Assassin’s Creed Valhalla Kedatangan Expansion Ketiga dan Konten Crossover dengan AC Odyssey

Dirilis pada November 2020, Assassin’s Creed Valhalla sejauh ini telah menerima dua story expansion, yakni “Wrath of the Druids” dan “The Siege of Paris”. Namun seperti yang sempat diumumkan di event Ubisoft Forward pada bulan Juni kemarin, Valhalla masih akan menerima expansion lain lagi di tahun keduanya.

Tanpa harus menunggu lama, Ubisoft baru saja mengungkap bahwa expansion ketiga untuk Valhalla, “Dawn of Ragnarok”, akan resmi dirilis pada 10 Maret 2022. Ubisoft bilang ini merupakan expansion paling ambisius yang pernah mereka buat di sepanjang sejarah franchise Assassin’s Creed, dengan konten yang diperkirakan cukup untuk menyita waktu bermain selama sekitar 35 jam, dan lokasi baru dengan luas sepertiga dari lokasi di base game-nya.

Seperti yang bisa ditebak dari judulnya, Dawn of Ragnarok bakal berfokus pada mitologi Norse. Sang lakon utama, Eivor, bahkan bakal berperan sebagai Odin di sini, di dunia mitos bernama Svartalfheim. Kisah yang diangkat adalah perjalanan Odin menyelamatkan anaknya, Baldr, dan di sepanjang perjalanannya, tentu saja bakal ada sejumlah makhluk mitologi yang menghadang, mulai dari makhluk api dari Muspelheim, sampai Frost Giant dari Jotunheim.

Dawn of Ragnarok juga bakal menampilkan Surtr, iblis raksasa dengan api yang menyala di sekujur tubuhnya (yang juga muncul di film Thor: Ragnarok). Namun tentu saja, Eivor turut dibekali sejumlah kemampuan baru sebagai Odin, dari kemampuan untuk menyerap kekuatan musuh, teleportasi, sampai shape-shifting.

Dawn of Ragnarok digarap oleh tim Ubisoft Sofia, tim yang sama yang bertanggung jawab atas expansion Curse of the Pharaoh untuk Assassin’s Creed Origins, yang berarti ini bukan pertama kalinya mereka diminta mendalami sekaligus menyajikan narasi dari suatu mitologi populer.

Namun Dawn of Ragnarok bukan satu-satunya kejutan yang Ubisoft siapkan.

Assassin’s Creed Crossover Stories

Selagi menanti kedatangan expansion ketiganya tadi, pemain juga bisa menikmati konten ekstra bertajuk Assassin’s Creed Crossover Stories mulai 14 Desember 2021. Sesuai namanya, Crossover Stories bakal mempertemukan Eivor dengan Kassandra, lakon perempuan dari game sebelumnya, Assassin’s Creed Odyssey.

Kok bisa keduanya bertemu padahal ada jarak ribuan tahun? Well, kalau Anda sudah pernah menamatkan Odyssey, Anda pasti paham bagaimana ceritanya. Jadi ada baiknya alasannya tidak disebutkan di sini demi menghindari spoiler. Satu hal yang pasti, Crossover Stories ini merupakan DLC gratis untuk Odyssey dan Valhalla sekaligus.

Di Odyssey, DLC berjudul “Those Who Are Treasured” ini bakal bisa langsung dimainkan setelah menyelesaikan chapter pertama. Namun seperti yang saya bilang, sebaiknya Anda menamatkan main story-nya dulu secara menyeluruh supaya terhindar dari spoiler. Sementara di Valhalla, DLC-nya mengambil judul “A Fated Encounter” dan dapat dimainkan setelah membuka Valka the Seer sekaligus mencapai settlement level empat di Ravensthorpe.

Sumber: GamesRadar.

Apakah Game Harus Memiliki Nilai Edukasi?

Banyak orang yang mengisi waktu luangnya dengan bermain game selama pandemi. Selain mengusir kebosanan, game juga punya fungsi lain. Sebagian orang menggunakan game sebagai alat komunikasi dengan teman dan keluarga mereka. Bahkan sebelum pandemi pun, sebagian gamers memang menganggap main bareng sebagai kegiatan sosial. Sayangnya, stigma yang sudah melekat pada game — khususnya di benak para orang tua — tampaknya tidak bisa luntur begitu saja. Padahal, orang tua bisa berperan aktif dalam membentuk kebiasaaan bermain buah hati mereka.

Sebagian orang merasa, game seharusnya punya fungsi lain selain sebagai media hiburan, seperti mengajarkan nilai budi pekerti pada para pemainnya. Padahal, jika Anda memperhatikan game-game populer, kebanyakan — jika tidak semua — akan memprioritaskan gameplay yang menyenangkan. Pertanyaannya, apa game harus selalu punya fungsi lain selain sebagai media hiburan? Dan jika game digunakan sebagai alat edukasi, apakah hal itu akan efektif?

Definisi Game dan Game Edukasi

Topik game memiliki cakupan yang sangat luas. Bahkan jika kita memperkecil topik pembahasan menjadi video game secara spesifik, cakupan topik itu pun masih cukup luas. Karena itu, mari kita samakan persepsi tentang definisi dari game itu sendiri. Dalam studi “A Short and Simple Definition of What a Videogame Is“, Nicolas Esposito mengartikan game sebagai permainan yang kita mainkan menggunakan peralatan audiovisual yang didasarkan pada sebuah cerita.

Sementara itu, dalam jurnal “Fifty Years on, What Exactly is a Videogame? An Essentialistic Definitional Approach“, Rafaello V. Bergonse mengartikan game sebagai:

A mode of interaction between a player, a machine with an electronic visual display, and possible other players, that is mediated by a meaningful ficitonal context, and sustained by an emotional attachment between the player and the outcomes of her actions within this fictional context.

Game merupakan topik yang luas. | Sumber: Pexels

Ketika ditanya akan arti gameCipto Adiguno, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) menjawab: game adalah sebuah media interaktif. “Ketika sesuatu jadi interaktif, yaitu bisa memberi feedback yang sesuai dengan aksi pemainnya, sesuatu itu bisa dianggap game,” katanya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Karena definisinya sangat sederhana, game bisa di-apply ke mana2, dari hiburan sampai edukasi. Oleh karena itu, menurut saya ‘fungsi utama’ game juga sangat luas, yaitu “membuat sesuatu menjadi lebih engaging“.”

Dihadapkan dengan pertanyaan yang sama, El Lim, pendiri dan Head Developer, Khayalan Arts mengatakan bahwa game merupakan media yang serba guna: game bisa menjadi media hiburan, tapi juga bisa digunakan untuk media edukasi atau bahkan media latihan, seperti yang terjadi di industri virtual reality.

Game itu terdiri dari banyak hal. Dari sisi desain, ada art, animasi. Dari sisi naratif, ada tulisan, story telling. Game juga punya elemen desain puzzle, strategi, manajemen,” ujar El ketika dihubungi melalui telepon. “Belum lagi jika kita memperhitungkan aspek bisnis dari game.” Dia juga menyebutkan, dalam beberapa tahun belakangan, gamifikasi adalah metode yang sering digunakan di berbagai sektor, termasuk edukasi.

Memang, sekarang, game edukasi memiliki pasar tersendiri. Cipto menjelaskan, di industri game, “game edukasi” merujuk pada  game yang memang tujuan utamanya adalah untuk memberikan edukasi pada pemainnya. Dia menyebutkan, “Banyak game yang dirancang murni untuk menghibur tapi tetap memasukkan unsur-unsur edukasi kok, tapi hanya sebagai pendukung agar lebih menghibur. Dalam game edukasi, paradigmanya terbalik, yaitu ada hiburan agar edukasinya lebih mengena dan tidak membosankan.”

Minecraft Education Edition.

Masalahnya, persepsi gamers akan game edukasi acap kali negatif. Game edukasi sering dianggap membosankan, walau Cipto mengatakan, game edukasi yang baik tidak akan membuat para pemainnya bosan. Sementara menurut El, game akan bisa menjadi alat edukasi yang efektif jika ia dikemas dengan menarik. Dia menjadikan Minecraft sebagai contoh. Dia menjelaskan, Minecraft tidak dibuat untuk menjadi game edukasi. Namun, ketika game itu dimainkan, ternyata, ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh para pemainnya, mulai dari kompetisi, kolaborasi, cara bertahan hidup, sampai belajar tentang programming. Setelah itu, barulah muncul Minecraft Education Edition.

