Potensi Sinergi Startup dan Perusahaan Ritel Merealisasikan “New Retail” di Indonesia

New retail adalah istilah yang dipopulerkan raksasa e-commerce Alibaba untuk menggambarkan perpaduan ritel online dan offline melalui digitalisasi proses perdagangan atau disebut dengan retail value chain. Tujuannya menghadirkan pengalaman pengguna (User Experience/UX) yang lebih baik untuk kepentingan pedagang, konsumen, sekaligus berbagai mitra yang terlibat dalam proses bisnis.

Berdasarkan studi CGAP, konsep new retail mendemokratisasi beberapa dimensi di bisnis perdagangan, meliputi: (1) rantai pasokan dan logistik distribusi, (2) layanan nilai tambah bagi produsen/pengecer, (3) pengalaman berbelanja yang terintegrasi bagi konsumen.

Dengan sumber daya dan kemampuan finansial yang dimiliki, Alibaba mengembangkan semua aspek tersebut secara mandiri. Namun bagaimana jika dihadapkan dengan kondisi sebaliknya, saat transformasi digital dihadapkan pada proses bisnis legasi, perubahan tidak bisa dilakukan cepat – dengan berbagai keterbatasan sumber daya yang ada.

Peluang sinergi

Realisasi new retail, khususnya di Indonesia, bisa dilakukan dengan jalinan sinergi antara startup teknologi dan perusahaan ritel. Sinergi tersebut dapat dimulai dengan mengidentifikasi aspek paling fundamental dari new retail itu sendiri, yang tak lain adalah membangun data warehouse. Data yang terkumpul nantinya digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti analisis prediktif.

Jika ditinjau lebih dalam, ada beberapa data yang bisa dimanfaatkan dalam proses bisnis retail guna membantu sistem pengambilan keputusan, meliputi data pembayaran/transaksi, data produk, data promosi, dan data logistik/rantai pasokan.

new_retail_1

Tidak hanya proses digitalisasi seperti yang sudah banyak dilakukan peritel tradisional, data-data tersebut harus dapat diintegrasikan satu dengan yang lain untuk menghasilkan insight komprehensif. Misalnya antara data produk, tren transaksi, dan sistem logistik untuk membantu peritel memastikan stok bahan makanan selalu dalam kondisi prima.

Secara teknis, harus ada konektivitas yang baik antara aplikasi point of sales yang menerima transaksi dari konsumen, aplikasi stok barang di unit pergudangan, hingga aplikasi rantai pasokan yang menghubungkan peritel dengan mitra-mitranya.

new_retail_2

Penggunaan alat-alat digitalisasi secara signifikan akan mengonversi tatanan data yang diproduksi atau dikelola peritel. Platform yang ada saat ini juga umumnya bersifat terbuka, memungkinkan adanya integrasi dengan layanan digital lainnya. Ambil contoh aplikasi pencatatan keuangan yang dapat terintegrasi dengan sistem kasir atau dasbor transaksi dompet digital melalui sambungan API.

Riset yang dilakukan Accenture juga memperlihatkan adanya tren akselerasi transformasi digital yang dilakukan di sektor ritel dan FMCG selama masa pandemi. Ada sepuluh aspek yang ditangkap, mulai keinginan untuk mengurai data konsumer menjadi pengetahuan, peningkatan manajemen penjualan, hingga peningkatan ekosistem mitra.

Survei DSResearch terhadap perusahaan FMCG/ritel lokal juga memperlihatkan hasil yang kurang lebih sama. Visi transformasi yang dicanangkan untuk menghadirkan terobosan membuka potensi produk/layanan baru dan menyesuaikan dengan tren kebutuhan konsumen.

Accenture

Bentuk kolaborasi

Mempelajari bentuk transformasi digital dari laporan DSResearch di atas, ada beberapa model yang dapat diadopsi perusahaan ritel ketika berkolaborasi dengan startup. Bentuk pertama adalah adopsi sistem, sederhananya peritel hanya perlu menjadi pelanggan premium dari layanan digital yang disediakan startup. Beberapa platform memberikan keleluasaan untuk melakukan kustomisasi kebutuhan di tataran terbatas.

Bentuk kedua ialah melalui kemitraan strategis. Di Indonesia, untuk perusahaan ritel ataupun FMCG praktik ini memang terlihat belum lazim, hanya saja beberapa sudah melakukan. Perusahaan dengan skala dan kapabilitas yang lebih besar dapat turut serta dalam pengembangan startup – umumnya melalui kepemilikan alias si perusahaan menjadi shareholder (baik mayoritas atau minoritas). Model ini memungkinkan penyelarasan visi antarperusahaan, sehingga dapat bersinergi secara lebih intim.

Ketiga adalah melalui platform sharing, beberapa startup memiliki ketergantungan kepada mitra bisnis dalam kaitannya dengan pemenuhan produk. Khususnya bagi mereka yang mengembangkan sistem berbasis online-to-offline.

