Moonton Gelar Seri Turnamen Mobile Legends di Amerika Latin, EVO 2022 Bakal Digelar Offline

Minggu lalu, dua pelaku industri esports mengumumkan kerja sama terbaru mereka. Pertama, Moonton mengumumkan kerja sama mereka dengan Community Gaming. Keduanya akan menggelar seri kompetisi Mobile Legends di Amerika Latin. Kedua, League of Legends European Champonship (LEC) mengungkap bahwa mereka akan menjalin kolaborasi dengan SAP. Sementara itu, Razer ingin menggelar kompetisi esports untuk game-game kasual dan hyper-casual.

Moonton Gandeng Community Gaming untuk Adakan Seri Turnamen Mobile Legends di Amerika Latin

Moonton baru saja mengumumkan kerja sama mereka dengan startup esports, Community Gaming. Melalui kerja sama ini, Moonton dan Community Gaming akan menggelar seri turnamen Mobile Legends: Bang Bang di Amerika Latin. Seri turnamen berjudul Dawn of Heroes itu akan berlangsung selama enam bulan. Setiap bulannya, akan ada dua kompetisi yang digelar di platform Community Gaming: satu turnamen untuk Amerika Latin utara dan satu kompetisi untuk kawasan Amerika Latin selatan.

Kompetisi pertama dari Dawn of Heroes akan dimulai pada akhir Agustus 2021. Gamers yang tertarik bisa mendaftarkan diri dengan gratis. Tim yang menang akan mendapatkan “diamonds”, mata uang dalam Mobile Legends. Menurut laporan Esports Insider, tujuan Moonton menggelar seri turnamen ini adalah untuk menyediakan competitive scene bagi pemain amatir di Amerika Latin serta mencari pemain Mobile Legends berbakat baru.

McLaren Buka Shadow Studio untuk Tempat Latihan Tim Esports

McLaren menjajaki sim racing pada 2017. Pada Juli 2021, mereka mengumumkan keberadaan McLaren Shadow Studio, yang merupakan bukti keseriusan mereka di dunia sim racing. Shadow Studio merupakan bagian dari McLaren Technology Centre, yang terletak di Woking, Inggris. Studio itu akan digunakan sebagai tempat latihan bagi tim esports McLaren Shadow. Selain itu, studio tersebut juga bisa digunakan oleh para brand ambassador McLaren untuk membuat konten, menurut laporan Esports News.

McLaren membuka Shadow Studio untuk tim esports dan brand ambassador mereka.

EVO 2022 Bakal Digelar Offline di Las Vegas

EVO 2022 akan kembali diadakan secara offline pada Agustus tahun depan. Untuk lebih tepatnya, kompetisi dari beragam fighting games itu akan diselenggarakan pada 5-7 Agustus 2022. Las Vegas menjadi kota yang dipilih untuk menjadi tuan rumah EVO 2022. Sayangnya, saat ini, belum ada informasi lebih lanjut tentang EVO 2022. Berdasarkan video cuplikan yang diunggah di akun Twitter resmi EVO, EVO 2022 juga akan menyertakan kompetisi Super Smash Bros., yang sempat absen dari EVO 2021 Online, menurut laporan Dot Esports.

Kompetisi EVO 2021 masih digelar secara online. Meskipun begitu, pada 27-28 Agustus 2021, EVO 2021 Showcase akan diadakan di Las Vegas. Event tersebut akan menunjukkan pertandingan antara para pemain terbaik di lima game. Kelima game itu adalah yaitu Guilty Strive, Mortal Kombat 11, Street Fighter V, Tekken 7, dan Skullgirls. Secara total, kompetisi tersebut akan menawarkan hadiah sebesar US$125 ribu. Kompetisi dari masing-masing game akan menawarkan hadiah sebesar US$25 ribu.

Razer Gelar Kompetisi untuk Mobile Game Kasual

Saat ini, popularitas mobile esports tidak kalah dari game esports untuk PC atau konsol. Namun, biasanya, mobile game esports yang populer adalah game MOBA atau battle royale. Padahal, jumlah pemain mobile game kasual juga tidak sedikit. Demi meramaikan competitive scene untuk mobile game kasual, Razer menggelar kompetisi esports khusus untuk game-game kasual dan hyper-casual, yang dinamai Cortex Instant Games Tournament.

Berbeda dengan kebanyakan turnamen esports, di Cortex Tournament, para peserta tidak melawan peserta lain secara langsung. Sebagai gantinya, mereka akan bersaing melalui leaderboards. Semakin besar skor yang Anda dapatkan, semakin tinggi pula peringkat Anda di leaderboard dan semakin besar pula kesempatan Anda untuk menang. Peserta yang menang akan mendapatkan Razer Silvers, lapor Slash Gears.

Sneki Snek Adventure akan jadi game pertama yang diadu di Cortex Instant Games Tournaments. | Sumber: Slash Gear

Sebagai bagian dari Cortex Tournament, Razer akan mengadakan empat sampai enam turnamen secara bersamaan. Durasi masing-masing turnamen beragam, mulai dari satu hari hingga beberapa minggu, tergantung pada game yang dimainkan. Game yang diadu dalam Cortex Tournament akan diganti secara rutin. Game pertama yang akan dipertandingkan di kompetisi itu adalah Sneki Snek Adventure.

LEC Gandeng SAP untuk Summer Playoffs 2021

League of Legends European Championship (LEC) menjalin kerja sama dengan perusahaan software asal Jerman, SAP, untuk 2021 Summer Playoffs. Sebagai bagian dari kerja sama itu, SAP akan mendampingi tim LEC untuk membuat segmen statistik baru di Summer Playoffs. SAP juga akan memberikan informasi tentang performa dari pemain-pemain favorit para penonton, mulai dari kemampuan sang pemain dalam mencapai sebuah objektif sampai rekam jejak pemain.

“Tidak bisa dipungkiri, SAP adalah perusahaan global ternama. Mereka bisa membawa pengetahuan serta pengalaman mereka akan software untuk enterprise ke dunia esports melalui kerja sama ini,” kata Zeynep Gencaga, Senior Manager of Business Development and Partnerships for Europe and MENA, Riot Games, seperti dikutip dari Esports Insider. “Para teknisi SAP telah bekerja keras bersama tim kami untuk membuat inovasi dalam visualisasi statistik di LEC. Dengan begitu, kami akan bisa menyajikan cerita di LEC dengan lebih menarik.”

Studi Komparasi antara Olimpiade dan Kompetisi Esports: Mana yang Lebih Menguntungkan?

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.

Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esports events memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.

Persiapan Olimpiade

Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.

Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.

Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.

Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.

Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.

Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.

Persiapan Esports Events

Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.

Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.

Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.

“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”

“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.

Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.

“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”

Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:

1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan

“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.

LAN Events. | Sumber: ESL Gaming

Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.

“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”

Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.

“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.

“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.

LOL Worlds 2020 digelar di Shanghai. | Sumber: LOL Esports

Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.

Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.

“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”

Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.

“Dari pengalaman gue handle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”

Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.

Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.

“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.

Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports

Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.

Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.

Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.

Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:

Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%

Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.

CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.

Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah  peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.

Jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari TI dan LOL Worlds. | Sumber: Esports Charts

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.

Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.

Viewership LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Charts
Viewership dari The International 2019. | Sumber: Esports Charts

Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.

Money, Money, Money~

Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.

Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.

Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.

Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.

Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.

Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.

Pemasukan Olimpiade dari lisensi. | Sumber: Statista

Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.

Pemasukan Olimpiade dari marketing. | Sumber: Statista

Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.

Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.

Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.

Desa atlet di Turin. | Sumber: Olympics

Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.

Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.

“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”

Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah.  Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.


Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?

Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.

Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports,  sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”

Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”

BOOM Esports ketika menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.

“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”

Kesimpulan

Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.

Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.

Turnamen Esports Terpopuler Pada Juli 2021

Pada bulan Juli 2021, ada berbagai kompetisi esports yang digelar. Mulai dari turnamen yang hanya diselenggarakan selama beberapa hari sampai liga yang berlangsung selama beberapa bulan. Karena itu, daftar turnamen esports terpopuler untuk Juli 2021 pun berisi kompetisi bermacam-macam game, termasuk PUBG Mobile, Counter-Strike: Global Offensive, League of Legends, Free Fire, dan Arena of Valor. Berikut lima turnamen esports terpopuler pada Juli 2021 menurut data dari Esports Charts.

5. Arena of Valor World Cup 2021

Arena of Valor World Cup 2021 dimulai pada 19 Juli 2021 dan berakhir pada 18 Juli 2021. Pada puncaknya, jumlah penonton dari turnamen ini mencapai 550 ribu orang, yaitu ketika MAD Team bertemu dengan Team Flash pada 21 Juni 2021. Sementara pada bulan Juli, grand final yang mempertemukan Talon Esports dengan The Most Outstanding Players (MOP) menjadi pertandingan paling populer. Ketika itu, jumlah peak viewers mencapai 521 ribu orang.

Secara keseluruhan AOV World Cup 2021 disiarkan selama 123 jam dan mendapatkan 18,9 juta jam hours watched. Sementara jumlah penonton rata-rata dari turnamen ini mencapai 154 ribu orang. Di YouTube, turnamen tersebut berhasil mendapatkan 67,7 juta views dan 477,7 ribu likes.

Lima tim dan pertandingan terpopuler selama AOV World Cup 2021. | Sumber: Esports Charts

AOV World Cup 2021 disiarkan dalam beberapa bahasa, yaitu Indonesia, Inggris, Spanyol, Mandarin, Thailand, dan Vietnam. Siaran dalam bahasa Vietnam menjadi yang terpopuler pada Juni, dengan peak viewers mencapai 412,8 ribu orang. Sementara di bulan Juli, siaran dengan bahasa Thailand justru menjadi siaran terpopuler, dengan jumlah peak viewers mencapai 219,8 ribu orang. Hal ini tidak aneh, mengingat Talon — yang keluar sebagai juara — berisi pemain asal Thailand.

