ASUS Menguasai 59,7% Pangsa Pasar Laptop Gaming di Indonesia

Pada bulan April lalu, ASUS mengumumkan rangkaian laptop gaming yang ditenagai oleh prosesor AMD Ryzen 5000 Mobile Series hingga Ryzen 9 dan chip grafis NVIDIA GeForce RTX 3080 di Indonesia. Termasuk ASUS ROG Zephyrus Duo 15 SE, ROG Flow X13, ROG Strix SCAR 15/17, ROG Strix G 15/17, ROG Zephyrus G15, ROG Zephyrus G14, dan TUF Gaming A15.

Lanjut ke bulan Agustus, ASUS turut menghadirkan laptop gaming yang ditenagai prosesor Intel Core H-series generasi ke-11 Tiger Lake hingga Intel Core i9-11900H dan chip grafis NVIDIA GeForce RTX 3080. Mereka adalah ASUS ROG Zephyrus M16 dan ROG Zephyrus S17.

Ya, variasi model lini laptop gaming ASUS sangat lengkap. Mulai dari lini TUF Gaming dengan harga belasan jutaan, serta berbagai seri laptop gaming premium ROG dari rentang harga dua puluh jutaan hingga puluhan juta seperti ROG Zephyrus S dan Duo, serta ROG Flow X13 dengan inovasi teknologi terdepan.

Hal tersebutlah yang membuat laptop gaming ASUS berhasil menguasai pasar laptop gaming di Indonesia sepanjang tahun 2021. Berdasarkan data aktivasi dari NVDIA hingga bulan September 2021, ASUS mencatat penguasaan pasar laptop gaming hingga 59,7% di Indonesia.

Angka tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang tahun 2021. Serta, membuktikan bahwa laptop gaming ROG dan TUF Gaming tetap merupakan pilihan para gamer di Indonesia.

Pencapaian tersebut merupakan bukti bahwa laptop gaming ROG dan TUF Gaming tetap menjadi pilihan utama para gamer di Indonesia. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada gamer dan komunitas gaming di Indonesia yang setia memilih dan menggunakan laptop gaming ROG serta TUF Gaming,” ujar Jimmy Lin, ASUS Regional Director Southeast Asia.

Pencapaian kali ini juga membuat kami semakin berkomitmen untuk menghadirkan laptop gaming yang tidak hanya sekadar powerful, tetapi juga berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan gamer di Indonesia,” tambahnya.

Meski pangsa pasar sempat turun di awal tahun 2021, laptop gaming ROG dan TUF Gaming tetap tampil dominan di pasar Indonesia. Mereka berhasil mencatat peningkatan pangsa pasar yang signifikan, yaitu sebesar 10,7% dari 49% di bulan Agustus ke 59,7% di bulan September 2021 (berdasarkan data aktivasi dari NVIDIA).

ROG Flow X13 dengan ROG XG Mobile

Salah satu inovasi ASUS di tahun 2021 adalah hadirnya ROG Flow X13. Laptop gaming dengan bodi yang sangat portabel tersebut tidak hanya tampil sebagai perangkat yang mengadopsi desain yang fleksibel, tetapi juga tampil sebagai laptop convertible paling powerful di dunia.

ROG Flow X13 juga merupakan laptop pertama yang dapat dihubungkan dengan ROG XG Mobile, yaitu solusi GPU eksternal. ROG XG Mobile dapat mentransformasi ROG Flow X13 menjadi laptop yang sangat powerful bahkan setara dengan performa laptop gaming yang memiliki ukuran bodi jauh lebih besar.

Kolaborasi dan Layanan Purna Jual

ROG Zephyrus G14 Alan Walker Special Edition

Selain menghadirkan banyak varian laptop gaming dengan berbagai inovasi teknologinya, faktor lain yang mendukung pencapaian ASUS ialah kolaborasi dan layanan purna jual. Tahun ini ASUS berkolaborasi dengan Nyjah Huston untuk menghadirkan sebuah laptop gaming eksklusif bernama ROG Strix Nyjah Huston Special Edition yang diciptakan berdasarkan seri ROG Strix SCAR yang sangat dikenal sebagai laptop untuk para gamer eSports profesional.

Selain itu, ASUS juga berkolaborasi dengan musisi ternama Alan Walker untuk menghadirkan laptop gaming edisi khusus ROG Zephyrus G14 Alan Walker Special Edition. Laptop gaming edisi khusus tersebut tampil dengan desain unik yang tidak dapat ditemukan di laptop lainnya.

