Toge Productions Sedang Garap Coffee Talk 2, Seri Final Fantasy Klasik Bakal Dirilis di PlayStation Now

Minggu lalu, Toge Productions memamerkan beberapa game yang akan mereka rilis. Salah satunya adalah Coffee Talk Episode 2: Hibiscus & Butterfly. Selain itu, Kickstarter mengumumkan bahwa jumlah proyek pengembangan game di platform mereka pada semester pertama 2021 lebih banyak dari tahun lalu. Pada minggu lalu, juga muncul kabar bahwa game-game Final Fantasy klasik akan tersedia di PlayStation Now.

H1 2021, Total Dana untuk Proyek Pengembangan Game di Kickstarter Capai US$13 Juta

Kickstarter baru saja merilis laporan terkait proyek pengembangan game di platform mereka untuk semester pertama 2021. Dari Januari sampai 1 Juli 2021, ada 649 proyek pengembangan game yang didaftarkan di platform crowdfunding tersebut. Sementara pada tahun lalu, jumlah proyek pengembangan game di Kickstarter hanya mencapai 588 proyek.

Kickstarter menjelaskan, salah satu alasan mengapa jumlah proyek pengembangan game di tahun ini lebih banyak adalah karena adanya proyek dari 2020 yang tertunda hingga 2021. Sementara dari segi total dana yang dikumpulkan, selama semester pertama 2021, jumlah dana yang dikumpulkan untuk proyek pengembangan game mencapai US$13 juta, lebih besar US$2 juta dari tahun lalu.

Jumlah proyek pengembangan game yang didanai di Kickstarter. | Sumber: Kickstarter

Namun, bertambahnya jumlah proyek pengembangan game di Kickstarter berarti jumlah proyek yang tidak mencapai target pendanaan juga naik. Pada semester pertama 2021, ada 184 proyek pengembangan game yang berhasil mencapai target pendanaan mereka. Hal itu berarti, ada 465 proyek pengembangan game yang gagal mencapai target yang telah mereka tentukan. Sementara pada 2020, jumlah proyek yang mencapai target adalah 168 proyek dan jumlah proyek yang gagal mencapai target pendanaan adalah 420 proyek, menurut laporan GamesIndustry.

Pemasukan CD Projekt di Semester 2 2021 Naik 29%

Minggu lalu, CD Projekt merilis laporan keuangan mereka untuk semester pertama 2021. Dari laporan keuangan tersebut, diketahui bahwa pemasukan perusahaan naik 29% menjadi PLN471 juta (sekitar Rp1,76 triliun). Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan pemasukan CD Projekt adalah karena Cyberpunk 2077 dan The Witcher: Wild Hunt masih laku. Menariknya, para gamers mulai mengubah metode pembelian game. Buktinya, penjualan game secara fisik hanya naik 5% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, menurut laporan GamesIndustry, penjualan game secara digital naik 32%.

Selain perubahan dalam cara membeli game, CD Projekt menyadari adanya perubahan dalam kawasan yang memberikan kontribusi besar pada penjualan game mereka. Penjualan game CD Projekt di Eropa turun 52% dari tahun lalu. Namun, jumlah penjualan di Amerika Serikat justru naik sebesar 94%. CD Projekt juga mengungkap, walau pemasukan mereka naik, jumlah pendapatan mereka tetap berkurang karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk memperbaiki Cybrepunk 2077.

Toge Productions Punya Game Baru: Coffee Talk Episode 2 dan Vanaris Tactics

Tujuh publisher indie game international bergabung untuk membentuk Indie Houses. Toge Productions merupakan salah satu publisher yang ikut serta dalam proyek tersebut. Minggu lalu, Indie Houses mengadakan siaran pertama mereka, menampilkan game-game yang akan diluncurkan oleh tujuh studio yang menjadi anggota mereka. Dalam siaran itu,  Toge Productions mengumumkan beberapa game baru yang sedang mereka garap, lapor IGN.

Salah satu game yang Toge sedang kembangkan adalah Coffee Talk Episode 2: Hibiscus & Butterfly. Di siaran Indie House, Toge menampilkan cuplikan pertama dari Coffee Talk 2. Selain itu, mereka mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan When the Past Was Around untuk platform mobile. Terakhir, mereka mengungumkan bahwa mereka akan merilis Vanaris Tactics. Game tersebut dibuat oleh Matheus Reis, developer solo dari Brasil. Di Vanaris Tactics, pemain akan bermain sebagai Morgana dan sekelompok pengungsi yang ingin bisa bebas dari kekangan Vanaris.

Brendan ‘PlayerUnknown’ Greene Tinggalkan Krafton untuk Buat Studio Baru

Brendan “PlayerUnknown” Greene akan meninggalkan Krafton Game Union untuk membentuk studio game baru, PlayerUnknown Productions. Studio barunya akan terletak di Amsterdam, Belanda. Meskipun begitu, Krafton masih akan memiliki saham di perusahaan tersebut. Greene dikenal sebagai kreator dari PlayerUnknown’s Battlegrounds milik Krafton. Keputusannya untuk keluar dari Krafton cukup membuat hebot, mengingat PUBG, game buatannya, berhasil mempopulerkan genre game baru, yaitu battle royale. Selain itu, PUBG juga sangat sukses dari segi keuangan. Total pemasukan dari PUBG Mobile saja telah mencapai lebih dari US$5,1 miliar, menurut Sensor Tower.

“Saya sangat berterima kasih pada semua orang di PUBG dan Krafton yang telah memberikan saya kesempatan selama empat tahun terakhir,” kata Greene, seperti dikutip dari GamesBeat. “Sekarang, saya tidak sabar untuk memulai perjalanan baru saya untuk membuat game yang telah saya idamkan selama bertahun-tahun. Sekali lagi, saya berterima kasih pada semua orang di Krafton karena mendukung rencana saya.”

Seri Final Fantasy Klasik Bakal Tersedia di PlayStation Now

Koleksi game Final Fantasy klasik akan tersedia di PlayStation Now. Dengan begitu, para gamers akan bisa memainkan game-game Final Fantasy lawas di PlayStation 4, PlayStation 5, atau bahkan PC. Game pertama yang akan bisa dimainkan adalah versi orisinal dari Final Fantasy 7. Game itu akan tersedia di PlayStation Now pada 7 September 2021. Setelah itu, setiap satu bulan, satu game Final Fantasy klasik akan diluncurkan di PlayStation Now.

Final Fantasy 9 akan tersedia di PlayStation Now pada 2 November 2021. 

Game kedua yang akan dirilis untuk PlayStation Now adalah Final Fantasy 8 Remastered. Game tersebut akan tersedia pada 5 Oktober 2021. Sementara Final Fantasy 9 akan diluncurkan di PlayStation Now pada 2 November 2021. Dan pada Desember 2021, Anda akan bisa memainkan Final Fantasy X serta Final Fantasy X-2 HD Remaster. Terakhir, pada 4 Januari 2022, Final Fantasy 12: The Zodiac Age akan tersedia di PlayStation Now, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Agate Skylab Fund Tawarkan Modal sampai dengan US$1 Juta untuk Developer Game Lokal

Industri game adalah salah satu industri yang kebal terhadap pandemi. Faktanya, industri game global justru tumbuh selama pandemi virus corona. Tidak heran, mengingat semakin banyak orang yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game karena harus diam di rumah. Di Indonesia, nilai industri game pada 2021 diperkirakan mencapai US$1,9 miliar , menurut data dari Statista.

