Nodeflux Ungkap Capai Profitabilitas, Rencanakan Ekspansi ke Luar Negeri

Startup deep-tech pengembang teknologi AI Nodeflux mengungkapkan perusahaan telah mencapai profitabilitas dan tidak mengandalkan lagi pendanaan dari investor sejak putaran terakhir di 2019. Adopsi teknologi AI yang mulai marak di kalangan pemerintah dan korporasi menjadi pendorong di balik pencapaian dari startup yang dirintis pada 2016 ini.

Dalam temu media yang digelar Senin (28/11), Chief Product Officer Adhiguna Mahendra menyampaikan, sejak awal Nodeflux berdiri jajaran manajemen selalu memastikan bahwa perusahaan punya fundamental  kuat lewat model bisnis dan nilai yang tepat agar punya posisi kuat di pasar, hingga pada akhirnya menjadi perusahaan berkelanjutan.

Sebagai perusahaan teknologi yang tidak memiliki aset fisik, satu-satunya yang bisa dijadikan aset adalah kekayaan intelektual (IP) yang diyakini selalu bernilai tambah ke depannya. Sementara, aset berwujud yang dimiliki perusahaan adalah portofolio berbagai contoh proyek yang pernah dikerjakan bersama para kliennya.

“Model bisnis kita bukan raising fund buat kejar growth, kita enggak mau kayak gitu, kita maunya sustain. Makanya kita main ke segmen konsumen dengan business proposition yang kuat, kita juga punya value yang bagus, mereka [klien] pun bisa kasih money yang bagus, dengan demikian kita bisa sustain,” kata Adhiguna.

Sayangnya, ia tidak menyebut lebih detail mengenai pertumbuhan keuntungan yang berhasil dicetak perusahaan. Kinerja Nodeflux sempat terkoreksi saat awal pandemi di 2020, namun di penghujung tahun mulai menunjukkan tanda pemulihan hingga kini. Keuntungan yang diperoleh, menurutnya, selalu diputar kembali untuk mengembangkan bisnis dan riset, sekaligus membiayai operasional.

Kendati begitu, perusahaan tidak anti dengan investasi. Apabila melakukan penggalangan dana bakal digunakan untuk pengembangan pusat riset (R&D) atau ekspansi bisnis, bukan untuk membiayai operasional dengan bakar duit. Sebagai catatan, Nodeflux menerima pendanaan dari pasar sekunder dengan nominal dirahasiakan dari East Ventures pada Juni 2018. Dalam jajaran investornya, juga terdapat Prasetia Dwidharma dan Indigo.

Sumber: Nodeflux

Kontribusi bisnis perusahaan terbesar datang dari B2G dengan porsi 60% dibandingkan dengan B2B sebesar 40%. Adhiguna menyebut, hal ini terlihat dari adopsi solusi kecerdasan buatan memang pada tahap awalnya dibutuhkan oleh kalangan pemerintah karena punya kebutuhan yang nyata. Entah itu buat meningkatkan pelayanan publik atau pengawasan di tempat keramaian.

Diprediksi tren ke depannya, porsi bisnis dari B2B akan terus mengimbangi B2G. Alasannya karena adopsi face recognition (FR) di dunia perbankan misalnya, semakin dibutuhkan untuk permudah diakses oleh nasabah.

Beberapa klien di Nodeflux di antaranya institusi kepolisian (termasuk POLDA), Direktorat Jenderal Pajak, Jasa Marga, BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Pertamina, hingga pemerintah daerah. Bersama Pertamina, teknologi AI dari Nodeflux digunakan untuk aspek health, safety, and environment (HSE) saat monitor karyawan yang tidak disiplin menggunakan atribut. Sementara, bersama Jasa Marga membantu memberikan layanan road traffic monitoring untuk mengetahui titik-titik kemacetan.

Beberapa agenda berskala besar juga pernah ditangani Nodeflux bersama dengan para kliennya, di antaranya Asian Games 2018, IMF World Bank Summit 2018, dan yang teranyar G20 2022 di Bali. Saat acara G20 berlangsung, menggunakan FR dari Nodeflux untuk memperketat keamanan. Banyak terobosan yang dibuat untuk meningkatkan level keamanan para petinggi negara yang berkunjung. Setiap titik masuk seperti bandara, pelabuhan, area publik semua diawasi oleh ribuan CCTV yang dilengkapi FR dan saling terintegrasi.

