Indonesia Catat 3,3 Miliar Unduhan Mobile Game, Terbesar Ketiga Dunia

Penyedia analisis data mobile data.ai (sebelumnya App Annie) mengungkap Indonesia sebagai pasar mobile game terbesar ketiga berdasarkan unduhan Google Play di 2022. Total unduhannya mencapai 3,37 miliar di mana posisi pertama ditempati oleh India (9,52 miliar), lalu disusul Brasil (4,42 miliar).

Namun, daya beli konsumen untuk membeli item mobile game masih kalah dari negara lain. Dalam laporan bertajuk “State of Mobile Gaming 2023”, para gamer Indonesia menghabiskan $288 juta untuk belanja mobile game di 2022, menempati posisi ke-16 dari 20 negara se-dunia. Di atas Indonesia, ada Thailand dengan total belanja $329 juta.

Sumber: State of Mobile Gaming 2023 by data.ai

Laporan tersebut juga mengungkap, game terfavorit yang banyak diunduh orang Indonesia. Per kuartal I 2023, game Mobile Legends: Bang Bang menduduki posisi teratas, juga terdepan dalam hal belanja konsumen, serta pengguna aktif bulanan. Sebelumnya, action game ini juga memimpin pertumbuhan belanja konsumen di Indonesia yang melonjak sebesar $9,9 juta dari tahun 2021 hingga 2022, diikuti oleh Higgs Domino Island yang tumbuh $7,6 juta.

“Riset kami menunjukkan bahwa minat terhadap mobile game masih sangat tinggi. Sebagai salah satu pasar terbesar untuk industri mobile game dengan lebih dari 3 miliar unduhan tahun lalu, terdapat peluang untuk pertumbuhan yang signifikan bagi pasar game di Indonesia. Industri game di Indonesia yang dinamis ini akan terus mencetak pertumbuhan yang luar biasa di tahun-tahun mendatang,” ujar Lexi Sydow, Head of Insights at data.ai dalam keterangan resmi, kemarin (17/4).

Menariknya, dua game lokal berhasil masuk ke dalam daftar game yang paling banyak diunduh, yaitu Clackers Master: Latto Latto oleh Own Games Indonesia di posisi ke-7 dan Aku si PETERNAK LELE oleh KAJEWDEV di posisi ke-4. Serupa dengan dengan Clackers Master, game Latto-Latto ini juga tumbuh mengesankan dengan kenaikan 621 peringkat ke posisi 8.

Popularistas game ini berkaitan dengan nostalgia para pemain terhadap mainan anak Indonesia zaman dulu, yaitu bola kentongan atau yang biasa disebut latto-latto, yang kembali populer di kalangan anak-anak zaman sekarang.

data.ai

Data global

Laporan data.ai juga mengungkap, jumlah belanja konsumen mobile game secara global turun -5% menjadi $110 miliar pada 2022. Hal ini dapat dikaitkan dengan dua tren, yakni resesi dan ketidakpastian ekonomi global, serta perubahan peraturan tentang user targeting yang berdampak pada pendapatan para penerbit mobile game.

Menurut data kuartal I 2023, hal ini dapat menjadi koreksi jangka pendek dalam pola kenaikan jangka panjang, mengingat mobile gamer di dunia saat ini menghabiskan sekitar $1,64 miliar dan mengunduh hampir 1,2 miliar game setiap minggunya. Meski angka-angka ini belum mencapai tingkat belanja konsumen di masa puncak pandemi, para gamer di dunia mengikuti tren untuk terus mengeluarkan uang melampaui total nominal belanja mobile game pada kuartal I 2020, atau naik hampir 30% dari masa sebelum pandemi.

Sumber: State of Mobile Gaming 2023 by data.ai

Amerika Serikat ($9,66 miliar), Jepang ($4,48 miliar), dan Korea Selatan ($4,16 miliar) memberikan kontribusi terbesar terhadap tingkat belanja konsumen di dunia (berdasarkan unduhan Google Play) pada kuartal I 2023. Demikian pula pada iOS, performa teratas ditempati oleh AS ($14,35 miliar), Tiongkok ($14,34 miliar), dan Jepang ($8,61 miliar). Sementara, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan mengalami pertumbuhan terbesar dibandingkan kuartal IV 2022.

Bila melihat dari segi unduhan, India (9,52 miliar), dan Brasil (4,42 miliar) memimpin sebagian besar aktivitas di Google Play, dengan Turki, Rusia, dan Irak mencatat pertumbuhan jumlah unduhan absolut terbesar dalam perbandingan kuartal ke kuartal. Pada iOS, pasar terbesar dipimpin oleh AS (2,19 miliar) dan Tiongkok ($1,36 miliar), dengan AS, Turki, dan Rusia menambah jumlah unduhan terbanyak dibandingkan dengan kuartal IV 2022.

Bos Xbox: Pasar Ritel Game Tradisional Masih Lebih Besar Daripada Subscription

Di antara nama-nama besar industri gaming, Microsoft adalah salah satu yang paling optimistis soal cloud gaming dan mekanisme subscription. Meski demikian, Microsoft masih belum punya rencana untuk meninggalkan pasar ritel game tradisional, setidaknya dalam waktu dekat ini.

Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, Phil Spencer selaku bos besar Xbox sempat menyinggung soal ini. Menurutnya, bisnis subscription yang Xbox jalankan berbeda dari Netflix karena Xbox masih menjual game dengan cara konvensional, dan ini penting karena pasar ritel game masih sangat kuat dan juga terus bertumbuh. Itulah mengapa Xbox memberi pilihan antara subscription dan transaksi kepada konsumennya.

Ditanya mana yang lebih besar antara subscription dan transaksi dari sudut pandang bisnis, Phil dengan sigap menjawab transaksi. “Transaksi lebih besar daripada subscription. Subscription bertumbuh dengan lebih cepat, tapi hanya karena itu relatif baru. Dan dengan Game Pass, kami adalah salah satu penggerak pertama di ranah tersebut. Namun bisnis transaksi sangatlah besar. Kami masih menjual disk fisik,” jelas Phil.

Setidaknya untuk sekarang, masih ada beberapa alasan mengapa Microsoft belum bisa sepenuhnya bergantung pada bisnis subscription. Salah satunya menyangkut isu ketersediaan: layanan Xbox Game Pass maupun PC Game Pass hingga detik ini masih belum tersedia secara resmi di negara-negara besar macam Tiongkok maupun Indonesia. Padahal, hampir semua game keluaran Xbox Game Studios sudah bisa kita beli lewat Steam, termasuk judul-judul terbaru seperti Forza Horizon 5 atau Halo Infinite.

