111-1024x762

Pemain online berada di bawah tekanan untuk melakukan dan berpartisipasi selama periode ini karena banyak brand besar dan peritel yang mulai menawarkan diskon yang lebih besar dan lebih baik berkat modal yang lebih besar dan jumlah merchant yang lebih banyak.

Di Asia Tenggara, para marketplace menggunakan periode 11.11 sebagai tes lakmus untuk melihat seberapa baik performa mereka dibanding para kompetitor di pasar lokal.

11.11 Versi Asia Tenggara

Mulai dari merekrut tenaga kerja tambahan hingga memastikan para pembelanja mengetahui program diskon ini, marketplace menggunakan strategi media sosial hingga berbulan-bulan sebelum acara tersebut berlangsung dan mengkalkulasi prediksi stok yang ada untuk memastikan acara diskon ini sukses.

Inilah bagaimana pemain-pemain terbesar di Asia Tenggara memanfaatkan momentum 11.11:

Marketing blitz: Personalisasi sosial adalah kunci

Sebagai marketplace ecommerce terbesar di wilayah ini, Lazada telah mengadaptasi 11.11 dan mengekstensikannya dengan acara 12.12 milik mereka pada 12 Desember dan menyebutnya sebagai ‘The Online Revolution’, yang dimulai pada tahun 2012.

Lazada Thailand mencatat pertumbuhan di GMV mereka hingga $40 juta selama 10-12 Desember 2015 dan melihat kenaikan pertumbuhan partisipasi dari konsumen mereka. Lazada Thailand mencatat 300% kenaikan pesanan dibandingkan periode yang sama pada 2014.

“Di Thailand, kami melihat channel marketing yang paling sukses biasanya sangat sosial,” ujar Baptiste Le Gal, CMO Lazada Thailand. “Manajemen hubungan konsumen adalah channel utama untuk memberikan penawaran yang cocok dengan ketertarikan mereka.”

Tren konsumen pun mengalami sedikit berubahan di Thailand. Baptiste melihat bahwa barang elektronik yang biasanya menjadi kategori paling populer, telah digantikan oleh kategori yang lebih mengarah ke segmen gaya hidup seperti kesehatan & kecantikan dan peralatan rumah tangga di platform mereka.

Adopsi mobile yang tinggi di Thailand juga berkontribusi kepada prilaku konsumen saat berbelanja di Lazada.

Dengan pasar yang mengutamakan mobile berarti Lazada harus berfokus dengan aspek mobile di channel mereka dan memastikan bahwa aplikasi mobile Lazada telah optimal untuk memastikan pengalaman pengguna yang baik selama periode kampanya tersebut. Marketplace ini juga telah meluncurkan iklan ‘make your dreams come true’ di Singapura, untuk menyambut acara besar ini.

Zalora, portal fashion milik Rocket Internet, juga mengikuti formula Rocket dengan menawarkan diskon hingga 80% baik untuk 11.11 dan 12.12. Strategi marketing Zalora Indonesia untuk mempromosikan kampanye ini dilakukan dari bulan Oktober hingga ke grand finale di 12.12, dimulai dengan Zalora Great Sale yang tengah berlangsung, yang bisa digunakan para pembelanja untuk mempersiapkan mereka di acara utamanya.

“Pada tahun 2015, keseluruhan penjualan untuk 12.12 naik hingga 30 kali dibanding penjualan rata-rata di hari biasa, dengan brand yang berpartisipasi juga melihat kenaikan penjualan meski masa kampanye telah berakhir,” ujar Priyanto Lim, Head of Marketplace di Zalora Indonesia.

9695706_zalora-1212-online-fever_t82ab5e6d

Namun memberikan diskon besar saja tidaklah cukup. Zalora Indonesia mengadakan kompetisi online, menyediakan hadiah ekstra dan menggunakan endorsement selebritas di media sosial sebagai bagian dari promosi untuk menciptakan hype acara diskon besar ini. Intinya, para konsumen akan dibanjiri dengan insentif dan pemicu untuk melakukan pembelian.

Nampaknya, spekulasi bahwa brand merasa tertekan untuk berpartisipasi dan melakukan potongan biaya untuk bisa berkompetisi dengan merchant yang lain tidak mengurangi pengaruh dari kampanye ini.

“Kontra dari apa yang disebutkan di artikel tersebut, brand sangat bersedia untuk bekerja sama dengan kami karena mereka juga diuntungkan dengan ekstra trafik [yang dihasilkan],” ujar Priyanto.

Marketplace bagi perempuan, Orami fokus dengan menghasilkan konten original bertema ‘Single’s Day’ dan memanfaatkan komunitas mereka untuk menghasilkan trafik ke website dan berinteraksi dengan pembelanja dibanding melakukan kampanye promosi besar-besaran.

“Untuk mendorong interaksi media sosial, Orami juga menggunakan Facebook sebagai cara untuk menciptakan interaksi dengan pengguna melalui permainan online yang bertemakan Single’s Day,” ujar Shannon Kalayanamitr, co-founder dan CMO Orami.

Menargetkan wilayah mobile-centric

Shopee, platform belanja mobile milik Garena, merilis mega sale versi mereka untuk pertama kalinya tahun ini, menyebutnya 9.9 pada 9 September. Diuntungkan dengan pertumbuhan pesat pasar mobile yang berada di wilayah ini, platform ini menyasar para konsumen mobile-first di Thailand dengan cara merilis produk yang sudah didiskon besar-besaran secara berkala sepanjang hari untuk menjaga antisipasi konsumen mereka.

Situs website Shopee bahkan menerbitkan jadwal diskon sebelumnya sehingga pembeli dapat mengatur alarm bagi produk yang mereka incar, menciptakan mentalitas ‘ready-set-go’ bagi pembeli untuk mendorong daya saing dan membuat mereka berbelanja lebih.

Shopee-9.9-Mobile-Shopping-Day_square

Penyedia layanan niche turut berpartisipasi

11.11 juga telah menginspirasi penyedia layanan online di Asia Tenggara untuk mengikuti tren prilaku online ini.

Penyedia bahan makanan on-demand, HappyFresh Indonesia, menawarkan hingga 30% diskon untuk produk yang paling populer dalam kampanye marketing mereka tahun lalu.

489ffa98-be06-4d73-bfea-8f802dfd59ba

Dan pemain baru di sektor yang sama di Thailand, honestbee, saat ini bekerja dengan jaringan supermarket populer di Thailand, Villa Market untuk memasuki sektor ‘barang kebutuhan sehari-hari’ yang termasuk air, makanan segar dan daging. Barang-barang ini semua akan menjadi bagian dari kampanye promosi besar layanan pengiriman ini.

Ketika bahan makanan didiskon, pembeli cenderung menyimpan ‘persediaan’, terutama ketika membeli secara online dengan pilihan yang lebih luas.

“Kami melihat pola pembelian pelanggan kami untuk melihat jenis barang apa yang populer di kalangan pembeli. Sebagai contoh, pelanggan di wilayah pemukiman sering memesan air mineral dan buah segar dengan volume besar, sehingga kami harus mengantisipasi bahwa sektor ini mungkin akan mengalami lonjakan pada kampanye 11.11 kami,” ujar Piyawat Laiphithak, Marketing Manager di honestbee Thailand.

honestbee juga berencana melakukan gimmick bertema ‘Singles Day’ dengan memberikan makanan ringan seperti gummy bears dan popcorn untuk pembeli.

