Ekonomi Karya Baru untuk Indonesia

COVID-19. Sesuatu yang sedang menghantui benak semua orang di dunia.

Pada akhir cerita War Of The Worlds, pasukan pesawat dan mesin perang Mars yang digdaya akhirnya lumpuh karena mahluk Mars tidak tahan pada mikroba Bumi, dan akhirnya serangan Mars dapat ditekukkan. Padahal ya kenyataannya, umat manusia pun tidak rentan terhadap serangan mikroorganisme, terutama yang belum pernah menyerang manusia sebelumnya seperti novel coronavirus.

Tentunya, dampak dari penanganan COVID-19 ini adalah terimbasnya penghasilan berbagai sektor industri, terutama yang memiliki akar di dunia “nyata”. Dari toko, bioskop, pabrik sampai hiburan. Demi mencegah penyebaran yang lebih luas, di berbagai penjuru dunia masyarakat telah dikarantina, lockdown, sampai versi Indonesia, Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sebuah krisis kemanusiaan sedang berlangsung untuk banyak orang akibat COVID-19, baik yang tertular secara langsung maupun yang terkena dampak akibat tidak dapat bekerja seperti biasa lagi. Tidak ada yang luput dari imbasnya, dan tentunya kita bertanya, sampai kapan?

Banyak pihak yang sudah mengangkat, “apa yang hendak kamu lakukan setelah COVID-19?”. Tapi menurut saya, kondisi ini tidak akan cepat kembali ke keadaan seperti sebelumnya. Terlepas dari penanganan COVID-19, keadaan ini telah memaksa kita untuk memiliki kerangka berpikir baru terhadap hidup dan berkarya sebagai manusia. Bukan hanya beradaptasi terhadap kondisi, namun justru menyiapkan diri menapaki era yang sama sekali baru.

The New Normal

Karena KaryaKarsa banyak bersentuhan dan bersinggungan dengan pekarya, di sekitar kami terdengar jelas pergeseran dari, misalnya, musisi yang penghasilan utamanya berasal dari manggung, lantas tidak bisa manggung sama sekali. Penghasilan mereka pun hilang. Beruntung bila masih ada penghasilan dari sumber lain, namun yang bisa melakukannya hanya segelintir. Wajar apabila para pekarya ini bertanya, kapan kondisi ini berakhir?

Kami di KaryaKarsa, yang tentunya terimbas juga, ingin memajukan kerangka berpikir lain. Pergeseran yang terjadi karena “keterpaksaan” ini dapat kita olah jadi kesempatan untuk membangun Ekonomi Karya Baru. Sebuah ekonomi dengan ketahanan lebih tinggi, karena diperkuat oleh pola pikir berwiraswasta dan dibantu oleh infrastruktur digital. Kita sebagai manusia abad 21, toh, sudah hidup secara bersamaan pada dunia “nyata” dan padang digital.

Sebelumnya, Ekonomi Karya itu banyak terdoktrin wujud atau kehadiran fisik, yang merupakan respons terhadap persepsi bahwa barang digital itu “gratis” dan tidak bernilai. Pelan-pelan ini sudah bergeser dengan hadirnya layanan-layanan berbayar yang orang sudah rela mengeluarkan uang untuk berlangganan, meskipun masih untuk sebagian kecil masyarakat Indonesia. Mendadak, kini semua harus berperan aktif dalam ekonomi digital. Mengutip meme yang tengah beredar, yang memicu transformasi digital di semua perusahaan bukanlah CEO maupun jajaran komisarisnya, melainkan COVID-19.

Ekonomi Karya yang Baru

Dalam Ekonomi Karya Baru, kreator dapat berkarya dan berpenghasilan dari kegiatan dalam ruang fisik maupun maya, dengan efektivitas yang sama. Baik kreator maupun audience sudah terbiasa dengan menonton konser secara langsung, maupun secara live streaming dari rumah (atau nonton bareng dari tempat yang jauh dari tempat acara). Kreator maupun audience sudah terbiasa menjadikan ruang fisik dan maya sebagai bagian dari rencana berkarya, tanpa membeda-bedakan – karena toh yang utama untuk audience itu konten, bukan medium. Tentunya medium memiliki peran kuat dalam konten, tapi menjadi fungsi kontekstual, bukan utama.

Bagaimana bentuk Ekonomi Karya Baru ini?

Ekosistem Baru Kreator Konten
Ekosistem Baru Kreator Konten

Dalam Ekonomi Karya Baru, wujud dan medium karya merupakan konsekuensi dari strategi, bukan tujuan akhir – karena sebenarnya berdasar pada pendekatan bisnis yang terfokus pada Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property, IP). Sebagai contoh, sebuah lagu tidak harus hanya berwujud sebuah pementasan langsung, tapi juga dapat diwujudkan sebagai merchandise interaktif, konser live streaming, bahkan proses di balik layar pembuatannya. Karyanya sama, tapi perwujudan dan penyampaiannya disesuaikan dengan medium dan target audience.

Model pembiayaan kegiatan berkarya pun memiliki berbagai pilihan. Selain model-model yang sudah lebih dulu berlangsung, seperti melalui iklan, sponsor endorsement, kerja sama dengan pemilik modal dan keahlian (misalnya, music label) dan lisensi karya, dapat juga mendapatkan pendanaan kegiatan langsung dari audience (seperti via KaryaKarsa). Dan dengan dibantu akses digital, daya jangkau pendanaan langsung ini tidak terbatas pada hadirnya audience di sebuah acara, namun bisa dikonsumsi di mana saja asal terdapat koneksi internet.

Dalam Ekonomi Karya Baru, ada sebuah harapan. Tapi tentunya ada pekerjaan rumah juga untuk semua pelaku industri. Sebuah pergeseran kerangka berpikir dari yang berfokus pada wujud karya, ke yang berfokus pada HKI. Tentunya tidak mudah, karena seringkali karya tidak dapat dipisahkan dari wujudnya. Dan tidak semua kegiatan karya dapat mudah diterjemahkan ke dalam wujud lain, apalagi digital. Belum lagi kefasihan pelaku-pelaku industri kreatif dalam dunia digital masih sangat bervariasi.

Yang jelas dalam Ekonomi Karya Baru ini, para pemainnya tak lagi terbatas pada pekarya-pekarya yang lazimnya dianggap berkarya, seperti musisi, seniman, penulis, pembuat komik dan sebagainya. Di KaryaKarsa saja sudah ada pelatih yoga, pelatih olahraga, edukasi soal marketing, pembahasan tentang personal branding, bahkan sampai pembaca kartu tarot.

Tapi ya balik lagi, ini pekerjaan rumah masing-masing. Yang harus dipahami adalah bahwa dengan pola pikir Ekonomi Karya Baru, ekonomi kreatif Indonesia dapat adaptif untuk terus tumbuh, bertahan, dan berkembang.

Semangat yuk, karena kita pasti bisa. Mari berbenah dan ikut membentuk The New Normal ini demi membangun Ekonomi Karya Baru. Agar kita kembali menjadi umat manusia yang menang berkat virus, seperti dalam film War Of The Worlds.


Disclosure: artikel tamu ini dibuat oleh Ario Tamat.

Ario adalah CEO Karyakarsa, platform apreasi kreator. Ia bisa dikontak via Twitter @barijoe

Platform Apresiasi Kreator Mudahkan Perhitungan Konversi Kampanye

Sebagai seorang marketer, tentu saya ingin agar campaign yang saya jalankan meraih semua objective yang ditentukan, supaya sepadan dengan besaran investasi yang dikeluarkan. Biasanya, hitung-hitungan keberhasilan sebuah campaign berpedoman pada ROI. Namun di era digital, ukuran ini semakin rumit karena terdiri dari banyak komponen yang relatif antara satu dengan lainnya. Saking rumitnya perhitungan ini, beberapa perusahaan pun membuat ukuran lain dan menyebutnya dengan RoAS, alias Return on Ad Spend. Nah, salah satu komponen yang biasa dijalankan pada digital campaign adalah influencer marketing.

Sebagai seorang communication strategist, tentu saya ingin agar campaign yang klien percayakan pada agency tempat saya bekerja bisa berhasil melampaui KPI yang ditentukan. Ukuran keberhasilan untuk aset-aset yang dikelola sebagai Owned Media dan Paid Media relatif lebih bisa di-manage. Yang agak susah adalah Earned Media. Selain karena kontrol pembicaraan bukan sepenuhnya di kita, influencer marketing memegang peranan cukup penting. Masalahnya menemukan influencer yang tepat untuk campaign kita itu seperti memilih jodoh. Belum tentu efektif, apalagi mendatangkan ROI bagi klien.