Approach kita dengan Samudra juga seperti itu,” kata El. Samudra adalah game buatan Khayalan Arts yang mengangkat tema tentang pencemaran laut. Game  berhasil memenangkan Unity for Humanity Grant. “Yang penting adalah membuat gamers suka dengan game-nya terlebih dulu.”

Game Sebagai Alat Edukasi

Game bisa digunakan sebagai alat edukasi. Buktinya, muncul subkategori game edukasi. Masalahnya, apakah menggunakan game sebagai media edukasi efektif? Jurnal “Using a gamified mobile app to increase student engagement, retention, and academic achievement” membahas tentang dampak dari penggunaan aplikasi mobile gamifikasi sebagai alat pembelajaran para mahasiswa.

Dalam jurnal itu disebutkan bahwa ada korelasi antara penggunaan aplikasi mobile dengan naiknya tingkat retensi mahasiswa serta performa akademi para mahasiswa. Walau, para penulis studi tersebut juga menyebutkan bahwa korelasi antara ketiga hal itu bukan jaminan bahwa penggunaan aplikasi merupakan alasan di balik naiknya tingkat retensi mahasiswa atau performa akademi mahasiswa.

Berdasarkan studi di atas, diketahui bahwa penggunaan aplikasi mobile membuat tingkat retensi mahasiswa naik sebesar 12,3%. Tak hanya itu, performa rata-rata para mahasiswa juga mengalami kenaikan, yaitu sebesar 7,03%. Hal ini menunjukkan, aplikasi mobile tidak hanya memperbesar kemungkinan mahasiswa bertahan di sebuah universitas, tapi juga bisa meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mempelajari dan mengingat pelajaran yang mereka pelajari.

Tingkat retensi mahasiswa berdasarkan penjurusan. | Sumber: Jurnal

Saat ditanya tentang efektivitas game sebagai media pembelajaran, Cipto mengatakan, game bisa memudahkan proses penanaman informasi di benak para pelajar. Pasalnya, game mengharuskan pemain untuk aktif melakukan tindakan tertentu. Jadi, menurutnya, game bisa menjadi media yang efektif dalam mempelajari konten yang mengharuskan seseorang menghafal. “Game juga sangat efektif untuk problem solving, karena berbeda dengan media statis — seperti menjawab pertanyaan di buku — problem dalam game bisa berubah secara instan, sesuai dengan input pemain,” kata Cipto.

El punya pandangan yang agak berbeda. Dia merasa, ada banyak hal yang bisa  seseorang pelajari dari game, mulai dari bahasa sampai sejarah. Secara pribadi, saya setuju bahwa game adalah media yang efektif untuk mempelajari bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Sewaktu saya masih SMP, saya sering bolos les Bahasa Inggris. Tapi, ketika saya bermain game — apalagi game RPG, seperti Suikoden dan Final Fantasy — saya dengan suka rela membawa kamus demi memahami percakapan antar karakter dalam game.

Selain itu, hal yang tidak kalah penting, El berkata, game bisa membuat para pemainnya merasa penasaran. Dan ketika pemain merasa penasaran — tentang topik atau karakter atau hal-hal lain dalam game — mereka akan terdorong untuk mencari tahu lebih lanjut tentang hal-hal tersebut. Jadi, game-game yang tidak punya embel-embel game edukasi pun sebenarnya bisa memberikan berbagai pelajaran pada para pemainnya.

El memberikan contoh, dari game seperti Harvest Moon atau Stardew Valley, pemain bisa belajar tentang manajemen risiko, sementara game bertema perang bisa menunjukkan sedikit tentang cara kerja sistem politik. “Kita bisa belajar tentang cara untuk mengatasi situasi dalam skala besar,” ujar El. “Hanya saja, kalau dulu situasi itu adalah perang, sekarang adalah perang antar perusahaan.”

Contoh lain yang El berikan adalah Assassin’s Creed, yang bisa mengajarkan sejarah. Tentu saja, sejarah yang diangkat dalam sebuah game biasanya telah dimodifikasi. Hanya saja, dalam kasus Assassin’s Creed, Ubisoft mencoba untuk menampilkan kota-kota penting dalam momen bersejarah dengan realistis. Faktanya, Assassin’s Creed Unty bisa digunakan untuk menampilkan tur virtual dari Paris semasa Revolusi Prancis.

“Salah satu daya tarik dari Assassin’s Creed adalah kita bisa menjelajah dunia yang biasanya hanya bisa kita lihat di museum. Dalam game, kita bisa menjelajahi kota itu, bisa memanjat gedung yang ada,” ujar El.

El menambahkan, terkadang, “nilai” yang tersirat dalam sebuah game bukanlah sesuatu yang bisa diukur secara akademik. Sebagai contoh, Spiritfarer yang mengajarkan tentang cara melalui masa duka karena kematian dari orang-orang tersayang. “Ketika Anda main game seperti Journey atau Spiritfarer, kedua game itu punya kemasan yang cantik, tapi moral yang disampaikan berat,” ujarnya.

Spiritfarer. | Sumber: Steam

Secara pribadi, saya merasa, game sangat efektif untuk mengajarkan hukum sebab-akibat. Jika Anda melakukan A, maka Anda akan mendapatkan X dan jika Anda melakukan B, Anda akan mendapatkan Y. Di dunia nyata, konsekuensi dari tindakan yang seseorang ambil tidak selalu terlihat dengan cepat. Lain halnya dengan game. Misalnya, di Stardew Valley, jika Anda tidak menyiram tanaman secara rutin atau memberi makan ternah Anda, tanaman atau ternak Anda akan mati. Jika Anda memberikan NPC sesuatu yang dia benci, dia akan terlihat kecewa atau bahkan marah. Sebaliknya, jika Anda memberikan sesuatu yang dia sukai, dia akan terlihat senang dan dia akan menjadi lebih menyukai Anda.

Contoh lainnya, ketika Anda memainkan Democracy, negara Anda akan ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan besar jika Anda mengenakan pajak terlalu tinggi. Sementara jika Anda tidak memenuhi janji Anda selama kampanye, Anda akan kehilangan kepercayaan rakyat. Dalam City: Skylines, jika Anda tidak menata kota dengan benar, Anda akan mendapat protes dari rakyat. Jika Anda terus membiarkan masalah yang ada, sebagian warga akan meninggalkan kota yang Anda urus.

Ketika Game Hanya Menjadi Media Hiburan, Apakah Cukup?

Game bisa menjadi alat edukasi yang efektif. Dan sah-sah saja bagi developer untuk menyisipkan pesan moral dalam game yang mereka buat. Namun, pada akhirnya, developer game tetaplah perusahaan, yang tujuan utamanya mencari untung. Jika developer ingin memaksimalkan keuntungan yang mereka dapat, kemungkinan, mereka tidak akan membuat game edukatif. Karena, tidak ada satupun game edukasi yang masuk dalam daftar 10 game dengan penjualan terbesar sepanjang waktu. Tiga game dengan penjualan terbanyak adalah Space Invader, Pac-Man, dan Street Fighter II.

Jika developer game dituntut untuk terus membuat game dengan muatan edukasi, hal ini akan menimbulkan pertanyaan lain: kenapa media hiburan lain — mulai dari komik, novel, film, atau bahkan sinetron — tidak dituntut untuk melakukan hal yang sama?

Menurut El, alasan kenapa game dinilai dengan standar yang berbeda dari media hiburan lain adalah masalah accessibility. Dia menjelaskan, game baru bisa dimainkan oleh banyak orang sejak kemunculan smartphone, atau sekitar 10 tahun lalu. Sementara komik, novel dan TV, semuanya sudah bisa diakses oleh masyarakat luas sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Jadi, pengetahuan masyarakat akan game pun menjadi jauh lebih terbatas.

Cipto memiliki pendapat serupa. Dia mengungkap, ketidatahuan masyarakat akan media — dalam kasus ini, game — merupakan alasan terbesar mengapa game seolah-olah dituntut untuk memenuhi standar yang berbeda dari media hiburan lain. “Dulu juga semua media lain mengalami trayektori serupa di awal eranya masing-masing, yaitu penolakan oleh generasi sebelumnya,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, “Bila dibandingkan dengan Five Stges of Grief/Kubler-Ross Model, karakteristik mengharuskan ada materi edukasi ada di tahap ‘Bargaining’. Karena, game memang sudah menjadi media mainstream, jadi setidaknya, ia punya manfaatlah. Kalau ada yang suka bilang prihatin tapi diam saja, nah itu ada di tahap ‘Depression’. Suatu hari nanti, semua akan sampai ke ‘Acceptance’, tapi mungkin masih butuh waktu.”

