Evaluasi dan Relevansi Brand Sebagai Sponsor Game, Esports, ataupun Content Creator

Ketika KFC membuat kolaborasi dengan Genshin Impact di Tiongkok, banyak orang rela menunggu di depan sejumlah gerai KFC sejak tengah malam hanya untuk mendapatkan bonus berupa pin dari Diluc dan Noelle — dua karakter di Genshin Impact. Ada begitu banyak orang yang berkerumun di sejumlah restoran KFC sampai polisi harus turun tangan untuk membubarkan kerumunan di Shanghai dan Hangzhou. Fenomena ini sama seperti fenomena kolaborasi McDonald dengan BTS di Indonesia.

Suksesnya kerja sama antara KFC dengan Genshin Impact menunjukkan, jika dieksekusi dengan baik, kolaborasi antara brand dengan game bisa memberikan dampak yang besar. Pertanyaannya: apa yang harus perusahaan perhatikan ketika akan berkolaborasi dengan game?

Beda Platform = Beda Gamers

Penggemar musik rock belum tentu menyukai musik pop, walau keduanya sama-sama penggemar musik. Sementara itu, penonton sepak bola belum tentu menonton pertandingan basket. Begitu juga dengan game. Gamers adalah istilah yang mencakup banyak orang. Dan, sama seperti penggemar musik atau olahraga, gamers juga punya selera yang berbeda-beda. Salah satu cara untuk mengelompokkan gamers adalah berdasarkan platform yang mereka gunakan. Secara garis besar, ada tiga platform yang bisa digunakan untuk bermain game, yaitu PC, konsol, dan mobile.

Dari ketiga platform tersebut, mobile punya jumlah pemain paling banyak. Menurut laporan Newzoo, jumlah gamers di dunia mencapai 3,22 miliar orang. Sebanyak 94% — atau sekitar 2,8 miliar orang — merupakan mobile gamers. Sementara itu, jumlah gamer PC hanya mencapai 1,4 miliar orang dan konsol 900 juta orang. Mengingat mobile memang memiliki entry barrier paling rendah — dengan harga perangkat yang juga relatif paling murah — maka tidak heran jika jumlah mobile gamers mengalahkan gamers PC dan gamer konsol.

Jumlah gamers di dunia dari waktu ke waktu. | Sumber: Newzoo

Satu hal yang harus diingat, masing-masing platform gaming punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini memengaruhi karakteristik dari para gamers. Misalnya, keunggulan utama dari platform mobile adalah mobilitasnya yang tinggi. Jadi, pemain bisa bermain game hampir dimana saja dan kapan saja. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Namun, jika dibandingkan dengan konsol dan PC, mobile punya daya komputasi yang lebih rendah. Karena itu, mobile game cenderung punya grafik dan mekanisme yang lebih sederhana daripada game konsol dan PC. Kabar baiknya, dalam 10 tahun terakhir, mobile game terus berevolusi, menjadi semakin kompleks. Kolaborasi dengan mobile game cocok untuk perusahaan yang ingin menjangkau banyak orang.

Daripada mobile, baik konsol maupun PC menawarkan daya komputasi yang lebih tinggi. Namun, harga konsol dan PC gaming juga relatif lebih mahal. Sementara itu, keunggulan konsol dari PC adalah kermudahan pemasangan. Setelah membeli konsol, Anda bisa langsung menghubungkannya ke TV dan menggunakannya untuk bermain game. Lain halnya dengan PC. Kelebihan lain dari konsol adalah keberadaan game-game eksklusif, seperti Marvel’s Spider-Man: Miles Morales dan Horizon Forbidden West untuk PlayStation 5.

Jika dibandingkan dengan mobile dan konsol, salah satu kelebihan PC adalah ia bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan. Bagi para sultan dengan dana tak terbatas, mereka bisa membangun PC gaming master race yang bisa menjalankan game-game AAA dengan pengaturan rata kanan. Namun, bagi gamers yang punya dana pas-pasan, mereka tetap bisa membangun PC sesuai dengan dana yang mereka punya. Karena itu, gamer PC biasanya cukup mengerti akan sisi teknis. Jadi, gamer PC cocok untuk brand yang menyasar orang-orang yang melek teknologi.

Model Bisnis dan Genre

Game juga bisa dikategorikan berdasarkan model bisnis yang digunakan: game premium atau game free-to-play alias gratis. Walau bisa dimainkan secara gratis, game F2P biasanya punya sistem monetisasi sendiri, seperti iklan, subscription alias langganan, dan menjual item dalam game.

Pertama, mari membahas soal karakteristik pemain game premium. Karena sudah mengeluarkan uang untuk membeli game, pemain dari gamers premium biasanya ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan. Biasanya, mereka juga alergi pada iklan. Buktinya, ketika Capcom memasang iklan di Street Fighter V, mereka mendapat banyak protes dari para pemain. Pada akhirnya, developer Jepang itu memutuskan untuk menghilangkan iklan dari fighting game mereka.

Untuk bekerja sama dengan game premium, salah satu hal yang perusahaan bisa lakukan adalah membuat konten dalam game terkait produk milik perusahaan. Jenis konten yang bisa disisipkan ke dalam game bisa beragam, mulai dari item dalam game sampai tempat yang bisa pemain kunjungi. Misalnya adalah kerja sama antara Digital Happiness dan Exsport. Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, developer Bandung itu membuat karakter utama dari DreadOut 2 mengenakan tas merek Exsport.

Contoh lainnya adalah kerja sama antara KFC dengan Animal Crossing: New Horizons. Dalam kerja sama itu, KFC membuat pulau khusus yang dihias layaknya restoran KFC di dunia nyata. Tak hanya itu, para pemain juga bisa memenangkan satu ember ayam goreng jika mereka berhasil menemukan Colonel Sanders di pulau tersebut. Sebelum mencari Colonel Sanders, pemain harus mendapatkan invite link dari akun media sosial KFC Filipina. Pemain yang berhasil menemukan sang Colonel akan mendapatkan kode yang bisa ditunjukkan ke restoran KFC untuk ditukar dengan ayam goreng. Sayangnya, kegiatan itu terbatas pada gamers di Filipina.

Strategi membuat konten dalam game juga bisa digunakan oleh brand ketika mereka bekerja sama dengan game F2P. Salah satu merek yang pernah melakukan hal itu adalah Louis Vuitton. Sebagai bagian dari kerja sama mereka dengan Riot Games, Louis Vuitton membuat skin untuk karakter di League of Legends. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan koleksi pakaian LVxLOL. KFC juga menggunakan strategi ini ketika bekerja sama dengan Genshin Impact di Tiongkok. Hasil dari kolaborasi tersebut adalah munculnya dua resep baru — resep ayam goreng dan burger — dalam Genshin Impact. Selain itu, pemain juga bisa mendapatkan skin glider khusus, berwarna merah-putih yang menjadi warna khas KFC.

Skin glider khusus KFC. | Sumber: YouTube

Selain model bisnis, hal lain yang harus perusahaan pertimbangkan sebelum berkolaborasi dengan game adalah genre dari game itu sendiri. Bagi perusahaan yang tidak ingin brand mereka dikaitkan dengan kekerasan, mereka bisa memilih game-game olahraga atau balapan. Perusahaan juga bisa memilih game yang memang berkaitan dengan produk yang mereka tawarkan. Sebagai contoh, brand sportswear bisa menggandeng kerja sama dengan game olahraga atau perusahaan otomotif dengan game racing.

Esports dan Konten Game

Apakah sebuah game punya ekosistem esports atau tidak juga bisa menjadi pertimbangan lain bagi perusahaan yang ingin berkolaborasi dengan game tertentu. Pasalnya, jika sebuah game punya skena esports yang berkembang, perusahaan akan punya lebih banyak opsi dalam menjalin kerja sama dengan game tersebut. Alih-alih membuat konten dalam game, brand bisa mensponsori liga atau turnamen esports dari sebuah game. Jenis sponsorship di esports sendiri bermacam-macam, mulai dari sekadar logo placement sampai menjadi title sponsor.

Salah satu bentuk sponsorship unik adalah in-game banner. Jadi, developer meletakkan logo atau merek sponsor di dalam game saat pertandingan  tengah berlangsung. Strategi ini masuk akal, mengingat siaran pertandingan esports biasanya menyorot segala sesuatu yang terjadi dalam game dan bukannya para pemain. League of Legends dan Mobile Legends adalah dua game yang menerapkan model sponsorship ini.

Contoh in-game banner di LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Insider

Sebagian gamers, tidak hanya senang bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itu, munculah industri streaming game. Sebagai turunan dari industri game, industri esports dan streaming game juga  punya potensi besar. Menurut data dari Juniper Research, nilai industri esports dari streaming game pada 2021 akan mencapai US$2,1 miliar. Jadi, bagi brand yang ingin menjangkau gamers tapi masih enggan untuk berkolaborasi dengan game secara langsung, mereka bisa memilih untuk bekerja sama dengan streamer atau kreator konten game.

Mengingat keberagaman game, jangan heran jika influencer gaming juga punya gaya yang berbeda-beda. Ada kreator konten yang menonjolkan kepribadian mereka, seperti Felix Arvid Ulf Kjellberg alias PewDiePie. Tidak peduli game apa yang sang YouTuber mainkan, penonton akan tetap setia karena kepribadian sang kreator kontenlah yang menjadi daya jual. Ada juga kreator konten atau streamer yang menonjolkan skill mereka dalam bermain. Biasanya, influencer gaming ini merupakan mantan pemain profesional. Contohnya adalah Michael “Shroud” Grzesiek, yang pernah menjadi pemain profesional CS:GO sebelum berkarir sebagai streamer. Selain itu, juga ada kreator konten yang menonjolkan sisi sensual mereka. Di Twitch, bahkan sempat muncul tren hot tub streamers.

Satu hal yang pasti, ketika perusahaan mendukung seorang influencer, maka image sang influencer juga akan melekat pada brand. Karena itu, penting bagi perusahaan untuk memilih streamer atau kreator konten yang sesuai dengan brand mereka. Jika tidak hati-hati, reputasi merek justru bisa tercoreng. Hal ini pernah terjadi ketika Wacom menggandeng Abqariyyah Halilintar untuk mempromosikan Wacom Cintiq 16 — pen display seharga Rp9,5 juta.

Abqariyyah Halilintar yang menggambar di Wacom Cintiq 16. | Sumber: Instagram

Tak bisa dipungkiri, unggahan endorsement tersebut memang mendapat engagement tinggi. Saat diunggah di akun Instagram resmi Gen Halilintar, ungahan tersebut mendapatkan lebih dari 38 ribu Likes. Namun, Wacom juga mendapatkan protes dari designer dan seniman, yang merupakan target konsumen Wacom. Alasannya, Abqariyyah dianggap tidak bisa menunjukkan fitur-fitur yang dimiliki oleh Cintiq 16.

Memilih Game atau Esports yang Sesuai dengan Brand

Setiap perusahaan biasanya punya target konsumen masing-masing. Karena itu, ketika hendak menjalin kerja sama dengan developer game atau entitas esports, perusahaan sebaiknya memilih rekan yang memiliki target pasar yang mirip. Hal ini akan lebih mudah untuk dicapai oleh perusahaan endemik game dan esports.

Sebagai contoh, perusahaan yang berkutat di bidang komputer, seperti Intel, AMD, Lenovo, Acer dan lain sebagainya, tentu akan lebih memilih bekerja sama dengan developer game PC atau mendukung ekosistem esports game PC.  Karena game PC punya kaitan langsung dengan produk yang mereka jual. Sementara itu, perusahaan smartphone seperti Samsung Mobile dan Xiaomi Blackshark pasti akan lebih tertarik dengan mobile game serta komunitas esports mobile.