Sebagai seorang influencer, tentu saya ingin agar platform yang saya gunakan bisa menjangkau lebih banyak orang, agar lebih banyak brand tertarik menggunakan jasa saya dalam campaign mereka. Namun jujur saja, karena belum ada standarnya, rate card saya sesuka hati dengan mengedepankan jumlah follower yang saya miliki. Bila ditanya bagaimana mengukur keberhasilan, tak sedikit rekan influencer yang kebingungan. Jangankan conversion rate, hanya segelintir yang bisa menjanjikan engagement rate.

Sebagai seseorang yang berpengalaman di ketiga industri tersebut (empat bila dihitung dengan industri media), saya bisa merasakan sendiri problematika pengukuran efektivitas influencer marketing ini. Si A mahal karena follower banyak tapi engagement kecil sekali. Si B murah dan engagement besar, tapi reach kecil. Mana sih yang seharusnya lebih mahal? Si A atau si B? Lantas, mana yang lebih efektif? Itu baru dua influencer, belum bicara kuantitas. Intinya, bikin pusing, lah! Maka, ketika ada platform yang bisa membantu para influencer yang juga pengembang konten kreatif untuk mengonversikan apresiasi follower mereka dalam bentuk tip atau uang langganan seperti KaryaKarsa, saya pun tertarik untuk mengulik konsepnya dan bekerja di sana.

KaryaKarsa memiliki konsep serupa dengan Patreon yang sudah berhasil membantu 100 ribu kreator terhubung dengan para penggemarnya. Esensi mereka adalah memudahkan penikmat karya berkontribusi dalam bentuk uang sehingga bisa membantu penghasilan kreator yang mereka gemari. Ini artinya influencer, yang juga content creator, akhirnya mampu mengukur berapa banyak penghasilan yang mereka dapat langsung dari follower melalui konten yang mereka buat.

Sejak muncul pada Oktober 2019 hingga pertengahan Maret 2020 ini, KaryaKarsa sendiri telah menampung lebih dari 1.300 kreator dan menyalurkan lebih dari 1 miliar rupiah per bulan ke para kreator! Sebuah angka yang bisa dibilang fantastis untuk sebuah perusahaan rintisan yang baru berusia 5 bulan.

Lantas apa artinya ini bagi marketer dan digital agency? Dengan platform KaryaKarsa, tidak menutup kemungkinan sebuah brand membuat campaign yang berkolaborasi dengan para pengembang konten kreatif dan benar-benar menghasilkan keuntungan dari sana. Bagi influencer sendiri, akhirnya ada platform di mana mereka bisa mengukur nilai jual konten mereka, mengetahui daya beli follower, dan benar-benar mendapatkan uang. Sebuah tambahan penghasilan yang menarik, selain dari sponsorship, endorsement, dan adsense.

Memang, tidak semua influencer adalah content creator. Beberapa campaign juga masih memanfaatkan jasa mereka untuk awareness, reach, dan impression. Namun paling tidak, kini ada platform alternatif yang bisa sedikit mengurangi kepusingan menyusun laporan efektivitas dan ROI sebuah campaign.


Artikel ini adalah artikel tamu yang ditulis oleh Pribadi Prananta (Pipu). Ia adalah seorang marketer, creative communication strategist, dan content creator yang bekerja di KaryaKarsa. Terhubung dengan Pipu di Twitter @pipis dan Instagram @pipu.

Melihat Potensi YouTube sebagai Sumber Penghasilan

Jika ada yang masih ragu atau menganggap remeh Youtuber bisa menjadi profesi yang menjanjikan, mungkin belum pernah ngobrol dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya; atau belum melihat statistik dan insight yang valid. Bahkan boleh dibilang, Youtube is a serious business!

Banyak alasan mengapa YouTube menjadi platform yang semakin besar dan dijadikan sumber monetisasi andalan oleh para kreator konten. Mulai dari infrastruktur yang makin baik, harga gadget yang makin terjangkau, paket data unlimited yang menggoda, menjadikan YouTube makin tak terhentikan.

Alasan utama adalah hingga saat ini Youtube masih menjadi satu-satunya platform yang langsung memberikan penghasilan dalam bentuk pendapatan iklan Adsense kepada konten kreator — di samping tentu saja pendapatan dari luar seperti brand deal atau placement. Hal ini yang membedakan YouTube dengan platform lain yang hanya mengandalkan endorse atau brand deal, tapi belum ada bentuk payment dari platform yang bersangkutan.

Faktor lainnya, brand memang lagi fokus spending anggarannya buat influencers, KOL (key opinion leader), vlogger dan seterusnya, di mana Youtube tetap menjadi platform utama yang dibidik. Brand memanfaatkan influencer dalam mengkampanyekan dan mempromosikan produk dan layanan barunya, baik yang fokus pada branding, eksposur, story telling maupun yang mengincar konversi dan aktivasi.

Momentum yang tepat dan didukung oleh ekosistem yang makin baik inilah yang menjadikan YouTube platform yang efektif bagi industri dalam menyampaikan pesan dan merangkul target audiensenya.

Melihat potensi YouTuber di Indonesia

Saat ini di Indonesia sudah banyak nama populer di kalangan YouTuber. Belum lagi ada sederet selebritas yang banting setir mau nyemplung ke Youtube juga.

Ini artinya apa? Jelas, Youtube adalah sebuah bisnis besar — jika paham platform, produksi konten dan komunitas.

Memang tak semua orang bisa masuk ke Youtube dalam artian mampu menjadikan platform ini sebagai sumber pendapatan, tapi peluangnya sama dan terbuka lebar: siapa pun bisa jadi bintang di era Youtube ini.

Seberapa besar pendapatan Youtuber ini? Sekadar contoh dan simulasi sederhana, untuk kreator yang memiliki 1 juta subscriber —dengan asumsi video-videonya diunggah secara reguler; jumlah video views yang konsisten; dan user engagement yang memadai; plus tergantung nilai CPM (cost per miles) dari vertikal/bidang yang menjadi tema video-videonya— yang bersangkutan bisa mendapatkan di kisaran Rp20 juta – 80 juta per bulannya dari YouTube! Ya, itu baru dari YouTube, belum lagi dari endorse ataupun dari brand deal lainnya.

Konten edukasi, inspirasi dan hiburan

Konten apa yang sukses di YouTube? Paling ada tiga strategi konten yang efektif di Youtube: 1) to educate, 2) to inspire, 3) to entertain. Selama sebuah channel memiliki salah satu, dua atau ketiga unsur tersebut, biasanya komunitasnya mulai terbentuk dan video views-nya akan secara konsisten berkembang dengan baik.

Bahkan, jika ingin berbicara secara lebih teknis, diperlukan variasi konten yang disebut sebagai hero content, hub content dan help content.

Bidang atau vertikalnya bisa beragam: bisa komedi, musik, gaming, kuliner, wisata, ilmu pengetahuan, kecantikan —asalkan penyajian videonya dilakukan dengan menghibur, mengedukasi atau menginspirasi, bisa dipastikan channel tersebut akan berkembang.

Intinya adalah, setiap channel harus fokus dan konsisten. Hindari mencampuradukkan berbagai vertikal atau topik dalam mengelola channel YouTube Anda. Hal tersebut akan membuat bingung algoritma YouTube sehingga video Anda luput ditampilkan dalam gerbong rekomendasi oleh Youtube dan itu berarti Anda akan kehilangan potensi tsunami traffic/views dari pengunjung non-subscribers!

Selain itu, campur aduk topik akan membuat bingung komunitas juga. “Ini sebenarnya channel apaan sih?” begitu mungkin gerutuan pengunjung channel Anda.

Tak ubahnya seperti memiliki produk atau layanan yang mau dijual, channel Anda juga harus fokus sehingga target audience-nya juga jelas, brand yang mau masuk juga tidak kebingungan dan Anda sendiri akan terbantu dalam menciptakan konten karena fokus dan terarah.

Di atas itu semua, cara yang paling ampuh untuk terjun dalam industri konten ini adalah dengan memulai eksekusinya. Mulailah bikin channel, bikin dan upload video dan see how it goes.

Pada gilirannya kita memang butuh data, statistik dan insight soal video mana yang berhasil atau gagal. Jika Anda tak mulai mengunggah video, Anda tentu tak punya statistiknya sama sekali.