ROG Zephyrus G14 AW SE juga dilengkapi dengan aksesori eksklusif dalam paket penjualannya. Aksesori yang paling istimewa adalah ROG Remix, yaitu perangkat audio remix unik yang juga dapat digunakan sebagai tempat menyimpan laptop ROG Zephyrus G14 AW SE yang dapat dihubungkan dengan kabel USB Type-C dan dapat dimainkan melalui software khusus yang telah dipasang.

ASUS juga memberikan pelayanan purna jual terbaik melalui program ASUS VIP Perfect Warranty untuk lini laptop gaming ROG. Sebuah layanan perlindungan ekstra untuk pengguna laptop ASUS ROG jika terjadi kerusakan pada unit yang tidak ter-cover oleh garansi standar ASUS, termasuk kerusakan akibat kelalaian pengguna. Layanan ini merupakan layanan premium, ASUS akan menanggung 100% biaya jasa perbaikan dan spare part untuk kerusakan-kerusakan yang disebabkan kelalaian pengguna.

Riot Siap Luncurkan Dua Game Spin-off League of Legends Baru Lagi Tahun Depan

Menjelang pergantian tahun, publishing label milik Riot Games, Riot Forge, mengumumkan game anyar berjudul Song of Nunu. Seperti halnya game-game lain di bawah arahan Riot Forge, Song of Nunu juga merupakan spin-off dari League of Legends (LoL).

Sesuai judul, Song of Nunu menceritakan petualangan seorang champion bernama Nunu dalam misi mencari ibunya yang hilang. Seperti di LoL, Nunu juga ditemani oleh kawannya, seekor Yeti bernama Willump. Keduanya akan bersama-sama menjelajahi dan mengungkap misteri di Freljord, kawasan tundra di belantara Runeterra.

Melihat cuplikan videonya di bawah, Song of Nunu sepertinya bakal banyak memadukan elemen puzzle dan platformer. Interaksi antar kedua karakter tampaknya bakal menjadi kunci dalam memecahkan beragam puzzle dalam game.

Song of Nunu digarap oleh Tequila Works, studio asal Spanyol yang portofolionya mencakup game seperti RiME dan The Sexy Brutale. Riot menjadwalkan peluncuran di tahun 2022, tapi sejauh ini belum ada tanggal pastinya. Selain di PC, Song of Nunu juga akan dirilis di PlayStation, Xbox, dan Nintendo Switch.

Dalam kesempatan yang sama, Riot juga sempat menyingkap lebih banyak detail mengenai game lainnya yang berjudul Conv/rgence. Game ini sebenarnya sudah diumumkan sejak akhir 2019 bersamaan dengan Ruined King, dan Riot bilang game ini juga bakal meluncur tahun depan. Menurut pengembangnya, Double Stallion, ada banyak perubahan signifikan yang sudah mereka terapkan semenjak pengumuman perdananya.

Sebagai pengingat, Conv/rgence merupakan sebuah 2D action platformer yang menceritakan petualangan champion Ekko di distrik bernama Zaun — lokasi yang sama seperti yang menjadi setting serial animasi baru Netflix, Arcane. Di LoL, skill-skill Ekko banyak berkaitan dengan manipulasi waktu, dan di Conv/rgence pun juga demikian. Kalau mau disederhanakan, Conv/rgence pada dasarnya merupakan sebuah game platformer dengan tombol undo.

Berhubung pandemi masih terus berlanjut, wajar kalau akhirnya Riot tidak memberikan tanggal rilis yang pasti untuk kedua game ini. Kendati demikian, mereka baru-baru ini membuktikan bahwa mereka bisa menepati janjinya dengan meluncurkan Ruined King sekaligus Hextech Mayhem.

Sumber: PC Gamer.

Nvidia Image Scaling Diperbarui, Kini Open-Source dan Cross-Platform seperti AMD FSR

Bicara soal teknologi upscaling untuk menambah frame rate (fps), kalangan gamer saat ini pada dasarnya punya dua opsi utama: Deep Learning Super Sampling (DLSS) besutan Nvidia dan FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD.