Pertanyaannya, bagaimana jika produk perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan game dan esports? Dalam kasus ini, perusahaan bisa memilih untuk mendukung game atau esports yang penggemarnya punya karakteristik yang sama atau mirip dengan target pasar perusahaan. Pada 2019, Dua Kelinci menjadi sponsor dari RRQ dan EVOS Esports. Padahal, Dua Kelinci merupakan produsen kudapan. Ketika itu, pihak Dua Kelinci menjelaskan, alasan mereka mendukung tim esports adalah karena fans esports punya profil yang sama dengan target konsumen mereka.

Menyesuaikan dengan Tujuan Perusahaan

Di dunia marketing, ada konsep yang disebut marketing funnel. Pada dasarnya, marketing funnel menunjukkan proses untuk membuat seseorang yang tidak mengenal brand perusahaan sama sekali menjadi konsumen setia. Secara garis besar, marketing funnel terdiri dari lima tahap: awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption.

Tampilan marketing funnel. | Sumber: Expert Program Management

Di tahap awareness, tujuan perusahaan adalah untuk membuat calon konsumen tahu akan brand mereka. Tahap kedua, interest, bertujuan untuk membuat orang-orang yang sudah mengenal brand perusahaan menjadi semakin penasaran dengan produk yang ditawarkan perusahaan. Tahap berikutnya adalah evaluation. Di tahap ini, konsumen akan menilai kredibilitas perusahaan. Jika perusahaan dianggap kredibel, maka konsumen akan masuk ke tahap berikutnya, yaitu trial. Di tahap keempat, konsumen akan mulai membeli produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Jika konsumen puas dengan produk dari perusahaan, maka mereka akan menjadi pelanggan setia, yang berarti, mereka telah ada di tahap adoption.

Proses marketing funnel sering digambarkan sebagai segitiga terbalik. Hal itu menunjukkan, jumlah konsumen di setiap tahap akan terus berkurang. Jadi, jumlah konsumen yang tertarik untuk mencari tahu akan sebuah brand akan lebih sedikit dari jumlah konsumen yang sadar akan keberadaan brand tersebut. Karena itu, di tahap awareness, semakin banyak orang yang mengenal brand perusahaan, semakin baik.

Sebelum menentukan developer game atau entitas esports yang hendak diajak kerja sama, penting bagi perusahaan untuk menentukan tujuan yang ingin mereka capai. Jika tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan awareness, maka mereka sebaiknya bekerja sama dengan game, entitas esports atau influencer yang memang populer di masyarakat, seperti yang Renault lakukan ketika mereka memutuskan untuk mendukung ekosistem esports Free Fire. Padahal, Renault merupakan merek non-endemik game dan game battle royale itu memiliki profil konsumen yang berbeda dari target konsumen Renault.

Namun, tidak semua perusahaan ingin bertujuan meningkatkan awareness. Ada juga perusahaan yang lebih mengutamakan kesetiaan pelanggan dengan menjaga reputasi brand. Perusahaan yang memprioritaskan reputasi biasanya akan sangat berhati-hati dalam memiliki rekan kerja sama. Contohnya adalah Nike. Perusahaan sportswear itu biasanya hanya mensponsori tim atau atlet olahraga. Tidak banyak artis yang mereka dukung. Di esports, satu-satunya tim yang mereka sponsori adalah T1. Organisasi esports asal Korea Selatan itu telah memenangkan League of Legends World Championship sebanyak tiga kali, menjadikan mereka sebagai tim dengan trofi World terbanyak. Keputusan Nike untuk mensponsori banyak tim dan atlet olahraga mengukuhkan reputasi mereka sebagai merek sportswear yang dikenakan oleh atlet atau tim pemenang.

Salah satu hasil kolaborasi T1 dan Nike. | Sumber: Hypebeast

Selain meningkatkan awareness atau mempertahankan reputasi, perusahaan juga bisa melakukan kolaborasi dengan pelaku industri game atau esports karena mereka ingin memenangkan hati para gamers dan penonton esports, yang kebanyakan merupakan generasi milenial dan Gen Z. Menurut Forbes, salah satu karakteristik konsumen milenial adalah mereka lebih percaya omongan influencer daripada iklan. Selain itu, milenial juga biasanya senang dengan brand yang relevan dengan gaya hidup mereka. Jadi, mendukung skena esports atau influencer gaming bisa menjadi jalan bagi brand untuk terlihat terpercaya di mata konsumen milenial.

Intel adalah salah satu perusahaan yang secara berkelanjutan mendukung ekosistem esports Counter-Strike: Global Offensive. Turnamen Major Intel Extreme Masters sukses diadakan selama bertahun-tahun. Tak berhenti sampai di situ, Intel juga punya Intel Grand Slam. Pada April 2021, ESL juga mengumumkan bahwa mereka akan melakukan rebranding dari semua turnamen ESL Pro Tour (EPT), menjadi Intel Extreme Masters. Alhasil, merek Intel sangat lekat di benak para fans esports CS:GO. Intel bahkan bisa mengklaim mereka punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports CS:GO. Hanya saja, melakukan apa yang Intel lakukan tidak mudah. Selain biaya besar, perusahaan juga harus siap berkomitmen dalam mendukung skena esports dari sebuah game selama bertahun-tahun.

Kesimpulan

Ketika perusahaan memutuskan untuk bekerja sama dengan game atau entitas esports, hal itu merupakan bagian dari kegiatan marketing. Karena itu, sebelum menjalin kolaborasi, sebaiknya perusahaan menentukan alasan mengapa mereka ingin melakukan kerja sama dengan game atau pelaku esports. Setelah itu, perusahaan bisa mencari game atau pelaku esports yang punya audiens dengan karakteristik yang sama dengan target konsumen perusahaan.

Memang, meningkatkan awareness masyarakat akan brand perusahaan merupakan bagian dari kegiatan marketing. Hanya saja, mengeluarkan uang untuk mengenalkan merek pada orang-orang yang memang tak tertarik dengan produk perusahaan adalah sesuatu yang sia-sia. Jadi, penting bagi perusahaan untuk mengetahui target pasar mereka dan karakteristik dari masing-masing kelompok gamers. Dengan begitu, perusahaan bisa menyasar kelompok gamers yang tepat dan memperbesar kesempatan untuk membuat kolaborasi yang sukses.

3 Tren Aplikasi Belanja di Amerika Serikat Pada Q1 2021

Pandemi COVID-19 memaksa orang-orang untuk mengubah gaya hidupnya. Misalnya, para gamers menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game dan menonton game karena pandemi. Selain itu, pandemi juga mengubah cara orang-orang berbelanja. Lockdown yang ditetapkan oleh pemerintah di berbagai negara — termasuk Amerika Serikat — membuat banyak orang beralih ke belanja online. Karena itulah, jumlah download dari aplikasi belanja di AS meningkat pesat pada tahun lalu. Dan tren ini tampaknya masih terbawa hingga tahun ini.

Marketplace Kuasai 33% Pangsa Pasar Aplikasi Belanja Online

Pada Q1 2021, jumlah download dari aplikasi belanja online di AS naik 9% dari tahun lalu, menjadi 162 juta downloads, menurut data terbaru dari Sensor Tower. Seiring dengan bertambahnya pengguna, maka persaingan di antara aplikasi belanja online pun menjadi semakin ketat. Dari berbagai jenis aplikasi belanja online, kategori marketplace masih cukup mendominasi. Buktinya, marketplace menguasai sekitar 33% dari total download aplikasi belanja online di AS. Artinya, satu dari tiga aplikasi belanja yang diunduh oleh pengguna smartphone di AS merupakan aplikasi marketplace.

Marketplace kuasai 33% pangsa pasar aplikasi belanja online. | Sumber: Sensor Tower

Sensor Tower mengartikan aplikasi marketplace sebagai aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi jual-beli. Jadi, pengguna tak hanya bisa membeli barang melalui aplikasi, tapi juga menjual barang. Salah satu contoh aplikasi marketplace yang beroperasi di Indonesia adalah Tokopedia. Sensor Tower lalu membagi kategori marketplace ke dalam tiga subkategori: marketplace umum, resale, dan jual-beli mobil.

Dari tiga jenis aplikasi marketplace tersebut, subkategori marketplace umum mendapatkan downloads paling banyak. Sekitar 58% dari keseluruhan downloads aplikasi marketplace merupakan aplikasi marketplace umum, seperti Amazon. Sementara itu, 36% downloads berasal dari aplikasi resale, dan 6% sisanya dari aplikasi jual-beli mobil.

Secara umum, jumlah downloads dari aplikasi marketplace memang mengalami kenaikan sepanjang tahun lalu. Download untuk aplikasi marketplace umum menuncak pada Mei 2020. Ketika itu, aplikasi-aplikasi marketplace umum diunduh hingga 9,6 juta kali dalam waktu satu bulan. Di bulan yang sama, total download dari aplikasi resale mencapai lebih dari lima juta downloads. Hanya saja, pengunduhan untuk aplikasi marketplace umum dan resale menunjukkan tren menurun pada 2021. Kabar baiknya, pengunduhan untuk aplikasi jual-beli mobil justru naik. Pada Maret 2021, total download untuk aplikasi jual-beli mobil mencapai 900 ribu downloads.

Rating rata=rata memengaruhi tingkat pertumbuhan download. | Sumber: Sensor Tower

Amazon masih menjadi aplikasi marketplace umum yang paling populer di kalangan warga AS. Di Desember 2020, aplikasi e-commerce tersebut diunduh sebanyak tiga juta kali. Total downloads untuk aplikasi itu kembali memuncak pada Maret 2021, mencapai 2,6 juta downloads. Meskipun begitu, Amazon bukan aplikasi marketplace umum dengan pertumbuhan jumlah downloads paling tinggi.

Gelar itu jatuh ke tangan Stadium Goods. Jumlah downloads dari aplikasi itu pada tahun ini naik 112% dari tahun lalu. Menurut Sensor Tower, salah satu alasan mengapa jumlah downloads dari Stadium Goods naik pesat adalah karena rating rata-rata aplikasi yang tinggi. Di App Store, sejak 2020, rating rata-rata dari Stadium Goods adalah 4,8 bintang. Hal ini menunjukkan, ada hubungan antara ratng rata-rata aplikasi dengan pengalaman pengguna dalam memakai aplikasi.

Retensi Aplikasi Resale Naik 

Pandemi tidak hanya membuat jumlah download dari aplikasi marketplace di AS naik, tapi juga meningkatkan retensi pengguna aplikasi. Di Q1 2021, retensi hari pertama dari pengguna aplikasi marketplace umum naik 5% menjadi 23%. Sementara itu, jika dibandingkan dengan aplikasi marketplace umum dan jual-beli mobil, aplikasi resale punya retensi paling tinggi. Sampai 2021 pun, retensi dari aplikasi resale tetap tinggi. Tingkat retensi hari pertama dari aplikasi resale mencapai 34%, sementara retensi hari ke-7 mencapai 20%.

Enam aplikasi resale paling populer di AS. | Sumber: Sensor Tower

Selain retensi, aplikasi resale juga mengalami pertumbuhan pengguna aktif bulanan (MAU) yang pesat. Pada November 2020, jumlah MAU dari aplikasi resale naik 35% dari jumlah MAU pada Januari 2019. Sensor Tower menyebutkan, alasan mengapa jumlah pengguna aplikasi resale naik adalah karena aplikasi resale, sesuai namanya, memudahkan para pengguna untuk menjual barang-barang bekas mereka. Hal ini bisa membantu orang-orang yang mengalami masalah finansial karena kehilangan pekerjaan selama masa pandemi. Selain aplikasi resale, aplikasi marketplace umum dan jual-beli mobil juga mengalami pertumbuhan pengguna. Pertumbuhan MAU tertinggi, mencapai 23%, terjadi pada Mei 2020.