Lima tahap kesedihan. | Sumber: Wikipedia

Di satu sisi, ada orang-orang yang menganggap bahwa game harus punya nilai edukasi. Di sisi lain, gamers cenderung menganggap bahwa game edukasi itu membosankan. Lalu, adakah cara untuk menemukan jalan tengah antara dua kubu yang saling berlawanan ini?

“‘Game edukasi’ yang paling bagus biasanya sangat menyenangkan, sehingga tidak terlihat seperti sebuah game edukasi,” kata Cipto. “Seperti halnya film action Perang Dunia 2 bukan film edukasi, tapi penonton tetap belajar sejarah melalui film tersebut.” Lebih lanjut dia menyebutkan, “Daripada memaksakan hanya game-game tertentu yang bisa dimainkan, salah satu jalan tengah adalah membuat anak/gamer melihat lebih dekat apa yang bisa dipelajari dari suatu game yang dia sukai. Misal kalau di dalam game ada karakter atau tempat yang menarik, bisa mencari info lebih dalam mengenai inspirasinya dari dunia nyata.”

Sementara El mengajukan ide untuk menonjolkan sisi cinematic dari sebuah game untuk menarik orang-orang yang bukan gamers. Harapannya, orang-orang yang bukan gamers sekalipun bisa tertarik untuk, setidaknya, menonton konten sebuah game. Dia juga menyebutkan, sekarang, ada cukup banyak game yang menggunakan format episodic, membuat gameplay terlihat seperti penuturan cerita interaktif. Contoh game seperti ini adalah game The Walking Dead atau game-game buatan Telltale Games lainnya.

The Walking Dead adalah salah satu contoh game dengan format episodic. | Sumber: Steam

Game terbukti bisa digunakan untuk banyak hal, bahkan propaganda sekalipun. Namun, jika developer hanya membuat game sebagai media hiburan, apakah hal itu akan menghilangkan nilai dari game itu sendiri?

Tentang hal ini, El mengatakan bahwa game tidak akan kehilangan nilainya meski ia hanya menjadi media hiburan. Hanya saja, dia menganggap, menjadikan game sebagai media hiburan saja akan menyia-nyiakan potensi game sebagai media. “Game adalah media yang sangat powerful, bisa mengajarkan ini itu. Kalau cuma dipakai untuk satu bagian, yaitu bagian hiburan doang, rasanya sayang,” katanya. “Rasanya seperti memiliki Infinity Stones, tapi yang digunakan hanya gauntlet-nya saja.” Karena, dia percaya, ada banyak media lain selain game yang bisa berfungsi sebagai murni media hiburan.

Senada dengan El, Cipto juga menganggap, nilai game tidak akan hilang meski ia hanya menjadi media hiburan. Dia mengatakan, nilai sebuah produk atau objek itu tergantung pada persepsi orang yang menilai.

“Kalau dari perspektif kalipalisme, selama ada yang mau beli, pasti ada yang setuju dengan harga yang tertera. Kalau tidak, pasti tidak ada yang mau beli,” ujar Cipto. “Seperti halnya semua media lain yang pernah muncul, saya rasa, akan ada tempat bagi game yang memiliki konten edukasi maupun game murni hiburan. Ada saatnya kita butuh game untuk belajar hal-hal baru, ada saatnya untuk mencari hiburan saja. Sebagian besar orang tidak belajar sepanjang waktu, kan?”

Penutup

Sebagai media, game punya fungsi yang beragam. Tak hanya sebagai media hiburan, game juga bisa digunakan untuk mengedukasi, sebagai alat latihan, atau bahkan media propaganda. Pada akhirnya, sebagai kreator game, developer punya hak untuk memilih game seperti apa yang mereka buat. Jika mereka ingin membuat game gacha dan menggunakan berbagai trik psikologi untuk mendorong para pemain menghabiskan uang dalam game demi memaksimalkan keuntungan, ya boleh saja. Sebaliknya, jika developer ingin memasukkan idealisme mereka ke dalam game mereka, hal itu juga tidak salah.

Tentu saja, setiap pilihan punya konsekuensi masing-masing. Jika seseorang membuat game yang mengeksploitasi para pemainnya, hal ini mungkin akan membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sementara jika seorang developer bersikap idealis, bisa jadi, game yang dia buat tidak laku di pasar.

Sumber header: Pexels

Among Us Bakal Bisa Dimainkan di VR, Dota Dragon’s Blood Season 2 Tayang Awal Januari 2022

Minggu lalu, Innersloth mengumumkan bahwa mereka akan membawa Among Us ke platform VR. Sementara itu, Netflix mengungkap tanggal tayang dari Dota Dragon’s Blood Season 2, yaitu pada 6 Januari 2022. Pada minggu lalu, Sony juga mengakuisisi Valkyrie Entertainment, sementara Riot Games membeli kantor baru di Seattle, Amerika Serikat.

Emergency Meeting: Among Us Bakal Tersedia di VR

Innersloth, Schell Games, dan Robot Teddy akan membawa Emergency Meeting: Among Us ke platform virtual reality. Game itu akan bisa dimainkan di Meta Quest, PlayStation VR, dan SteamVR. Among Us pertama kali diluncurkan untuk Android, iOS, dan Windows pada 2018.

Pada 2020, Innersloth meminta bantuan perusahaan konsultasi game Robot Teddy untuk membawa Among Us ke konsol. Robot Teddy juga bertanggung jawab atas beberapa bisnis lain dari Innersloth. Sementara itu, Schell Games, studio yang memang berkutat di bidang VR, akan bekerja sama dengan dua perusahaan itu untuk membawa Among Us ke VR.

“Kami berterima kasih pada komunitas yang terus memainkan game kami bersama teman dan keluarga mereka, serta terus mendukung kami,” kata Victoria Tran, Community Director, Innersloth, seperti dikutip dari VentureBeat. “Schell Games punya rekam jejak dalam membuat game VR berkualitas dan kami tidak sabar untuk memberikan pengalaman baru dalam bermain Among Us, baik pada fans lama ataupun baru.”

Riot Games Punya Kantor Baru di Seattle, Bakal Pekerjakan 400 Orang

Riot Games punya kantor baru di Mercer Park Workplace, Seattle, Amerika Serikat. Kantor seharga US$114,1 juta itu merupakan kantor keempat Riot di Amerika Serikat. Di sana, Riot berencana untuk mempekerjakan lebih dari 400 pekerja. Para pekerja di kantor tersebut akan fokus pada riset, pengembangan, dan live service dari game-game Riot, dengan VALORANT sebagai prioritas utama mereka, menurut laporan GeekWire.

“Kantor baru ini akan menjadi bagian dari jaringan studio pengembangan game kami. Dengan begitu, kami akan bisa memenuhi ekspektasi para pemain,” kata Scott Gelb, President of Games, Riot, dikutip dari VentureBeat. “Kami ingin menjadi perusahaan pilihan bagi developer yang tertarik membuat game-game hebat dengan banyak fans.”

Dota Dragon’s Blood Season 2 Bakal Tayang di 2022

Netflix mengumumkan bahwa Dota Dragon’s Blood Season 2 akan tayang pada 6 Januari 2022. Season 2 dari Dragon’s Blood akan melanjutkan cerita dari Mirana, Davion, Luna, dan Marci. Selain itu, beberapa karakter lain dari game Dota 2 juga akan tampil di anime tersebut, seperti Lina the Slayer. Ketika diluncurkan, Dota Dragon’s Blood mendapatkan sambutan hangat, walau tidak semeriah sambutan untuk Arcane, seri animasi dari League of Legends. Saat ini, Season 2 dari Arcane juga sudah dikonfirmasi. Hanya saja, belum ada informasi tentang jadwal tayang dari Arcane Season 2, lapor Clutch Points.