Untuk mendapatkan kualitas gambar terbaik, DLSS adalah pilihan yang paling tepat, tapi fitur ini hanya bisa dinikmati jika menggunakan seri kartu grafis RTX, serta belum kompatibel dengan semua game. FSR di sisi lain bisa dinikmati di lebih banyak kartu grafis (baik buatan AMD maupun Nvidia), akan tetapi juga masih bergantung pada dukungan dari masing-masing game.

Alternatifnya, ada opsi ketiga yang tidak kalah menarik, yakni Nvidia Image Scaling. Fitur ini sebenarnya sudah ada sejak 2019, akan tetapi Nvidia baru saja memperbaruinya guna meningkatkan performa sekaligus kualitas gambar yang dihasilkan. Namun bagian yang paling istimewa adalah, Nvidia memutuskan untuk menjadikannya open-source sekaligus cross-platform (sama seperti FSR).

Berhubung open-source, developer kini dapat langsung mengintegrasikan fitur ini langsung ke dalam game bikinannya, dan itu berarti pengguna kartu grafis AMD (dan Intel) pun bisa ikut menikmati fiturnya. Untuk konsumen Nvidia, mereka malah tidak perlu menunggu sama sekali, sebab fitur ini dapat langsung diaktifkan di tingkat driver (yang berarti berlaku untuk semua game) via Nvidia Control Panel.

Kualitas gambar yang dihasilkan memang tidak akan sebagus DLSS yang mengandalkan AI (bahkan dalam setelan Performance Mode), akan tetapi Nvidia mengklaim ada peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan algoritma versi sebelumnya. Secara umum, kualitas yang dihasilkan Nvidia Image Scaling nyaris identik dengan FSR, demikian pula peningkatan frame rate yang didapat.

Sekali lagi, Nvidia Image Scaling sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggantikan DLSS, melainkan sebagai alternatif bagi yang tidak memiliki kartu grafis RTX maupun pada game yang belum mendukung DLSS.

Bagi gamer yang memiliki spesifikasi PC pas-pasan, fitur seperti Nvidia Image Scaling dan FSR tentu akan sangat membantu meningkatkan pengalaman bermain. Pasalnya, naik dari 30-an fps menjadi 40-an fps saja sudah akan sangat terasa efeknya, dan itu bisa didapat secara cuma-cuma tanpa terlalu mengorbankan kualitas gambar lebih jauh lagi.

Tahun depan, konsumen malah bakal kedatangan satu opsi tambahan lagi, yakni XeSS yang dikembangkan oleh Intel, yang kabarnya juga akan dibuat cross-platform.

Sumber: PC Gamer.

8 Detail Teknis Steam Deck yang Perlu Anda Ketahui

$400 untuk sebuah konsol genggam yang jauh lebih perkasa ketimbang Nintendo Switch merupakan premis yang sangat menggiurkan, belum lagi fakta bahwa konsol tersebut juga bisa berfungsi layaknya PC tradisional ketika dibutuhkan. Tidak heran kalau kemudian Steam Deck terus menjadi buah bibir meski peluncurannya harus ditunda dua bulan.

Sambil menunggu, Valve rupanya ingin berbagi lebih banyak mengenai konsol genggamnya tersebut. Lewat sebuah live stream yang ditujukan untuk kalangan developer, Valve menyingkap banyak detail baru terkait Steam Deck, khususnya dari sudut pandang teknis. Berikut rangkuman poin-poin yang paling menarik dari presentasi Valve.

1. Aerith SoC

Penggemar Final Fantasy VII mungkin bakal tersenyum mendengar ini: chip bikinan AMD yang mengotaki Steam Deck dinamai Aerith. Sebagai pengingat, chip ini merupakan sebuah APU yang menggabungkan 4-core dan 8-thread CPU Zen 2 dengan 8 compute unit (CU) RDNA 2.

CPU-nya mampu berjalan di kecepatan 2,4-3,5 GHz, sementara GPU-nya di 1-1,6 GHz. Sepintas terkesan pelan, dan chip-nya pun tidak dibekali teknologi turbo boost sama sekali. Menurut Valve, rancangan seperti ini disengaja guna memastikan performa Steam Deck bisa konsisten di segala skenario.

“Performa game Anda dalam sepuluh detik pertama kemungkinan besar bakal sama dengan performanya dua jam dari sekarang, atau seterusnya jika perangkat dicolok ke listrik,” terang Yazan Aldehayyat selaku Hardware Engineer Valve.