Di AS, aplikasi resale paling populer adalah OfferUp. Pada Maret 2021, jumlah unduhan dari aplikasi itu mencapai 1,4 juta downloads. Sementara itu, jumlah installs dari OfferUp meningkat tajam pada September 2020. Ketika itu, jumlah download mereka dalam sebulan mencapai 2,8 juta downloads. Peningkatan itu terjadi setelah OfferUp mengumumkan bahwa mereka berencana untuk mengakuisisi aplikasi resale lain, yaitu Letgo.

Jumlah Download Aplikasi Jual-Beli Mobil di App Store Konsisten di Q1 2021

Berbeda dengan aplikasi marketplace umum dan resale, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil justru mengalami penurunan sejak April 2020, saat pemerintah AS menetapkan lockdown. Kabar baiknya, pada Maret 2021, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil mulai pulih. Sayangnya, pandemi masih memengaruhi industri otomotif secara umum, yang memberikan dampak pada jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil. Dari enam aplikasi jual-beli mobil di AS, hanya dua aplikasi yang jumlah installs-nya mengalami peningkatan pada Maret 2021, yaitu CARFAX dan Carvana.

Jumlah installs dari aplikasi jual-beli mobil di Play Store dan App Store. | Sumber: Sensor Tower

Penurunan jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil sangat terlihat di Play Store. Pada 2020, jumlah installs dari aplikasi jual-beli mobil justru turun 22% dari tahun 2012. Dan tren ini masih berlanjut hingga awal 2021. Secara total, pada Q1 2021, enam aplikasi jual-beli mobil terpopuler di AS hanya mendapatkan 768 ribu downloads. Sementara itu, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil di App Store tidak mengalami perubahan. Pada Q1 2021, jumlah download untuk aplikasi jual-beli mobil mencapai 1,7 juta juta, sedikit lebih rendah dari total downloads pada 2020, yang mencapai 1,8 juta downloads.

Why the Gaming Market in Southeast Asia Will Be Significantly Important In the Future

The gaming industry used to be monopolized by several large firms from the United States, Europe, and Japan in the 20th century. However, since the 2000s, this trend began to change. Today, even small indie developers can target the global market thanks to the development of the internet and mobile devices. The internet has allowed small developers to share their products and creativeness with gamers around the world without any boundaries. Some examples of these games that have, out of nowhere, exploded in popularity are Flappy Bird and Among Us.

However, not much research or studies have been conducted that discuss the development of the gaming industry and gaming culture in Asia. To fill the void, Phan Quang Anh conducted a research titled Shifting the Focus to East and Southeast Asia: A Critical Review of Regional Game Research. The study discusses the gaming industry and culture in the Asian region, particularly East Asia and Southeast Asia.

East Asia’s Gaming Industry and Culture

There are several reasons why Asia is becoming increasingly important for the gaming industry. One of these reasons is the size of the gaming market in the region. Both in terms of revenue or player numbers, Asia is a very profitable region for many gaming companies. Furthermore, several Asian countries also house many of the big gaming companies we know today, such as Nintendo and Sony in Japan, Nexon in South Korea, and Tencent in China. A majority of governments in Asian countries also put a substantial amount of investment towards the development of the game industry in their respective countries.

Walkman became one of the primary culprits behind the individualistic culture iin Japan. | Source: SCMP

However,  each country in the Asian region has different gaming cultures. For instance, gamers in Japan tend to be more individualistic. The culture of individualism in Japan itself began to emerge in the 1970s when Sony launched the Walkman. The growth of the game ecosystem in Japan is also heavily correlated with its local culture. As a result, most Japanese gamers prefer to play single-player games.

On the other hand, gamers in South Korea and China actually consider gaming as a social activity. They like to play games with their friends, hence why co-op games or competitive games are more popular. In fact, the social or competitive culture of gaming cultivated in South Korea and China is one of the reasons why the two of them produce so many successful pro esports players.

The online gaming culture in South Korea emerged around 1998 when Blizzard launched StarCraft. Playing online games quickly became a favorite hobby for the younger generation at that time. Through the widespread PC bangs — or internet cafes — across the country, playing games is also a relatively inexpensive activity. South Korea’s competitive culture has also made its esports ecosystem flourish. Local TVs began broadcasting esports, and being a pro player became a legitimate career path. This esports phenomenon in South Korea will later spread to other countries in East Asia and Southeast Asia.

Despite the similar gaming culture between South Korea and China, the two countries still have quite a contrasting gaming market. For example, China’s government is far more involved with its local gaming industry than South Korea’s. They frequently create regulations and promote local game companies to compete with foreign brands. Chinese game companies with innovative ideas will often receive government support for their growth. As a result, in 2020, 19 of the 100 games with the largest revenue generated in the United States were all produced by Chinese companies.

Southeast Asia’s Gaming Industry and Culture

Apart from East Asia, Southeast Asia is also a region to be reckoned with by game companies. According to Newzoo and Niko Partners, the growth rate of mobile games in Southeast Asia in 2014-2017 reached more than 180%. This figure is also predicted to continue to grow for the next five years. Shibuya Data Count also forecasted that the Compound Annual Growth Rate (CAGR) of the gaming industry in Southeast Asia will reach 8.5% in the 2020-2025 period. The six countries in Southeast Asia with the largest gaming markets, with no particular order, are Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapore, and the Philippines.

One of the factors driving the growth of the game industry in Southeast Asia is the development of internet infrastructure or, more specifically, the emergence of 5G technology in 2020. Another factor that comes to play is the rising popularity of esports. As esports content in YouTube and Twitch continues to amass thousands of viewers, game companies invested in the region will also thrive . Free fire, for example, benefitted a lot from content creation and managed to become the most downloaded mobile game in 2019.

Free Fire is the most downloaded game in 2019.

Furthermore, free-to-play games also play a huge role in the success of the game industry in Southeast Asia. Combine this with the vast implementation of cloud gaming, the possibilities for the gaming industry in SEA will be limitless. Interestingly, more than 55% of mobile gamers in Southeast Asia are over 55 years old, while only 8% are teenagers. These stats can be explained by the fact that mobile games are usually catered to more casual users. 

However, these casual mobile games usually don’t last long, and their popularity can be vulnerable at most times. Thus, most developers of these types of games need to continuously promote their games through advertising. If constant advertising is not conducted, the relevance of casual games can fade in a matter of weeks or even days.

Game Industry in Indonesia

Just like China, the governments of Southeast Asian countries are also involved in the local gaming industry. However, the regulations set by Southeast Asian governments are usually not as strict as those in China. Therefore, foreign gaming companies might have a better chance to expand their market in the SEA countries like Indonesia.

Indonesia is a country with the 4th largest population in the world. Its population is also mostly dominated by the younger generation, who loves building online communities. According to Newzoo, this is a massive advantage that the Indonesian gaming market has over other countries in SEA. The popularity of mobile games in Indonesia is, undoubtedly, a golden opportunity that local developers need to seize

Mobile games have dominated the Indonesian gaming market for the past few years, and fortunately, 49% of mobile gamers do not hesitate to spend money to buy in-game items. Newzoo’s data showed that Indonesian mobile gamers spend an average of $9 USD every year. The strategy game genre is also a favorite among Indonesian gamers and is also populated by gamers with large spendings. 41% of gamers, in fact, are willing to buy in-game items in the strategy genre.

The cost of making mobile games is much cheaper than online PC games.

Mobile games are also generally cheaper to produce than PC games. As a comparison, creating mobile games usually cost around $1 thousand USD, while the expenses of making PC games can cost 10 times more than that. Therefore, it is not surprising that most game developers in Indonesia opt to create and develop mobile games.

The potential of the gaming industry is also recognized by the Indonesian government. The government often supports local gaming companies by holding various gaming-related events, such as Game Prime. Additionally, a lot of ministers, such as the Minister of Communication and Information and the Minister of Tourism and Creative Economy, have expressed their support towards the local gaming and esports industry. Prior to this, Indonesia was also successful in lobbying ASEAN countries to include esports as an exhibition sport at the 2018 Asian Games and declaring esports as a legitimate sport (winners will get medals) at the 2019 SEA Games.

Game Industry in Singapore

According to Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, the spendings of gamers in Southeast Asian countries is directly proportional to the Gross Domestic Product (GDP) per capita in each country. Countries with relatively low GDP per capita, such as Indonesia and the Philippines, have an Average Revenue per User (ARPU) of around $4-6 USD for PC games and $5-8 USD for mobile games. On the other hand, countries with higher GDP per capita, such as Malaysia and Singapore, have higher ARPU, reaching $15-20 USD for PC games and $25-60 USD for mobile games.

Singapore, for many years, has been considered the economic center or powerhouse in Southeast Asia. Although Singapore’s population is far smaller than Indonesia’s, its internet penetration rate is exponentially superior, reaching 80% of the total population. Furthermore, 60% of Singaporean internet users are classified as gamers who spend over $189 USD on games every year. English is also one of the primary languages used in Singapore, which is why Western games also have a relatively high penetration rate in the country.

The Singapore government itself has been interested in developing its gaming industry since 1995. The government has supported startups in the gaming sector while also opening and financing various research labs dedicated to gaming. They also set strict regulations, especially those related to piracy. Heavy penalties and charges were imposed to discourage people from using pirated products. As a result, foreign established gaming companies became highly interested in investing and opening offices there. Ubisoft and Electronic Arts, for instance, have opened branches in Singapore.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Featured image via: Unsplash.com.

KFC Gaming Adakan Turnamen Esports Game Retro, Perusahaan Anak Tencent Buat Kantor Baru di Seattle

KFC Gaming mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan turnamen esports dari game-game retro seperti Tetris dan Space Invaders Extreme pada Rabu, 23 Juni 2021. Pada minggu lalu, The Sims 4 juga mengungkap bahwa mereka akan mengadakan festival musik dalam game. Sementara itu, Miracle Gates Entertainment dari Bali bakal meluncurkan game visual novel horror barunya pada 24 Juli 2021.

The Sims 4 Bakal Adakan Festival Musik Dalam Game

The Sims 4 akan mengadakan event dalam game baru, yaitu Sims Session. Event tersebut merupakan festival musik untuk merayakan Simlish, bahasa yang digunakan dalam The Sims. Dari 29 Juni 2021 sampai 7 Juli 2021, Sims Anda akan bisa mengunjungi festival tersebut dan mendengarkan performa dari sejumlah musisi ternama seperti Bebe Rexha, Glass Animals, Joy Oladokun, dan lain sebagainya. Para musisi tersebut akan membawakan lebih dari 500 lagu yang liriknya sudah digubah menjadi Simlish. Untuk mengubah lirik lagu dari ratusan lagu, The Sims bekerja sama dengan para musisi selama bertahun-tahun, menurut laporan Pocket-Lint.

Game Visual Novel Buatan Studio Bali, Grey Lucidity, Rilis Pada 24 Juli 2021

Miracle Gates Entertainment, studio game indie asal Bali, akan meluncurkan Grey Lucidity, game visual novel horror, di Steam pada 24 Juli 2021. Game tersebut mengambil setting lokasi di kota fiksi bernama Roseberry Town. Di sana, terdapat fasilitas rahasia pemerintah yang disamarkan sebagai rumah sakit. Satu waktu, virus berbahaya menyebar ke kota. Orang-orang yang terinfeksi virus itu akan bertingkah layaknya kesurupan, yang menyebabkan warga menjadi ketakutan. Berusaha menutupi kejadian ini, pemerintah lalu memerintahkan pihak militer untuk menyapu bersih kota tersebut.