Meskipun begitu, dari segi hours watched, tim yang paling populer adalah MAD, dengan total hours watched mencapai 5,04 juta jam. Posisi kedua dipegang oleh Saigon Phantom dari Vietnam, yang mendapatkan total hours watched sebanyak 4,66 juta jam. Namun, dari segi peak viewers, Team Flash asal Vietnam yang menjadi tim terpopuler dengan peak viewers sebanyak 247,1 ribu orang. Dan Buriram United Esports (BUE) asal Thailand ada di posisi kedua dengan 191,32 ribu peak viewers.

4. Liga Brasileira de Free Fire 2021 Series A Stage 2

Liga Brasileira de Free Fire (LBFF) 2021 Series A Stage 2 menjadi turnamen esports terpopuler ke-4 pada Juli 2021. Turnamen itu berhasil mendapatkan 11,2 juta jam hours watched dan 168 ribu average viewers. Pada puncaknya, turnamen Free Fire tersebut ditonton oleh sebanyak 598,9 ribu orang. Ronde paling populer dari LBFF 2021 Series A Stage 2 adalah Ronde 3 pada babak final. Empat ronde terpopuler lainnya juga merupakan bagian dari babak final, yaitu Ronde 2, Ronde 4, Ronde 5, dan Ronde 6.

Lima ronde terpopuler dari LBFF 2021 Series A Stage 2. | Sumber: Esports Charts

LBFF 2021 Series A Stage 2 mendapatkan 38,7 juta views di YouTube dan 2,9 juta likes. Mengingat turnamen ini memang dikhususkan untuk kawasan Brasil, tidak heran jika siaran dalam bahasa Portugis menjadi siaran terpopuler. Peak viewers dari siaran berbahasa Portugis mencapai 598,8 ribu orang. Pada akhirnya, LBFF 2021 Series A Stage 2 dimenangkan oleh Keyd, yang membawa pulang US$59 ribu. Sementara posisi ke-2 ditempati oleh Corinthians dan posisi ke-3 diisi oleh Fluxo. Namun, gelar MVP dan Brabo da Galera (pemain terpopuler berdasarkan pemungutan suara fans), jatuh pada Gabriel “Syaz” Vasconcelos dari tim Fluxo.

3. LCK 2021 Summer

League of Legends Champions Korea (LCK) Summer 2021 juga masuk dalam daftar turnamen esports paling populer pada Juni 2021. Ketika itu, liga itu ada di peringkat dua. Namun, pada bulan ini, mereka turun satu peringkat ke peringkat tiga. Pada Juli 2021, peak viewers dari LCK Summer 2021 adalah 559,7 ribu orang. Angka ini lebih rendah dari peak viewers pada Juni 2021, yang mencapai 720,3 ribu orang. Menariknya, pertandingan paling populer pada bulan Juli tetaplah pertandingan antara T1 dan DAMWON Kia, sama seperti pada Juni 2021.

Tim dan pertandingan terpopuler di LCK Summer 2021. | Sumber: Esports Charts

T1 dan DAMWON juga merupakan dua tim terpopuler di LCK Summer 2021. Secara total, T1 mendapatkan 13 juta jam hours watched dan 299,3 ribu peak viewers. Sementara DAMON memiliki 234,2 ribu peak viewers dan 9,43 juta jam hours watched. Menariknya, saat ini, kedua tim itu bukanlah tim terkuat di LCK Summer 2021. Dengan 9 kemenangan dan 6 kekalahan, DAMWON ada di peringkat 4 sementara T1 ada di peringkat 5.

LCK Summer 2021 disiarkan di 11 channels Twitch dan mendapatkan 41,8 juta views serta 144,7 ribu follows. Sementara di YouTube, liga esports tersebut berhasil mendapatkan 13,1 juta views dan 132 ribu likes. LCK Summer 2021 disiarkan dalam delapan bahasa. Tiga bahasa terpopuler adalah Korea, dengan peak viewers sebanyak 405 ribu orang, diikuti oleh Inggris dengan peak viewers sebanyak 163,9 ribu orang, dan Vietnam, dengan peak viewers sebanyak 127,3 ribu orang.

2. IEM Cologne 2021

Dengan total hours watched sebesar 22,1 juta jam, Intel Extrem Masters (IEM) Cologne 2021 berhasil menjadi turnamen esports terpopuler ke-2 pada Juli 2021. Pada puncaknya, ada 843 ribu orang yang menonton turnamen tersebut. Hal ini terjadi pada babak grand final, yang mempertemukan G2 dengan Natus Vincere (NaVi). Kedua tim tersebut juga merupakan dua tim yang paling populer di IEM Cologne 2021, baik dari segi hours watched maupun jumlah penonton rata-rata. Total hours watched dari NaVi mencapai 6,34 juta jam, dengna jumlah penonton rata-rata sebanyak 333,9 ribu orang. Sementara G2 mendapatkan total hours watched sebanyak 5,64 juta jam dan average viewers sebanyak 300,64 ribu orang.

Tim-tim dan pertandingan paling populer selama IEM Cologne 2021. | Sumber: Esports Charts

Di YouTube, IEM Cologne 2021 mendapatkan 1,5 juta views dengan 38 ribu likes. Sementara di Twitch, turnamen yang disiarkan di 21 channels itu berhasil mendapatkan 46,9 juta views dan 436,6 ribu follows. Sepanjang turnamen, jumlah penonton rata-rata dari IEM Cologne 2021 mencapai 235 ribu orang. Sementara total waktu siaran dari turnamen itu mencapai 94 jam.

IEM Cologne 2021 disiarkan dalam beberapa belasan bahasa. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran terpopuler dengan peak viewers sebanyak 351 ribu orang. Sementara itu, bahasa terpopuler kedua adalah Rusia (263 ribu peak viewers), diikuti oleh siaran dalam bahasa Portugis (118,6 ribu peak viewers).

1. PUBG Mobile World Invitational 2021

PUBG Mobile World Invitational 2021 berhasil menjadi turnamen esports paling populer pada Juli 2021 dengan total hours watched sebanyak 13,5 juta jam. Pada puncaknya, kompetisi itu ditonton oleh 1 juta orang. Sementara jumlah penonton rata-rata sepanjang turnamen mencapai 399,5 ribu orang. Ronde 2 pada hari pertama menjadi ronde paling populer. Saat itu, jumlah peak viewers mencapai 1.04 juta orang.

Siaran dari PUBG Mobile World Invitational 2021 ditayangkan dalam lebih dari 20 bahasa. Siaran dalam bahasa Indonesia menjadi siaran terpopuler. Pada puncaknya, ada 564,8 ribu orang yang menonton siaran berbahasa Indonesia. Bahasa Inggris menjadi bahasa terpopuler ke-2, dengan peak viewers sebanyak 399,6 ribu orang dan bahasa Malaysia ada di posisi ke-3 dengan peak viewers sebanyak 81,9 ribu orang.

Lima ronde paling ramai dari PUBG Mobile World Invitational 2021. | Sumber: Esports Charts

PUBG Mobile World Invitational 2021 disiarkan di 29 channels Twitch dan mendapatkan 3,7 juta views serta 8,7 ribu follows. Sementara di YouTube, kompetisi yang disiarkan selama 34 jam itu berhasil mendapatkan 17,1 juta views dan 569,1 ribu views. Selain Twitch dan YouTube, kompetisi PUBG Mobile ini juga disiarkan di Nimo TV, Facebook, TikTok, Trovo, serta VK Live. Dari semua platform tersebut, Nimo TV menjadi platform paling populer dengan peak viewers sebanyak 649,2 ribu orang. YouTube ada di posisi kedua dengan peak viewers sebanyak 286,9 ribu orang, diikuti oleh Facebook dengan peak viewers sebanyak 133,3 ribu orang.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

BOOM Esports Perkenalkan Tim League of Legendsnya Untuk PCS Summer 2021

BOOM Esports salah satu organisasi esports terbesar di Indonesia baru saja merilis tim untuk game League of Legends. Tim tersebut nantinya akan berlaga dalam turnamen Pacific Championship Series Summer 2021. Dalam turnamen ini, BOOM Esports akan bertanding melawan tim-tim League of Legends terbaik di Asia Tenggara, Hongkong, dan Taiwan.

Squad tim BOOM Esports League of Legends kedatangan 2 pemain baru. Mereka adalah Chen “Alex” Yu-Ming dan Tsang “Holo” Dek Lam. Alex akan bermain sebagai jungler, sedangkan Holo akan menjadi pemain cadangan tim BOOM Esports. Dengan begitu lengkap sudah squad dari tim BOOM Esports untuk musim ini.

Berikut ini daftar pemain BOOM Esports League of Legends:

  • Atit “Rockky” Phaomuang (Toplaner/Thailand)
  • Chen “Alex” Yu-Ming (Jungler/Taiwan)
  • Lee “Ruby” Sol-min (Mid/Korea Selatan)
  • Tsou “Wako” Wei-Yang (ADC/Taiwan)
  • Ha “PoP” Min-wook (Supports/Korea Selatan)
  • Tsang “Holo” Dek Lam (Sub/Hongkong)

Uniknya squad BOOM Esports ini dihuni oleh pemain dari berbagai negara. Mulai dari pemain Thailand, Taiwan, Korea Selatan, hingga Hongkong ada di sana. Selain itu, meskipun sebagai organisasi esports asal Indonesia, BOOM Esports League of Legends memiliki homebase di Thailand.

Musim ini merupakan musim yang kedua bagi BOOM Esports dalam berlaga di turnamen Pacific Championship Series. Debut mereka terjadi pada awal tahun 2021 kemarin di PCS Spring 2021. Kiprah BOOM Esports di turnamen perdana mereka tidaklah terlalu buruk. BOOM Esports berhasil menempati posisi 5 klasemen grup dan posisi 7 pada babak playoff.

Pacific Championship Series Summer 2021 akan digelar pada bulan Juli 2021 mendatang. Turnamen ini akan diikuti oleh 10 tim League of Legends dan memperebutkan total hadiah sebesar US$80.000 atau sekitar Rp1,2 miliar. Turnamen Pacific Championship Series Summer 2021 nantinya juga akan memperebutkan 2 slot menuju turnamen League of Legends World Championship 2021 mendatang.