Ke depan, industri game Indonesia juga diperkirakan masih akan tumbuh. Dalam lima tahun ke depan, Compound Annual Growth Rate (CAGR) industri game Indonesia diperkirakan akan mencapai 9,58%. Jadi, pada 2025, industri game Indonesia diduga akan bernilai US$2,8 miliar. Masalahnya, jumlah perusahaan game di Indonesia tidak banyak.

Hari Sungkari, yang baru diangkat sebagai penasehat Agate, menyebutkan bahwa pada 2018, nilai industri game di Indonesia mencapai US$1,6 miliar. Sementara pangsa pasar yang dikuasai oleh developer lokal hanyalah 0,6%. Alasannya, karena jumlah perusahaan game di Indonesia yang memang sangat sedikit, sekitar lebih dari 25 perusahaan. Dan jumlah talenta pembuat game di Indonesia pun tidak banyak. Dari 270 juta orang yang ada di Indonesia, jumlah orang yang bekerja di industri game hanyalah sekitar 2 ribu orang. ada di kisaran dua ribu orang.

Kemudian, Hari membandingkan industri game Indonesia dengan industri game Vietnam. Nilai industri game Vietnam hanya mencapai US750 juta. Namun, perusahaan game lokal menguasai 58% dari pangsa pasar tersebut. Memang, di Vietnam, jumlah perusahaan dan talenta yang bekerja di industri game juga lebih banyak dari di Indonesia. Di Vietnam, ada lebih dari 150 perusahaan game dengan jumlah pekerja di bidang game mencapai lebih dari 20 ribu orang.

Perbandingan industri game Indonesia dengan Vietnam, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Berdasarkan survei yang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) adakan, salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh developer game Indonesia adalah biaya produksi game. Sekitar 67,8% developer di Indonesia masih menggunakan dana pribadi. Alhasil, developer pun tidak bisa membuat game yang membutuhkan biaya produksi terlalu besar. Sekitar 29,23% dari developer Indonesia memiliki biaya produksi kurang dari Rp10 juta per tahun.

Agate lalu mengambil inisiatif untuk membuat Agate Skylab Fund. Melalui program Skylab Fund, Agate menawarkan dana untuk para developer game lokal. Tidak tanggung-tanggung, investasi yang Agate tawarkan melalui Skylab Fund berkisar dari US$100 ribu sampai US$1 juta. CEO Agate, Arief Widhiyasa menjelaskan, tujuan mereka mengadakan program Skylab Fund adalah untuk mendorong pertumbuhan industri game Indonesia. Dengan adanya program pendanaan ini, Agate berharap, developer Indonesia akan bisa membuat game yang lebih besar dari kebanyakan game lokal yang ada di pasar sekarang.

Kebanyakan developer game Indonesia belum bisa mendapatkan penghasilan besar. | Sumber: Agate

Dalam presentasinya, Arief mengelompokkan perusahaan game ke dalam enam level. Yang menjadi tolok ukur dalam pengelompokkan tersebut adalah jumlah pemasukan yang didapat oleh perusahaan setiap tahun. Sebagian besar developer Indonesia adalah di level 4 sampai 6, dengan penghasilan sekitar US$10 ribu sampai lebih dari US$1 juta per tahun. Sebagai perbandingan, Valve ada di Tier 3, dengan pemasukan lebih dari US$10 juta per tahun dan Sega ada di Tier 2, dengan pemasukan lebih dari US$100 juta per tahun. Sementara perusahaan seperti Nintendo dan Sony ada di Tier 1 dengan pemasukan lebih dari US$1 miliar per tahun.

“Kebanyakan game developer kita ada di Tier 4 sampai 6. Kami melakukan riset untuk tahu bagaimana caranya agar kita bisa naik kelas. Berdasarkan AGI, pertumbuhan organik industri game Indonesia adalah 25%. Jika selama 10 tahun ke depan, industri game lokal terus tumbuh secara organik, kita cuma akan naik ke Tier 3,” ujar Arief. Dia menyebutkan, Agate Skylab Fund merupakan usaha agar para developer Indonesia bisa masuk ke Tier 1.

Selain pendanaan, melalui Skylab Fund, Agate juga akan menawarkan mentorship, networking, dan unity. Arief menjelaskan, saat ini, Skylab Fund ditujukan untuk membantu developer-developer lokal yang punya ambisi untuk membuat game besar. “Apakah game konsol atau game mobile, free-to-play atau premium, yang penting mimpinya besar,” ujarnya.

Sumber header: Good News from Indonesia

Semester Pertama 2021, Razer Raih Untung Bersih Sebesar Rp446,5 Miliar

Minggu lalu, Razer mengumumkan laporan keungan mereka untuk semester pertama dari 2021. Dalam laporan keuangan tersebut, diketahui bahwa pemasukan Razer dalam enam bulan pertama dari 2021 mencapai US$752 juta  (sekitar Rp10,7 triliun), naik 68% dari periode yang sama pada tahun lalu. Tak hanya pemasukan, margin laba kotor Razer juga mengalami peningkatan, menjadi 27,1%. Sebagai perbandingan, pada semester pertama 2020, margin laba kotor Razer hanya mencapai 22%.

Sementara itu, untung bersih yang didapat oleh Razer pada semester pertama 2021 adalah US$31,3 juta (sekitar Rp446,5 miliar). Padahal, pada semester pertama 2020, mereka masih mengalami kerugian sebesar US$17,7 juta (sekitar Rp252,5 miliar).

Pemasukan Razer terus mengalami pertumbuhan.

Secara garis besar, bisnis Razer terbagi menjadi tiga segmen: hardware, software, dan service. Dari ketiga segmen tersebut, bisnis hardware masih memberikan kontribusi paling besar pada total pemasukan perusahaan. Pada semester pertama 2021, total pemasukan dari divisi hardware Razer mencapai US$677,3 juta (sekitar Rp9,7 triliun), naik 77% dari tahun sebelumnya.

Sementara itu, divisi service, yang mencakup Razer Gold dan Razer Fintech, memberikan kontribusi sebesar US$72,8 juta (sekitar Rp1 triliun) pada total pemasukan perusahaan. Jika dibandingkan dengan semester pertama 2020, pemasukan divisi service naik sebesar 13,8% pada semester pertama 2021. Terakhir, divisi software mendapatkan pemasukan sebesar US$1,9 juta (sekitar Rp27 miliar) pada semester satu 2021.

Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan pemasukan divisi service Razer adalah peningkatan Total Payment Value (TPV) untuk Razer Gold. Pada semester  pertama 2021, TPV dari Razer Gold naik 13,8% dari periode yang sama tahun lalu. Tak hanya Razer Gold, TPV Razer Fintech juga menunjukkan tren naik dalam beberapa tahun belakangan. Dalam tiga tahun terakhir, TPV dari Razer Fintech memiliki Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 63,7%. Lebih dari 95% TPV tersebut berasal oleh Razer Merchant Services (RMS).

Selain TPV, jumlah pengguna Razer Gold juga naik. Sekarang, jumlah pengguna Razer Gold mencapai 30 juta orang, naik 25,3% dari tahun lalu. Sementara jumlah pengguna software buatan Razer meningkat 50%, menjadi 150 juta orang. Seiring dengan naiknya jumlah pengguna, jumlah pengguna aktif juga naik. Kenaikan jumlah pengguna aktif bulanan Razer mencapai 51,4%.

Peningkatan jumlah pengguna service Razer.

Lee Limeng, Chief Strategy Officer Razer dan Chief Executive Officer Razer Fintech menjelaskan, meningkatnya jumlah pengguna software dan service dari Razer akan membantu mereka dalam membuat produk yang diinginkan oleh konsumen. “Kami bisa mengetahui rekam jejak pembelian item, game yang gamers beli, atau genre game yang mereka mainkan. Semua data ini akan membantu kami dalam merencanakan produk yang akan kami luncurkan,” ujarnya dalam konferensi pers. “Kami bisa mengetahui game yang tengah populer atau perubahan tren di dunia game.”