Grey Lucidity memasukkan elemen horror ke dalam game visual novel.

Dalam Grey Lucidity, Anda akan berperan sebagai Cassandra, anak perempuan dari dokter bernama Larry Brigham yang berhasil selamat dari militer. Sebagai Cassandra, Anda harus bisa melarikan diri keluar kota dan mencari tahu kebenaran dari apa yang sebenarnya terjadi. Menurut laporan IGN, Grey Lucidity menawarkan beberapa ending. Keputusan pemain akan menentukan akhir cerita Caasandra di Roseberry Town.

KFC Gaming Gelar Turnamen Esports dari Game Retro

KFC Gaming menyelenggarakan turnamen esports dari game-game retro. Sayangnya, turnamen itu tidak terbuka untuk umum. Turnamen tersebut hanya bisa diikuti oleh 16 kreator konten yang mendapatkan undangan dari KFC Gaming. Total hadiah yang ditawarkan dari kompetisi tersebut mencapai GBP30 ribu. Kreator yang berhasil keluar sebagai juara akan mendapatkan GBP10 ribu dan mesin arcade khusus dari KFC. Mesin yang dinamai Hot Winger 64 ini dilengkapi dengan dua controllers dan dapat digunakan untuk memainkan sejumlah game retro populer.

Babak pertama dari kompetisi ini digelar pada 25 Juni 2021 lalu. Di sana, 16 peserta saling beradu Tetris. Sementara babak kedua akan diadakan pada 2 Juli 2021. Ketika itu, para peserta akan memainkan Space Invaders Extreme. Babak ketiga digelar pada 9 Juli 2021 dan akan mempertandingkan game yang ditentukan oleh komunitas, menurut laporan Pocket-Lint.

Perusahaan Anak Tencent, TiMi Studio, Buka Kantor Baru di Seattle

Salah satu developer game terbesar di Tiongkok baru saja membuka kantor baru di Seattle, Amerika Serikat. Perusahaan anak Tencent, TiMi Studio mengumumkan bahwa mereka akan membuka studio baru di AS. Studio tersebut akan dipimpin oleh dua veteran industri gaming, yaitu Scott Warner — Lead Designer untuk Halo 4 dan Mercernaries 2: World in Flames — dan Rosi Zagorcheva — Senior Director dari Star Wars: Battlefront, Battlefield 4, dan Battlefield V, lapor GamesBeat.

Studio baru yang dinamai TiMi Seattle ini punya tugas untuk membuat game AAA ber-genre FPS untuk PC dan konsol. Saat ini, studio tersebut telah memiliki 25 pegawai. Tak hanya itu, mereka juga secara aktif merekrut pegawai dari kawasan Seattle dan Los Angeles, seperti yang dilaporkan oleh GeekWire.

EA Akuisisi Playdemic Senilai US$1,4 Miliar

Electronic Arts akan membeli Playdemic dari WarnerMedia senilai US$1,4 miliar. Didirikan pada 2010, Playdemic dikenal berkat game buatannya, Golf Cash, yang dirilis untuk mobile dan di Facebook. Kepada GamesIndustry, EA mengatakan bahwa mereka tidak berencana untuk memecat karyawan dari Playdemic setelah akuisisi. Playdemic adalah perusahaan besar keempat yang EA beli sejak Desember 2020. Sebelum ini, mereka telah mengakuisisi Codemasters senilai US$1,2 miliar.

Golf Cash adalah game terpopuler dari Playdemic.

“Playdemic punya tim yang berpengalaman dan telah bekerja bersama sejak 2014,” kata perwakilan EA. “Mereka adalah ahli dalam membuat game mobile dan kami tidak sabar untuk bekerja bersama serta belajar dari tim mereka.”

Peran Orang Tua dan Kebiasaan Bermain Game Menurut Orang Tua dalam Lingkar Esports

Berkat keberadaan smartphone, bermain game kini menjadi semakin mudah. Anda tidak perlu lagi harus memiliki konsol seharga jutaan atau PC gaming senilai belasan atau bahkan puluhan juta untuk bisa bermain game. Dengan smartphone berharga Rp1-2 juta pun, Anda sudah bisa menggunakannya untuk bermain game. Tak hanya itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Rendahnya entry barrier ini membuat semakin banyak anak dan remaja yang hobi bermain game. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Toh, riset membuktikan bahwa game juga punya dampak positif.

Sekarang, orang tua juga sebaiknya tidak sepenuhnya melarang anak bermain game. Pasalnya, bermain game kini mulai menjadi kegiatan sosial. Menurut laporan Accenture, 84% gamers menjadikan game sebagai alat untuk bersosialisasi. Sementara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa main bareng alias mabar bisa membuat hubungan pertemanan menjadi semakin erat. Jadi, melarang anak untuk bermain game saat ini sama seperti melarang anak keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya dulu.

Lalu, apa yang harus orang tua lakukan agar hobi bermain game sang buah hati bisa tersalurkan dengan baik?

Membantu Anak Mengatur Waktu Bermain

Ketika mendapati anaknya senang bermain game, orang tua biasanya khawatir sang anak akan menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game dan menjadi malas belajar. Padahal, menurut Yohannes Siagian, CEO Morph Team yang juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA 1 PSKD, game bukan alasan mengapa anak menjadi malas belajar.

“Yang bikin anak malas belajar bukan game, tapi sistem belajar yang membosankan dan materi yang disajikan dengan cara yang kaku dan tidak menarik minat belajar murid,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini saat dihubungi melalui pesan singkat. “Sebenarnya, game itu banyak positifnya kok, seperti mengajar cara berpikir strategis, menggunakan logika, mengidentifikasi masalah, problem solving, dan lain sebagainya.”

Lebih lanjut dia mengatakan, “Namun, sama seperti semua hal, kalau dilakukan secara berlebihan, bermain game bisa menjadi negatif. Kuncinya sebenarnya ada di orang tua: apakah orang tua bisa mendampingi anak, apakah bisa mengajarkan disiplin ke anak, dan seterusnya…”

Orang tua sebaiknya mendampingi anak ketika bermain game. | Sumber: Deposit Photos

Sementara itu, studi berjudul Role of Parental Relationship in Pathological Gaming menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kondisi keluarga dengan kebiasaan anak bermain game. Para pathological gamers biasanya merasa, kondisi keluarga mereka kurang menyenangkan. Yang dimaksud dengan pathological gamers dalam jurnal itu adalah para pemain game muda yang menunjukkan gejala patologis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th Edition (DSM-IV), seperti menghabiskan banyak waktu untuk bermain game, mengalami gejala withdrawal ketika tak bermain game, mengacuhkan tanggung jawab lain demi bermain game, berbohong tentang lama waktu yang dihabiskan untuk bermain game, serta kesulitan untuk berhenti main game.

Dalam jurnal tersebut juga dijelaskan bahwa kebanyakan anak dan remaja ingin hidup di lingkungan keluarga yang menyenangkan. Dan ketika mereka merasa bahwa kondisi keluarga mereka tidak ideal — misalnya, sering terjadi pertengkaran di rumah — mereka cenderung ingin “melarikan diri” ke dunia game. Dan bagi gamers, hubungan yang mereka jalin di dunia game sama pentingnya dengan relasi mereka di dunia nyata. Pasalnya, game online memang mendorong para pemainnya untuk berinteraksi dengan satu sama lain.

Sementara itu, menurut studi Factors Associated with Internet Addiction among Adolescents, remaja yang merasa tidak puas dengan kehidupan mereka di rumah memang punya potensi lebih besar untuk menjadi kecanduan internet. Hal yang sama juga berlaku untuk para gamers. Apalagi ketika teman-teman yang mereka kenal di dunia game bisa membuat mereka merasa nyaman. Rasa nyaman itu akan membuat mereka ingin terus bermain game. Hal ini justru bisa memperburuk persepsi mereka akan keadaan keluarga mereka, yang mendorong mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu di dunia game; layaknya lingkaran setan yang tak pernah berakhir.

Salah satu hal yang bisa orang tua lakukan untuk membatasi waktu bermain game anak adalah dengan memasang program/aplikasi parental control di komputer/smartphone anak. Misalnya, Google menyediakan aplikasi parental control bernama Family Link yang bisa diunduh di Play Store dan App Store. Aplikasi itu menawarkan berbagai fitur. Salah satunya adalah membatasi waktu yang bisa anak habiskan untuk menggunakan smartphone. Melalui aplikasi ini, orang tua bahkan bisa menentukan durasi waktu yang bisa anak habiskan saat menggunakan aplikasi atau bermain game tertentu. Selain itu, Family Link juga menawarkan berbagai fitur lain, termasuk membatasi pembelian aplikasi atau in-app item.

Family Link merupakan aplikasi parental control di smartphone.

Namun, menurut Joey, sekadar memasang program/aplikasi parental control di smartphone atau komputer anak saja tidak cukup. Karena, parental control hanya berfungsi untuk membatasi gerak-gerik anak di dunia online, tapi tidak memberikan edukasi pada sang anak.

“Jadi, begitu anaknya masuk ke device yang tidak ada parental control, atau sudah keluar dari rumah, dia malah nggak tahu gimana caranya untuk jaga diri dan memilih apa yang bisa dia mainkan atau dia lihat,” ujar Joey. “Yang paling benar adalah orang tua mendampingi dan melibatkan diri dalam dunia anaknya. Bukan sekadar berada di luar dan menegur tanpa paham sebenarnya apa yang anak lakukan. Banyak orang tua yang cuma tahu anaknya pegang device atau main game, tapi tidak tahu game apa yang dimainkan anak atau konten apa yang dia tonton.”

Mengatur Uang yang Dihabiskan Anak Dalam Game

Pernahkah Anda melihat video viral tentang seorang bapak-bapak tengah memarahi kasir Indomaret karena membiarkan anaknya menghabiskan Rp800 ribu untuk topup game? Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Tanah Air tercinta, tapi juga di negara-negara maju seperti Singapura dan Amerika Serikat. Kepada Channel News Asia, seorang gamer muda asal Singapura — yang tidak mau disebutkan namanya — mengaku bahwa dia pernah menghabiskan  uang orang tuanya sebesar SGD20 ribu (sekitar Rp10,8 juta) membeli lootbox dalam game. Dia bahkan sempat mencuri demi menutup utang akibat kecanduannya dalam membeli lootbox.

Seiring dengan semakin populernya game free-to-play, semakin banyak developer yang menjual item dalam game sebagai sumber pemasukan. Namun, terkadang, developer tidak menjual item secara langsung, tapi menggunakan sistem lootbox. Jadi, gamers bisa membeli lootbox dalam game, tapi item yang didapatkan dari lootbox itu ditentukan secara random. Selain itu, developer juga terkadang menggunakan sistem gacha. Baik sistem gacha maupun lootbox sering dibandingkan dengan judi dalam dunia nyata karena nyatanya memang judi. Dalam game gacha atau lootbox, pemain memang tidak tahu item/karakter apa yang akan mereka dapatkan. Jika tidak hati-hati, gamers — khususnya yang masih muda — bisa menghabiskan banyak uang tanpa sadar demi mendapatkan item/karakter yang mereka inginkan.