Kita lihat saja bagaimana kiprah tim esports BOOM Esports untuk divisi League of Legends. Meskipun tidak terlalu populer di Indonesia, BOOM Esports tetap berusaha untuk menjaga tim League of Legendsnya. BOOM Esports juga merupakan salah satu tim esports asal Indonesia yang melebarkan sayapnya di kancah internasional selain EVOS Esports dan RRQ.

Evaluasi dan Relevansi Brand Sebagai Sponsor Game, Esports, ataupun Content Creator

Ketika KFC membuat kolaborasi dengan Genshin Impact di Tiongkok, banyak orang rela menunggu di depan sejumlah gerai KFC sejak tengah malam hanya untuk mendapatkan bonus berupa pin dari Diluc dan Noelle — dua karakter di Genshin Impact. Ada begitu banyak orang yang berkerumun di sejumlah restoran KFC sampai polisi harus turun tangan untuk membubarkan kerumunan di Shanghai dan Hangzhou. Fenomena ini sama seperti fenomena kolaborasi McDonald dengan BTS di Indonesia.

Suksesnya kerja sama antara KFC dengan Genshin Impact menunjukkan, jika dieksekusi dengan baik, kolaborasi antara brand dengan game bisa memberikan dampak yang besar. Pertanyaannya: apa yang harus perusahaan perhatikan ketika akan berkolaborasi dengan game?

Beda Platform = Beda Gamers

Penggemar musik rock belum tentu menyukai musik pop, walau keduanya sama-sama penggemar musik. Sementara itu, penonton sepak bola belum tentu menonton pertandingan basket. Begitu juga dengan game. Gamers adalah istilah yang mencakup banyak orang. Dan, sama seperti penggemar musik atau olahraga, gamers juga punya selera yang berbeda-beda. Salah satu cara untuk mengelompokkan gamers adalah berdasarkan platform yang mereka gunakan. Secara garis besar, ada tiga platform yang bisa digunakan untuk bermain game, yaitu PC, konsol, dan mobile.

Dari ketiga platform tersebut, mobile punya jumlah pemain paling banyak. Menurut laporan Newzoo, jumlah gamers di dunia mencapai 3,22 miliar orang. Sebanyak 94% — atau sekitar 2,8 miliar orang — merupakan mobile gamers. Sementara itu, jumlah gamer PC hanya mencapai 1,4 miliar orang dan konsol 900 juta orang. Mengingat mobile memang memiliki entry barrier paling rendah — dengan harga perangkat yang juga relatif paling murah — maka tidak heran jika jumlah mobile gamers mengalahkan gamers PC dan gamer konsol.

Jumlah gamers di dunia dari waktu ke waktu. | Sumber: Newzoo

Satu hal yang harus diingat, masing-masing platform gaming punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini memengaruhi karakteristik dari para gamers. Misalnya, keunggulan utama dari platform mobile adalah mobilitasnya yang tinggi. Jadi, pemain bisa bermain game hampir dimana saja dan kapan saja. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Namun, jika dibandingkan dengan konsol dan PC, mobile punya daya komputasi yang lebih rendah. Karena itu, mobile game cenderung punya grafik dan mekanisme yang lebih sederhana daripada game konsol dan PC. Kabar baiknya, dalam 10 tahun terakhir, mobile game terus berevolusi, menjadi semakin kompleks. Kolaborasi dengan mobile game cocok untuk perusahaan yang ingin menjangkau banyak orang.

Daripada mobile, baik konsol maupun PC menawarkan daya komputasi yang lebih tinggi. Namun, harga konsol dan PC gaming juga relatif lebih mahal. Sementara itu, keunggulan konsol dari PC adalah kermudahan pemasangan. Setelah membeli konsol, Anda bisa langsung menghubungkannya ke TV dan menggunakannya untuk bermain game. Lain halnya dengan PC. Kelebihan lain dari konsol adalah keberadaan game-game eksklusif, seperti Marvel’s Spider-Man: Miles Morales dan Horizon Forbidden West untuk PlayStation 5.

Jika dibandingkan dengan mobile dan konsol, salah satu kelebihan PC adalah ia bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan. Bagi para sultan dengan dana tak terbatas, mereka bisa membangun PC gaming master race yang bisa menjalankan game-game AAA dengan pengaturan rata kanan. Namun, bagi gamers yang punya dana pas-pasan, mereka tetap bisa membangun PC sesuai dengan dana yang mereka punya. Karena itu, gamer PC biasanya cukup mengerti akan sisi teknis. Jadi, gamer PC cocok untuk brand yang menyasar orang-orang yang melek teknologi.

Model Bisnis dan Genre

Game juga bisa dikategorikan berdasarkan model bisnis yang digunakan: game premium atau game free-to-play alias gratis. Walau bisa dimainkan secara gratis, game F2P biasanya punya sistem monetisasi sendiri, seperti iklan, subscription alias langganan, dan menjual item dalam game.

Pertama, mari membahas soal karakteristik pemain game premium. Karena sudah mengeluarkan uang untuk membeli game, pemain dari gamers premium biasanya ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan. Biasanya, mereka juga alergi pada iklan. Buktinya, ketika Capcom memasang iklan di Street Fighter V, mereka mendapat banyak protes dari para pemain. Pada akhirnya, developer Jepang itu memutuskan untuk menghilangkan iklan dari fighting game mereka.

Untuk bekerja sama dengan game premium, salah satu hal yang perusahaan bisa lakukan adalah membuat konten dalam game terkait produk milik perusahaan. Jenis konten yang bisa disisipkan ke dalam game bisa beragam, mulai dari item dalam game sampai tempat yang bisa pemain kunjungi. Misalnya adalah kerja sama antara Digital Happiness dan Exsport. Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, developer Bandung itu membuat karakter utama dari DreadOut 2 mengenakan tas merek Exsport.

Contoh lainnya adalah kerja sama antara KFC dengan Animal Crossing: New Horizons. Dalam kerja sama itu, KFC membuat pulau khusus yang dihias layaknya restoran KFC di dunia nyata. Tak hanya itu, para pemain juga bisa memenangkan satu ember ayam goreng jika mereka berhasil menemukan Colonel Sanders di pulau tersebut. Sebelum mencari Colonel Sanders, pemain harus mendapatkan invite link dari akun media sosial KFC Filipina. Pemain yang berhasil menemukan sang Colonel akan mendapatkan kode yang bisa ditunjukkan ke restoran KFC untuk ditukar dengan ayam goreng. Sayangnya, kegiatan itu terbatas pada gamers di Filipina.

Strategi membuat konten dalam game juga bisa digunakan oleh brand ketika mereka bekerja sama dengan game F2P. Salah satu merek yang pernah melakukan hal itu adalah Louis Vuitton. Sebagai bagian dari kerja sama mereka dengan Riot Games, Louis Vuitton membuat skin untuk karakter di League of Legends. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan koleksi pakaian LVxLOL. KFC juga menggunakan strategi ini ketika bekerja sama dengan Genshin Impact di Tiongkok. Hasil dari kolaborasi tersebut adalah munculnya dua resep baru — resep ayam goreng dan burger — dalam Genshin Impact. Selain itu, pemain juga bisa mendapatkan skin glider khusus, berwarna merah-putih yang menjadi warna khas KFC.

Skin glider khusus KFC. | Sumber: YouTube

Selain model bisnis, hal lain yang harus perusahaan pertimbangkan sebelum berkolaborasi dengan game adalah genre dari game itu sendiri. Bagi perusahaan yang tidak ingin brand mereka dikaitkan dengan kekerasan, mereka bisa memilih game-game olahraga atau balapan. Perusahaan juga bisa memilih game yang memang berkaitan dengan produk yang mereka tawarkan. Sebagai contoh, brand sportswear bisa menggandeng kerja sama dengan game olahraga atau perusahaan otomotif dengan game racing.

Esports dan Konten Game

Apakah sebuah game punya ekosistem esports atau tidak juga bisa menjadi pertimbangan lain bagi perusahaan yang ingin berkolaborasi dengan game tertentu. Pasalnya, jika sebuah game punya skena esports yang berkembang, perusahaan akan punya lebih banyak opsi dalam menjalin kerja sama dengan game tersebut. Alih-alih membuat konten dalam game, brand bisa mensponsori liga atau turnamen esports dari sebuah game. Jenis sponsorship di esports sendiri bermacam-macam, mulai dari sekadar logo placement sampai menjadi title sponsor.

Salah satu bentuk sponsorship unik adalah in-game banner. Jadi, developer meletakkan logo atau merek sponsor di dalam game saat pertandingan  tengah berlangsung. Strategi ini masuk akal, mengingat siaran pertandingan esports biasanya menyorot segala sesuatu yang terjadi dalam game dan bukannya para pemain. League of Legends dan Mobile Legends adalah dua game yang menerapkan model sponsorship ini.

Contoh in-game banner di LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Insider

Sebagian gamers, tidak hanya senang bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itu, munculah industri streaming game. Sebagai turunan dari industri game, industri esports dan streaming game juga  punya potensi besar. Menurut data dari Juniper Research, nilai industri esports dari streaming game pada 2021 akan mencapai US$2,1 miliar. Jadi, bagi brand yang ingin menjangkau gamers tapi masih enggan untuk berkolaborasi dengan game secara langsung, mereka bisa memilih untuk bekerja sama dengan streamer atau kreator konten game.

Mengingat keberagaman game, jangan heran jika influencer gaming juga punya gaya yang berbeda-beda. Ada kreator konten yang menonjolkan kepribadian mereka, seperti Felix Arvid Ulf Kjellberg alias PewDiePie. Tidak peduli game apa yang sang YouTuber mainkan, penonton akan tetap setia karena kepribadian sang kreator kontenlah yang menjadi daya jual. Ada juga kreator konten atau streamer yang menonjolkan skill mereka dalam bermain. Biasanya, influencer gaming ini merupakan mantan pemain profesional. Contohnya adalah Michael “Shroud” Grzesiek, yang pernah menjadi pemain profesional CS:GO sebelum berkarir sebagai streamer. Selain itu, juga ada kreator konten yang menonjolkan sisi sensual mereka. Di Twitch, bahkan sempat muncul tren hot tub streamers.