Dalam setahun ke depan, Razer percaya, pendapatan mereka masih akan naik. Pasalnya, mereka akan meluncurkan sejumlah produk hardware baru. Tak hanya itu, mereka juga akan mengembangkan skala bisnis dari divisi service mereka. Dalam kasus Razer Gold, mereka akan meluncurkannya di lebih banyak negara. Sementara untuk Razer Fintech, mereka ingin melakukan ekspansi ke Asia Tenggara. Alasannya, jumlah pengguna kartu kredit di Asia Tenggara tidak banyak. Misalnya, di Indonesia, jumlah penduduk pada 2020 mencapai 270,2 juta jiwa. Sementara jumlah kartu kredit yang beredar pada November 2020 hanyalah 16,9 juta kartu, kurang dari 10% total poplasi. Jadi, Razer ingin menawarkan sistem pembayaran yang memudahkan para gamers untuk membeli item dalam game.

Lee Limeng mengungkap, dari sudut pandang gamers, salah satu keuntungan menggunakan Razer Gold adalah karena mereka bisa menggunakan dana yang ada untuk membeli item di berbagai game, seperti PUBG Mobile, Ragnarok X: Next Generations, Genshin Impact, sampai PlayStation Store. Dia juga menyebutkan, perusahaan game tidak menganggap layanan pembayaran dari Razer sebagai ancaman. Sebaliknya, mereka justru menganggap bahwa keberadaan Razer Gold akan memudahkan para gamers dalam berbelanja di game mereka.

Netflix Akhirnya Mulai Uji Coba Layanan Gaming

Keinginan Netflix untuk melebarkan sayapnya ke pasar video game kelihatannya terus menunjukkan perkembangan. Kabar terakhirnya, Netflix tengah menjalankan uji coba integrasi layanan game barunya tersebut ke dalam aplikasi mobile-nya.

Hal ini dikabarkan langsung melalui akun Twitter Netflix Geeked beberapa hari lalu. Dalam cuitannya tersebut dijelaskan bahwa uji coba ini dilakukan di Polandia. Sehingga para pengguna Netflix yang mengakses layanannya lewat perangkat Android sudah dapat mengunduh 2 game yang disediakan Netflix, yaitu Stranger Things: 1984 dan Stranger Things 3.

Secara teknis, para pengguna yang akan mengunduh game tersebut tetap diarahkan menuju lama game-nya di Google Play Store namun para pengguna Netflix tersebut tidak akan dikenakan biaya tambahan. Netflix juga menegaskan bahwa game mereka tersebut tidak akan memiliki iklan maupun micro-transaction karena sudah termasuk ke dalam biaya berlangganannya.

Pihak Netflix Geeked juga menjelaskan bahwa mereka masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk beberapa bulan ke depan, namun yang mereka tunjukkan sekarang ini adalah langkah pertama dari target mereka. Netflix memang menjanjikan bahwa layanan game mereka tersebut akan memiliki lebih banyak judul di masa depan.

Uniknya, layanan game mobile ini tidak dapat dicoba oleh para pengguna yang menggunakan platform iOS milik Apple. Netflix memang tidak menjelaskan apa alasan menguji layanan tersebut di satu platform saja, namun tentunya banyak pengguna produk Apple di Polandia yang kecewa karena tidak dapat mencoba langsung layanan ini.

Selain kecewa karena tidak tersedia untuk versi iOS, banyak fans yang jadi mempertanyakan tujuan utama dari layanan game ini karena merasa layanan tersebut hanya berupa link untuk menuju laman game-nya di Google Play Store. Tidak sedikit juga yang khawatir bahwa fitur ini akan menjadi alasan bagi Netflix untuk menaikkan harga berlangganannya di masa depan.

Netflix sebelumnya memang telah menegaskan bahwa biaya berlangganan mereka tidak akan bertambah dengan adanya fitur game ini. Namun para pengamat teknologi memang sedikit skeptis dengan hal tersebut karena Netflix memang harus menginvestasikan banyak sumber daya untuk mengembangkan layanan game ini.

Tencent Perkuat Divisi Streaming Internal, Blizzard Ganti Nama McCree di Overwatch

Sepanjang minggu lalu, ada beberapa kabar menarik di dunia gaming. Salah satunya adalah batalnya merger antara dua platform streaming game Tiongkok, Huya dan Douyu. Alhasil, Tencent memutuskan untuk memperkuat divisi streaming game mereka sendiri. Selain itu, Blizzard mengumumkan bahwa mereka akan mengganti nama McCree, yang berujung pada penundaan peluncuran konten terbaru untuk Overwatch. Pada minggu lalu, Korea Selatan juga mengungkap bahwa mereka akan menghapus peraturan tentang batas waktu bermain game bagi anak dan remaja.

Merger Huya-Douyu Dilarang, Tencent Perkuat Divisi Streaming Game Internal

Di Tiongkok, Huya dan Douyu merupakan dua platform streaming game terbesar. Tencent memiliki saham di masing-masing platform streaming tersebut. Pada akhir tahun 2020, Tencent berencana untuk menggabungkan Huya dan Douyu. Dengan begitu, mereka akan menguasai sekitar 67,5% saham dari perusahaan gabungan antara Huya dan Douyu. Hal ini akan menjadikan Tencent sebagai pemimpin dalam industri streaming game yang bernilai US$3 miliar. Sayangnya, keinginan Tencent untuk melakukan merger pada Huya dan Douyu dilarang oleh pemerintah Tiongkok, menurut narasumber Bloomberg.

Sekarang, Tencent banting setir. Mereka membubarkan tim yang bertanggung jawab atas proses merger Huya dan Douyu. Sebagai gantinya, mereka membuat tim baru di Penguin Esports, aplikasi streaming mobile mereka. Divisi yang bertugas untuk mengurus operasi dan desain produk tersebut akan dipimpin oleh Huya Chairman, Huang Lingdong. Sementara Bobby Jin — yang bertanggung jawab atas liga esports League of Legends di Tiongkok — akan menjadi tangan kanan Huang.

Blizzard Bakal Ganti Nama Jesse McCree di Overwatch

Minggu lalu, Blizzard mengumumkan bahwa mereka akan mengganti nama Jesse McCree. Keputusan ini diumumkan melalui Twitter. Nama McCree diambil dari nama salah satu developer Blizzard. Namun, developer tersebut dipecat karena terlibat dalam skandal diskriminasi dan pelecehan seksual yang menyebabkan Blizzard dituntut oleh pemerintah California. Karena itu, Blizzard memutuskan untuk mengganti nama McCree. The Washington Post melaporkan, Blizzard juga akan menghapus referensi akan McCree, Barriga, dan LeCraft di World of Warcraft.

Keputusan Blizzard untuk mengganti nama McCree di Overwatch berarti mereka harus menunda story arc baru di game tersebut. Tadinya, Blizzard akan meluncurkan update baru pada September 2021. Namun, karena McCree punya peran penting dalam cerita tersebut, maka Blizzard memutuskan untuk menunda peluncuran konten tersebut hingga tahun depan. Sebagai gantinya, Blizzard akan meluncurkan peta FFA baru, lapor Kotaku.