2. TDP 15 W

Aerith secara spesifik dirancang untuk beroperasi seefisien mungkin, dengan rentang thermal design power (TDP) sebesar 4-15 W. Namun sekali lagi, supaya kinerjanya bisa konsisten, baik dalam posisi handheld atau docked, Valve tidak membatasi seberapa besar daya yang bisa dikonsumsi oleh Aerith.

Kendati demikian, Valve tetap menerapkan sejumlah optimasi, semisal fitur global frame rate limiter (30 fps atau 60 fps) untuk game apapun sehingga masing-masing pengguna bebas menentukan apakah mereka lebih mementingkan performa atau daya tahan baterai.

Tidak kalah menarik adalah bagaimana Steam Deck dirancang agar membatasi kecepatan charging, kecepatan download, atau bandwith SSD-nya ketika suhu perangkat terdeteksi cukup tinggi. Tujuannya supaya kinerja optimal GPU-nya tetap bisa dipertahankan dalam kondisi yang kurang ideal, seperti ketika sedang bermain di bawah terik matahari misalnya.

3. RAM 16 GB

Aerith ditandemkan dengan RAM LPDDR5 berkapasitas 16 GB dan VRAM 1 GB. Valve menjelaskan bahwa mayoritas game modern sebenarnya tidak membutuhkan memori lebih dari 8 GB atau 12 GB, dan angka 16 GB ini murni Valve maksudkan untuk keperluan future-proofing.

Kok VRAM-nya kecil sekali? Ya, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa memorinya bersifat unified. Ini berarti GPU-nya bisa memanfaatkan kapasitas ekstra (hingga 8 GB) seandainya VRAM 1 GB tersebut terbukti kurang. Secara total, Steam Deck punya bandwith memori sebesar 88 GB/detik.

4. Performa mengalahi mini PC seharga $670

Pada laman dokumentasi untuk developer, Valve membandingkan Steam Deck dengan mini PC seharga $670 yang mengemas prosesor Ryzen 7 3750H, GPU Radeon RX Vega 10, dan RAM DDR4 16 GB. Menurut Valve, CPU-nya memang sedikit lebih perkasa ketimbang milik Steam Deck, akan tetapi GPU-nya lebih lemah dan bandwith memorinya lebih kecil, sehingga secara keseluruhan Steam Deck masih lebih superior.

5. eMMC vs SSD NVMe

Seperti yang kita tahu, Steam Deck hadir dalam tiga varian storage: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, tipe storage yang digunakan adalah eMMC, sementara dua varian sisanya menggunakan SSD NVMe. Sudah bukan rahasia kalau NVMe punya kinerja yang lebih gegas dibanding eMMC. Namun yang jadi pertanyaan adalah, seberapa jauh selisihnya?

Di atas kertas, selisihnya rupanya tidak terlalu jauh kalau berdasarkan penjelasan Valve. Untuk loading game, varian 64 GB dengan eMMC cuma sekitar 12% lebih lambat dari varian 512 GB dengan NVMe, sedangkan untuk booting awal, selisihnya berkisar 25%. Waktu loading yang paling lama adalah jika game disimpan di kartu microSD, yakni sekitar 18% lebih lambat.

6. FSR untuk semua game

Secara teknis, port USB-C milik Steam Deck bisa mengakomodasi hingga dua monitor 4K 60 Hz sekaligus. Tentu saja itu konteksnya bukan bermain, sebab Steam Deck jelas bakal sangat kewalahan menjalankan game di resolusi setinggi itu.

Kabar baiknya, Steam Deck sepenuhnya kompatibel dengan teknologi upscaling FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD, yang tentunya bisa membantu meningkatkan performa ketika dipaksa menjalankan game di atas resolusi bawaannya (1200 x 800).

Memang tidak semua game, melainkan hanya judul-judul yang sejauh ini sudah mendukung FSR itu sendiri. Kendati demikian, Valve sudah punya rencana untuk merilis update sehingga Steam Deck bisa mendukung FSR di level sistem operasi, sehingga FSR dapat diaplikasikan ke game apapun.

7. Steam Remote Play

Berbekal Wi-Fi AC (Wi-Fi 5), Steam Deck diyakini mampu memberikan pengalaman Remote Play yang optimal — game dijalankan di PC, lalu di-stream oleh Steam Deck via Wi-Fi. Kenapa harus streaming kalau perangkatnya sanggup menjalankan game secara mandiri? Well, Valve bilang baterai Steam Deck bisa bertahan lebih lama saat dipakai streaming daripada saat menjalankan game-nya sendiri.