11.11 Logistik: Apa yang terjadi di balik layar?

Ungkapan “dibutuhkan seluruh desa untuk membesarkan seorang anak” cocok untuk diterapkan di sini, jika kita menukar anak dengan kampanye secara online skala besar. Bagaimana perusahaan ecommerce memastikan fungsi optimal selama waktu yang sibuk ini?

Bagi penyedia solusi ecommerce, aCommerce, mereka telah merencanakan sekitar dua bulan sebelumnya untuk mengakomodasi lonjakan pesanan untuk klien yang berpartisipasi dalam acara diskon ini.

“Kami meningkatkan tenaga kerja kami sebesar tiga kali melalui kontrak sementara dan menjalankan operasi 24 jam selama masa lonjakan seperti 11.11 untuk memastikan permintaan pelanggan dapat terpenuhi,” Phensiri Sathianvongnusar, COO di aCommerce Thailand menyampaikan.

Staf sementara dipekerjakan melalui agen dan mendapatkan pelatihan khusus selama 2-3 hari untuk tugas mereka sebelum acara penjualan akbar ini.

Selama periode lonjakan, aCommerce juga menggunakan platform multi-shipping untuk memanfaatkan lebih dari 20 jaringan kurir untuk memastikan bahwa pengiriman dilakukan tepat waktu, demi performa terbaik dan memastikan tidak ada penjualan yang dibatalkan, karena waktu dan kecepatan adalah hal yang paling penting selama masa kampanye.

acom-1024x462

“Inventory planning sangatlah penting untuk kampanye seperti 11.11 dan 12.12, jadi kami menggunakan data historis dari peristiwa di tahun-tahun sebelumnya untuk menentukan jenis produk apa yang cenderung populer selama periode diskon ini dan menghindari kekurangan stok,” tambah Phensiri.

Untuk para brand yang tidak berpartisipasi dalam kampanye 11.11, mereka adalah bagian dari jalur ekspress yang menjamin bahwa produk mereka masih tetap menjadi prioritas selama masa kampanye.

Sebuah liga tersendiri

Menggunakan kampanye 11.11 Tiongkok sebagai latar belakang, pasar online Asia Tenggara mengukir mega sale versi mereka sendiri yang tidak bisa dengan hanya meniru Alibaba untuk meraih kesuksesan.

Asia Tenggara berpotensi dapat melompati Tiongkok dengan ledakan pertumbuhan mobile di kawasan ini dan meningkatnya kelas menengah. Kampanye besar seperti 11.11 akan terus bertumbuh setiap tahunnya seiring dengan semakin banyaknya konsumen yang masuk ke online. Platform mobile-first seperti Shopee sudah bergerak cepat dan menangkap pasar mobile yang tengah berkembang di Asia Tenggara, mencerminkan kenaikan dari belanja mobile di Tiongkok, di mana 72% dari pembelian selama tahun lalu saat 11.11 berasal dari mobile.

Respon positif dan durasi kampanye merupakan bukti tumbuhnya antusiasme kawasan ini dengan ecommerce, mungkin merupakan indikasi positif bahwa kita beringsut menjauh dari bayang-bayang Tiongkok.


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Anutra Chatikavanij dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

5 Alasan Lazada Mengakuisisi RedMart

Spekulasi yang muncul akhir pekan lalu bahwa Lazada, online marketplace terdepan di Asia Tenggara, yang dikabarkan ingin mengakuisisi startup online grocery asal Singapura, Redmart seharga $30-40 juta, telah terkonfirmasi. Lazada, yang baru mendapat suntikan dana segar sebesar $1 miliar dari Alibaba, sebelumnya tidak dikenal dengan kebiasaan mengadopsi model dengan aset berat; bahkan mereka secara aktif mencoba berubah menjadi model marketplace sepenuhnya, khususnya setelah akuisisi Alibaba.

Lalu mengapa perusahaan yang satu ini kemudian ingin mengakuisisi sebuah peritel bahan makanan online? ecommerceIQ membagi beberapa kemungkinan alasannya:

1. Bergabung dengan arena baru yang sedang berkembang

Elektronik, kesehatan & kecantikan, pakaian, kebutuhan rumah tangga, Lazada menawarkan semua kategori ini, kecuali barang yang mudah rusak/bahan makanan.

Bahan pangan online telah hadir di Amerika Utara sejak tren Dot-com namun baru akhir-akhir ini menjadi populer melalui model on-demand, pertama kali dikenalkan oleh Instacart dan sejak saat berkembang dengan kehadiran Google dan Postmates yang memenuhi ruang ini.

Sektor bahan makanan offline di Singapura bernilai dengan estimasi sebesar SG$5.5 miliar pada 2014, sementara ritel bahan makanan online diperkirakan berharga SG$120 juta dan hanya menyusun 1-2% dari seluruh pasar bahan makanan di Singapura. Hal ini menunjukan bahwa semakin banyak pekerja profesional dan keluarga yang rela mengeluarkan uang untuk mendapati kenyamanan bahan makanan mereka dikirimkan ke pintu depan mereka.

Dari semua negara Asia Tenggara, Singapura memiliki penetrasi internet tertinggi dan kemampuan berbelanja terbesar, menjadikan pasar ini paling siap untuk model bisnis seperti ini. ECOMScape: Singapore menunjukan banyaknya pemain, baik dari tradisional peritel bahan makanan offline maupun pemain online murni, yang turut bergabung di sektor e-grocery ini dengan harapan bisa mendapatkan bagian di pasar online ini.

Landscape E-Commerce Food Grocery Singapura
Lanskap E-Commerce Food Grocery Singapura
Lanskap E-Commerce Ritel Singapura
Lanskap E-Commerce Ritel Singapura

“Strategi untuk memasuki ruang ini adalah mencari pemain lokal yang telah menunjukan traksi dan membeli mereka untuk mendapatkan pijakan yang kuat dan kita akan melihat banyak (kejadian) seperti itu,” ujar Vinnie Lauria, Founding Partner dari Golden Gate Ventures, yang telah berinvestasi di marketplace seperti Carousell dan penjual bahan makanan online Redmart.

Dengan mengakuisisi Redmart, Lazada akan turut masuk ke dalam kompetisi bahan makanan online yang sudah sengit namun dengan reputasi yang terjamin dan Alibaba di sudut mereka, mereka memiliki kemampuan untuk mengurangi kerugian operasional Redmart dan menjadi pemain baru yang kuat. Akuisisi Redmart oleh Lazada sebenernya menyelamatkan startup tersebut untuk berakhir menjadi Webvan selanjutnya, pionir penjual bahan makanan online yang membakar uang terlalu cepat.

“Sebagai bagian dari strategi pertumbuhan kami, kami selalu mencari cara untuk melayani konsumen kami lebih baik dengan menambahkan kategori-kategori produk baru dan memperbaiki penawaran layanan kami,” komentar Maximilian Bittner, Group CEO Lazada, tentang akuisisi ini.