Layanan subscription Xbox Game Pass dan PC Game Pass sejauh ini baru tersedia di beberapa negara saja / Microsoft

Phil juga sempat menyinggung lebih jauh soal cloud gaming, dan bagaimana belakangan ini semakin banyak raksasa teknologi yang tertarik untuk ikut menggeluti bidang ini, mulai dari Google, Amazon, bahkan sampai Netflix sekalipun. Kendati demikian, Phil cukup yakin Microsoft setidaknya satu langkah lebih unggul, sebab di samping memiliki infrastruktur cloud yang bagus, mereka juga sudah paham betul mengenai dunia game development.

“Menurut saya cloud itu penting. Dan Netflix jelas punya cloud. Amazon punya cloud. Google punya kapabilitas cloud yang nyata. Namun tanpa konten, komunitas dan cloud, saya pikir masuk ke gaming saat ini — dan Anda bisa melihatnya pada apa yang sedang Netflix lakukan. Menurut saya apa yang mereka lakukan itu cerdas. Mereka membeli sejumlah studio. Mereka mempelajari proses kreatif dari hiburan interaktif. Dan saya pikir ini merupakan cara cerdas bagi mereka untuk masuk ke ranah ini. Bagi kami, kami sudah memulai ini sejak bertahun-tahun yang lalu,” terang Phil.

Benar saja. Di saat Amazon baru punya satu game yang bisa dibilang lumayan sukses (New World), dan Google malah menutup studio pengembangan game-nya, Microsoft justru merilis banyak game populer hanya di tahun lalu saja (Forza Horizon 5, Halo Infinite, Age of Empires 4, Psychonauts 2). Kita pun juga tidak boleh lupa bahwa Zenimax beserta seluruh anak perusahaannya kini juga merupakan bagian dari keluarga Xbox Game Studios.

Sumber: The New York Times dan PC Gamer.

Newzoo: RPG Adalah Genre Mobile Game dengan Pendapatan Terbesar di Tahun 2020

Pernahkah Anda bertanya dalam hati, “Di genre game apa mayoritas gamer mobile menghabiskan paling banyak uang?” Apakah di game-game kasual seperti Candy Crush atau Hay Day? Di game strategi macam Clash of Clans? Atau malah di game RPG seperti Genshin Impact?

Berdasarkan laporan terbaru dari Newzoo dan platform mobile ads Pangle, jawabannya adalah RPG, setidaknya selama tahun 2020. Dalam laporannya, dikatakan bahwa dari total pendapatan di industri mobile game pada tahun 2020, 21,3% di antaranya berasal dari genre RPG — paling besar di antara genre-genre lainnya.

Jadi dari total pendapatan industri mobile game sebesar $86,9 miliar di tahun 2020, sekitar $18,5 miliar merupakan hasil belanja para pemain game RPG. Menariknya, penyumbang terbesar dari angka $18,5 miliar itu adalah negara-negara di kawasan Asia Timur, spesifiknya Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.

Pada kenyataannya, tiga negara tersebut menyumbang 72% dari total pendapatan mobile RPG. Paling besar adalah Tiongkok dengan $7,84 miliar, disusul oleh Jepang dengan $3,46 miliar, kemudian Korea Selatan dengan $2,04 miliar. Yang mungkin jadi pertanyaan berikutnya adalah, kok bisa para pemain mobile RPG di kawasan Asia Timur, khususnya di tiga negara tadi, berani mengeluarkan jauh lebih banyak uang ketimbang pemain dari negara-negara lain?

Menurut Newzoo, salah satu alasannya adalah karena RPG bikinan negara-negara timur mengemas lebih banyak mekanik, lebih banyak fitur gameplay sosial, dan lebih banyak update rutin yang berbobot (live-ops).

Berdasarkan hasil studi Newzoo, eksplorasi merupakan salah satu faktor utama mengapa gamer tertarik dengan genre RPG. Agar pemain bisa terus termotivasi, tentunya perlu ada hal yang mendorong mereka untuk terus bereksplorasi, semisal update yang menghadirkan kota atau lokasi baru di dalam game. Itulah mengapa beberapa judul mobile RPG yang sukses adalah yang rutin menerima update konten baru dari pengembangnya.

Lebih lanjut, tidak sedikit juga mobile RPG yang kini menaruh fokus ekstra pada aspek live-ops dengan menggelar beragam event di dalam game maupun menjalin kolaborasi dengan brand. Salah satu contohnya adalah Genshin Impact.

Data yang direkam Newzoo menunjukkan bahwa berbagai event baru dan koleksi item gacha yang dihadirkan di Genshin Impact terbukti mampu meningkatkan engagement sekaligus kecenderungan pemain untuk mengeluarkan uang. Alhasil, tidak kaget kalau in-app purchase (IAP) masih tetap menjadi sumber pemasukan terbesar buat genre RPG.

Selain IAP, in-app advertising juga menjadi opsi monetisasi lain yang semakin diterima oleh para pemain mobile RPG. Survei yang dilakukan Newzoo menunjukkan bahwa 73% pemain mobile RPG tidak keberatan dengan keberadaan iklan di dalam game seandainya itu bisa membantu progres permainan mereka, seperti misalnya menonton video iklan untuk mendapatkan item atau mata uang dalam game secara cuma-cuma.

Sumber: Newzoo via Games Industry.

Riset Terbaru Ungkap Kehidupan Developer Game Jadi Lebih Baik Selama Pandemi

Sejak pandemi menyebar di seluruh dunia pada 2020 lalu, hampir semua sektor tekena dampaknya. Termasuk para studio developer game yang kini harus beralih ke work-from-home (WFH). Meskipun kadang pengerjaan projek game mereka menjadi semakin lama namun ternyata keputusan tersebut membawa dampak yang positif bagi para pengembang.

Asosiasi Pengembang Game Internasional atau IGDA baru saja melakukan riset untuk Survey Kepuasan Para Pengembang Game 2021. Dari survey tersebut didapat hasil bahwa 43% responden mengungkapkan bahwa keseimbangan kehidupan kerja mereka menjadi lebih baik selama pandemi.

Meskipun hampir separuh total responden mengungkapkan demikian namun sebanyak 21,4% pengembang mengungkapkan bahwa mereka malah merasa lebih buruk. Sedangkan 32,4% mengatakan bahwa mereka membutuhkan dukungan kesehatan mental.

Image credit: getty images

“Dengan demikian, setiap perusahaan yang mendukung work-from-home harus memastikan bahwa mereka memiliki komunitas, sumber daya sosial, dan juga kesempatan bagi para karyawan remote.” Ungkap Direktur Eksekutif IGDA, Renee Gitens kepada GameDaily.

Bila hambang yang masihpir sebagian besar para pengem aktif mengatakan bahwa mereka mendapat manfaat dari pandemi ini, para pengembang yang belum memiliki pekerjaan ternyata mengatakan hal yang sebaliknya.

Sebanyak 52% responden yang belum bekerja mengatakan bahwa mereka kesulitan untuk mencari pekerjaan baru. Dampak yang paling parah ternyata terjadi pada para pengembang ‘freelance’ yang sebanyak 72% respondennya mengatakan bahwa mereka kesulitan untuk mencari projek selama pandemi.

image credit: istockphoto

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa para pengembang game wanita lebih sering melaporkan penundaan proyek daripada para pengembang laki-laki, namun tidak jelas mengapa hal itu bisa terjadi.