8. Quick suspend/resume

Sebagai sebuah konsol genggam, sudah sewajarnya apabila Steam Deck mendukung fitur quick suspend/resume. Tekan tombol power, maka perangkat masuk ke sleep mode. Tekan kembali, maka pengguna bisa langsung melanjutkan sesi bermain terakhirnya. Tidak dinyala-matikan seperti PC atau laptop.

Agar fitur ini bisa bekerja, Valve harus mengubah cara kerja sistem cloud save yang Steam tawarkan. Kalau sekarang sinkronisasinya cuma berlangsung ketika pengguna keluar dari game, nantinya sinkronisasi bakal berlangsung di background ketika fitur suspend tadi aktif.

Teorinya, ini berarti pengguna dapat berpindah dari Steam Deck ke PC secara cepat, ataupun sebaliknya. Tinggal pause game-nya, maka progresnya bisa langsung dilanjutkan di perangkat yang lain. Praktis dan sangat membantu.

Sumber: The Verge.

Unity Akuisisi Studio VFX Weta Digital Sebagai Langkah Awal Menyambut Tren Metaverse

Unity Technologies, perusahaan pembuat game engine Unity, mengumumkan bahwa mereka sedang dalam proses mengakuisisi Weta Digital dengan mahar sebesar $1,625 miliar.

Weta Digital, buat yang tidak tahu, adalah studio visual effect (VFX) asal Selandia Baru yang diprakarsai oleh Sir Peter Jackson. Kalau Anda gemar menonton film, Anda semestinya sudah sangat familier dengan berbagai karya Weta di judul-judul seperti Avatar, Black Widow, Planet of the Apes, The Suicide Squad, dan tentu saja, trilogi Lord of the Rings beserta Hobbit.

Apa saja yang bakal didapat oleh Unity dari akuisisi ini? Yang paling utama adalah lebih dari selusin proprietary software milik Weta, mulai dari yang dapat menyimulasikan rambut dan bulu pada objek 3D, sampai teknologi facial capture dan beragam tool esensial lain untuk kreasi VFX. Sebanyak 275 engineer Weta yang bertanggung jawab atas pengembangan software-software tersebut juga akan bergabung dengan Unity.

Deretan software ini nantinya bakal diintegrasikan ke engine Unity secara perlahan. Unity bahkan sudah punya rencana untuk membawa semua itu ke infrastruktur cloud dengan model bisnis subscription. Kapan pastinya itu bakal terealisasi masih belum diketahui, namun yang pasti tujuan akhirnya adalah membawa teknologi-teknologi canggih yang Weta gunakan selama ini ke tangan jutaan kreator pengguna engine Unity.

Selain itu, Weta juga akan mewariskan asset library-nya ke Unity. Menariknya, asset library ini ke depannya akan terus diperbarui seiring Weta melanjutkan kiprahnya di bidang VFX di bawah nama baru, WetaFX.

Apakah ini berarti game yang dibuat menggunakan Unity bakal langsung memiliki grafik sekelas film-film Hollywood? Mungkin tidak sesimpel itu implikasinya, apalagi mengingat proses pembuatan VFX di film dan game memang cukup berbeda.

Alasan utama di balik akuisisi ini sebenarnya adalah untuk bersiap menyambut tren metaverse. Unity percaya bahwa kalangan kreator bakal punya peran besar dalam perkembangan metaverse, dan akuisisi ini akan membantu mereka mengakselerasi misi tersebut.

Sumber: Unity dan Weta Digital via Engadget.

Metaverse Bakal Banyak Dilibatkan di Dunia Gaming, Demikian Pula NFT dan Cryptocurrency

Definisi metaverse sejauh ini bisa dibilang masih agak abu-abu, akan tetapi itu tidak mencegah banyak perusahaan besar mengejar tren tersebut. Mulai dari Facebook Meta, Microsoft, sampai Niantic, semua punya visinya sendiri-sendiri akan konsep metaverse yang ideal.

Satu hal yang pasti, metaverse bakal banyak dilibatkan di dunia gaming. Seperti yang kita tahu, gaming memang kerap menjadi lahan percobaan untuk banyak teknologi baru, dan pola tersebut pun juga bakal berlaku untuk metaverse.