Dengan pendekatan multi-kategori, akuisisi Redmart ini akan memungkinkan Lazada untuk memaksimalkan pendapatan per pengguna Redmart untuk melebihi penjualan bahan makanan yang sering dicirikan oleh margin yang tipis.

2. Lelong, lelong!

Asia Tenggara sangat menyukai penawaran yang bagus dan tidak heran bahwa Redmart diam-diam menempatkan menaruh diri mereka di pasaran setelah laporan kerugian operasional sebesar $21 juta pada 2015 dan kewajiban perusahaan yang dinilai sebesar $125 juta muncul pada awal tahun ini. Terdengar juga rumor bahwa pada awal tahun ini Redmart berusaha mendapatkan suntikan dana baru sebesar $100 juta namun belum ada konfirmasi apapun. $30-40 juta bukan lah harga yang buruk bagi startup yang telah mendapatkan pendanaan lebih dari $59 juta dari Softbank, Garena dan didukung oleh selebritas tech seperti co-founder Facebook, Eduardo Saverin.

Lazada dengan percaya diri melakukan akuisisi ini karena tahu mereka bisa mengoptimalkan biaya operasional dengan memanfaatkan armada mereka sendiri untuk melakukan pengiriman melalui LEX. Sebagai perbandingan dengan kompetitor mereka, Honestbee dan HappyFresh, model bisnis Redmart bekerja cukup baik:

Sumber: Tech In Asia
Sumber: Tech In Asia

3. Distribusi lebih lanjut untuk Alipay

Pilihan pembayaran Redmart saat ini meliputi PayPal dan kartu kredit. Tidak akan lama sebelum Lazada mengimplementasikan Alipay di situs mereka dan memungkinkan para pembelanja untuk membayar bahan makanan mereka melalui Alipay. Bahan pangan adalah gerbang yang tepat untuk membuat pengguna ketagihan untuk melakukan pembelanjaan online — dibutuhkan semua orang dan memiliki harga rata-rata yang cukup rendah. Seperti Alibaba yang memanfaatkan Didi di Cina untuk membuat penggunanya mendaftarkan diri ke Alipay Wallet dengan mensubsidi pesanan taksi, mereka akan menggunakan bahan pangan dari Redmart untuk menarik masyarakat di Asia Tenggara bergantung dengan Alipay.

Ant Financial, perusahaan di balik Alipay telah melakukan beberapa langkah untuk melancarkan ekspansi global mereka dan memastikan bahwa metode pembayaran tersebut tersebar di seluruh Asia Tenggara. Perusahaan ini telah memiliki partnership dengan banyak perusahaan, termasuk Concardis, Ingenico, Wirecard dan Zapper di Eropa, First Data dan Verizone di Amerika Utara dan Paysbuy dan Counter Services di Asia Tenggara.

Alipay adalah sistem pembayaran dan transfer uang online terbesar di Cina dengan lebih dari 450 juta pengguna aktif. Tidak akan lama atau terlalu sulit bagi Jack Ma untuk mengeluarkan Kuda Trojan-nya.

4. Mendapatkan tenaga kerja e-commerce

Tantangan SDM bukanlah konsep yang baru bagi perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara. Dengan mengakuisisi Redmart, Lazada mendapatkan 200 pegawai in-house secara instan yang sudah terlatih di bidang khusus ecommerce. Kemampuan mengakuisisi bakat yang memiliki pengetahuan luas dan terampil akan memudahkan Lazada untuk mengekspansi ecommerce kategori bahan pangan secara cepat di negara Asia Tenggara lainnya di mana Lazada berada selain Singapura. Indonesia, Thailand, Filipina dan Malaysia mempunyai pengeluaran konsumen untuk makanan dan minuman tidak beralkohol yang masing-masing sebesar $130.2 miliar, $63.3 miliar, $51.3 miliar dan $25 miliar (Agriculture Canada). Dan selain itu…

5. Amazon segera hadir di Asia Tenggara

Raksasa ecommerce asal AS, Amazon akhirnya mengumumkan rencana mereka memasuki Asia Tenggara via Singapore pada Q1 2017 dan Lazada perlu menjaga keunggulan kompetitif mereka. Amazon telah memulai Amazon Prime dengan versi yang telah disesuaikan di Cina agar mampu berkompetisi lebih baik dengan Alibaba dan kemungkinan besar juga akan memperkenalkan layanan eksklusif yang sama di Asia Tenggara yang membuat konsumen mereka di AS sangat loyal kepada marketplace ini — seperti Amazon Fresh dan Amazon Prime.

Amazon Fresh diluncurkan pada tahun 20o7 dan saat ini berada di 17 pasar. Pembelanja hanya butuh membayar $14.99 per bulan untuk layanan ini namun membutuhkan keanggotaan Amazon Prime — sebuah layanan yang masih belum direplikasi Lazada untuk penggunanya.

“Standar bagi ritel bahan makanan sangat tinggi. Supermarket dan penjual bahan pangan adalah salah satu peritel yang terbaik di dunia.” Ajay Kava, Vice-President dari Amazon Fresh, menyampaikan kepada The Daily Telegraph.

“Kami percaya bahwa kunci dari kesuksesan jangka panjang Amazon Fresh adalah untuk menggabungkan harga yang murah, pilihan yang beragam, metode pengiriman yang cepat dan pengalaman pengguna yang dikenal dan dicintai oleh para pengguna Amazon.”

Biarkan penajaman pisau dapur ini dimulai.

Mari menajamkan pisau untuk perang e-commerce yang lebih besar tahun depan
Mari menajamkan pisau untuk perang e-commerce yang lebih besar tahun depan


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Cynthia Luo dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Indonesia E-commerce Landscape: 6 Poin Utama dari Pertarungan Online di Indonesia

Untuk ‘memenangkan’ sebuah pasar, publikasi online akan berkata define your brand‘, tentukan keunggulan kompetitif brand Anda, pastikan produk Anda cocok dengan pasar, bangun database pelanggan, dan/atau pasarkan ke seluruh dunia. Dan meskipun bisnis Anda harus melakukan semua strategi ini, langkah pertama yang harus dilakukan setiap perusahaan, lama atau baru, adalah mengidentifikasi pemain kunci yang sudah ada di lapangan.

Asia Tenggara telah menjadi hotspot untuk saturasi berkat pertumbuhan yang fantastis – sektor online diperkirakan akan mencapai lebih dari $87 miliar pada tahun 2025 dan banyak pemain global seperti Alibaba and Amazon berebut untuk mendapatkan bagian dari kue ecommerce.

Namun yang pendatang baru sering abaikan atau terlambat mencari tahu ketika memasuki wilayah ini adalah sifat fragmentasinya. Setiap negara memiliki satu set keunggulan dan tantangan yang berbeda.

Bagi setiap pemain yang ingin merebut pangsa pasar Asia Tenggara, kunci untuk membuka potensi ini adalah pengetahuan lokal. Beberapa pemain berbeda hadir di beberapa segmen pasar dan beberapa mendominasi segmen niche tertentu, berharap untuk memecahkan masalah atau menangkap kesempatan yang belum dimanfaatkan, akan tetapi tantangan ecommerce berbeda-beda di setiap perbatasan.