Face Recognition sebenarnya adalah produk dari Computer Vision Artificial Intelligence (AI). AI jenis ini menggunakan gambar/video sebagai basis datanya yang kemudian diolah untuk dijadikan insight dalam memverifikasi dan memvalidasi sebuah keputusan.

Solusi AI untuk bisnis

Adhiguna melanjutkan, Nodeflux memiliki sejumlah solusi berbasis AI untuk para kliennya, yakni VisionAIre (Surveillace-Analytics-as-a-Service), Identifai (e-KYC untuk industri keuangan), dan RetailMatix (SaaS Vision AI & Sales Force Automation untuk industri ritel). Masing-masing menyelesaikan isu yang dihadapi para klien yang datang dari berbagai industri.

VisionAIre telah membantu Pemprov DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur dengan konsep smart city. Tersedia sejumlah solusi untuk memudahkan pengawasan pemerintah terkait hal-hal seperti pengenalan wajah, deteksi ketinggian air, parkir kendaraan, dan pemantauan lalu lintas jalan.

Sumber: Nodeflux

Di musim penghujan bisa dideteksi ketinggian air lewat teknologi AI melalui Water Detection dari Nodeflux, tersebar di 278 titik di Jakarta. Sementara di Jawa Timur, juga sudah menerapkan teknologi AI di perkotaan sebanyak 11 titik.

Pada Agustus kemarin, produk tersebut berhasil lulus sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan masuk ke dalam katalog LKPP dari pemerintah dengan nilai hingga 99,04%. Pencapaian tersebut disebutkan pertama kalinya terjadi di Indonesia di segmen AI lokal. Sebelumnya, perusahaan juga berhasil lulus tes NIST (National Institute of Standard and Technology) dari Amerika Serikat sebagai vendor pengenalan wajah.

Pencapaian ini dinilai dapat mendukung optimalisasi TKDN terhadap proyek strategis yang didanai oleh negara dan produksi manufaktur di Indonesia, sekaligus memacu produktivitas dan daya saing industri nasional di tengah perdagangan dunia. Pasalnya, hingga kini solusi AI masih didominasi oleh perusahaan asing dengan kandungan software impor.

Dari segi inovasi, perusahaan terus meningkatkan akurasi dan latensi yang semakin rendah agar mudah diakses oleh semua orang. Menurut Abhiguna, untuk face recognition, misalnya perlu ada standar akurasi untuk false positive dan false negative. Contoh kasusnya, untuk false positive apabila mencari orang yang berbahaya malah salah tangkap orang tak bersalah.

“Kami selalu pacing standar akurasi dari NIST. Tapi ada challenge lain, soal size dan optimasi dari model AI yang kita taruh di server dan device itu harus sekecil mungkin. Dari optimasi kita sudah optimal, juga akurasinya sudah bagus di atas NIST, tapi dari sisi model dan latensinya juga kecil. Kita sudah benchmark dari beberapa kompetitor di luar.”

Selanjutnya, untuk produk Identifai, kini inovasinya sudah mencapai explainable AI. Permasalahan saat e-KYC dengan face recognition dari smartphone adalah orang bisa memalsukan wajah yang hanya dengan mencetak di kertas doff atau perangkat. Yang mana, bagi industri keuangan, audit dan kepatuhan itu adalah bagian terpenting yang tidak bisa dipisahkan.

“Algoritma yang kita kembangkan bisa menjelaskan secara level pixel mengapa orang ini bisa dianggap tidak asli. Ada parameter yang nilainya beda dengan orang asli. Setahu saya belum ada pemain lain yang bisa melakukan ini AI-nya.”

Pengembangan lanjutan dari AI yang sedang digiatkan perusahaan adalah face loyalty dan face payment. Di Tiongkok dan Amerika Serikat solusi ini sudah sangat umum dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan ritel. Face payment merupakan teknologi yang memungkinkan seseorang bisa bertransaksi hanya dengan menunjukkan wajahnya. AI akan memverifikasi wajah orang yang melakukan transaksi lewat kontur muka dan identitas lainnya. Ketika terkonfirmasi sukses, maka pembayaran bisa otomatis terpotong dari akun bank atau kartu kredit milik orang tersebut.