Gittens juga mengatakan bahwa ketika kondisi work-from-home ini telah menjadi hal yang normal, maka para pengembang tersebut juga memiliki potensi untuk mendapatkan akses ke berbagai hal lebih baik.

“Karena efek jangka panjang dari pandemi terus berdampak pada pekerjaan yang berhubungan video game, sangat penting bagi industri game untuk mempertimbangkan peluang kerja yang fleksibel untuk beradaptasi dengan banyak situasi unik yang dihadapi orang.” Ungkap Direktur Eksekutif IGDA Foundation.

IGDA Foundation juga mendukung normalisasi work-from-home tersebut dan percaya bahwa industri game dapat menuju lingkungan kerja yang lebih baik.

Accenture Report: 84% Gamers Jadikan Game Sebagai Alat Bersosialisasi

Gamers sering dianggap sebagai penyendiri. Bagi sebagian gamers, asumsi itu  memang benar. Namun, sekarang, game tidak hanya menjadi media hiburan. Game juga bisa menjadi alat komunikasi, jembatan yang menghubungkan para gamers dengan satu sama lain. Lockdown yang ditetapkan pada tahun lalu juga memperkuat tren tersebut.

Pertumbuhan Industri Game

Pemasukan industri game mencapai US$200 miliar, menurut data Accenture. Sementara jumlah pemain game di dunia diperkirakan mencapai 2,7 miliar orang. Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang menjadi tiga negara dengan industri game terbesar. Tiongkok memiliki 929 juta gamers. Sementara besar nilai industri game di negara tersebut mencapai US$51 miliar. Di AS, ada 219 juta gamers. Industri gaming di AS bernilai US$48 miliar.

Dari segi populasi, Jepang memang tidak sebesar Tiongkok ataupun Amerika Serikat — negara dengan populasi terbesar pertama dan ketiga di dunia. Namun, industri game di Jepang juga cukup besar. Dengan total gamers mencapai 75 juta orang, industri game di Jepang memiliki pemasukan sebesar US$24 miliar. Selain Tiongkok, AS, dan Jepang, masih ada 17 negara lain yang industri game-nya memiliki nilai lebih dari US$1 miliar. Beberapa negara tersebut antara lain Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Prancis, dan Spanyol.

Pembagian gamers berdasarkan gender. | Sumber: Accenture

Selama ini, banyak orang percaya, tidak banyak perempuan yang bermain game. Asumsi ini salah. Data dari Accenture menunjukkan, 46% gamers merupakan perempuan, 52% laki-laki, dan 2% sisanya masuk dalam kategori non-binary atau tidak mau menyebutkan gendernya. Dari segi pengalaman bermain game, Accenture membagi empat ribu respondennya ke dalam dua kategori, yaitu gamers dengan pengalaman bermain lebih dari lima tahun dan gamers yang baru bermain satu sampai empat tahun belakangan.

Menariknya, gamers baru punya karakteristik yang berbeda dengan gamers lama. Dari segi umur, gamers baru lebih muda dari gamers yang lebih berpengalaman. Umur rata-rata gamers baru adalah 32 tahun, dan umur rata-rata gamers lama adalah 35 tahun. Sebanyak 30% gamers baru berumur di bawah 25 tahun. Dari kelompok gamers lama, hanya 25% orang yang berumur di bawah 25 tahun. Selain itu, kebanyakan gamers baru merupakan perempuan. Sebanyak 60% dari total gamers baru merupakan perempuan. Di kalangan gamers yang telah lebih lama bermain, jumlah gamers perempuan hanya mencapai 39%.

Industri yang Terkena Dampak tak Langsung dari Industri Game

Industri game tumbuh begitu besar sehingga ia juga memunculkan berbagai industri baru, termasuk esports. Secara total, industri-industri baru yang muncul berkat pesatnya pertumbuhan industri game bernilai US$100 miliar. Berikut daftar dari industri-industri yang tumbuh berkat industri game:

Esports, bernilai US$1,3 miliar
– Aksesori gaming untuk PC, bernilai US$12 miliar
– Hardware PC gaming, bernilai US$39,3 miliar
– Perangkat mobile, bernilai US$39,7 miliar
– Konten gaming, bernilai US$9,3 miliar

Besar industri yang terpengaruh dari industri game. | Sumber: Accenture

Tak melulu soal uang, game juga mempengaruhi dunia hiburan dan budaya di dunia. Misalnya, dalam industri perfilman, cukup banyak film yang dibuat berdasarkan pada game, mulai dari Angry Birds sampai War of Warcraft — walau harus diakui, banyak film adaptasi game yang justru menuai kritik dan bukannya pujian. Selain industri film, game juga punya dampak pada industri mainan dan menumbuhkan industri esports. Sementara itu, inovasi dalam industri game juga bisa digunakan di industri lain, mulai dari edukasi, kesehatan, sampai militer. Faktanya, edukasi merupakan salah satu kategori dengan pertumbuhan paling cepat di Roblox.

Konsep gamifikasi juga banyak digunakan oleh orang-orang di luar industri game. Misalnya, dengan menerapkan sistem poin atau ranking. Sebaliknya, saat ini, game juga tidak hanya digunakan sebagai media hiburan, tapi juga sebagai temapt untuk berkumpul dan bersosialisasi. Buktinya, konser virtual Travis Scott di Fortnite “dihadiri” oleh 12 juta pemain game battle royale itu. Selama lockdown akibat pandemi, orang-orang juga menggunakan game untuk mengadakan perayaan dari momen penting, seperti ulang tahun dan pernikahan.

Fitur Sosial Mendorong Pertumbuhan Industri Game

Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri game adalah keberadaan perangkat mobile. Jika dibandingkan dengan harga PC gaming atau konsol, harga smartphone relatif lebih murah. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan dengan gratis. Hal ini memungkinkan lebih banyak orang untuk bermain game. Menariknya, kemunculan mobile game tidak menganibal pasar game konsol dan PC, dan justru mendorong para kreator game untuk fokus pada fitur sosial dari sebuah game. Jadi, jangan heran jika semakin banyak gamers yang menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial.

Menurut data dari Accenture, 84% gamers mengatakan, bermain game merupakan cara mereka untuk bersosialisasi dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan mereka. Tak hanya itu, juga banyak gamers yang menjadi game sebagai alat untuk mencari teman-teman baru. Tren ini diperkuat oleh pandemi COVID-19. Sebanyak 75% gamers mengaku, interaksi sosial mereka terjadi dalam game atau platform terkait game, seperti Discord.