Gearbox buka Studio Baru di Montreal

Gearbox Entertainment mengumumkan bahwa mereka akan membuka studio baru di Quebec, Kanada. Studio yang dinamai Gearbox Studio Montreal itu merupakan bagian dari investasi senilai CDN200 juta (sekitar Rp2,3 triliun) dari Gearbox di provinsi Quebec. Tugas dari studio tersebut adalah untuk mengembangkan game Borderlands dan juga intellectual property baru milik Gearbox. Rencananya, studio di Montreal itu akan mempekerjakan 250 orang. Dengan begitu, total pegawai Gearbox akan mencapai 850 orang.

“Gearbox Entertainment Company punya ambisi untuk mengembangkan tim kreatif kami, baik di level domestik maupun internasional. Dengan begitu, kami harap kami akan bisa memenuhi keinginan fans kami akan intellectual property yang memuaskan,” kata pendiri Gearbox, Randy Pitchford, seperti dikutip dari GamesIndustry.

Zynga Bakal Meluncurkan Merge Dragons di Tiongkok

Zynga mengatakan, mereka berencana untuk meluncurkan Merge Dragons di Tiongkok. Dan mereka telah mendapatkan persetujuan pemerintah Tiongkok untuk itu. Jika perusahaan game asing ingin meluncurkan sebuah game baru di Tiongkok, mereka harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok. Sebuah game dari perusahaan asing hanya bisa diluncurkan di Tiongkok setelah ia melalui proses sertifikasi dan mendapatkan ISBN (International Standard Book Number) dari National Press and Publication Administration (NPPA), seperti yang disebutkan oleh VentureBeat.

Merge Dragons telah mendapatkan ISBN. Game itu akan diluncurkan di Tiongkok pada tahun ini untuk iOS dan Android. Merge Dragons merupakan game buatan Gram Games. Game puzzle adventure ini mempopulerkan sistem “merge” dalam sebuah game. Sejauh ini, secara global, Merge Dragons telah diunduh sebanyak 61,5 juta kali, menurut Sensor Tower.

Korea Selatan Bakal Hapuskan Larangan Bermain Game di Malam Hari

Minggu lalu, pemerintah Korea Selatan mengumumkan bahwa mereka akan menghapus peraturan kontroversial yang melarang anak dan remaja bermain game online pada malam hari. Peraturan yang diperkenalkan pada 2011 itu melarang pemain di bawah umur 16 tahun untuk bermain game PC online pada pukul 12 malam sampai 6 pagi. Tujuannya adalah untuk mencegah kecanduan game. Perusahaan game yang tidak mematuhi peraturan ini akan mendapat denda sebesar KRW10 juta (sekitar Rp125 juta) atau mendapatkan hukuman penjara maksimal selama 2 tahun, menurut laporan GamesIndustry.

Sekarang, pemerintah Korea Selatan, khususnya Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata serta Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga berencana untuk menghapus peraturan tersebut. Alasannya, karena mereka ingin menghormati hak para anak muda. Alasan lain mengapa pemerintah Korea Selatan berencana untuk menghapus peraturan itu adalah karena peraturan tersebut tidak mencakup mobile game. Padahal, sekarang, anak-anak muda tidak selalu bermain game di PC pada malam hari. Anak dan remaja kini juga melakukan berbagai kegiatan lain di malam hari, seperti menonton streaming, membaca web comics, dan mengakses media sosial.

Sumber header: Pandaily

Di Balik Tutupnya Sony Manchester, Studio yang Menggarap Game PSVR

Sony Manchester didirikan pada 2015. Ketika itu, studio tersebut ditugaskan untuk membuat game AAA bagi PlayStation VR. Namun, lima tahun kemudian, Sony memutuskan untuk menutup studio tersebut. Keputusan ini mengejutkan orang-orang yang bekerja untuk Sony Manchester. Pasalnya, saat itu, studio bahkan masih membuka lowongan baru.

Selama lima tahun berdiri, Sony Manchester tidak pernah membeberkan proyek yang mereka kerjakan. Para pemimpin studio itu bahkan tidak memberitahukan game yang mereka kembangkan pada orang-orang yang melamar di studio tersebut. Mereka hanya memberikan informasi tentang proyek yang mereka buat setelah pelamar diterima sebagai karyawan studio.

Ketika menutup studio di Manchester, juru bicara PlayStation mengungkap bahwa alasan mereka adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan. Namun, para pelaku industri gaming tetap bertanya-tanya: proyek apa yang dikerjakan oleh Sony Manchester? Untuk menjawab pertanyaan itu, Polygon mewawancarai sejumlah orang yang pernah bekerja di studio tersebut. Hanya saja, para narasumber enggan untuk disebutkan namanya karena mereka sudah menandatangani kontrak Non-Disclosure Agreement (NDA) alias kontrak kerahasiaan terkait tugas mereka di Sony Manchester.

Awal Berdiri Sony Manchester

Ketika Sony Manchester didirikan pada 2015, posisi Studio Director diisi oleh Sam Coates. Sebelum itu, Coates pernah menjadi bagian dari Sony Creative Development Group, yang merupakan bagian dari Sony Interactive Entertainment Eropa. Tugas dari divisi tersebut adalah untuk melakukan user testing dan riset serta mengembangkan game-game baru.

Coates turun tangan langsung untuk membesarkan Sony Manchester. Ketika studio baru berdiri, dia membawa 15 developer yang punya pengalaman bekerja untuk studio-studio besar. Sementara itu, Coates bertanggung jawab pada Mark Green yang merupakan Research Director di Sony dan Eric Matthews, yang menjabat sebagai Vice President of Sony Worldwide Studios dan merupakan pendiri Bitmap Brothers.

Horizon Zero Dawn adalah salah satu game yang pernah dikerjakan oleh Matthews dan Green.

Sama seperti Coates, Matthews dan Green juga pernah menjadi bagian dari Creative Development Group. Keduanya juga punya andil dalam pengembangan sejumlah game populer, seperti Horizon Zero Dawn, Until Dawn: Rush of Blood, dan Tearaway Unfolded. Meskipun Coates melapor pada Matthews dan Green, kedua pria itu bekerja di kantor Sony di London.

Sejak studio di Manchester didirikan, Sony tidak pernah memberikan penjelasan detail tentang proyek yang dikembangkan di studio tersebut. Sony bahkan baru mengumumkan keberadaan studio Manchester pada Mei 2015. Alasannya, fans menemukan lowongan pekerjaan dari Sony, yang mencari developer di kawasan Manchester. Walau Sony mengatakan bahwa mereka akan memberikan informasi lebih lengkap akan studio baru mereka di Manchester, informasi tentang studio itu hanya bisa didapat dari lowongan kerja yang Sony buat. Dari lowongan itu, diketahui bahwa Sony Manchester bertugas untuk membuat game AAA untuk PlayStation VR.

Menurut narasumber Polygon, salah satu game yang dibuat oleh Sony Manchester dinamai CSAR: Combat, Research, and Rescue, yang sering disingkat sebagai Rescue. Game itu didasarkan pada Desert Strike, game action klasik yang diluncurkan pada 1992 untuk Sega Genesis. Hanya saja, kali ini, Sony Manchester akan membuat game Rescue dengan teknologi yang lebih modern. Konsep untuk membuat Rescue sebenarnya datang dari Evolution Studios, yang membuat game racing DriveClub.

Sama seperti di Desert Strike, dalam Rescue, para pemain akan terbang menggunakan helikopter untuk menembaki musuh dan melakukan tugas penyelamatan. Selain itu, pemain juga akan didampingi oleh seorang kopilot dan mendapatkan akses ke kapal induk yang berfungsi sebagai markas utama. Di kapal induk, para pemain akan bisa memilih misi yang akan mereka jalankan berikutnya.