Satu hal yang pasti, ketika perusahaan mendukung seorang influencer, maka image sang influencer juga akan melekat pada brand. Karena itu, penting bagi perusahaan untuk memilih streamer atau kreator konten yang sesuai dengan brand mereka. Jika tidak hati-hati, reputasi merek justru bisa tercoreng. Hal ini pernah terjadi ketika Wacom menggandeng Abqariyyah Halilintar untuk mempromosikan Wacom Cintiq 16 — pen display seharga Rp9,5 juta.

Abqariyyah Halilintar yang menggambar di Wacom Cintiq 16. | Sumber: Instagram

Tak bisa dipungkiri, unggahan endorsement tersebut memang mendapat engagement tinggi. Saat diunggah di akun Instagram resmi Gen Halilintar, ungahan tersebut mendapatkan lebih dari 38 ribu Likes. Namun, Wacom juga mendapatkan protes dari designer dan seniman, yang merupakan target konsumen Wacom. Alasannya, Abqariyyah dianggap tidak bisa menunjukkan fitur-fitur yang dimiliki oleh Cintiq 16.

Memilih Game atau Esports yang Sesuai dengan Brand

Setiap perusahaan biasanya punya target konsumen masing-masing. Karena itu, ketika hendak menjalin kerja sama dengan developer game atau entitas esports, perusahaan sebaiknya memilih rekan yang memiliki target pasar yang mirip. Hal ini akan lebih mudah untuk dicapai oleh perusahaan endemik game dan esports.

Sebagai contoh, perusahaan yang berkutat di bidang komputer, seperti Intel, AMD, Lenovo, Acer dan lain sebagainya, tentu akan lebih memilih bekerja sama dengan developer game PC atau mendukung ekosistem esports game PC.  Karena game PC punya kaitan langsung dengan produk yang mereka jual. Sementara itu, perusahaan smartphone seperti Samsung Mobile dan Xiaomi Blackshark pasti akan lebih tertarik dengan mobile game serta komunitas esports mobile.

Pertanyaannya, bagaimana jika produk perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan game dan esports? Dalam kasus ini, perusahaan bisa memilih untuk mendukung game atau esports yang penggemarnya punya karakteristik yang sama atau mirip dengan target pasar perusahaan. Pada 2019, Dua Kelinci menjadi sponsor dari RRQ dan EVOS Esports. Padahal, Dua Kelinci merupakan produsen kudapan. Ketika itu, pihak Dua Kelinci menjelaskan, alasan mereka mendukung tim esports adalah karena fans esports punya profil yang sama dengan target konsumen mereka.

Menyesuaikan dengan Tujuan Perusahaan

Di dunia marketing, ada konsep yang disebut marketing funnel. Pada dasarnya, marketing funnel menunjukkan proses untuk membuat seseorang yang tidak mengenal brand perusahaan sama sekali menjadi konsumen setia. Secara garis besar, marketing funnel terdiri dari lima tahap: awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption.

Tampilan marketing funnel. | Sumber: Expert Program Management

Di tahap awareness, tujuan perusahaan adalah untuk membuat calon konsumen tahu akan brand mereka. Tahap kedua, interest, bertujuan untuk membuat orang-orang yang sudah mengenal brand perusahaan menjadi semakin penasaran dengan produk yang ditawarkan perusahaan. Tahap berikutnya adalah evaluation. Di tahap ini, konsumen akan menilai kredibilitas perusahaan. Jika perusahaan dianggap kredibel, maka konsumen akan masuk ke tahap berikutnya, yaitu trial. Di tahap keempat, konsumen akan mulai membeli produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Jika konsumen puas dengan produk dari perusahaan, maka mereka akan menjadi pelanggan setia, yang berarti, mereka telah ada di tahap adoption.

Proses marketing funnel sering digambarkan sebagai segitiga terbalik. Hal itu menunjukkan, jumlah konsumen di setiap tahap akan terus berkurang. Jadi, jumlah konsumen yang tertarik untuk mencari tahu akan sebuah brand akan lebih sedikit dari jumlah konsumen yang sadar akan keberadaan brand tersebut. Karena itu, di tahap awareness, semakin banyak orang yang mengenal brand perusahaan, semakin baik.

Sebelum menentukan developer game atau entitas esports yang hendak diajak kerja sama, penting bagi perusahaan untuk menentukan tujuan yang ingin mereka capai. Jika tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan awareness, maka mereka sebaiknya bekerja sama dengan game, entitas esports atau influencer yang memang populer di masyarakat, seperti yang Renault lakukan ketika mereka memutuskan untuk mendukung ekosistem esports Free Fire. Padahal, Renault merupakan merek non-endemik game dan game battle royale itu memiliki profil konsumen yang berbeda dari target konsumen Renault.

Namun, tidak semua perusahaan ingin bertujuan meningkatkan awareness. Ada juga perusahaan yang lebih mengutamakan kesetiaan pelanggan dengan menjaga reputasi brand. Perusahaan yang memprioritaskan reputasi biasanya akan sangat berhati-hati dalam memiliki rekan kerja sama. Contohnya adalah Nike. Perusahaan sportswear itu biasanya hanya mensponsori tim atau atlet olahraga. Tidak banyak artis yang mereka dukung. Di esports, satu-satunya tim yang mereka sponsori adalah T1. Organisasi esports asal Korea Selatan itu telah memenangkan League of Legends World Championship sebanyak tiga kali, menjadikan mereka sebagai tim dengan trofi World terbanyak. Keputusan Nike untuk mensponsori banyak tim dan atlet olahraga mengukuhkan reputasi mereka sebagai merek sportswear yang dikenakan oleh atlet atau tim pemenang.

Salah satu hasil kolaborasi T1 dan Nike. | Sumber: Hypebeast

Selain meningkatkan awareness atau mempertahankan reputasi, perusahaan juga bisa melakukan kolaborasi dengan pelaku industri game atau esports karena mereka ingin memenangkan hati para gamers dan penonton esports, yang kebanyakan merupakan generasi milenial dan Gen Z. Menurut Forbes, salah satu karakteristik konsumen milenial adalah mereka lebih percaya omongan influencer daripada iklan. Selain itu, milenial juga biasanya senang dengan brand yang relevan dengan gaya hidup mereka. Jadi, mendukung skena esports atau influencer gaming bisa menjadi jalan bagi brand untuk terlihat terpercaya di mata konsumen milenial.

Intel adalah salah satu perusahaan yang secara berkelanjutan mendukung ekosistem esports Counter-Strike: Global Offensive. Turnamen Major Intel Extreme Masters sukses diadakan selama bertahun-tahun. Tak berhenti sampai di situ, Intel juga punya Intel Grand Slam. Pada April 2021, ESL juga mengumumkan bahwa mereka akan melakukan rebranding dari semua turnamen ESL Pro Tour (EPT), menjadi Intel Extreme Masters. Alhasil, merek Intel sangat lekat di benak para fans esports CS:GO. Intel bahkan bisa mengklaim mereka punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports CS:GO. Hanya saja, melakukan apa yang Intel lakukan tidak mudah. Selain biaya besar, perusahaan juga harus siap berkomitmen dalam mendukung skena esports dari sebuah game selama bertahun-tahun.

Kesimpulan

Ketika perusahaan memutuskan untuk bekerja sama dengan game atau entitas esports, hal itu merupakan bagian dari kegiatan marketing. Karena itu, sebelum menjalin kolaborasi, sebaiknya perusahaan menentukan alasan mengapa mereka ingin melakukan kerja sama dengan game atau pelaku esports. Setelah itu, perusahaan bisa mencari game atau pelaku esports yang punya audiens dengan karakteristik yang sama dengan target konsumen perusahaan.

Memang, meningkatkan awareness masyarakat akan brand perusahaan merupakan bagian dari kegiatan marketing. Hanya saja, mengeluarkan uang untuk mengenalkan merek pada orang-orang yang memang tak tertarik dengan produk perusahaan adalah sesuatu yang sia-sia. Jadi, penting bagi perusahaan untuk mengetahui target pasar mereka dan karakteristik dari masing-masing kelompok gamers. Dengan begitu, perusahaan bisa menyasar kelompok gamers yang tepat dan memperbesar kesempatan untuk membuat kolaborasi yang sukses.

Ralph Lauren Jadi Sponsor G2 Esports, Manchester City Rekrut Pemain Fortnite

Minggu lalu, bertambah lagi jumlah perusahaan non-endemik yang masuk ke dunia esports. Ralph Lauren, merek fashion mewah, baru saja menandatangani kontrak sponsorship dengan G2 Esports. Selain itu, Kaspersky juga memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan Fnatic. Pada minggu lalu, ONE Esports juga resmi menjadi rekan media dari liga League of Legends Tiongkok (LPL).

Jajaki Esports, Ralph Lauren Sponsori G2 Esports

Organisasi esports asal Eropa, G2 Esports, baru saja mengumumkan kerja sama mereka dengan merek fashion mewah, Ralph Lauren. Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, Ralph Lauren dan G2 akan melakukan sejumlah kegiatan brand activations di Twitch dan TikTok. Selain itu, keduanya juga akan saling berkolaborasi dalam mengadakan event dan kampanye global. Ralph Lauren juga akan menyediakan pakaian untuk G2 Esports. Menurut laporan Esports Insider, Martin “Rekkles” Larsson, pemain League of Legends dari G2, juga akan disertakan dalam Wimbledom Campaign dari Ralph Lauren.

Manchester City Esports Cari Pemain Fortnite

Manchester City Esports sedang mencari pemain Fortnite profesional. Salah satu syarat untuk mendaftarkan diri adalah berumur setidaknya 16 tahun. Pemain yang tertarik bisa mendaftarkan diri di sini dengan menyertakan video kompilasi permainan Fortnite selama maksimal dua menit. Keputusan Manchester City untuk mencari pemain Fortnite menunjukkan ketertarikan mereka dalam menjajaki skena esports dari game selain game olahraga.