Industri Game India akan Bernilai US$1,5 Miliar di 2025

Minggu lalu, perusahaan riset Niko Partners meluncurkan laporan 2021 India Games Market Report and 5-Year Forecast. Menurut laporan itu, pemasukan industri game di India akan mencapai US$1,5 miliar pada 2025. Hal itu berarti, nilai industri game di negara tersebut tumbuh tiga kali lipat dalam waktu empat tahun. Per 2021, Niko Partners memperkirakan, nilai industri game India mencapai US$534 juta, naik 32% jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Niko Partners juga menyebutkan, India berpotensi untuk menjadi pasar game dengan pertumbuhan paling cepat di Asia, baik dari segi pemasukan maupun jumlah gamers. Dalam laporan terbarunya, Niko Partners juga menyebutkan, di kawasan Asia-10 — yang mencakup Filipina, Indonesia, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam — 56% gamers akan berasal dari India. Sebelum ini, Niko Partners juga membahas tentang tren di industri game dan esports sepanjang 2021.

Sony Akuisisi Valkyrie Entertainment

Sony baru saja mengakuisisi Valkyrie Entertainment, developer asal Seattle, Amerika Serikat. Didirikan pada 2002, Valkyrie Entertainment biasanya mengambil peran sebagai support studio, mendukung studio lain untuk mengembangkan game-game mereka. Sebelum ini, Sony juga telah bekerja sama dengan Valkyrie untuk membuat Infamous 2, Twisted Metal, God of War, dan God of War: Ragnarok.

Guns Up, game buatan Valkyrie Entertainment. | Sumber: Steam

Selain itu, Valkyrie juga punya peran dalam mengembangkan sejumlah game AAA, seperti lima game pertama dari Forza Motorsport, Halo Infinite, Batman: Arkham Origins, Injustice 2, dan Middle-earth: Shadow of War, menurut laporan GamesIndustry. Sejauh ini, satu-satunya game yang Valkyrie luncurkan adalah game free-to-play berjudul Guns Up.

GRID Legends Meluncur 25 Februari 2022, Janjikan Opsi Gameplay yang Variatif dan Multiplayer Lintas Platform

Usai diumumkan pertama kali pada bulan Juli lalu, GRID Legends akhirnya punya jadwal rilis pasti. Game kelima dari franchise game balapan GRID itu dijadwalkan hadir pada 25 Februari 2022 di PC, PS5, PS4, Xbox Series X/S, dan Xbox One sekaligus.

Dibandingkan pendahulu-pendahulunya, GRID Legends menawarkan lebih banyak opsi gameplay, termasuk mode Drift yang banyak di-request oleh para penggemar setia seri GRID, demikian pula mode Elimination. Codemasters pun tidak lupa menyelipkan dua mode baru, yakni Electric Boost dan Race Creator. Mode yang terakhir ini mengemas segudang opsi kustomisasi demi menambah variasi permainan.

Tidak kalah penting adalah fitur multiplayer lintas platform, dan Codemasters turut memastikan supaya pemain bisa saling beradu bersama teman-temannya dengan cepat. Cukup tiga klik tombol kalau kata pengembangnya, dan sesi balapan pun bisa langsung dimulai tanpa mengharuskan para pemain mampir ke lobi terlebih dulu.

Tidak tertarik bermain bersama orang lain? Bukan masalah, sebab mode Career dalam GRID Legends dipastikan bakal menyita banyak waktu Anda, apalagi dengan lebih dari 300 event yang tersedia. Juga menarik adalah kehadiran sebuah story mode terpisah berjudul “Driven to Glory”.

Ketimbang menggunakan teknologi motion capture untuk membuat cutscene di story mode ini, Codemasters justru menyelipkan adegan-adegan film yang disyuting bersama aktor asli dengan memanfaatkan teknik produksi virtual ala The Mandalorian. Singkat cerita, kalau Anda suka drama di dunia balap mobil profesional, Anda bakal menikmati mode yang satu ini.

Usai menuntaskan story mode, progresnya otomatis bakal diintegrasikan ke progres di mode Career, dan ini bakal memicu munculnya serangkaian event baru untuk dimainkan. Terkait variasi mobilnya, GRID Legends menjanjikan lebih dari 100 model yang berbeda di awal peluncurannya.

2022 tampaknya bakal jadi tahun yang membahagiakan buat para penggemar game balapan. Selain GRID Legends ini, juga akan ada Gran Turismo 7 yang bakal menyusul hanya seminggu setelahnya. Selagi menunggu keduanya, kita juga bisa menghabiskan banyak waktu di Forza Horizon 5.

Final Fantasy VII Remake Intergrade Segera Hadir di PC, Seperti Apa Spesifikasi PC yang Dibutuhkan?

Seperti publisher-publisher besar lainnya, Square Enix tidak melewatkan kesempatan untuk memamerkan trailer game-game terbarunya di acara The Game Awards 2021. Dua di antaranya adalah Forspoken dan Babylon’s Fall, namun ternyata Square Enix juga punya kejutan lain, yakni Final Fantasy VII Remake Intergrade versi PC.

Sebagai pengingat, FF VII Remake Intergrade adalah upgrade next-gen yang dirilis di PlayStation 5 pada bulan Juni lalu, yang menghadirkan sederet penyempurnaan dari sisi performa sekaligus kualitas visual. Kabar baiknya, versi PC-nya juga akan menyertakan konten DLC Intermission yang sebelumnya dijual secara terpisah, yang menghadirkan episode campaign baru sekaligus karakter lawas yang tak kalah populer, yakni Yuffie Kisaragi.

Di samping itu, FF VII Remake Intergrade versi PC juga bakal membawa dukungan resolusi 4K dan HDR, serta kompatibilitas gamepad dengan API XInput maupun DirectInput seandainya tidak ingin menggunakan keyboard dan mouse.

Di PS5, FF VII Remake Intergrade sepenuhnya mendukung fitur adaptive trigger milik controller DualSense. Sayangnya sejauh ini belum ada konfirmasi apakah versi PC-nya juga demikian jika menggunakan DualSense. Satu hal yang pasti, game ini siap dijalankan di 120 fps bagi yang memiliki PC berspesifikasi sultan.

Kalau menurut Square Enix sendiri, spesifikasi PC yang dibutuhkan untuk menjalankan FF VII Remake Intergrade adalah sebagai berikut:

Minimum

  • GPU: Nvidia GeForce GTX 780 atau AMD Radeon RX 480 (VRAM 3 GB)
  • CPU: Intel Core i5-3330 atau AMD FX-8350
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 100 GB

Recommended (1440p atau 4K)

  • GPU: Nvidia GeForce GTX 1080 atau AMD Radeon RX 5700 (VRAM 8 GB)
  • CPU: Intel Core i7-3770 atau AMD Ryzen 3 3100
  • RAM: 12 GB
  • Storage: 100 GB

Persyaratan spesifikasinya bisa dibilang tidak terlalu menuntut, dan masih di bawah God of War. FF VII Remake Intergrade versi PC dijadwalkan hadir pada 16 Desember 2021, akan tetapi hanya melalui Epic Games Store saja. Selain bonus DLC tadi, pemain juga bakal menerima sejumlah item dan equipment ekstra.

Berikut adalah sejumlah screenshot dari FF VII Remake Intergrade versi PC.

Sumber: PC Gamer.

Tahun Depan, PUBG: Battlegrounds Jadi Game Free-to-Play

Sebagian besar orang mungkin mengenal PUBG sebagai game free-to-play (F2P). Mereka tidak salah, kalau yang dimaksud adalah PUBG Mobile. Lain cerita untuk PUBG: Battlegrounds yang tersedia di PC, PlayStation dan Xbox, sebab versi ini dari awal dan hingga sekarang masih merupakan game premium.

Semua itu bakal berubah mulai tahun depan. Lewat acara The Game Awards 2021, PUBG Studios mengumumkan bahwa PUBG: Battlegrounds bakal bertransisi menjadi game F2P mulai 12 Januari 2022. Versi F2P-nya ini bakal tersedia di PC via Steam, PS5, PS4, Xbox Series X/S, dan Xbox One.

Pasca transisinya menjadi game F2P, PUBG: Battlegrounds bakal menawarkan upgrade akun bersifat opsional yang diberi nama Battlegrounds Plus. Upgrade ini wajib dimiliki apabila pemain ingin berpartisipasi dalam Ranked Mode maupun Custom Match. Kabar baiknya, Battlegrounds Plus hanya perlu dibeli satu kali seharga $13, dan para pembelinya juga bakal mendapat bonus sejumlah in-game item.