The ECOMScape Series oleh ecommerceIQ bertujuan untuk memberikan Anda gambaran lengkap dari ekosistem ecommerce di masing-masing negara Asia Tenggara dari bisnis yang berjualan, ke spesialis yang menyediakan solusi online untuk mereka, terus hingga ke konsumen akhir. Kami berharap ini akan membantu Anda menavigasi ruang yang sangat kompetitif ini. Mari kita mulai dengan pasar terbesar dan paling menjanjikan di kawasan ini, Indonesia.

Indonesia Ecommerce Landscape: 6 Poin Kunci yang Bisa Diambil dari Kondisi Pasar yang Sedang Berlangsung

Negara ini sedang berada di jalur untuk menjadi salah satu pasar terbesar di Asia dengan potensi untuk menguasai 52% dari seluruh nilai ecommerce di Asia Tenggara pada tahun 2025.

Meskipun valuasi ecommerce yang sebesar $46 miliar menjadikannya pusat perhatian investor dan perusahaan asing dan menarik mereka untuk berdatangan, pemain lokal tidak terintimidasi oleh kehadiran pemain global. Apa lagi yang bisa kita lihat dari ekosistem ecommerce di Indonesia?

1. Pemain lokal mendominasi pasar, terutama di sektor niche

Perusahaan yang dikelola oleh orang Indonesia terlihat bermunculan di setiap sektor ecommerce di Indonesia, terutama C2C, Lifestyle & Travel dan niche yang lebih kecil yang jatuh di bawah kategori ‘Others’. Ini termasuk marketplace seperti Cipika, Qlapa, dan KuKa yang menjual produk lokal dan buatan tangan, serta Limakilo, marketplace yang ditargetkan untuk memfasilitasi petani lokal.

Kategori 'Others' di bawah sektor B2C diisi oleh pemain niche
Kategori ‘Others’ di bawah sektor B2C diisi oleh pemain niche

Beberapa perusahaan lokal seperti  Shoot Your Dream dan AkuLaku juga memahami titik lemah sistem pembayaran di pasar ini dan kemudian memungkinkan pelanggan untuk membeli produk menggunakan angsuran di situs mereka tanpa kartu kredit.

Menargetkan segmen konsumen yang lebih kecil untuk pemain lokal adalah salah satu cara untuk memberdayakan UKM lokal untuk merambah ranah online. Hal ini juga berarti kompetisi yang lebih sedikit karena pemain asing dan besar biasanya akan mencoba bersaing untuk mendapatkan pengguna yang lebih ‘mainstream’ seperti Lazada, Elevenia dan MatahariMall.

Salah satu alasan keberhasilan perusahaan yang dimiliki oleh orang Indonesia adalah karena keakraban mereka dengan tren dan perilaku lokal. Perusahaan-perusahaan ini, seperti Bukalapak, menyesuaikan kampanye marketing untuk mencocokkan dengan preferensi budaya dan mengidentifikasi lebih baik dengan pelanggan.

Kampanye video viral Bukalapak untuk Hari Belanja Online 12-12 tahun lalu, memperlihatkan CEO mereka menciptakan inisiatif marketing buatan rumah dan beranggaran kecil sambil 'meminta maaf' pada eksekutif di mana-mana karena mengganggu dan menurunkan produktivitas karyawan mereka dengan diskon besar yang ditawarkan mereka.
Kampanye video viral Bukalapak untuk Hari Belanja Online 12-12 tahun lalu, memperlihatkan CEO mereka menciptakan inisiatif marketing buatan rumah dan beranggaran kecil sambil ‘meminta maaf’ pada eksekutif di mana-mana karena mengganggu dan menurunkan produktivitas karyawan mereka dengan diskon besar yang ditawarkan mereka.

Di antara 20 situs top di Indonesia yang diambil dari SimilarWeb di bawah kategori ‘Shopping‘ ini, lebih dari setengahnya adalah perusahaan asli Indonesia.

3

Bahkan OLX and iProperty, yang memiliki keuntungan dari sumber daya yang luas dan berada di posisi teratas dari niche mereka seperti yang bisa dilihat di  bagian ‘Classifieds’ dulunya adalah perusahaan lokal yang diakuisisi oleh pemain regional.

2. Brand.com dan munculnya omni-channel

Model ecommerce yang paling populer di Indonesia saat ini adalah marketplace seperti Tokopedia dan Lazada. Bahkan di sektor vertikal seperti Fashion & Apparels, Electronics & Gadgets dan produk Local & Handcrafted, pilihan yang dominan masih marketplace.

Model ini populer karena mengakomodasi tumbuhnya minat UKM dan brand yang ingin membawa bisnis mereka secara online namun kekurangan modal atau tidak mau mengambil risiko melompat online dengan kedua kaki.

4

Namun, dengan semakin dewasanya industri dan brand yang menyadari pentingnya memiliki saluran online, lebih banyak yang kemudian mengadopsi strategi brand.com untuk menjangkau pelanggan secara langsung.

Adidas, HP and Kiehl’s  ini adalah beberapa nama-nama brand besar di bidang mereka masing-masing yang mengakui potensi online. Tidak hanya sebatas brand, peritel offline juga ikut loncat ke kereta ecommerce.

MatahariMall and MAPEmall hanya dua contoh dari peritel dengan modal besar yang baru saja bergabung dengan ruang online dan hal inipun terbayar. MAP, perusahaan induk dari MAPEmall, mengumumkan pertumbuhan laba 78% y.o.y pada bulan Agustus dan menyatakan usaha online mereka sebagai salah satu pendorongnya.

Dengan semakin banyaknya konsumer yang menuntut kenyamanan berbelanja di mana saja dan kapan saja, sangatlah penting bagi para peritel untuk melengkapi jaringan offline mereka dengan strategi online untuk menciptakan pengalaman omni-channel.

3. Sektor B2B perlahan-lahan mendapatkan momentum

B2C bukan satu-satunya sektor yang telah melihat peningkatan adopsi strategi online. Peritel industrial terbesar di Indonesia, Kawan Lama, adalah salah satu pemain awal yang membuat lompatan ke ecommerce di sektor ini.

Perusahaan ini meluncurkan situs shoppable yang memenuhi kedua pelanggan B2B dan B2C mereka, setelah melihat trafik yang tinggi dari konsumen yang mengunjungi katalognya, menunjukkan perubahan perilaku pelanggan. Peritel besar lainnya yang mengikuti strategi ini adalah Electronic City.

5

Namun, meskipun adanya dorongan untuk B2B ecommerce di Indonesia dengan pembentukan Indonetwork, sebuah direktori online dan pasar bagi UKM yang melayani B2B dan B2C, pemain di sektor ini masih sangat langka. Bizzy dan Mbiz adalah satu-satunya marketplace B2B signifikan yang diluncurkan setahun belakangan.

6

4. Riset pasar sangat dibutuhkan

Karena masih barunya kehadiran ecommerce di Asia Tenggara, hanya ada segelintir sumber daya yang ada untuk membantu bisnis membuat keputusan. Bahkan perusahaan riset termuka seperti Nielsen mengalami kesulitan memperoleh data pasar cukup untuk membuat laporan yang komprehensif.