Manchester City tengah cari pemain Fortnite. | Sumber: Manchester City

Selama ini, Manchester City selalu fokus pada kegiatan esports dari FIFA. Shaun “Shellzz” Springette, pemain FIFA yang menjadi perwakilan dari Manchester City, berhasil memenangkan ePremier League 2020/21 setelah mengalahkan perwakilan Leeds United, Olle “Ollelito” Arbin, seperti yang disebutkan oleh NME.

ONE Esports Jadi Rekan Media dari LPL

ONE Esports kini menjadi rekan media resmi dari League of Legends Pro League (LPL). Di LinkedIn, ONE Esports menyebutkan, sebagai rekan media resmi, mereka akan membuat berita terkait LPL 2021 Summer Split untuk pembaca di luar Tiongkok. ONE Esports merupakan anak perusahaan dari ONE Championship asal Singapura. Belum lama ini, mereka dikenal karena menjadi penyelenggara dari turnamen Dota 2 Singapore Major yang diadakan pada Maret 2021. Turnamen tersebut merupakan turnamen Dota 2 offline pertama di luar Tiongkok setelah pandemi, lapor The Esports Observer.

Fnatic Jalin Kerja Sama dengan Kaspersky

Fnatic baru saja menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan cyber security asal Rusia, Kaspersky. Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, Fnatic dan Kaspersky akan membuat beberapa kegiatan digital. Selain itu, logo Kaspersky juga akan disematkan di jersey dari Fnatic Rising, tim League of Legends akademi dari Fnatic. Kali ini bukan pertama kalinya Kaspersky bekerja sama dengan organisasi esports. Pada 2018, mereka telah menjalin kerja sama dengan Vodafone Giants.

Kaspersky jalin kerja sama dengan Fnatic. | Sumber: Esports Insider

“Kami senang karena kami dapat bekerja sama dan mendukung salah satu tim esports terbaik di dunia,” kata Andrew Winton, Vice President of Global Marketing, Kaspersky, seperti dikutip dari Esports Insider. “Pada saat yang sama, dari komunitas pemain esports profesional, kami bisa mempelajari cara untuk membuat produk kami semakin menarik di mata gamers.”

GamerzClass Dapat Investasi Sebesar US$2.5 Juta

GamerzClass, platform edukasi esports asal Denmark, baru saja mendapatkan kucuran dana sebesar US$2,5 juta. Ronde pendanaan tahap awal ini dipimpim oleh sekelompok angel investor, termasuk ByFounders, mantan General Partner dari Index Ventures Ben Holmes, dan pendiri GameAnalytics, Morten Wulf. Dua investor lain yang ikut serta dalam ronde pendanaan tersebut adalah Bumble Ventures dan TrueSight Ventures. Dengan pendanaan kali ini, total investasi yang didapatkan oleh GamerzClass mencapai US$4,2 juta.

Sebagai platform edukasi esports, GamerzClass membuat konten tentang sejumlah game esports, termasuk League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, dan FIFA. Untuk itu, mereka bekerja sama dengan beberapa organisasi esports ternama, seperti Fnatic, Team Liquid, Schalke 04, dan Alliance. GamerzClass menggunakan sistem monetisasi berlangganan. Dengan kucuran dana ini, mereka akan menambah jumlah tim produksi konten mereka, menurut laporan The Esports Observer.

The Correlation Between Free-to-Play Games and Thriving Esports Scenes

League of Legends, Dota 2, Mobile Legends, and Free Fire are some examples of games with massively successful esports scenes. Uncoincidentally, they are also free-to-play games. Of course, this trend begs the question: why are most games with big esports ecosystems use the free-to-play model?

Esports is a clever method to generate long-term income, which does not apply in the Pay-to-Win method. Apart from the long-term business model, which we will discuss in more detail later, there are several factors that allow esports to grow rapidly in free-to-play games.

The Different Types of Video Game Monetization Models

Before discussing the correlation between free-to-play games and thriving esports scenes, let’s take a look at the various monetization models in the game industry today. Free-to-play is just one of several monetization systems used by game developers. Other models that are commonly adapted today are the pay model and subscription model.

In the pay model (sometimes referred to as single payment), players are required to pay a certain amount of money to be able to play a game. In other words, you pay for the game upfront, and the game is yours forever to play. The younger generation or today’s mobile gamers who are used to the free-to-play games may feel unfamiliar with this system. However, the pay model is actually the most common and oldest monetization methods in the gaming industry. Most AAA game developers (like Cyberpunk 2077 or GTA V, for example) and indie developers (like Stardew Valley) do use the pay model extensively.

Source: Rockstar Games

Games using the pay model are usually not too focused on esports. Of course, there are exceptions to this trend, such as most of fighting games (Street Fighter Series, Tekken Series, and so on) or sports games (FIFA, PES, NBA 2K series, and so on). Counter-Strike: Global Offensive also initially used the pay model but then was made free-to-play in 2018.

In the subscription model, players have to pay a certain amount of money every month to play the game. This model is rarely used in Indonesia and is more commonly known by western gamers. MMORPG games, like World of Warcraft or Final Fantasy XIV Online, often use the subscription model.

The subscription fees of World of Warcraft. Source: Blizzard Official Site

World of Warcraft actually integrates different monetization models at once. For example, players must first pay a certain amount of money to get access to the latest expansion, then pay again every month to continue playing. The expansion access fees are usually more expensive (around IDR 500 thousand, similar to the price of AAA games), while the monthly subscription price is much cheaper (around IDR 150 thousand per month)

The subscription model may feel similar to the Battle Passes (like the Royale Pass on PUBG Mobile or Starlight Member on Mobile Legends) in free-to-play games. However, the key difference between the two is that Battle Passes don’t restrict you from playing the game if you don’t pay the monthly fee. On the other hand, in World of Warcraft, free-to-play players can only level up characters to level 20. Subscriptions will allow players to level up to level 50, and purchasing expansions will increase the limit to level 60.

As the subscription model continues to develop, payment of fees is no longer limited to real money. In World of Warcraft, for example, you can pay the subscription fee using the “gold” you get in-game (through crafting, hunting, or trading). Of course, players will need to collect a ton of gold to be able to pay the subscription fees on a consistent basis. Therefore, players have to either sacrifice their time in-game or real-world finances to play the game.

The most modern monetization system in the gaming industry is free-to-play. As the name suggests, players don’t have to spend any money to play the game. However, if the game is free, how can the developers generate revenue to sustain the game? Well, most free-to-play games nowadays implement various types of micro-transactions.

Weapon skins are an example of a micro-transaction used by the free-to-play game, VALORANT. Source: VALORANT In-Game Store

Micro-transactions provide the option for players to purchase cosmetics with real money. In some games, micro-transaction items are usually just add-ons and do not provide any unfair advantage to the gameplay. Examples of these items are character skins in MOBA games or weapon skins in FPS games. However, some in-game micro-transactions will allow the player to get stronger or reach higher levels faster. Purchasing the double XP item in RPG games is one example. Free-to-play games that include the option to afford items with unfair advantages are called Pay-to-Win.

The micro-transaction is not only used by free-to-play games. World of Warcraft and Street Fighter V also such in-game purchases to complement their gameplay experience. 

In addition to the micro-transaction method, free-to-play games are now starting to explore new monetization methods to add to their source of income, one of them being esports.

 

Why Are Successful Esports Games Mostly Free-to-Play?

“If you don’t pay for a product, you are the product.”

A slightly different version of this quote was mentioned when the television was first booming in the public. Today, this expression became widely used, especially in the era of over-attachments to social media such as Facebook, Twitter, Instagram, etc. So, what does esports have to do with this particular quote?

As you may have already guessed, most game publishers and developers in the esports world are trying to turn average players into esports enthusiasts. The esports audience will then be used as a “product” that can be sold to investors or sponsors. This statement may sound somewhat cynical on the surface. However, from the player’s perspective, we actually do not have to experience the “exploitative” nature of other monetization methods. 

If you have read Ellavie’s article that discusses the different game industries of Japan, China, and South Korea, you may remember that the free-to-play model is actually a fairly old concept in the gaming industry. Nexon, a South Korean game publisher and developer, was the first to release a free-to-play game called QuizQuiz in 1999.

However, before today’s esports boom, monetizing free-to-play games can hinder the player’s in-game experience and, sometimes, make it severely irritating.

If you’ve been a gamer since the age of internet cafes, you might remember the infamous RF Online. If you play RF Online, you will eventually come across the Premium Service: a service you can activate by buying a voucher (with real money). Premium Service will give you the convenience of greater XP gains and more loot monsters.

RF Online, an RPG game that was popular in its time

Back then, this was one of the most common forms of monetization for free-to-play games. Indeed, RF Online can be played without needing to spend a single penny. However, your XP gain will be extremely slow, and getting good equipment is extremely difficult because your loot quality is underwhelming. Furthermore, the main attraction of RF online is its PVP element, which requires you to accumulate the highest possible level and obtain the best equipment to be able to compete with other players

Can players have super strong characters without Premium Service? Yes. However, you will need to spend more time and effort grinding the game rather than someone who simply used the Premium Service. These types of monetization systems place more priority on paid players and somewhat neglects free players, which is why I refer to them as being “exploitative”.

There is some debate about the fairness and ethics behind these systems. Fair or unfair, ethical or unethical, it is up to you to decide. In the end, RF Online is, surprisingly, still alive until this very day. Players who are still loyal to the game continue to buy the Premium Service and do not seem to have any problem with the monetization model. Back when I was in junior high school, I also played RF Online and even bought the Premium Service.

However, we can all agree that this system of income is incredibly limiting and somewhat risky for the game developers. What happens if all of the players suddenly stop buying the Premium Service?. Even worse, what if everyone stopped playing the game because they felt exploited by the Premium Service system?

Another system that is similar to RF Online’s Premium Service is the “speed up” feature in Clash of Clans (CoC). Although the two systems may look different, they inherently have the same principle: speed up the progression (character strength/troop creation/level up) for players who have in-game purchases.