Bagaimana nasib mereka yang sudah membeli PUBG: Battlegrounds dari jauh-jauh hari? Well, mereka secara otomatis bakal mendapatkan PUBG – Special Commemorative Pack yang mencakup sejumlah item kosmetik, plus upgrade Battleground Plus itu tadi. Jadi tidak perlu menyesal seandainya Anda baru membeli game-nya kemarin.

PUBG Studios memang tidak menyebutkan alasan mereka mengubah karya pertamanya ini menjadi game F2P. Namun kalau kita amati, sebagian besar game di kategori battle royale memang banyak yang berstatus F2P, mulai dari Fortnite, Apex Legends, sampai Call of Duty: Warzone. Jadi wajar kalau PUBG sekarang ingin ikut menyesuaikan.l

Perubahan PUBG: Battlegrounds menjadi game F2P secara langsung bakal mendatangkan banyak pemain baru, dan itu berarti peluang adanya cheater pun semakin besar. Tim PUBG Studios sadar betul akan hal itu, dan mereka sudah punya rencana besar untuk mengantisipasinya.

Yang paling utama adalah dengan menyempurnakan solusi anti-cheat rancangan mereka sendiri, Zakynthos. Mulai tahun depan, Zakynthos bakal menerima sejumlah fungsionalitas baru, di antaranya analisis otomatis berbasis machine learning, serta monitoring selama 24 jam untuk Ranked match di kalangan upper rank.

Zakynthos juga bakal menerapkan algoritma hardware ban baru yang lebih efektif dan mampu mencegah celah-celah yang sebelumnya masih bisa dibobol. Singkat cerita, tim PUBG Studios bakal lebih serius lagi memerangi cheater pasca transisi ini.

Sumber: PUBG Studios.

25 Trailer Game Baru yang Diputar di Ajang The Game Awards 2021

Sesuai namanya, The Game Awards merupakan sebuah ajang penghargaan untuk mengapresiasi karya-karya terbaik di industri video game. Namun tidak sedikit juga yang menantikan event ini hanya untuk menonton trailer game-game terbaru yang bakal hadir ke depannya.

Dari pihak developer dan publisher, mereka sendiri juga tidak mau melewatkan kesempatan untuk mempertontonkan kreasi terbarunya ke hadapan jutaan orang; entah yang sudah siap untuk dirilis dalam waktu dekat, atau yang masih sneak peek dan belum punya cuplikan gameplay sama sekali.

Di artikel ini, saya telah merangkum 25 trailer game baru yang diputar di ajang The Game Awards 2021. Beberapa di antaranya adalah trailer baru untuk game yang sudah pernah diumumkan sebelumnya, namun ada juga beberapa judul yang baru diungkap untuk pertama kalinya.

Suicide Squad: Kill the Justice League

Setelah sekian lama, kita akhirnya bisa melihat cuplikan gameplay dari karya terbaru Rocksteady Studios ini, lengkap dengan aksi dari empat playable character-nya, yakni Deadshot, Captain Boomerang, King Shark, dan tentu saja, Harley Quinn. Suicide Squad: Kill the Justice Leage kabarnya akan dirilis di tahun 2022 (belum ada jadwal yang spesifik) di PC, PS5, dan Xbox Series X/S.

Wonder Woman

Kejutan lain dari WB Games adalah Wonder Woman, sebuah game open-world karya Monolith Productions, developer di balik Middle-earth: Shadow of Mordor dan Middle-earth: Shadow of War. Detail mengenai game ini masih minim, akan tetapi WB Games memastikan bahwa fitur Nemesis System dari kedua game Middle-earth itu bakal kembali muncul di sini.

Star Wars Eclipse

Saat ini sedang dalam tahap pengembangan awal, Star Wars Eclipse merupakan sebuah game action adventure dengan beberapa playable character dan narasi yang diambil dari era High Republic. Star Wars Eclipse digarap oleh Quantic Dream, studio yang mengerjakan Detroit: Become Human.

Star Trek: Resurgence

Oleh pengembangnya, Star Trek: Resurgence dideskripsikan sebagai sebuah narrative game interaktif yang mengangkat cerita pasca peristiwa yang terjadi pada Star Trek: The Next Generation. Game ini dikerjakan oleh Dramatic Labs, studio baru yang dibentuk oleh eks veteran Telltale Games yang sudah sangat berpengalaman dengan genre ini.

Slitterhead

Pada akhir tahun lalu, kreator Silent Hill, Keiichiro Toyama memutuskan untuk hengkang dari Sony dan mendirikan studionya sendiri yang diberi nama Bokeh Game Studio. Setahun berlalu, kita sudah bisa melihat cuplikan singkat IP baru yang tengah dikerjakannya, Slitterhead. Tetap saja horor dan menyeramkan.

Nightingale

Nightingale merupakan sebuah game survival dengan fitur shared world dan setting fantasi di era Victorian. Dikembangkan oleh Inflexion Games (eks karyawan BioWare), Nightingale dijadwalkan hadir dengan status early access tahun depan.

Senua’s Saga: Hellblade II

Sekuel game yang memenangkan banyak penghargaan bergengsi ini akhirnya punya trailer gameplay. Ya, video di atas bukanlah adegan sinematik, melainkan diambil langsung dari gameplay-nya. Kualitas grafik game ini benar-benar tidak main-main.

Warhammer 40.000: Space Marine 2

Setelah satu dekade berlalu, sekuel Warhammer 40.000: Space Marine akhirnya datang juga. Guna semakin memikat para penggemarnya, trailer-nya tidak lupa menampilkan Titus, kapten dari pasukan Ultramarine sekaligus lakon utama dari game pertamanya.

A Plague Tale: Requiem

Sekuel dari A Plague Tale: Innocence, A Plague Tale: Requiem melanjutkan petualangan Amicia dan Hugo dalam sebuah dunia yang kacau balu dan penuh elemen supranatural. Game karya Asobo Studio ini bakal tersedia tahun depan di PC, PS5, Xbox Series X/S, dan Nintendo Switch.

Saints Row

Tidak ada GTA 6 di The Game Awards 2021, tapi setidaknya kita disuguhi cuplikan gameplay dari remake Saints Row. Developer-nya, Deep Silver, juga berbaik hati dan menyingkap jadwal rilisnya: 23 Agustus 2022. Semoga saja tidak tertunda.

Alan Wake 2

Belum lama setelah Alan Wake Remastered dirilis, penggemarnya kembali dibuat tersenyum dengan pengumuman Alan Wake 2. Kendati demikian, mereka harus punya kesabaran ekstra mengingat Remedy baru akan merilis game ini di tahun 2023.

Forspoken

Sebelumnya dikenal dengan nama Project Athia, Forspoken adalah sebuah RPG open-world garapan Luminous Productions, studio yang bertanggung jawab atas pengembangan Final Fantasy XV. Game dengan setting dunia yang epik ini dijadwalkan meluncur pada 24 Mei 2022 di PC dan PS5 (maaf Xbox).

Babylon’s Fall

Babylon’s Fall adalah karya terbaru kreator Bayonetta, tentu saja dengan aksi pertarungan pedangnya yang ikonis. Game ini menawarkan fitur co-op hingga empat orang, dan Anda bisa mulai memainkannya mulai 3 Maret 2022 di PC, PS5, dan PS4 (lagi-lagi Xbox tidak kebagian sama sekali).

Final Fantasy VII Remake Intergrade versi PC

Kejutan terakhir dari Square Enix di akhir 2021 adalah Final Fantasy VII Remake untuk PC, lebih tepatnya versi Intergrade yang sebelumnya dirilis untuk PS5 dan membawa sejumlah penyempurnaan dari sisi grafis, lengkap beserta konten campaign ekstra. Tanpa harus menunggu lama, gamer PC bakal bisa memainkan game ini mulai 16 Desember 2021 melalui Epic Games Store.

Sonic Frontiers

Dengan kemampuannya berpindah dari titik A ke B dengan begitu cepat, sungguh aneh rasanya melihat Sonic tidak pernah membintangi sebuah game open-world dengan dunia yang amat luas. Well, imajinasi liar itu bakal terwujud pada akhir 2022 mendatang lewat Sonic Frontiers. Game ini akan tersedia di PC, PS5, PS4, Xbox Series X/S, Xbox One, dan Nintendo Switch.

Homeworld 3

Game ketiga dari franchise Homeworld ini siap meluncur pada kuartal keempat 2022. Sebuah penantian yang sangat panjang mengingat Homeworld 2 dirilis pada tahun 2003. Kabar baiknya, orang-orang yang mengerjakan game pertama dan keduanya dua dekade silam masih ikut berpartisipasi dalam pengembangan Homeworld 3.