Artikel ini ditulis oleh Budi Putra, Country Manager Indonesia untuk Collab Asia.

Keruntuhan Industri P2P Lending, Akankah Terjadi di Asia Tenggara?

Ekosistem P2P lending di Indonesia tengah berkembang dalam tiga tahun terakhir membawa optimisme bagi para investor serta secercah harapan untuk ekonomi UMKM di tanah air. Pada kenyataannya, pertumbuhan yang eksplosif ini juga menahan langkah para regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal membedakan perusahaan yang benar-benar bernilai bagi sektor finansial dari perusahaan yang sarat resiko dan cenderung ilegal, yang bisa menjanjikan keuntungan besar bagi para investor.

Dalam laporan KPMG tahun 2018, industri P2P lending Indonesia mengalami pertumbuhan lebih dari 800% sejak tahun 2016, dengan jumlah pinjaman yang disalurkan mencapai 25 triliun Rupiah di akhir tahun 2018. Melihat tren P2P lending saat ini, akan lebih bijaksana bagi investor untuk melihat pola pada pasar yang lebih matang dan menahan diri untuk terjun dalam permainan sampai isu-isu mulai mereda. Naik turunnya ekonomi P2P lending telah berulang sebanyak dua kali; pertama di Republik Rakyat Tiongkok, lalu di Amerika Serikat.

Berbeda dengan di Tiongkok atau Amerika, P2P lending bukanlah konsep baru di Indonesia. Usaha patungan yang biasa dijalankan secara kolektif sudah ada selama berabad-abad lalu dalam bermacam bentuk. Perbedaan budaya ini merupakan faktor penentu utama dalam pertumbuhan ekosistem P2P lending di Indonesia. Keakraban budaya dengan gagasan keuangan mikro memudahkan pemberi pinjaman dan peminjam untuk beradaptasi dengan model-model baru yang diperkenalkan oleh para pengusaha.

Di satu sisi, adopsi P2P lending yang siap pakai oleh penduduk Indonesia yang belum terjangkau produk perbankan turut memicu pertumbuhan ekosistem ini. Di sisi lain, kurangnya regulasi seputar pertumbuhan ini menimbulkan risiko tinggi bagi semua orang yang terlibat dalam industri, termasuk investor, pemberi pinjaman, dan peminjam.

Faktanya adalah tanpa dukungan dari sektor keuangan formal, tidak ada infrastruktur yang cukup untuk menopang operasi bisnis P2P lending. Tingginya rasio kredit bermasalah (NPL), yang mencapai di atas 3%, adalah hal umum. Tanpa metode penilaian kredit yang akurat dan modal yang cukup untuk melakukan penjadwalan utang, sangat sulit–hampir tidak mungkin–bagi pemain P2P lending untuk mengkurasi para peminjam dengan baik dan menjamin para investor memperoleh nilai pengembalian yang dijanjikan.

Kejatuhan industri

Di balik eksistensi model bisnis P2P yang legit yang telah terdaftar di OJK, kurangnya pengawasan secara menyeluruh menciptakan ruang untuk praktik penipuan.

Menurut daftar yang telah dirilis pada 30 September 2019, hanya sekitar 13 dari 127 aplikasi pinjaman terdaftar yang telah dilisensi oleh OJK. Di luar dari sekitar 100 yang terdaftar, ratusan lainnya beroperasi secara ilegal di wilayah ini.

Sejumlah platform P2P lending ilegal ini menjadi pusat perhatian selama beberapa tahun terakhir karena serangkaian skandal yang melibatkan kebangkrutan, suku bunga absurd, serta metode pengumpulan tak lazim untuk NPL. Secara bergilir, skandal ini telah memicu gerakan perlawanan menyeluruh dari para peminjam. Dari sisi investor, ada banyak kasus di mana platform P2P lending, salah satunya di Tiongkok, melalaikan kewajiban setelah akhirnya ditutup, sama halnya dengan Yindou, yang ditutup pada Juli 2018 dengan saldo pinjaman 4,4 miliar yuan (sekitar US$ 640 juta) lalu meninggalkan investor tanpa kejelasan terkait investasi mereka.

Mengingat rekam jejak negatif dari platform P2P lending di Tiongkok dan Amerika Serikat, tidak dapat dihindari bahwa cepat atau lambat, kejatuhan industri P2P lending akan menyebar di Asia Tenggara.

Sebuah titik terang

Tentu saja, selalu ada pengecualian. Pemain P2P yang memberikan studi kasus untuk sektor keuangan formal menawarkan nilai jangka panjang sebagai contoh sebuah transisi ke ekosistem keuangan mikro yang lebih berkelanjutan. Pengecualian seperti itu biasanya beroperasi dalam ceruk tertentu, seperti pembiayaan faktur atau pembiayaan UKM dalam sektor e-commerce.

Salah satu contoh dari startup pemberi pinjaman P2P yang telah berhasil beralih ke model keuangan mikro yang lebih berkelanjutan adalah Danamas. Perusahaan ini, sebagai bagian dari grup Sinarmas, secara eksklusif berurusan dengan peminjam yang merupakan pelanggan Traveloka atau yang membutuhkan kredit ponsel. Dengan tingkat default rendah dan keuntungan 14% hingga 20%, Danamas adalah pemberi pinjaman P2P pertama di Indonesia yang terdaftar dan dilisensi penuh oleh OJK.

Salah satu yang bisa dikaitkan dengan keberhasilannya adalah integrasi dengan ekosistem keuangan. Peminjam dapat membuka rekening Bank Sinarmas, memperoleh kredit ponsel, bahkan membeli asuransi melalui aplikasi, semua didukung entitas dalam sektor keuangan formal.

Setelah isu mulai reda

Sekalipun P2P lending menjelma menjadi bom waktu, hal ini tidak ada kaitannya dengan perkembangan sektor finansial di Indonesia.

Para pemain smart P2P lending memahami bahwa mereka perlu melakukan diversifikasi jika ingin menjelma menjadi yang terbaik. Ini adalah wujud Darwinisme yang paling murni. Saya telah menyaksikan beberapa perusahaan menunjukkan studi kasus baru yang menarik ke sektor keuangan formal yang sudah ada di Indonesia. Sejumlah platform P2P lending baru menunjukkan bahwa mereka dapat memanfaatkan peluang yang tidak dimiliki bank besar.

Investree adalah salah satu contoh menarik dari perusahaan P2P lending. Mereka membuat studi kasus yang menarik untuk pembiayaan faktur, yaitu di industri kreatif di mana jaminan fisik masih sulit didapat. Dalam satu kurun waktu, startup pinjaman P2P Modalku menunjukkan daya tarik dengan pembiayaan pedagang daring, bahkan masuk ke pembiayaan perdagangan (contohnya pembiayaan rantai pasokan). Peluang lateral ini lahir dari pinjaman P2P dan ada kemungkinan memiliki nilai jangka panjang bagi bank-bank besar serta lembaga keuangan formal di ASEAN.

Menurut indeks keuangan global Bank Dunia, 48,9% orang dewasa Indonesia memiliki rekening bank, sementara hanya 17,3% yang meminjam dari lembaga keuangan formal. Hal ini dapat dibandingkan dengan tingkat penetrasi internet negara yang mencapai 72,4% untuk wilayah perkotaan, area yang paling banyak dihuni UKM, di mana terdapat kesenjangan mencolok antara kedua statistik. Aplikasi pinjaman P2P menawarkan cara untuk menjembatani jurang ini dengan menmungkinkan konsumen dengan basis mobile untuk melancarkan aktivitas keuangan online.

Dengan kata lain, teknologi pinjaman P2P membantu menyosialisasikan populasi yang tidak memiliki rekening bank kepada gagasan keuangan mikro, sehingga meningkatkan tingkat melek finansial di Indonesia. Ini terutama benar setelah OJK mengeluarkan peraturan pada tahun 2016 yang mewajibkan platform pinjaman P2P untuk menyediakan seminar eksternal dan program sosialisasi untuk mempromosikan inklusi keuangan dan literasi di pasar.

Dengan cara ini, aplikasi menyediakan prekursor yang diperlukan untuk sektor keuangan formal untuk masuk dan memberikan solusi keuangan mikro yang lebih berkelanjutan.