7

Kurangnya pengetahuan dan wawasan mempengaruhi pertumbuhan ecommerce karena eksekutif dipaksa untuk membuat keputusan strategis berdasarkan insting mereka sehingga mengakibatkan para brand konservatif menjadi ragu untuk going online.

ecommerceIQ bertujuan untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan di Asia Tenggara dengan menyediakan riset pasar untuk eksekutif dalam bentuk puncak, laporan, wawasan dan data.

5. Hadirnya lebih banyak pilihan pembayaran untuk menjangkau populasi unbanked

Dengan lebih dari separuh penduduk di Indonesia masih tidak memiliki rekening bank dan penetrasi kartu kredit yang hanya 1.4%, pembayaran menjadi salah satu hambatan terbesar untuk pertumbuhan ecommerce di negara ini.

Perusahaan telko di Indonesia adalah salah satu kontributor kunci yang membantu membangun ekosistem ecommerce dengan meluncurkan mobile wallet versi mereka sendiri, metode pembayaran yang populer. Hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa setiap perusahaan telko memiliki website ecommerce mereka sendiri.

Salah satu Payment Gateway yang populer adalah Adyen, sebuah sistem pembayaran unicorn yang digunakan oleh Uber dan yang terbaru, Grab dan aCommerce. Payment Gateway ini menawarkan pilihan secara offline dan online yang dipercaya oleh pengguna lokal, seperti transfer via ATM.

6. Diversifikasi jasa pengiriman

Infrastruktur sering diakui sebagai salah satu hambatan utama bagi ecommerce di kawasan ini, terutama Indonesia di mana kurangnya transportasi umum, rumitnya kondisi geografis kepulauan dan kurang berkembangnya jalanan menimbulkan masalah serius.

Aplikasi pemesanan kendaraan pun memperluas penawaran mereka sampai ke layanan kurir untuk memenuhi permintaan yang terus berkembang. Gojek, misalnya, sebuah startup transportasi tradisional telah menjadi metode pengiriman pilihan yang dipilih oleh para pedagang C2C dan pembelinya karena menawarkan jasa pengiriman di hari yang sama dan memiliki sistem pelacakan dengan harga yang terjangkau.

8

Kategori pemain third-party logistic (3PL) atau logistik pihak ketiga juga sangat jenuh di Indonesia. Brand disediakan begitu banyak pilihan sehingga menjadi tugas yang memakan waktu untuk menemukan satu yang sesuai dengan kebutuhan bisnis dan konsumen mereka. Teknologi multi-shipping dari aCommerce atau Alibaba ‘Cainiao’ bertujuan untuk menghemat waktu dengan menggabungkan pilihan terbaik berdasarkan harga dan tujuan.

Potensi ecommerce di Indonesia telah menggoda banyak pemain, baik asing maupun lokal, untuk memasuki pasar ini. Namun, masih jauh perjalanannya sebelum pemenang yang jelas muncul dari medan perang ini.


Disclosure: Tulisan ini diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Runtuhnya Era Retailer Tradisional

Kuartal lalu, Amazon baru saja membukukan kinerja terbaiknya yang tercatat menghasilkan $29,1 miliar, menandakan pertumbuhan year-on-year sebesar 28%, lebih besar dari proyeksi sebelumnya yaitu $27,99 miliar. Hasil ini menandakan kuartal keempat Amazon berhasil menghasilkan profit secara berturut-turut dan memberikan penghasilan bersih tertinggi di sejarah perusahaan tersebut sebesar $513 juta.

Hasilnya? Harga saham Amazon menembus rekor dengan harga $767,74 per lembar. Selama dua tahun terakhir, saham Amazon berhasil naik lebih dari dua kali lipat, sementara retailer tradisional seperti Macy mengalami stagnansi atau bahkan penurunan. Dan ini hanyalah awal dari keberhasilan Amazon dan runtuhnya model ritel tradisional.

Mengapa ada yang ingin berinvestasi di saham Amazon pada harga yang sedang mahal-mahalnya? Sederhana. Dominasi Amazon dan nilai sahamnya hanya akan terus meningkat dengan adanya pergeseran dari ritel offline menuju e-commerce dalam skala global. Penetrasi e-commerce di Amerika Serikat sendiri saat ini “hanya” 7,7%. Bayangkan berapa kenaikan harga saham Amazon jika jumlah ini menginjak 50%?

Performa saham Amazon selama 10 tahun terakhir dibanding sejumlah retailer besar
Performa saham Amazon selama 10 tahun terakhir dibanding sejumlah retailer besar. Investasi sebesar $1000 di saham Amazon tahun 2006 akan dihargai $26.993 saat ini (tidak disesuaikan dengan inflasi [Google Finance]

Metrik jangka-pendek tradisional menghambat visi strategis jangka panjang bagi retailer tradisional

Ketika berbicara dengan para peritel tradisional di Asia Tenggara tentang melakukan e-commerce, pertanyaan yang selalu muncul adalah “Berapa Biaya Penjualan (Cost of Sales, CoS) untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis e-commerce saya?” Dalam e-commerce dan ruang teknologi, banyak dari kita yang sudah akrab dengan menggunakan metrik seperti biaya akuisisi pelanggan (customer acquisition cost, CAC), nilai pelanggan seumur hidup (customer lifetime value, CLV), dan laba atas investasi (returns of investment, ROI).

Namun, metrik yang paling umum bagi pelaku ritel offline adalah biaya penjualan yang merupakan investasi marketing dibagi dengan pendapatan. Ini adalah persentase dari penghasilan peritel tradisional yang dialokasikan untuk biaya marketing dalam anggaran tahunan mereka.

CoS untuk pengecer tradisional biasanya sekitar 5%, didorong oleh trafik warisan offline dan brand awareness. Bagi e-commerce, terutama untuk beberapa tahun pertama dan tergantung pada seberapa agresif bisnis mengakuisisi pelanggan untuk merebut pangsa pasar, jumlah ini bisa berada di antara 50-150%. Jelas, angka ini jauh lebih tinggi dari yang para peritel tradisional biasa keluarkan dan, sebagai hasilnya, merupakan alasan utama para pelaku bisnis offline batal pindah ke e-commerce.

Untungnya, CoS turun ketika jumlah SKU online mengalami kenaikan online, menghasilkan trafik online yang lebih banyak, ukuran keranjang belanja yang lebih besar, dan pembelian berulang lebih sering. Dalam jangka panjang, saat bisnis ecommerce bisa membangun database pelanggan mereka dan menemukan beberapa cara untuk memonetisasinya (lebih lanjut tentang ini nanti), CoS akan menurun dan berpotensi menjadi sebanding dengan nilai pada channel ritel offline. Data internal aCommerce menunjukkan contoh retailer online multi-kategori di Thailand memulai dengan sekitar 25% CoS dan kemudian turun ke 5-10% pada akhir tahun pertama dan 5-8% pada akhir tahun kedua.