Beberapa game yang ada saat ini, seperti misalnya Fortnite, Minecraft, Roblox, atau Second Life bahkan juga sudah bisa kita anggap sebagai iterasi awal metaverse, dan masing-masing bakal terus berevolusi ke depannya. Ini bukan pendapat saya pribadi, melainkan pemikiran dari Jesse Powell, co-founder sekaligus CEO dari Kraken, salah satu marketplace crypto tertua yang sudah eksis sejak tahun 2011.

Dalam wawancaranya bersama Yahoo Finance, Jesse menyamakan metaverse dengan dunia virtual yang sudah bisa kita temukan di berbagai game online populer, mulai dari Second Life, World of Warcraft, sampai Runescape.

NFT bisa populer karena keakraban kita dengan tren membeli barang virtual di game / Sumber gambar: Epic Games

Menurutnya, orang-orang yang sempat memainkan deretan game tersebut kini tertarik dengan tren metaverse salah satunya karena ide akan kemudahan memindah-mindah barang virtual, token virtual, pakaian virtual, atau apapun itu, di antara platform yang berbeda-beda. Di situlah NFT dan cryptocurrency jadi bakal banyak berperan.

Ditanya mengenai faktor yang mendorong peningkatan popularitas NFT belakangan ini, Jesse bilang salah satu alasannya adalah keakraban generasi muda dengan tren membeli barang-barang virtual, seperti membeli skin di game online misalnya. Lagi-lagi game yang jadi pemicunya.

Poin terakhir yang tak kalah menarik adalah, Jesse percaya ke depannya tidak akan ada satu metaverse saja. Atau dengan kata lain, tidak akan ada satu perusahaan saja yang memonopoli bidang ini. Sekali lagi, platform-nya boleh berbeda-beda, akan tetapi ada blockchain yang bakal menjembatani satu sama lain.

Sumber: Yahoo Finance.

Imbas Krisis Chip Global, Peluncuran Steam Deck Ditunda Dua Bulan

Kabar mengecewakan bagi yang sudah tidak sabar menanti Steam Deck. Peluncuran konsol genggam besutan Valve tersebut terpaksa ditunda dua bulan. Yang tadinya dijadwalkan bakal dikirim ke konsumen pada bulan Desember 2021 kini harus mundur ke Februari 2022.

Di titik ini, sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu alasannya kenapa. Ya, apa lagi kalau bukan karena dampak dari fenomena kelangkaan chip global. Kalau industri otomotif saja sampai terkena imbasnya, apalagi industri gadget secara umum.

“Kami meminta maaf soal ini — kami melakukan yang terbaik untuk mengatasi masalah rantai pasokan global, tapi akibat krisis material, komponen tidak bisa tiba di fasilitas manufaktur kami tepat waktu sesuai dengan jadwal peluncuran awal kami,” tulis Valve dalam sebuah posting blog.

Perlu dicatat, Februari 2022 itu adalah estimasi tercepatnya, dan masing-masing konsumen bakal melihat estimasi waktu pengiriman yang berbeda berdasarkan antrean. Bahkan yang sama-sama melakukan pemesanan di hari pertama pengumuman Steam Deck pun bisa mendapati estimasi waktu pengiriman yang berbeda kalau menurut The Verge.

Kalau boleh menyimpulkan, stok Steam Deck sepertinya bakal cukup langka untuk beberapa waktu, kurang lebih sama nasibnya seperti Nintendo Switch maupun PlayStation 5.

Kabar baiknya, penundaan ini berarti Valve punya lebih banyak waktu untuk mengatasi isu kompatibilitas yang melanda Steam Deck. Seperti yang kita tahu, Steam Deck memang sudah dilengkapi dukungan software anti-cheat, akan tetapi masing-masing developer tetap perlu memperbarui game-nya agar software anti-cheat yang digunakan tidak bentrok dengan compatibility layer milik Steam Deck.

Valve sendiri mengklaim prosesnya sangat mudah, namun nyatanya masih banyak developer besar yang sama sekali belum punya jawaban terkait kompatibilitas game-nya dengan Steam Deck.

Belum lama ini, Valve juga sempat mengumumkan bahwa mereka akan meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan Steam Deck. Singkat cerita, Valve masih punya banyak PR, dan semoga saja penundaan ini berarti Steam Deck nantinya bisa meluncur dalam kondisi benar-benar matang.

Sumber: The Verge.