Pentingnya fitur sosial dalam game. | Sumber: Accenture

Bagi gamers, dunia game memiliki peran penting dalam kehidupan sosial mereka. Menurut data dari Accenture, gamers menghabiskan sekitar 16 jam per minggu untuk bermain game. Tak hanya itu, mereka juga berinteraksi dengan komunitas game, baik melalui forum game maupun dengan menonton konten game. Rata-rata, gamers menghabiskan waktu 8 jam dalam seminggu untuk menonton konten game dan 6 jam per minggu untuk aktif dalam komunitas dan forum game.

Sayangnya, komunitas game terkadang toxic. Jadi, penting bagi gamers untuk menemukan komunitas yang sesuai. sebanyak 84% responden survei Accenture mengatakan, bermain bersama teman yang cocok sangat penting dalam bermain game online. Sementara 76% responden menyebutkan, dalam satu tahun terakhir, mereka menjadi sering bermain game online. Dan 74% mengaku, mereka menjadi semakin sering bersosialisasi melalui game karena pandemi COVID-19.

Menemukan teman yang cocok saat bermain game itu penting. | Sumber: Accenture

Data di atas menunjukkan bahwa fitur sosial dalam game menjadi semakin penting di mata para gamers. Hal itu berarti, sekedar membuat game menarik dari franchise populer tak lagi cukup. Para kreator game juga harus fokus untuk memberikan pengalaman bermain yang menyenangkan para gamers.

Kenapa Pasar Gaming Asia Tenggara Menjadi Semakin Penting?

Industri game dimonopoli oleh beberapa perusahaan besar asal Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang pada abad ke-20. Namun, sejak tahun 2000-an, industri game mulai berubah. Sekarang, developer indie pun bisa menargetkan pasar global. Pasalnya, keberadaan internet dan perangkat mobile memudahkan developer game untuk menyasar gamer global. Beberapa game yang dibuat oleh sebuah tim kecil atau bahkan seorang developer pun terbukti bisa sukses, seperti Flappy Bird atau Among Us.

Meskipun begitu, belum banyak riset yang membahas tentang perkembangan industri dan budaya gaming di Asia. Karena itu, Phan Quang Anh merilis riset berjudul Shifting the Focus to East and Southeast Asia: A Critical Review of Regional Game Research. Studi tersebut membahas tentang industri dan budaya gaming di kawasan Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara.

Industri dan Budaya Gaming di Asia Timur

Ada beberapa alasan mengapa Asia menjadi semakin penting bagi pelaku industri game. Salah satunya adalah besarnya pasar game di Asia. Baik dari segi pendapatan atau jumlah pemain, Asia merupakan kawasan yang sangat menguntungkan untuk perusahaan game. Selain itu, beberapa negara Asia juga memiliki perusahaan-perusahaan game raksasa, seperti Jepang dengan Nintendo dan Sony, Korea Selatan dengan Nexon, serta Tiongkok dengan Tencent. Terakhir, pemerintah di negara-negara Asia juga cukup punya andil yang cukup besar dalam perkembangan industri game di negaranya masing-masing.

Walkman jadi salah satu pendorong terciptanya budaya individualisme di Jepang. | Sumber: SCMP

Hanya saja, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok punya budaya gaming yang berbeda-beda. Misalnya, gamers di Jepang cenderung lebih individualistik. Budaya individualisme di Jepang sendiri mulai muncul pada tahun 1970-an, ketika Sony meluncurkan Walkman. Ekosistem game di Jepang pun tumbuh sesuai dengan budaya lokal. Alhasil, kebanyakan gamers Jepang lebih suka untuk bermain game single-player. Sementara itu, gamers di Korea Selatan dan Tiongkok justru menganggap game sebagai kegiatan sosial. Mereka senang bermain game bersama teman-teman mereka, baik co-op game ataupun competitive game. Faktanya, hal ini menjadi salah satu alasan mengapa ada banyak atlet esports yang datang dari Korea Selatan dan Tiongkok.

Budaya bermain game online di Korea Selatan mulai muncul pada 1998, ketika Blizzard meluncurkan StarCraft. Dan bermain game online dengan cepat menjadi salah satu hobi favorit generasi muda. Pasalnya, bermain game online memang tidak memakan biaya besar. Selain itu, PC bangs — alias warnet — juga menjamur. Budaya kompetitif Korea Selatan juga membuat industri esports berkembang. Di sana, ada televisi yang menyiarkan konten esports dan menjadi pemain profesional merupakan karir yang bisa ditempuh. Fenomena esports ini lalu menyebar ke negara-negara lain di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Sama seperti gamers Korea Selatan, gamers Tiongkok juga senang bermain bersama orang lain. Meskipun begitu, pasar game Tiongkok tetap berbeda dari industri game Korea Selatan. Salah satu hal yang membuat pasar gaming Tiongkok unik adalah besarnya peran pemerintah dalam mengembangkan industri game online. Pemerintah tidak hanya membuat regulasi terkait industri game online, tapi juga berusaha untuk memajukan perusahaan-perusahaan game lokal. Perusahaan game dengan ide inovatif akan dibantu sehingga bisa tumbuh. Alhasil, pada 2020, ada 19 mobile game asal Tiongkok yang masuk dalam daftar 100 game dengan pemasukan terbesar di Amerika Serikat.

Industri dan Budaya Gaming di Asia Tenggara

Selain Asia Timur, Asia Tenggara juga merupakan kawasan yang patut diperhitungkan oleh perusahaan game. Menurut Newzoo dan Niko Partners, pertumbuhan mobile game di Asia Tenggara pada 2014-2017 mencapai lebih dari 180%. Dan dalam lima tahun ke depan, industri game Asia Tenggara diperkirakan masih akan tumbuh. Menurut data dari Shibuya Data Count, dalam periode 2020-2025, Compound Annual Growth Rate (CAGR) dari industri game di Asia Tenggara akan mencapai 8,5%. Sementara enam negara yang kini menjadi pasar game terbesar di kawasan Asia Tenggara adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, dan Filipina.

Salah satu faktor pendorong pertumbuhan industri game adalah pembangunan infrastruktur internet. Dan hal ini terjadi karena kemunculan teknologi 5G pada 2020. Tidak heran, mengingat 5G diperkirakan akan memberikan performa hingga 100 kali lebih baik dari jaringan 4G. Faktor lain yang mendorong pertumbuhan industri game di Asia Tenggara adalah naiknya popularitas esports. Seiring dengan semakin populernya konten esports di platform seperti YouTube dan Twitch, pemasukan perusahaan-perusahaan game pun akan naik. Buktinya, Free Fire berhasil menjadi game yang paling banyak diunduh pada 2019.

Free Fire jadi game yang paling banyak diunduh pada 2019.

Selain itu, keberadaan game free-to-play juga punya peran dalam mendorong pertumbuhan industri game di Asia Tenggara. Dan jika cloud gaming berhasil diadopsi secara besar-besaran di Asia Tenggara, ia akan menumbuhkan industri mobile game di kawasan tersebut. Menariknya, lebih dari 55% mobile gamers di Asia Tenggara berumur lebih dari 55 tahun dan hanya 8% yang merupakan remaja. Alasannya, banyak mobile game yang mengusung genre kasual atau bahkan hypercasual. Kedua genre itu bisa dimainkan oleh semua orang.