Masalah Kepemimpinan Sony Manchester

Salah satu masalah yang dihadapi Sony Manchester adalah proses pengembangan game yang berjalan dengan sangat lambat. Menurut beberapa mantan karyawan, hal ini disebabkan oleh model kepemimpinan Matthews dan Green, yang cenderung melakukan micromanagement.

Tim Sony Manchester akan menghabiskan waktu sekitar 6-12 bulan untuk membuat game dengan desain yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, para pemimpin proyek lakukan akan meminta tim developer untuk mengubah sesuatu, mulai dari artstyle yang “terlalu biru” sampai posisi NPC. Dan hal ini menyebabkan para developer harus mengulang pekerjaan mereka. Jadi, tidak heran jika Sony Manchester menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk membuat prototipe.

Walau kantor utama Matthews dan Green di London, mereka pergi Manchester seminggu sekali. Saat berkunjung ke Manchester, mereka biasanya turun tangan langsung pada proses pengembangan game. Dan hal ini justru menjatuhkan moral sebagian karyawan. Alasannya, mereka merasa seolah-olah mereka tidak dipercaya untuk menyelesaikan tugas mereka. Ketika Polygon mencoba untuk mengonfirmasi hal ini pada Matthews dan Green, Matthews tidak memberikan respons dan Green memutuskan untuk tidak mmeberi komentar.

Matthews dan Green mengunjungi Sony Manchester seminggu sekali. | Sumber: KitGuru

“Komunikasi jadi masalah,” kata salah satu mantan karyawan Sony Manchester. “Eric dan Mark sama sekali tidak terbuka pada ide yang diajukan oleh anggota tim.” Dia menjelaskan, sebagian besar ide yang diajukan oleh tim Sony Manchester ditolak. Kecuali jika ide itu memang sama seperti apa yang Matthews dan Green ingin lakukan.

“Kami punya seorang produser. Namun, dia tidak bisa melakukan tugasnya karena Eric dan Mark tidak menyukai rencana yang mendetail,” ujar sang mantan pegawai. Dia bercerita, proses untuk membuat satu musuh baru bisa memakan waktu selama berbulan-bulan. Padahal, musuh yang dibuat masih dalam tahap pra-produksi.

Jauh di Mata, Jauh di Hati

Masalah lain yang dihadapi oleh studio Manchester adalah sikap tidak acuh dari Sony. Jika dibandingkan dengan studio internal Sony yang lain, jumlah staf studio Manchester memang tidak banyak, tidak lebih dari 30 orang. Alhasil, Sony seolah-olah melupakan keberadaan studio Manchester. Lebih dari satu mantan karyawan Sony Manchester bahkan menganggap studio itu sebagai proyek sampingan untuk Matthews.

Mantan pegawai Sony Manchester juga merasa mereka tidak bekerja untuk studio internal Sony. Pasalnya, kantor mereka tidak memiliki branding Sony sama sekali. Selain itu, mereka juga harus berbagi kantor yang mereka gunakan dengan perusahaan lain. Padahal, mereka seharusnya dipindahkan ke tempat lain yang memang memiliki branding Sony dan bisa mereka gunakan tanpa harus berbagi dengan perusahaan lain. Lagi, hal ini menjatuhkan semangat para karyawan Sony Manchester.

Tiga narasumber mengatakan, saat baru diterima di Sony Manchester, para staf biasanya punya semangat tinggi. Mereka bangga karena mereka bisa bekerja untuk studio internal Sony, mengembangkan game baru. Namun, setelah mereka bekerja di sana selama beberapa bulan, mereka akan sadar bahwa kenyataan jauh berbeda dari harapan mereka.

Tugas Sony Manchester adalah membuat game AAA untuk PSVR. | Sumber: The Verge

Sony Manchester tidak memiliki banyak staf. Walau ditugaskan untuk membuat game AAA, jumlah pegawai di sana tidak pernah melebihi 30 orang. Mereka juga sering membuka lowongan kerja. Namun, para petinggi studio enggan untuk menambah karyawan, terutama ketika mereka masih ada di fase pra-produksi. Mereka berencana untuk menambah pegawai ketika proyek pengembangan game sudah masuk fase produksi, yang terus tertunda.

Pada 2016, sejumlah staf Sony Manchester memutuskan untuk meninggalkan studio itu. Salah satunya adalah Gary Napper, yang menjabat sebagai Lead Designer. Pada Juni 2016, dia pindah ke Supermassive Games. Selain itu, Richard Heasman, yang menjabat sebagai Principal VFX Artist, dan Amrish Wadekar sebagai Principal Environment Artist, juga memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan Codemasters. Bahkan Sam Coates, yang menjabat sebagai Studio Director, akhirnya keluar pada Juli 2016 dan bergabung dengan Lego Group.

Setelah kepergian Coates, Matthews dan Green harus mengisi posisi yang kosong di Sony Manchester. Akhirnya, Matthews menduduki posisi Studio Director dan Green menjadi Creative Director. Meskipun begitu, keduanya tetap bekerja dari London. Mereka sempat menambah jumlah staf Sony Manchester dengan merekrut mantan developer dari Ubisoft Reflections, Sony Liverpool, Sony XDev, dan Electronic Arts. Sayangnya, perekrutan karyawan baru tidak mempercepat proses pengerjaan game di Sony Manchester.

Pada akhir 2018, Matthews dan Green sempat memindahkan tim desain Sony Manchester ke London. Harapannya, hal ini akan membuat mereka bekerja dengan lebih cepat. Namun, keputusan tersebut justru membuat komunikasi antara tim Manchester dan London menjadi semakin buruk.

Tutupnya Sony Manchester

Ada banyak perubahan yang terjadi pada Sony di 2019. Pada November 2019, mereka menunjuk Head of Worldwide Studios baru, yaitu Hermen Hulst. Tugasnya adalah untuk mengatur tim developer internal Sony. Perubahan lainnya adalah Shuhei Yoshida melepaskan jabatannya sebagai President of Worldwide Studios dan menjadi Head of Independent Developer Initiatives.

Restrukturisasi ini membuat Sony meninjau kembali proyek mereka yang tengah berjalan, termasuk Sony Manchester. Studio itu kini mendapatkan tekanan dari Sony untuk menunjukkan hasil dari kerja mereka selama beberapa tahun terakhir. Dan pada akhirnya, tim Sony Manchester mulai menunjukkan hasil. Sayangnya, hal itu tidak menyelamatkan mereka. Sony tetap memutuskan untuk menutup studio di Manchester. Hulst mengunjungi studio Manchester untuk mengumumkan hal ini pada para staf di Februari 2020.

Sejak saat itu, banyak mantan pekerja Sony Manchester yang pindah ke studio lain yang juga bermarkas di Manchester, seperti Firesprite dan Lucid Games. Kedua studio itu juga merupakan rekan Sony dalam membuat The Persistence VR dan Destruction AllStars. Setelah Sony Manchester dibubarkan, Matthews lalu menjabat sebagai Head of Game Development di TT Games, sementara Green menduduki posisi Director of Game Development di perusahaan yang sama.

Sumber header: Dual Shockers

Microsoft Umumkan Konsol Xbox Series X dan Controller Bertema Halo

Halo merupakan game unggulan di platform Xbox, serial ini berpusat pada perang antarbintang antara manusia dan aliansi alien yang dikenal sebagai Covenant. Video game ini dikembangkan oleh 343 Industries, sebuah divisi dari Xbox Game Studios, judul pertama dirilis pada tahun 2001.