Pengalaman baru konsumen

Melalui platform omni-channel, peritel bisa masuk ke platform digital untuk melayani lebih banyak pengguna. Toko yang menyediakan bahan segar, misalnya, bisa saja masuk ke ekosistem HappyFresh, bahkan beberapa layanan e-commerce populer juga mulai akomodasi layanan serupa. Selain diantarkan, aplikasi grocery juga memiliki opsi untuk diambil di toko, sehingga pengalaman offline berbelanja masih sangat mungkin terbentuk.

Ketika orang berbelanja, ada tiga pengalaman yang akan dirasakan, yakni persiapan belanja, proses belanja, dan setelah belanja. Di tahap persiapan belanja, beberapa aktivitas mulai dari mendata barang belanjaan, menemukan inspirasi untuk membeli item baru, mencari/melihat promo, sampai memilih toko ritel yang ingin dikunjungi.

Saat berada di toko ritel, mereka dihadapkan pada beberapa aktivitas. Dimulai dari mengitari rak demi rak untuk menemukan barang yang bisa dibeli. Di proses ini ada beberapa inovasi yang mungkin bisa dikembangkan, seperti aplikasi store mapping atau sesederhana aplikasi informasi produk – pengguna dapat melakukan scan ke kode yang tertera pada suatu produk untuk melihat berbagai informasi, mulai dari harga, kandungan, hingga proses distribusi (akan berpengaruh pada produk segar seperti sayuran). Dilanjutkan proses pembayaran dan klaim diskon jika sedang ada promo yang diikuti.

new_retail_3

Setelah pulang pun masih ada beberapa pengalaman yang bisa disuguhkan. Contohnya memungkinkan pengguna untuk mendapatkan poin dari program loyalty yang dijalankan atau pengguna dapat memberikan testimoni terhadap barang tertentu. Aspek yang paling penting adalah memudahkan pengguna  mengelola catatan belanja mereka dan membantu melakukan analisis pengeluaran. Di tahap ini, beberapa startup lokal sudah mencoba menghadirkan inovasi, salah satunya Pomona, memungkinkan pengguna mendapatkan poin dengan cara melakukan scan struk belanja.

Industri ritel akan bertahan

Sebuah penelitian mengemukakan pengalaman berbelanja langsung masih akan relevan di tengah perkembangan layanan e-commerce atau online grocery. Ada empat dimensi yang dipertahankan, meliputi sensoris, emosional, psikososial, dan kesan/makna.

Dimensi sensoris terkait pengalaman yang mengacu pada rangsangan bentuk, warna, sentuhan, dan lain-lain. Sementara dimensi emosional terkait pengalaman menggunakan emosi untuk menghasilkan kesukaan terhadap merek atau produk. Dimensi psikososial adalah keinginan orang untuk memanjakan diri seperti jalan-jalan sambil berbelanja. Sementara dimensi kesan/makna terkait dengan pengalaman dalam melakukan aktivitas itu sendiri.

Yang layak menjadi prioritas saat ini oleh peritel adalah bagaimana meningkatkan faktor-faktor tersebut di atas melalui ponsel yang selalu digenggam tiap konsumen. Ini dilakukan sambil mencari inovasi untuk menghadirkan pengalaman baru yang lebih berkesan, yang tujuannya untuk meningkatkan penjualan/kunjungan itu sendiri. Melakukan transformasi digital adalah jawabannya. Membentuk sinergi dengan startup digital jadi satu opsi yang dapat dipilih.


Gambar Header: Depositphotos.com

Ula dan Sejumlah Startup Upayakan Disrupsi Rantai Pasokan FMCG

Pendanaan tahap awal $10 juta yang diterima Ula cukup ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu. Nilainya bisa dibilang sangat besar untuk sebuah startup yang baru diinisiasi sejak awal tahun ini dan produknya sedang dalam fase Minimum Viable Product (MVP). Yang jelas, kapasitas dan latar belakang founder menjadi salah satu faktor yang membuat para investor percaya; namun di lain sisi prospek bisnis pasti turut menjadi salah satu variabel dalam kalkulasi dan hipotesis investasi mereka.

Solusi yang ditawarkan Ula adalah mendisrupsi rantai pasokan bisnis FMCG (Fast-moving Consumer Goods). Mereka mengembangkan aplikasi yang memungkinkan pelaku UKM (khususnya pemilik warung) untuk mendapat beragam produk dagangan secara efisien dengan harga yang diklaim lebih terjangkau, karena memungkinkan terhubung langsung dengan brand. Sehingga mereka mengakomodasi beberapa proses sekaligus: pemesanan, logistik, pembayaran, dan pembiayaan.

Tidak hanya Ula

Jauh sebelum ini, di tahun 2014, Kudo (kini bernama GrabKios by Kudo) debut dengan layanan yang memungkinkan warung tradisional melakukan lebih banyak hal, seperti melakukan berbagai pembayaran, transfer dana, hingga menjembatani masyarakat untuk membeli produk di layanan e-commerce. Startup yang telah diakuisisi Grab tersebut sudah merangkul 2,8 juta mitra di 505 kota dan kabupaten di Indonesia. Menghasilkan nilai transaksi hingga 2,7 triliun Rupiah.