Sayangnya, sebagian besar peritel tradisional di Asia Tenggara gagal untuk mengadopsi visi jangka panjang dan tidak pernah membuat lompatan awal ke ecommerce. Kurangnya bakat di wilayah ini juga memperburuk masalah karena banyaknya pengecer yang tidak punya pilihan selain untuk menempatkan orang ritel offline ke posisi ecommerce yang pola pikirnya tidak lebih dari musim liburan selanjutnya.

Di tahun pertama, Cost of Sales melonjak, tapi kemudian stabil di kisaran 15% saat mencapai akhir tahun kedua [Sumber: data internal aCommerce, Mei 2015]
Di tahun pertama, Cost of Sales melonjak, tapi kemudian stabil di kisaran 15% saat mencapai akhir tahun kedua [Sumber: data internal aCommerce, Mei 2015]

Mengontrol last-mile: Bukan tentang siapa yang menjual produk fisik lebih banyak, namun siapa yang memiliki pelanggan

Pengecer tradisional sering melihat ecommerce hanya sebagai cabang toko lainnya, hanya saja secara online. Pola pikir ini yang mencegah mereka melihat skema besar yang ada di dunia online.

Unilever tidak mengakuisisi Dollar Shave Club (DSC) sebesar $1 miliar untuk pisau cukur yang lebih baik, mereka membeli hubungan langsung yang dimiliki DSC dengan lebih dari tiga juta anggota (didominasi laki-laki) dan potensi untuk menjual kepada mereka produk dan jasa yang berkaitan. Daripada pergi melalui pengecer seperti Walmart, Unilever sekarang bisa menghampiri konsumen secara langsung dengan segala manfaatnya termasuk margin yang lebih tinggi dan wawasan pelanggan yang lebih dalam.

Alibaba tidak membeli Lazada sebagai saluran distribusi untuk produk buatan Cina, mereka membeli hubungan langsung dengan pelanggan dan kekuatan distribusi untuk membawa produk dengan margin yang lebih tinggi dan jasa lainnya seperti pembayaran dan asuransi.

Hanya masalah waktu sebelum Jack Ma membawa kuda trojannya dalam bentuk Ant Finance dan semua produk terkait seperti Alipay (platform pembayaran pihak-ketiga) dan Yu’e Bao (dana bersama online) ke Asia Tenggara. Sepak terjang Alibaba ke dalam asuransi melalui Zhongan dan kerjasama dengan AXA yang baru-baru ini diumumkan menunjukkan masa depan di mana Alibaba bisa meningkatkan pendapatan rata-rata per pengguna melalui menjual produk non-fisik secara online.

Xiaomi sebenernya hampir sama saja dengan memberikan smartphonenya secara gratis dengan menjualnya dengan harga yang sangat murah dan margin yang sangat tipis. Tujuan mereka adalah untuk mengumpulkan basis pengguna yang besar dan memonetisasikannya melalui penjualan produk mereka yang lainnya, mainan mewah, perangkat lunak, serta online dan mobile advertising. Dengan lebih dari 170 juta pengguna pada tahun 2016, Xiaomi memiliki pengguna lebih dari Snapchat (70+ juta) dan hampir menyusul LINE (220 juta).

Peritel internet murni akan membawa permainan mereka ke para peritel tradisional offline

Para peritel tradisional masih percaya bahwa mereka memiliki satu keuntungan yang unik lebih dari para pemain online: toko fisik mereka. Semua hype dan buzz tentang ritel omnichannel menjadi secercah harapan bagi para pemain seperti Macy’s dan Walmart. Bahkan saat Macy’s menutup toko fisiknya, mereka tetap berusaha menunjukkan permainan omnichannelnya dengan mengubah toko-toko yang masih hidup sebagai ruang pameran tempat fulfillment-center mini bagi in-store pickup untuk pesanan online.

Saat ini, perusahaan tidak lagi memisahkan penjualan online dalam pelaporan kepada investor, dengan alasan garisnya telah menjadi kabur antara website dan toko fisik. Walmart, setelah melewatkan perahu ecommerce, telah meningkatkan dua kali lipat usaha omnichannelnya, memperluas layanan beli online dan pick up di toko’ menjadi sekitar 30 pasar di AS.

Sayangnya, bahkan keuntungan tersebut perlahan terkikis oleh para pemain online yang secara cekatan bergerak ke offline, bukan untuk distribusi tetapi lebih sebagai perpanjangan dari merek online mereka.

“Dengan membuka toko fisik, brand meningkatkan kesadaran konsumen dan kemudian trafik situsnya. Para disruptor ini melihat internet sebagai cara untuk membangun bukti dari sebuah konsep dan akses ke modal murah sebelum kemudian melompat ke ritel ” – L2 Inc.

Warby Parker memiliki 12 lokasi ritel di seluruh AS dengan rencana untuk membuka tujuh lainnya. Hal yang sama berlaku untuk Birchbox, penyedia subskripsi online peritel kecantikan yang memiliki toko utama di SoHo, New York dan berencana untuk membuka setidaknya dua lainnya pada akhir 2016. Bahkan Amazon meluncurkan toko fisik pertamanya di Seattle pada akhir tahun 2015 dan toko kedua direncanakan akan dibangun di Southern California.

Bertentangan dengan strategi merchandise ritel tradisional, toko-toko ini biasanya berfokus untuk menampilkan sebanyak mungkin variasi produk mereka, termasuk SKU “long tail” mereka. Tujuannya bukan untuk menjual di toko; namun agar para pelanggan dapat merasakan brand dan produknya sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk membeli online.

“Toko-toko ini membawa sedikit persediaan fisik dan dirancang untuk membantu pelanggan mencari ukuran yang ideal dan cocok untuk mereka. Pendekatan ini merupakan gema dari website mereka, memberikan setiap satu item kesempatan sendiri untuk bersinar” -Erin Ersenkal, Chief Revenue Officer Bonobos.com

Tidak sulit untuk membayangkan Alibaba dan Lazada membuka toko offline di seluruh Asia Tenggara sebagai channel marketing dan branding mereka. Dengan kurangnya saluran akuisisi pelanggan secara online dan offline dan meningkatkan biaya per klik di pasar negara berkembang di Asia Tenggara seperti Thailand, Indonesia, dan Vietnam, memiliki saluran eksklusif sendiri memberikan keunggulan kompetitif yang kuat lebih dari peritel tradisional maupun pemain online lainnya.

Pemain online yang mendirikan toko offline cenderung lebih sukses dibanding yang sebaliknya
Pemain online yang mendirikan toko offline cenderung lebih sukses dibanding yang sebaliknya [L2]

Peran e-commerce bagi pengecer tradisional

Pengecer offline tradisional tersisa dengan dua pilihan jika berbicara tentang adopsi ecommerce:

1. Ecommerce sebagai cabang toko lainnya
Perlakukan toko online seperti toko fisik lainnya dan ukur performanya dengan metrik penjualan yang sama (contoh: 5%), atau dalam istilah Jack Ma, “Ecommerce sebagai makanan penutup, bukan hidangan utama.” Jangan berharap pertumbuhan yang memuaskan dengan pendekatan ini karena metrik jangka pendek tidak bisa dibandingkan dengan investasi awal yang besar di awal. Ancaman jangka panjang di sini adalah bahwa brand yang dijual oleh peritel akan keluar dan pergi langsung ke konsumen untuk mendapatkan margin yang lebih tinggi, data pelanggan, dan transparansi. Langkah Unilever untuk membeli Dollar Shaving Club contohnya, dan pisau cukur hanya awalnya.