Para pemain yang bertahan

Seperti yang sudah saya sebutkan, pemain P2P dengan penawaran studi kasus paling menarik pada sektor keuangan formal akan memimpin pasar. Pemberi pinjaman P2P berlisensi cenderung bertahan karena sudah terintegrasi dalam sektor keuangan formal dan mengisi ceruk tertentu. Namun, hal ini tidak berlaku untuk ratusan bisnis pinjaman P2P tanpa izin yang kini beroperasi di Indonesia, karena mereka akan berangsur-angsur runtuh dengan model bisnis yang tidak berkelanjutan.

Mungkinkah ekosistem pinjaman P2P Indonesia akan mengalami nasib yang berbeda dari ledakan yang terjadi di Tiongkok dan AS? Mungkin, tapi itu tidak mungkin. Kesehatan industri dapat diukur dengan tingkat NPL, dan dengan demikian, akan bijaksana untuk mengawasi indikasi-indikasi bahaya untuk saat ini.


Artikel ini ditulis oleh Nicko Widjaja, CEO BRI Ventures. Pertama kali diterbitkan oleh Forbes Indonesia (edisi Januari 2020) dan diterjemahkan dengan izin penulis.

Ketika Teknologi Mengambil Alih Peran Manusia di Dunia Medis

Pemanfaatan teknologi AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan telah berhasil menyederhanakan pekerjaan manusia di berbagai bidang industri, salah satunya dalam dunia medis. Cara kerja mesin AI tidak jauh berbeda dengan manusia, karena pada dasarnya AI adalah sebuah simulasi otak manusia dalam bentuk digital yang sudah diprogram untuk belajar dan (akhirnya) berfikir layaknya manusia.

Ada beberapa fungsi teknologi AI yang populer di negara maju yang kini sudah bisa dinikmati juga di negara berkembang, yaitu untuk diagnosa patologi, operasi robotik, perawat virtual serta berbagai inovasi lainnya dalam dunia medis. Pemantauan kesehatan juga dapat dilakukan dengan teknologi AI yang terdapat pada smartwatch.

Belum lama ini Google AI dinyatakan sudah jauh lebih akurat dibandingkan dokter dalam mendeteksi kanker payudara. Sebuah studi tim internasional, termasuk peneliti dari Google Health dan Imperial College London, telah merancang dan melatih model komputer dengan hasil rontgen dari sekitar 29.000 wanita. Algoritma ini dinilai dapat mengungguli enam ahli radiologi dalam membaca mammogram.

Mekanisme AI pada tubuh manusia

Pada dasarnya, tubuh manusia itu adalah carbon-based computer, ia mengikuti input dan output yang standar dan tertentu. Prosesnya dimulai ketika dokter melakukan analisa sebagai input, lalu melakukan tindakan yang relevan, seperti memberi obat-obatan, dengan harapan output yang dihasilkan sesuai.

Namun, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan input dari dokter tidak tersampaikan dengan sempurna, seperti pada saat pasien ditanya tentang gejala yang terjadi pada tubuhnya. Banyak yang masih belum bisa menyimpulkan secara detail, bahkan sulit menjelaskan apa yang terjadi dalam tubuh mereka.

Beruntung, saat ini telah tercipta teknologi rontgen, di mana mesin bisa menggunakan radiasi untuk mengambil gambar bagian dalam dari tubuh seseorang untuk mendiagnosa masalah kesehatan dan lain-lain. Saat sudah didapat input yang standar, saat itu lah mesin bisa mengambil alih. Dari setiap gambar yang dipindai, mesin AI akan menyimpan data, melakukan analisis, lalu menghasilkan diagnosis. Semakin banyak data yang dimasukkan, maka semakin akurat diagnosa yang dihasilkan. Hal ini sangat membantu dokter untuk bisa melakukan analisis tanpa harus mempertanyakan gejala pasien. Satu proses berhasil diminimalisasi.

Masa depan dunia medis di tangan teknologi

Saat ini, Google AI sudah bisa mendeteksi kanker payudara melalui hasil rontgen dari sekitar 29,000 wanita. Bukan tidak mungkin, di masa yang akan datang, mesin ini bisa mendeteksi berbagai penyakit lainnya, ketika diperbarui dengan teknologi yang lebih canggih serta dibekali dengan data yang lebih lengkap. Dan akhirnya pada satu titik, ilmu kedokteran radiologi ini niscaya akan dikuasai mesin.

Saya pernah berdiskusi dengan seorang radiolog mengenai topik ini, ia memiliki pandangan bahwa komputer akan sulit melakukan analisa rontgen dengan banyak sekali kemungkinan. Harusnya tidak. Mesin dan teknologi AI dengan sistem pembelajarannya bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan manusia – mereka cerdas memahami data dalam jumlah besar dan kompleks.

Jika ditarik lebih jauh, dengan dinamika pertumbuhan yang cepat, dibutuhkan sensor-sensor baru di bidang medis untuk membuat semua pengobatan menjadi otomatis. Bukan tidak mungkin, akan tercipta teknologi sensor tubuh selain rontgen. Sebuah mekanisme yang bisa membuat input menjadi tiga dimensi, dimana proses pemindaian seluruh tubuh dapat dilakukan secara akurat, mulai dari tulang, otot, serta organ tubuh lainnya.

Dari sini, AI akan butuh pembelajaran ke dimensi yang lebih tinggi dan jauh lebih kompleks untuk bisa mengenali semua penyakit dan anomali yang terpapar dari model 3D tersebut. Hal ini sangat mungkin terjadi dengan perkembangan teknologi yang exponensial. Pada saat itu, fungsi dokter umum akan semakin tergerus oleh automasi.

Hari ini, kita sudah bisa menerima argumen bahwa mesin bisa menyetir lebih baik daripada manusia. Suatu hari, saya yakin manusia juga percaya bahwa mesin akan lebih pintar mengobati kita daripada dokter. Saya percaya hal-hal tersebut akan terjadi, semua hanya menunggu waktu.


Artikel tamu ini ditulis oleh Izak Jenie. Izak adalah CEO Jas Kapital, CTO KREN dan Co-Founder MCAS Group.

Benang Merah Bitcoin dan CodingMum

Ini bukan cerita soal investasi bitcoin, melainkan cerita dan argumen mengapa kita harus mengajarkan coding bagi tenaga kerja kita.

Seorang teman saya pernah berujar, bitcoin adalah satu-satunya aset di dunia yang bentuknya sama di seluruh dunia tapi harganya berbeda-beda tergantung market. Bentuk bitcoin di Jepang, di Amerika Serikat, atau di Indonesia adalah sama dan dengan mudah bisa disalurkan ke seluruh dunia.

Tidak ada benda di dunia yang bentuknya sama di semua negara sehingga bisa memiliki perbedaan signifikan yang harganya ditentukan harga pasar. Tidak beras, tidak apel, atau bahkan tidak durian. Apel di masing-masing negara memiliki keunikan sendiri sehingga kalau dibilang harga apel di seluruh dunia berbeda-beda, orang menjadi maklum karena kualitas apel di semua negara berbeda-beda.

Bagaimana dengan barang elektronik seperti Apple atau Samsung? Bentuknya sama di semua negara tentu saja, tapi harganya ditentukan produsen. Harga produk Apple atau Samsung di masing-masing negara hanya berbeda sedikit, sehingga untuk kita membeli di berbeda negara hanya selisih sedikit tergantung kurs mata uang.

Hal yang berbeda berlaku bagi bitcoin. Bitcoin memiliki harga yang berbeda-beda di masing-masing negara, tergantung permintaan dan penawarannya.

Harga bitcoin di satu negara bisa berbeda antara 3-10% yang menyebabkan jual beli selisih bitcoin bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Bitcoin adalah aset digital yang mudah diperjualbelikan dan secara likuid mudah ditransfer.

Pembeli dari Amerika Serikat dengan mudah bisa membeli bitcoin dari Indonesia dengan harga yang mungkin lebih murah dan menjualnya di Amerika Serikat dengan harga lebih mahal. Ini adalah kekuatan penting dari barang yang sama di seluruh negara dengan harga berbeda.

Kemampuan coding yang universal

Di jaman digital ini, kemampuan coding merupakan suatu ilmu yang sama dan standard di seluruh negara. Jika seseorang mengerti dalam pemrograman HTML, CSS, atau Javascript, maka skill yang sama dibutuhkan di semua negara.

Seperti bitcoin, standar skill tersebut sama namun harganya berbeda-beda di semua negara. Ilmu pembuatan program di negara-negara maju dihargai dengan harga mahal, sementara di negara Indonesia dihargai dengan harga yang lebih murah.