Sementara untuk face loyalty ini akan sangat berguna untuk orang-orang yang memiliki banyak keanggotaan di berbagai merchant di toko swalayan atau restoran. Apabila suatu bisnis memanfaatkan teknologi ini, akan dengan mudah menambahkan poin keanggotaan tanpa pembeli repot-repot mengeluarkan kartu keanggotaan atau aplikasinya.

Di samping itu, perusahaan juga berencana untuk ekspansi ke luar Indonesia. Ada beberapa negara yang masuk ke dalam daftar, yakni Singapura, India, Amerika Serikat, dan Eropa. Namun sebelum itu, perusahaan masih mencari mitra distribusi yang benar-benar mengerti terkait solusi dan pasarnya.

“Selama ini untuk penjualan kita selalu direct, tapi untuk ekspansi ini untuk jual barang ke sana kalau tanpa representative office dan partner akan susah. Sebenarnya dari segi produk, kita sudah siap, tapi distribution channel harus yang benar-benar mengerti market-nya untuk jual barangnya. Itu yang masih challenging,” pungkas dia.

Saat ini seluruh tim Nodeflux adalah orang Indonesia dengan total 70 orang.

Ditjen Dukcapil Gandeng Sejumlah Perusahaan Optimalkan Data Kependudukan untuk e-KYC

Sebanyak 7 perusahaan termasuk Nodeflux menjalin kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) terkait pemanfaatan data kependudukan. Kerja sama ini tak lepas dari kebutuhan electronic-know your customer (e-KYC).

Nodeflux, Pajakku, Nebula Surya Corpora, Bank Yudha Bhakti, BNI, dan BNI PJAP merupakan perusahaan yang ikut dalam perjanjian kerja sama dengan Ditjen Dukcapil. Dengan demikian semua perusahaan yang sudah bekerja sama dapat melakukan verifikasi data seperti nomor induk kependudukan (NIK) yang ada di database Ditjen Dukcapil.

Nodeflux dalam kerja sama ini berperan sebagai penyedia platform pengenalan wajah dengan kecerdasan buatan yang terhubung dengan basis data Dukcapil. Platform mereka ini selanjutnya memungkinkan perusahaan yang sudah terdaftar untuk memverifikasi data pelanggan ke basis data Dukcapil.

“Dalam kerja sama ini tidak ada nama, alamat, tanggal lahir, pekerjaan, dan informasi lainnya yang keluar dari platform bersama. Dukcapil berperan penuh dalam pemegang keputusan, jika ada satu entitas memasukkan NIK-nya, kami akan mencocokkan dengan teknologi face recognition untuk memberikan kesimpulan sebagai akurasi dari NIK dengan wajah dari entitas tersebut,” ucap Dirjen Dukcapil, Zudan Arif Fakrulloh.

Sebab penggunaan teknologi

Zudan menjelaskan verifikasi data konsumen sebuah layanan digital yang saat ini menggunakan NIK dan KK tak lagi cukup. Dalam berbagai kasus, pengguna yang mendaftarkan dirinya untuk suatu layanan digital ternyata memakai NIK dan KK sembarang yang berserakan di internet.

Autentikasi berdasarkan pengenalan wajah menurut Zudan menjadi kunci. Dengan teknologi ini ia berharap potensi penyalahgunaan data terhindarkan.

“Kalau transaksi cuma pakai NIK saja, kita bisa tertipu. Maka dari itu perlu piranti yang berikutnya. Jangan percaya nama, NIK, atau KK saja,” imbuhnya.

Hingga saat ini tercatat sudah ada sekitar 1.617 lembaga pemerintah dan swasta yang bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil terkait pemanfaatan data. Sektor keuangan, terutama perbankan, merupakan jenis sektor yang akan terbantu oleh teknologi ini dalam hal KYC mereka.

Maka tak mengherankan institusi perbankan akan paling banyak terbantu dalam kerja sama ini. Salah satunya adalah Bank Artos. Hal ini membuat perusahaan yang baru saja resmi diakuisisi oleh Perry Waluyo dan Jerry Ng kian mantap menjelma menjadi bank digital dalam waktu dekat. “Kami sekarang masih develop platform, tapi tahun depan segera running. Mungkin di semester 1 atau triwulan 1 kita coba,” ucap Plt Direktur Utama Bank Artos Deddy Triyana kepada DailySocial.