Warung menjadi aspek penting dalam perekonomian di Indonesia. Keberhasilan Kudo menjadi legitimasi yang memvalidasi bahwa “pendekatan warung” sangat relevan untuk menjangkau pangsa pasar di kancah nasional – khususnya di kalangan menengah ke bawah. Konsep tersebut akhirnya direplikasi oleh beberapa pemain digital, tak terkecuali para unicorn di sektor e-commerce, seperti program Mitra Tokopedia, Mitra Bukalapak, hingga yang terbaru Mitra Shoppe.

Tahun 2018 GudangAda diluncurkan, menjadi marketplace B2B khusus produk FMCG. Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan, sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Awal tahun ini mereka mendapatkan pendanaan awal dari sejumlah investor untuk akselerasi bisnis. Sasaran mereka adalah ritel tradisional, termasuk warung atau toko kelontong di berbagai daerah.

Potensi yang ada

Solusi layanan tersebut menyelesaikan isu yang sangat fundamental. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Jumlah tersebut sangat besar, bahkan lebih besar dari total penduduk negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau mereka – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.

Dalam wawancara dengan DailySocial, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. “Ini adalah backbone dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang. Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain, karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil.”

Diversifikasi yang coba dihadirkan adalah efisiensi sumber daya dan permodalan dengan menghadirkan sistem doorstep (pengiriman produk secara langsung) yang hemat biaya. Selain menghubungkan peritel dengan penyedia stok produk FMCG, mereka juga akan memperluas cakupan produk di kategori busana. Semua upaya peningkatan pengalaman peritel yang dilakukan Ula sepenuhnya mengutamakan pemanfaatan teknologi. “Kami menjaga pengalaman pengguna tetap sesederhana mungkin dan teknologi dihadirkan untuk menghilangkan kerumitan yang ada.”

Nipun menambahkan, “Pengiriman tepat waktu adalah salah satu alasan terkuat mengapa para mitra memilih melakukan transaksi di Ula. Kami dapat melakukan itu karena semua pemrosesan otomatis dan didorong oleh data.”

Di tahap awal ini Ula melakukan pilot project untuk MVP-nya di area Jawa Timur.

Co-Founder & CEO GudangAda Stevensang kepada DailySocial mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya risiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.

“GudangAda didirikan karena adanya keprihatinan terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”

Model bisnis

Membahas startup yang mencoba menghadirkan platform “new retail” untuk bisnis tradisional, ada satu pertanyaan yang muncul: alih-alih membuat layanan e-commerce untuk pemenuhan stok warung, kenapa tidak memilih pendekatan direct-to-consumer dengan menjual produk tersebut langsung ke konsumen akhir?

Menanggapi ini, Nipun mengatakan, “Warung sangat hemat biaya. Mereka adalah wirausaha mikro yang menjalankan toko mereka di sekitar rumah. Kebanyakan mempekerjakan keluarga dan sebagian besar bebas pajak. Mereka melayani cash-flow sensitive market. Rata-rata orang Indonesia masih lebih suka berbelanja offline. Mereka membeli dalam jumlah kecil dan dengan frekuensi tinggi.”

“Model e-commerce B2C tidak dapat mengakomodasi pesanan dengan nilai keranjang kecil karena biaya pengiriman sangat tinggi. Hal ini memungkinkan hanya produk tertentu saja yang dapat bertahan di toko offline. Misalnya, sampo sachet sangat sulit dijual di platform B2C tetapi berfungsi baik di toko offline. Karena itu, tidak mengherankan, bahwa setelah miliaran dolar produk masuk ke e-commerce B2C, pangsa pasar yang dirangkul tetap di bawah 10%.”

new retail

Banyak aspek bisnis yang bisa diakomodasi. Pemain yang ada setidaknya bisa dipetakan jadi lima komponen di atas. Misalnya Kudo, mereka menghadirkan poin pembayaran, pembiayaan, dan produk digital. Beda lagi dengan GudangAda yang banyak fokus di rantai pasokan. Sementara Ula debut dengan sistem yang mengakomodasi rantai pasokan dan pembiayaan. Masing-masing punya masalah spesifik yang hendak diselesaikan.

Ambil contoh soal pembiayaan. Ada budaya “utang” di kalangan pelanggan warung. Karena sifatnya lebih personal, kadang tidak ada model penagihan khusus yang mengakibatkan arus kas pemilik warung terganggu. Sstem pembiayaan memungkinkan warung untuk mendapatkan stok produk terlebih dulu dan membayarnya kemudian saat jualan sudah laku.

“Ya, saat ini Ula bermitra dengan beberapa lembaga penyedia pinjaman. Tugas kami memastikan pembiayaan sampai kepada pemilik toko. Kami senang memainkan peran sebagai mitra bagi perusahaan fintech yang dapat memanfaatkan data dan platform Ula untuk mengucurkan kredit modal kerja,” pungkas Nipun.