Hanya saja, mobile game kasual biasanya tidak bertahan lama. Popularitas mobile game kasual sangat rentan. Padahal, model monetisasi yang biasa digunakan developer adalah iklan. Popularitas mobile game kasual bisa memudar hanya dalam waktu beberapa minggu atau bahkan beberapa hari. Karena itu, memperkirakan tren mobile game di masa depan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.

Industri Game di Indonesia

Sama seperti Tiongkok, pemerintah dari negara-negara Asia Tenggara juga peduli akan industri game. Hanya saja, peraturan yang ditetapkan oleh negara-negara Asia Tenggara tidak seketat regulasi dari Tiongkok. Dan hal ini bisa menguntungkan perusahaan-perusahaan game asing yang ingin masuk. Tren ini juga berlaku untuk Indonesia.

Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia. Dan jumlah populasi serta pekerja di Tanah Air didominasi oleh generasi muda. Tak hanya itu, para generasi muda ini juga aktif dalam membangun komunitas online. Menurut Newzoo, hal ini merupakan kelebihan pasar game Indonesia. Di Indonesia, mobile game mendominasi pasar game. Kabar baiknya, sekitar 49% dari mobile gamers tidak segan untuk mengeluarkan uang demi membeli item dalam game. Menurut data Newzoo, per tahun, mobile gamer Indonesia rata-rata menghabiskan US$9. Sementara itu, strategi menjadi genre favorit gamers Indonesia. Para pemain game strategi juga merupakan gamers dengan spending terbesar. Sekitar 41% dari mereka rela untuk membeli item dalam game.

Biaya untuk membuat mobile game jauh lebih murah dari game PC online.

Popularitas mobile game merupakan kesempatan emas bagi developer lokal. Alasannya, membuat mobile game membutuhkan dana yang jauh lebih sedikit dari membuat game PC online. Untuk membuat satu mobile game, biaya yang dibutuhkan hanyalah sekitar US$1 ribu. Sementara biaya untuk membuat game PC online lebih dari 10 kali lipat dari biaya tersebut. Karena itu, tidak heran jika kebanyakan developer game di Indonesia memilih untuk membuat mobile game.

Potensi industri game disadari oleh pemerintah Indonesia. Salah satu bentuk dukungan pemerintah pada perusahaan game lokal adalah dengan mengadakan berbagai event game, seperti Game Prime. Selain itu, sejumlah menteri juga menyatakan dukungan pemerintah pada industri game dan esports, seperti Menteri Komunikasi dan Informasi serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebelum ini, Indonesia juga sukses untuk melobi negara-negara ASEAN untuk memasukkan esports sebagai cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018 dan menjadikan esports sebagai cabang olahraga bermedali pada SEA Games 2019.

Industri Game di Singapura

Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, besar spending gamers di negara-negara Asia Tenggara berbanding lurus dengan besar Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita di masing-masing negara. Negara-negara dengan PDB per kapita yang relatif rendah, seperti Indonesia dan Filipina, punya Average Revenue per User (ARPU) sekitar US$4-6 untuk game PC dan US$5-8 untuk mobile game. Sementara negara-negara dengan PDB per kapita tinggi, seperti Malaysia dan Singapura, punya ARPU yang lebih tinggi, mencapai US$15-20 untuk game PC dan US$25-60 untuk mobile game.

Memang, selama ini, Singapura dianggap sebagai pusat ekonomi di Asia Tenggara. Walau jumlah populasi Singapura jauh lebih sedikit dari populasi Indonesia, penetrasi internet di negara itu sangat tinggi, mencapai 80% dari total populasi. Sementara 60% pengguna internet Singapura merupakan gamers yang tidak keberatan untuk menghabiskan US$189 per tahun. Tak hanya itu, kebanyakan warga Singapura juga paham Bahasa Inggris dengan baik. Jadi, bukan hal yang aneh jika Singapura menjadi negara Asia dengan tingkat penetrasi game-game Barat tertinggi.

Pemerintah Singapura sendiri sudah tertarik untuk mengembangkan industri game sejak 1995. Sejak saat itu, mereka mendukung startup yang bergerak di bidang game. Tak hanya itu, mereka juga membuka dan mebiayai berbagai laboratorim riset terkait game. Pemerintah Singapura bahkan meminta bnatuan Jepang untuk melatih Sumber Daya Manusia mereka. Mereka juga menetapkan regulasi yang ketat, termasuk terkait pembajakan. Hukuman yang berat dan denda yang besar membuat masyarakat enggan untuk menggunakan produk bajakan. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan asing lebih tertarik untuk berinvestasi dan membuka kantor di Singapura. Beberapa perusahaan game besar yang membuka kantor cabang di Singapura antara lain Ubisoft dan Electronic Arts.

Newzoo: Nilai Industri Game Pada 2021 Mengalami Penurunan

Nilai industri game pada tahun 2021 diperkirakan akan mencapai US$175,8 miliar, turun 1,1% jika dibandingkan pada tahun 2020. Kali ini adalah pertama kalinya industri game mengalami penurunan sejak Newzoo mulai mengamati industri game pada 2012. Meskipun begitu, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Pasalnya, angka penurunan nilai industri game tidak besar. Selain itu, diperkirakan, industri game masih akan bernilai US$200 miliar pada 2023.

“Sejak kami mulai mengamati perkembangan industri game, penurunan pemasukan industri game pada tahun ini memang unik,” kata Tom Wijman, Games Market Lead, Newzoo, pada GamesBeat. “Meskipun nilai industri game diduga akan turun pada tahun ini, dalam jangka panjang, atau bahkan dalam waktu beberapa tahun ke depan, industri game akan kembali tumbuh. Pada tahun lalu, industri game memang mengalami pertumbuhan yang tidak wajar. Dan pertumbuhan tidak wajar itu akan ternormalisasi pada tahun ini.”

Kenapa Industri Game Menyusut?

Nilai industri game pada 2020 mencapai US$177,8 miliar, naik 23,1% dari tahun 2019. Angka tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi dari industri game sejak 2012. Ada beberapa hal yang membuat industri game tumbuh pesat pada tahun lalu. Salah satunya adalah pandemi virus corona. Akibat pandemi, banyak negara yang menetapkan lockdown. Alhasil, banyak orang yang harus mencari hiburan di rumah. Dan salah satu hiburan yang dipilih oleh masyarakat adalah bermain game. Tak hanya itu, karena sebagian besar kantor menetapkan Work from Home (WFH), para pekerja menjadi punya waktu ekstra, yang bisa dihabiskan untuk bermain game.