Mengupas Pengembangan Teknologi “Face Recognition” dalam Nodeflux TechTalk

Pekan lalu (20/11), startup pengembang layanan berbasis kecerdasan buatan Nodeflux mengadakan forum diskusi interaktif bertajuk “Nodeflux TechTalk”. Tujuannya untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan seputar tren pemanfaatan AI untuk berbagai kebutuhan. Acara perdana ini mengambil tema “How We Engineered Our Face Recognition and Bring It to World-Class Standard”.

Ada dua pembicara yang dihadirkan, yakni AI Research Group Lead Nodeflux Alvin Prayuda dan Engineering Manager Nodeflux Ilham Imaduddin.

Lewat presentasinya, Alvin menjelaskan bagaimana algoritma pembelajaran mendalam (deep learning) digunakan dalam pengembangan platform pengenalan wajah (face recognition). Secara teknis, penerapan metode ini menghasilkan serangkaian angka unik yang merepresentasikan karakteristik objek wajah yang dipindai. Metode lain yang digunakan dalam face recognition adalah embedding, memberikan efisiensi untuk mengenal wajah secara massal.

Deep learning dalam face recognition itu ada pipeline-nya, di mana awalnya kita menangkap gambar wajah, kemudian menentukan landmark-nya dan menghasilkan angka unik yang merepresentasikan seseorang ini, yang pada akhirnya mendefinisikan wajah itu adalah wajah si X,” jelas Alvin.

Dilanjutkan sesi Ilham yang membahas detail mengenai metode embedding. Ia mengawali dengan memaparkan tantangan implementasinya, yakni pada percepatan proses dan pengelolaan arus data yang sangat besar. Hal itu dapat diantisipasi dengan sistem komputer yang dapat bekerja secara efisien, didukung representasi algoritma dalam kode secara efektif.

Ia pun turut menyampaikan manfaatnya, “Dari sebelumnya dapat memakan waktu hampir 43 detik untuk memproses data, dengan metode baru, proses ini berhasil dipercepat berkali lipat. Dan salah satu pencapaian kami dapat mengidentifikasi wajah dari 150 juta data facial embedding dalam 60 milidetik. Kami bekerja sama dengan NVIDIA, guna mencari cara lain untuk mengoptimalkan AI agar memberikan manfaat yang lebih baik.”

Bentuk implementasi teknologi face recognition dapat menjangkau berbagai area, termasuk digunakan untuk solusi keamanan dan keselamatan publik. Misalnya diaplikasikan secara real-time untuk memproses data dari CCTV, sistem absensi, dan smart building.

Melihat antusias yang cukup tinggi, ke depannya acara Nodeflux TechTalk akan dilakukan secara berkala dan berkelanjutan, serta terbuka untuk seluruh pemangku kepentingan baik dari pemerintah, universitas, swasta, komunitas, maupun media untuk turut berbagi pengalaman dan pengetahuan seputar AI.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Nodeflux TechTalk

Tambah Sisi Keamanan, Uber Kembangkan Fitur “Real Time ID Check”

Untuk meningkatkan keamanan bagi pengemudi maupun penumpang, Uber secara resmi meluncurkan fitur keamanan terbarunya Real Time ID Check. Teknologi yang dipilih Uber untuk fitur terbarunya adalah Microsoft’s Face API dari Microsoft Cognitive Services.

Real Time ID Check diperuntukkan untuk seluruh mitra pengemudi Uber, baik sepeda motor maupun mobil untuk melakukan selfie sebelum menerima pesanan. Langkah preventif ini diharapkan dapat mengurangi penipuan dan melindungi akun pengemudi. Sekaligus, perlindungan berlapis untuk penumpang demi memastikan pengemudi sesuai dengan keterangan.

Untuk fitur ini, Uber menggunakan dua API spesifik, yakni deteksi wajah apakah wajah tersebut sedang menggunakan kacamata atau tidak, bahkan bisa membedakan kacamata baca atau kacamata hitam. Selain itu, Uber juga menggunakan verifikasi wajah dengan membandingkan wajah yang sebelumnya sudah diidentifikasi Face-Detect API, nanti akan ada skor kemiripan apakah kedua wajah tersebut merupakan orang yang sama.