Untuk memperingati hari jadi yang ke 20 tahun dan merayakan peluncuran judul game barunya yakni Halo Infinite, Microsoft dan developer 343 Industries telah mengumumkan dua produk bertema Halo. Ada Xbox Series X – Halo Infinite Limited Edition Bundle dan controller Halo Infinite Limited Edition Elite Series 2.

Untuk Xbox Series X – Halo Infinite Limited Edition Bundle mencakup konsol dengan desain khusus, controller, dan tentu saja satu copy dari game Halo Infinite. Mari bahas desain konsolnya, pada bagian bawah menampilkan pola dark metallic armored dengan aksen emas iridium. Sementara, pada bagian atas terdapat pola pola bintang seperti yang terlihat di Zeta Halo dan grille di sisi atas memiliki highlight biru yang terinspirasi oleh Cortana.

Seperti Xbox limited edition bundle lainnya, model khusus ini juga dilengkapi dengan suara startup yang berbeda. Saat pengguna menghidupkan dan mematikan power konsol akan disertai dengan suara bertema Halo. Selain desain dan suara startup, baik konsol dan controller dalam paket tersebut identik dengan model standar.

Controller Limited Edition Elite Series 2

Nah yang lebih istimewa ialah Elite Series 2, ia mengusung desain yang terinspirasi dari Master Chief dan menawarkan sejumlah perbedaan fungsional dibandingkan controller Xbox Wireless standar. Contohnya thumbstick yang tegangannya dapat disesuaikan dengan keinginan lewat tool yang disediakan.

Selain itu, dalam paket penjualan Elite Series 2 juga terdapat 1 carrying cas, 6 thumbstick yang terdiri dari 2 standard, 2 classic, 1 tall, dan 1 wide dome. Serta, satu set paddle yang terdiri dari 2 medium dan 2 mini, satu set D-Pads meliputi standard dan faceted, juga charging dock dan kabel USB-C.

Soal daya tahan, Elite Series 2 punya baterai yang tertanam dan menjanjikan daya tahan hingga 40 jam. Selain untuk konsol Xbox, controller ini juga kompatibel dengan PC komputer berbasis Windows.

Harga Xbox Series X – Halo Infinite Limited Edition Bundle dibanderol dengan harga US$549 atau sekitar Rp7,9 jutaan dan controller Halo Infinite Limited Edition Elite Series 2 US$199,99 atau Rp2,8 jutaan. Keduanya akan tersedia pada 15 November 2021 mendatang dan game Halo Infinite akan dapat dimainkan saat dirilis pada 8 Desember 2021 nanti.

Sumber: GSMArena

Netflix Mulai Uji Konten Game di Aplikasi Android-nya

Juli lalu, Netflix secara resmi mengumumkan niatannya untuk menyisipkan game ke katalog kontennya. Netflix rupanya tidak butuh waktu lama untuk mengeksekusi rencana tersebut. Baru sebulan berselang, mereka rupanya sudah siap menguji konten gaming-nya bersama publik.

Sejauh ini pengujiannya baru dilangsungkan di Polandia. Para pelanggan Netflix di sana sekarang sudah bisa menjajal dua game di perangkat Android-nya, yakni “Stranger Things: 1984” dan “Stranger Things 3”. Dalam beberapa bulan ke depan, pengujiannya akan meluas ke negara-negara lain, dan juga bakal mencakup platform iOS.

Semua ini sejalan dengan yang diberitakan bulan lalu, bahwa Netflix akan memulai di platform mobile terlebih dulu, dan game-nya dibuat berdasarkan sejumlah franchise Netflix yang sudah ada. Stranger Things sendiri memang merupakan salah satu franchise serial milik Netflix yang paling populer, dan season keempatnya sudah dijadwalkan hadir tahun depan.

Netflix tidak lupa menegaskan kembali bahwa deretan game-nya ini dapat dinikmati tanpa biaya tambahan. Pelanggan juga tidak akan menjumpai iklan maupun in-app purchase di dalam game-nya. Semua sudah termasuk dalam biaya berlangganan Netflix seperti biasanya.

Yang menarik, kalau film-film di Netflix kita stream dari cloud, rupanya konten game-nya tidak demikian. Jadi ketika mengklik “Install Game” di aplikasi Netflix, pelanggan akan dialihkan ke Google Play Store untuk mengunduh game-nya. Cara ini lebih mirip yang diterapkan Apple Arcade dan Google Play Pass ketimbang Stadia atau Xbox Cloud Gaming.

Kita sebenarnya bisa saja langsung mengunduh game-nya dari Google Play Store, tapi saat hendak bermain, kita perlu login menggunakan akun Netflix masing-masing. Sejauh ini belum ada informasi apakah ke depannya Netflix bakal beralih ke metode streaming sepenuhnya, atau malah seterusnya menggunakan metode seperti ini.

Seandainya beralih ke metode streaming ala Stadia, Netflix tentu harus memikirkan pengalaman yang bakal didapat oleh para pelanggannya yang menggunakan perangkat iOS. Pasalnya, Apple memang hanya mengizinkan platform cloud gaming untuk beroperasi menggunakan web app ketimbang native app di iOS.

Sumber: Engadget.

Roblox Akuisisi Guilded, Pemasukan Netmarble Pada Q2 2021 Turun 16% dari Tahun Lalu

Minggu lalu, Roblox mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi platform group chat, Guilded. Selain itu, Netmarble juga baru saja merilis laporan keuangan mereka untuk Q2 2021. Sementara itu, startup asal Singapura, Storms, membuat tim pengembangan mobile game yang dinamai Storms Studio.

Q2 2021, Pemasukan Netmarble Turun 16% dari Tahun Lalu

Netmarble, perusahaan mobile asal Korea Selatan, telah merilis laporan keuangannya untuk Q2 2021. Untuk kuartal yang berakhir pada 30 Juni 2021, total pemasukan Netmarble mencapai US$492 juta, naik 1,2% dari pemasukan Netmarble pada Q1, tapi turun 15,8% jika dibandingkan dengan pemasukan pada Q2 2020. Marvel: Contest of Champions masih menjadi game dengan kontribusi terbesar pada pemasukan Netmarble. Dari total pemasukan Netmarble, game tersebut memberikan kontribusi sebesar 13%, lapor GamesIndustry

Sementara itu, laba bersih yang didapat oleh Netmarble mencapai US$43,1 juta, turun 43% dari periode yang sama pada tahun lalu. CEO Netmarble, Seungwon Lee mengatakan, salah satu hal yang membuat keuntungan Netmarble turun pada Q2 2021 adalah besarnya biaya marketing untuk Ni no Kuni: Cross Worlds.

Perusahaan Mobile Singapura Buat Tim Pengembangan Game

Storms, startup mobile game asal Singapura, telah membuat studio game internal. Dinamai Storms Studio, tim pengembangan game tersebut telah membuat sebuah game hypercasual berjudul AZ Run. Storms mengklaim, game ball runner tersebut telah diunduh sebanyak tiga juta kali pada bulan pertama ia diluncurkan. Selain itu, game AZ Run juga berhasil menduduki peringkat pertama di 30 negara.

Storms Studio sudah berhasil membuat AZ Run. | Sumber: YouTube

Sebelum membuat game, Storms fokus pada layanan mobile, seperti menerbitkan mobile game, pengelolaan pemasukan untuk mobile game, dan membuat platform game instan, yang memiliki lebih dari tiga juta pengguna aktif bulanan. Sekarang, Storms bekerja sama dengan publisher hypercasual game, Voodoo, untuk merilis AZ Run di iOS dan Android, menurut laporan GamesIndustry.