During the height of its popularity, CoC had amassed tremendous income with this monetization model. According to statista, Clash of Clans had earned an income of $ 1.8 trillion USD in 2015. Unfortunately for Supercell, this figure continues to decline every year, reaching a low of $ 722 million USD in 2019.

The data is an illustration – if not evidence – of how this monetization system is not a sustainable income strategy. As I mentioned before, the system heavily depends on the player’s desire to speed up progress and buy micro-transactions. Once the game’s hype dies down, players will eventually stop playing, and the income source consequently disappears. We also briefly discussed the “pay-to-win” issue in free-to-play games if you want to know more about why monetization in this approach has its own problems. 

Developers have used many ways of incentivizing players to keep staying in the system. They might use “subtle” methods, as seen in the Vox video below. If this method fails, they might use the “frontal” method, which is essentially slowing down the free players’ progress.

On the other hand, the presence of esports has indirectly opened up new business opportunities for game developers and can even extend the lifespan of their games. One of the reasons why this can happen is that esports games are usually very accessible.

As you have seen from the title, most games with successful esports scenes are free. Because the game is free-to-play, players can access the game as long as they meet the minimum specification required to run the game (which is usually much lower than paid premium games).

We can take VALORANT, released in 2020, as an example. VALORANT can be run with only an Intel HD GPU, which is built into the processor. FIFA 21, on the other hand, is a paid game that also requires an external GPU (adding to the total cost of the game) in the form of a GeForce GTX 660 and a Radeon HD 7850.

The two games have their respective esports scene. But which of the two are more popular? As you have probably guessed, it is VALORANT. Games with easy access (free-to-play and low hardware specification requirements) have more potential in attracting new players rather than games with difficult access (paid and high hardware specification requirements). As a result, VALORANT was able to accumulate up to 478 thousand viewers on Twitch, while FIFA 21 merely reached 82 thousand viewers, according to twitchtracker.com.

There are several steps in the monetization process of free-to-play games. Low specs and free games first attract new players (with little to no effort). These players slowly become viewers or enthusiasts through watching streamers or tips and tricks contents. Tournaments and leagues can then be presented to these viewers and commercialize them in the form of sponsorships, media licenses, or other investments from external parties.

Let us take Riot Games’ League of Legends as an illustration. If you frequently follow Hybrid’s news, you can see the abundance of deals Riot got in 2020 alone. Riot collaborated with many popular brands in various fields ranging from fashion such as Louis Vuitton, AAPE, tech companies like Cisco, to music brands such as Universal Studios and Spotify. These brands are willing to make a deal with Riot because it has the capability to ammas an audience of 44 million people during the 2019 LoL World Championship. Therefore, it is not surprising that Riot Games decided to make esports one of the pillars of their business rather than just a marketing tool.

Riot Games’ achievements are living proof that esports is a more sustainable and profitable monetization method for free-to-play game publishers.

Dota 2 can also be another example of a game that thrives from the presence of esports. Valve sells a Battle Pass (containing various skin and cosmetics) on a yearly basis and uses 25% of the sales to increase the prize pool of The International (TI). Valve raised US$40 million from The International Battle Pass last year. Keep in mind that this is only 25%. The remaining 75% of the Battle Pass sales are going directly to Valve’s pocket. You can imagine how much Valve is profiting from the esports monetization model alone.

Making games that are free-to-play, especially when it is integrated with a healthy esports ecosystem, has been proven to be an effective business model. Esports also provides a lot of commercialization potential by building the interest of external parties to invest in the game. It can also incentivize players to buy in-game content, like Dota 2’s Battle Pass, that will support their favorite team and the overall esports ecosystem.

 

Why Are Other Monetization Systems Less Successful In Building Esports Ecosystems?

I have previously discussed the factors behind the success of competitive esports games. If you have read that article, you will also find the ease of access to the particular game is key to its esports growth.

The price of the game and minimum spec requirements are the two elements that affect the accessibility of a game. In the end, the number of players in a game will always be determined by how high the entry barrier is set by the game developer/publisher. The lower the price and the device specifications, the greater the market potential the game can amass. Referring back to the VALORANT vs. FIFA 21 argument, VALORANT is superior in terms of player numbers since the game is free, while FIFA 21 costs IDR 849,000. VALORANT can also run without an external GPU, while FIFA 21 requires the use of an external GPU.

FIFA 21 also has esports tournaments, but its growth has been severely limited due to the less affordable prices of the game and the requirement of higher PC specs than free-to-play games.

With regards to the different approaches of game developers I mentioned earlier, we can take Nintendo as a case study. The Smash Bros community frequently complained to Nintendo due to the lack of financial support they receive in Smash tournaments. On one occasion, Nintendo even expresses its unwillingness to invest in esports.

Despite Super Smash Bros having a massive following of loyal fans, Nintendo still does not want to capitalize on the esports income strategy. This notion is especially true for developers who already had success using the pay model. After all, if Nintendo already generated significant revenue from the sales of Super Smash Bros alone, why would it bother to risk investing in an esports scene?

Shuntaro Furukawa, Nintendo’s president who previously expresses his standpoint about the Super Smash Bros esports scene. Source: Time

On the other hand, developers releasing free-to-play games (which obviously cannot rely on game sales) will need an alternative source of income. Selling skins can be one way of generating revenue, but it will most likely not cover the operating cost of the game. Developers can also use the aforementioned “exploitative” monetization methods. For example, Riot Games can make a champion unlockable on a certain level, which indirectly forces players to pay to level up faster. However, these types of monetization model has been shown to not be sustainable in the long-term.

Indeed, cultivating an esports ecosystem requires significant investment and is not always guaranteed to be profitable. However, when proper and careful steps are taken, we have seen how many developers thrive solely from their esports scenes. As Riot Games CEO Nicolo Laurent once said, “We no longer see esports as just marketing, but as a business.” Nicolo also added, “we want to make sure everybody has something to win.” From Nicolo’s statements, it is clear how esports has a wider economic impact compared to micro-transactions or the pay-to-win model.

Conclusion

From this discussion, we have explored why free-to-play games, when integrated with esports, can bring many income benefits for the game developers.  Esports also have the potential to build players’ loyalty, extend the lifespan of a game, and bring commercialization interests from external parties

So, should all free-to-play games have an esports scene? Well, not exactly. After all, the game’s direction is solely dependent on the developer’s goals and focus. For example, Clash of Clans still managed to persist until today (although its popularity is declining) without the esports monetization model. Riot Games, a developer famous for its thriving esports scene, still prioritizes making high-quality games rather than focusing on esports.

I very much agree with Riot’s philosophy here. After all, esports is the product of a game. A high-quality, creative, and well-balanced game will naturally produce a competitive esports scene. Thus, developers should put more effort in perfecting their game and player experience, then an expansion to the esports scene will automatically follow.

The original article is written by Akbar Priono

Daftar Turnamen Esports Terpopuler Bulan Mei 2021

Memasuki bulan Juni, Hybrid.co.id kembali membuat daftar turnamen esports terpopuler pada Mei 2021. Pada Maret 2021. daftar turnamen esports paling populer didominasi oleh kompetisi Free Fire, sementara pada April 2021, turnamen yang mendominasi adalah kompetisi League of Legends. Namun, pada Mei 2021, daftar turnamen esports terpopuler berisi kompetisi dari game yang berbeda-beda, mulai dari League of Legends, Mobile Legends, sampai Free Fire. Berikut lima turnamen esports paling populer pada Mei 2021, berdasarkan data dari Esports Charts.

5. PUBG Mobile Pro League Season 3 2021 Southeast Asia Finals (PMPL SEA S3)

Diselenggarakan pada 21-23 Mei 2021, PMPL SEA S3 mengadu 16 tim profesional dari negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia diwakili oleh 4 tim, yaitu Bigetron RA, Geek Fam (Livescape), Aura Esports, dan EVOS Reborn. Sayangnya, tim Indonesia gagal merebut gelar juara dan harus puas dengan posisi runner-up. Dengan total poin 189, EVOS Reborn berhasil menduduki posisi juara dua di PMPL SEA S3. Sementara juara pertama dipegang oleh Infinity, tim asal Thailand. Sepanjang kompetisi, tim tersebut mendapatkan 4 WWCD dan menang dengan total poin 239.

Lima pertandingan terpopuler sepanjang PMPL SEA S3. | Sumber: Esports Charts

Babak final menjadi suguhan utama dari PMPL SEA S3. Ronde 15 pada hari ke-3 merupakan pertandingan favorit para penonton. Buktinya, pada ronde tersebut, peak viewers dari PMPL SEA S3 mencapai 1,1 juta orang. Sementara itu, pertandingan terpopuler ke-2 adalah Ronde 14 pada hari ke-3, yang berhasil menarik 889 ribu orang penonton. Secara keseluruhan, PMPL SEA S3 berhasil mendapatkan 7,5 juta hours watched dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 381 ribu orang.

4. Mobile Legends Professional League Phillipines Season 7 (MPL PH S7)

Dengan peak viewers 1,4 juta orang, MPL PH S7 berhasil duduk di peringkat 4 dalam daftar turnamen esports terpopuler pada Mei 2021. Sudah bisa diduga, babak grand final — yang mempertemukan XctN dengan Blacklist International (BI) —  menjadi pertandingan yang paling dinanti. Pada puncaknya, pertandingan itu ditonton oleh 1,4 juta orang. Babak paling populer kedua adalah pertandingan antara NXP.SOLID dan Work-A pada hari pertama babak Playoff. Pertandingan itu menarik 797 ribu orang penonton.

Jumlah penonton MPL PH S7. | Sumber: Esports Charts

Disiarkan selama 164 jam, MPL PH S7 memiliki total hours watched sebanyak 33,1 juta jam. Sementara jumlah penonton rata-rata dari liga Mobile Legends itu adalah 201,7 ribu orang. Menurut data dari Esports Charts, XctN menjadi tim yang paling lama ditonton. Total hours watched dari video yang menampilkan tim itu mencapai 12,97 juta jam. Namun, NXP.SOLID berhasil menjadi tim dengan jumlah penonton rata-rata terbanyak, dengan jumlah penonton 312,4 ribu orang.