“Kami percaya Microsoft adalah pakarnya di bidang ini. Meski, Microsoft’s Face API bukan hanya sistem yang paling akurat dalam uji coba, namun juga memungkinkan kami untuk menghadirkan rangkaian fitur yang penting dalam produk kami,” Product Manager Uber Dima Kovalev, Jumat (10/3).

Fitur ini bakal melengkapi layanan keamanan Uber lainnya, seperti share ETA dan trip status. Kedua fitur tersebut memungkinkan penumpang berbagi detil perjalanan yang berisi nama pengemudi, plat kendaraan, dan peta perjalanan kepada teman atau anggota keluarga ke berbagai platform tanpa harus mengunduh aplikasi Uber.

Real Time ID Check akan hadir di Indonesia mulai Senin (13/3), serentak dengan beberapa negara lainnya. Untuk Asia, Indonesia adalah negara kedua yang mendapat fitur ini setelah Singapura beberapa waktu yang lalu.

Penyempurnaan Real Time ID Check

Kovalev melanjutkan ide pengembangan fitur ini rupanya sudah muncul sejak 1,5 tahun yang lalu. Tujuannya simpel, ingin meningkatkan kenyamanan pengemudi dan penumpang jadi lebih baik lagi.

Amerika Serikat adalah negara pertama yang dipilih Uber untuk pengembangan fitur Real Time ID Check sejak September 2016, sebelum akhirnya mulai digulirkan ke negara lain. Terhitung, saat ini lebih dari 99% mitra pengemudi Uber di Amerika Serikat telah terverifikasi. Kebanyakan kasus ketidakmiripan terjadi karena foto profil tidak jelas.

Adapun beberapa pengembangan yang dilakukan Uber untuk fitur ini, misalnya saat pertama kali UI diluncurkan Uber menggunakan pengalaman photo capture yang sudah ada dalam aplikasi mitra pengemudi saat mengambil foto profil. Namun hasilnya dengan latar belakang yang gelap, hasil foto dari UI tidak bisa dipakai dengan kondisi kurang pencahayaan, misalnya saat malam.

“Karenanya kami beralih ke UI berwarna putih dan menaikkan tingkat cahaya di layar sehingga terjadi perbaikan signifikan terhadap kualitas foto yang diambil.”

Dari sisi perangkat, dengan menggunakan teknologi dari Microsoft, memudahkan Uber untuk memindahkan logika deteksi ke sistem back end dan menghilangkan berbagai hambatan terkait perangkat.

Perubahan ini memberikan hasil yang lebih konsisten apapun perangkatnya, membantu Uber pelajari lebih jauh berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan deteksi. Proses ini juga meningkatkan kualitas foto profil dari para pengemudi.

Tahapan penggunaan

Dengan berbekal pengalaman peluncurannya di Amerika Serikat, Uber menyempurnakan desain dan menyesuaikan strukturnya berdasarkan masukan uji pengguna dan prototipe. Hal ini memungkinkan Uber menghadirkan penggunaan yang sederhana namun efektif yang bisa dilalui para pengemudi dalam beberapa detik. Nantinya di dalam aplikasi akan ada tahapan instruksi petunjuk untuk diikuti.

Pengemudi tidak selalu dimintai untuk memverifikasi wajah setiap kali ingin menerima pesanan dari Uber. Pasalnya pengemudi akan dipilih secara acak untuk mengambil selfie agar dapat diverifikasi Microsoft Face API apakah ada wajah dalam selfie tersebut. Bila tidat terdeteksi ada wajah, maka pengemudi akan diminta untuk mengambil selfie kembali.

Bila terdeteksi ada wajah, Uber akan menggunakan fitur Microsoft untuk membandingkannya dengan gambar yang telah terpasang di akun pengemudi. Jika kedua gambar cocok, maka pengemudi bisa mulai menjemput penumpang. Bila tidak, maka akun pengemudi akan di deaktivasi sementara untuk investigasi lebih lanjut.

“Bila terjadi kesalahan, pengemudi bisa menghubungi bantuan untuk tindakan lebih lanjut. Uber secara periodik akan memeriksa sistem berdasarkan hitungan algoritma.”