Dune: Spice Wars

2022 bakal jadi tahun yang menarik buat penggemar game strategi bertema sci-fi. Selain Homeworld 3 tadi, juga bakal ada Dune: Spice Wars yang bakal menyelipkan banyak elemen genre 4X. Anda lebih suka novel Dune daripada filmnya? Well, game ini lebih banyak mengadaptasikan dari bukunya ketimbang filmnya.

The Lord of the Rings: Gollum – The Untold Story

Meski sampai sekarang masih belum punya jadwal rilis, setidaknya spin-off Lord of the Rings ini sudah punya subjudul yang jelas. Embel-embel “The Untold Story” secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa kisah yang diceritakan adalah kisah orisinal yang belum pernah diangkat sebelumnya. Tentunya bakal sangat menarik menavigasikan Gollum/Smeagol dengan dua kepribadiannya yang bertolak belakang, apalagi jika game-nya membebaskan kita melewati tantangan dengan dua cara yang berbeda.

CrossfireX

Setelah dinanti cukup lama, single-player campaign dari CrossfireX yang digarap oleh Remedy Entertainment akhirnya punya jadwal rilis yang spesifik: 10 Februari 2022, eksklusif di Xbox Series X/S dan Xbox One. Campaign ini merupakan game yang terpisah dari mode multiplayer free-to-play yang dikerjakan oleh Smilegate Entertainment, bahkan engine yang digunakan pun berbeda.

Evil West

Koboi dengan kekuatan supranatural yang siap membasmi berbagai macam monster dan vampir, kira-kira begitulah premis sederhana dari Evil West. Combat yang brutal merupakan kekuatan utama game ini, dan developer-nya sendiri juga sudah sangat berpengalaman soal itu usai mengerjakan tiga game Shadow Warrior.

GTFO

Dua tahun setelah dirilis sebagai game early access, co-op survival horror FPS ini akhirnya sudah rampung dikerjakan dan resmi diluncurkan versi finalnya. Pengembangnya menjanjikan banyak penyempurnaan, termasuk halnya sistem matchmaking yang lebih baik. Namun seandainya Anda ingin bermain sendirian, Anda juga bisa memilih untuk ditemani bot.

Arc Raiders

Arc Raiders merupakan sebuah co-op third-person PvE shooter karya Embark Studios, studio game baru arahan mantan bos besar EA, Patrick Söderlund. Game ini bakal memprioritaskan kerja sama antar pemain di samping sedikit elemen survival, dengan setting dunia post-apocalyptic di masa depan. Arc Raiders kabarnya akan dirilis sebagai game free-to-play di PC, PS5, dan Xbox Series X/S.

Steelrising

Steelrising adalah third-person action RPG garapan Spiders, studio di balik RPG sukses lain yang berjudul GreedFall. Game ini mengambil setting yang tidak umum: era Revolusi Perancis, tapi dengan dunia yang dipenuhi robot-robot steampunk. Lakon utamanya pun juga merupakan salah satu robot tersebut.

Rumbleverse

Dikembangkan oleh Iron Galaxy, Rumbleverse merupakan sebuah “brawler royale” dengan berbagai karakter yang jenaka. Tidak ada senjata dalam game F2P ini, yang ada cuma adu otot antar 40 pemain dengan berbagai teknik gulat profesional seperti suplex maupun piledriver.

Tchia

Open-world adventure dengan atmosfer dan musik yang amat chill. Kalau melihat trailer-nya, sepertinya bakal ada banyak sekali yang bisa dilakukan dalam game ini. Anda bahkan bisa bermain ukulele secara manual jika mau. Selain di PS5 dan PS4, Tchia juga akan dirilis di PC pada musim semi 2022.

God of War Versi PC Janjikan Visual yang Lebih Wah, Lengkap dengan Dukungan Nvidia DLSS dan AMD FSR

Salah satu ikon kebanggaan PlayStation, Kratos, bakal resmi menjejakkan kakinya di PC tahun depan. Ya, seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, God of War bakal bisa dimainkan melalui Steam maupun Epic Games Store mulai 14 Januari 2022, nyaris empat tahun setelah game-nya pertama kali dirilis untuk PS4.

Versi PC-nya datang membawa sejumlah penyempurnaan, khususnya dari sisi visual. Pada versi aslinya, God of War memang sudah bisa menyajikan grafik kelas AAA yang memukau, namun ini bakal lebih dipercantik lagi di versi PC-nya berkat resolusi bayangan yang lebih tajam, penyempurnaan efek screen space reflection, ground truth ambient occlusion (GTAO) dan screen space directional occlusion (SSDO).

Tanpa harus terkejut, God of War di PC juga bisa berjalan tanpa batasan frame rate selama hardware kita sanggup. Kabar baiknya, Santa Monica Studio turut menyertakan dukungan fitur upscaling Nvidia DLSS sekaligus AMD FSR. Integrasi FSR ini merupakan kabar baik bagi pemain yang membutuhkan dorongan performa ekstra, tapi tidak punya kartu grafis seri Nvidia RTX.

God of War versi PC juga mendukung Nvidia Reflex, yang berarti latensi sistem dapat ditekan selama Anda menggunakan kartu grafis yang kompatibel (seri RTX atau GTX 900 ke atas) demi menyajikan gameplay yang responsif. Ini krusial untuk momen-momen pertarungan yang memerlukan reaksi cepat dari para pemain, seperti misalnya dalam sesi boss fight melawan Sigrun the Valkyrie Queen.

Tentu saja, yang menjadi pertanyaan terpenting adalah apakah PC Anda sanggup menjalankannya. Berikut rincian spesifikasi PC minimum yang dibutuhkan, langsung dari Sony:

Minimum (720p 30 fps)

  • Graphics settings: Low
  • GPU: Nvidia GTX 960 (4 GB) atau AMD R9 290X (4 GB)
  • CPU: Intel Core i5-2500K (4-core 3,3 GHz) atau AMD Ryzen 3 1200 (4-core 3,1 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB HDD

Recommended (1080p 30 fps)

  • Graphics settings: Original
  • GPU: Nvidia GTX 1060 (6 GB) atau AMD RX 570 (4 GB)
  • CPU: Intel Core i5-6600K (4-core 3,5 GHz) atau AMD Ryzen 5 2400G (4-core 3,6 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB SSD

High (1080p 60 fps)

  • Graphics settings: Original
  • GPU: Nvidia GTX 1070 (8 GB) atau AMD RX 5600XT (6 GB)
  • CPU: Intel Core i7-4770K (4-core 3,5 GHz) atau AMD Ryzen 7 2700 (8-core 3,2 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Performance (1440p 60 fps)

  • Graphics settings: High
  • GPU: Nvidia RTX 2070 (8 GB) atau AMD RX 5700XT (8 GB)
  • CPU: Intel Core i7-7700K (4-core 4,2 GHz) atau AMD Ryzen 7 3700X (8-core 3,6 GHz)
  • RAM: 16 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Ultra (4K 60 fps)

  • Graphics settings: Ultra
  • GPU: Nvidia RTX 3080 (10 GB) atau AMD RX 6800XT (16 GB)
  • CPU: Intel Core i9-9900K (8-core 3,6 GHz) atau AMD Ryzen 9 3950X (16-core 3,5 GHz)
  • RAM: 16 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Spesifikasi yang dibutuhkan tergolong standar untuk ukuran game AAA modern dan bisa dibilang cukup fleksibel. Semoga saja performanya bisa langsung mulus seperti Days Gone, dan bukan seperti Horizon Zero Dawn yang membutuhkan beberapa patch sebelum akhirnya bisa berjalan tanpa problem.

Sumber: Steam via PC Gamer.

Tren Industri Game dan Esports di 2021 dan Prediksi Tren untuk 2022 Menurut Niko Partners

Selama 2020, industri game mengalami kenaikan pesat berkat pandemi COVID-19. Di tahun 2021, pandemi mulai teratasi di sejumlah negara. Alhasil, kehidupan masyarakat pun mulai kembali seperti sedia kala. Tentunya, hal ini mempengaruhi industri game dan esports. Menggunakan data dari Niko Partners, Hybrid.co.id mencoba untuk merangkum tren industri game selama 2021. Tak hanya itu, kami juga membahas tentang prediksi keadaan industri game dan esports di tahun 2022.