3. Mobile Legends Professional League Indonesia Season 7 (MPL ID S7)

MPL ID S7 kembali masuk dalam daftar lima turnamen terpopuler pada bulan lalu. Dengan begitu, MPL ID sukses masuk ke daftar turnamen esports paling populer selama tiga bulan berturut-turut. MPL ID S7 mulai diadakan pada Februari 2021. Sementara babak final diadakan dari liga tersebut diselenggarakan pada 2 Mei 2021. Karena itu, MPL ID S7 masih bisa menjadi salah satu turnamen esports paling populer pada Mei 2021.

Jumlah penonton MPL ID S7. | Sumber: Esports Charts

MPL ID S7 bisa menjadi salah satu turnamen paling populer pada Mei 2021 berkat pertandingan antara EVOS Legends dengan Bigetron Alpha di babak grand final. Pertandingan tersebut memiliki peak viewers sebanyak 1,8 juta orang. Angka ini lebih tinggi daripada peak viewers dari MPL S7 pada bulan April 2021, yang hanya mencapai 1,48 juta orang. Secara keseluruhan, EVOS Legends menjadi tim esports yang paling banyak ditonton. Total hours watched dari pertandingan EVOS mencapai 23,39 juta jam dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 590,93 ribu orang.

2. Mid-Season Invitational 2021 (MSI 2021)

MSI 2021 merupakan kompetisi League of Legends yang diadakan secara offline di Laugardalshöll, Islandia. Pertandingan yang mendapatkan paling banyak penonton adalah babak final yang mempertemukan Royal Never Giveup (RNG) dengan Damwon Gaming (DWGK), juara League of Legends World Championship (LWC) pada tahun lalu. Pada puncaknya, babak final itu ditonton oleh 1,8 juta orang. Setelah itu, pertandingan terpopuler kedua adalah laga antara DWGK melawan MAD Lions di babak semifinals hari ke-2. Total peak viewers dari pertandingan tersebut hampir mencapai 1,5 juta orang.

Jumlah penonton MSI 2021. | Sumber: Esports Charts

Secara total, MSI 2021 memiliki airtime selama 86 jam. Sementara total hours watched dari kompetisi itu mencapai 61,2 juta jam dengan jumlah rata-rata penonton sebanyak 711 ribu orang. Di YouTube, jumlah view dari MSI 2021 mencapai 42,3 juta views, dengan 580 ribu likes. Sementara di Twitch, jumlah view dari MSI 2021 bahkan lebih tinggi, mencapai 55,7 juta views.

DWGK merupakan tim yang paling banyak ditonton. Secara keseluruhan, pertandingan yang menampilkan tim asal Korea Selatan tersebut mendapatkan total hours watched hingga 23,18 juta jam. Dan jumlah rata-rata penonton dari pertandingan-pertandingan DWGK mencapai 924,1 ribu orang. Walau populer, Damwon Gaming harus puas dengan posisi runner-up. Gelar juara jatuh ke tangan RNG yang berhasil mengalahkan DWGK dengan skor 3-2.

1. Free Fire World Series (FFWS) 2021 Singapore

FFWS 2021 Singapore sukses menjadi turnamen esports paling populer pada Mei 2021. Pada pundaknya, turnamen itu ditonton oleh 5,4 juta orang, jauh lebih banyak daripada peak viewers MSI 2021 ataupun MPL ID S7. Sepanjang FFWS 2021, babak final, Ronde 1 merupakan pertandingan paling populer. Posisi ke-2 diisi oleh Opening Ceremony, peak viewers mencapai 4,65 juta orang.

Secara keseluruhan, total hours watched dari FFWS 2021 adalah 18,4 juta jam dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 2,1 juta orang. Padahal, total airtime kompetisi itu hanyalah 9 jam. Di YouTube, jumlah views dari FFWS 2021 mencapai 129,7 juta views. Sayangnya, di Twitch, jumlah views dari FFWS 2021 jauh lebih rendah, hanya mencapai 90,4 ribu views. Meskipun begitu, di YouTube, FFWS 2021 berhasil mendapatkan 8,26 juta likes.

Babak pertandingan yang paling populer selama FFWS 2021. | Sumber: Esports Charts

FFWS 2021 diadakan oleh Garena di Marina Bay Sands, Singapura. Turnamen dengan total hadiah US$2 juta itu digelar pada 28 Mei sampai 30 Mei 2021. Kompetisi tersebut dimenangkan oleh Phoenix Force, perwakilan dari EVOS Esports Thailand. Tim itu keluar sebagai juara setelah mendapatkan 113 poin dan 48 kills. Memang, pada babak final, Phoenix Force sangat mendominasi. Dari enam babak yang diadakan, mereka berhasil meraih peringkat pertama di empat pertandingan. Di dua pertandingan lainnya, mereka berhasil menduduki posisi kedua dan ketiga. Sementara itu, perwakilan Indonesia, EVOS Divine, ada di peringkat 8 dengan poin 34 dan kills sebanyak 12 kills.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Akankah Multiple View Menjadi Masa Depan Dari Tayangan Esports?

Sekarang, hampir semua konten esports disajikan dengan satu format. Selama pertandingan berlangsung, penonton dapat melihat perspektif dari para pemain secara bergantian, sementara shoutcaster akan memberikan komentar tentang apa yang tengah terjadi. Jadi, di hadapan audiens, pertandingan esports merupakan sebuah cerita dengan narasi dari shoutcaster. Setelah pertandingan, biasanya penyelenggara akan menampilkan highlight momen-momen penting selama pertandingan.

Sejauh ini, format itu berjalan dengan baik. Namun, hal itu bukan berarti format tersebut sudah sempurna. Format itu mungkin terasa membosankan bagi orang-orang yang menonton konten esports untuk pertama kali. Selain itu, format yang digunakan saat ini juga tidak memungkinkan seseorang untuk menonton pemain atau tim favorit mereka dari awal hingga akhir pertandingan. Karena itu, beberapa perusahaan game mencoba untuk mengembangkan format alternatif, yaitu multiple view.

 

Sony Daftarkan Paten untuk Multiple View

Pada April 2021, Sony mendaftarkan paten yang memungkinkan penonton  pertandingan esports untuk mengganti sudut pandang. Seperti yang disebutkan oleh GameRant, fitur itu memungkinkan penonton untuk melihat konten yang mereka inginkan. Dengan begitu, jika seorang fan ingin mengikuti jalannya pertandingan dari sudut pandang pemain atau tim favoritnya, dia bisa melakukan hal itu.

Selain itu, fitur untuk mengganti sudut pandang memungkinkan penonton untuk memerhatikan pemain dengan role tertentu. Jadi, mereka akan bisa mempelajari teknik atau gameplay dari pemain profesional yang punya role yang sama dengan mereka. Misalnya, seorang fan tertarik dengan peran Observer dalam PUBG Mobile. Untuk mengetahui tugas para Observer, dia bisa mengamati sudut pandang Zuxxy dari Bigetron RA. Jika penonton bisa mengamati teknik para pemain profesional yang mereka minati, hal ini bisa membuat penonton menjadi semakin tertarik menonton konten esports. Pasalnya, salah satu alasan mengapa seseorang menonton konten esports adalah untuk mempelajari teknik dari pemain profesional.

Seseorang akan bisa membuat avatar diri dalam ruang virtual untuk menonton. | Sumber: GameRant

Masih di bulan April 2021, Sony juga mendaftarkan paten lain terkait cara menonton konten esports. Kali ini, paten yang Sony daftarkan memiliki kaitan dengan teknologi VR. Dalam paten terbaru Sony, mereka ingin membuat teknologi yang memungkinkan penonton untuk membuat avatar dari diri mereka sendiri ke dalam ruang virtual untuk menonton jalannya pertandingan bersama penonton lainnya. Jadi, meskipun seseorang menonton pertandingan esports dari rumah, mereka bisa merasakan pengalaman seolah-olah berada di tempat pertandingan dilangsungkan.

Tak berhenti sampai di situ, Sony juga ingin para penonton bisa memilih sudut pandang yang ingin dia lihat. Namun, penonton juga bisa diarahkan untuk melihat momen paling penting dari sebuah pertandingan. Mengingat Sony ingin membuat ruang virtual sebagai tempat berkumpulnya para penonton, tidak tertutup kemungkinan, ada sebagian fans yang memiliki perilaku mengganggu. Karena itu, Sony ingin menyediakan fitur yang memungkinkan penonton untuk berpindah “tempat duduk”.

Penonton juga akan bisa memilih untuk menjauh dari penonton yang mengganggu. | Sumber: GameRant

Menurut laporan GameRant, melalui paten baru ini, Sony tampaknya ingin bisa mengelompokkan audiens esports berdasarkan karakteristik yang penonton inginkan. Misalnya, penonton ingin ditempatkan dengan orang-orang yang seumuran dengan mereka.

Satu hal yang harus diingat, hanya karena Sony telah mendaftarkan paten dari sebuah teknologi baru, hal itu bukan jaminan bahwa Sony akan meluncurkan produk baru berdasarkan teknologi yang dipatenkan tersebut. Namun, jika Sony memang mengembangkan teknologi dalam paten ini, teknologi tersebut tidak hanya bisa digunakan untuk menonton konten esports, tapi juga siaran dari konten lain.

 

Contoh Game yang Sudah Punya Fitur Spectating

Sony bukan satu-satunya perusahaan yang tertarik dengan teknologi untuk membuat pengalaman menonton konten esports menjadi semakin menarik. Faktanya, sebelum Sony mendaftarkan paten mereka, Riot Games telah terlebih dulu meluncurkan fitur multiple view untuk game buatan mereka, League of Legends. Pada 2019, Riot Games merilis teknologi bernama Pro View.

Pro View memiliki beberapa fitur. Salah satunya adalah Multiview. Sesuai namanya, fitur ini memungkinkan penonton untuk menonton lebih dari satu sudut pandang. Penonton bisa memilih hingga empat pemain untuk diamati. Selain melihat apa yang ada di layar para pemain, penonton juga bisa melihat gerakan tangan para pemain. Dengan begitu, mereka akan bisa mempelajari cara bermain para pemain profesional.