Sistem pemrograman adalah likuid. Para programmer Javascript di Indonesia bisa dengan mudah mengambil proyek-proyek yang ada di negara maju dengan harga yang cukup mahal. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan keinginan untuk mencari proyek tersebut di Internet.

Sebetulnya, apa yang membuat harga pekerja di berbagai negara berbeda? Skill mereka? Bukan. Menurut suatu teori, harga tenaga kerja berbeda karena kebijakan imigrasi.

Dicontohkan perumpamaan mengenai harga pekerja yang berbeda di Swedia dan India. Gaji supir bis di Stockholm, Swedia (katakan namanya Sven) adalah 50 kali gaji supir bus di Mumbai (katakan namanya Ajit). Bagaimana Sven bisa mendapat gaji 50 kali lebih besar daripada Ajit. Apakah Sven memiliki skill mengemudi bus 50 kali lebih baik daripada Ajit? Dengan semrawutnya lalu lintas di Mumbai, kemungkinan besar Ajit jauh lebih pandai mengemudi bus daripada Sven di kota Stockholm yang lebih teratur. Jadi mengapa gaji Sven bisa 50 kali lebih tinggi daripada gaji Ajit?

Pemerintah Swedia memberlakukan kebijakan imigrasi, sehingga Ajit tidak bisa datang ke Stockholm dan mengambil pekerjaan Sven. Semua negara memberlakukan hal ini supaya tidak merusak tatanan budaya negara tersebut. Tentunya salah satu alasan ekonomi kebijakan imigrasi adalah untuk melakukan proteksi terhadap Sven supaya pekerjaannya tidak diambil Ajit.

Ada banyak Ajit-Ajit lain di berbagai bidang, seperti perbankan, kedokteran, atau buruh pabrik yang siap mengambil pekerjaan Sven-Sven lain di negara maju. Untuk itu dibutuhkan proteksi imigrasi.

Meskipun demikian, hal di atas tidak berpengaruh terhadap industri pemrograman. Perkembangan internet dan manajemen pembuatan software sudah berkembang dengan cukup maju sehingga software bisa dikerjakan di mana pun. Tidak perlu semua orang duduk di kantor yang sama, di kota yang sama, ataupun di negara yang sama. Saat ini dengan mudah fungsi-fungsi software dibelah-belah dan diberikan ke para programmer di seluruh dunia. Memang tidak semua software bisa di-outsource karena ada masalah IP rights, kerahasiaan, dan sensitivitasnya; tapi setidaknya 80% pekerjaan industri software bisa di-outsource ke seluruh dunia tanpa kesulitan.

Di industri ini kita tidak punya masalah imigrasi. Dengan mudah para programmer di Indonesia bisa mengambil alih pekerjaan programmer di Swedia hanya dengan menggunakan tools project management via Internet. Kita bisa duduk di Yogyakarta dan mendapat gaji yang secara teori kurang lebih sama dengan programmer di Swedia karena mengerjakan hal yang sama.

CodingMum

Konsep di atas adalah tesis CodingMum, sebuah produk Badan Ekonomi Kreatif kabinet terdahulu yang digagas Bapak Triawan Munaf bersama saya dengan tujuan mengajarkan coding kepada ibu-ibu Indonesia.

Para Ibu-ibu lulusan CodingMum, hampir 1000 orang jumlahnya sejak 2016, banyak mendapatkan proyek menarik hanya dengan bekerja dari rumah. Secara aktif mereka mencari proyek dari teman-teman dan juga dari Internet. Manfaat yang didapatkan mereka luar biasa.

Sangat inspiratif mendengar kesaksian mereka yang bisa mendapatkan penghasilan antara 3 juta sampai dengan 40 juta Rupiah per bulan hanya dengan bekerja di rumah.

Mereka bisa membantu suaminya untuk uang muka mobil dan bahkan beberapa mengatakan ikut menyumbang uang muka rumah. Mereka pun tidak menyangka bahwa ini bisa terjadi. Ada seorang lulusan dari Surabaya yang mendapatkan beasiswa Apple Academy dan 9 bulan kemudian lulus dan fasih memprogram untuk aplikasi iOS.

Benang merah

Melihat hasil di atas, kita sebetulnya bicara soal skill yang bisa mengubah nasib. Perubahan nasib yang sama dialami ratusan BMI (Buruh Migran Indonesia, pengganti kata TKW) di Singapura, Hongkong, dan Malaysia yang juga sempat mencicipi program CodingMum ini.

Para pembantu rumah tangga, yang sering dianggap masyarakat kelas bawah, berhasil mengubah nasibnya. Mereka membuat kaget majikannya, hingga sang majikan memberikan proyek pembuatan situs bisnis mereka ke para BMI. Ada lagi yang memutuskan tidak ingin meneruskan jadi BMI dan memilih pulang menjadi pembuat situs, walau pun majikannya membujuk-bujuk dengan janji menambahkan gaji.

Mengajarkan coding kepada tenaga kerja bisa menjadi batu loncatan yang cukup baik bagi kita di Indonesia. Kita bisa skip langsung ke industri 4.0 dengan mengajarkan kemampuan programming ke anak-anak kita pula. Kita bisa menjadi ratusan ribu atau jutaan pasukan digital baru yang siap masuk ke dunia kerja dengan kekuatan populasi Indonesia. Untuk membangun industri ini, kita tidak perlu modal besar karena yang kita jual adalah intangible asset yang nilainya bisa di-multiply dengan mudah.

Pemrograman adalah skill premium. Mengajarkannya pun tidak mudah. Dari ribuan peserta, CodingMum sudah membuktikan bahwa semua orang bisa diajak masuk ke industri digital. Apakah itu pembantu rumah tangga, anak-anak panti asuhan, anak autis, difabel tunanetra (yep, bisa), lansia–mereka semua bisa mengerti konsep industri ini.

Dari beberapa sesi awal, seperti ada kotak pandora yang terbuka. Sebuah pencerahan untuk mereka bisa mulai belajar. Sangat mungkin untuk mengajarkan coding secara masif kepada masyarakat.

Ada satu benang merah yang serupa dari kesaksian para lulusan CodingMum, apakah itu ibu rumah tangga di kota-kota besar, kota-kota kecil, atau buruh migran: suami mereka jadi lebih menghargai mereka. Suami mereka rata-rata kaget dengan kemampuan (dan penghasilan) baru mereka. Banyak kisah cerita yang mengharukan mengenai dampak sosial CodingMum dan memang harusnya ini adalah kunci semua kegiatan yang berfungsi memajukan ekonomi.

Pada akhirnya, para Ibu-ibu itu menjadi lebih bahagia dan lebih dipandang oleh suaminya. Mereka akan dipandang anak-anaknya dan pasti akan berusaha menularkan ilmu mereka kepada si anak. Pada akhirnya, unit terkecil dari masyarakat kita, keluarga, memiliki dinamika baru untuk maju karena martabat manusia telah ditinggikan.


Artikel tamu ini ditulis oleh Izak Jenie. Izak adalah CEO Jas Kapital dan Co-Founder MCAS Group.

Membangun Bisnis “Coworking Space” yang Berkelanjutan

Kegagalan WeWork menempatkan dirinya ke bursa saham pada beberapa waktu lalu menjadi bukti, selain masalah good governance, adalah sulitnya mendapatkan keuntungan bersih di bisnis coworking space. Hal ini merupakan dampak kesalahan model bisnis yang digunakan.

WeWork berkembang terlalu cepat sehingga model bisnisnya menjadi tidak berkelanjutan dan hanya mengandalkan suntikan dana investor. Pertumbuhan yang terlalu cepat akan membunuh industri coworking space karena ada grace period yang perlu diperhitungkan.

Bisnis coworking space yang berkelanjutan sebaiknya mampu menemukan klien terlebih dahulu yang menginginkan sebuah area tertentu sebelum membuka tempat baru agar pendapatan sebuah lokasi dapat diprediksi dan menjadi acuan dalam mengembangkan bisnis ke depannya.

Kesalahan yang seringkali dilakukan pemain coworking space adalah menyewa sebuah tempat untuk kembali disewakan sehingga menambah beban finansial setiap bulannya. Oleh karena itu, konsep joint venture atau sharing revenue dengan landlord merupakan sebuah cara alternatif dalam membuka sebuah lokasi coworking space baru.

Saat ini, banyak pelaku coworking space yang telah kehilangan nilai dan fungsinya. Dari penyedia tempat kerja menjadi fokus ke bisnis properti dan melupakan esensi utamanya sebagai wadah utama dalam mendukung perkembangan ekosistem startup.