Tren di Industri Game Asia Sepanjang 2021

Asia merupakan pasar game paling penting di dunia, menurut Niko Partners. Karena, di Asia, tuntutan akan game, esports, konten streaming, dan kompetisi esports cukup tinggi. Tak hanya itu, besar pendapatan yang bisa dibelanjakan oleh warga Asia juga terus naik. Infrastruktur di negara-negara Asia juga terus membaik. Semua ini membuka peluang besar bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang game, mulai dari developer dan publisher game, pembuat hardware, sampai penyedia infrastruktur.

Sepanjang 2021, Niko Partners mengamati industri game di 10 negara Asia, yaitu Filipina, Indonesia, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Berdasarkan studi yang mereka lakukan, mereka memperkirakan, nilai industri game PC dan mobile di Asia-10 di 2021 akan mencapai US$35,7 miliar, naik 6,2% dari tahun lalu. Dalam 5 tahun ke depan, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun alias CAGR dari industri game PC dan mobile di kawasan tersebut adalah 4,5%. Jadi, pada 2025, industri game PC dan mobile dari negara-negara Asia-10 akan mencapai US$41,8 miliar.

Industri game di Asia tidak hanya tumbuh dari segi pemasukan, tapi juga dari segi jumlah gamers. Pada akhir 2021, jumlah gamers di kawasan Asia-10 diperkirakan akan mencapai 714,9 juta orang, naik 12,1% dari tahun lalu. Sementara tingkat pertumbuhan per tahun (CAGR) dari jumlah gamers mencapai 8,1%. Dengan begitu, pada 2025, jumlah gamers di Asia-10 akan mencapai 940,9 juta orang.

Niko Partners mengumpulkan data industri game dari 10 negara di Asia. | Sumber: Niko Partners

Dengan tingkat CAGR sebesar 29,8%, India menjadi negara Asia yang industri game-nya yang tumbuh paling pesat. Sementara di kawasan Asia Tenggara, ada tiga negara yang industri game-nya memiliki laju pertumbuhan paling tinggi, yaitu Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Pada 2020, nilai industri game Thailand bahkan telah menembus angka US$1 miliar. Sementara Indonesia diperkirakan akan mencapai pencapaian hal itu pada 2025. Begitu juga dengan India dan Vietnam.

Dari segi ukuran industri game, Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara Asia dengan industri game paling besar. Dua negara Asia Timur itu memberikan kontribusi sebesar 80% dari total industri game PC dan mobile di kawasan Asia-10.

Perkiraan Tren di Industri Game dan Esports Pada 2022

Banyak industri yang luluh lantak karena COVID-19, seperti pariwisata. Dan game merupakan salah satu industri yang tidak hanya bisa bertahan di tengah pandemi, tapi justru tumbuh. Perlahan tapi pasti, masyarakat mulai pulih dari pandemi. Tentu saja, hal ini akan mempengaruhi perilaku para gamers, yang akan berdampak pada industri game secara keseluruhan.

Ketika ditanya tentang keadaan industri game di tahun 2022, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, Darang S. Candra mengatakan, walau pandemi telah mulai teratasi, pemasukan di industri game masih akan tetap naik. Hanya saja, tingkat kenaikannya tidak sebesar pada masa puncak pandemi. Hal yang sama juga akan berlaku untuk lama waktu bermain para gamers. Dia menyebutkan, lama waktu bermain para gamers pada 2022 diperkirakan akan lebih singkat jika dibandingkan dengan puncak masa pandemi.

Pulihnya masyarakat dari pandemi tidak hanya memberikan dampak pada industri game, tapi juga industri esports. Perubahan itu bahkan mulai terlihat pada akhir 2021. Misalnya, pada semester akhir 2021, ada sejumlah turnamen esports besar yang digelar secara offline, termasuk The International 10 dan League of Legends World Championship 2021. Soal ini, Darang mengatakan bahwa pada tahun depan, kompetisi esports memang akan mulai kembali digelar secara offline. Namun, hal itu bukan berarti kompetisi online akan menghilang sepenuhnya.

ONE Esports Singapore Major adalah salah satu kompetisi esports yang digelar secara offline. | Sumber: Win.gg

“Dari pengamatan kami, dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi,” kata Darang melalui email. “Meski turnamen offline akan kembali diadakan, sebagian besar negara dan penyelenggara turnamen akan tetap perhati-hati. Pembatasan sosial/social distancing yang akan terus berlaku juga mengurangi pengunjung potensial pada turnamen offline. Dengan demikian, turnamen hybrid — peserta offline tapi tidak ada/sedikit penonton, disiarkan secara online — sepertinya akan menjadi tren ke depan.”

Darang menegaskan, turnamen online tidak akan menghilang begitu saja di masa depan. Selain karena dunia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, alasan lain turnamen esports online akan tetap ada adalah karena sebagian penggemar esports sudah terbiasa menonton kompetisi esports secara online.

Di kawasan Asia, tidak semua negara siap untuk mengadakan kompetisi esports secara offline. Darang menjelaskan, “Hal ini akan tergantung pada jumlah kasus, kematian akibat COVID-19, rasio vaksinasi, dan kebijakan negara masing-masing. Negara dengan jumlah kasus dan kematian lebih sedikit, rasio vaksinasi tinggi, dan mengurangi kebijakan social distancing akan lebih mungkin untuk menggelar acara esports secara offline.”

Lebih lanjut, Darang menjelaskan, faktor lain yang mempengaruhi apakah sebuah negara akan bisa menggelar esports events secara offline adalah kemampuan untuk menanggulangi COVID-19. “Negara dengan penanganan COVID-19 yang lebih mumpuni, seperti Singapura, tentu akan lebih mudah untuk mengadakan acara esports secara offline,” ujarnya

Memang, pada 2021, Singapura membuktikan bahwa mereka bisa mengadakan beberapa esports events offline, termasuk ONE Esports Singapore Major. M3 Mobile Legends World Championship yang tengah berlangsung juga diadakan secara offline di Singapura.

Viewership dan Pemasukan Industri Esports di 2022

Ada banyak orang yang mulai menonton kompetisi esports selama pandemi. Pasalnya, ketika pandemi, mereka tidak hanya dilarang untuk keluar rumah, tapi juga tidak bisa menonton pertandingan olahraga karena banyak kompetisi yang ditunda atau dibatalkan. Pertanyaannya, apakah mereka akan tetap menonton konten esports setelah pandemi telah mulai teratasi?

Ketika ditanya tentang hal ini, Darang menjawab, bahkan setelah pandemi berakhir, akan ada penggemar esports yang melanjutkan hobinya untuk menonton konten esports. Dia merasa, hobi menonton pertandingan esports sama seperti hobi-hobi lain yang orang-orang pelajari saat pandemi, seperti berkebun atau memasak. Karena itu, baik viewership maupun pemasukan dari industri esports, khususnya di Asia, diperkirakan masih akan naik pada tahun depan.

VALORANT jadi salah satu game esports yang diduga bakal populer di 2021.

“Berdasarkan tren dari beberapa tahun terakhir, viewership dan revenue industri esports di Asia selalu meningkat, dan mencapai puncaknya di kala pandemi,” ujar Darang. “Dengan berkurangnya kasus COVID-19 dan kembalinya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan secara offline, viewership dan revenue industri esports tentu tidak akan tumbuh setinggi di masa pandemi. Hanya saja, kami memprediksi, esports sudah menjadi cara mainstream untuk mendapatkan hiburan sehingga viewership dan revenue industri esports tetap akan berkembang meski tidak setinggi di masa puncak pandemi.”

Di Asia, ada tiga genre yang populer di kalangan gamers dan fans esports, yaitu MOBA, Battle Royale, dan Shooter. Menurut Darang, tren ini diperkirakan masih akan bertahan pada 2022. Sejalan dengan tren itu, beberapa game esports yang diperkirakan akan tetap populer di tahun depan antara lain League of Legends dan Wild Rift, Free Fire, PUBG Mobile, dan VALORANT.

Sumber header: Pexels

5 Game Paling Overhyped dan 5 yang Paling Underrated di Tahun 2021

2021 tidak bisa dibilang sebagai tahun terbaik buat industri video game, apalagi mengingat pandemi masih menjadi hambatan terbesar bagi kalangan developer. Terlepas dari beberapa judul game yang cukup fenomenal, sebagian besar game yang dirilis tahun ini boleh dibilang tidak seistimewa di tahun-tahun sebelumnya.