Ekspansi ke Indonesia, Fairbanc Tawarkan “PayLater” Khusus Pedagang Mikro

Perekonomian Indonesia mayoritas disokong dari UKM. Pada 2014, UKM menyumbang 58,92% terhadap PDB. Ada 57,9 juta UKM pada tahun tersebut, angkanya melonjak jadi 62,9 juta dalam tiga tahun. Kunci terpenting dalam membesarkan sektor ini adalah memadukan teknologi digital dan akses modal yang tepat.

Startup fintech Fairbanc mengambil peluang tersebut untuk pemilik bisnis, khususnya pemilik usaha mikro pedesaan yang tidak memiliki rekening bank atau kesulitan mendapat pinjaman dari lembaga keuangan konvensional.

Dari markasnya di San Francisco, Fairbanc melebarkan sayapnya ke Indonesia pasca menerima pendanaan dengan nominal dirahasiakan dari 500 Startups dan miliarder Indonesia Michael Sampoerna pada awal tahun ini.

Konsep yang ditawarkan berbeda dengan startup fintech kebanyakan. Kepada DailySocial, CEO Fairbanc Indonesia Iman Pribadi menerangkan, platformnya menawarkan konsep closed loop financing, yakni sistem pembiayaan yang dilakukan di dalam supply chain. Di dalamnya tidak ada perubahan proses buat peminjam dan juga difasilitasi oleh distributor/prinsipal yang selama ini menyediakan barang untuk para peminjam.

Artinya adalah tidak ada pinjaman dalam bentuk uang, hanya ada tambahan fasilitas dari distributor berupa tambahan jangka waktu pembayaran untuk membeli barang lebih banyak dari distributor/principal.

“Kami menawarkan para pedagang mikro berupa pembiayaan dana bergulir (revolving credit line) yang dapat digunakan tiap minggu untuk membeli barang dagangan dari para distributor pilihan kami yang mana dapat menghasilkan peningkatan penjualan para distributor,” terangnya.

Model bisnis Fairbanc

Produk Fairbanc
Produk Fairbanc

Pedagang yang menerima fasilitas tersebut tidak menerima uang tunai, tetapi bisa membeli barang dagangan dengan cicilan tanpa bunga. Uang tunai diberikan ke distributor dan pedagang membayar cicilan tanpa bunga ke Fairbanc setelah menjual barang dagangan.

Fairbanc hanya mengirimkan kode verifikasi via SMS ke handphone milik pedagang saat bertransaksi. Solusi ini dianggap akurat untuk melayani orang-orang yang tidak punya rekening bank.

Setiap pedagang, sambungnya, memiliki batasan nilai pembiayaan yang sudah terotomatisasi dengan data science. Limit kredit akan bertambah ketika mereka membeli semakin banyak produk dagangan dari para distributor pilihan perusahaan.

Iman menerangkan, perusahaan beroperasi sebagai sebuah platform teknologi untuk perbankan dan dan industri jasa keuangan di Indonesia yang menawarkan pembiayaan dengan menggunakan teknologi dan data science dari Fairbanc.

Teknologi tersebut dimanfaatkan untuk melakukan otomatisasi penilaian kredit dan memantau risiko. Startup ini juga mengembangkan kemampuan pengenalan produk bertenaga AI untuk menawarkan insight kompetitif untuk mitra FMCG.

“Kita bukan lembaga fintech p2p dan tidak memberikan pinjaman jadi tidak ada proses restrukturisasi. Kita merupakan platform teknologi atau machine learning yang membantu meningkatkan pendapatan para pemilik warung/toko. Pinjaman hanya salah satu tools yang bisa difasilitasi oleh Fairbanc dengan lembaga keuangan.”

Lebih lanjut, konsep monetisasi Fairbanc sedikit berbeda. Karena tidak ada bunga yang dibebankan kepada pedagang mikro dan tidak ada tambahan biaya untuk perusahaan principal FMCG dan para distributornya, Fairbanc menghasilkan uang dengan mengoptimalkan pembayaran tunai langsung ke distributor dan penggunaan diskon atas volume penjualan.

Lewat kerja sama dengan perusahaan FMCG dan menawarkan pinjaman produktif untuk membeli produk-produk kebutuhan sehari-hari dengan margin tinggi seperti Unilever, Fairbanc berharap dapat mengurangi risiko gagal bayar pinjaman secara signifikan sambil scaling cepat dengan memanfaatkan jaringan pedagang besar merek konsumen.

Iman mencontohkan, bersama Unilever, perusahaan dapat meningkatkan penjualan pedagang mikro Unilever hingga 35% menggunakan data science. Sebanyak 100% outlet penjualannya meningkat antara 11% sampai 250%.

Tak hanya Unilever, kini Fairbanc telah melakukan kerja sama serupa dengan Sinar Mas untuk perlebar bisnisnya di Indonesia. Perusahaan juga telah terikat dengan organisasi Islam terbesar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk permodalan UKM berbasis syariah.

“Target kita bisa melayani 15000 warung/toko di tahun ini. Saat ini sedang jalan untuk 1000 warung atau toko dengan salah satu FMCG terbesar di Indonesia.”

Tim Fairbanc Indonesia

Iman sendiri sebelum bergabung di Fairbanc, ia pernah berkarier di Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kemenkop dan UKM, Reliance Capital, CIMB Niaga Auto Finance, dan Astra Financial Service.