Idealnya coworking space harus mampu menjadi lebih dari sekedar penyedia ruang kerja, yaitu sebagai one stop solution platform bagi startup untuk berkembang dan sukses. Hal ini yang belum banyak dilakukan oleh pemain coworking space, padahal faktor ini merupakan salah satu daya tarik yang membedakan dengan perkantoran.

Saat ini banyak perkantoran yang mengadopsi suasana “segar” serupa dengan coworking space untuk mendukung produktivitas dan menghilangkan kejenuhan dalam bekerja. Namun hal tersebut tidak dapat menyamai coworking space karena tidak mempunyai elemen networking.

Nilai dan daya tarik coworking space juga terletak pada hubungan antar komunitas yang ada di dalam ekosistemnya dan dapat membuka berbagai peluang berkolaborasi untuk menciptakan sebuah karya. Hal tersebut merupakan nilai yang tidak didapatkan pada ruang perkantoran biasa.

Salah satu keunikan lain yang dapat ditawarkan oleh coworking space adalah koneksi internet yang cepat dan stabil. Meskipun terdengar sepele, banyak orang yang lebih memilih coworking space daripada menyewa ruang perkantoran biasa dengan kualitas koneksi internet yang berbeda jauh di bawah kualitasnya.

Pertimbangan harga juga menjadi salah satu kekuatan coworking space. Karena tergolong lebih murah dibandingkan menyewa ruang perkantoran, mayoritas publik lebih menyukai menyewa per bulan maupun minggu. Berbeda dengan perkantoran yang mengharuskan menyewa lebih dari satu tahun.

Fleksibilitas, networking, tempat yang strategis, dan kenyamanan merupakan faktor utama yang membuat industri coworking space akan bertahan dan tetap diminati di Indonesia. Hanya saja pelaku usaha coworking space harus berhati-hati dalam mengembangkan usahanya dan tidak terlalu ekspansionis agar mempunyai bisnis model yang berkelanjutan.

Yang perlu kita pahami adalah karakteristik startup yang tidak ingin repot memikirkan tempat. Bagi mereka yang penting adalah fokus menjalankan bisnis agar dapat bertahan, namun tetap ingin memiliki kantor di area pusat bisnis untuk menunjang produktivitas maupun membangun kredibilitas.

Industri coworking space di Indonesia akan terus berkembang dan masih mempunyai potensi yang besar. Menurut Asosiasi Coworking Indonesia, sejak 2017 hingga 2019 pertumbuhannya tercatat sekitar 70 persen. Hal tersebut juga didukung pergeseran tren yang dilakukan banyak perusahaan untuk berpindah ke coworking space dan karakteristik generasi milenial yang lebih suka bekerja di lingkungan yang dinamis dan nyaman.

Ke depannya akan banyak pengelola gedung perkantoran yang berkolaborasi dengan coworking space untuk mengikuti permintaan pasar ataupun mengubah model bisnisnya menjadi coworking space. Berdasarkan data Leads Property, hal tersebut juga sudah mulai terjadi saat ini ketika sebagian besar area perkantoran di Jakarta sudah dikelola pelaku coworking space.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Chief Marketing Officer Dreamhub Duan Akelyaman. Dreamhub adalah layanan coworking space yang menyediakan one-solution untuk membantu perusahaan membangun bisnis.

Mengedepankan Pasar Lokal: Presiden Tokopedia Patrick Cao Berbicara tentang Rencana IPO dan Strategi Bisnis

Platform e-commerce terbesar di Indonesia, Tokopedia, memasuki dekade keduanya. Di ulang tahun ke-10, perusahaan menyatakan ambisinya untuk menjadi “super ecosystem” untuk konsumer dan bisnis lokal. Berdasarkan riset terbaru oleh LPEM FEB UI, Tokopedia diproyeksi akan berkontribusi sebanyak $12 miliar pada ekonomi Indonesia tahun ini, dari sisi nilai transaksi, lapangan kerja, serta meningkatnya pemasukan penjual di seluruh pelosok.

Perusahaan membuat gempar dengan pernyataan CEO dan Co-foundernya, William Tanuwijaya, tentang rencana mereka untuk IPO dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini diterima dengan baik oleh publik serta para analis, melihat rekam jejak positif perusahaan dalam dunia ekonomi digital Indonesia. Hal ini diharapkan bisa mengajak perusahaan lain untuk mengikuti jejaknya.

KrASIA belum lama ini berbincang dengan Presiden Tokopedia, Patrick Cao untuk berdiskusi mengenai strategi bisnis perusahaan dan detail persiapan IPO.

KrASIA (Kr): William mengungkapkan di depan publik bahwa Tokopedia akan lebih fokus “go local” daripada berlomba-lomba dengan pemain lain untuk ke pasar internasional. Bisakah Anda menjelaskan sedikit tentang hal ini?

Patrick Cao (PC): Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Sekarang, terdapat lebih dari 60 juta UKM di negara ini, dan kami berkontribusi untuk memberdayakan sekitar 6,6 juta bulan lalu. Selain membantu UKM yang sudah ada, kami juga menyalurkan gelombang baru UKM melalui platform ini. Menurut riset terbaru LPEM FEB UI, Tokopedia telah menciptakan 857.000 lapangan pekerjaan baru, mulai dari penjual aktif dari Aceh hingga Papua, sama dengan 10,3% dari total lapangan pekerjaan baru di Indonesia pada tahun 2018.

Saat ini kami memiliki 350.000 partner toko yang juga disebut Mitra. Kami mengembangkan teknologi dan platform untuk menyediakan layanan tambahan untuk mereka. Misalnya, kami membantu pengadaan lebih cepat melalui fitur grosir, dan menyediakan modal kerja untuk mempermudah mereka menambah inventaris. Kami membuat desain Mitra Tokopedia sederhana agar lebih mudah dicerna. Setelah satu tahun, aplikasi ini telah diunduh lebih dari dua juta pengguna Android.

Aplikasi Mitra Tokopedia / Tokopedia
Aplikasi Mitra Tokopedia / Tokopedia

Kr: Apakah perusahaan bekerja sama dengan pemerintah setempat terkait hal itu?

PC: Ya, kami sadar bahwa konsumer di desa kecil punya kebutuhan dan preferensi yang berbeda dengan konsumer yang berada di Jakarta, jadi kami melakukan personalisasi layanan untuk mereka. Bagi UKM, kami menyiapkan Tokopedia Center di setiap berbagai area dan desa terpencil. Sebuah pusat belajar dan pengalaman digital dimana UKM bisa belajar bagaimana berperan sebagai merchant, bagaimana mengelola aplikasi, membuat transaksi online-to-offline (O2O), menggunakan pembayaran serta layanan finansial digital, dan lainnya. Baru-baru ini, kami telah bekerja sama dengan pemerintah Jawa Barat untuk memperluas akses pemberdayaan ke area terpencil melalui beragam inisiatif, salah satunya adalah membuka Tokopedia Center di sebuah desa bernama Sukanagara. Kami sudah merencanakan untuk membangun dalam jumlah besar selama dua tahun ke depan.

Kr: Benarkah ada rencana ekspor produk dari merchant Tokopedia?

PC: Yang pertama dan utama, intensi kami adalah untuk membangun teknologi terbaik demi memberdayakan industri logistik dan pengadaan di Indonesia, serta memperbanyak partner. Karena itu kami memiliki data, trafik dan teknologi. Ketika sudah berhasil menjangkau seluruh Indonesia serta menghadirkan pengalaman setara di setiap sudut area, tidak menutup kemungkinan kami akan memperluas sisi logistik dan pengadaan untuk membantu mereka melakukan ekspor. Selain itu, kami juga akan lebih fokus untuk membangun pengalaman terbaik di Indonesia terlebih dahulu, itu saja sudah sebuah hal yang besar. Saat kami bisa mencapai tahap itu, ekspor bisa jadi pertimbangan.

Kr: Dengan lebih dari 90 juta pengguna aktif serta vertikal yang bervariasi, Tokopedia saat ini berada di tahap mana?

PC: Jujur, saya melihat: kami baru saja memulai. Jika Anda berpikir tentang metrik penetrasi, baik itu e-commerce, pembayaran digital, atau logistik dan pengadaan yang didukung teknologi di Indonesia, saya pikir kami, juga para pemain lain telah membangun bisnis yang luar biasa. Namun, jika Anda melihat posisi kami diantara pemain lain di Cina atau AS, jalan kami masih panjang. Kami masih jauh di belakang mereka. Jumlah transaksi kami terlihat besar menurut riset terkini, juga diproyeksikan dapat berkontribusi 1,5% dari total PDB negara. Namun, dibandingkan dengan total kontribusi perdagangan, jumlah ini masih rendah. Jadi, masih ada begitu banyak peluang dalam vertikal inti dan ruang besar untuk tumbuh.