Netflix Games Resmi Meluncur Secara Global, Bisa Main Sepuasnya Tanpa Biaya Tambahan

Resmi sudah. Katalog konten milik Netflix kini tak cuma berisikan film, serial, dan dokumenter saja, melainkan juga video game. Per tanggal 2 November kemarin, Netflix mengumumkan bahwa para pelanggannya sudah bisa menikmati koleksi game yang tersedia, di mana pun mereka berada.

Setidaknya untuk sekarang, Netflix Games baru bisa diakses melalui perangkat Android saja, sebab versi iOS-nya masih sedang dalam tahap pengerjaan. Koleksi game-nya dapat dilihat melalui aplikasi Netflix itu sendiri, akan tetapi masing-masing game-nya tetap harus diunduh lewat Google Play Store (atau App Store kalau di iOS).

Singkat cerita, ini bukan streaming seperti di layanan cloud gaming (atau seperti Netflix itu sendiri), melainkan lebih mirip cara kerjanya seperti layanan subscription Apple Arcade. Usai diunduh, game-nya bisa dimainkan secara offline, akan tetapi beberapa ada yang tetap memerlukan koneksi internet.

Untuk mulai bermain, Anda perlu login menggunakan akun Netflix dengan paket subscription yang aktif, dan jumlah perangkat yang bisa mengakses akan disesuaikan dengan batasan tiap-tiap paket. Jadi kalau paket yang Anda pilih mendukung fitur multi-device, maka koleksi game-nya bisa dimainkan di beberapa perangkat yang berbeda menggunakan satu akun yang sama. Perlu dicatat, Netflix Games tidak tersedia pada profil anak-anak.

Netflix memastikan bahwa semua game yang tersedia dapat dimainkan tanpa biaya tambahan, tanpa iklan, dan tanpa satu pun opsi in-app purchase. Sekali lagi, premisnya sangat mirip seperti Apple Arcade; bayar tarif bulanan, lalu main sepuasnya tanpa keluar uang lagi.

Koleksi game-nya saat ini memang belum banyak, baru lima judul lebih tepatnya: Stranger Things: 1984, Stranger Things 3: The Game, Shooting Hoops, Card Blast, dan Teeter Up. Meski begitu, Netflix sudah punya rencana besar untuk menyusun katalog yang bisa menarik perhatian semua kalangan gamer, dan mereka pun juga aktif mengakuisisi studio-studio game.

Sumber: Netflix.

Gigabyte Ungkap Project Cielo, Konsep Gaming PC Portabel yang Dilengkapi 5G

Portabel bukanlah kata sifat yang kerap diasosiasikan dengan sebuah gaming PC. Namun itu tidak mencegah Gigabyte menggunakan kata tersebut dalam mendeskripsikan konsep gaming PC terbarunya.

Dinamai Project Cielo, perangkat ini pada dasarnya merupakan sebuah gaming PC portabel yang nyaris sepenuhnya wireless. Saya bilang nyaris karena ia tidak dibekali layar sendiri, dan itu berarti penggunanya masih perlu setidaknya satu kabel untuk menyambungkan perangkat ke monitor, TV, atau proyektor.

Sepintas bentuknya kelihatan seperti beberapa unit robot vacuum cleaner yang ditumpuk. Tiap-tiap tingkatan tersebut sebenarnya merupakan modul yang terpisah: modul PC di atas, modul baterai di tengah, dan modul speaker Bluetooth di bawah.

Menariknya, ketiga modul tersebut tidak selamanya harus digunakan secara bersamaan. Pengguna juga bisa memakai beberapa kombinasi yang berbeda, seperti misalnya modul PC dan speaker saja untuk pemakaian di rumah, atau modul speaker plus baterai saja untuk meramaikan acara pesta.

Daya tarik lain dari konsep ini adalah 5G. Ya, perangkat ini memiliki antena 5G yang terintegrasi ke sasisnya. Namun yang menarik perhatian saya pribadi adalah, di siaran persnya, Gigabyte ada menyebut bagaimana 5G di perangkat ini dapat memberikan akses instan ke layanan cloud gaming. Pertanyaan saya: kalau kinerjanya sudah mumpuni, kenapa masih harus mengandalkan cloud gaming?

Well, sayangnya Gigabyte tidak merincikan spesifikasi Project Cielo sama sekali, jadi kita pun belum punya gambaran seperti apa kinerjanya saat dipakai bermain judul-judul game AAA.