Selain Iman, tim Fairbanc Indonesia dipimpin oleh para ahli yang berpengalaman di bidang keuangan, teknologi, dan ahli FMCG. Nama-nama tersebut di antaranya Siswanto sebagai FMCG Specialist. Ia berpengalaman selama lima tahun di Unilever dan 20 tahun di industri FMCG. Selain itu ada Ivan Manarung sebagai Business Intelligent Specialist. Ia juga pernah berkiprah di Unilever.

Di negara asalnya, Fairbanc dirintis oleh Mir Haque, Kevin O’Brien, Sayeem Ahmed, dan Thomas Schumacher. Pada dua tahun lalu, perusahaan melakukan pilot project di Bangladesh sebelum resmi bekerja sama dengan Unilever Indonesia, melalui Unilever Foundry Program.

Diklaim, program tersebut berhasil menghubungkan 80% pedagang mikro unbanked dan 70% di antaranya adalah perempuan. Mereka berhasil menaikkan 35% penjualannya melalui inisiatif tersebut.

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Notches 372 Billion Rupiah Worth of Series A Funding

After securing seed funding last February 2020, GudangAda B2B marketplace platform for FMCG products today (5/5) has announced another round. In this series A, the firm managed to bag funding worth of US$25.4 million, or around 372 billion Rupiah. This round was led by Sequoia India and Alpha JWC Ventures, with the participation of Wavemaker Partners. The company is to develop a new line ob business and build up the internal team.

The platform provides a place for FMCG industry players to meet and conduct transactions online, from suppliers, distributors to retail traders. This warehouse provides an opportunity for traders to develop their business through faster inventory turns, optimal pricing, greater choice of goods and business partners, and transparent transaction management.

GudangAda is said to succeed in connecting around 50 thousand traders in 500 cities, and covering almost 100 percent of FMCG wholesalers in Indonesia, through an enabler approach.

Previously, GudangAda received seed funding from Alpha JWC Ventures and Wavemaker Partners, with participation from Pavilion Capital, valued at US$10.5 million or around 154 billion Rupiah. With this series A funding, the company has managed to get total funding of US$ 36 million within 15 months since it was founded.

“When we first invested in GudangAda and Stevensang, we knew that they would become leading players in the FMCG industry, not only in Indonesia but also in Southeast Asia […] FMCG is an industry that is still running traditionally and is also difficult to break down innovation. It’s not easy to change habits and behavior, especially those that have been going on for decades. However, GudangAda claims that it is possible as long as the players know where to penetrate, what kind of difficulties, and how to execute the strategy effectively,” Alpha JWC Ventures’ Managing Partner, Chandra Tjan said.

In fact, there are some existing startups with similar services beforehand, making it easy for business partners to complete basic standards. Previously, there was Stoqo who served similar services targeting partners from food businesses. Unfortunately, they had to announce service termination earlier this year. In addition, there are other players such as Foodia, Eden Farm, Wahyoo, and many more serves different specializations – with the same core, becoming a hub for business players with merchants.

Momentum amid pandemic

Stevensang GudangAda
GudangAda’s Founder and CEO, Stevensang

GudangAda was founded in the end of 2018 by Stevensang (CEO) with 25 years of experience in the FMGC industry. In an interview with DailySocial he said, “GudangAda was founded due to his concerns over the continuity of the traditional shop business in the digital age. The business concept is to empower all parties involved in the ecosystem, therefore, they can get optimal benefits from the platform.”

Amid the Covid-19 pandemic, GudangAda has gained momentum to expand. The physical distancing situation has put the online-based solutions as an alternative to fulfill the demand of FMGC products – as to ensure the availability of food and other daily needs, and help industry players to continue to run optimally during the PSBB period in some areas.

“B2B supply chains in many developing countries face challenges in terms of capital constraints, ineffective inventory management, and manual operational processes. GudangAda built a digital ecosystem that can change the face of the Indonesian FMCG industry which is currently still running traditionally […] Indonesia will witness the emergence and development of the use of B2B technology in the second e-commerce wave, and we are very pleased for the opportunity to work with GudangAda in this trip,” Managing Director of Sequoia Capital (India) Singapore, Abheek Anand said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Dapatkan Pendanaan Seri A Senilai 372 Miliar Rupiah

Setelah Februari 2020 lalu umumkan pendanaan awal, hari ini (05/5) GudangAda platform marketplace B2B untuk produk FMCG kembali mengumumkan pendanaan terbarunya. Dalam putaran seri A, mereka berhasil bukukan dana senilai US$25,4 juta atau setara 372 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh Sequoia India dan Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari Wavemaker Partners. Perusahaan akan menggunakan pendanaan ini untuk terus mengembangkan sistem teknologinya, meluncurkan lini bisnis baru, dan memperkuat tim internal.

Platform yang dihadirkan menyediakan tempat bagi pemain industri FMCG untuk bertemu dan melakukan transaksi secara online, mulai dari pemasok, distributor, hingga pedagang eceran. GudangAda ini memberikan kesempatan bagi pedagang untuk mengembangkan bisnis mereka melalui perputaran inventori yang lebih cepat, penentuan harga yang optimal, pilihan barang dan rekan bisnis yang lebih banyak, serta manajemen transaksi yang transparan.