Kr: Berita tentang rencana Tokopedia untuk IPO telah menyebar di media beberapa bulan terakhir. Bisakah anda bercerita sedikit mengenai persiapan sejauh ini?

PC: Saya melihat hal ini sebagai pertumbuhan yang positif, karena itu berarti kami telah melampaui skala tertentu. Dari sisi persiapan, jujur, persiapan kami sangat lama. Sejak pertama kali saya bergabung sebagai CFO tiga tahun lalu, kami secara konsisten memastikan bahwa tata kelola perusahaan kami berada pada standar tertinggi di Indonesia, dan sesuai dengan standar praktik internasional. Saya pikir sangat penting bagi kami untuk listing di pasar Indonesia mengingat fokus yang terpusat pada lokal. Namun, dual listing menjadi sama penting untuk mengamankan akses ke likuiditas yang lebih besar. Di luar tata kerja infrastruktur, William dan saya berbicara tentang kondisi pasar saat ini, apakah ini saat yang tepat dengan mempertimbangkan volatilitas pasar, kondisi makro, dan sentimen, karena semua hal itu penting.

Di tahap akhir, dan mungkin yang paling penting adalah memahami kesehatan bisnis kita. Saya pikir kami telah melakukan banyak upaya untuk meningkatkan layanan yang memiliki nilai tambah bagi pedagang dan pelanggan kami, hal itu tercermin dalam tingkat klik yang mendorong pendapatan. Pada waktu bersamaan, kami sudah melakukan optimasi biaya untuk waktu yang cukup lama.

Saya yakin Anda mulai melihat pendekatan pasar yang lebih rasional dari pihak kami. Anda tidak akan melihat kami melakukan festival belanja besar seperti promo 11.11 atau 12.12 seperti pemain lain, karena menurut saya menjalankan promosi dua hari sebenarnya bukanlah hal yang sehat. Fokus inti kami adalah semua tentang inovasi produk untuk meningkatkan pengalaman pelanggan karena itulah cara Anda membangun bisnis yang berkelanjutan. Pada tahap ini, masuk akal bagi kami untuk mulai memikirkan IPO sebagai bukti validasi dari segala yang kami bangun dalam sepuluh tahun terakhir.

Kr: Apakah pernah terfikir untuk listing di pasar New York seperti Alibaba, yang juga adalah cerita sukses sebuah debut IPO?

PC: Perbedaan terbesar antara kami dan mereka adalah bahwa kami lebih mengutamakan listing lokal terlebih dahulu. Apakah kita memilih AS untuk target internasional, itu tergantung pada waktu listing dan kondisi pasar saat itu. Debut IPO sangat rumit tetapi saya beserta anggota tim telah mengantar sejumlah perusahaan go public di ventura sebelumnya. Jadi kita bisa belajar dari pengalaman, dan tentu saja, pengalaman pemegang saham — seperti Alibaba, Softbank, dan Sequoia, yang memiliki portofolio perusahaan yang telah sukses go public — juga akan membantu kita mengetahui waktu dan tempat yang tepat. Kami sangat menanti sampai di titik itu.

Patrick Cao, presiden Tokopedia / Tokopedia
Patrick Cao, presiden Tokopedia / Tokopedia

Kr: Apa yang menjadi fokus bisnis Tokopedia di tahun depan dan seterusnya?

PC: Mari kita mulai dengan misi untuk mendemokratisasi teknologi perdagangan di Indonesia. Definisi perdagangan pada dasarnya sama, tetapi itu semua berevolusi. Pertama, untuk perdagangan barang fisik, kami jadi yang terbesar di negara ini. Kedua, kami membantu bisnis dan merek di dalam platform untuk bertumbuh dengan pesat. Yang ketiga adalah mengenai barang digital. Kami baru-baru ini mengumumkan kemitraan dengan pemerintah dalam meluncurkan fitur pembayaran untuk lebih dari 900 jenis layanan administrasi negara, termasuk pajak. Penting bagi kami untuk menjawab setiap kebutuhan orang Indonesia dan kami akan terus meningkatkan kualitas produk serta menjadikannya lebih seamless.

Terakhir, adalah untuk terus meningkatkan layanan lokal, itulah sebabnya saya merasa akuisisi Bridestory menjadi sangat penting di tahun ini. Pada dasarnya, kami membawa tim terbaik untuk membantu memperkuat layanan yang berfokus pada wanita seperti pernikahan, serta untuk ibu dan bayi. Saya merasa kami semakin meluas ke ranah rumah dan furnitur serta kebutuhan utama lainnya di masa depan.

Terlepas dari area perdagangan, hal lain yang akan terus kami lakukan adalah meningkatkan IaaS (layanan infrastruktur) yang menciptakan pengalaman yang lebih baik dalam menggunakan layanan commerce dimana logistik dan pengadaan membantu pedagang lebih cepat scale-up. Kami juga akan terus fokus pada pengembangan layanan keuangan dan pembayaran. Populasi yang terjangkau produk perbankan masih rendah, jadi kami ingin membuka potensi itu untuk mendukung ekosistem yang lebih besar, baik pedagang, pelanggan, atau mitra toko. Hal-hal tersebut akan terus menjadi fokus kami di tahun 2020 dan seterusnya.

Kr: Berbicara mengenai akuisisi, sudah menjadi hal yang lumrah ketika perusahaan teknologi besar mengakuisisi startup yang lebih kecil, kami merasa Bridestory bukan akan jadi akuisisi yang terakhir, apakah ada rencana ke depan yang bisa dibagikan?

PC: Bridestory adalah akuisisi penuh pertama kami. Hal ini tidak sering terjadi, karena biasanya, kami melakukan kemitraan dan mendukung pengusaha dengan memanfaatkan modal, data, dan teknologi. Bridestory, bagaimanapun, adalah pengecualian karena menurut kami integrasi penuh akan lebih baik untuk kedua perusahaan. Kami selalu mencari celah untuk memanfaatkan sumber daya demi mendukung perusahaan teknologi lainnya, tetapi mengenai akuisisi selanjutnya, itu semua tergantung dari keinginan keluarga besar [pemangku kepentingan], dan bagaimana hal itu akan menguntungkan kedua belah pihak, terutama dari perspektif strategis. Namun untuk saat ini, beluma ada yang bisa kami ungkapkan.

Kr: Selain fokus pada pengembangan inti bisnis, apa faktor lain yang berkontribusi dalam kesukesesan Tokopedia?

PC: Saya pikir fokus pada pasar Indonesia adalah suatu keuntungan. Kami tidak terganggu bahkan ketika pemain lain ekspansi secara regional atau global, karena kami menyadari bahwa ini bukanlah keahlian kami. Selama sepuluh tahun terakhir, kami telah berkompetisi dengan pemain lokal dan internasional, tetapi penetrasi dan pemahaman mendalam kami tentang pasar lokal sudah sangat menguntungkan sehingga belum ada rencana untuk ekspansi ke luar negeri.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Alasan Utama Iklan Native Lebih Dianjurkan Dibandingkan Iklan Banner

Iklan banner pernah berjaya di industri internet.

Para pengiklan pasti senang melihat iklan terpapar hampir di setiap sudut internet dan penerbit pasti ingin mendapat keuntungan lebih selain dari sisi advertorial.

Namun, sedikit yang menyadari bahwa keberhasilan ini pada dasarnya tidak terlalu menguntungkan bagi pengguna internet.

Pengalaman membaca para pengunjung website sangat terganggu dan waktu memuat halaman menjadi sangat lama.

Sekian lama para pengguna internet dipaksa menikmati iklan banner hingga akhirnya iklan native muncul.

Iklan native memang mengatasi masalah dari kalangan pengguna internet. Solusi ini tumbuh dengan cepat dan diharapkan bisa menjaga momentum di tahun mendatang.

Meningkatnya popularitas native bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat semakin pentingnya pengalaman pengguna dalam industri ini.

Di sini saya menyimpulkan ada 4 alasan utama iklan native bisa mengungguli iklan banner dan mengapa iklan native diproyeksi menjadi format iklan utama di masa depan.