Roblox Akuisisi Guilded

Minggu lalu, Roblox mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi platform group chat Guilded. Roblox menyebutkan, setelah akuisisi ini, Guilded akan tetap beroperasi secara mandiri. Sementara Guilded percaya, akuisisi ini akan membantu mereka untuk memberikan layanan yang lebih baik pada komunitas.

“Dalam jangka panjang, akuisisi ini akan membantu kami untuk memberikan layanan yang lebih baik dan kami akan bisa mengambil proyek yang lebih besar dari sebelumnya,” kata CEO dan pendiri Guilded, Eli Brown, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Ke depan, kami akan membuat proyek yang ambisius karena kami memang punya misi yang ambisius, yaitu membangun platform komunikasi terbaik untuk komunitas Anda.”

Epic Games Store Uji Coba Sistem Self-Publishing Game

Epic Games Store meluncurkan sistem yang membantu developer untuk merilis game mereka sendiri. Namun, saat ini, sistem tersebut masih dalam tahap closed beta. Anda bisa mendaftarkan diri untuk menguji sistem self-publishing itu di sini. Walau tidak sebanyak Steam, jumlah pengguna bulanan EGS telah mencapai 58 juta orang. Selain itu, Epic Games juga membebani developer dengan potongan yang lebih kecil dari Steam, hanya 12% dari pemasukan game yang dirilis di platform mereka. Sementara itu, rata-rata potongan yang Steam ambil adalah 30% dari total pemasukan sebuah game, lapor VentureBeat.

Epic Games Store uji self-publishing system.

Dengan adanya sistem self-publishing ini, EGS percaya, jumlah game yang tersedia di platform mereka akan bertambah dengan cepat. Sekarang, tanpa sistem self-publishing, jika Anda ingin game Anda diluncurkan di EGS, Anda harus menunggu persetujuan dari Epic Games.

Seperti yang disebutkan oleh PC Gamer, sistem self-publishing di EGS ini mirip dengan Steam Direct, yang memungkinkan developer untuk meluncurkan game mereka di Steam secara langsung tanpa perlu menunggu persetujuan Valve. Dan memang, keberadaan Steam Direct membuat jumlah game yang tersedia di Steam bertambah dengan cepat. Namun, keberadaan Steam Direct juga menuai kritik. Alasannya, Valve tidak lagi perlu memeriksa game yang akan diluncurkan di Steam. Alhasil, ada banyak game porting dari platform lain yang diluncurkan di Steam tanpa penyesuaian sama sekali.

Applications of Gaming in Other Fields: Military, Health, and Education

The general perspective on gaming from society is quite polarizing. On the one hand, the US military sees the potential that gaming can bring and uses it as a tool to train their troops. On the other hand, the World Health Organization recognizes something called gaming disorder, despite the fact that gaming has been used to treat mental disorders. Many parents also often complained that games are the culprit behind their children’s laziness. However, games have been used as a learning tool in many modern education systems and classes.

Along with the skyrocketing popularity of games, more and more parties are interested in using gaming and its innovations in other fields, ranging from education, health, and the military.

MILITARY

Believe it or not, the US military has actually been sponsoring game developers for a very long time. For more than two decades, from the 1960s to the 1990s, the US military is highly active in funding technological developments in the gaming industry. In fact, the creation of Spacewar! — which is considered to be the first-ever game — was made possible thanks to funding from the Pentagon. Both parties are clearly benefiting from this relationship. From the game developer’s standpoint, they now have a larger financial resource to work with. As for the military, they will hopefully get a quality training simulation, as mentioned by The Atlantic.

Generally speaking, the military uses gaming for three main purposes: recruiting new soldiers, training existing troops, and dealing with post-traumatic stress disorder (PTSD) experienced by veterans. America’s Army is an example of a game created to recruit young people into the military. This FPS game was created and released by the US Army in 2002 and can be played for free by anyone. In 2008, Richard Beckett — Chief of Advertising and Public Affairs in the US Army — said that America’s Army was used in various social activities, including LAN parties, which were part of US Army’s “Future Soldier Sustainment” program.

The US Navy utilizes Twitch in its recruitment process. | Source: Military

“Events like LAN parties are useful because we want the recruits to see the recruiters as regular folks, like themselves… and to help future soldiers to stay the course,” Beckett told Ars Technica. He explained that these social activities also act to keep the new military recruits to stay in the Boot Camp since they need to wait up to six months before being assigned. Social activities also create a sense of inclusion and welcome to the enlistees.

Along with the increasing popularity of game content broadcasts, the US military is also interested in exploring game streaming platforms. Currently, both the US Army and Navy have Twitch channels. The military’s goal in creating a channel on Twitch is not to treat it as some form of recruitment program. Instead, they want to use streaming as a means to increase exposure and engage with the audience, especially the younger demography. However, the existence of a Twitch channel from the US Army or Navy does spark several backlashes. For instance, many Twitch viewers seize this opportunity to ask about sensitive topics such as Eddie Gallagher or various accused war crimes committed by US soldiers.

Other than recruiting new soldiers, the US military also uses gaming to train their troops. Some games have been specifically made as a military training tool with specific functionalities. For example, the game DARWARS Ambush was created to teach infantry tactics, convoy operations, and the Rules of Engagement. According to a GamesIndustry report, by the end of 2008, more than three thousand copies of DARWARS Ambush had been distributed to the Army, Air Force, Navy, Coast Guard, and Marines.

UrbanSim and Tactical Iraqi are two other examples of games that have been utilized for military training. Both of these games focus on teaching foreign language skills and fighting rebels. War simulators such as Virtual Battlespace 2 allow military commanders to simulate scenarios that may potentially occur on the battlefield, such as ambushes, Improvised Explosive Device (IED) explosions, and medical evacuation.

DARWARS Ambus, a video game that simulates military training. | Source: Stripes

Lastly, the military uses gaming to overcome psychological traumas experienced by veterans, such as PTSD. In the journal titled Virtual Reality Exposure Therapy for Combat-Related PTSD, the Institute of Medicine states that Cognitive Behavioral Therapy (CBT) with exposure therapy is the only type of remedy recommended for treating PTSD.

In exposure therapy, patients with PTSD will usually be asked to recall and re-exposing themselves to their traumatic experiences. Unfortunately, one of the symptoms of PTSD is the reluctance or inability to remember the traumatic event that caused the PTSD itself. This is where VR simulators come in. VR is perfect for exposure therapy since it can be utilized to recreate the source of the trauma. Thus, the existence of simulations such as Virtual Afghanistan has helped veterans overcome their trauma.

However, the US military’s decision to be active in the gaming industry also had its downsides. One of the most controversial military games that has been released is Full Spectrum Warrior. The game, launched in 2003, is available in two versions: a commercial version and a military-specific version, which can be accessed with a special code. Although the game won awards in the Best Original Game and Best Simulation Game categories at E3 2003, the US military eventually did not utilize it for training, deeming it to be too unrealistic. In addition, the cost incurred by the US Army to get and develop the game was also incredibly massive.

HEALTH

Of course, military veterans aren’t the only ones experiencing PTSD. Normal people like us also can also be affected by this mental disorder. Therefore, the existence of VR Exposure Therapy (VRET) not only benefits the military but also the healthcare industry as well. In addition to PTSD, VRET can also be used to treat other mental disorders, such as phobias or anxiety disorders. Similar to how the military uses VRET, patients with these disorders will be exposed to the source of their trauma or fear with the help of VR simulations. Since the virtual world can be carefully controlled (and is obviously not real), the patient’s therapy is ensured to be safe.