Perkiraan nilai industri game dalam beberapa tahun terakhir. | Sumber: Newzoo

Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri game pada tahun 2020 adalah peluncuran konsol next-gen oleh Sony dan Microsoft. Kedua perusahaan itu meluncurkan PlayStation 5 dan Xbox Series X pada November 2020. Hal ini mendorong para hardcore gamers berbondong-bondong membeli konsol baru tersebut. Faktanya, baik PS5 maupun Xbox Series X menjadi barang langka karena permintaan konsumen yang lebih tinggi dari suplai.

Masalah stok PlayStation 5 dan Xbox Series X diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun ini. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat industri game mengalami penyusutan. Selain itu, suplai GPU untuk PC gaming juga diperkirakan masih akan kurang, yang dapat menyebabkan penurunan belanja oleh para gamers. Faktor lain yang menghambat pertumbuhan industri game pada 2021 adalah keputusan Apple untuk memperketat peraturan terkait targeted advertising demi menjaga privasi para penggunanya.

Meskipun begitu, sejauh ini, hasil laporan keuangan dari berbagai perusahaan game, seperti Activision Blizzard dan Zynga, masih sangat baik. Mereka memperkirakan, dalam beberapa kuartal ke depan, keadaan keuangan mereka juga masih tidak akan mengalami masalah.

Nilai industri game global di 2021 berdasarkan segmen. | Sumber: Newzoo

“Kami memperkirakan, penurunan pemasukan akan mulai terlihat pada Q2 dan Q3 2021,” kata Wijman. “Pada tahun lalu, kenaikan pemasukan yang tidak wajar akibat pandemi juga terjadi pada Q2 dan Q3. Jadi, wajar jika saat ini, pemasukan dari perusahaan-perusahaan game masih menunjukkan kenaikan. Namun, kami memperkirakan, dalam dua kuartal ke depan, pemasukan perusahaan game akan mulai turun.”

Turunnya Pemasukan Industri Game PC dan Konsol

Pada 2021, industri game PC diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 2,8%, menjadi US$35,9 miliar. Sementara itu, industri game konsol diduga akan turun 8,9%, menjadi US$49,2 miliar. Salah satu alasan mengapa segmen gaming PC dan konsol turun adalah karena masalah suplai GPU dan konsol next-gen. Menurut Newzoo, kelangkaan konsol next-gen dan PC gaming akan memberikan dampak negatif pada total belanja para gamers.

Hal lain yang menyebabkan industri game mengalami penurunan pada tahun ini adalah ditundanya sejumlah game yang ditunggu-tunggu. Beberapa game yang peluncurannya harus dimundurkan ke akhir 2021 atau bahkan ke 2022 antara lain Returnal, Gotham Knights, Destiny 2: The Witch Queen, Gran Turismo 7, dan Destruction AllStars.

Returnal jadi salah satu game yang harus ditunda. | Sumber: Engadget

Alasan tertundanya peluncuran sejumlah game adalah perubahan pola kerja di studio game. Pada paruh pertama 2020, lockdown diberlakukan. Hal ini memengaruhi hampir semua lini pekerjaan. Tak terkecuali studio game. Perusahaan game yang membuat game AAA dengan tim besar adalah pihak yang paling terdampak. Akibat penetapan kerja dari rumah oleh perusahaan-perusahaan game, produksi game pun terkendala. Hal ini berujung pada ditundanya peluncuran game AAA, untuk konsol dan PC.

Selain pemasukkan, tingkat engagement berbagai game juga mengalami kenaikan pada tahun lalu. Newzoo memperkirakan, pada tahun ini, tingkat engagement itu akan mengalami penurunan. Sekarang pandemi COVID-19 mulai mereda, sebagian orang akan memilih untuk menghabiskan uang dan waktunya melakukan kegiatan sosial selain bermain game. Kabar baiknya, sebagian dari kenaikan engagement yang terjadi pada tahun lalu akan bertahan pada 2021.

Pertumbuhan Industri Mobile Game

App Annie memperkirakan, industri mobile game akan tumbuh 20% pada 2021. Namun, menurut perkiraan Newzoo, pertumbuhan industri mobile game hanya akan mencapai 4,4%, menjadi US$90,7 miliar. Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan industri mobile game adalah keputusan Apple untuk menghapuskan Identification for Advertisers (IDFA). Selama ini, IDFA digunakan oleh developer untuk melacak data pengguna, seperti untuk mengetahui siapa saja yang menghabiskan uang dalam game.

Dengan peluncuran iOS 14.5, Apple memudahkan para pengguna iPhone dan iPad untuk mematikan tracker dari para pengiklan. Hal ini akan mempersulit para developer yang menggantungkan diri pada pemasukan dari iklan. Menariknya, perusahaan game asal Tiongkok, seperti Tencent dan NetEase, diduga tidak akan terlalu terpengaruh oleh keputusan Apple. Karena, mereka bisa mengumpulkan data para pemainnya tanpa harus menggunakan IDFA. Apa yang dilakukan oleh Tencent dan NetEase bisa ditiru oleh developer dan publisher mobile game di masa depan.

Apple akan menghilangkan IDFA pada iOS 14.5. | Sumber: 9to5Mac

Untungnya, industri mobile game diperkirakan masih akan tumbuh pada tahun ini. Karena, proses pengembangan mobile game relatif lebih sederhana daripada game PC dan konsol. Alhasil, dampak akibat perubahan ritme kerja karena pandemi pada proses produksi mobile game tidak sebesar pada pengembangan game PC dan konsol. Tak hanya itu, orang-orang yang mencoba untuk bermain mobile game pada tahun lalu kemungkinan akan tetap memainkannya pada tahun ini. Karena itulah, Wijman mengungkap, perkiraan Newzoo akan niai industri mobile game pada 2021 tetap lebih tinggi daripada dugaan mereka sebelum pandemi COVID-19.

Bicara Soal Tantangan dan Peluang Pasar Game di Asia

Apabila kita melihat peta perkembangan game dan esports, besarnya potensi pasar Asia mungkin memang sudah diakui banyak pelaku industri. Pada Agustus 2020 lalu saja misalnya, dikabarkan bahwa pemasukan industri esports di Asia menembus angka Rp7,6 triliun. Selain itu, perkembangannya di Asia secara umum juga tergolong cukup pesat yang didorong oleh perkembangan mobile gaming.

Karenanya, tidak heran apabila beberapa developer game asal negara barat seperti Riot Games mulai melakukan penetrasinya ke pasar game di Asia, termasuk Indonesia. Dalam satu kesempatan, Daniel Ahmad selaku Senior Analyst dari Niko Partners sempat berbagi soal potensi dan juga beberapa hal yang patut dipahami soal pasar game di Asia dalam salah satu seri artikel The Collective yang dibuat oleh Lewis Silkin.

Dalam hal skala pasar game di Asia, Daniel sendiri mengatakan bahwa Asia merupakan salah satu kawasan gaming terbesar di dunia. Ada total sekitar US$80 juta pemasukan yang didapatkan dari industri game, 1,5 miliar gamers, dan lebih dari 500 juta orang penggemar esports di Asia.