2. Ecommerce sebagai saluran untuk memiliki pelanggan
Gunakan ecommerce sebagai sebuah saluran yang scalable dan hemat biaya dalam jangka panjang untuk mendapatkan dan memiliki hubungan langsung dengan pelanggan sendiri. Kemudian, gunakan hubungan ini untuk menjual lebih banyak produk, baik fisik dan non-fisik, terutama produk ber-margin tinggi seperti jasa keuangan (asuransi, pinjaman) dan iklan. Dengan memiliki lebih banyak pelanggan, pengecer meningkatkan daya tawar brand mereka vis-à-vis yang semakin banyak mengambil pilihan untuk memotong pengecer dan pergi langsung.

Tidak semua pengecer di Asia Tenggara menggunakan e-commerce hanya sebagai sebuah cabang toko lain pada umumnya. MatahariMall milik Lippo Group adalah salah satu contohnya. Dengan dukungan yang kuat dan pandangan jangka panjang dari John Riady, pewaris kerajaan Lippo, MatahariMall.com dengan cepat menjadi pesaing nomor satu Lazada di Indonesia. Tidak saja bergerak di ritel, MatahariMall juga akan memberikan jasa pembayaran dan keuangan melalui kemitraan dengan Grab. Di Thailand, Central Group adalah meningkatkan permainan ecommerce dengan mengakuisisi Zalora Thailand dan Vietnam, dan Cdiscount Vietnam.

Ini adalah bukti bahwa untuk bertahan hidup, pengecer offline tradisional seperti Matahari, Central Group, atau The Mall Grup butuh secara sukses menemukan kembali diri mereka untuk mengantisipasi kedatangan para pemain internet lainnya seperti Lazada yang pindah ke wilayah mereka.

Peritel tradisional juga perlu khawatir tentang brand online yang bisa saja keluar dari rangkaiannya dan mengadopsi model langsung ke konsumen mereka, seperti yang sudah terlihat pada Nike. Namun, taruhan terbaik adalah bagi para peritel pintar yang bisa membangun ekosistem mereka sendiri, hubungan pelanggan sendiri (misalnya asuransi, iklan, jasa) yang sebagian besar semakin digital dan memonetisasinya melalui banyak cara serta tidak lagi menjajakan produk dengan margin yang rendah. Kemudian, dan hanya kemudianlah, baru para peritel tradisional sebagai distributor bisa bertahan dari disintermediasi yang dibawa kepada mereka berkat teknologi.

Jangan sampai bisnis Anda bernasib seperti Circuit City
Jangan sampai bisnis Anda bernasib seperti Circuit City


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Sheji Ho dan disadur oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Kemunculan Chatbot: Membidik Tren Chat Commerce di Asia Tenggara

Uji coba sistem pembayaran melalui messenger yang dilakukan Facebook di Thailand menandakan semakin bertumbuhnya potensi social commerce di Asia Tenggara. Seiring dengan dominasi messaging sebagai bentuk interaksi sosial, tidak mengherankan apabila bisnis juga mulai beralih ke platform ini untuk memberi informasi, memahami, dan berjualan kepada pelanggan mereka. Tahap berikutnya dari revolusi teknologi ini jelas: robot otomatis yang bisa berinteraksi dengan pelanggan untuk mendorong dan memfasilitasi penjualan, menirukan percakapan manusia dan melakukan tugas berulang-ulang.

Butuh bantuan untuk menemukan sepatu yang cocok dengan sebuah pakaian? Bayangkan bisa mengetik “sepatu apa yang cocok dengan pakaian ini?” diikuti dengan foto pakaian yang Anda kenakan, dan hanya tinggal menunggu algoritma yang bisa langsung menganalisis dan memberikan tiga pilihan berbeda sesuai dengan kriteria Anda. Bayangkan bisa menyelesaikan pembelian Anda tanpa harus meninggalkan aplikasi messaging tersebut. Bisnis menyediakan pelanggan sebuah layanan yang nyaman, hemat waktu, dan mudah digunakan. Win win.

Di mana posisi chatbot saat ini?

Ada banyak tipe chatbot di lingkungan ecommerce saat ini yang dibuat untuk melayani kebutuhan yang berbeda seperti; menjawab pertanyaan pelanggan, menyediakan rekomendasi produk, dan menyederhanakan proses pembelian. Di bawah ini adalah beberapa contoh yang tersedia saat ini:

Facebook Messenger
Saat Facebook mengumumkan integrasi kemampuan ecommerce ke dalam aplikasi messenger populer mereka pada konferensi developer F8 di bulan April lalu, CEO Mark Zuckerberg mendemonstrasikan bagaimana mudah dan cepatnya proses mengirimkan bunga. Menggunakan 1-800-Flowers, pengguna diberikan saran memilih bunga untuk berbagai macam acara (“Terima Kasih”, “Ulang Tahun” dan “Cinta dan Romantis”), dan semua detail didapatkan langsung melalui tampilan chat.

Contoh tampilan bot Facebook
Contoh tampilan bot Facebook

Banyak bisnis sudah menginvestasikan nominal yang besar dari anggaran marketing mereka untuk memiliki halaman Facebook yang engaging dan personal untuk melengkapi brand mereka dan mendorong trafik ke website. Ini juga merupakan transisi yang logis bagi mereka bagi mereka untuk juga mengadopsi chatbot dalam aplikasi native messaging milik Facebook.

Kik
Kik adalah platform sosial media lainnya yang telah menjadi semakin populer di AS dengan lebih dari 270 juta pengguna. Layanan chatbot-nya telah menarik perhatian banyak perusahaan terkenal – salah satunya adalah makeup retailer, Sephora. Layanan chatbot mereka tidak saja menyediakan metode bagi pengguna untuk berbelanja produk, tetapi juga memungkinkan mereka untuk bertanya apapun tentang kecantikan, ulasan makeup, rekomendasi produk, dan tips. Interaksi ini juga dihiasi oleh emoji yang membuat balasan otomatisnya terlihat seperti dilakukan oleh perwakilan manusia sebuah brand.

Chatbot Sephora di Kik. [Sumber]
Chatbot Sephora di Kik. [Sumber]
WeChat
Dengan lebih dari 760 juta pengguna aktif bulanan, WeChat telah memposisikan dirinya sebagai aplikasi messaging yang dominan di Cina. Namun, fitur-fitur yang tersedia dalam WeChat telah jauh melampaui chatting. Tanpa harus meninggalkan aplikasi, beberapa hal yang bisa dilakukan pengguna adalah; memesan makanan, memesan taksi, membuat janji dengan dokter, mengikuti akun brand favorit mereka dan membayar tagihan. Melalui WeChat, Nike menciptakan chatbot yang menyediakan berita dan update perusahaan kepada penggemar, serta secara konsisten berkomunikasi dengan pengguna.