Hal itulah yang menjadi alasan mengapa beberapa negara membuat regulasi khusus untuk game gacha atau lootbox. Misalnya, Belgia melarang keberadaan game lootbox sama sekali, sementara Belanda hanya melarang game lootbox dengan tipe-tipe tertentu. Di Asia, baik Tiongkok maupun Jepang tidak melarang keberadaan game gacha atau lootbox. Hanya saja, pemerintah mengharuskan developer untuk memberitahu pemain tentang persentase untuk mendapatkan item-item dalam game. Semakin rare sebuah item, semakin kecil pula persentase untuk mendapatkan item tersebut. Tak jarang, persentase untuk mendapatkan item/karakter rare kurang dari satu persen.

Sayangnya, Indonesia tidak punya regulasi khusus terkait game gacha atau lootbox. Karena itulah, peran orang tua dalam memastikan anak tidak menghambur-hamburkan uang di game justru menjadi semakin penting. Untuk itu, orang tua harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Langkah pertama yang bisa orang tua lakukan adalah mencari tahun mengapa sang anak senang untuk bermain game yang sedang dia mainkan. Dari sana, orang tua bisa membuka diskusi tentang berapa banyak uang yang boleh anak habiskan untuk bermain game. Orang tua juga bisa menjadikan game sebagai insentif agar anak mau lebih serius di sekolah. Ketika saya masih duduk di bangku SD dan SMP, orang tua saya sering berjanji untuk membelikan game/konsol baru jika saya berhasil masuk dalam peringkat tiga besar di kelas.

Lootbox sering dikaitkan dengan judi di dunia nyata. | Sumber: Extreme Tech

Orang tua juga bisa mulai mencari tahu mengapa anak rela menghabiskan uang dalam game. Secara psikologis, memang ada beberapa alasan mengapa gamers mau membeli item dalam game. Bagi gamers muda, salah satu alasan utama mereka adalah demi bisa berbaur dengan teman-teman mereka. Contohnya, di Amerika Serikat, murid SMP bisa dirisak hanya karena menggunakan default skin di Fortnite. Padahal, game dari Epic Games itu bisa dimainkan secara gratis. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, mekanisme dalam game memang dibuat sedemikian rupa untuk mendorong pemain membeli lootbox atau mendapatkan item/karakter yang mereka mau melalui gacha.

“Yang kami khawatirkan adalah banyak gamers muda yang sudah memainkan game gacha atau lootbox. Hal ini bisa membuat mereka terbiasa dengan konsep judi,” kata Nicholas Khoo, pendiri dari Singapore Cybersports and Online Gaming Association dan anggota dari National Council on Problem Gambling (NCPG), seperti dikutip dari Channel News Asia. Tak hanya itu, di game gacha atau lootbox, persentase gamers untuk “menang” — mendapatkan item yang mereka inginkan — lebih besar dari kemungkinan mereka untuk menang judi di kasino. Dan hal ini bisa membuat mereka punya persepsi yang salah, menganggap bahwa kemungkinan untuk menang di game kasino juga sama besar seperti persentase menang di game gacha/lootbox.

Menjadi Orang Tua dari Gamers Profesional

Pesatnya perkembangan industri game memunculkan industri yang sama sekali baru, yaitu esports. Sekarang, esports tidak hanya menjadi semakin populer di kalangan generasi muda, tapi juga diakui oleh pemerintah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak generasi muda yang bercita-cita untuk menjadi pemain esports. Bagaimana rasanya menjadi orang tua dari gamers profesional, yang kerjaannya memang untuk bermain game? Demi menjawab pertanyaan itu, kami lalu menghubungi Ari Susanto, ayah dari dua pemain profesional, yaitu Kevin “xccurate” Susanto dan Jason “f0rsakeN” Susanto.

“Secara teori, tentu banyak orang tua yang akan lebih mementingkan pendidikan anaknya daripada game,” aku Ari ketika dihubungi melalui pesan singkat, “Karena, buat para orang tua, image dari game itu sendiri memang sudah jelek. Tapi, di zaman milenial, sudah saatnya paradigma orang tua tersebut diubah. Orang tua justru harus bisa memanfaatkan situasi ini.” Dia lalu bercerita tentang pengalamannya dalam mendidik anak-anaknya. “Dulu, saya selalu katakan pada anak saya bahwa dia boleh bermain game sesukanya. Dengan catatan, dia harus berprestasi atau bisa menyeimbangkan bermain dengan sekolahnya. Kalau sampai nilai ulangannya jelek, ada konsekuensinya.”

Pak Ari Susanto dengan anak-anaknya. | Sumber: Ari Susanto

Ari menjelaskan, membiarkan anak bermain game bukan berarti orang tua melepaskan anak begitu saja. Orang tua tetap harus mengawasi kegiatan gaming sang anak. Dia mengungkap betapa pentingnya bagi orang tua untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. “Apabila anak kita sudah punya tanggung jawab, mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya hobi game mereka juga terpenuhi,” katanya. “Untungnya, anak-anak om semuanya tahu akan tanggung jawab dan mereka juga bisa berprestasi.”

Menurut Ari, orang tua harus aktif mengawasi dan mengingatkan anak agar anak tidak menjadi kecanduan game atau terjerumus dalam hal-hal negatif lainnya. “Penting sekali bagi anak untuk mengerti antara hobi dan kecanduan,” ungkapnya. Dia menyebutkan, diskusi antara anak dan orang tua terkait hobi bermain game sudah bisa dilakukan sejak anak masih duduk di bangku SD.

Hal yang sama diungkapkan oleh Joey, yang menyebutkan bahwa selama anak sudah bisa memegang device dan bisa bermain game, walau hanya game anak, maka anak sudah bisa diajak berdiskusi tentang hobinya bermain game. Yang penting, ungkap Joey, orang tua bisa menyesuaikan cara penyampaian mereka sesuai dengan usia dan tingkat pemahaman anak.

Dua bersaudara Susanto: Kevin “xccurate” Susanto dan Jason “f0rsakeN” Susanto. | Sumber: Revival TV

Menjadi pemain profesional bukanlah hal mudah. Kemungkinan seseorang bisa berhasil sebagai gamer profesional di Indonesia kurang dari 1 satu persen. Karena itu, orang tua harus paham kapan mereka harus mendukung cita-cita anak untuk menjadi pemain esports.

“Memang jadi pro player itu tidak mudah dan butuh kerja keras,” kata Ari. “Kita sebagai orang tua juga dituntut untuk mengerti kondisi anak kita: apakah dia memang berbakat untuk menjadi pro player atau sekedar hobi saja. Nah, untuk tahu tentang hal itu, kita bisa membiarkan mereka bermain di komunitas. Setiap game yang anak geluti pasti punya komunitas masing-masing. Biarkan anak bermain di komunitas sambil diawasi. Kalau menurut orang tua anaknya memang jago dan ada tawaran untuk masuk klub esports, sudah waktunya orang tua mendukung.”

Ketika ditanya tentang dukungan apa yang orang tua bisa berikan pada anak yang berkarir sebagai pemain profesional, Ari menjawab, “Ikut menonton semua pertandingan anak, selalu kasih support dan selalu memberikan masukan akan apa saja kekurangan dan kesalahan yang harus diperbaiki. Jadi, anak menjadi semakin disiplin.” Sambil tertawa dia bercerita, ketika anak-anaknya hendak berlaga, sebagai orang tua, dia juga ikut merasa tertekan. “Mereka tidak tahu kalau saat mereka ikut pertandingan, yang stres dan asam lambung itu bapaknya, karena ikut tegang.”

Sementara itu, Carol Bird, ibu dari Fred “Freddybabes” Bird, pemain Gwent profesional, mengakui, memang ada banyak orang tua yang punya pandangan negatif akan game. Menurutnya, hal ini terjadi karena game adalah fenomena yang relatif baru. Namun, dia merasa, orang tua harus mulai sadar bahwa game itu tidak melulu memberikan dampak buruk. Ada berbagai hal positif yang bisa didapat dari bermain game.

“Menjadi pemain esports adalah karir yang serius, begitu juga dengan menjadi streamer, caster, atau komentator esports,” ujar Carol pada British Esports Association. “Orang tua tidak punya masalah ketika anak-anak mereka ingin menjadi pemain sepak bola atau TV presenter. Namun, masih ada stigma yang melekat pada esports. Seolah-olah, bermain game hanyalah hobi yang menghabiskan waktu.” Lebih lanjut, dia berkata, “Jika anak Anda adalah seorang gamer berbakat, dukung dan dorong mereka, tapi jangan memaksa mereka. Percayalah pada anak Anda.”

Mike Atkins, ayah dari pemain Brawlhalla, Bill “Lanz” Atkins menambahkan, “Saya rasa, saat anak menunjukkan keteguhannya, orang tua harus mendukung sang anak, sama seperti ketika orang tua mendukung anak yang punya hobi berolahraga.” Dia menjelaskan, dari bermain game, seorang pemain profesional juga bisa mendapatkan berbagai kemampuan yang bisa digunakan ketika dia bekerja di bidang pekerjaan lain. “Menjadi pemain esports membantu Bill untuk mengatur waktunya,” katanya, memberikan contoh. “Dan ketika kalah, dia harus belajar tentang bagaimana cara menerima kekalahan dan mengubahnya menjadi pengalaman yang positif.”

Kesimpulan

Manusia cenderung takut sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak mereka mengerti. Karena itu, ketika muncul inovasi baru, tidak semua orang akan langsung bersedia menggunakan inovasi tersebut. Terkadang, setelah inovasi baru diadaptasi sekalipun, masih ada kelompok yang takut akan dampak buruk dari inovasi tersebut. Waspada akan dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh inovasi baru  — baik internet, smartphone, atau game — sebenarnya bukan hal yang buruk. Segala sesuatu di dunia memang biasanya punya dampak positif dan negatif. Namun, hal itu bukan berarti kita bisa berlarut-larut dalam rasa takut dan terus kukuh berpegang pada pola pikir lama tanpa berusaha untuk mengubahnya.

Begitu juga dengan game. Walau game masih punya stigma buruk, khususnya di kalangan orang tua, tak bisa dipungkiri bahwa game kini tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tapi juga sebagai alat komunikasi. Tentu saja, orang tua punya hak untuk melarang anaknya bermain game jika mereka memang tidak suka. Namun, ketika bermain game juga menjadi wadah untuk mendekatkan diri dengan teman, apakah bijak jika orang tua melarang anak bermain game sama sekali?

App Annie & IDC: 1 Tahun Setelah Pandemi, Gamers Tetap Doyan Belanja

Pandemi COVID-19 justru memberikan dampak positif pada industri game. Selain mendorong penjualan konsol, hardware, dan game, pandemi juga membuat para gamers menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game. Menariknya, meskipun kehidupan sudah mulai kembali normal di beberapa negara, tren yang muncul karena pandemi — seperti mengunduh lebih banyak game dan menonton streaming game lebih lama — juga tetap bertahan.

Mobile Jadi Pendorong Pertumbuhan Industri Game

Mobile game menjadi pendorong utama pertumbuhan spending konsumen di digital game. Menurut laporan App Annie dan IDC, total belanja dari para mobile gamers mencapai US$120 miliar, 2,9 kali lipat dari total belanja gamers di PC/Mac, yang hanya mencapai US$41 miliar. Sementara itu, total belanja dari pemain konsol mencapai US$39 miliar dan konsol handheld US$4 miliar.

Untuk segmen mobile game, Asia Pasifik masih menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar pada total spending gamers. Sekitar 50% dari total belanja mobile gamers berasal dari Asia Pasifik. Namun, dari persentase kontribusi Asia Pasifik tidak bertambah. Alasannya karena total belanja mobile gamers di kawasan lain juga mengalami kenaikan. Di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat, dua negara yang menjadi pendorong pertumbuhan spending mobile gamers adalah Amerika Serikat dan Jerman. Walau Asia Pasifik memberikan kontribusi besar pada total spending mobile game, total belanja dari gamers PC/Mac justru mengalami penurunan, sekitar 4%. Hal ini terjadi karena banyak warung internet yang tutup akibat pandemi.