Diklaim saat ini GudangAda berhasil menghubungkan sekitar 50 ribu pedagang di 500 kota, serta mencakup hampir 100 persen dari pedagang grosir FMCG di Indonesia, melalui pendekatan sebagai penyokong (enabler).

Sebelumnya, GudangAda mendapatkan pendanaan awal dari Alpha JWC Ventures dan Wavemaker Partners, dengan partisipasi dari Pavilion Capital, sejumlah US$10,5 juta atau sekitar 154 miliar Rupiah. Dengan pendanaan seri A ini, perusahaan telah berhasil mendapatkan pendanaan total sebesar US$36 juta  dalam 15 bulan sejak berdiri.

“Saat kami pertama kali berinvestasi pada GudangAda dan Stevensang, kami tahu bawa mereka akan menjadi pemain unggulan di industri FMCG, tak hanya di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara […] FMCG adalah industri yang masih beroperasi secara tradisional dan juga sulit didobrak inovasi. Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan dan perilaku, terutama yang telah dilakukan selama puluhan tahun. Namun, GudangAda membuktikan bahwa hal tersebut dapat dilakukan jika pelakunya paham di mana pintu masuk terbaik, kesulitan apa yang dihadapi, dan bagaimana cara mengeksekusi strategi dengan efektif,” jelas Managing Partner Alpha JWC Ventures, Chandra Tjan.

Benar saja, sebelumnya memang sudah ada beberapa startup yang jajakan layanan serupa, memberikan kemudahan bagi mitra pebisnis memenuhi kebutuhan dasar. Menyasar mitra dari pebisnis makanan, sebelumnya ada Stoqo yang sajikan layanan serupa. Namun awal tahun ini mereka harus mengumumkan penghentian layanan. Selain itu, masih ada pemain lain seperti Foodia, Eden Farm, Wahyoo dan lain-lain dengan spesialisasi yang berbeda — namun intinya sama, menjadi hub untuk pebisnis dengan penyedia barang dagangan.

Momentum di tengah pandemi

Stevensang GudangAda
Founder & CEO GudangAda Stevensang / GudangAda

GudangAda didirikan akhir tahun 2018 oleh Stevensang (CEO) yang telah berpengalaman di industri FMGC selama 25 tahun. Dalam wawancaranya dengan DailySocial ia pernah mengatakan, “GudangAda didirikan karena adanya keprihatinan terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis yang diusung adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform.”

Di tengah pandemi Covid-19, solusi GudangAda justru mendapatkan momentum baik untuk memperluas cakupannya. Adanya anjuran untuk melakukan physical distancing membuat solusi berbasis online menjadi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan produk FMGC – membantu menjamin ketersediaan sembako dan kebutuhan sehari-hari lain, serta membantu pelaku industri agar tetap berjalan optimal di masa PSBB di banyak daerah.

“Rantai pasokan B2B di banyak negara berkembang menghadapi tantangan dari segi keterbatasan modal, manajemen inventori yang tidak efektif, dan proses operasional manual. GudangAda membangun sebuah ekosistem digital yang dapat mengubah wajah industri FMCG Indonesia yang kini masih berjalan secara tradisional […] Indonesia akan menyaksikan muncul dan berkembangnya penggunaan teknologi B2B dalam gelombang e-commerce kedua, dan kami sangat senang atas kesempatan bekerja sama dengan GudangAda dalam perjalanan ini,” ujar Managing Director Sequoia Capital (India) Singapore, Abheek Anand.

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Hadirkan Marketplace untuk Digitalkan Rantai Pasokan Produk FMCG

Didirikan pada akhir tahun 2018 oleh Stevensang, GudangAda jadi layanan marketplace B2B khusus produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan (supply chain), sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Pengembangan platform ini  dilatarbelakangi pengalaman founder selama 25 tahun bekerja di industri FMCG.

Harapannya dengan teknologi yang disajikan, para penjual yang bertransaksi melalui GudangAda dapat melihat kenaikan volume penjualan, perputaran barang yang lebih cepat, biaya operasional dan harga pengadaan yang lebih rendah, serta transparansi transaksi. Di saat yang bersamaan, pedagang juga dapat mengakses jaringan pelanggan, pelaku bisnis, serta pilihan produk yang lebih luas daripada sebelumnya.

Kepada DailySocial CEO GudangAda Stevensang mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya resiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.

“GudangAda didirikan karena adanya keprihatian terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”

Ditambahkan olehnya, sebagai penjual, toko akan mendapatkan semakin banyak pembeli dan mendapatkan kesempatan untuk menjual kategori produk lain. Sebagai pembeli, toko akan mendapatkan harga yang kompetitif, pengiriman produk yang cepat dan dapat membeli produk kapan saja dan di mana saja.

“GudangAda akan terus melakukan pembaruan terhadap platform yang sudah ada dan akan terus melengkapi layanan untuk memenuhi kebutuhan toko yang bergabung, seperti financial services, logistic services dan lain-lain,” kata Stevensang.