Agar dapat mengukur keamanan secara efektif, Real Time ID Check meminta pengemudi yang diseleksi secara acak untuk memverifikasi identitas mereka. Dari hal ini kemungkinan besar terjadi saat pengemudi sedang berkendara.

Agar mereka tidak terganggu, Uber menambahkan deteksi pergerakan menggunakan GPS pengemudi. Jika kendaraan sedang bergerak, Uber meminta pengemudi menyingkir ke tepi jalan sebelum memulai sistem verifikasi.

Pengemudi juga tidak bisa melakukan selfie dengan memakai kacamata, sebab bisa mempengaruhi tingkat kecocokan dengan foto profil mereka. Jika kedua foto tidak cocok dan ada kacamata yang terdeteksi, maka sistem akan meminta pengemudi untuk melepas dan mencoba kembali.

“Verifikasi ini harus dilakukan oleh pengemudi. Jika pengemudi tidak mau melakukan verifikasi, maka mereka tidak akan diberi pesanan dari Uber,” pungkas Kovalev.

Mengecek Tingkat Kebosanan Siswa dengan Teknologi Pengenal Wajah, Kenapa Tidak?

Saat masih duduk di bangku kuliah jurusan pendidikan beberapa tahun yang lalu, saya selalu diajarkan untuk merancang kegiatan belajar-mengajar yang fun dan tidak membosankan. Ibaratnya stand-up comedy yang tidak lucu, materi belajar yang membosankan kurang efektif bagi pemahaman para murid.

Namun yang kerap menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya kita bisa tahu apakah cara kita mengajar membosankan atau tidak. Raut muka jawabannya. Dari ekspresi wajah, kita sebenarnya bisa mendapatkan gambaran yang cukup jelas mengenai tingkat kebosanan seseorang. Tapi ketimbang memperhatikannya sendiri satu per satu, kenapa tidak kita serahkan pada teknologi saja?

Itulah yang dilakukan oleh seorang dosen sains di Sichuan University di Tiongkok, Wei Xiaoyong. Beliau memanfaatkan teknologi facial recognition alias pengenal wajah untuk mengindikasikan tingkat kebosanan pada murid-muridnya, kemudian memakai data tersebut untuk mengoptimalkan materi dan teknik pengajarannya.

Data yang didapat bisa dipakai untuk mengecek bagian mana yang paling menarik bagi para murid dalam sebuah sesi pengajaran dan di saat yang sama bagian yang paling membosankan. Evaluasi pribadi semacam ini memungkinkan Wei untuk menentukan apakah konten yang diberikan cocok untuk murid-murid di kelas tersebut, dan lain sejenisnya.

Wei Xiaoyong sudah mulai menggunakan teknologi facial recognition di kelas sejak lima tahun yang lalu / West China Metropolis Daily
Wei Xiaoyong sudah mulai menggunakan teknologi facial recognition di kelas sejak lima tahun yang lalu / West China Metropolis Daily

Ini sebenarnya bukan pertama kali Wei memanfaatkan teknologi pengenal wajah selama karirnya sebagai pendidik. Lima tahun yang lalu, beliau mulai memakai teknologi ini sebagai alat bantu untuk mengecek presensi siswa seandainya ia kelupaan dan langsung memulai pelajaran begitu saja.

Ada-ada saja memang yang dilakukan oleh dosen asal Tiongkok ini. Pun begitu, Wei mengaku bahwa sejumlah koleganya turut menerapkan teknik serupa dalam karirnya masing-masing sebagai pengajar. Wei bahkan cukup optimis bahwa teknologi pengenal wajah ini bisa diaplikasikan pada berbagai bidang, mulai dari ilmu sosial, psikologi maupun riset pendidikan.

Sumber: The Telegraph.

Fitur Pengenal Wajah Windows 10 Bisa Bedakan Kembar Identik

Salah satu fitur canggih yang dibawa Windows 10 adalah Windows Hello. Fitur ini sejatinya merupakan teknologi identifikasi biometrik, dimana perangkat yang mendukung bisa mengenali pengguna lewat sidik jari, mata dan wajahnya. Continue reading Fitur Pengenal Wajah Windows 10 Bisa Bedakan Kembar Identik