Total spending gamers berdasarkan platform. | Sumber: App Annie

Secara global, total belanja di segmen konsol diperkirakan akan mengalami kenaikan berkat peluncuran PlayStation 5 dan Xbox Series X/S pada akhir tahun 2020. App Annie dan IDC juga menyebutkan, segmen konsol punya potensi besar untuk tumbuh di kawasan Asia Pasifik. Pasalnya, Xbox Series X baru saja diluncurkan di Tiongkok pada 10 Juni 2021 dan PlayStation 5 bahkan telah dirilis pada 15 Mei 2021. Sementara di segmen konsol handheld, saat ini, Nintendo Switch Lite menjadi satu-satunya konsol yang mendorong pertumbuhan spending di segmen ini. Memang, pada September 2020, Nintendo telah mematikan 3DS. Meskipun begitu, e-shop dari 3DS masih bisa diakses oleh kebanyakan gamers.

Di Amerika Serikat, penjualan konsol meningkat pesat pada April 2020, setelah pemerintah mengumumkan bahwa mereka akan melakukan lockdown. Bersamaan dengan meningkatnya penjualan konsol, semakin banyak pula orang yang mengunduh aplikasi pendamping — seperti Steam, PlayStation App, Nintendo Switch, dan Xbox. Tren ini muncul karena aplikasi pendamping memudahkan para gamers untuk mengatur akun game PC/konsol mereka melalui smartphone. Selain itu, aplikasi pendamping juga punya fitur sosial sehingga para gamers bisa mengobrol dengan teman-teman mereka via aplikasi tersebut. Ada juga aplikasi yang menawarkan fitur cloud gaming. Sehingga para gamers bisa memainkan game konsol mereka via smartphone.

Fitur Cross-Platform Buat Game Jadi Populer

Salah satu kebiasaan gamers yang tetap bertahan satu tahun setelah pandemi COVID-19 muncul adalah kebiasaan untuk mengunduh mobile game. Pada Q1 2021, jumlah download mobile game per minggu mencapai 1 miliar game setiap minggunya, naik 30% jika dibandingkan pada total download pada Q4 2019. Total spending mobile gamers di periode yang sama juga mengalami kenaikan. Pada Q1 2021, total spending para gamers mencapai US$1,7 miliar per minggu, naik 40% dari masa sebelum pandemi. Hal ini membuat publisher tertarik untuk meluncurkan game mereka di mobile untuk menumbuhkan jumlah pemain mereka. Saat ini, beberapa mobile game dengan pemasukan terbesar antara lain Lineage M, Lords Mobile, Roblox, dan PUBG Mobile.

Total download dan spending per minggu di tingkat global. | Sumber: App Annie

Sama seperti segmen mobile game, segmen PC gaming juga mengalami pertumbuhan selama pandemi. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah concurrent users dan players di Steam. Sejak Oktober 2019 sampai April 2020, jumlah concurrent users harian di Steam mengalami peningkatan 46%, menjadi 24,5 juta orang. Dan jumlah concurrent players harian Steam bertambah 61%, menjadi 8,2 juta orang. Sementara para periode Oktober 2019-Maret 2021, jumlah concurrent users harian Steam mencapai 26,85 juta orang — naik 46% — dan jumlah concurrent players mencapai 7,4 juta orang — dengan tingkat kenaikan 60%. Hal ini menunjukkan, peningkatan jumlah pengguna dan pemain di Steam yang terjadi selama pandemi masih akan bertahan.

Lalu, apa yang membuat game menjadi populer? Menurut App Annie dan IDC, fitur real-time online — seperti PvP — merupakan fitur yang banyak ditemui di game-game populer, terlepas dari platform game tersebut. Dengan kata lain, banyak gamers yang ingin bisa bermain dengan gamer lain. Tampaknya, bermain game membantu para gamers untuk tetap terhubung dengan teman-teman mereka dan mengatasi perasaan terisolasi akibat pandemi. Fitur lain yang menjadi populer adalah cross-play, fitur yang memungkinkan gamers untuk memainkan satu game di beberapa platform. Contohnya, pemain bisa memainkan sebuah game di PC dan melanjutkannya di mobile atau sebaliknya.

Jumlah conccuret users dan players di Steam. | Sumber: IDC

Salah satu contoh game yang bisa mengeksekusi fitur cross-play dengan baik adalah Genshin Impact. Memang, ketika diluncurkan pada September 2020, developer miHoYo langsung merilis game tersebut di beberapa platform sekaligus: PC, konsol, dan mobile. Dan keputusan miHoYo untuk mengutamakan fitur cross-play — seperti cross-save dan co-op mode antar platform — menjadi salah satu alasan mengapa Genshin Impact berhasil menjadi populer secara global.

Contoh game lain yang punya fitur cross-platform adalah Among Us. Pada 2020, hanya dalam beberapa bulan, jumlah concurrent players dari game tersebut meningkat drastis. Pada Januari 2020, jumlah concurrent players dari Among Us kurang dari seribu orang. Sementara pada September 2020, angka itu naik menjadi lebih dari 400 ribu orang. Tak hanya itu, Among Us juga sukses di mobile. Buktinya, game itu pernah menjadi game dengan jumlah download terbanyak di Amerika Serikat, Inggris, dan Korea Selatan.

Durasi Menonton Streaming Game Naik

Pandemi tidak hanya membuat orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk bermain game, tapi juga untuk menonton siaran konten gaming. Hingga April 2021, tingkat engagement pengguna dari Twitch dan Discord terus mengalami kenaikan. Sementara di Tiongkok, jumlah waktu yang orang-orang habiskan untuk menonton konten di platform streaming game seperti bilibili, Huya, dan DouyuTV, juga naik. Kenaikan terbesar terjadi pada Q1 dan Q2 2020. Memang, ketika itu, gelombang pertama COVID-19 telah muncul, memaksa orang-orang untuk tidak keluar rumah.

Jumlah waktu yang dihabiskan untuk menonton konten game per bulan. | Sumber: App Annie

Seiring dengan bertambahnya waktu yang dihabiskan orang-orang untuk menonton konten game, maka besar uang yang mereka keluarkan pun ikut bertambah. Belakangan, total spending dari pengguna Twitch dan Discord menunjukkan kenaikan yang stabil. Pada Q4 2020, Twitch berhasil masuk dalam daftar 10 aplikasi non-gaming dengan total spending terbesar. Dan pada Q1 2021, mereka bahkan naik ke peringkat 8.

Sumber header: Review Geek

Kreator PUBG Targetkan US$5 Miliar di IPO, Nintendo Direct Jadi Event Terpopuler di E3 2021

Krafton, perusahaan induk dari developer PUBG, PUBG Corp., telah mendaftarkan dokumen penawaran saham perdana (IPO) mereka di Korea Exchange. Melalui IPO ini, Krafton berharap akan bisa mengumpulkan dana sebesar US$5 miliar. Sementara itu, perusahaan asal Filipina, Yield Guild Games mengungkap bahwa mereka telah mendapatkan pendanaan sebesar US$4 juta. Dan Nintendo Direct menjadi acara paling populer di E3 2021.

Krafton, Kreator PUBG Targetkan US$5 Miliar Saat IPO

Tahun lalu, Krafton, perusahaan induk dari PUBG Corp, developer dari PUBG, mendapatkan pemasukan sebesar US$1,47 miliar, hampir dua kali lipat dari pemasukan mereka pada 2019. Sekarang, Krafton berencana untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO). Mereka berharap, melalui IPO ini, mereka akan bisa mendapatkan dana sebesar US$5 miliar.

Menurut laporan Hypebeast, Krafton akan menawarkan 10 juta lembar saham: 3 juta lembar merupakan saham yang sudah beredar sementara 7 juta lainnya merupakan saham baru. Saham tersebut akan dihargai sekitar KRW458 ribu sampai KRW 557 ribu. Jika Krafton berhasil mendapatkan US$5 miliar saat IPO, maka IPO mereka akan menjadi IPO terbesar di Korea Selatan, mengalahkan IPO dari Samsung Life Insurance pada 2010.

Nintendo Direct Jadi Event Terpopuler di E3 2021

Di E3 2021, Nintendo Direct berhasil menjadi acara terpopuler. Pada puncaknya, ada 3,1 juta orang yang menonton Nintendo Direct, menurut data dari Stream Hatchet. Acara terpopuler kedua di E3 2021 adalah konferensi pers Xbox, yang mendapatkan peak viewers sebanyak 2,3 juta orang. Di Twitter, Head of Xbox, Phil Spencer mengungkap bahwa acara Xbox/Bethesda tahun ini merupakan konferensi E3 Microsoft dengan penonton paling banyak. Sementara itu, acara terpopuler ketiga adalah Ubisoft dengan 1,4 juta peak viewers, diikuti oleh Square Enix dengan 1,3 juta peak viewers, dan Devolver Digital dengan 1,1 juta peak viewers, menurut laporan GamesIndustry.

Lima event terbesar di E3 2021. | Sumber: Stream Hatchet.

21 Juni 2021, Cyberpunk 2077 Kembali ke PlayStation Store

Mulai 21 Juni 2021, Cyberpunk 2077 akan kembali tersedia di PlayStation Store, ungkap developer CD Projekt Red. Ketika diluncurkan pada Desember 2020, Cyberpunk 2077 punya banyak masalah, yang membuat para gamers berang. Sony lalu memutuskan untuk menghapus game tersebut dari PS Store dan menawarkan refund pada gamers yang sudah terlanjur membelinya. Sejak saat itu, CD Projekt Red terus memperbaiki Cyberpunk 2077 di semua platform. Dan akhirnya, mereka memutuskan untuk meluncurkan game itu di PS Store lagi. Namun, menurut VentureBeat, saat ini, Cyberpunk 2077 masih belum bisa berjalan dengan lancar di PlayStation 4 dan Xbox One.

Facebook Luncurkan Fan Groups untuk Kreator Konten di FB Gaming

Minggu lalu, CEO Facebook, Mark Zuckerberg mengumumkan peluncuran Fan Groups, yang merupakan Facebook Groups khusus untuk kreator konten di Facebook Gaming dan komunitas mereka. Keberadaan Fan Groups diharapkan akan membantu para kreator konten FB Gaming untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan fans mereka, baik saat siaran tengah berlangsung maupun setelah siaran usai.

Fan Group dibuat untuk kreator konten di Facebook Gaming. | Sumber: Engadget

Fidji Simo, Head of the Facebook App, mengakui bahwa Facebook sadar, untuk membangun komunitas gaming, mereka masih harus bekerja keras. Sampai saat ini, kreator FB Gaming masih kesulitan untuk membangun komunitas mereka setelah mereka selesai siaran. Simo mengungkap, para kreator harus bisa menjalin hubungan yang lebih erat dengan para fans mereka sehingga mereka bisa membangun brand mereka dan menjual merchandise serta kegiatan lainnya, menrutu laporan VentureBeat.

Yield Guild Games Dapat Kucuran Dana Sebesar US$4 Juta

Yield Guild Games baru saja mendapatkan pendanaan sebesar US$4 juta. Pendanaan tersebut dipimpin oleh BITKRAFT Ventures. Investasi ini merupakan validasi dari model bisnis Yield Guild Games, yang memungkinkan orang-orang untuk mendapatkan uang dengan bermain game. Yield Guild Games merupakan perusahaan asal Filipina yang berisi orang-orang yang percaya dengan model  bisnis play-to-earn. Dalam bisnis model itu, pemain bisa mendapatkan uang sebenarnya dengan ikut aktif bermain game.