Esports yang juga menjadi salah satu fenomena di Indonesia. Sumber: MPL Official

Lebih lengkap soal demografi, Daniel Ahmad pun menjelaskan. “Sebagai contoh demografi, kami ada data gamers di negara Tiongkok. Dari 720 juta orang pemain games, rata-ratanya berada di usia 18 hingga 35 tahun dengan 90% di antaranya bermain game setidaknya 60 menit selama 1 bulan. Lalu 18% di antaranya bermain game selama 30 jam lebih per pekan dan 80% dari gamers menonton video orang bermain game (rekaman ataupun live stream) di waktu senggang.”

Lalu dalam hal esports, Daniel Ahmad juga menjelaskan sedikit alasan kenapa esports bisa berkembang pesat dan sangat berarti bagi gamers di wilayah Asia.

“Saya rasa alasan perkembangan popularitas esports yang eksplosif di Asia pada dasarnya adalah karena ada persimpangan antara kompetisi dan komunitas di dalam esports. Kehadiran esports juga memberikan kesempatan bagi pemain untuk berinteraksi dengan sebuah game secara lebih mendalam, lebih berarti, seraya membagikan pengalaman tersebut kepada kawan.” Tutur Daniel.

Bergerak ke arah bisnis, pembahasan lalu berlanjut soal peluang monetisasi dari in-app purchases dalam ranah pasar Asia. Sejauh ini game free-to-play memang terlihat menunjukkan perkembangan yang pesat. Beberapa contohnya mungkin bisa kita lihat dari jajaran game mobile yang pemasukannya menembus angka US$1 miliar lebih. Selain itu, perkembangan esports hingga saat ini sebenarnya juga bisa dibilang jadi salah satu kausalitas dari kehadiran game free-to-play.

Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa model free-to-play memang menjadi salah satu model bisnis yang paling diandalkan oleh industri game di Asia.

“Asia adalah yang paling terdepan dalam hal model bisnis dan model distribusi di dalam video game. Free-to-play adalah salah satu yang populer sebagai model distribusi di Asia selama kurang lebih dua dekade belakangan. Ditambah besar dan cepatnya perkembangan mobile gamers juga telah menjadi lahan yang subur bagi para developer untuk bereksperimen dengan model monetisasi free-to-play seperti in-app purchases dan mekanik ‘gacha’. Meski gacha dan loot boxes memang diregulasi di kawasan Asia, namun game seperti Genshin Impact telah menjadi bukti bagaimana model free-to-play ternyata juga bisa sukses di pasar barat.”

Kesuksesan PUBG Mobile juga bisa dibilang jadi salah satu bukti penerapan model free-to-play yang tepat. Sumber: Tencent

Menutup perbincangan, Daniel Ahmad lalu juga membicarakan soal tantangan dan peluang bagi developer game yang ingin sukses di pasar Asia. Dalam hal peluang, Daniel membicarakan soal pentingnya memahami siapa sosok gamers yang ingin dituju. “Ada beragam sub-kebudayaan di antara para gamers di Asia sehingga ada berbagai cara untuk menjangkau dan bekerja sama dengan mereka.” Ucap Daniel Ahmad.

“Dalam laporan Niko Partners yang membahas soal gamers di Tiongkok, kami membuat catatan bahwa kebanyakan gamers cenderung lebih percaya dengan Key Opinion Leaders (disebut juga influencers) dalam hal memilih produk yang tepat, ketimbang dengan iklan tradisional ataupun orang marketing.” Tambah Daniel.

Membicarakan tantangan, Daniel mengatakan soal regulasi, terutama apabila ingin mencoba masuk ke pasar Tiongkok. “Masalah regulasi adalah salah satunya, terutama di Tiongkok karena seorang developepr harus mendapatkan izin pemerintah terkait konten yang akan disajikan dari sebuah game. Selain Tiongkok, Vietnam juga memiliki regulasi ketat tersebut.” Ucap Daniel.

Sang Director Ceritakan Kisah di Belakang Layar Pembuatan Karakter Street Fighter

Nama Street Fighter mungkin sudah menjadi ikon dalam ranah game fighting. Salah satu alasannya adalah karena game tersebut jadi pionir di genre fighting. Pertama kali diciptakan tahun 1987 untuk mesin arcade, seri Street Fighter bahkan masih bertahan hingga kini, sekitar 34 tahun dari game tersebut pertama dibuat. Mempertahankan ciri khas dan kesuksesan sebuah game dalam jangka waktu yang begitu panjang tentu bukan proses mudah.

Street Fighter V, iterasi ke-32 dari Street Fighter, sudah ada sejak 2016 lalu. Beberapa bulan lalu, Street Fighter V baru merilis Season 5 yang berisi beberapa karakter dan konten baru. Mengutip dari InvenGlobal, Takayuki Nakayama selaku Director of Street Fighter V pun berbagi seputar proses pembuatan karakter Street Fighter V.

Takayuki Nakayama telah terlibat di dalam pengembangan seri Street Fighter selama 9 tahun. Takayuki pun bercerita soal bagaimana tim pengembang Capcom menyajikan sebuah karakter (baik karakter lama atau karakter baru) ke dalam Street Fighter V. Ia berkata bahwa proses pembuatannya mempertimbangkan banyak faktor, mulai dari aspek teknis seperti struktur gerakan dan strategi bermain satu karakter, sampai kepada aspek kreatif seperti kepribadian ataupun asal muasal sang karakter.

Sumber Gambar - Capcom Official YouTube.
Takayuki Nakayama pada saat menjelaskan Summer Update tahun 2020 lalu. Sumber Gambar – Capcom Official YouTube.

“Kami melakukan riset dan review atas rekaman pertandingan dari suatu karakter untuk melihat ragam gerakannya. Bersamaan dengan hal tersebut, kami juga memikirkan bagaimana perjalanan karakter itu sejauh ini, bagaimana mereka (karakter-karakter yang dibuat) bisa punya cerita yang tersambung dengan masa lalu ataupun masa depan dari dunia Street Fighter. Kombinasi dua aspek tersebut lah yang menjadi proses tersajinya berbagai karakter di dalam Street Fighter V.”

Takayuki juga menambahkan bahwa dirinya dan tim juga mempertimbangkan hal apa yang mungkin dilakukan dengan grafis 3D yang diusung SF V saat ini. Hal tersebut mengingat Street Fighter terdahulu dibuat dengan grafis 2D yang menampilkan visual ala kartun.

Setelahnya, Takayuki pun bercerita secara lebih detil soal tantangan dan peluang dalam membuat karakter terbaru yang hadir di Season V yaitu Dan, Rose, Oro, serta Akira.