Akuisisi lebih banyak pemilik toko

Setelah mendapatkan pendanaan awal (seed) sebesar belasan juta dolar dari firma modal ventura Alpha JWC Ventures dan Wavemaker Partners, GudangAda selanjutnya ingin fokus menambah jumlah penjual dan pemilik toko, sembari membangun ekosistem dengan melengkapi fitur untuk memenuhi kebutuhan semua stakeholder FMCG. Firma private equity asal Singapura, Pavilion Capital, juga ikut berpartisipasi dalam pendanaan ini.

“Tidak setiap hari Anda menemukan perusahaan sesolid GudangAda dengan pendiri berpengalaman seperti Stevensang. Sejak awal, kami memiliki keyakinan besar pada perusahaan ini dan potensi yang mereka miliki,” ujar Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Saat ini GudangAda telah memiliki 15 anggota tim. Mayoritas dari mereka berpengalaman di bidang FMCG lebih dari 10 tahun dan memiliki hubungan baik dengan pemilik toko grosir di Indonesia. Secara bertahap, GudangAda juga akan melakukan monetisasi terhadap layanan yang diberikan dalam platform, seperti layanan transaksi, logistik dan lainnya.

Di tahun 2020 ini, target utama GudangAda adalah memperluas jaringan anggotanya ke seluruh lapisan rantai pasok industri FMCG di Indonesia dan menyediakan lebih banyak solusi yang bisa diintegrasikan ke kegiatan mereka.

“Kami telah memvalidasi bisnis dan membangun fondasi kuat. Kini, dengan dukungan berkelanjutan dari investor dan mitra, yang harus kami lakukan adalah meneruskan apa yang telah berhasil kami lakukan, namun dengan skala yang lebih besar dan dalam waktu yang lebih cepat. Kami akan mengakselerasi ekspansi kami dan menyediakan lebih banyak layanan agar kami dapat melayani semua pemain industri FMCG di Indonesia,” tutup Stevensang.

Pomona Kini Jadi Layanan Adtech, Fokus Sasar Industri FMCG

Sempat fokus menjadi layanan loyalitas yang membantu toko ritel offline, Pomona resmi mengubah model bisnis mereka menjadi advertising technology (adtech) fokus pada sales conversion yang turut berperan dalam membantu memajukan dan mengembangkan industri Fast Moving Consumer Goods (FMCG) di Indonesia melalui inovasi teknologi.

CEO Pomona Benz Budiman mengungkapkan, keputusan ini sengaja diambil setelah melihat besarnya peluang dan demand dari industri FMCG untuk meningkatkan penjualan dan menjalin relasi dengan konsumen. Jika dulu Pomona menawarkan teknologi scan QR Code dan rewards, kini fitur tersebut tidak lagi tersedia. Mereka kini menghadirkan teknologi baru memanfaatkan teknologi Optical Character Recognition (OCR) dan Machine Learning serta mengimplementasikan Sales Call-to-Action tool pada platform omni-channel Pomona.

“Akhir tahun 2017 lalu kita mulai mengembangkan teknologi baru kemudian awal tahun 2018 mulai kita implementasikan, dua bulan lalu soft launching dan baru hari ini kita resmikan model bisnis baru Pomona,” kata Benz.

Teknologi OCR sendiri merupakan teknologi yang mengotomatisasi proses pembacaan struk menjadi lebih cepat, sedangkan machine learning dapat membantu menganalisa dan memverifikasi keakuratan dari data tersebut.

“Kedua teknologi ini adalah teknologi yang diimplementasikan dalam platform omni-channel Pomona. Omni-channel sendiri merupakan konsep yang diusung Pomona yang menitikberatkan pada pengalaman konsumen dalam berbelanja menggunakan berbagai saluran yang terintegrasi dan dapat memberikan kemudahan serta pengalaman bagi konsumen kapan dan dimanapun,” tambah Benz.

Pomona mengembangkan sendiri teknologi tersebut secara in-house. Memanfaatkan feedback dari mitra brand yang kebanyakan adalah FMCG, misi dari Pomona saat ini adalah ingin membantu brand meningkatkan penjualan.

Pemberian cashback untuk pengguna

Di samping manfaat yang Pomona tawarkan kepada para pelaku industri FMCG, Pomona juga hadir dengan membawa manfaat bagi para konsumen melalui cashback. Cashback bisa didapatkan dari setiap aktivitas belanja yang dilakukan. Hanya dengan mengunggah struk pembelian dari produk yang dibeli di berbagai ritel yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti Indomaret, Alfamart, Giant, Hypermart, Hero, Lawson, Lottemart, Circle K, Guardian, Watson, Century. Pomona mencatat hingga kini lebih dari 200 ribu orang telah menggunakan Pomona.

Konsumen bisa mendapatkan keuntungan berupa cashback mulai dari 20% dari harga produk  dan juga dapat diakumulasi dengan promosi lain yang sedang berlangsung,

“Selain cashback dapat dicairkan dengan melakukan transfer ke semua bank, cashback juga bisa ditukarkan dengan pembelian pulsa, langsung dari aplikasi atau mobile browser Pomona,” kata Benz.