Chatbot Nike di WeChat [Sumber]
Chatbot Nike di WeChat [Sumber]

Mengapa chatbot? Mengapa sekarang?

Pertumbuhan Penetrasi Internet
Faktor utama yang mendorong ecommerce dan revolusi chatbot di Asia Tenggara adalah pertumbuhan jumlah orang yang menggunakan internet. Pengguna internet yang berjumlah 199 juta di tahun 2014 diprediksi akan meningkat menjadi 294 juta pengguna pada 2017. Dari 150 juta konsumen digital yang mencari produk secara online, dua pertiga dari mereka akan melanjutkan melakukan pembelian di sana.

Penetrasi pengguna internet di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]
Penetrasi pengguna internet di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]
Mobile adalah Raja
Bagi para pengguna, metode tradisional ecommerce – membuka browser, menavigasi melalui banyaknya halaman dan barang, dan memilih detail barang untuk check out – terasa membosankan dan tidak alami di mobile karena ukuran layarnya yang kecil dan kemampuan multitask yang terbatas. Bisnis perlu mencari solusi alternatif yang bisa memastikan bahwa proses pembelian bisa dilakukan sesederhana mungkin di perangkat seperti ini. Tampilan chatbot memanfaatkan prilaku pengguna yang telah mengadopsi telepon seluler: melakukan percakapan, di mana saja, kapan saja.

Penetrasi pengguna smartphone di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]
Penetrasi pengguna smartphone di beberapa negara Asia Tenggara [Frost & Sullivan]
Pertempuran Aplikasi
Berkat pengenalan iPhone pada tahun 2007 lalu, aplikasi memainkan peran besar dalam membentuk teknologi serta berkontribusi terhadap ketergantungan kita pada ponsel. Yang kemudian menjadi masalah adalah konsumen tidak lagi ingin mencoba aplikasi baru dan menyadari bahwa mereka tidak memerlukan begitu banyak aplikasi.

Bukan saja memerlukan biaya yang mahal untuk membangunnya, memerlukan biaya mulai dari $50.000 sampai $1.000.000, namun juga diperlukan investasi untuk memasarkan aplikasi tersebut dan membuat pengguna mau mengunduh dan menggunakan aplikasi tersebut secara teratur. Dengan kejenuhan aplikasi baik pada iOS maupun Android serta terbatasnya aplikasi alat pencarian, semakin sulit pula bagi para pemain baru untuk muncul ke permukaan.

Pengguna smartphone menghabiskan kebanyakan waktunya di satu aplikasi, yang berarti, sebagai bisnis, di sanalah Anda harus berada.

Messaging: Sebuah platform baru
Membuat chatbot di dalam sebuah aplikasi messaging menjadi menarik karena sudah ada pihak lain yang melakukan sebagian besar dari kerja kerasnya untuk Anda. Di Asia Tenggara, ada lebih dari 73 juta orang yang menggunakan aplikasi LINE. Chatbot yang terintegrasi memberikan bisnis kesempatan untuk langsung menjangkau jumlah pengguna yang besar ini tanpa memaksa pelanggan potensial untuk mengunduh aplikasi lain lagi.

“Messaging apps are the platforms of the future, and bots will be how their users access all sorts of services.” — Peter Rojas, Entrepreneur in Residence at Betaworks

“Aplikasi messaging adalah platform yang akan digunakan di masa depan dan bot akan menjadi cara penggunanya mengakses semua layanan yang ada.” – Peter Rojas, Pengusaha di Betaworks

Lebih lanjut lagi, perusahaan-perusahaan ini juga menyediakan developer API sehingga lebih mudah bagi para perusahaan untuk membuat bot mereka sendiri karena kebanyakan tidak memiliki kemampuan teknis atau sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun chatbot cerdas dari awal. Sebagai gantinya, platform ini dipenuhi dengan data pelanggan; mimpi bagi semua marketer.

Dengan keserbagunaan yang jelas terlihat melalui iklan Facebook yang memungkinkan perusahaan untuk menargetkan penerimanya berdasarkan apa pun, mulai dari lokasi hingga ke minat, bayangkan tingkat personalisasi dan segmentasi yang bisa dimungkinkan melalui ekstensi Messenger mereka.

Membangun masyarakat social commerce
Ekonomi Asia Tenggara sudah sangat terlibat dalam sosial commerce, marketplace yang dibangun dalam dinding-dinding media sosial. Menurut sebuah studi dari Bain & Company yang dirilis tahun ini, lebih dari 80% dari konsumen digital menggunakan media sosial atau aplikasi messaging untuk meneliti produk dan berhubungan dengan penjual. Selain itu, penjualan sosial menyumbang hingga 30% dari keseluruhan transaksi online.

Thailand memiliki pasar C2C terbesar di dunia dengan lebih dari 50% responden penelitian mengatakan bahwa mereka membeli barang-barang yang melalui jaringan sosial seperti Facebook dan Instagram.

Keajaiban chatbots adalah bahwa mereka mampu meniru esensi percakapan perdagangan. Diatur dalam tampilan yang sama, pengguna dapat berbicara dengan bot dengan cara yang sama dengan ketika mereka berbicara dengan penjual manusia melalui serangkaian pertanyaan dan jawaban. Dalam situasi seperti ini, algoritmanya bahkan bisa diciptakan untuk mensimulasi dialog tawar menawar yang terjadi dalam transaksi sehari-hari.

Jalan Masih Panjang

Melalui chatbots, bisnis memiliki kesempatan untuk memulai pembicaraan langsung dengan target konsumer mereka dengan sangat personal. Interaksi brand-to-customer adalah sesuatu yang belum pernah benar-benar scalable sampai sekarang. Meskipun chatbot tidak dapat menggantikan tampilan dengan beragam fitur seperti yang disediakan oleh sebuah situs web, mereka menjembatani kesenjangan antara fungsionalitas dan kenyamanan.

“Every brand is going to move into the mobile commerce space very quickly. In the next years, we will probably see 20-30% of the big brands having their own bots in chat apps, starting with Facebook’s messenger platform.” —  Pat Wattanavinit, Product Manager at aCommerce

“Setiap brand akan pindah ke ruang mobile commerce dalam waktu yang singkat. Kita akan melihat 20-30% brand besar akan memiliki bot-nya sendiri di berbagai aplikasi chat, di mulai dari platform Messenger milik Facebook.” – Pat Wattanavinit, Product Manager di aCommerce

Keadaan fungsi chatbot saat ini masih cukup linear dan kaku, terlalu dini bagi perusahaan untuk benar-benar menggantikan customer representatives mereka. Beberapa pengguna melaporkan bahwa percakapan yang terjadi saat ini memfrustasikan dan lambat karena pemahaman dan kemampuan bot yang terbatas, bayangkan ini seperti interaksi Anda dengan Siri.

Chatbot tidak akan benar-benar menjadi sangat berharga dan memuaskan sampai AI (artificial intelligence) mampu mencapai tingkat pemahaman manusia, namun hal itu adalah sebuah cerita yang berbeda.


Disclosure: Tulisan ini dibuat Shirley Liu & Alexandre Henry dan disadur oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.