Salah satu contoh game yang didukung oleh Yield Guild Games adalah Axie Infinity. Di game tersebut, pemain bisa mendapatkan token dalam game yang disebut Smooth Love Potion (SLP) dengan mengalahkan pemain lain. SLP dibutuhkan untuk mendapatkan Axies baru. Setelah mendapatkan SLP, pemain bisa memilih untuk menjualnya di marketplace atau menukarnya dengan cryptocurrency.

“Ronde pendanaan ini menarik. Karena, pada ronde investasi pertama, sebagian besar dana yang kami dapatkan berasal dari crypto funds,” kata Gabby Dizon, Co-founder dari Yield Guild Games, pada VentureBeat. “Kali ini, salah satu investor kami adalah perusahaan venture capital paling dihormati di dunia. Mereka tertarik dengan apa yang kami lakukan karena sesuai dengan visi mereka di masa depan.”

Di Gaming, Microsoft Bakal Fokus ke Cloud Gaming dan Xbox Game Pass

Di Electronic Entertainment Expo (E3), CEO Microsoft, Satya Nadella dan Xbox Game Leader, Phil Spencer menjelaskan strategi Microsoft untuk mengembangkan divisi gaming mereka di masa depan. Nadella percaya, Microsoft punya tiga keuntungan jika dibandingkan dengan para pesaing mereka. Pertama, Microsoft punya teknologi cloud computing yang mumpuni. Kedua, Microsoft punya Xbox Game Pass, yang diluncurkan dengan tujuan untuk membiasakan gamers dengan sistem langganan. Keunggulan Microsoft yang terakhir adalah karena mereka juga fokus untuk memberdayakan kreator game.

“Sebagai perusahaan, Microsoft akan sangat serius di industri game. Kami percaya, kami bisa memimpin proses demokratisasi gaming dan menentukan masa depan dari dunia hiburan interaktif,” kata Nadella, seperti dikutip dari VentureBeat.

Teknologi Cloud Gaming

Di awal era kemunculan PC pada tahun 1970-an, tidak semua orang dapat bermain game. Alasannya, untuk bisa bermain game, seseorang membutuhkan mesin arcade, yang tidak bisa dimliiki oleh semua orang. Seiring dengan berkembangnya teknologi, barrier untuk bisa bermain game pun menjadi semakin rendah. Sekarang, orang-orang bisa memilih platform untuk bermain game, mulai dari di PC, konsol, atau smartphone.

“Waktu saya kecil, tidak ada orang yang membeli mesin Galaga atau Ms. Pac-Man untuk menaruhnya di rumah,” ujar Spencer. “Jika ingin bermain game, Anda harus pergi ke arcade. Sekarang, jika Anda tidak membeli konsol seharga ratusan dollar atau membangun high-end PC yang membutuhkan biaya hingga ribuan dollar, Anda tidak akan bisa memainkan game-game terbaru. Cloud memungkinkan kami untuk menghilangkan batasan ini, memudahkan orang-orang untuk bermain game.” Meskipun begitu, dia meyakinkan, keberadaan cloud gaming tidak akan menghilangkan kebutuhan akan  konsol atau PC.

“Melalui cloud, kita bisa memberikan pengalaman gaming yang memuaskan pada semua orang yang punya akses ke internet, meskipun mereka hanya punya perangkat murah,” kata Spencer. “Dengan cloud, para gamers bisa mendapatkan pengalaman bermain game sama seperti orang-orang yang menjalankan game-nya di perangkat mereka sendiri.”

Cloud gaming jadi salah satu fokus Microsoft. | Sumber: VentureBeat

Karena itu, Spencer mengatakan, Microsoft akan terus mengembangkan teknologi cloud gaming sehingga teknologi tersebut bisa digunakan di berbagai perangkat. Saat ini, Microsoft ingin membuat cloud gaming bisa diakses melalui smart TV yang terhubung ke internet. Cloud gaming bahkan akan tersedia di browser. Harapannya, para gamers akan bisa bermain game di smartphone melalui Azure. Namun, saat ini, proyek tersebut masih dalam tahap pengujian akhir.  Selain itu, Microsoft juga akan meluncurkan Game Pass Ultimate di lebih banyak negara. Tahun ini, mereka berencana untuk merilis Game Pass Ultimate di Australia, Brasil, Jepang, dan Meksiko. Cloud gaming juga akan menjadi bagian dari aplikasi Xbox di PC, memungkinkan gamers untuk mencoba sebuah game sebelum mengunduhnya.

Xbox Game Pass

Selain cloud computing, Spencer juga membahas rencana Microsoft terkait Xbox Game Pass. Game Pass merupakan layanan berlangganan game yang memungkinkan seseorang untuk memainkan semua game dalam katalog Game Pass selama mereka membayar biaya berlangganan setiap bulan — yaitu sekitar US$10 atau US$15 per bulan. Ketika mengembangkan Game Pass, Microsoft sempat khawatir layanan mereka tidak akan diterima dengan baik oleh gamers maupun kreator game. Meskipun begitu, Microsoft ingin agar divisi gaming mereka juga menggunakan model bisnis sistem berlangganan daripada menjual software via retail. Dengan Game Pass, Microsoft juga ingin mengubah cara gamers mengonsumsi game.

Microsoft mengatakan, tahun ini, jumlah pengguna Game Pass telah mencapai 18 juta orang. Menariknya, orang-orang yang berlangganan Game Pass cenderung memainkan lebih banyak game. Data dari Microsoft menunjukkan, pengguna Game Pass memainkan 40% game lebih banyak dari non-pengguna. Selain itu, 90% pelanggan Game Pass mengaku, mereka bahkan mencoba untuk memainkan game yang biasanya tidak akan mereka mainkan. Setelah mencoba, mereka menjadi terdorong untuk membeli game itu. Jadi, bagi developer yang mendaftarkan game mereka ke Game Pass, hal ini bisa meningkatkan penjualan game mereka.

“Dengan Game Pass, kami mengubah cara game dimainkan dan didistribusikan,” kata Nadella. “Konten menjadi pendorong pertumbuhan Game Pass. Karena itulah, saya tidak sabar untuk melihat hasil dari akuisisi ZeniMax, yang memungkinkan kami untuk membawa game-game legendaris ke Game Pass. Dan ketika Game Pass tersedia untuk browser, pengguna Game Pass bisa memainkan game dari konsol ke PC ke mobile.”

Game Pass memungkinkan pelanggan memainkan semua game di katalog Game Pass. | Sumber: VentureBeat

Selain peningkatan penjualan, keuntungan lain yang didapatkan oleh kreator game yang bekerja sama dengan Microsoft untuk memasukkan game mereka ke Game Pass adalah meningkatnya engagemet. Microsoft menyebutkan, engagement dari game yang masuk dalam katalog Game Pass mengalami kenaikan hingga lebih dari delapan kali lipat. Selain itu, spending pemilik Game Pass juga lebih besar 50% dari non-pengguna.

“Di awal industri game, satu-satunya cara untuk mendapatkan game adalah dengan membelinya,” kata Spencer. “Bagi banyak orang, hal ini justru membatasi cara mereka bermain. Model bisnis retail membatasi jumlah gamers yang bisa dijangkau oleh kreator game. Karena itu, kami membuat Game Pass, agar para gamers bisa memainkan lebih banyak game bersama teman-teman mereka. Pada akhirnya, hal ini akan membuat game lebih mudah dimainkan dan meningkatkan jumlah gamers.”

Masalah Dalam Mengembangkan Layanan Berlangganan Game

Tidak ada yang salah dengan visi Microsoft untuk mengubah cara gamers bermain game via Game Pass. Hanya saja, mempopulerkan layanan berlangganan game seperti Game Pass tidak akan mudah. Ada beberapa masalah yang Microsoft harus bisa pecahkan.

Game Pass — atau layanan langganan game lainnya — sering dibandingkan dengan Netflix. Namun, cara orang-orang mengonsumsi game berbeda dengan cara orang-orang mengonsumsi film. Salah satu keunggulan Netflix adalah mereka menawarkan banyak film dan seri TV dalam katalog mereka. Hal ini membuat orang-orang merasa, berlangganan Netflix akan lebih ekonomis daripada membeli atau menyewa semua film dan seri TV yang ada di Netflix.

Dengan Game Pass, Anda bisa memainkan cukup banyak game, hingga 300 judul. Meskipun begitu, waktu yang diperlukan untuk menamatkan game jauh lebih lama dari menonton film. Rata-rata, waktu yang diperlukan untuk menamatkan game adalah 35,5 jam. Jadi, meskipun Game Pass menawarkan banyak game, bagi gamers yang tidak punya banyak waktu luang, mereka tetap tidak akan bisa memainkan semua game yang tersedia di katalog Game Pass. Selain itu, Game Pass juga kurang menguntungkan bagi gamers yang suka untuk memainkan sedikit game dalam waktu lama.

Microsoft memang selalu bisa memperbanyak katalog game di Game Pass. Namun, pilihan game yang bisa mereka masukkan terbatas. Karena, mereka hanya akan bisa memasukkan game-game premium. Padahal, saat ini, semakin banyak game yang menggunakan model bisnis Free-to-Play. Faktanya, menurut McKinsey, industri game berbayar jauh lebih kecil daripada industri game F2P. Industri game premium hanya bernilai US$18,5 miliar, sementara industri game F2P mencapai US$90 miliar. Seolah hal itu tak cukup buruk, industri game premium didominasi oleh beberapa franchise saja. Sekitar 50% dari total pemasukan di industri game premium berasal dari 10 franchise terpopuler, seperti Grand Theft Auto, Call of Duty, Uncharted, dan FIFA.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh Netflix adalah mereka menawarkan banyak konten orisinal. Memang, cara ini bisa digunakan oleh Microsoft atau perusahaan lain yang ingin menyediakan layanan berlangganan game. Sayangnya, biaya produksi membuat game — khususnya game AAA — sangat mahal. Tanpa menghitung biaya marketing, ongkos produksi game AAA bisa mencapai US$50 juta sampai US$100 juta. Meskipun begitu, tampaknya, Microsoft memang akan menjalankan strategi ini. Buktinya, belakangan, mereka sibuk mengakuisisi studio game. Dengan begitu, mereka bisa langsung memasukkan game-game buatan studio di bawah Microsoft langsung ke Game Pass.

Toge Production Buat Program Pendanaan untuk Developer ASEAN, Data Internal CD Projekt Red yang Dicuri Tersebar Online

Toge Productions mengumumkan program baru mereka untuk mendukung developer asal Asia Tenggara. Sementara itu, Retrogade Arena buatan developer Indonesia diluncurkan untuk Nintendo Switch. Dan dua mantan developer Call of Duty membuat studio game baru yang akan mengembangkan game eksklusif untuk PlayStation.

Toge Production Luncurkan Program Pendanaan untuk Developer Asia Tenggara

Minggu lalu, Toge Productions memperkenalkan Toge Game Fund Initiative. Program tersebut ditujukan untuk membantu developer asal Asia Tenggara. Melalui program ini, developer bisa mengajukan proposal untuk membuat sebuah game pada Toge. Jika game itu dianggap menarik, maka Toge akan memberikan dana hingga US$10 ribu untuk pengembangan game tersebut. Tak hanya uang, Toge juga akan memberikan akses pada mentor, konsultasi, dan manajemen proyek pada sang developer.