Setiap transaksi yang dilakukan dan verifikasi menggunakan platform, Pomona mendapatkan komisi dari mitra brand FMCG dengan jumlah yang berbeda. Cashback untuk setiap produk diberikan langsung dari mitra FMCG, bukan Pomona. Sementara itu data yang dikumpulkan oleh Pomona, bisa dimanfaatkan oleh perusahaan riset pihak ketiga atau mitra FMCG yang ingin melihat consumer behavior.

“Kita sengaja tidak menjual data yang kita miliki, hal tersebut yang membedakan kami dengan layanan lainnya. Semua data dalam bentuk anonymous bisa didapatkan oleh mitra FMCG, namun selebihnya kita berikan kepada mitra third party research company,” kata Benz.

Dengan cara ini Pomona mengklaim bisa membantu pihak FMCG yang saat ini masih kesulitan untuk melakukan engagement dan meningkatkan penjualan. Perusahaan FMCG yang bergabung menjadi mitra Pomona di antaranya adalah Japfa, Sosro, Unilever, Mayora, Wings, dan Nestle.

Kantongi pendanaan Seri A

Awal tahun 2018 ini Pomona menyebutkan telah mendapatkan pendanaan Seri A. Namun demikian Benz enggan menyebutkan siapa investor yang terlibat dalam putaran kali ini dan berapa nilai investasi yang diberikan. Dari dana segar ini, Pomona berencana untuk mengembangkan teknologi, menambah talenta dan melakukan akuisisi pengguna.

Sebelumnya Pomona telah mendapatkan pendanaan awal, dengan jumlah tak disebutkan, dari Frontier Capital, Prasetia Dwidharma, dan sejumlah angel investor strategis.

“Untuk saat ini kita fokus kepada FMCG. Kita percaya FMCG memiliki potensi yang cerah saat ini dan ke depannya,” tutup Benz.

Application Information Will Show Up Here

 

IDMarco, Layanan E-commerce B2B dari Salim Group

Perusahaan konglomerat Indonesia, Salim Group meluncurkan layanan e-commerce IDMarco yang menyasar target pasar B2B. Langkah ini merupakan usaha Salim Group mengejar ketinggalannya dalam memasuki segmen digital. Salim sendiri telah menyiapkan layanan e-commerce ritel hasil joint venture dengan Lotte Korea Selatan yang siap beroperasi tahun ini dan co-working space Block 71 Jakarta.

Kepada DailySocial, President Director IDMarco Budhi Wibawa menyebutkan layanan terbaru Salim Group ini hadir demi menjawab kebutuhan pasar untuk berbelanja grosir yang mudah, aman, cepat, dengan harga bersaing, sebagai bagian dari digital transformasi yang sedang dilakukan.

“IDMarco bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan di dalam Salim Group untuk penyediaan produk-produk seperti FMCG (Fast Moving Consumer Goods) yang kami jual dalam bentuk grosir secara online.”

Secara khusus IDMarco menyediakan produk beragam untuk pemilik warung, UKM, perusahaan, dan komunitas serta individual yang ingin berbelanja grosir. Produk-produk yang dijual saat ini adalah produk yang diproduksi atau didistribusikan Salim Group.

“Ke depannya kami juga akan memasarkan produk-produk di luar FMCG dan juga tidak menutup kemungkinan produk dari luar group kami,” kata Budhi.

Untuk logistik dan pengiriman, IDMarco memanfaatkan tim internal yang ada, namun untuk memberikan layanan lebih kepada pembeli IDMarco juga melancarkan kemitraan dengan layanan logistik pihak ketiga.

“Pengiriman barang dilakukan oleh tim internal di Salim Group dengan semua sistem yang sudah terintegrasi. Kami di IDMarco melakukan monitoring dan memastikan bahwa pengiriman sesuai dengan SLA yang sudah dijanjikan kepada konsumen. Disamping itu kami juga menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk melengkapi solusi dan cakupan area kami,” kata Budhi.

Untuk pilihan pembayaran, IDMarco menyediakan pilihan bank transfer, internet banking, virtual account, dan kartu kredit yang didukung oleh beragam mitra bank. Rencananya IDMarco juga akan mengembangkan pilihan pembayaran dengan menggandeng partner penyedia jasa pembayaran yang diminati pasar.

Memperluas wilayah layanan

Untuk memaksimalkan layanan yang ada, saat ini IDMarco baru menyediakan layanan kepada pembeli di kawasan Jabodetabek. IDMarco berencana memperluas wilayah layanan di semua kota-kota besar di Indonesia dan kemudian seluruh Indonesia secara merata di tahun 2017 ini.

Meskipun masih terbilang baru dan belum secara resmi diluncurkan, saat ini IDMarco telah melakukan kegiatan pemasaran secara offline. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan target pasar yang dituju.

“Untuk jangka panjang, kami akan seimbangkan dengan strategi online untuk menyasar komunitas dan UKM yang memang sudah berjualan secara online,” tutup Budhi.