Hanya saja, Pro View tidak bisa digunakan untuk menonton semua konten League of Legends. Fitur itu hanya tersedia untuk menonton liga League of Legends di Amerika Utara (LCS) dan liga Eropa (LEC). Selain itu, untuk mendapatkan akses ke Pro View, Anda harus membayar US$15 (Rp215 ribu) jika ingin menonton LCS dan €15 (sekitar Rp262 ribu) untuk LEC. Jika Anda ingin bisa menggunakan Pro View untuk menonton LCS dan LEC, Anda harus mengeluarkan US$20 (sekitar Rp286 ribu).

Riot sediakan Pro View untuk LCS dan LEC. | Sumber: Nexus

Fitur lain yang ada di Pro View adalah Advanced Timeline. Fitur ini akan menandai momen penting dalam game, seperti kill atau tower takedown. Jadi, jika penonton hanya ingin melihat momen-momen penting tersebut, mereka dapat menemukannya dengan mudah. PC Gamer menyebutkan, Pro View juga memungkinkan penonton untuk menonton sebuah pertandingan bersama teman yang juga puya akses ke Pro View.

Selain League of Legends, ada beberapa game esports lain yang juga punya mode khusus untuk penonton, seperti Counter-Strike: Global Offensive dan Dota 2. CS:GO punya mode Spectator, yang memungkinkan pemain yang telah terbunuh atau non-players untuk melihat apa yang sedang dilakukan pemain lain. Mode Spectator menawarkan tiga sudut pandang kamera. Pertama adalah kamera first-person, yang akan menampilkan apa yang dilihat oleh pemain. Kedua adalah chase cam, yaitu kamera yang mengikuti pemain dari belakang. Dan sudut pandang terakhir adalha free cam. Di mode ini, kamera tidak mengikuti pemain manapun. Sebagai gantinya, penonton bebas menggerakkan kamera secara bebas.

Dalam pertandingan kasual CS:GO, pemain yang telah terbunuh akan bisa menonton gerak-gerik dari teman atau musuh mereka. Hanya saja, fitur team chat akan dinonaktifkan, sehingga mereka tidak akan bisa memberikan informasi apapun pada teman mereka. Sementara itu, dalam pertandingan profesional, pemain yang telah terbunuh hanya bisa menonton rekan satu tim mereka melalui mode first-cam. Sebagai gantinya, mereka bisa menggunakan chat atau mikrofon untuk berkomunikasi dengan tim mereka.

Tampilan fitur Spectate dari Dota 2. | Sumber: Dota 2 Wiki

Sementara itu, di Dota 2, fitur untuk penonton dinamai Spectating. Sama seperti CS:GO, Spectating dalam Dota 2 menawarkan beberapa sudut kamera. Pertama adalah Direct Camera, yang akan membawa penonton ke event penting yang tengah terjadi. Kedua adalah Free Camera, yang membebaskan penonton untuk melihat bagian yang ingin dia lihat. Ketiga adalah Player Perspective. Sesuai namanya, kamera ini akan menampilkan perspektif dari salah satu pemain. Dan terakhir adalah Hero Chase, yang akan mengikuti salah satu hero.

Di Dota 2, para penonton tidak akan melihat game yang tengah berlangsung secara real-time. Ada sedikit delay antara apa yang tengah terjadi di pertandingan dan apa yang penonton lihat. Lama delay bisa diatur di lobby dari setiap game, mulai dari 10 detik sampai 2 menit. Tujuan delay adalah untuk mencegah pemain mengeksploitasi fitur Spectating untuk berbuat curang.

Sekarang, orang-orang tidak hanya suka bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Hal ini membuka kesempatan bagi perusahaan game untuk membuat teknologi yang membuat pengalaman menonton konten game atau pertandingan esports menjadi lebih menarik.

Global Esports Games 2021 Digelar di Singapura, Garena Adakan Turnamen Free Fire di Amerika Latin

Minggu lalu, ada beberapa berita menarik terkait dunia esports. Salah satunya, Garena menggelar turnamen Free Fire off-season untuk gamers profesional dan influencers asal Amerika Latin. Sementara itu, League of Legends Worlds 2020 dinobatkan sebagai kompetisi olahraga dengan dampak finansial terbesar di Shanghai sepanjang tahun lalu. Legionfarm juga baru saja mendapatkan investasi sebesar US$6 juta.

Garena dan 3C Gaming Selenggarakan Latin America Clash 2021

Garena mengadakan Latin America Clash (LAC) pada minggu lalu. Turnamen Free Fire off-season yang mempertemukan gamers profesional dengan influencers dari Amerika Latin diselenggarakan pada 10-14 Mei 2021. Turnamen itu digelar oleh 3C Gaming dan mengadu 48 tim, dengan total hadiah US$25 ribu, lapor Esports Insider. Setiap hari selama LAC, semua tim mengikuti pertandingan dalam lima mode yang berbeda, yaitu Battle Royale, MVP, CS All-Stars, Solo King, dan Dream Squad. Turnamen Free Fire itu dimenangkan oleh Golden Boys.

League of Legends World 2020 Berikan Dampak Ekonomi US$4,6 Juta ke Shanghai

Shanghai Sports Bureau (SSB) baru saja meluncurkan daftar 15 acara olahraga dengan dampak finansial terbesar untuk Shanghai pada 2020. League of Legends World Championship 2020, turnamen esports terbesar sepanjang tahun lalu, duduk di posisi dua, hanya kalah dari Shanghai Marathon. Menariknya, beberapa turnamen esports juga masuk dalam daftar tersebut. Contohnya, Esports Shanghai Masters di peringkat 6, Peacekeeper Elite World Champion Cup di peringkat 7, League of Legends Pro League Spring dan Summer Split di peringkat 10 dan 13, menurut laporan The Esports Obsercer.

League of Legends World Championship 2020 diadakan di Shanghai.

SSB menjelaskan, ada tiga karakteristik yang mereka gunakan untuk membuat daftar ini. Ketiga hal itu adalah popularitas (40%), tingkat profesionalisme (40%), dan kontribusi pada ekonomi (20%). SSB mengungkap, Worlds 2020 memberikan kontribusi sebesar US$4,6 juta pada perekonomian lokal Shanghai dan menyumbangkan US$483 ribu dalam bentuk pajak. Sebagai perbandingan, Shanghai Marathon memberikan dampak finansial langsung sebesar US$7,66 juta dan berkontribusi US$818 ribu pada pajak.

NVIDIA Dukung Program Edukasi Neverest

NVIDIA menjadi rekan terbaru dari organisasi esports Brasil, Neverest, untuk menjalankan program edukasi mereka, Neverest Hub. Dengan ini, NVIDIA akan bisa mempromosikan Reflex, teknologi terbaru NVIDIA yang fokus pada performa competitive gaming, di Neverest Hub. Saat ini, Neverest Hub fokus pada game Counter-Strike: Global Offensive. Namun, kerja sama NVIDIA dengan Neverest juga mencakup tim di game-game lain.

“Keputusan NVIDIA ini membantu kami untuk memecahkan salah satu masalah yang paling sering dihadapi oleh para gamers, yaitu ketiadaan dukungan untuk mencari tahu cara memberikan performa terbaik dari peralatan yang mereka punya,” kata CEO Neverest, Camilo Martins pada The Esports Observer. “Kami senang karena sekarang, kami akan bisa menjangkau lebih banyak gamers berkat bantuan salah satu perusahaan game paling inovatif di dunia.”

Singapura Jadi Tuan Rumah dari Global Esports Games 2021

Global Esports Federation mengungkap tiga kota yang akan menjadi tuan rumah dari Global Esports Games dalam dua tahun ke depan. Ketiga kota itu adalah Singapura untuk 2021, Istanbul untuk 2022, dan Riyadh untuk 2023. Global Esports Games merupakan kegiatan yang diadakan setiap tahun pada Desember. Acara itu akan mempertemukan kompetisi esports dengan musik dan hiburan. GEG akan mengadu tim-tim esports dari berbagai game esports.

Global Esports Games mengumumkan tiga kota yang akan menjadi tuan rumah dalam tiga tahun.

“Global Esports Games pertama akan diadakan pada Desember tahun ini. Event tersebut merupakan kesempatan untuk menampilkan esports ke dunia,” kata Presiden Singapore Esports Association (SGEA), Ng Chong Geng, seperti dikutip dari Antara. “Kami bersyukur mendapat kesempatan untuk menjadi tuan rumah dari acara penting ini.”

Platform Legionfarm Dapatkan Investasi US$6 Juta

Legionfarm, platform gaming yang memungkinkan gamers amatir bermain dengan pemain profesional, menyebutkan bahwa mereka telah mendapatkan pendanaan Seri A sebesar US$6 juta. Beberapa investor yang ikut menanamkan investasi pada Legionfarm adalah SVB, Y Combinator, Scrum VC, Kevin Lin, Altair Capital, Ankur Nagpal, dan lain sebagainya. Pada awal tahun lalu, Legionfarm meluncurkan Y Combinator. Fitur itu memungkinkan pemain profesional untuk mendapatkan pemasukan ekstra dengan menjadi pelatih dari pemain amatir yang ingin meningkatkan performa gaming mereka, lapor TechCrunch.

Kategori Olahraga Tradisional Semakin Populer di Twitch

Kategori olahraga di Twitch tumbuh dengan pesat sejak ia diluncurkan pada Juli 2020. Menurut data dari Rainmaker.gg, total hours watched dari kategori olahraga di Twitch telah menembus 11 juta jam pada April 2021.

“Twitch mulai menjajaki konten olahraga sejak 2017. Namun, pada Juli tahun lalu, mereka memperkenalkan TwitchSports untuk menyediakan wadah bagi konten olahraga,” kata pendiri StreamElements, Doron Nir, seperti dikutip dari VentureBeat, “Kategori Sports di Twitch telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam 10 bulan terakhir. Pada awalnya, total hours watched kategori itu hanya mencapai 1 juta jam dan sekarang, angka itu naik ke lebih dari 10 juta jam.”