Belum lagi ditambah beberapa judul game yang terkesan overhyped, yang ternyata kurang bisa memenuhi ekspektasi tinggi yang konsumen tetapkan setelah melihat pamor game tersebut, seperti Cyberpunk 2077 di tahun 2020. Di sisi lain, tentu saja ada game yang bernasib sebaliknya, yang sebenarnya sangat pantas direkomendasikan namun kurang terekspos ke publik, alias underrated.

Di artikel ini, saya telah merangkum 5 game yang paling overhyped sekaligus 5 yang paling underrated yang dirilis di tahun 2021. Tentu saja, berhubung ini merupakan topik yang amat subjektif, Anda bebas punya pendapat yang berbeda.

Game paling overhyped di tahun 2021

Outriders

Ibarat hasil kawin silang antara Gears of War dan Destiny, Outriders mampu menyuguhkan formula looter shooter dengan bumbu RPG secara cukup solid. Feel menembaknya memang tidak sememuaskan Bulletstorm (game lain bikinan developer yang sama), tapi setidaknya itu bisa ditutupi oleh berbagai build karakter yang bisa kita kreasikan di Outriders.

Kekurangan utama Outriders ada dua. Yang pertama adalah konten endgame-nya yang terbilang minimal sekaligus terasa repetitif. Kedua dan yang mungkin lebih krusial adalah tidak adanya mode offline. Layaknya Borderlands, Outriders memang akan lebih asyik jika dimainkan bersama teman. Namun terkadang saya juga ingin memainkannya sendirian, dan ini rupanya hanya bisa dilakukan selagi online. Masalahnya, Outriders kerap dilanda problem teknis dari sisi server, dan ketika itu terjadi, saya bahkan tidak bisa memainkannya sama sekali walaupun sendirian.

Biomutant

Dengan setting open-world yang indah dan karakter yang jauh dari kata konvensional, Biomutant tentu menawarkan premis yang menarik, apalagi setelah melihat sistem combat-nya yang menggabungkan persenjataan modern dengan aksi kungfu.

Namun sebagai sebuah RPG, Biomutant kurang begitu mampu bersaing karena terkesan terlalu formulaik, belum lagi ditambah deretan quest-nya yang terasa begitu generik sekaligus repetitif. Quest yang variatif dan memikat merupakan salah satu kekuatan utama RPG single-player, dan Biomutant justru terkesan seperti MMORPG terkait hal ini, yang sering kali hanya menjadikan quest sebagai alasan untuk grinding.

New World

Ada banyak sekali yang bisa Anda lakukan di New World, tapi entah kenapa, berenang bukanlah salah satunya, begitu juga dengan berkuda. Bosan membasmi monster atau beradu otot melawan pemain lain? Anda bisa menghabiskan waktu berjam-jam memasak atau crafting di game ini. Memasak bahkan merupakan salah satu cara tercepat untuk levelling di New World.

Namun banyak bukan berarti semuanya menarik untuk dilakukan, dan aspek PvE merupakan salah satu kelemahan utama New World, demikian pula variasi quest yang tersedia. Untuk game yang sudah dinanti-nantikan sejak tahun 2016, New World semestinya bisa memberikan lebih dari sekadar visual yang apik dan elemen PvP yang seru.

Battlefield 2042

Setelah hampir tiga tahun tidak ada game Battlefield baru, wajar apabila banyak yang menaruh harapan besar pada Battlefield 2042. Sayang sekali ekspektasi tinggi itu tidak bisa dipenuhi akibat berbagai kendala teknis, dan tidak sedikit pula yang menyayangkan absennya single-player campaign pada game tersebut.

Saya pribadi cukup menikmati Battlefield 2042 selama open beta, tapi tentu sesi singkat tersebut tidak bisa dijadikan acuan karena tidak merepresentasikan pengalaman bermain secara menyeluruh. Semoga saja ke depannya kondisi game ini bisa membaik.

Grand Theft Auto: The Trilogy – The Definitive Edition

Dirilis 20 tahun setelah Grand Theft Auto III pertama kali meluncur di PS2, GTA Trilogy Definitive Edition bisa dibilang adalah salah satu yang paling besar hype-nya tahun ini meskipun hanya merupakan sebuah remaster. Namun kenyataannya jauh lebih pahit dari yang dibayangkan, sebab game ini dirilis dalam keadaan seperti belum rampung digarap.

Kabar baiknya, game ini masih bisa diselamatkan seiring berjalannya waktu mengingat sebagian besar problemnya cuma perkara teknis. Kalau secara konten, kualitas trilogi game legendaris ini tentu sudah tidak perlu diragukan lagi.

Game paling underrated di tahun 2021

It Takes Two

Fakta bahwa game ini harus dimainkan oleh dua orang setiap saat membuatnya jadi agak underrated. Namun kalau Anda tidak keberatan dengan persyaratan tersebut, Anda bakal hanyut dalam sebuah pengalaman bermain yang tidak akan pernah terlupakan.

It Takes Two menuntut kedua pemain untuk terus bekerja sama secara kreatif. Selagi ceritanya berjalan, berbagai mekanisme gameplay-nya juga akan berganti dan ikut menyesuaikan. It Takes Two bukan sekadar game paling inventif, melainkan juga salah satu game terbaik tahun ini.

The Ascent

Apa yang terjadi ketika Anda mengawinkan setting dunia cyberpunk dengan genre action RPG ala Diablo? The Ascent jawabannya. Game garapan studio kecil asal Swedia ini berhasil membuktikan bahwa Night City bukanlah satu-satunya lokasi dengan setting cyberpunk yang menarik untuk dieksplorasi. Meski disajikan dalam sudut pandang isometrik, The Ascent dapat dengan mudah membawa saya masuk ke dalam dunianya.

Kalau disuruh menyebut kekurangan terbesar game ini, saya akan bilang kontennya terlalu sedikit. Namun itu bukan berarti kontennya tidak banyak, melainkan lebih ke saya yang tidak bisa berhenti memainkannya. Setelah memainkan The Ascent, saya pun langsung teringat dengan Dredd, film dengan setting cyberpunk yang menurut saya juga termasuk underrated.

Eastward

Secara umum, ada dua alasan mengapa suatu game mengadopsi grafik bergaya pixel art. Yang pertama adalah karena keterbatasan dari sisi teknis, sedangkan yang kedua adalah karena itu memang arahan desain yang dituju oleh kreatornya. Eastward merupakan game yang masuk di kategori kedua tersebut.

Grafik di game ini benar-benar memukau, dengan pilihan palet warna yang terinspirasi karya-karya Studio Ghibli, dan berbagai efek lighting modern yang membuatnya kelihatan semakin hidup. Gameplay-nya memang tergolong simpel untuk ukuran sebuah RPG, tapi setidaknya itu bisa ditutupi oleh musik chiptune yang orisinal dan begitu membekas di telinga.

Knockout City

Dodgeball dengan sejumput bumbu kreativitas, Knockout City bisa menjadi opsi alternatif yang menyegarkan di tengah banyaknya game kompetitif ber-genre shooter. Dalam Knockout City, orang lain yang bermain bersama Anda bukan sebatas rekan satu tim, melainkan juga bisa menjadi senjata di saat-saat darurat.

Permainan pun jadi terasa semakin menyenangkan setelah mempelajari sejumlah trick shot yang tersedia, dan semua aksi yang Anda lakukan di dalam game ini bisa terasa semakin mantap berkat efek suara yang distingtif. Untuk sekarang, konten di Knockout City memang terbilang minim, namun sebagai sebuah live service game, isu tersebut tentu dapat diatasi seiring berjalannya waktu.

Ruined King: A League of Legends Story

RPG dengan sistem combat turn-based memang bukan untuk semua orang, namun Ruined King cukup berpotensi menjadi mainstream berkat dukungan popularitas League of Legends yang mengitarinya. Meski begitu, Anda tidak perlu menjadi penggemar salah satu MOBA terpopuler itu terlebih dulu untuk bisa menikmati game ini.

Seperti yang sudah bisa ditebak, kekuatan utama game ini terletak pada sistem combat-nya. Awalnya mungkin terkesan agak kompleks, namun kepuasan yang didapat setelah menguasainya betul-betul tidak tertandingi. Art style yang khas juga menjadi daya tarik lain dari game ini, kurang lebih sama kasusnya seperti serial animasi Arcane.