Iklan native lebih menghasilkan traffic

Alasan dibalik keunggulan iklan native bukan hanya dari segi format yang tidak mengganggu dan layaknya editorial namun juga didasari pemanfaatan pemasaran konten (content marketing).

Dibandingkan dengan iklan spanduk yang khas dengan pemaparan masiv, iklan native lebih fokus pada pengalaman pengguna sebelum dan sesudah-klik.

Tampilan yang tidak mengganggu membuat pengguna merasa lebih nyaman dan menghindari pengguna yang acap kali keliru mengklik iklan.

Terlebih, konten yang menarik dan penuh insight yang dibagikan di laman depan akan menciptakan insentif yang kuat bagi pengguna untuk tinggal lebih lama, meningkatkan jumlah page view yang dan durasi rerata sesi.

“Iklan native dapat menciptakan peforma yang sama, terkadang lebih baik, seperti iklan banner. Kami juga menemukan fenomena menarik bahwa pengguna lebih bersedia membagikan konten dari iklan native. Hal ini tidak terjadi pada iklan banner, ”Hoyoung Lee, Dable Indonesia’s Country Manager said.

Jika iklan native dimanfaatkan dengan baik, situs web bisa merasakan trafik yang lebih berkualitas dari pengunjung baru. Basis pengguna yang semakin besar, nantinya bisa menjadi sumber yang bagus untuk penilaian dan mendorong pertumbuhan untuk bisnis yang mandek.

Iklan native lebih relevan

Berbeda dengan iklan spanduk, yang hanya bertumpu pada audiens, mekanisme eksposur dibalik iklan native didasari pada audiens dan kontekstual.

Iklan native hanya akan tampil ketika audiens target sesuai dengan demografi yang diinginkan pengiklan, serta judul iklan cocok dengan artikel dan konteks.

Misalnya, iklan native akan menempatkan iklan produk kecantikan dengan target wanita lebih muda ke dalam artikel yang membahas peragaan busana alih-alih kompetisi balap mobil.

Agar lebih relevan, situs web juga harus memanfaatkan teknologi rekomendasi konten untuk menampilkan artikel relevan yang dapat menarik perhatian pengunjung.

Pendekatan ini akan memastikan iklan bukan hanya terpapar pada pelanggan yang cenderung mengklik tapi juga dengan konteks yang lebih relevan.

Iklan native secara signifikan akan menghapuskan batas antara konten iklan dan editorial, lalu menghasilkan rasio klik-tayang (RKT) yang lebih baik.

Iklan native cenderung tidak diabaikan

Kita memasuki era abai spanduk di mana pengguna internet tanpa sadar mengabaikan iklan berbentuk spanduk.

Orang-orang terbiasa mengabaikan iklan spanduk seolah-olah tidak pernah ada.

Menurut penelitian, sekitar 44% dari uang yang disalurkan pada pemasangan iklan dihabiskan untuk iklan yang tidak dilihat oleh pengunjung situs web. Secara keseluruhan, RKT iklan banner kini semakin menurun.

Sementara hal ini menjadi isu yang hangat bagi para pemasar, iklan native, dengan fitur yang berpusat pada pengguna, diharapkan menjadi solusi terbaik.

Sejauh ini dilaporkan bahwa pengguna internet bersedia mengklik iklan native meskipun tahu itu adalah iklan. Tingkat klik-tayang rata-rata untuk iklan native juga lebih tinggi 57%, dibandingkan dengan iklan banner.

Menjadi native serta menghadirkan pengalaman beriklan yang lebih baik adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kondisi abai iklan spanduk.

Iklan native jarang diblokir

Untuk mengatasi gangguan iklan dan spanduk, banyak pengguna internet mulai memasang pemblokir iklan untuk menghindari visual yang mengganggu.

Faktanya, menurut sebuah penelitian, sekitar 30% pengguna internet di seluruh dunia sekarang menggunakan pemblokir iklan, menandakan popularitas iklan banner yang semakin menurun.

Sebaliknya, iklan native tampaknya tidak bermasalah dengan pengalaman visual pembaca. Sementara itu, iklan native seringkali tidak diblokir.

Sebagai alasan, bahwa setiap bagian dari iklan native memerlukan platform iklan untuk bekerjasama dengan penerbit.

Format iklan native dibuat dengan baik dan sangat menyatu dengan situs web. Seringkali, sulit untuk mengenali iklan native jika tidak dilihat dari dekat.

Maka dari itu, iklan asli jarang dikenali sebagai target pada pemblokir iklan, serta bisa memaparkan lebih banyak tanpa mengganggu.


Artikel asli ditulis oleh Edison Chen. Ia adalah seorang Sales Manager, Advertiser Solution di Dable. Ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Top Reasons Why Brands Should Choose Natives Ads Over Banner Ads

Banner ads used to be a huge success for the internet industry.

Advertisers were thrilled to see ads displayed nearly every corner on the internet and publishers were excited to acquire extra revenue stream other than advertorial.

What little did people realize, however, was that this success was not essentially beneficial to internet users.

Website visitors’ reading experience was tremendously disrupted and the average page load time strikingly increased.

Internet users suffered from banner ads for a long time until the emergence of native ads.

Native ads do solve the long-standing pain point among internet users. It is growing fast and is expected to keep the growth momentum in the following years.

The increasing popularity doesn’t come out of surprise as the importance of user experience arises.

Here I conclude 4 top reasons how native ads beat banner ads and why native ads will become the mainstream advertising format in the future.

Native ads provide better traffic

The reason why native ads stand out is not simply because of the non-intrusive and editorial-like formats but largely because of the utilization of content marketing.

As compared to typical banner ads that emphasize on massive exposure, native ads focus more on before and after-click user experience.

The non-intrusive look makes users feel more comfortable and filters out some random users who carelessly or mistakenly click on ads.

More importantly, interesting and insightful content shared in landing pages creates a strong incentive for users to stay longer, resulting in higher page view and average session duration.

“Native ads can deliver the same, sometimes better, performance as banner ads do. We also find an interesting phenomenon that users are more willing to share the content from natives ads. This is not common for banner ads,” indicated Hoyoung Lee, Dable Country Manager of Indonesia.

If native ads are utilized well, a website would see more quality traffic generated from new visitors coming in. The enlarging user base will, afterward, become a great source for remarking use and fuel the growth momentum for stagnant businesses.

Native ads offer higher relevance

Unlike banner ads, which only rely on audience targeting, the exposure mechanism behind natives ads is based on both audience targeting and contextual targeting.

Only when the target audience fits advertisers’ desired demographics and, meanwhile, titles of the ads match articles and context will the native ads be displayed.

For example, native ads will place an advertisement about beauty product targeting younger females to under an article of fashion show news update instead of car racing competition.

To boost higher relevance, websites should take advantage of content recommendation technology to recommend relevant articles that website visitors might feel interested in.

This approach ensures that advertisers’ ads not only are exposed to customers who are more likely to click but also are put in a more relevant context where users don’t find ads irrelevant.

Native ads significantly blur the boundary between advertisement and editorial content and ultimately produce a better click-through rate (CTR).

Native ads are less likely to be ignored

We are entering an era of banner blindness where internet users unconsciously ignore banner-like information.

People have got used to disturbing banner ads as if they are not existing.

According to research, about 44% of the money spent on ads is wasted on ads that remain unviewed by website visitors. Overall, the average CTR for banner ads continues dropping down.

While this phenomenon has become a hot potato to handle for marketers, native ads, with its user-centric features, is expected to be the best remedy.

It is reported that internet users are willing to click on native ads even though they have recognized the advertisement. The average click-through rate for native ads is also outstandingly higher by 57%, comparing to banner ads.

Going native and presenting better advertising experience is the only way out to beat banner blindness.

Native ads are rarely blocked

To deal with annoying display and banner ads, more internet users nowadays choose to install ad blockers to avoid the visual interference experience.

In fact, according to a study, around 30% of internet users around the world now use ad blockers, signifying the growing unpopularity of banner ads.

On the contrary, native ads don’t seem to have any issue with interrupting the reading experience. Further to that, native ads are not blocked in most cases.

The reason is that every single piece of native ads requires advertising platforms to conduct in-depth cooperation with each media publisher.

The format of native ads is well crafted and well blended into the website. Oftentimes, it is hard to tell whether or not native ads are advertisements if you don’t take a close look.

Consequently, native ads are rarely recognized as a target for ad blocker software, gaining more exposure opportunities without intruding.


Disclosure: This guest post is written by Edison Chen. He is Sales Manager, Advertiser Solution at Dable.