Dalam menciptakan karakter yang konyol seperti Dan, Takayuki bercerita bahwa salah satu proses yang paling banyak dikerjakan adalah membuat ekspresi wajah. “Kami banyak menempatkan usaha kami dalam membuat ekspresi wajah seorang Dan Hibiki, mempersiapkan animasi wajah sedihnya, dan juga mempersiapkan efek unik yang akan muncul ketika Dan melakukan sesuatu, contohnya seperti gerakan Legendary Taunt.”

https://twitter.com/StreetFighter/status/1371899146580398089

Selain soal wajah dan gerakannya, Takayuki juga menceritakan sedikit soal penciptaan kostum milik Dan. Takayuki bercerita, dalam membuat kostum Dan, ia dan tim mencoba memikirkan cerita latar dari sang karakter seraya berusaha menonjolkan personalita seorang Dan Hibiki. Karenanya, ada kostum alternatif yang terlihat casual karena hubungan karakter Dan Hibiki dengan Blank serta Sakura. Selain itu, warna alternatifnya juga dibuat untuk mengingatkan pemain dengan sosok ayah seorang Dan Hibiki yaitu Gou hibiki yang diceritakan meninggal di beberapa seri Street Fighter sebelumnya.

Berikutnya soal Rose. Karakter tersebut sudah sempat muncul di beberapa seri Street Fighter. Walau begitu, Takayuki menceritakan bahwa mereka tetap membuat ulang karakter tersebut agar sesuai dengan zaman. “Kami ingin karakter Rose menampilkan kesan bermartabat dan kalem. Karenanya kami sangat teliti dengan gerakan-gerakannya, berusaha membuat berbagai elemen gerakannya tetap mempertahankan kepribadian tersebut.” Ucap Takayuki kepada InvenGlobal.

Capcom sendiri menggunakan teknologi motion capture dalam menciptakan gerakan-gerakan karakter di Street Fighter V. Membahas hal tersebut, Takayuki mengatakan bahwa mereka banyak melakukan diskusi pada saat memperagakan sebuah gerakan karakter. Dalam prosesnya, bukan hanya tim kreatif Capcom yang memikirkan gerakannya, para profesional yang bekerja sebagai aktor mo-cap terkadang juga turut memberi saran soal bagaimana suatu gerakan dilakukan.

“Selain itu juga, kami kerap mengundang martial artist profesional ke dalam tempat syuting. Kehadiran sosok profesional tersebut sangatlah membantu kami, terutama untuk memberi pengetahuan tambahan bagi tim developer. Lalu selain itu, apabila Anda sadar, beberapa gerakan terlihat tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Karenanya, kami juga menggunakan kabel besi atau memecah satu gerakan ke dalam beberapa gerakan kecil saat melakukan motion capture.”

Menutup perbincangan antara Takayuki Nakayama dengan InvenGlobal, sosok Director of Street Fighter V tersebut juga membicarakan soal pembuatan Oro dan Akira. Dalam hal Oro, Takayuki berkata bahwa menciptakan karakter tersebut sangatlah sulit. Salah satu alasannya adalah karena penggemar fanatik karakter tersebut dari game Street Fighter sebelumnya. Alasan lainnya adalah karakter Oro yang bertarung dengan satu tangan saja di ruang 2D menciptakan kesulitan teknis tersendiri pada saat tim developer ingin menuangkannya ke dalam ruang 3D.

Dalam hal Akira, Takayuki justru mengatakan bahwa menciptakan karakter tersebut tergolong lebih mudah walau karakter tersebut datang dari game lain. “Karena Rival Schools: United by Fate masih tersambung dengan dunia SF, maka membuat karakter tersebut jadi tidak terlalu sulit. Rasanya sangat menyenangkan sekali bisa menyertakan sebuah elemen yang akan diapresiasi oleh para penggemar seri Rival Schools.” Tuturnya.

Season Pass 5 dari SF V sendiri sebenarnya sudah tersedia sejak dari bulan Februari 2021 lalu. Terlepas dari itu, wawancara terhadap Takayuki Nakayama sendiri tentunya menjadi gambaran bagaimana menghadirkan sebuah karakter bukan proses mudah yang melibatkan aspek teknis dan aspek kreatif.

Steam Catatkan Banyak Rekor Baru Selama 2020

Di saat banyak industri yang dibuat berantakan oleh pandemi COVID-19 selama tahun 2020, industri game justru tumbuh sejahtera. Entah itu di platform mobile, console, ataupun PC, pemasukan industri game bertumbuh cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Di PC, kita bisa mendapat gambaran yang lebih jelas lagi berkat laporan tahunan yang dirilis Steam baru-baru ini. Dijelaskan bahwa meskipun Steam sudah mengalami pertumbuhan yang signifikan sebelum banyak negara yang menerapkan lockdown, waktu bermain game naik drastis ketika orang-orang mulai berdiam diri di rumah. Alhasil, jumlah konsumen yang membeli dan bermain game pun juga meningkat secara dramatis.

Data yang Steam kumpulkan menunjukkan sejumlah rekor baru yang cukup fenomenal, seperti misalnya rekor jumlah pengguna aktif bulanan (120,4 juta), pengguna aktif harian (62,6 juta), pengguna yang online di waktu bersamaan (24,8 juta), pembeli pertama (2,6 juta per bulan), total waktu bermain (31,3 miliar jam), dan jumlah game yang dibeli (21,4% lebih banyak daripada pencapaian di tahun 2019).

Steam 2020 stats overview

Jangankan PC gaming secara umum, VR gaming pun juga mengalami pertumbuhan yang signifikan di tahun 2020, dengan angka penjualan game yang naik sebesar 71% dibanding tahun 2019 – 39%-nya sendiri berasal dari penjualan Half-Life: Alyx saja. Steam bahkan juga mencatat ada lebih dari 1,7 juta pengguna yang memainkan game VR untuk pertama kalinya di tahun 2020.

Masih seputar virtual reality, tercatat ada lebih dari 104 juta sesi VR di Steam tahun lalu, dengan masing-masing sesi yang berdurasi rata-rata 32 menit. Kalau ditotal, ada peningkatan waktu bermain game VR sebesar 30% selama tahun 2020.

Kesimpulannya, Steam benar-benar sibuk di tahun 2020, dan ini bisa kita lihat dari traffic datanya yang luar biasa besar: 25,2 exabyte (1 exabyte = 1 miliar gigabyte). Begitu intensnya traffic di Steam, badan pemerintahan di sejumlah negara dan beberapa perusahaan internet besar sempat mengajak Valve untuk berdikusi terkait bagaimana Steam bisa membantu meminimalkan problem yang muncul akibat melonjaknya traffic global selama pandemi.

Untuk 2021, agenda Steam meliputi peluncuran Steam khusus untuk pasar Tiongkok, penyempurnaan user experience, penyegaran aplikasi Steam Mobile demi memudahkan proses login dan pengamanan akun, serta penyempurnaan pengalaman yang pengguna dapatkan di platform Linux.

Sumber: PC Gamer.