Fitur-Fitur Esensial yang Absen dari Google Stadia di Hari Peluncurannya

Dijadwalkan untuk meluncur di tanggal 19 November, Google Stadia memulai sebuah babak baru di ranah penyajian konten hiburan. Seperti Steam atau PlayStation, Stadia disiapkan sebagai platform gaming, namun pengoperasiannya dilandaskan pada sistem cloud sehingga pengguna dapat mengakses permainan dari mana saja (walaupun di waktu peluncurannya, Stadia baru mendukung Google Pixel).

Demi meramaikan momen debut Stadia, Google menyiapkan 12 permainan yang bisa segera dinikmati. Sejumlah judul besar ada di sana, dari mulai Assassin’s Creed Odyssey, Red Dead Redemption 2 yang baru saja keluar di PC, edisi lengkap Destiny 2, Mortal Kombat 11, hingga trilogi remake Tomb Raider. Meski begitu, jangan terlalu berharap Stadia akan ditunjang oleh fitur secara lengkap.

Berdasarkan sesi Ask Me Anything di Reddit yang dipandu oleh product director Andrey Doronichev serta product manager Beri Lee, Stadia kehilangan sejumlah fitur esensial di hari pelepasannya – beberapa baru akan hadir menyusul di tahun depan. Satu contoh kecilnya ialah Achievement. Sistem Stadia akan merekam segala pencapaian Anda di permainan, tetapi UI yang bertugas untuk memberitahu bahwa Anda telah mendapatkannya belum diimplementasikan.

Kemudian, Family Sharing juga belum ada, sehingga satu akun belum dapat digunakan bersama-sama oleh anggota keluarga. Doronichev bilang, Family Sharing merupakan fitur ‘prioritas tinggi’, namun baru tersedia tahun. Itu artinya, jika ingin ber-gaming di Stadia bersama pasangan atau buah hati, Anda perlu membeli permainan dua kali. Kabar baiknya, orang tua tetap bisa mengelola apa yang dapat dikonsumsi si kecil lewat Family Link.

Fitur lain yang absen adalah Buddy Pass. Buddy Pass mempersilakan para pelanggan Stadia Founder’s Edition untuk memilih seorang teman buat turut menikmati layanan itu. Paket Founder’s Edition dibanderol di harga yang cukup mahal: US$ 130; bundelnya berisi controller Stadia edisi terbatas berwarna biru, perangkat Chromecast Ultra, kenggotaan Stadia Pro selama tiga bulan, serta Buddy Pass.

Selanjutnya, kita juga belum bisa menggunakan Stream Connect di tanggal 19 November nanti. Itu artinya, untuk sementara tidak ada mode multiplayer asimetris serta kooperatif. Rencananya akan ada satu permainan yang mendukung Stream Connect sebelum tahun 2019 berakhir. Belum ada pula State Share dan Crowd Play yang mempersilakan streamer YouTube membagikan file save-nya dan membiarkan pemirsa buat masuk ke game.

Jawaban-jawaban Andrey Doronichev dan Beri Lee di AMA mengisyaratkan bagaimana Stadia belum betul-betul siap untuk lepas landas dan peluncurannya terasa diburu-buru. Saya tidak bilang layanan ini tak akan bekerja optimal di hari H besok, tapi ada banyak sekali fitur esensial yang absen di platform yang seharusnya menjadi standar baru penyajian video game.

Via PCGamer & DigitalTrends.

Ada Indikasi Valve Tengah Mengembangkan Layanan Cloud Gaming Steam

Meski pada dasarnya masing-masing platform game streaming mengusung penyajian hampir serupa, mereka punya konsep serta premis berbeda. Stadia mencoba memberi solusi cloud gaming menyeluruh, ditopang oleh studio game first-party Google, sedangkan Microsoft xCloud dirancang sebagai pelengkap layanan Xbox – didukung oleh tidak kurang dari 54 data center Azure yang tersebar di seluruh dunia.

Berkecimpungnya dua raksasa teknologi itu di segmen gaming on demand menunjukkan pada kita ke arah sanalah industri ini bergerak. Namun dapatkah Anda bayangkan ketatnya persaingan yang nanti terjadi jika pemilik platform distribusi digital terbesar di dunia turut berpartisipasi di ranah ini? Kabarnya, ada indikasi Valve tengah mengembangkan layanan cloud gaming khusus untuk Steam. Bisa menikmati permainan Steam tanpa perlu PC berspesifikasi tinggi? Sangat menarik!

Steam Database – tool third-party yang secara aktif menganalisis segala macam update dan perubahan di Steam – mendeteksi kode baru di situs Steam yang isinya meminta para mitra setuju dengan ‘Steam Cloud Gaming Addendum’. Kode ini bisa Anda lihat sendiri di GitHub SteamDB (atau via tampilan JavaScript website Steam, lalu cari keywordSteam Cloud Gaming Addendum‘). Penemuan ini diumumkan oleh Steam Database via akun Twitter resmi mereka.

Saat ini, kita hanya memperoleh nama: Steam Cloud Gaming. Selain tim  developer, tak ada yang tahu detail teknisnya, bagaimana Valve akan menyuguhkannya, apakah fitur cloud berlaku untuk seluruh permainan di Steam dan kapan mereka berencana meluncurkannya. Tapi ada satu hal yang pasti. Untuk mengoperasikan layanan gaming on demand, Valve perlu memperbarui perjanjian distribusi konten dengan pihak pengembang.

Valve sendiri cukup familier dengan penyediaan teknologi streaming. Mereka menggarap Remote Play yang memperkenankan kita bermain game di PC non-gaming, lalu terdapat pula Steam Link buat menikmati permainan video via smartphone ataupun tablet Android (penyuguhannya diperluas oleh Steam Link Anywhere). Dan berbekal metode stream, Valve belum lama ini meluncurkan Remote Play Together yang mempersilakan Anda dan kawan mengakses mode multiplayer lokal secara online.

Bagi Anda yang kurang akrab dengan cloud gaming atau gaming on demand: layanan ini memungkinkan kita menikmati permainan video kapan pun dan di mana pun cukup berbekal perangkat dengan sambungan internet. Semua proses pengolahan data dan grafis di lakukan di sisi server, kemudian kontennya di-stream langsung ke device Anda. Lewat metode ini, cloud gaming tidak membebani hardware, tetapi biasanya menuntut koneksi internet yang cepat dan stabil.

Via The Verge.

Google Akan Berikan Kesempatan Bagi Anda Untuk Menjajal Stadia

Suka tak suka, bertambah canggihnya teknologi game berdampak pada meningkatnya kebutuhan hardware pendukung. Dan demi mendapatkan konten berkualitas terbaik, perangkat gaming memang disarankan untuk selalu up-to-date. Namun kita tahu, tak semua orang mampu meng-upgrade sistemnya tiap tahun. Itu mengapa konsep cloud yang ditawarkan oleh layanan-layanan seperti Stadia dan xCloud terdengar atraktif.

Tapi terlepas dari segala janji dan premis unik dari platform gaming on-demand, banyak orang masih ragu-ragu terhadap efektivitas layanan dalam menyajikan permainan. Saat ini, pertanyaan terbesar yang ada di benak mayoritas calon konsumen adalah, apakah internet pas-pasan di rumah mampu menjalankan Stadia dengan lancar? Bahkan ketika Stadia dipamerkan di GDC 2019 saja pengunjung masih merasakan lag.

Ada kabar baik jika Anda tengah mempertimbangkan untuk jadi pelanggan Stadia. Saat nanti layanan cloud gaming itu meluncur, kita diperkenankan buat menjajalnya terlebih dulu. Hal tersebut diungkapkan oleh head of product Stadia John Justice dalam wawancara bertajuk StadiaCast. Sesi uji coba akan diterapkan baik pada layanan dasar dan juga pada permainan-permainan di sana secara individual.

Dari keterangan Justice, fitur trial akan hadir menyusul, setelah Stadia resmi dirilis. Tim belum bisa memberikan waktu pasti ketersediaannya karena saat ini mereka fokus pada persiapan peluncuran, dan mungkin akan tiba beberapa bulan lagi. Ada deretan panjang hal-hal yang mesti mereka kerjakan, tapi jangan cemas, membubuhkan trial merupakan salah satu prioritas developer.

Stadia 3

Fitur uji coba akan ditawarkan bagi kedua jenis paket Stadia, yaitu standar maupun Pro. Google tidak memungut biaya untuk layanan dasar. Selama memiliki game-nya, Anda bisa menikmati konten via metode stream di resolusi 1080p 60FPS. Pro sendiri dibanderol US$ 10 per bulan, memungkinkan Anda bermain di 4K serta didukung oleh audio surround 5.1. Selain itu pelanggan Pro juga akan memperoleh berbagai promo menarik dan akses ke judul-judul premium secara gratis.

Menurut Justice, memberikan kesempatan bagi calon konsumen untuk mencoba sangat penting karena mereka ingin agar ada banyak orang mencicipi Stadia dan menemukan hal-hal baru di sana.

Stadia rencananya akan melakukan debutnya di tanggal 19 November lewat Founder’s Pack, berisi bundel controller, keanggotan Pro selama tiga bulan dan kesempatan untuk mengajak seorang teman buat turut menikmati Stadia Pro. Paket ini dijajakan seharga US$ 130, di pasarkan di beberapa negara. Setelah itu, Google akan memperluas jangkauan Stadia di tahun 2020.

Via PC Gamer.

Bos Xbox: Cloud Gaming Tak Bisa Dihindari, Tapi Belum Dapat Menggantikan Console

Secara teori, metode streaming yang diusung cloud gaming memungkinkan orang menikmati permainan kapan pun menggunakan perangkat apapun yang bisa mengakses internet. Inilah penawaran utama layanan-layanan seperti Google Stadia dan Shadow, hingga platform-platform lokal semisal Skyegrid dan gameQoo. Terkait hal ini, seorang petinggi Microsoft mengungkap pandangan menarik.

Sudah cukup lama Microsoft mengumbar agenda penggarapan xCloud. Waktu itu, eksistensinya membuat orang bertanya-tanya apakah xCloud akan jadi bagian dari ekosistem Xbox atau disajikan terpisah. Lewat Xbox Wire di bulan Mei kemarin, Microsoft menyingkap secara lebih rinci bagaimana mereka akan menyajikan xCloud – termasuk kesiapannya menyajikan seluruh game Xbox di tiap generasi.

Berbicara pada GameSpot, bos Xbox Phil Spencer mengakui bagaimana industri gaming bergerak ke solusi cloud dan hal tersebut tidak terelakkan. Namun transisi ke arah itu pada dasarnya dipengaruhi oleh gamer, dan Spencer menekankan bahwa hardware khusus gaming kemungkinan tetap masih dibutuhkan di masa depan. Buat sekarang saja, ada begitu banyak perangkat komputasi, dari mulai smartphone, Surface Hub ataupun Xbox; dan mereka diperlukan untuk menikmati cloud gaming.

Spencer juga mencoba mengklarifikasi satu hal: terlepas dari pengembangan xCloud, Microsoft tidak punya niatan untuk menyediakan console/set-top box khusus streaming. Yang mereka lakukan adalah menggarap home console baru ‘secara tradisional’. Dengan menyiapkan dua solusi berbeda itu, konsumen dipersilakan memilih, apakah mereka ingin mengakses game secara streaming via smartphone atau secara lokal/langsung di console.

Arahan gaming on demand sebetulnya merupakan kelanjutan dari strategi baru Microsoft. Sejak beberapa tahun lalu, perusahaan memutuskan agar game Xbox juga bisa dimainkan dari PC ber-Windows 10. Eksklusivitas tampaknya tak lagi jadi prioritas. Spencer menjelaskan bagaimana timnya berupaya buat menghadirkan game di perangkat apapun yang Anda pilih, baik itu PC, Xbox bahkan termasuk produk kompetitor seperti PlayStation.

Sang bos Xbox juga memaparkan singkat kekurangan dan kelebihan dari solusi game stream. Karena mengandalkan koneksi internet, kita tidak mungkin mendapatkan konten 8K 120Hz, namun kualitas xCloud tetap nyaman dan memuaskan. Lalu bahkan jika layanan gaming on demand nantinya dibekali fitur-fitur semisal multiplayer coop dan voice chat, pengalamannya sudah pasti berbeda dari seperti ketika Anda duduk di atas sofa di depan TV.

Tentu saja Phil Spencer sangat percaya diri pada apa yang xCloud bisa sajikan. Layanan ini ditopang oleh data center Azure yang tersebar secara global. Kondisi ini memastikan Microsoft dapat lebih mudah menjangkau konsumen serta mempercepat proses pematangannya.

Akui Signifikansi Cloud Gaming, Nintendo Janji Tak Akan Tertinggal

Kesederhanaan sering kali menjadi inti dari sebuah terobosan. Lihat saja kehadiran home console yang membuat video game tak lagi cuma bisa diakses dari arena arcade. Inovasi sekelas inilah yang orang harapkan dari merakyatnya layanan cloud gaming: bayangkan jika Anda bisa menikmati konten digital kapan saja dan di mana saja tanpa harus memiliki perangkat khusus gaming.

Anda mungkin telah mendengar atau memahami konsep game streaming. Kini hal paling menarik adalah melihat respons pemain ‘tradisional’ di industri game terhadap naik daunnya tren ini, apalagi setelah raksasa seperti Google dan Microsoft mengonfirmasi keikutsertaan mereka. Microsoft sudah siap dari sisi infrastruktur, dan Sony diketahui setuju untuk berkolaborasi dengan rival lamanya itu demi menyongsong era gaming on demand. Lalu bagaimana dengan Nintendo?

Dalam pertemuan tahunan bersama pemegang saham, para eksekutif Nintendo ditanya pendapat mereka soal cloud gaming. Sejauh ini, Nintendo merupakan perusahaan hiburan yang terus berpegang pada pendekatan konservatif dalam menyajikan produk. Bahkan penyediaan platform distribusi eShop saja boleh dikatakan cukup terlambat dibanding kompetitor, baru meluncur pada tahun 2011 untuk 3DS.

Terkait game streaming, Nintendo mengakui bahwa metode ini akan menjadi bagian dari masa depan dan mereka tidak boleh tertinggal. Presiden Shuntaro Furukawa menyampaikan bahwa meski tak semua game akan dihidangkan via cloud dalam waktu dekat, teknologi ini akan bertambah canggih. Pelan-pelan, ia terus berkembang menjadi solusi andal buat mendistribusikan permainan ke konsumen.

Nintendo sendiri merasa optimis mengenai kesiapan mereka menyongsongnya, seandainya cloud gaming menjangkau populasi gamer global. Menurut Furukawa, keadaan tersebut malah memberikan mereka kesempatan untuk memperdalam integrasi antara pengembangan lini software dan hardware, kemudian menyuguhkannya lewat ‘cara-cara unik khas Nintendo’.

Senior executive officer Ko Shiota menjelaskan lebih jauh bagaimana konektivitas 5G dapat mempercepat proses pengembangan game streaming. Nintendo telah mulai mengeksplorasinya, namun perusahaan tak mau hanya sekadar mengejar tren. Nintendo ingin agar teknologi anyar yang mereka usung bisa menghidangkan pengalaman baru serta gameplay revolusioner. Selain itu, produsen harus mempertimbangkan ongkos. Sulit bagi mereka buat mengimplementasikan teknologi mutakhir jika modalnya terlalu mahal.

Shigeru Miyamoto selaku representative director mengomparasi layanan game stream dengan virtual reality. Ia mencoba mengingatkan kita bahwa Nintendo merupakan salah satu pionir di VR dan sudah lama melakukan berbagai eksperimen – misalnya lewat Virtual Boy. Tapi karena Nintendo tak pernah memublikasikan pencapaian tersebut hingga teknologi dirilis dalam bentuk produk (berupa Labo Toy-Con 04: VR Kit), banyak orang mengira mereka tertinggal.

Kini, kita hanya tinggal menunggu terobosan apa yang ditawarkan Nintendo di ranah cloud gaming

Via The Verge.

Layanan Baru Meluncur di Bulan November, Controller Google Stadia Sudah Mulai Dijual

Meski ada sejumlah hal yang harus dimatangkan, premis layanan cloud gaming seperti Google Stadia memang terdengar mengagumkan di telinga kita: siapa yang tidak mau bisa bermain game di mana dan kapan saja tanpa dibatasi perangkat? Platform game stream ini dijadwalkan untuk meluncur pada bulan November 2019, tapi kita sudah dipersilakan buat siap-siap menyambutnya.

Saat ini sang raksasa internet telah memperkenankan kita memesan bundel Founder’s Edition Stadia di Google Store. Paket ini terdiri dari akses ke keanggotaan Stadia Pro, badge Founder’s serta Buddy Pass yang memberikan Anda kesempatan untuk mengajak seorang teman buat menikmati konten-konten Pro. Dan demi mendukungnya, minggu ini Google juga mulai menawarkan unit controller Stadia secara terpisah.

Controller Google Stadia 1

Controller Stadia belum bisa dikatakan revolusioner dilihat dari sisi desain. Bagi saya, Google malah mencoba mengambil bagian terbaik dari periferal-periferal yang sudah Anda. Bentuknya sedikit berisi seperti gamepad Xbox namun dengan penempatan tombol dan thumb stick simetris ala DualShock 4. Anda dapat memilih controller berwarna putih, hitam dan ‘wasabi’.

Perangkat tersambung via Wi-Fi dan kita dapat memanfaatkan fungsi cross-screen untuk berpindah secara ringkas dari TV plus Chromecast ke PC dan smartphone. Tersedia pula tombol khusus buat mengaktifkan fungsi Google Assistant, memungkinkan Anda memasukan input suara via microphone terintegrasi. Di sana juga ada port headset 3,5mm dan sebuah tombol capture sebagai cara mudah menyimpan video dan screenshot.

Controller Google Stadia 3

Perlu diketahui bahwa Anda tidak bisa segera mengakses Stadia begitu membeli controller-nya. Penawaran ini hanya ditujukan untuk mereka yang dipilih temannya buat mendapatkan Buddy Pass. Jika belum punya teman yang rela memberikan Buddy Pass, maka Anda perlu membeli Founder’s Edition seharga US$ 130 – berisi akses ke Stadia Pro selama tiga bulan.

Ketika periode tiga bulan berlalu, Stadia Pro dijajakan dengan biaya berlangganan sebesar US$ 10 per bulan. Melaluinya, Anda dihidangkan koleksi permainan yang terus bertambah. Judul-judul pertama Stadia Pro yang segera dapat dinikmati meliputi Destiny 2, The Division 2 dan Ghost Recon Breakpoint. Anda juga disuguhkan opsi resolusi 4k di 60fps dan suara 5.1.

Controller Google Stadia 2

Jika Anda tidak mau menggunakan opsi Pro, versi dasar dari Google Stadia sendiri disajikan gratis dan secara dasar pengoperasiannya mirip seperti memiliki console atau PC: Anda harus membeli game terlebih dulu agar bisa memainkannya. Kualitas konten versi basic juga sama sekali tidak buruk. Permainan dijalankan di resolusi full-HD 60-frame per detik.

Controller Google Stadia bisa Anda miliki dengan mengeluarkan uang sebesar US$ 70.

Via TechRadar.

Microsoft xCloud Siap Hidangkan Seluruh Game Xbox, Baik Judul Lawas Hingga yang Akan Tiba

Menimbang dari angka penjualan dan jangkauan layanan, PlayStation 4 terlihat jauh mengungguli Xbox One. Namun keadaan mungkin berubah di era berikutnya, terutama setelah para raksasa teknologi mulai berkonsentrasi menyiapkan infrastruktur cloud gaming. Begitu besar potensi ranah bisnis baru itu, Sony memutuskan untuk menggandeng Microsoft demi memperoleh akses ke teknologi Azure.

Dari sisi prasarana dan teknologi cloud, Microsoft memang berada jauh di depan Sony. Tak lama setelah mengonfirmasi keberadaan Project Scarlett, perusahaan asal Redmond itu mengumumkan pengembangan teknologi game streaming Project xCloud. Sebagaimana platform on demand lain, xCloud menjanjikan akses mudah ke permainan tanpa dibatasi hardware. Namun waktu itu kita belum tahu apakah teknologi ini akan diintegrasikan ke layanan Xbox atau disajikan secara mandiri.

Namun gerak-gerik Microsoft memang mengindikasikan bahwa xCloud akan jadi bagian dari platform Xbox next-gen. Dan lewat posting di laman Xbox Wire, Microsoft mengungkapkan bagaimana xCloud siap menghidangkan seluruh permainan di keluarga Xbox, termasuk varian lawas serta game Xbox One yang akan tiba. Itu berarti, Anda disuguhkan dukungan permainan yang ada di tiga generasi console berbeda.

xCloud

Project xCloud diklaim mampu menghidangkan lebih dari 3.500 judul permainan via metode stream, ditopang oleh datacenter Azure yang tersebar di 13 titik di dunia. Di tahan awal penyediaannya, xCloud akan difokuskan di wilayah Amerika Utara, dan sebagian Eropa serta Asia. Beberapa nama gaming terkenal sudah mulai berpartisipasi, misalnya Capcom dan Paradox Interactive. Mereka dipersilakan menguji kreasi-kreasi digitalnya langsung di platform xCloud tanpa porting.

Baik di permainan video baru maupun lama, developer dibebaskan buat menyesuaikan dan men-scalling game ke perangkat lain, tanpa harus membutuhkan proses pengembangan tambahan atau update terpisah. Misalnya ketika sebuah studio mengimplementasikan pembaruan/patch di game, update tersebut juga segera diterapkan ke seluruh versi yang ada.

Saat ini kabarnya ada lebih dari 1.900 permainan yang tengah dikembangkan untuk Xbox One, dan semuanya dapat dinikmati via Project xCloud. Yang perlu developer lakukan hanyalah menggarap game secara normal dan menggunakan perkakas pilihan mereka; dan selanjutnya, Microsoft akan bekerja demi memastikan konten tersebut bisa dinikmati oleh lebih banyak pemain.

“Project xCloud ialah sebuah perjalanan menarik yang kita semua bisa ikuti,” tutur Kareem Choudhry selaku corporate vice president gaming cloud Microsoft. “Kami tak sabar untuk mengundang komunitas buat memberikan masukan, membantu pembangunan xCloud, serta berpartisipasi dalam proses pengerjaannya yang terbuka dan transparan. Tunggu kabar selanjutnya dari kami…”

Konsumen Habiskan $ 387 Juta Demi Menikmati Cloud Gaming di Tahun 2018

Seberapa pun revolusionernya premis cloud gaming, banyak orang masih belum yakin layanan ini akan benar-benar menggantikan platform permainan video konvensional. Keraguan itu tentu punya alasan jelas. Streaming game pada dasarnya membutuhkan dukungan internet yang cepat dan stabil. Lalu hingga saat ini, jasa gaming on demand (termasuk buatan para raksasa hiburan) juga baru bisa diakses secara terbatas.

Kepercayaan terhadap cloud gaming berpeluang meningkat begitu layanan Google, Microsoft dan Amazon tersedia global nanti. Untuk sekarang, sebagian besar pemain menyediakan jasa on demand secara domestik, termasuk milik developer-developer lokal seperti gameQoo dan Skyegrid. Namun satu hal menggembirakan yang kita tak sadari ialah, platform game streaming ternyata berhasil menciptakan keuntungan cukup besar di tahun lalu.

Minggu ini, IHS Markit menyingkap hasil studi mereka terhadap industri cloud gaming di 2018. Tahun lalu, konsumen mengeluarkan jumlah uang yang tidak sedikit demi mengakses konten-konten on demand, yakni sebesar US$ 387 juta. Angka tersebut diprediksi meningkat berkali-kali lipat dalam lima tahun ke depan, berpotensi menyentuh US$ 2,5 miliar di tahun 2023.

IHS Markit Cloud Gaming 2018

IHS Markit menjelaskan bahwa pengumuman serta pengambil alihan strategis yang dilakukan oleh raksasa-raksasa teknologi seperti Microsoft, Amazon, Google serta Tencent mengindikasikan bagaimana cloud akan jadi medium persaingan berikutnya. Sebelumnya, cloud gaming sempat memberi dampak bagi sektor gaming high-end, tapi baru di masa-masa ini ia akan mendisrupsi industri secara masif.

Tim analis menilai, kondisi ini akan menguntungkan nama-nama yang memiliki akses ke infrastruktur cloud serta perusahaan yang mampu menyuguhkan layanan secara efisien. Begitu besar potensi ranah ini dan efeknya pada industri hiburan, Sony terdorong untuk menggandeng Microsoft demi memperoleh akses ke teknologi cloud Azure. Sementara itu, pemilik platform game stream yang ada sekarang berupaya terus memperluas strategi, kemudian para publisher permainan juga mulai berani menantang pemegang platform tradisional.

IHS Markit mencatat ada 16 platform cloud gaming di PC yang aktif beroperasi di level global hingga akhir 2018 dan Sony PlayStation Now merupakan pemimpin pasar dengan mengusai 36 persen. Menariknya, selama ini Sony terlihat menahan diri dan baru mulai bermanuver agresif dalam waktu 12 bulan ke belakang. Koleksi konten eksklusif masih menjadi senjata andalan mereka.

Dilihat dari perspektif wilayah, gamer Jepang ternyata yang mengeluarkan uang paling banyak demi menikmati game secara on demand di tahun 2018, yaitu sebesar US$ 178 juta. Di posisi kedua adalah konsumen di Amerika, mayoritas didorong oleh ketersediaan PlayStation Now. Lalu di tempat ketiga ada Perancis yang menjadi tempat inkubasi subur startup-startup cloud gaming.

Analisis terhadap status dan dampak cloud gaming bagi industri dapat Anda simak di sini.

Sony Gandeng Microsoft Demi Menyongsong Era Cloud Gaming

Masa-masa transisi ke console next-gen akan sangat menarik karena para pemain lama di ranah ini, terutama Sony dan Microsoft, mendapatkan kompetisi yang tak terduga. Google resmi menyingkap layanan on demand Stadia di GDC 2019, dan sejak awal tahun ini, ada laporan yang menyatakan bahwa e-commerce raksasa Amazon juga tengah mengembangkan platform cloud gaming-nya sendiri.

Sistem cloud sudah lama menjadi bagian dari layanan PlayStation maupun Xbox, namun Sony dan Microsoft mengambil arahan berbeda dalam menyajikannya. Kita tahu, rivalitas antar kedua perusahaan telah berlangsung selama hampir dua dekade, tapi ada sesuatu yang berubah di era naik daunnya gagasan cloud gaming. Minggu lalu, secara mendadak Sony dan Microsoft mengumumkan kerja sama demi mengembangkan dan menyajikan layanan game streaming.

Melalui kemitraan strategis ini, Sony Interactive Entertainment mendapatkan akses ke teknologi cloud Microsoft Azure. Langkah tersebut boleh jadi diambil setelah Sony bersusah payah menggarap sistem game stream-nya selama tujuh tahun. Meski sudah tersedia, minat gamer untuk menggunakan PlayStation Now tidak begitu besar, lalu jangkauannya juga cukup terbatas – hanya tersedia di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa.

Yang mengejutkan lagi ialah, berdasarkan laporan sejumlah informan, negosiasi antar kedua perusahaan telah dilakukan sejak tahun lalu dan ditangani langsung oleh petinggi Sony di Tokyo tanpa sepengetahuan divisi PlayStation (Sony Interactive Entertainment). Akibatnya, unit gaming mereka juga kaget mendengar berita ini. Kabarnya, para manager harus turun tangan buat menenangkan stafnya dan meyakinkan mereka bahwa rencana pengembangan console next-gen tidak terpengaruh.

Sedikit penjelasan bagi Anda yang masih awam terhadap konsep cloud gaming (disebut juga layanan game streaming atau on demand): cloud gaming memungkinkan kita menikmati permainan video dari perangkat apapun (misalnya smartphone atau PC low-end) yang memiliki akses internet memadai. Seluruh proses pengolahan data dilakukan di sisi server, maka dari itu platform ini tidak menuntut spesifikasi hardware tinggi.

Satu hal yang menjadi rintangan terbesar bagi platform game streaming ialah aspek dukungan infrastruktur internet. Idealnya, permainan harus berjalan lancar di setting grafis ‘memuaskan’ (resolusi 1080p dan 60fps adalah standar paling rendah) serta mampu merespons input layaknya dimainkan dari console atau PC. Rangkuman lengkap dari status cloud gaming saat ini bisa Anda simak di sini.

Memang perlu waktu cukup lama bagi layanan game stream untuk benar-benar matang, namun melihat kondisi sekarang, ke sanalah tren gaming bergerak. Dari perspektif kesiapan dalam menyongsongnya, Sony sejujurnya terlihat tertinggal. Microsoft sendiri berada di posisi yang cukup aman mengingat mereka ialah penyedia layanan cloud terbesar kedua di dunia.

Sumber Bloomberg.

Menilik Solusi Cloud Sebagai Platform Gaming Masa Depan dan Menakar Implikasinya Bagi Industri

Impian manusia buat menikmati video game tanpa repot-repot menyiapkan hardware telah ada lebih dari satu dekade silam. Saat membahas konsep ini, nama OnLive mau tak mau akan disebutkan karena ia merupakan pionir penyedia cloud gaming kelas konsumen. OnLive memang sudah berhenti beroperasi, namun ada banyak perusahaan yang mengadopsi model bisnisnya, termasuk produsen console Sony Interactive Entertainment.

Nama PlayStation Now mungkin tak asing lagi di telinga Anda. Dalam membangun layanan cloud khusus gamer console current generation-nya, Sony memanfaatkan aset OnLive serta infrastruktur Gaikai yang mereka ambil alih sebagai pondasinya. Seiring berjalannya waktu, mulai banyak bermunculan pula platform-platform gaming on demand sejenis, termasuk brand-brand yang dikembangkan oleh developer lokal seperti gameQoo (dulu bernama Emago) dan Skyegrid.

Meski begitu, tema cloud gaming baru betul-betul lepas landas dan menjadi perhatian publik ketika sejumlah raksasa teknologi mengonfirmasi rencana untuk turut menggarapnya, yakni Google serta Microsoft (termasuk Amazon, menurut rumor yang beredar). Kedua perusahaan memiliki pengalaman panjang di ranah penyediaan platform gaming dengan arahan yang berbeda: Google sebagai ‘penguasa’ mobile, sedangkan Microsoft sudah lama berbisnis di segmen PC gaming serta Xbox. Google resmi memperkenalkan Stadia di GDC 2019, dan Microsoft berjanji  buat mengungkap xCloud lebih jauh di E3 2019.

Gears of War 4

 

Kondisi saat ini

Sejauh ini, penghalang terbesar bagi adopsi layanan cloud gaming adalah ketersediaan sambungan internet yang memadai. Sebetulnya, kendala itu tidak hanya dirasakan oleh konsumen negara berkembang (seperti Indonesia), tapi juga di negara maju. Sebagai jalan keluarnya, perusahaan biasanya membatasi jangkauan servis. Hingga sekarang, PlayStation Now baru hadir di 19 negara; lalu GeForce Now cuma dapat diakses dari Amerika, Kanada, dan sejumlah kawasan Eropa.

Beberapa platform lain yang lebih kecil – misalnya Shadow – bahkan dikhususkan ke satu wilayah saja (Perancis). Strategi serupa juga dilakukan oleh pengembang platform on demand lokal. Demi menjamin kelancaran penyajian, server telah dilokasikan di Indonesia, lalu developer tak lupa mematok kecepatan internet minimal yang diperlukan agar servis berjalan optimal.

Semuanya memang terdengar menjanjikan, tetapi pada kenyataannya, banyak orang tetap merasa skeptis cloud gaming akan betul-betul menggantikan penyuguhan video game secara konvensional. Saya sempat membaca testimoni PC Gamer dan GameSpot soal tingginya latency Google Stadia di GDC 2019 yang mempengaruhi kenyamanan bermain.

Di sisi lain, beberapa tahun silam saya pernah merasakan langsung mulusnya Nvidia Grid (sekarang dikenal sebagai GeForce Now) via Nvidia Shield: Borderlands 2 dijalankan di sebuah lobby hotel di kota Taipei dengan server yang berada di Jepang. Saya juga menjadi salah satu orang yang cukup beruntung menjajal Rise of the Tomb Raider di Skyegrid beberapa bulan sebelum peluncurannya. Sensasinya luar biasa. Saya membayangkan, mungkin seperti inilah pengalaman blockbuster gaming di masa depan.

Memuluskan koneksi dan memangkas latency sudah pasti jadi perhatian utama penyedia jasa gaming on demand. Tapi saya melihat adanya masalah besar lain: konten. Mayoritas platform cloud gaming di Indonesia belum mempunyai permainan eksklusifnya sendiri. Saat ini mereka baru menyiapkan wadah untuk bermain tanpa perangkat gaming dedicated (walaupun brand seperti Skyegrid punya keinginan buat menjadi publisher game lokal).

Doom Eternal

Sejatinya, Skyegrid merupakan ekspansi dari library game Anda. Memang ada banyak permainan gratis yang dapat segera dimainkan pelanggan (misalnya Dota 2, Apex Legends, Fortnite), namun kita harus tetap memiliki/membeli game-game premium (Resident Evil 2 remake, Grand Theft Auto V, Fallout 4) terlebih dulu agar bisa mengaksesnya via cloud.

Bukan cuma mengandalkan konten dari developer third-party, Skyegrid juga bersandar pada platform distribusi berbeda – contohnya Steam, Origin,  Uplay dan Microsoft Store. Dukungan nama-nama populer ini memang terdengar positif, namun bayangkan apa yang terjadi jika salah satu (atau beberapa) di antara brand tersebut turut meluncurkan jasa on demand-nya sendiri?

Jika hal ini terjadi, tidak ada alasan kuat bagi pengguna untuk meneruskan langganannya.

gameQoo sendiri punya strategi bisnis yang cukup berbeda, dan sejujurnya, lebih simpel dari Skyegrid. Dengan jadi pelanggannya, kita tidak perlu lagi membeli permainan. Semua game di sana merupakan buah dari kolaborasi langsung bersama publisher. Namun kelemahannya bisa segera Anda temui begitu membuka daftar permainan: jumlah judul populernya lebih sedikit dari Skyegrid, dan jarang ada permainan yang betul-betul baru. Dengan begitu, kesempatannya untuk menarik perhatian kalangan mainstream jadi lebih kecil.

Stellaris.

 

Kata para penyedia jasa cloud gaming lokal

Lewat app messaging, CEO gameQoo Izzuddin Al Azzam mengungkapkan bahwa tantangan terbesar yang perusahaannya hadapi dalam menggaet pelanggan bukan disebabkan oleh kendala teknis, tetapi lebih dikarenakan karakteristik konsumen di Indonesia. Hingga sekarang, gameQoo terus berupaya untuk mengubah pola pikir gamer agar tidak lagi membajak permainan. Jika belum mampu membeli secara sah, akan lebih baik bagi mereka buat beralih ke layanan berlangganan.

Dalam kiprahnya, Emago yang terlahir dari program inkubasi Digital Amoeba gagasan Telkom memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari operator seluler tersebut karena munurut  Izzuddin, kunci dari kesuksesan jasa cloud gaming terletak pada kemitraan dan networking. Menurutnya, Telkom merupakan pemegang jaringan komunikasi terluas di Indonesia, dan hal ini dapat memberikan gameQoo keunggulan.

CEO Skyegrid Rolly Edward punya pandangan lain mengenai tantangan utama penetrasi cloud gaming di nusantara. Baginya, edukasi mengenai teknologi cloud harus dilakukan secara bertahap dan memang membutuhkan waktu, apalagi gaming on demand ialah sebuah gagasan baru. Bahkan penyedia jasa kelas global menghadapi kendala serupa. Namun sejauh ini, proses yang developer lalui berjalan cukup baik meski sedikit meleset dari perkiraan sebelumnya.

Rolly menganalogikan cloud gaming dengan ATM. Kira-kira perlu satu dekade bagi nasabah bank untuk terbiasa menggunakan mesin perbankan otomatis buat bertransaksi. Sekali lagi ia berargumen soal pentingnya pengenalan oleh berbagai pihak – baik penyedia maupun media secara bersama-sama – demi mempersingkat waktu adopsinya. Melihat dari perspektif ini, Rolly dan tim Skyegrid sangat antusias menyambut kehadiran Google Stadia, Apple Arcade serta Microsoft xCloud.

Dengan berkecimpungnya nama-nama besar tersebut, pemain lokal tentu saja perlu mengantisipasi kompetisi yang tak bisa dihindari. Skyegrid sudah menyiapkan strategi pemasaran dan langkah-langkah untuk meningkatkan pengalaman penggunaan, termasuk memudahkan transaksi. Satu keunggulan yang dimiliki developer cloud gaming lokal adalah mereka lebih mengenal karakteristik gamer di Indonesia.

Menurut Rolly, setidaknya ada dua aspek yang menjadi pertimbangan utama konsumen di Indonesia: harga terjangkau dan kepuasaan pemakaian. Hal-hal inilah yang jadi fokus bagi tim Skyegrid. Buat sekarang, platform telah mendukung konten-konten Steam dan Origin, dan developer sedang dalam tahap merangkul Epic Games Store dan Uplay. Mereka berharap prosesnya dapat rampung di tahun ini juga.

Sang CEO Skyegrid punya pendapat senada Izzuddin soal pentingnya kolaborasi. Ini yang mendorong mereka untuk bekerja sama dengan Telkom. Skyegrid memiliki agenda buat meluncurkan ‘sesuatu yang baru’ bersama perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu. Rolly pribadi melihat gameQoo sebagai kawan seperjuangan – bukan sekadar kompetitor. Baginya, kedua brand bisa sama-sama berjuang mengedukasi pasar.

Apex Legends.

 

Melihat ke depan

Meningkatnya kompetisi menandai pegerakan ke arah yang tepat dan  gelombang cloud gaming kian terasa di tahun ini. Setelah gameQoo dan Skyegrid, ada peluang besar kita akan menyaksikan kelahiran layanan-layanan on demand lain, boleh jadi mengusung model bisnis berbeda. Dalam bincang-bincang kami, Rolly Edward mengutip sebuah pandangan dari boss Ubisoft: diprediksi hanya akan ada satu generasi console lagi sebelum kita semua beralih ke game streaming.

Skenario ini mengagumkan sekaligus mengerikan. Mengagumkan, karena kemudahan akses ke konten hiburan memungkinkan semua orang jadi gamer tanpa hambatan modal. Mengerikan, karena perubahan masif dari cara orang mengonsumsi konten memaksa perusahaan-perusahaan teknologi merombak strategi bisnis. Dengan merakyatnya gaming on demand, para produsen hardware akan kesulitan untuk menjual produknya secara tradisional.

Revolusi bukanlah hal baru di ranah video game. Di tahun 70- sampai 80-an, permainan-permainan elektronik cuma bisa dinikmati dengan datang ke arena arcade. Namun semuanya berubah ketika console diperkenalkan dan mempersilakan kita bermain di rumah. Beberapa tahun sesudahnya, kehadiran internet dan platform digital juga berdampak pada bisnis distribusi game. Mayoritas gamer di PC telah mengucapkan selamat tinggal pada versi fisik permainan serta merangkul metode digital, dan perusahaan console  mulai mengikuti tren ini.

Beralih ke masa kini, lepas landasnya konsep streaming game ditanggapi pemilik platform dan console maker secara berbeda. Lewat PlayStation Now, Sony memanfaatkan metode cloud berbayar sebagai ekspansi layanan PlayStation. Tapi sejauh yang sudah diketahui, console next-gen mereka terhidang secara tradisional, dititikberatkan pada peningkatan performa dan kualitas konten. Microsoft sendiri telah mengonfirmasi pengembagan Xbox ‘Scarlett’, kemungkinan disajikan dalam beberapa varian, salah satunya dikabarkan berupa set-top box pendukung streaming game.

Forza Horizon 4

Sebagai perusahaan yang terbilang lebih konservatif dibanding Microsoft dan Google, Sony mengakui bagaimana cloud gaming berpeluang mengancam bisnisnya. Namun mereka juga berpendapat masih butuh waktu cukup lama hingga para penyedia menemukan model bisnis ideal dalam menyuguhkan layanan streaming game. Sampai saat itu tiba, memiliki perangkat gaming tradisional ialah cara paling mudah untuk menikmati permainan video.

Di PC, potongan kecil dari teknologi cloud sebetulnya sudah lama dimanfaatkan di platform-platform distribusi semisal Steam, EA Origin dan Uplay. Satu contohnya ialah pemanfaatan sistem cloud save, berperan untuk memastikan progres dan achievement permainan tersimpan aman ‘di awan’, serta dapat dilanjutkan dari mana pun ketika Anda menginginkannya. Menakar dari momentumnya, PC dan perangkat mobile akan jadi ladang paling subur bagi persebaran layanan on-demand.

Sejumlah ahli memprediksi bahwa bisnis gaming on demand akan melesat naik begitu 5G tersedia secara luas. Dan kabar gembiranya, 5G tidak lagi berada di luar genggaman kita. Perangkat-perangkat pendukung konektivitas baru tersebut mulai bermunculan di tahun ini, dan data terbaru Qualcomm mengindikasikan proses adopsi serta penyebaran yang jauh lebih cepat dibanding 4G. Yang membuatnya lebih menarik lagi: Skyegrid akan dilibatkan dalam demonstrasi 5G oleh ‘mitra telekomunikasi dalam negeri’.

Transisi dari platform gaming tradisional ke jasa on demand juga sempat diungkapkan oleh tim analis Jon Peddie Research belum lama ini. Mereka memperkirakan akan ada jutaan gamer PC – khususnya pengguna sistem entry-level hingga kelas menengah dengan hardware seharga US$ 1.000 ke bawah – beralih menjadi penikmat ‘TV gaming‘. Uniknya, mereka tak hanya hijrah jadi pemain console – sebagian diprediksi memilih buat berlangganan layanan streaming game.

Resident Evil 2

 

Penutup

Suka tidak suka, cloud gaming akan tiba dan kehadirannya dipastikan akan mereformasi cara kita mengonsumsi konten hiburan serta bagaimana publisher/developer mendistribusikannya. Di perspektif pengguna, beragam kemudahan ditawarkan olehnya: selama berlangganan layanan tersebut, tak ada lagi game yang tidak bisa Anda mainkan. Selain itu, sistem cloud juga menyederhanakan implementasi update atau patch. Karena semuanya dilakukan di sisi server, kita tidak perlu lagi menunggu prosesnya hingga selesai.

Dan tanpa halangan berupa keterbatasan hardware di sisi pengguna, produk-produk digital para developer bisa sampai di tangan lebih banyak konsumen, dan keadaan ini sudah pasti berdampak positif bagi pemasukan mereka. Tersedianya cloud gaming secara masif juga mempersilakan studio-studio kecil buat menyodorkan kreasinya langsung ke gamer dan berperan sebagai dongkrakan buat bersaing dengan developer-developer kelas AAA. Terbuka peluang besar bagi tim indie untuk berjaya di era gaming on demand.

Doom Eternal

Dalam wawancara bersama Eurogamer (via Gamasutra), game director sekaligus penulis veteran Amy Hennig (berjasa dalam pengembangan seri Legacy of Kain, Jak and Dexter, Uncharted) menyampaikan bahwa layanan-layanan streaming sejenis Stadia akan memberikan developer kebebasan finansial, dan mendorong mereka untuk mengambil resiko demi mengeksekusi ide-ide baru di gaming.

Sekali lagi, era cloud gaming tak bisa dielakkan. Pertanyaannya kini ialah: seberapa siap kita untuk menyambutnya?

Terima kasih kepada Rolly Edward dan tim Skyegrid serta Izzuddin Al Azzam dan tim gameQoo.