Gigabyte juga tidak menyinggung soal aspek upgradability dari Project Cielo; apakah komponen-komponennya bisa diganti dengan generasi yang lebih baru, entah secara tradisional atau via modul khusus seperti yang diterapkan oleh Razer dan Intel. Sejauh ini memang belum ada informasi-informasi semacam itu, mungkin karena status perangkatnya yang memang masih sebatas konsep.

Gigabyte melihat Project Cielo sebagai manisfestasi visi mereka akan masa depan PC gaming. Mereka percaya 5G bakal berperan besar dalam menghadirkan pengalaman PC gaming di mana saja dan kapan saja, dan desain non-konvensional seperti ini dibutuhkan demi visi tersebut.

Apakah Project Cielo bakal direalisasikan menjadi produk yang bisa dibeli konsumen ke depannya? Sejauh ini masih belum ada yang tahu.

Sumber: PC Gamer dan PR Newswire.

Semua Game di Steam Bakal Dikategorikan Berdasarkan Kompatibilitasnya dengan Steam Deck

Menjelang peluncuran resmi Steam Deck pada bulan Desember mendatang, Valve rupanya tengah sibuk meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan konsol genggamnya tersebut.

Seperti yang kita tahu, Steam selama ini memang lebih fokus mendistribusikan game untuk PC berbasis Windows ketimbang platform lain. Di saat yang sama, Steam Deck menjalankan sistem operasi berbasis Linux, dan hardware-nya juga berbeda dari PC tradisional. Artinya, tidak semua game yang tercantum di katalog Steam bakal berjalan secara optimal di Steam Deck.

Demi menghindari kesalahpahaman di kalangan konsumen Steam Deck, Valve akan membagi katalog Steam ke empat kategori yang berbeda: Verified, Playable, Unsupported, dan Unknown. Masing-masing disertai ikonnya tersendiri agar lebih mudah dikenali.

Game yang masuk kategori Verified dipastikan kompatibel dengan OS milik Steam Deck dan dapat dioperasikan sepenuhnya menggunakan controller-nya. Game di kategori ini juga siap disajikan di resolusi native milik Steam Deck (1280 x 800 atau 1280 x 720) tanpa masalah.

Tidak kalah penting, game dengan label Verified dijamin tidak akan bentrok dengan software anti-cheat. Nantinya, deretan game yang masuk kategori ini akan punya tempat sendiri di tab “Great on Deck”, baik di Store maupun di Library.

Kategori Playable mencakup game yang perlu diutak-atik secara manual oleh pengguna agar dapat dimainkan di Steam Deck. Agar lebih transparan, Steam akan memberikan detail lebih lengkap mengenai apa yang salah pada laman tiap-tiap game yang masuk kategori ini.

Salah satu contoh game yang masuk kategori Playable adalah Team Fortress 2, dengan alasan beberapa fiturnya tidak bisa diakses menggunakan controller Steam Deck (harus via touchscreen atau virtual keyboard), dan ada beberapa controller glyph yang tidak pas atau bahkan hilang.

Kategori Unsupported jelas ditujukan untuk game yang tidak bisa dijalankan oleh Steam Deck sama sekali. Contoh gampangnya adalah Half-Life: Alyx dan sederet judul game virtual reality (VR) lainnya. Pesan buat Valve: mungkin ini saat yang tepat untuk mengembangkan Half-Life: Alyx versi non-VR.

Terakhir, ada kategori Unknown yang sesimpel belum sempat dicek kompatibilitasnya oleh Valve. Mengecek satu demi satu game yang tersedia di katalog masif Steam tentunya bakal memakan waktu. Jadi upaya ini memang akan terus dijalankan meski Steam Deck nantinya sudah mulai dijual secara resmi.

Perlu dicatat, kategorisasi ini sifatnya tidak permanen. Semisal ada update yang dirilis oleh masing-masing developer game, atau jika software milik Steam Deck sendiri sudah semakin disempurnakan, kategori suatu game bisa saja berubah; dari sebatas Playable menjadi Verified, misalnya.

Valve saat ini juga tengah mengembangkan semacam fitur compatibility checker sehingga konsumen bisa mengecek koleksi game-nya masuk ke kategori mana saja sebelum membeli Steam Deck. Ikon kategorinya tadi akan muncul di setiap judul game, baik di Store maupun di Library.

Sumber: Valve via PC Gamer.