Toge adakan program pendanaan untuk developer Asia Tenggara. | Sumber: Toge Productions

Menariknya, hak atas Intellectual Property (IP) dari game yang dibuat tetap dipegang oleh developer sepenuhnya. Sebagai ganti dari semua yang Toge berikan, mereka hanya meminta Right of First Refusal. Jadi, Toge mendapatkan hak untuk menjadi pihak pertama yang menawarkan diri untuk menjadi publisher dari game yang developer sudah buat, menurut laporan GamesIndustry.

Mantan Developer Call of Duty Buat Studio Game, Deviation Games

Dua mantan developer Call of Duty, Dave Anthony dan Jason Blundell, membuat studio baru, bernama Deviation Games. Studio tersebut diperkenalkan dalam Summer Game Fest Kickoff. Dalam proyek pertama mereka, Deviation Games akan bekerja sama dengan Sony. Walau Deviation tidak memberikan informasi detail tentang game yang akan mereka buat, kemungkinan besar, game pertama mereka akan diluncurkan secara eksklusif untuk PlayStation. Bermarkas di Los Angeles, Amerika Serikat, Deviation memiliki tim yang berisi lebih dari 100 orang, lapor GamesRadar.

Retrograde Arena Buatan Studio Indonesia Diluncurkan untuk Nintendo Switch

Retrogade Arena kini bisa dimainkan di Nintendo Switch secara gratis. Game top-down twin-stick shooter tersebut dibuat oleh developer Indonesia, Freemergency dan dirilis oleh Neon Doctrine. Pada awalnya, game itu diluncurkan di Steam pada tahun lalu, menurut laporan IGN. Dalam game ini, Anda bisa menggunakan berbagai senjata — mulai dari sniper sampai machine gun — untuk mendorong musuh ke tembok dan membunuhnya. Retrogade Arena bisa dimainkan oleh hingga enam orang. Di Twitter, CEO Neon Doctrine, Iain Garner mengatakan bahwa game ini telah diunduh sebanyak 32 ribu kali pada hari peluncuran.

 

CD Projekt Red Akui Data Internal Mereka Telah Disebar Online

CD Projekt Red menjadi korban dari serangan ransomware pada Februari 2021. Minggu lalu, mereka mengaku bahwa data internal mereka yang tercuri telah diunggah ke internet. Mereka percaya, informasi internal yang bocor mencakup data akan pekerja dan mantan karyawan mereka. Selain itu, para hackers juga berhasil mendapatkan source code dari beberapa game CD Projekt Red, termasuk Cyberpunk 2077 dan versi The Witcher 3 yang tidak pernah dirilis. Para hackers juga mengancam, mereka akan membocorkan data CD Projekt Red terkait HR, investor, keuangan, dan lain sebagainya, lapor Engadget.

Selain mengakui bahwa data internal mereka telah bocor, CD Projekt Red juga menjelaskan langkah yang mereka ambil untuk meningkatkan keamanan perusahaan. Mereka menyebutkan, mereka telah mendesain ulang infrastruktur IT mereka dan menggunakan firewall baru yang dilengkapi dengan fitur anti-malware. Mereka juga menggunakan solusi remote-access baru dan membatasi jumlah akun yang bisa mengakses data perusahaan. Mereka menambahkan, mereka kini bekerja sama dengan perusahaan keamanan siber dan badan penegak hukum, termasuk kepolisian Polandia dan badan regulasi data nasional.

Developer Singapura, Cyomo, Kembangkan Game 2D Action RPG

Studio game asal Singapura, Cyomo, tengah mengembangkan game 2D Action RPG berjudul StoryArcana. Dalam game ini, pemain akan menjadi Clay Quilt, remaja yang masuk ke sekolah sihir berkat program pertukaran pelajar. Pada Senin sampai Jumat, Quilt akan fokus untuk belajar magic spell baru dari para pengajar di Azufelt, Academy of the Arcane. Dan pada akhir pekan, dia akan bisa mengunjungi Noxrose City untuk bertemu dengan orang-orang yang tinggal di sana. Di kota tersebut, para pemain bisa menyelesaikan berbagai quest yang ada untuk mendapatkan komponen sihir dan tongkat serta uang untuk membeli magic item baru, seperti sapu terbang.

Proses pembuatan StoryArcana dimulai pada awal 2019. Ketika itu, Rory Mitchell merupakan satu-satunya developer. Dalam waktu satu tahun, dia berhasil mengumpulkan tim kecil untuk mengembangkan game tersebut. Mereka berhasil membuat demo gratis yang akan diluncurkan pada Steam Next Fest yang digelar pada 16 Juni 2021, seperti yang disebutkan oleh IGN.

Accenture Report: 84% Gamers Jadikan Game Sebagai Alat Bersosialisasi

Gamers sering dianggap sebagai penyendiri. Bagi sebagian gamers, asumsi itu  memang benar. Namun, sekarang, game tidak hanya menjadi media hiburan. Game juga bisa menjadi alat komunikasi, jembatan yang menghubungkan para gamers dengan satu sama lain. Lockdown yang ditetapkan pada tahun lalu juga memperkuat tren tersebut.

Pertumbuhan Industri Game

Pemasukan industri game mencapai US$200 miliar, menurut data Accenture. Sementara jumlah pemain game di dunia diperkirakan mencapai 2,7 miliar orang. Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang menjadi tiga negara dengan industri game terbesar. Tiongkok memiliki 929 juta gamers. Sementara besar nilai industri game di negara tersebut mencapai US$51 miliar. Di AS, ada 219 juta gamers. Industri gaming di AS bernilai US$48 miliar.

Dari segi populasi, Jepang memang tidak sebesar Tiongkok ataupun Amerika Serikat — negara dengan populasi terbesar pertama dan ketiga di dunia. Namun, industri game di Jepang juga cukup besar. Dengan total gamers mencapai 75 juta orang, industri game di Jepang memiliki pemasukan sebesar US$24 miliar. Selain Tiongkok, AS, dan Jepang, masih ada 17 negara lain yang industri game-nya memiliki nilai lebih dari US$1 miliar. Beberapa negara tersebut antara lain Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Prancis, dan Spanyol.

Pembagian gamers berdasarkan gender. | Sumber: Accenture

Selama ini, banyak orang percaya, tidak banyak perempuan yang bermain game. Asumsi ini salah. Data dari Accenture menunjukkan, 46% gamers merupakan perempuan, 52% laki-laki, dan 2% sisanya masuk dalam kategori non-binary atau tidak mau menyebutkan gendernya. Dari segi pengalaman bermain game, Accenture membagi empat ribu respondennya ke dalam dua kategori, yaitu gamers dengan pengalaman bermain lebih dari lima tahun dan gamers yang baru bermain satu sampai empat tahun belakangan.

Menariknya, gamers baru punya karakteristik yang berbeda dengan gamers lama. Dari segi umur, gamers baru lebih muda dari gamers yang lebih berpengalaman. Umur rata-rata gamers baru adalah 32 tahun, dan umur rata-rata gamers lama adalah 35 tahun. Sebanyak 30% gamers baru berumur di bawah 25 tahun. Dari kelompok gamers lama, hanya 25% orang yang berumur di bawah 25 tahun. Selain itu, kebanyakan gamers baru merupakan perempuan. Sebanyak 60% dari total gamers baru merupakan perempuan. Di kalangan gamers yang telah lebih lama bermain, jumlah gamers perempuan hanya mencapai 39%.

Industri yang Terkena Dampak tak Langsung dari Industri Game

Industri game tumbuh begitu besar sehingga ia juga memunculkan berbagai industri baru, termasuk esports. Secara total, industri-industri baru yang muncul berkat pesatnya pertumbuhan industri game bernilai US$100 miliar. Berikut daftar dari industri-industri yang tumbuh berkat industri game:

Esports, bernilai US$1,3 miliar
– Aksesori gaming untuk PC, bernilai US$12 miliar
– Hardware PC gaming, bernilai US$39,3 miliar
– Perangkat mobile, bernilai US$39,7 miliar
– Konten gaming, bernilai US$9,3 miliar

Besar industri yang terpengaruh dari industri game. | Sumber: Accenture

Tak melulu soal uang, game juga mempengaruhi dunia hiburan dan budaya di dunia. Misalnya, dalam industri perfilman, cukup banyak film yang dibuat berdasarkan pada game, mulai dari Angry Birds sampai War of Warcraft — walau harus diakui, banyak film adaptasi game yang justru menuai kritik dan bukannya pujian. Selain industri film, game juga punya dampak pada industri mainan dan menumbuhkan industri esports. Sementara itu, inovasi dalam industri game juga bisa digunakan di industri lain, mulai dari edukasi, kesehatan, sampai militer. Faktanya, edukasi merupakan salah satu kategori dengan pertumbuhan paling cepat di Roblox.

Konsep gamifikasi juga banyak digunakan oleh orang-orang di luar industri game. Misalnya, dengan menerapkan sistem poin atau ranking. Sebaliknya, saat ini, game juga tidak hanya digunakan sebagai media hiburan, tapi juga sebagai temapt untuk berkumpul dan bersosialisasi. Buktinya, konser virtual Travis Scott di Fortnite “dihadiri” oleh 12 juta pemain game battle royale itu. Selama lockdown akibat pandemi, orang-orang juga menggunakan game untuk mengadakan perayaan dari momen penting, seperti ulang tahun dan pernikahan.

Fitur Sosial Mendorong Pertumbuhan Industri Game

Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri game adalah keberadaan perangkat mobile. Jika dibandingkan dengan harga PC gaming atau konsol, harga smartphone relatif lebih murah. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan dengan gratis. Hal ini memungkinkan lebih banyak orang untuk bermain game. Menariknya, kemunculan mobile game tidak menganibal pasar game konsol dan PC, dan justru mendorong para kreator game untuk fokus pada fitur sosial dari sebuah game. Jadi, jangan heran jika semakin banyak gamers yang menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial.

Menurut data dari Accenture, 84% gamers mengatakan, bermain game merupakan cara mereka untuk bersosialisasi dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan mereka. Tak hanya itu, juga banyak gamers yang menjadi game sebagai alat untuk mencari teman-teman baru. Tren ini diperkuat oleh pandemi COVID-19. Sebanyak 75% gamers mengaku, interaksi sosial mereka terjadi dalam game atau platform terkait game, seperti Discord.

Pentingnya fitur sosial dalam game. | Sumber: Accenture

Bagi gamers, dunia game memiliki peran penting dalam kehidupan sosial mereka. Menurut data dari Accenture, gamers menghabiskan sekitar 16 jam per minggu untuk bermain game. Tak hanya itu, mereka juga berinteraksi dengan komunitas game, baik melalui forum game maupun dengan menonton konten game. Rata-rata, gamers menghabiskan waktu 8 jam dalam seminggu untuk menonton konten game dan 6 jam per minggu untuk aktif dalam komunitas dan forum game.

Sayangnya, komunitas game terkadang toxic. Jadi, penting bagi gamers untuk menemukan komunitas yang sesuai. sebanyak 84% responden survei Accenture mengatakan, bermain bersama teman yang cocok sangat penting dalam bermain game online. Sementara 76% responden menyebutkan, dalam satu tahun terakhir, mereka menjadi sering bermain game online. Dan 74% mengaku, mereka menjadi semakin sering bersosialisasi melalui game karena pandemi COVID-19.

Menemukan teman yang cocok saat bermain game itu penting. | Sumber: Accenture

Data di atas menunjukkan bahwa fitur sosial dalam game menjadi semakin penting di mata para gamers. Hal itu berarti, sekedar membuat game menarik dari franchise populer tak lagi cukup. Para kreator game juga harus fokus untuk memberikan pengalaman bermain yang menyenangkan para gamers.