VR Exposure Therapy can be used to treat phobias. | Source: Digital Bodies

The use of games in the healthcare industry is not limited to the department of psychology. Games, especially VR, can also be used by health workers to hone their skills or learn new procedures, which should decrease the chance of human error when performing in real medical situations. According to a journal titled Gaming science innovations to integrate health systems science into medical education and practice, Health workers can use VR for many different purposes, such as learning to perform endoscopy or creating a simulation of an operating room.

Interestingly, mobile games can also help prospective doctors to learn new skills. The iPad game called PAtient Safety in Surgical Education (PASSED) can display various cases from the archive of sentinel (or unexpected) events and serious reportable events in the hospital. Medical students can use this game to gain knowledge or increase their awareness regarding patient safety.

Everyone knows that prevention is better than cure. Games, fortunately, can also improve the healthy lifestyle of many people in our society. For instance, Pokemon Go is one of the few games that incentivizes people to go out of their homes and walk. Nintendo’s WiiFit, which utilizes the Wii Balance Board, promotes exercise to its users. In addition to encouraging players to be more active in sports, these types of games can also be used to measure one’s physical abilities. As mentioned in the article called Innovation in Games: Better Health and Healthcare, health workers can, in turn, use this technology to see a patient’s physical progress, especially in patients affected by diseases that degrade motoric functions such as Parkinson’s.

Wii Fit encourages players to engage in physical activity. | Source: Ichi Pro

Games, of course, promote the element of a challenge, which is also perfect for curing or overcoming addictions. One example of a game created to help players quit smoking is My Stop Smoking Coach, released in 2008. The game can run on several platforms, including iPhone and Nintendo DS. Escape from Diab from Archimage Inc., released in 2006, is another example of a game that promotes a healthy lifestyle. This game focuses specifically on preventing obesity and type 2 diabetes.

EDUCATION

Games are often blamed as the culprit behind students’ reluctance to learn. Funnily enough, studies that investigate the use of gaming as a learning tool have been around since the 1980s. At that time, the researchers observed that various commercial games — especially games in the strategy, simulation, or RPG genres — had used learning theory to encourage players to study the elements of the game itself.

Of course, using gaming in education does not mean that all the topics in the curriculum must be “packaged” in games. According to a study titled Gaming in Education: Using Games as a Support Tool to Teach History, there are many benefits that games can bring to teaching and learning activities. Firstly, games can encourage or incentivize students to participate in the class and directly apply what they have learned. Secondly, games can also help students recall the topics or points taught in the class. Games can also improve computer and visual literacy. Furthermore, the competitive nature of games can also push students to think creatively when solving problems. Lastly, games can teach various important soft skills, ranging from critical thinking, interacting and collaborating with friends, and even sportsmanship.

Video games can improve students’ soft skills. | Source: Spiel Times

The journal titled Digital Games in Education: The Design of Games-Based Learning Environments discusses how games can motivate students and increase their focus. Indeed, games do, in some way, have some elements that teach players to fully focus on in-game tasks. These elements include clear goals, good feedback — both direct and indirect, and a fine balance between challenge difficulty and player’s skills. Apart from keeping students focused, all of these elements can also help students to be more interactive in class, which improves their educational achievements.

TECHNOLOGY

The controller is the primary input device for most consoles in existence. As the console changes, the controller inevitably also evolves. Despite the vast popularity of controllers, countless game companies continue to invent and experiment with new input mechanisms. In 2006, Nintendo launched the Wii Remote or Wiimote at the same time as the Nintendo Wii. One of the primary features of the device is scanning the movement of the user’s hand. Three years later, Nintendo launched the successor to the Wii Remote, the Wii MotionPlus, which can detect even more complex motions. Microsoft also launched the Kinect in 2010. Equipped with various motion sensors such as an RGB camera, infrared projector, and detector, Kinect can detect the motion of the user’s whole body.

Motion sensing technology has also been used in fields outside of gaming. In mobile applications, for instance, the gyroscope in a smartphone can be utilized to detect movements. One company that is interested in using motion-sensing technology is Limix. This Italian company invented and produces wearables called Talking Hands. This device can translate sign language in voice using a smartphone or Bluetooth speaker, as mentioned by HeadStuff. The existence of Talking Hands shows how motion-sensing technology can be used to help the disabled.

Games are also frequently the driving factors for today’s hardware development. Most games today and even in the future will require high-performance hardware. Due to the insatiable demands of gamers to increase the power of computing, hardware manufacturers inevitably have to fulfill these demands and create faster and more powerful technology. These high-performance hardware can also be utilized for other activities that require significant computing power, such as cryptocurrency mining.

GAMIFICATION

We have seen how the elements of gaming can be applied in four different industries. In reality, however, many in-game aspects are also applicable or translatable in non-gaming environments. Staple gaming elements like point systems, badges, the use of avatars, leaderboards, performance graphs, and teamwork. As a result, the term gamification emerged. If you are interested in seeing how gamification is put into practice in non-gaming fields, you can read more about it here.

The journal titled How gamification motivates: An experimental study of the effects of specific game design elements on psychological need satisfaction discusses how gamification can increase motivation based on self-determination theory.

According to self-determination theory, people are motivated to grow and change by three innate psychological needs: competence, autonomy, social connectedness or relatedness. Competence will be met when a person fully masters or feels proficient in a particular skill. The element of gaming that is suited for achieving competence is the awarding of points and badges. Leaderboards and performance graphs can also aid in this matter. In games, points serve as direct feedback or reward. If a player earns points after successfully performing an activity, the player will be motivated to continue doing the task in order to increase his or her points.

Many elements of gaming can be applied outside the scope of games. | Source: Deposit Photos

On the other hand, performance graphs can show a person’s progress or achievements after a certain period of time. For example, on the Duolingo app, each week, you’ll get a graphical report of how much time you’ve spent studying on the app over the last seven days. From that graph, you can clearly check if you are progressing at a rate that you want. Both badges and leaderboards can be used as an assessment of a person’s overall performance. Badges in games are usually given to players after they achieved a unique target or task. Leaderboards function to compare the performances between players. Ultimately, points, badges, leaderboards, and performance charts are useful visualizations of a person’s proficiency or mastery, which also create the drive for them to continue to improve.

The second psychological need that must be met in the self-determination theory is autonomy, which suggests that people need to be in control of their behavior and goals when conducting an activity. The need for autonomy consists of two aspects: freedom in decision-making and satisfaction with completing meaningful tasks. The use of avatars can be a way to fulfill the first aspect. Choosing an avatar — which represents the player and their personality — makes players feel that they have control over the decisions they make. The second aspect can be fulfilled with narration or stories. Stories are the essence of many games today. More often than not, tasks or missions in games mostly repeat the same formula. Go to A and complete a set of objectives, then go to B to complete a different set of objectives, and the process is repeated. After a few iterations of these, players can easily get bored. However, the presence of a story makes each mission unique and creates a different sense of accomplishment when a player successfully completes it.

The last component in self-determination theory is social connectedness, which is fulfilled when a person establishes some sense of belonging or attachment to a particular group. Games create a feeling of connectedness by frequently incorporating multiplayer elements. Players, therefore, have to work together with the group to achieve the goal. Single-player games can also achieve this by using NPCs as virtual entities. 

Conclusion

Today, there is still an assumption that games are nothing more than a mere child’s entertainment. Interestingly, however, the gaming industry is currently bigger than the film and music industry. Our society also often argues that games impose many negative impacts. Contrary to their beliefs, many gaming concepts and elements have been utilized in various non-gaming fields. Even though gaming generally serves as a medium of entertainment, they also have other aspects that make them incredibly beneficial to us. Fortunately for many people in the pandemic, games were also the only thing that kept them happy, sane, and connected with their friends or family. 

Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo