Antara Cinta dan Benci Para Fans Esports

Industri esports tengah berkembang pesat beberapa tahun belakangan. Ke depan, esports juga diperkirakan masih akan tumbuh. Salah satu alasan mengapa esports diduga akan menjadi industri besar — dengan nilai hampir US$1 miliar — adalah karena competitive gaming dipercaya akan menjadi bentuk hiburan baru di masa depan. Sama seperti bagian dari dunia hiburan lain, fans juga punya peran penting di dunia esports.

Bagi organisasi esports, sekadar memenangkan turnamen tak lagi cukup. Mereka juga harus mampu memenangkan hati fans dan mempertahankan agar fans tetap loyal dengan mereka. Jadi, jangan heran jika ada organisasi esports yang punya divisi khusus hiburan, seperti EVOS Esports dan FaZe Clan.

 

Apa yang Membuat Seseorang Menjadi Fan Organisasi Esports?

Esports kini memang sering disandingkan dengan olahraga tradisional, seperti sepak bola. Namun, alasan seseorang memilih tim esports favorit biasanya berbeda dengan alasan mereka mendukung tim sepak bola kesayangan mereka. Fans sepak bola biasanya akan memilih tim lokal untuk didukung.

Saat saya tinggal di Jakarta, The Jakmania-lah yang sering saya lihat berarak ke Gelora Bung Karno ketika Persija akan bertanding. Sementara ketika saya masih tinggal di Yogyakarta, saya kerap melihat Slemania. Memang, PSS Sleman bukanlah tim papan atas di Liga Indonesia, tapi hal itu tidak menghentikan warga Sleman dan sekitarnya untuk mendukung tim tersebut.

Ekosistem esports berbeda dengan dunia olahraga tradisional, seperti sepak bola. Di esports, hampir semua tim profesional bermarkas dari Jakarta. Namun, hal ini tidak menghentikan orang-orang di luar Jakarta atau bahkan di luar Pulau Jawa untuk menjadi fans dari RRQ atau EVOS Esports.

Fans RRQ berasal dari berbagai kota. | Sumber: Indosport
Fans RRQ berasal dari berbagai kota. | Sumber: Indosport

Namun, berdasarkan penelitian pada fans sepak bola yang dilakukan oleh John Williams, Associate Professor of Sociology di University of Leicester, diketahui bahwa para fans sepak bola sekarang tidak selalu mendukung tim lokal. Alasannya, keberadaan televisi dan internet memudahkan orang-orang untuk melihat dan mencari tahu tentang tim sepak bola manapun. Williams mengatakan, sekarang, masyarakat punya kecenderungan untuk memilih klub sepak bola yang kuat.

Di esports, ketangguhan tim jelas jadi salah satu faktor yang diperhitungkan sebelum seseorang memutuskan untuk mendukung tim itu. Tim yang sering menang biasanya akan punya fans yang lebih banyak. Selain kekuatan tim, hal lain yang mendorong seseorang untuk menjadi fan dari tim esports adalah identitas atau image yang ditampilkan oleh tim itu.

Alex Aune, fan Cloud9 yang juga menjadi moderator dari subreddit Cloud9, mengatakan bahwa dia menyukai organisasi esports tersebut karena kerendahan sikap mereka. Alasan lainnya adalah karena dia juga menyukai bagaimana Jack Etienne, pemilik Cloud 9, memperlakukan para atlet esports di bawah naungannya.

Tim League of Legends Cloud9 pada 2018. | Sumber: The Esports Observer
Tim League of Legends Cloud9 pada 2018. | Sumber: The Esports Observer

Sementara itu, menurut pemilik OpTic Gaming, Hector “H3CZ” Rodriguez, cara paling efektif untuk mendapatkan fans adalah dengan membuat audiens merasa dekat dengan roster dan bahkan staf organisasi esports. Untuk itu, dia mengunggah video setiap hari, sehingga para penonton mengetahui kehidupannya, mulai dari anak dan istrinya hingga binatang peliharaannya. Menurutnya, hal ini akan membuat para penonton merasa familier dengannya dan akhirnya, bersedia untuk mendukung dia dan timnya.

Selain itu, Rodriguez menyebutkan, organisasi esports juga bisa mendapatkan fans dengan merekrut sosok ternama dan membuat konten tentang sosok tersebut, mulai dari wawancara sampai kegiatan live streaming. Setelah sebuah tim sukses membangun fanbase, mereka lalu akan bisa fokus untuk memperkuat roster mereka.

Memang, dalam penelitiannya, Williams menemukan bahwa seseorang punya kecenderungan untuk mendukung tim yang menaungi idolanya. Misalnya, seseorang bisa setia dengan FC Barcelona karena dia menyukai Lionel Messi. Di dunia esports, seseorang bisa saja menjadi fan dari RRQ karena mengagumi Muhammad “Lemon” Ikhsan. Apalagi, di esports, seseorang fan bisa dengan mudah berkomunikasi dengan idolanya melalui media sosial.

Sayangnya, kemudahan berkomunikasi yang ditawarkan oleh media sosial dan internet ini layaknya pedang bermata dua bagi organisasi esports. Di satu sisi, tim esports profesional bisa membangun fanbase dengan lebih mudah. Di sisi lain, para fans juga bisa menggunakan media sosial untuk mencecar tim yang kalah.

 

Karakteristik Fans Esports di Indonesia

Di Indonesia, RRQ merupakan salah satu organisasi esports yang mengutamakan kemenangan. Sesuai dengan namanya, RRQ ingin menjadi “raja” di dunia esports Indonesia. Strategi ini berhasil membuat RRQ mendapatkan banyak fans. Tak hanya itu, CEO RRQ, Andraline Pauline alias AP mengatakan, fans RRQ di Indonesia cukup setia. Namun, ada harga yang harus RRQ bayar. Mereka harus bisa memenuhi ekspektasi para fans mereka.

“Risiko tim besar dengan fanbase yang juga besar ya itu, pressure-nya tinggi,” ujar AP melalui pesan singkat. “Jika kita tidak bagus, mereka juga tidak segan-segan untuk kritik. Tapi semua fans pasti ingin tim favoritnya menang.”

CEO BOOM Esports, Gary Ongko mengatakan hal yang sama: fans esports di Indonesia cukup setia. “Fans Mobile Legends pasti fans mati RRQ, fans Dota 2, juga pasti fans mati BOOM,” ujarnya pada Hybrid.co.id. “Aura di Free Fire, mau menang atau kalah, fansnya juga banyak.

Lebih lanjut, Gary mengungkap, “Ada juga fans yang loyal ke player, seperti olahraga tradisional. Paling gampang kelihatan, ya seperti InYourDream, kan fans-nya banyak. Atau fans Khezcute. Di mana Khezcute bermain, pasti organisasinya didukung. Misalnya, kalau besok Khezcute pindah ke EVOS, ya mereka ikut pindah.”

Alfi Syahrin Nelphyana alias Khezcute. | Sumber: Liquipedia
Alfi Syahrin Nelphyana alias Khezcute. | Sumber: Liquipedia

Namun, Gary tidak memungkiri, juga ada fans “karbitan” di esports, yaitu orang-orang yang hanya mendukung sebuah tim ketika tim tersebut sedang di atas angin. “Sama seperti di olahraga tradisional, ketika Anda menang, orang-orang akan mendukung atau pura-pura mendukung tim Anda,” kata Gary sambil tertawa.

Meskipun setia, fans esports Indonesia cukup menuntut, aku Gary. Jika sebuah tim kalah, tidak jarang para fans mendadak merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan. Namun, Gary merasa, hal itu bukanlah hal yang aneh, mengingat hal serupa juga terjadi di dunia olahraga tradisional. “Ketika tim kalah, pada sok jadi manager. Padahal, ya semua give their best. Dan di kompetisi profesional, semua memang jago. Perbedaan antara menang dan kalah sangat tipis,” ujarnya.

Tak berhenti sampai di situ, jika tim unggulannya kalah, para fans juga bisa berbalik menyerang mereka. Gary bercerita, BOOM cukup sering mendapatkan ancaman, terutama ketika sedang kalah.

Gary menjelaskan, para pemain diminta untuk mengacuhkan makian dari para netizen. Selain itu, para pemain BOOM juga akan diingatkan akan “siapa yang penting dan filter outside noises,” ujar Gary. “Kalau sukses, haters banyak itu normal. Kalau lo nggak ada haters, lo nggak sukses.”

Dia menambahkan, biasanya, BOOM juga akan mengingatkan para pemainnya bahwa mereka bangga dengan pencapaian mereka. “Kita yang manajemen, keluarga lo, teman-teman lo, 100% pasti bangga sama lo. Jadi nggak usah dengarkan para hater.” Pada akhirnya, dia mengungkap, para pemain akan diingatkan, “Netizen is just netizen.”

Gary mengaku, dia tidak terlalu memedulikan ancaman itu. Memang, sayangnya, ancaman atau makian pada tim yang kalah adalah hal yang lumrah di dunia esports atau di dunia olahraga.

 

Contoh Kasus: T1

T1, organisasi esports asal Korea Selatan, belum lama ini mengalami masalah berupa harassment dari para fans. Pasalnya, mereka gagal masuk ke League of Legends World Championship. Padahal, T1 mereka baru menjuarai League of Legends Champions Korea (LCK) Spring 2020. Tak hanya itu, mereka juga memiliki Lee “Faker” Sang-hyeok, yang dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik sepanjang masa. T1 juga menjadi organisasi esports dengan trofi Worlds terbanyak setelah memenangkan Worlds tiga kali.

Tim League of Legends dari T1. | Sumber: InvenGlobal
Tim League of Legends dari T1. | Sumber: InvenGlobal

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. T1 kalah dari Afreeca Freecs di LCK Summer Playoff pada awal September 2020. Hal itu berarti, mereka harus memenangkan Regional Qualifiers untuk bisa mendapatkan tiket ke Worlds 2020. Sayangnya, mereka harus bertekuk lutut di hadapan Gen.G. Dengan begitu, T1 tak bisa ikut serta Worlds 2020.

Menurut laporan Dexerto, para fans sudah mulai meradang pada Agustus 2020 karena T1 tidak memainkan Faker. Kekalahan T1 di Regional Qualifiers membuat fans semakin marah. Sebagian fans melampiaskan kemarahan mereka dengan mengirimkan ancaman pada pemain, staf, dan bahkan pemain T1. Pihak T1 lalu membahas tentang masalah ini di Twitter.

“T1 tidak bisa membiarkan segala bentuk harassment pada pemain, pelatih, staf, dan fans. Kami menghargai keberadaan fandom di komunitas kami dan menyadari bahwa kritik adalah hal yang wajar di dunia gaming profesional,” ujar CEO T1, Joe Marsh di Twitter. “Namun, kejadian belum lama ini sudah masuk ke ranah ujaran kebencian dan merupakan ancaman bagi kesehatan dan keselamatan anggota tim kami.”

Lebih lanjut, Marsh mengungkap, jika para fans terus menyerang tim dan staf T1, mereka akan membawa masalah ini ke ranah hukum. “Kesehatan dan keselamatan para pemain kami tetap menjadi prioritas utama kami,” kata Marsh. “Tidak ada ruang untuk kebencian di esports.”

 

Kenapa Fans Bisa Sangat Setia Pada Tim Favorit Mereka?

Sadar atau tidak, jati diri kita biasanya terikat dengan beberapa faktor eksternal, seperti kewarganegaraan, etnis, dan juga gender. Menariknya, menurut berbagai riset, ketika seseorang mengaku sebagai fan dari sebuah tim olahraga, maka status itu juga akan menjadi bagian dari jati dirinya. Daniel Wann, Professor of Psychology, Murray State University menjelaskan, fans sebuah tim olahraga biasanya merasa bahwa mereka punya keterikatan psikologis dengan tim kesayangan mereka. Tak hanya itu, mereka percaya, performa tim merupakan cerminan dari diri mereka.

“Jati diri seseorang terikat dengan statusnya sebagai fan dari tim X,” ujar Edward Hirt, Associate Professor of Psychological and Brain Sciences, Indiana University- Bloomington, seperti dikutip dary Psychological Science. “Dan mereka akan merasakan dampak positif dan negatif, tergantung pada bagaimana performa tim favorit mereka.” Karena itu, tidak heran jika orang-orang punya kecenderungan untuk mendukung tim yang kuat.

Hanya saja, sekuat apapun sebuah tim, pada akhirnya mereka akan kalah juga. Baik di dunia olahraga maupun di dunia esports, saya pernah melihat tim yang dielu-elukan akan juara justru tumbang di babak final atau semifinal. Pertanyaannya, kenapa para fans bisa tetap setia walau timnya kalah?

Berdasarkan riset yang Wann lakukan pada fans olahraga, salah satu alasan mengapa seseorang menjadi fan dari sebuah tim adalah karena mereka ingin mendapatkan terafiliasi dengan tim tersebut. Ketika seseorang mendukung tim olahraga lokal, mereka akan bisa dengan mudah bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain yang juga fans dari tim tersebut. Dan hal ini memberikan dampak positif pada kesehatan psikologis seseorang.

Para fans sepak bola di Indonesia. | Sumber: Kompas
Para fans sepak bola di Indonesia. | Sumber: Kompas

Wann juga melakukan berbagai studi untuk mengetahui korelasi antara kebanggaan seseorang sebagai fan dengan kesehatan mental mereka. Dia menemukan, semakin bangga seseorang sebagai fan dari tim tertentu, semakin kecil kemungkinan dia akan merasa kesepian.

Tak hanya itu, ketika seseorang merasa bangga sebagai fan, hal ini juga memengaruhi kepercayaan dirinya. Ada penjelasan di balik fenomena ini. Berdasarkan studi yang dirilis di Journal of Personality and Social Psychology pada awal tahun 1990-an, diketahui bahwa jika jati diri seseorang terikat erat dengan statusnya sebagai fan, maka dia akan melihat kesuksesan tim favoritnya layaknya kesuksesan pribadi.

Sementara itu, Robert J. Fisher, Professor of Marketing, University of Western Ontario menjelaskan, jati diri memiliki kaitan erat dengan persepsi kita akan diri sendiri. Mengingat status sebagai fan juga berpengaruh pada jati diri seseorang, maka itu berarti, kebanggaan sebagai fan akan memengaruhi bagaimana seseorang memandang diri mereka sendiri. Tak berhenti sampai di situ, mendukung sebuah tim olahraga juga bisa menjadi cara bagi seseorang untuk menunjukkan jati diri mereka pada orang lain.

“Kita selalu berusaha untuk mencari orang atau organisasi yang menunjukkan jati diri kita pada orang lain,” kata Fisher. “kita ingin agar kita terlihat sebagai orang yang bisa membuat pilihan cerdas dan bangga akan keputusan itu.”

Jadi, jangan heran jika Anda melihat fans sepak bola membanggakan pencapaian timnya ketika mereka baru menang. Pasalnya, hal ini dapat meningkatkan rasa bangga dari para fans. Lalu, bagaimana ketika tim kesayangan mereka kalah?

Menariknya, fans tim olahraga juga punya cara tersendiri untuk tetap setia ketika performa timnya memburuk. Salah satu hal yang biasa terjadi adalah fans menyalahkan pihak ketiga, seperti wasit. Hal lain yang biasa terjadi adalah fans akan membanggakan prestasi lama dari tim kesayangan mereka. Namun, juga ada fans yang beralih mendukung tim lain ketika tim favorit mereka kalah.

 

Kesimpulan

Anda pasti pernah dengar ungkapan ini: cinta dan benci itu beda tipis. Memang, secara ilmiah, baik cinta dan benci memicu bagian yang sama pada otak manusia, yaitu insula dan pitamen. Dan hal inilah yang menjadi alasan mengapa rasa cinta seseorang bisa berubah menjadi benci atau sebaliknya.

Kecintaan seseorang sebagai fan tentu berbeda dengan cinta romantis. Namun, tidak bisa dipungkiri, rasa cinta fans pada tim kesayangannya juga merupakan perasaan yang kuat. Dan, sama seperti cinta romantis yang bisa berubah menjadi kebencian, begitu juga dengan rasa cinta fans pada tim kesayangannya.

Sumber: theScore esportsPsychological Science

Daftar 10 Tayangan Esports Terpopuler Bulan Oktober 2020

Situasi pandemi menciptakan tantangan tersendiri bagi ekosistem esports selama tahun 2020. Namun demikian ekosistem esports terbilang tetap tumbuh dengan cukup cepat hingga bulan November ini. Berhubung kita sudah berada di pertengahan bulan November, mari kita sedikit melihat ke belakang untuk menakar perkembangan industri esports sampai saat ini. Kali ini, tim redaksi Hybrid mengutip daftar turnamen esports terpopuler bulan Oktober 2020 dari Esports Charts sebagai referensi. Apa saja yang ada di dalamnya? Berikut daftarnya.

 

10. FIFA 21 Challenge

FIFA 21 rilis pada tanggal 6 Oktober 2020 lalu. Untuk menyambut perilisan tersebut, EA Sports mengadakan sebuah turnamen bertajuk FIFA 21 Challenge. Turnamen yang diadakan pada tanggal 29 Oktober 2020 ini mempertemukan para atlit sepak bola dengan pemain profesional FIFA 21 di dalam satu panggung kompetisi. Kompetisi ini menampilkan defender andal Liverpool yaitu Trent Alexander-Arnold dan juga sosok pemain esports FIFA 21 seperti Gravesen.

Dengan memanfaatkan pesona bintang sepak bola dan bintang esports, FIFA 21 Challenge pun berhasil bertengger di posisi ke-9 dari 10 turnamen esports terpopuler di bulan Oktober 2020. FIFA 21 Challenge mencatatkan 328.008 peak viewers dengan average viewers sejumlah 260.302. FIFA 21 Challenge mencatatkan total konsumsi konten selama 1.019.513 total watch hours dari 4 jam durasi penayangan konten.

Dari catatan watch hours kita bisa melihat bagaimana para penggemar sepak bola sepertinya benar-benar menyimak acara ini. Pertandingan FIFA 21 Challenge memang berjalan dengan sangat sengit. Contohnya seperti skor seri 3 sama yang dihasilkan dalam pertandingan puncak saat Tekkz bertemu dengan Gravesen. Setelah pertarungan yang sengit tersebut, Tekkz dan Trent Alexader-Arnold pada akhirnya keluar sebagai juara dengan skor tim 8-4.

 

9. Liga Brasileira de Free Fire 2020 Series A

Lagi-lagi turnamen Free Fire kembali masuk ke dalam daftar. Kali ini di peringkat ke-8 Liga Brasileira de Free Fire LBFF yang merupakan liga kasta utama Free Fire di Brazil. Seperti kebanyakan liga esports, LBFF memiliki babak Regular Season dan Playoff atau Finals. Babak Regular Season diadakan mulai dari 22 Agustus sampai 18 Oktober 2020, sementara babak Finals diadakan pada 31 Oktober sampai 1 November 2020. 18 tim Free Fire terbaik di Brazil bertarung untuk merebut total hadiah sebesar 100.000 real Brazil (sekitar Rp265 juta).

Turnamen ini berhasil mencatatkan 372.891 peak viewers dengan average viewers sebanyak 194.579 orang. Dari 60 jam total durasi penayangan, LBFF berhasil mencatatkan 11.593.612 total watch hours. Negara Amerika Latin terutama Brazil, memang terkenal sebagai negara dengan penonton esports yang sangat antusias. Bukti atas pernyataan tersebut mungkin bisa dilihat dari contoh kasus LOUD Esports asal Brazil yang berhasil menjadi organisasi esports pertama dengan 1 miliar views di YouTube. Kasus lain mungkin bisa kita lihat juga dari keputusan BOOM Esports memilih negara Brazil sebagai usaha ekspansi bisnis dan menembus dunia kompetitif CS:GO internasional.

Pertandingan hari terakhir adalah pertandingan dengan jumlah penonton terbanyak dari keseluruhan pertandingan karena persaingan ketat yang harus dihadapi SS Esports untuk bisa menjadi juara.

 

8. PUBG Mobile Pro League SEA – Fall Split 2020

Setelah serbuan turnamen-turnamen Free Fire barulah kita menemukan turnamen esports PUBG Mobile di peringkat ke-7 dari daftar. Turnamen PUBG Mobile yang masuk ke dalam daftar ini adalah PMPL SEA – Fall 2020. Kompetisi yang jadi momen bagi Bigetron RA untuk melengkapi pialanya ini berjalan mulai dari 23 hingga 25 Oktober 2020. PMPL SEA – Fall 2020 mempertandingkan tim terbaik dari 5 negara di Asia Tenggara (Thailand, Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dengan US$150.000 (sekitar Rp2,1 miliar) sebagai total hadiah untuk diperebutkan.

Sampai saat ini, Asia Tenggara terbilang masih merupakan salah satu pasar terbesar bagi game dan tayangan esports PUBG Mobile. PMPL SEA – Fall 2020 berhasil mencatatkan 490.874 peak viewers dengan average viewers sebanyak 179.933 orang. Dari 18 jam total durasi tayangan konten, PMPL SEA – Fall 2020 berhasil mengumpulkan 3.223.799 total watch hours. Jumlah total watch hours PMPL SEA memang terbilang kalah cukup jauh jika dibandingkan dengan LBFF. Namun hal tersebut cukup wajar mengingat Esports Charts menghitung total watch hours LBFF sejak dari babak liga.

PMPL SEA – Fall 2020 sendiri menampilkan antar peserta yang begitu ketat. Apalagi ditambah dengan dinamika performa tim primadona Indonesia yaitu Bigetron RA pada hari pertama dan kedua turnamen. Alhasil, pertandingan hari ke-3 pada ronde ke-15 pun menjadi tayangan turnamen yang paling banyak menyedot perhatian penonton berkat sajian pertandingan kompetitif yang ditambah dengan kemenangan dramatis dari Bigetron RA.

 

7. BLAST Premier Series 2020 Fall – Group Stage

Setelah jajaran tayangan esports mobile games, esports pc games baru masuk ke dalam daftar di peringkat ke-6. Tayangan esports pc games yang masuk ke dalam daftar ini adalah BLAST Premier 2020 Fall Series – Group Stage yang merupakan tayangan esports Counter-Strike: Global Offensive. Kebanyakan turnamen esports diubah menjadi format online selama masa pandemi, tak terkecuali BLAST Premier Series 2020 Fall. Turnamen tersebut dibagi menjadi dua divisi kompetisi online yaitu divisi Amerika dan Eropa. Peratndingan yang masuk dalam daftar ini adalah pertandingan divisi Eropa yang diselenggarakan mulai dari 26 Oktober hingga 4 November 2020 dengan US$150.000 (sekitar Rp2,1 miliar) sebagai total hadiah.

BLAST Premier Series sedikit banyak membuktikan masih tingginya minat para gamers menonton tayangan esports CS:GO, terutama untuk negara-negara kawasan barat (Amerika dan Eropa).  BLAST Premier Series mencatatkan 512.971 peak viewers dengan average viewers sebanyak 190.662 orang. Dari 70 jam total durasi tayangan, BLAST Premier Series berhasil mencatatkan total konsumsi konten mencapai 13.346.309 total watch hours.

Salah satu pertandingan yang paling diminati adalah pertarungan antara Astralis melawan MiBR. Pertandingan tersebut bisa dibilang sebagai salah satu pertandingan tersengit sepanjang turnamen ini. Astralis sampai harus menjalani overtime untung memenangkan game pertama. MiBR membalas di game kedua, itu pun dengan skor 16-13. Baru pada akhirnya Astralis menang dengan meyakinkan di game ketiga dengan skor 16-5 di map Inferno. Karena pertandingan yang sengit, tidak heran kalau Astralis vs MiBR jadi tayangan yang berhasil mencetak peak viewers di dalam turnamen ini.

 

6. Liga NFA Season 4

Lagi-lagi tayangan Free Fire yang masuk ke dalam daftar. Kini giliran Liga NFA Season 4 yang masuk ke dalam peringkat ke-6 dari daftar 10 tayangan esports terpopuler bulan Oktober 2020. Satu fakta menariknya adalah Liga NFA yang ternyata bukanlah turnamen resmi pihak pertama seperti LBFF. Turnamen diselenggarakan sejak Juli dengan gelaran puncak pada tanggal 4 Oktober 2020. Turnamen memperebutkan 40.000 real Brazil (sekitar Rp105 juta).

Tayangan berhasil mencatatkan 558.414 peak viewers dengan average viewers sebesar 109.697 orang. Dari 101 total durasi tayangan, Liga NFA Season 4 berhasil mencatatkan total konsumsi konten hingga 11.115.865 total watch hours. Liga NFA juga jadi bukti lain dari tingginya antusiasme penggemar game di Brazil terhadap tayangan esports Free Fire. Apalagi juga mengingat status dari liga NFA yang bukan merupakan liga kasta utama, namun masih disaksikan oleh banyak orang.

 

5. ESL Pro League Season 12  – Europe

CS:GO kembali muncul pada peringkat 5 dari daftar ini. Tayangan esports tersebut adalah ESL Pro League Season 12 – Europe.  ESL Pro League Season 12 – Europe diselenggarakan sejak bulan September dengan puncaknya diselenggarakan pada bulan Oktober 2020. Diselenggarakan secara online, kompetisi tersebut mempertandingkan 16 tim asal Eropa dengan memperebutkan total hadiah sebesar US$450.000 (sekitar Rp6,4 miliar).

Seperti BLAST Premier, ESL Pro League Season 12 juga terbilang jadi bukti lain atas tingginya minat gamers negara kawasan barat terhadap esports CS:GO. Kompetisi tersebut mencatatkan 568.406 peak viewers dengan 121.244 average viewers. Dari total 226 jam total durasi tayangan, ESL Pro League Season 12 mencatatkan konsumsi konten hingga 27.411.211 total watch hours. Total watch hours yang tinggi bisa jadi disebabkan karena Esports Charts mencatat data watch hours sejak dari babak liga.

Pertandingan Astralis lagi-lagi menjadi tayangan yang paling banyak ditonton oleh khalayak. Kali ini giliran pertandingan Grand Final yang mempertemukan Astralis dengan Natus Vincere. Seperti pada kompetisi BLAST Premier, Astralis lagi-lagi harus bertarung sengit di babak final dari gelaran ESL Pro League Season 12. Astralis baru bisa memperoleh kemenangan setelah bertanding 5 game dengan satu kali overtime di game ke-4 saat melawan NAVI.

 

4. MPL PH Season 6

Mobile Legends bisa dibilang jadi satu-satunya tayangan esports dari game bergenre MOBA yang masuk ke dalam daftar 10 tayangan esports terpopuler bulan Oktober 2020. Peringkat ke-4 diisi oleh MPL Philippines Season 6. MPL PH Season 6 dibagi menjadi dua babak, Regular Season pada bulan September dan Playoff pada bulan Oktober. Kompetisi tersebut mempertandingkan 10 tim dan memperebutkan total hadiah sebesar US$120.000 (sekitar Rp1,7 miliar).

Selain Indonesia, Filipina terbilang jadi pasar besar lain bagi game ataupun tayangan esports MLBB. MPL PH mencatatkan 765.915 peak viewers dengan 132.893 average viewers. Dari 159 jam total durasi tayangan, MPL PH Season 6 mencatat angka konsumsi konten hingga 21.118.776 total watch hours. Fakta menariknya adalah, pertandingan MPL PH Season 6 yang berhasil mencatatkan jumlah peak viewers justru pertandingan yang terbilang tidak segitu istimewa.

Pertandingan tersebut adalah pertemuan antara Bren Esports dengan NXP.Solid. Pertemuan tersebut terbilang kurang istimewa karena pertandingan tersebut bukanlah pertandingan Grand Final dan Bren Esports berhasil menang 3-0 dari seri best-of 5. Terlepas dari itu, Bren Esports sendiri memang bisa dibilang sebagai tim kuat Filipina yang jadi panutan dari banyak penonton tayangan esports MLBB. Hal tersebut bisa jadi alasan untuk menjawab kenapa pertandingan tersebut jadi yang paling banyak ditonton.

 

3. Free Fire League 2020 Clausura

Free Fire League 2020 – Clausura yang sempat menjadi buah bibir ternyata berada di peringkat ke-3 dari daftar ini. Turnamen ini terbagi menjadi dua fase, Group Stage yang diselenggarakan pada Agustus hingga Oktober dan Season Finals yang diselenggarakan pada 7 November 2020 kemarin. Babak Group Stage diikuti oleh 24 tim sementara Season Finals diikuti oleh 12 tim dengan memperebutkan total hadiah sebesar US$46.500 (sekitar Rp667 juta).

Merupakan liga kasta utama bagi skena kompetitif Free Fire di Amerika Latin, FF League 2020 Clausura mencatatkan 1.257.058 peak viewers dengan 113.211 average viewers. Dari total 55 jam durasi tayangan, FF League 2020 Clausura mencatatkan konsumsi konten selama 6.217.122 total watch hours. Fakta menariknya adalah, tayangan yang paling banyak ditonton dari turnamen ini adalah pada ronde 1 di pertandingan final. Padahal persaingan poin antar tim tebilang sangat ketat bahkan sampai akhir pertandingan sekalipun.

 

2. MPL ID Season 6

Walaupun genre MOBA tidak banyak mengisi daftar ini, namun MPL Indonesia berhasil menjadi raja dan mengemban tahta sebagai tayangan esports mobile terpopuler bulan Oktober 2020. MPL ID terbagi ke dalam dua babak, Regular Season yang diselenggarakan sejak Agustus dan Playoff yang diselenggarakan bulan Oktober 2020. MPL ID menggunakan model liga franchise dengan 8 tim peserta yang memperebutkan total hadiah sebesar US$300.000 (sekitar Rp4,2 miliar).

Sebelumnya MPL ID Season 6 sempat menciptakan catatan jumlah penonton yang mengejutkan, bahkan hampir mendekati jumlah penonton babak grup League of Legends World Championship 2020. MPL ID Season 6 mencatatkan 2.848.970 peak viewers dengan 378.529 average viewers. Dari total 179 jam durasi tayangan, MPL ID Season 6 mencatatkan konsumsi konten hingga 67.567.331 total watch hour.

Pertandingan final antara RRQ melawan Alter Ego menjadi tayangan yang paling banyak ditonton. Ada beberapa faktor yang membuat tayangan tersebut jadi banyak disaksikan menurut analisis kecil-kecilan saya. Pertama adalah karena fanbase RRQ di skena MLBB yang cukup besar (kalau tidak bisa dibilang paling besar). Kedua adalah karena pertandingan final tersebut yang memang sangat sengit. Alter Ego bahkan hampir menjuarai turnamen tersebut. Walau demikian RRQ terbukti lebih tangguh secara mental sehingga mereka berhasil keluar sebagai juara.

1. League of Legends World Championship 2020

Bulan Oktober juga terbilang menjadi hari raya bagi para pecinta esports League of Legends karena gelaran World Championship 2020. Kompetisi tersebut diselenggarakan sejak bulan September 2020 dengan babak final digelar pada tanggal 31 Oktober 2020 kemarin. Sebagai salah satu helatan esports terbesar dunia, tidak heran jika Worlds 2020 berhasil mencatatkan angka viewership yang begitu megah.

Worlds 2020 berhasil mencatatkan 3.882.252 peak viewers dengan 1.113.702 average viewers. Dari 126 jam total durasi tayangan, Worlds 2020 mencatatkan konsumsi konten selama 139.862.355 total watch hours. Pertandingan babak Grand Final antara Damwon Gaming melawan Suning Gaming memang patut menjadi tayangan yang paling banyak ditonton.

Damwon Gaming harus melalui pertarungan yang sulit untuk bisa mendapatkan kemenangan dengan skor 3-1 di babak Grand Final Worlds 2020. Terlebih, Grand Final tahun ini juga dianggap sebagai momen kembalinya keseruan final Worlds, setelah pertandingan final dua tahun sebelumnya yang cenderung dianggap berjalan one-sided.

DAMWON Gaming Juara LoL Worlds 2020 dan Supremasi Korea Selatan di Esports

Tanggal 31 Oktober 2020 kemarin kita semua menjadi saksi kembalinya tahta juara dunia League of Legends ke tangan pemain-pemain asal Korea Selatan. Hal tersebut terjadi setelah tim asal Korea Selatan yaitu DAMWON Gaming berhasil mengalahkan tim tuan rumah asal Tiongkok yaitu Suning Gaming.

Kemenangan DAMWON Gaming secara tidak langsung mengangkat kembali derajat Korea Selatan di skena esports League of Legends internasional. Hal tersebut terjadi mengingat tim-tim asal liga LCK (liga LoL utama Korea Selatan) menorehkan hasil kurang memuaskan pada gelaran League of Legends World Championship (Worlds) 2 tahun belakangan.

Melihat kemenangan DAMWON Gaming dan sejarah kejuaraan Worlds yang dikuasai oleh pemain asal Korea Selatan memunculkan pertanyaan tersendiri di benak saya. Kenapa begitu banyak pemain Korea Selatan ada di skena esports internasional? Kenapa juga mereka bisa begitu mahir di game yang mereka tekuni?

 

Selayang Pandang Supremasi Korea Selatan di League of Legends dan Esports Lainnya

Sebelum menuju ke pokok pembahasan dan menjawab dua pertanyaan tersebut, mari kita ingat-ingat sedikit soal sejarah supremasi Korea Selatan di League of Legends dan beberapa pertandingan esports lainnya.

Dalam League of Legends, pemain Korea Selatan kerap kali menjadi momok bagi pemain lain karena kemampuannya yang kerap kali di atas rata-rata. Dari 10 tahun perjalanan Worlds dilaksanakan, hanya ada tiga masa tim asal Korea Selatan tidak bertanding di laga Grand Final. Tiga masa tersebut adalah Worlds pertama di tahun 2011, Worlds tahun 2018, dan Worlds tahun 2019.

Tahun pertama Worlds memang tidak mengikutsertakan tim asal Korea Selatan. Kala itu hanya ada tiga kawasan yang mengikuti turnamen “Season 1 Championship”. Tiga kawasan tersebut adalah Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Tenggara. Korea Selatan baru mulai diikutsertakan dalam Worlds di tahun kedua (2012) dan langsung mendapat peringkat kedua.

Pasca Worlds 2012 “LCK Domination” dimulai dan berjalan selama 5 tahun lamanya (2013 – 2017). Selama durasi tersebut, era “SKT Dynasty” juga terjadi gara-gara dominasi kuat yang dilakukan oleh tim SK Telecom T1. Tim yang diperkuat oleh Lee “Faker” Sang-Hyeok tersebut berhasil menjadi juara dunia sebanyak 3 kali yaitu pada Worlds 2013 dan secara berturut-turut pada Worlds 2015 serta 2016.

Mirip seperti M1 MLBB World Championship 2019 yang punya All-Indonesia Finals, League of Legends Worlds punya “All-Koreans Finals” yang terjadi pada tahun 2015-2017. Ketika SKT Dynasty berjalan, ada Koo Tigers dan Samsung Galaxy asal Korea Selatan yang menempel dan menjadi kontestan kuat bagi Faker sang “Demon King”.

Dinasti Korea di skena internasional LoL tumbang tahun 2018 dan 2019 setelah tim Eropa muncul sebagai “LCK Killer”. Meski begitu tetap saja tim asal Eropa takluk di hadapan tim Tiongkok saat berlaga di pertandingan Grand Final. Sampai akhirnya terjadilah momen pertandingan Worlds 2020 kemarin ketika DAMWON Gaming mengembalikan tahta juara dunia League of Legends ke pangkuan pemain-pemain Korea Selatan.

Sumber: Overwatch League Official
San Francisco Shock, tim esports Overwatch yang juga banyak mengandalkan gamers asal Korea Selatan. Sumber: Overwatch League Official

League of Legends mungkin cuma satu dari beberapa game yang dikuasai dan dipenuhi oleh jawara-jawara gaming asal Korea Selatan. Sebelum League of Legends, ada skena esports StarCraft yang terbilang sebagai cikal bakal esports yang juga didominasi pemain-pemain Korea Selatan ketika populer di awal tahun 2000an. Fenomena supremasi Korea Selatan di esports juga bisa kita lihat pada liga Overwatch League yang dipenuhi pemain-pemain asal negeri ginseng walaupun tim yang bertanding memiliki nama dari kota besar di Eropa/Amerika Serikat.

 

Korea Selatan, Budaya Warnet, Lingkungan Akademis yang Kompetitif, dan Tingginya Pengangguran Usia Muda

Sebuah artikel dari WIRED yang ditulis oleh Jonathan Lee pada tanggal 27 Oktber 2020 lalu menjadi landasan awal saya menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Dari pembahasan tersebut, muncul hipotesa bahwa masalah sosial ekonomi budaya jadi alasan kenapa banyak anak muda Korea Selatan memutuskan menjadi pemain esports.

Pada tulisannya, Jonathan Lee menceritakan pengalamannya sebagai wartawan esports sejak 2011. Sepanjang pengalaman juga ia sadar soal banyaknya jumlah pemain esports datang dari Korea Selatan. Karena memiliki rasa penasaran yang sama seperti saya, ia lalu melakukan obrolan terhadap beberapa pemain asal Korea Selatan secara acak.

Dari obrolan acak tersebut, Jonathan menemukan satu kesamaan latar belakang sosial-ekonomi pemain/pelatih asal Korea Selatan. Kesamaan tersebut adalah fakta bahwa ternyata kebanyakan pemain/pelatih asal Korea Selatan di skena esports datang dari keluarga kelas pekerja. Fakta lain yang juga ditemukan adalah bahwa kebanyakan dari pemain Korea Selatan yang berkarir sebagai pemain esports adalah lulusan SMA dan hanya sedikit yang lulus kuliah.

“Jung Ki-hyo ‘Xzi’ pemain Overwatch dari tim Paris Eternal merupakan anak dari seorang mekanik bus. Park Jong-ryeol ‘Saebyeolbe’ bekerja sebagai barista sebelum menjadi pemain Overwatch profesional dan merupakan anak dari seorang supir taksi.” Tulis Jonathan dalam artikel tersebut dengan menggunakan para pemain Overwatch League sebagai contoh.

Lalu kenapa banyak anak muda dari kelas pekerja di Korea Selatan menjadi atlet esports? Jonathan berasumsi bahwa hal tersebut terjadi karena fenomena PC Bang (istilah orang Korea Selatan untuk menyebut warnet), besarnya populasi anak muda, dan persaingan akademis/kerja yang ketat.

Fenomena PC Bang di Korea Selatan sempat saya jelaskan ketika membahas sejarah esports dunia. Tahun 1997, Korea Selatan mengalami krisis ekonomi yang besar yang berdampak kepada kebanyakan orang di Korea Selatan. Menanggapi krisis tersebut, pemerintahan Korea Selatan memutuskan investasi besar-besaran di industri IT.

Dampak investasi tersebut adalah harga PC jadi turun drastis dan jaringan internet berkecepatan tinggi tersalurkan secara merata ke berbagai daerah di Korea Selatan. Jaehoon Jeong dan David Jang dari Invenglobal sempat menulis artikel yang juga membahas alasan di balik banyaknya anak muda Korea Selatan menjadi pemain esports. Dalam artikel tersebut mereka menjelaskan bagaimana warnet berkembang menjadi bisnis yang sangat populer di masa itu.

“Saya ingat jumlah warnet sebelum masa krisis cuma kurang dari 10. Tetapi setelah investasi pemerintah, jumlah warnet berkembang dengan sangat pesat. Mengingat harga PC yang sangat murah dan internet berkecepatan tinggi tersedia di berbagai daerah Korea Selatan, tidak heran kalau warnet menjamur karena dianggap sebagai bisnis yang cenderung mudah dan murah modalnya pada masanya.” Tulis Jaehoon Jeong dan David Jang dalam artikel.

Berbarengan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis warnet, tempat berkumpulnya anak muda Korea Selatan yang sebelumnya menjadi tren (seperti kafe komik ataupun Video Games Arcade) tutup satu per satu. Dampaknya adalah PC Bang menjadi salah satu pilihan utama tempat nongkrong anak muda di zaman itu. Berdekatan dengan fenomena PC Bang, ada StarCraft yang rilis tahun 1998. Akhirnya kombinasi fenomena PC Bang dan rilisnya StarCraft yang yang kompetitif mengawali perjalanan maraknya budaya esports di Korea Selatan.

Lalu kenapa bermain game di PC Bang menjadi budaya yang kental di Korea Selatan? Invenglobal menjelaskan dari sudut pandang lokal menceritakan bahwa salah satu penyebabnya adalah durasi sekolah yang panjang dan pilihan aktivitas waktu luang di ruang terbuka yang terbatas.

Siswa-siswa kelelahan karena terlalu lama belajar. Melakukan olahraga atau kegiatan pengisi waktu luang di ruang terbuka juga bukan pilihan yang menyenangkan . Mereka menceritakan bahwa ada satu masa sebuah lapangan sepakbola diisi 100 siswa sekaligus dan memainkan 4 pertandingan sepakbola berbeda. Akhirnya bermain game di PC pun menjadi sarana hiburan pilihan yang paling mudah diakses.

Melanjutkan hipotesa soal hubungan antara karir pemain esports dengan kelas ekonomi sosial, WIRED juga menyebut soal tingginya persaingan lingkungan akademis di Korea Selatan. Data Statista tahun 2019 mengatakan bahwa tingkat pendaftaran anak muda untuk pendidikan tingkat Universitas berada di angka 67,8% tahun 2019 lalu.

Walaupun begitu, Jang Seob Yoon yang mempublikasi data tersebut menuliskan soal tingginya persaingan untuk bisa masuk ke universitas unggulan. Apalagi masuk universitas ternama juga acap kali dianggap sebagai bentuk privilege yang hanya bisa dirasakan oleh masyarakat kelas sosial atas.

Dampaknya, jadi ada banyak anak muda yang tidak mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Tanpa pendidikan di tingkat universitas, anak muda di Korea cenderung kesulitan mendapatkan karir yang mentereng sehingga meningkatkan jumlah pengangguran di usia muda.

Laporan Asian Boss yang mengutip data milik badan statistik nasional Korea Selatan bulan Juni 2019 mengatakan ada 453.000 orang berusia 15-29 tahun menganggur. Pada video wawancara yang dilakukan Asian Boss, kebanyakan masyarakat Korea Selatan mengatakan tingginya tingkat pengangguran terjadi karena dua hal.

Dua hal tersebut adalah tingginya persaingan untuk mendapat pekerjaan di perusahaan ternama dan keengganan anak muda masuk perusahaan kecil karena khawatir akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Dari berbagai data dan fakta tersebut, maka asumsinya, anak-anak muda yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas jadi punya waktu luang lebih banyak. Mengingat bermain game sudah menjadi budaya, maka pergi ke PC Bang jadi salah satu pilihan untuk mengisi waktu luang. Lalu dari bermain game, karir menjadi pemain esports pun menjadi salah satu pilihan untuk bisa “panjat sosial” demi mengubah kehidupan mereka dengan memenangkan turnamen game berhadiah jutaan dollar AS. Menanggapi hal tersebut, General Manager tim Florida Mayhem pun turut berkomentar dalam artikel dari WIRED.

“Saya sendiri sebenarnya tidak ingin menarik kesimpulan terlalu dini. Walau begitu memang ada kecenderungan mereka (para pemain esports asal Korea) sangat termotivasi oleh uang. Jumlah gaji yang diterima sangatlah berarti bagi para pemain asal Korea. Perbedaan tersebut cukup terasa apabila dibandingkan dengan pemain dari barat yang cenderung lebih fokus kepada passion.” General Manager Florida Mayhem juga menambahkan bahwa ada beberapa pemain esports Korea Selatan yang mengirimkan hasil jerih payahnya kepada keluarganya yang tinggal di Korea. Bahkan ada beberapa pemain yang menjadi tulang punggung keluarga karena karirnya sebagai pemain esports.

Alasan kenapa begitu banyak pemain esports datang dari Korea Selatan mungkin sudah bisa terjawab walaupun masih sebatas hipotesa dengan menyambungkan beberapa temuan dari Jonathan dan tulisan milik Invenglobal.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah kenapa pemain asal Korea bisa sebegitu lihai, ulet, dan tangkas di dalam game? Tulisan Invenglobal yang memang menggunakan perspektif lokal mengatakan bahwa salah satu alasannya mungkin karena sistem pendidikan di Korea Selatan.

Jaehoon Jeong dan David Jang pertama menjelaskan soal sistem pendidikan Korea Selatan yang kuno. Guru menjelaskan, murid menyimak, dan ujian besar terjadi setahun sekali. Kurang lebih seperti itu bentuk sistem pendidikan di Korea Selatan yang mungkin terasa familiar bagi kita yang ada di Indonesia. Tetapi selain itu, standar edukasi di Korea Selatan juga amat tinggi. Banyak murid sudah mempelajari ilmu matematika tingkat universitas ketika mereka masih bersekolah setingkat SMA.

Kepandaian siswa-siswa Korea Selatan dalam berhitung pun menurun ke dalam game. Jaehoon Jeong dan David Jang juga menceritakan bagaimana dia kerap kali menghtung HP, defense, dan jumlah Damage yang ia miliki untuk menentukan timing menyerang sang musuh.

“Kemampuan tersebut mungkin krusial bagi pemain profesional. Tetapi kebanyakan gamers di Korea melakukan hal serupa walaupun mereka hanya main game untuk hobi saja.” tulis Jaehoon Jeong dan David Jang dalam artikel tersebut.

Dalam hal ketangkasan, pemain asal Korea Selatan juga mendapatkan hal tersebut karena budaya kompetitif di lingkungan pendidikan. Artikel Invenglobal menceritakan bagaimana anak-anak di Korea Selatan dituntut untuk bisa mendapatkan nilai yang bagus oleh keluarganya masing-masing. Alhasil, anak-anak muda Korea Selatan jadi terbiasa dengan jam belajar yang panjang demi mendapat nilai sekolah yang diidam-idamkan oleh keluarganya.

Invenglobal menceritakan bahwa kebiasaan disiplin dan daya juang tersebut juga turut menurun ketika anak-anak muda tersebut terjun ke esports. Terkadang, saking tingginya daya juang, para pemain esports di Korea Selatan tidak hanya bersaing dengan tim lawan tetapi juga dengan sesama kolega tim. Karena hal tersebut, durasi latihan para pemain esports di Korea Selatan pun jadi cenderung lebih panjang demi menjaga kemampuan bermain tetap prima.

Bahkan beberapa pemain Korea Selatan mengatakan bahwa salah satu hal yang mereka suka ketika bermain untuk tim Eropa atau Amerika adalah waktu senggang yang lebih banyak dibanding bermain untuk tim Korea Selatan. “Tim dari negara lain cenderung punya keinginan juara yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tim Korea. Bukannya mereka tidak memiliki semangat kompetisi, melainkan semangat tersebut kurang terlihat tindakan nyatanya.” Tulis Invenglobal mengutip perkataan dari salah satu pemain.

 

Fenomena Korea Selatan yang Tidak Beda Jauh dengan Indonesia

Melihat temuan kasus pemain Korea Selatan di esports jadi mengingatkan saya terhadap kasus yang mungkin kurang dan lebihnya mirip-mirip dengan fenomena perkembangan esports di Indonesia. Saya jadi ingat karena cerita anak muda yang mengaku sudah lama mengejar karir esports namun belum juga mencapai apapun di tahun 2020 di artikel “Bintang Esports dan Survivorship Bias”.

Impian jadi pemain esports terbilang menjadi magnet tersendiri bagi kaum muda. Janji uang hadiah yang besar dan salah kaprah karir esports sebagai “hanya main game lalu kaya raya” menjadi beberapa faktor kenapa karir tersebut menjadi magnet.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah walau karir menjadi pemain esports sebenarnya punya risiko gagal yang tinggi. Terlepas dari risiko yang ada, harapan mengubah nasib di esports lewat karir yang menyenangkan (bermain game) sepertinya terlalu manis bagi anak-anak muda dari kalangan keluarga kelas pekerja

Apa yang terjadi di Korea Selatan sana juga terjadi dalam kasus lokal. Saya ingat beberapa cerita orang dalam esports Indonesia soal latar belakang sosial ekonomi pemain esports lokal yang sebenarnya biasa-biasa saja.

Ada beberapa cerita yang pernah saya dengar. Ada cerita soal pemain esports datang dari dusun demi mengubah nasib. Ada juga cerita lain tentang pemain esports yang melakukan banyak pengorbanan hanya demi mendapat akses internet stabil untuk latih tanding atau turnamen. Atau mungkin kita juga bisa melihat fenomena nyata dari apa yang kita bahas sebelumnya lewat kisah Dreamforest, mantan pemain profesional League of Legends Indonesia yang merangkap kerja sebagai PNS di kota Tangerang.

Pada akhirnya satu yang patut disyukuri dari cerita relasi kondisi sosial ekonomi anak muda Korea dengan esports adalah kenyataan bahwa ekosistem esports masa kini yang sudah jauh berkembang jika dibandingkan dengan dahulu. Zaman dulu menjadi gamers mungkin dianggap sebagai “beban keluarga”. Sekarang berkat perkembangan industri esports, gamer profesional akhirnya bisa menjadi karir yang nyata walau tetap dengan tingkat persaingan yang tinggi dan risiko gagal yang besar.

Dalam konteks Indonesia, kita juga bisa melihat perkembangan zaman tersebut dalam bentuk akses turnamen yang semakin mudah, pergeseran tren esports ke game mobile, dan koneksi internet yang semakin merata. Walaupun persaingannya begitu ketat, kemajun zaman tersebut tetap menjadi satu hal yang patut disyukuri dalam bentuk kesempatan karir baru yang menyenangkan bagi anak muda Indonesia yaitu menjadi atlet esports.

Pandemi Buat Nilai Industri Esports Turun, Genshin Impact Dapatkan US$60 Juta dari Mobile

Dalam satu minggu terakhir, ada sejumlah berita menarik terkait bisnis di industri game dan esports. Salah satunya adalah tentang Newzoo yang menurunkan perkiraan valuasi industri esports akibat pandemi. Selain itu, juga ada kabar tentang Genshin Impact, game buatan developer Tiongkok yang dengan cepat menjadi populer di tingkat internasional.

Newzoo Menurunkan Perkiraan Pemasukan untuk Industri Esports

Pada Februari 2020, Newzoo memperkirakan, valuasi industri esports akan mencapai lebih dari US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, karena pandemi COVID-19, mereka harus membuat perubahan pada perkiraan nilai industri esports. Pada April 2020, mereka memperkirakan, valuasi industri esports akan turun menjadi US$1,05 miliar. Sementara pada Juli 2020, mereka kembali menyesuaikan perkiraan mereka menjadi US$973,9 juta. Kali ini, Newzoo menyebutkan, valuasi industri esports turun menjadi US$950,3 juta.

“Satu hal yang harus diingat, audiens esports tidak mengecil (permintaan tidak turun) dan jumlah penyelenggara turnamen juga tidak bertambah sedikit (pasokan konten esports juga tidak berkurang),” ujar Newzoo, seperti dikutip dari VentureBeat. “Kami menyesuaikan nilai industri esports karena ada beberapa turnamen esports yang tertunda atau harus dibatalkan.”

The International 10 jadi salah satu turnamen esports yang ditunda.
The International 10 jadi salah satu turnamen esports yang ditunda.

Selama pandemi, turnamen esports memang masih bisa diselenggarakan. Namun, kebanyakan turnamen tersebut diadakan secara online. Newzoo menyebutkan, hal ini memengaruhi pemasukan industri esports dari penjualan tiket. Tak hanya itu, jika turnamen esports hanya diadakan secara online, hal ini juga berdampak pada penjualan merchandise. Akibat pandemi, Newzoo menurunkan perkiraan pemasukan industri esports dari penjualan tiket dan merchandise dari US$76,2 juta menjadi US$52,5 juta.

Kabar baiknya, pandemi membuat viewership turnamen esports meningkat. Salah satu indikasi yang Newzoo perhatikan adalah viewership dari turnamen esports yang diadakan oleh Riot Games. Biasanya, viewrship dari turnamen yang diadakan pada musim panas (Juni-September) mengalami penurunan sekitar 20%-30% jika dibandingkan dengan turnamen pada musim semi (Maret-Juni). Namun, kali ini, viewership dari turnamen League of Legends di Eropa dan Amerika Utara justru mengalami kenaikan sekitar 16,7% sampai 30%. Hanya saja, ke depan, mungkin akan muncul masalah baru karena penyelenggara kesulitan untuk mengadakan turnamen internasional.

Masalah lain yang muncul akibat pandemi adalah berkurangnya minat perusahaan untuk menjadi sponsor atau memasang iklan. Hal ini bisa membaut pemasukan di bagian sponsorship dan hak siar media mengalami penurunan. Newzoo mengungkap, jika pandemi masih berlangsung hingga 2021, berbagai pelaku dunia esports mau tidak mau harus melakukan revisi akan strategi bisnis mereka.

ReKTGlobal Mendapatkan Dana Bank Sebesar US$35 Juta

ReKTGlobal, perusahaan induk dari tim esports Rogue dan London Royal Ravens, baru saja mendapatkan dana bank sebesar US$35 juta dari Summit Partners. Dana tersebut akan digunakan untuk beberapa hal. Salah satunya adalah untuk mempekerjakan sejumlah eksekutif baru, menambah tim sales, dan juga mencari pemain esports berbakat.

London Royal Ravens adalah salah satu tim Call of Duty League. | Sumber: The Loadout
London Royal Ravens adalah salah satu tim Call of Duty League. | Sumber: The Loadout

Jika dibandingkan dengan organisasi esports lain, ReKTGlobal cukup unik. Mereka tidak hanya fokus untuk membangun tim esports yang kuat, mereka juga berinvestasi di berbagai bagian lain dari esports. Sebelum ini, mereka telah mengakuisisi perusahaan media Fearless Media dan juga perusahaan marketing Greenlit Content, menurut laporan Forbes.

Sebelum mendapatkan dana bank, ReKTGlobal juga telah berhasil mendapatkan sejumlah invsetor ternama, seperti musisi Steve Aoki, Imagine Dragons, dan Nicky Romero. Mereka juga didukung oleh beberapa atlet olahraga seperti pemain basket Prancis Rudy Gobert, atlet american football Landon Collins, dan petenis Amerika Serikat Taylor Fritz.

Genshin Impact Mendapatkan US$60 Juta di Perangkat Mobile Dalam Minggu Pertama

Dalam satu minggu, Genshin Impact dari developer Tiongkok, miHoYo, mendapatkan pemasukan sebesar US$60 juta dari App Store dan Google Play Store. Menurut laporan Sensor Tower, game ini duduk di peringkat dua dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar pada minggu peluncuran. Peringkat pertama diduduki oleh Honor of Kings, yang berhasil meraup US$64 juta dalam satu minggu setelah peluncurannya, sementara peringkat ketiga diisi oleh PUBG Mobile dengan pemasukan US$56 juta.

Di Tiongkok, Genshin Impact mendapatkan US$25 juta dari App Store. Namun, tidak diketahui berapa pemasukan yang didapatkan oleh game itu dari pengguna Android. Pasalnya, Google Play Store tidak tersedia di Tiongkok. Negara yang menyumbangkan kontribusi terbesar kedua pada pemasukan Genshin Impact adalah Jepang dengan spending sebesar US$17 juta. Amerika Serikat ada di posisi ketiga dengan total spending sebesar US$8 juta, lapor GamesIndusty.

Selain diluncurkan untuk mobile, Genshin Impact juga dirilis untuk PlayStation 4 dan PC. Ke depan, miHoYo juga berencana untuk meluncurkan game ini ke platform lain. Saat ini, Genshin Impact sudah berhasil menjadi game Tiongkok dengan peluncuran internasional paling sukses.

ESL dan GUNNAR Perkenalkan Kacamata Gaming Kedua, ESL Blade

Pada April 2020, ESL mengumumkan kerja samanya dengan GUNNAR Optiks untuk membuat kacamata khusus gamer. Sekarang, keduanya merilis produk kedua hasil kerja sama mereka, yaitu ESL Blade. Sebelum ini, mereka telah merilis kacamata Lighting Bolt 360: ESL Edition. Sama seperti produk-produk GUNNAR lainnya, ESL Blade menggunakan lensa “Blue Light Protection Factor”, yang diklaim memblokir 65% cahaya biru dari layar dan mengurangi kesilauan layar, lapor The Esports Observer.

Kacamata ESL Blade, hasil kerja sama antara ESL dan GUNNAR. | Sumber: The Esports Observer
Kacamata ESL Blade, hasil kerja sama antara ESL dan GUNNAR. | Sumber: The Esports Observer

Menurut organisasi Prevent Blindness, yang bertujuan untuk memberikan informasi pada masyarakat tentang cara melindungi mata mereka, cahaya biru dari layar komputer dan perangkat digital lainnya dapat menyebabkan kelelahan pada mata, yang bisa berujung pada kerusakan di retina.

Riot Games Tutup Liga LoL Kawasan Australia dan Sekitarnya

Liga League of Legends untuk kawasan Oseania (Australia dan sekitarnya) yaitu Oceanic Pro League akan lenyap dari peredaran, tidak lagi dilanjutkan untuk musim 2021. Hal ini diumumkan oleh Riot Games lewat sebuah blog post tanggal 7 Oktober 2020 kemarin. Riot Games juga mengumumkan akan menutup kantor mereka di Sydney, yang memang memiliki fokus utama mengurus liga OPL. Walaupun demikian, Riot Games menyatakan sebisa mungkin akan tetap menyokong keberlangsungan hidup para pemain profesional LoL, dan juga skena kompetitif di Oseania.

“Ketika kami memulai perjalanan ini lima tahun lalu, kami berencana untuk membuat sebuah liga esports profesional di kawasan tersebut.” Tulis Riot Games dalam blog post, dengan mengutip pernyataan dari Malte Wagener, Managing Director, NA & OCE, dan Tom Martell, Director of Operations, Global Esports. “Dari awal yang sederhana, kami berhasil membuat pemain-pemain terbaik menjadi profesional, dan memberikan para penggemar untuk bisa mendukung pemain-pemain favoritnya.”

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

“Kami di Riot Games memiliki keinginan untuk bisa membuat sebuah liga yang bersaing dan sustainable, yang bisa mendorong perkembangan secara komersil, keterlibatan fans, untuk menyokong para pemain profesional agar dapat menjadikan esports sebagai karir penuh-waktu. Sayangnya, walaupun tim kami sudah melakukan usaha yang terbaik, OPL tidak berhasil mencapai tujuan kami, dan kami tidak memiliki kepercayaan bahwa pasar ekosistem League of Legends di Oseania mampu menahan liga tersebut saat ini.” lanjut blog post tersebut.

Tanda-tanda “kematian” liga OPL sebenarnya sudah terlihat sejak November 2019 lalu. Alex Walker dari Kotaku Australia sempat melaporkan hal tersebut ketika redaksi Kotaku Australia melihat informasi seputar keputusan Riot Games untuk memutus biaya subsidi bagi liga OPL. “Kami mengkonfirmasi bahwa kami telah memutus biaya subsidi untuk musim selanjutnya, sesuai dengan rencana yang telah kami dan tim buat ketika mereka memutuskan untuk masuk liga kami.” Alex Walker mengutip balasan dari Riot Oceania ketika itu.

Dalam usaha untuk mempertahankan skena kompetitif League of Legends di Oseania, Riot Games menjelaskan bahwa mereka akan menjaga komitmen untuk tetap menyokong para pemain profesional di kawasan tersebut. Ada dua hal yang dilakukan Riot, sebagai bentuk nyata atas usaha tersebut.

Pertama pemain profesional dari kawasan OCE kini terhitung sebagai pemain di kawasan LCS Amerika Serikat. Karena itu, maka pemain dari kawasan OCE tidak lagi mengambil slot impor pemain, jika ingin pindah ke tim LCS. Selain itu, Riot Games juga akan tetap melaksanakan kualifikasi Mid-Season Invitational dan World Championship 2021 di kawasan tersebut, untuk memastikan pemain dari kawasan OCE terwakilkan di kompetisi internasional.

Liga OPL musim terakhir telah selesai diselenggarakan pada 8 Agustus 2020 kemarin dengan Legacy Esports sebagai pemenang babak Playoff. Legacy Esports melaju ke babak Play-In World Championship 2020, mengisi satu-satunya slot OPL di Worlds 2020. Setelah berjuang dengan cukup keras, Legacy Esports akhirnya tersingkir oleh LGD Gaming di fase Playoff babak Play-In.

Kejadian ini, sedikit banyak jadi mengingatkan saya terhadap keadaan komunitas League of Legends di Indonesia kini. Namun apa mau dikata, apabila kenyataannya suatu liga esports tidak menghasilkan secara bisnis, tentu akan menjadi beban tersendiri bagi developer/publisher jika terus melanjutkannya.

Q3 2020, PMWL Season 0: East Jadi Turnamen Paling Populer ke-2

Berkat pandemi COVID-19, jumlah penonton di berbagai platform streaming game melonjak naik sepanjang semester pertama 2020. Pada Q2 2020, jumlah rata-rata hours watched per minggu bahkan mencapai 600 juta jam. Menurut laporan terbaru dari Stream Hatchet, angka ini mulai turun pada Q3 2020. Meskipun begitu, jumlah rata-rata hours watched per minggu di semua platform streaming game masih mencapai 500 juta jam, naik 73% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Padahal, kompetisi olahraga tradisional, seperti sepak bola dan basket, telah kembali diselenggarakan.

Pada Q3 2020, Twitch masih menjadi platform streaming game nomor satu dengan total hours watched mencapai 4,7 miliar jam. Namun, jika dibandingkan dengan pada Q2 2020, total hours watched Twitch pada Q3 2020 mengalami penurunan sekitar 375 juta jam. Padahal, mereka telah kembali menandatangani kontrak kerja sama dengan 2 streamer populer, Tyler “Ninja” Blevins dan Michael “Shroud” Grzesiek.

Q3 2020 streaming game
Total hours watched di berbagai platform streaming game pada Q3 2020. | Sumber: Stream Hatchet

Meskipun Twitch masih menguasai pasar, YouTube Gaming menjadi platform streaming game dengan pertumbuhan paling besar pada Q3 2020 dengan kenaikan total hours watched sebesar 150 juta jam selama 3 bulan terakhir. Sementara itu, total hours watched dari Facebook Gaming akhirnya menembus 1 miliar jam.

League of Legends masih menjadi game paling populer pada Q3 2020, diikuti oleh Fortnite, PUBG Mobile, dan Free Fire dari Garena. Hal ini menunjukkan bahwa popularitas mobile game terus menanjak. Bukti lain dari meningkatnya popularitas mobile game adalah dari jumlah hours watched dari PUBG Mobile World League.

Q3 2020 streaming game
5 turnamen esports paling populer sepanjang Q3 2020. | Sumber: Stream Hatchet

Pada Q3 2020, PMWL Season 0: East menjadi turnamen paling populer ke-2, setelah League of Legends Champions Korea 2020 Summer Season. Menurut Esports Charts, ada lebih dari 500 ribu orang Indonesia yang menonton PMWL Season 0. Tidak heran, mengingat tim asal Indonesia, Bigetron RA, berhasil menjadi juara dari turnamen tersebut.

Empat game terpopuler sepanjang Q3 2020 memang merupakan game esports. Namun, game Among Us dan Fall Guys juga masuk ke dalam daftar 10 game paling populer. Hal ini merupakan bukti bahwa para penonton tak hanya menonton konten game dan esports demi melihat kecakapan para pemainnya, mereka juga tertarik untuk menonton streamer yang memiliki kepribadian menarik.

Menengok Kabar Komunitas LoL Indo di Tahun 2020

Belakangan, para gamers di Indonesia sedang dipenuhi euforia terhadap League of Legends. Namun bukan League of Legends yang selama ini kita kenal, melainkan Wild Rift, versi mobile dari MOBA yang rilis di PC pada tahun 2009 lalu tersebut. Wild Rift mungkin lebih berhasil menarik perhatian banyak orang, termasuk sosok besar di skena MOBA untuk mobile seperti Henri Teja “Carraway” ataupun Tuturu. Namun demikian, nasib versi PC dari game tersebut di Indonesia terbilang cukup nahas.

Pada kesempatan sebelumnya saat membahas potensi Wild Rift di Indonesia, saya sudah sempat berbincang dengan Pratama Indraputra atau Yota, soal sepak terjang League of Legends di Indonesia. Jika Anda membacanya, fakta menyedihkan yang harus diterima penggemar game League of Legends di Indonesia adalah kenyataan bahwa League of Legends Indonesia akhirnya mati pada tahun 2019. Gamenya masih ada, tetapi tanpa adanya dukungan publisher, inisiatif esports, ataupun server lokal Indonesia, komunitas League of Legends Indonesia sekarang terbilang jadi mati suri.

Walaupun demikian, komunitas LoL di Indonesia ternyata masih terus hidup, dan bahkan cukup aktif. Lalu apa kabar komunitas LoL di Indonesia kini? Mari saya ajak Anda melihat keadaannya dari tiga perspektif berbeda.

Pertama ada HASAGI, media khusus League of Legends yang dulu disokong oleh Garena Indonesia dengan Edi Kusuma atau Edel sebagai salah satu founder-nya. Kedua ada Aganov Boris, seorang streamer dengan nama panggung “League Indo Korea”, yang hingga kini masih secara konsisten melakukan live-streaming game League of Legends. Terakhir ada Aditya Fadillah atau SEGA, merupakan pemain kompetitif League of Legends yang terakhir kali sempat bermain dengan tim Bigetron Esports untuk turnamen Indonesia Games Championship 2020.

 

HASAGI, Media Online Seputar LoL yang Kini Hidup Berkat Komunitas

Ketika League of Legends hadir di Indonesia tahun 2013 silam, jagad internet dalam ranah gaming terbilang belum seperti sekarang. Informasi seputar gaming dan esports dalam bahasa Indonesia belum bisa didapatkan semudah seperti sekarang. Media yang spesifik membahas gaming dan esports juga masih segelintir jumlahnya, termasuk Hybrid.co.id yang juga belum ada di masa itu, dan baru melepas status beta pada Februari 2019 lalu.

Maka dari itu, pada tahun 10 Agustus 2016, Yota mengajak Edi Kusuma atau Edel, mencoba menggagas sebuah proyek berupa blog yang spesifik membahas League of Legends dengan nama HASAGI. “Gue coba ngomong sama Edel waktu itu. ‘Ed, lu suka nulis kan? Gimana kalau lu nulis seputar League of Legends bareng gue. Karena gue kepingin bikin proyek ini nih (HASAGI), kepingin bikin komunitas League of Legends makin bagus, makin keren, makin pintar juga karena baca berita terus.’ Akhirnya Edel setuju dan kita nulis bareng, dimulai dari pakai blog simpel saja.” Ucap Yota dalam video perkenalan HASAGI, yang diposting oleh channel YouTube official League of Legends Indonesia pada 9 November 2016 lalu.

Setelah ajakan tersebut, the rest is history. HASAGI berkembang dengan cukup pesat dan menjadi salah satu rujukan bagi komunitas, atau siapapun yang ingin mengetahui perkembangan League of Legends dari perspektif lokal. Bukan hanya sekadar memberitakan esports pada zamannya, HASAGI juga menyajikan cerita-cerita unik dari komunitas. Salah satu contohnya seperti cerita soal sosok pemain LoL Indonesia yang pernah membuat kehebohan karena kelakuan konyol, ataupun cerita nasib mantan pro player League of Legends kini.

Lompat ke tahun 2020, Edel lalu menceritakan bagaimana kondisi HASAGI. “Sampai saat ini, HASAGI masih memiliki beberapa pembaca setia yang hampir setiap hari mengakses website kami. Namun, jumlahnya tentu tidak terlalu besar. Saya merasa, dengan jumlah pemain League of Legends Indonesia yang semakin terkikis, maka kemungkinan besar pembaca HASAGI juga jadi sedikit. Berharap setelah Wild Rift kami bisa mendapat pembaca baru. Satu hal yang pasti, HASAGI akan terus berusaha menghasilkan artikel-artikel berkualitas.” Cerita Edel.

Lebih lanjut Edel juga sedikit menjabarkan soal minat komunitas terhadap konten League of Legends berbahasa Indonesia yang disajikan oleh HASAGI “Pembaca HASAGI sendiri terbagi menjadi beberapa jenis, ada yang lebih suka baca artikel tentang update game League of Legends dan ada yang juga suka baca tentang turnamen. Tapi, sejauh ini artikel tentang update atau patch baru masih menjadi salah satu yang paling favorit. Kalau dari segi jumlah pembaca, dalam satu bulan HASAGI sih masih bisa dapat sekitar 30 sampai 60 ribu pembaca.”

Sumber: Facebook
Sumber: Facebook

Untuk saat ini, peran HASAGI di komunitas lebih dari sekadar menyiarkan informasi saja. Seperti saya sebut sebelumnya, komunitas LoL Indonesia jadi mati suri pasca ditinggal Garena Indonesia. Karena itu peran HASAGI kini jadi melebar, bukan sekadar jadi media, melainkan menjadi semacam pengganti Garena Indonesia yang mengasuh komunitas LoL PC di Indonesia.

Maka dari itu HASAGI pun kini menyediakan beberapa wadah media sosial, sebagai sarana komunikasi komunitas LoL Indonesia. “Kami kebetulan juga mengelola beberapa grup media sosial League of Legends Indonesia. Paling besar ada grup Facebook LoL Indonesia, dan League of Newbie, yang membernya ada di angka puluhan ribu. Selain itu kami juga mengelola grup Wild Rift, yang sekarang membernya sudah sekitar 19 ribuan. Lalu kami juga punya server Discord yang jumlah anggotanya ada 3300 orang saat ini.”

Menariknya, usaha yang dilakukan HASAGI menjaga komunitas LoL ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Komunitas LoL Indonesia secara umum ternyata sangat menganggap HASAGI, bahkan berusaha menyokong keberlanjutan HASAGI. “Salah satu hal yang membuat saya senang dengan komunitas League of Legends adalah, ada segelintir orang yang berusaha untuk terus mempertahankan dan menjaga komunitas ini. HASAGI juga menjadi salah satu usaha tersebut, usaha mempertahankan League of Legends agar tetap ada di permukaan. Selain membuat wadah komunikasi di media sosial, kami juga sempat membuat acara nobar World Championship 2019, yang terbilang cukup sukses, dan sangat berkesan.”

Acara nobar World Championship 2019 bisa dibilang menjadi salah satu bentuk kepedulian komunitas terhadap LoL ataupun keberlanjutan hidup komunitas itu sendiri. Edel menceritakan, bahwa acara nobar Worlds 2019 bahkan sebenarnya adalah proyek dadakan, karena baru terpikirkan untuk membuatnya pada H-2 minggu sebelum pertandingan Grand Final. “Bahkan sempat dapat masalah ketika akan mencari venue. Kami enggak punya sponsor apapun, dan bisa dibilang hampir enggak ada siapa-siapa yang bantu kita untuk mengadakan nobar awalnya.” Perjelas Edel.

Keseruan komunitas dalam nobar yang diselenggarakan HASAGI bersama komunitas. Sumber: HASAGI
Bentuk antusiasme komunitas dalam nobar World Championship 2019 yang diselenggarakan HASAGI bersama komunitas. Sumber: HASAGI

Edel lalu melanjutkan kembali ceritanya. Edel mengatakan bahwa jelang hari H penyelenggaraan acara nobar, satu per satu orang komunitas yang peduli dengan komunitas LoL Indo mulai muncul. “Saya benar-benar bangga sekali dengan komunitas LoL Indonesia di momen ini. Jelang hari H, ada dari komunitas yang bantu saya untuk bayar DP sewa venue, ada yang sumbang dana untuk kebutuhan acara. Salah satunya ada Xyera, mantan streamer League of Legends, dia menyumbang Rp3 juta ketika itu.”

Tapi ternyata, dukungan komunitas LoL Indonesia terhadap HASAGI dalam acara nobar Worlds 2019 ternyata bukan hanya dari segelintir orang saja. “Acara nobar Worlds 2019 juga menjadi nobar pertama yang berbayar. Tapi berbayar bukan tanpa alasan, melainkan karena uang penjualan tiket kami gunakan untuk membayar venue. Kami berusaha transparan dan menceritakan masalah tersebut ke komunitas. Pada titik ini kami betul-betul tidak menyangka. Ada sekitar 400 orang datang dan semuanya membeli tiket demi mendukung kelancaran acara nobar. Bahkan, ada yang nggak bisa datang, tapi tetap membeli tiket karena dia ingin bisa memberikan support agar nobar berjalan lancar.”

“Kebetulan tiket acara ada dua macam, harga normal Rp50 ribu dan yang kedua harganya Rp120 ribu tapi dapat kaus. Ketika itu gue cetak sekitar 100 kaus dan hampir habis. Sisa tinggal sekitar 20 buah kaus saja.” Edel melanjutkan ceritanya. “Dukungan komunitas ketika itu rasanya seperti tak henti-henti. Ericko Lim yang dahulu sempat menjadi shoutcaster di komunitas LoL Indonesia dengan nama Soapking juga turut menyokong dengan memberikan kaus SK60 (Official Merchandise Soapking) untuk jadi hadiah nobar. Ada juga Henry Louis atau TwoJ, ex-pro player LoL Indonesia, jadi MC dadakan. Ada teman gue juga bantu sponsor action figure LoL untuk hadiah. Ada juga teman gue jual makanan, sengaja jual rugi, supaya para peserta nobar bisa makan. Jadi, nobar Worlds 2019 betul-betul bentuk usaha bahu membahu antara HASAGI dengan komunitas LoL Indo.” Tutup Edel soal cerita mengadakan nobar Worlds 2019.

Sumber: HASAGI
Penampakan para peserta nobar Worlds 2019 yang diselenggarakan oleh HASAGI dan komunitas. Sumber: HASAGI

Edel juga menjelaskan, bahwa memang sudah tidak ada support apapun lagi dari Garena, pasca kejadian tutup server League of Legends di Indonesia. “Kecuali jadi Garena Partner, biasanya diberi skin untuk membuat event. Tetapi di Indonesia cuma ada 2 orang yang menjadi Garena Partner. Dulu Hasagi sempat mengajukan, namun memang gue masih kurang beruntung sampai sekarang… Haha.” Tanpa adanya support, jelas sudah alasan kenapa HASAGI dan komunitas League of Legends Indonesia jadi perlu bahu-membahu, bahkan hanya untuk sebuah acara nobar Worlds 2019 saja.

“Gue merasa, komunitas LoL Indonesia itu yang terbaik sih. Jumlah mereka mungkin sedikit, tapi mereka peduli. Tentunya tidak semua, tapi ada beberapa di antara mereka yang betul-betul peduli dengan LoL Indo, termasuk seperti HASAGI yang saat ini bisa dibilang menjadi semacam pusat komunitasnya.” Edel menceritakan kebanggaannya terhadap komunitas League of Legends Indonesia. “Cerita menarik lagi mungkin adalah ketika gue memutuskan untuk kembali mengembangkan HASAGI. Hanya untuk itu saja, gue bahkan dapat dukungan komunitas! Beberapa player dari komunitas LoL nyumbang ke gue, untuk beli domain… Haha. Jadi kalau sudah begitu, masa iya gue menolak?”

Mengakhiri pembahasan, saya lalu menanyakan bagaimana posisi HASAGI nantinya jelang perilisan Wild Rift secara publik, yang mungkin akan datang dalam waktu dekat. “Kami sih akan tetap menjaga pemain LoL di PC tetap ada. HASAGI terbentuk karena LoL PC dan kami enggak mau game ini ditinggalkan cuma gara-gara Wild Rift. Kita mungkin akan coba membuat turnamen amatir untuk memancing minat orang memainkan LoL di PC. Lalu dari segi media, pastinya kami akan terus menyajikan artikel soal LoL di PC. Akhir kata, semoga nantinya ada lebih banyak support diberikan, terutama dari Riot Games dan Garena Singapura. Kami berharap nantinya LoL PC dan Wild Rift bisa berjalan satu arah sebagai komunitas pecinta League of Legends.” Tutup Edel.

 

League Indo Korea, Streamer LoL Lokal yang Masih Konsisten Hingga Kini

Sosok kedua yang juga tak kalah penting dalam melihat keadaan komunitas LoL kini adalah Aganov Boris, seorang streamer lokal yang masih konsisten memainkan League of Legends hingga kini. Boris biasa melakukan stream dengan nama League Indo Korea di Facebook, menyiarkan permainannya mengarungi Summoners Rift, melawan pemain-pemain di LoL server Singapura.

Kami lalu berbincang singkat soal kondisi LoL dalam lingkup server Asia Tenggara kini, dari sudut pandang Aganov Boris sebagai pemain dan juga streamer. Ia lalu memperkenalkan diri, sambil menceritakan soal alasannya streaming, dan pengalamannya bermain League of Legends.

“Gue Aganov Boris, gue adalah sosok di balik page League Indo Korea. Gue sudah main LoL sejak tahun 2013, sekitar Season 3, ketika server Indonesia pertama kali dibuka. Kebetulan alasan gue streaming sih karena memang mengisi waktu saja. Mulai streaming dari November tahun lalu dan langsung fokus League of Legends. Alasan kenapa masih streaming LoL sampai sekarang, karena memang sudah cinta aja sih sama LoL… Haha.” Cerita Aganov Boris.

Sumber: Facebook
Sumber: Facebook

Melanjutkan pembicaraan, Aganov Boris lalu berbagi pandangannya soal keadaan komunitas LoL kini, dari sudut pandangnya sebagai player.

“Gue merasa komunitas LoL di Indonesia keadaannya cukup baik-baik saja. Pemain baru masih muncul, tapi memang jumlah pertumbuhannya tidak besar. Lalu kalau dari segi skill, saya merasa regenerasi pemain high elo (rank tinggi) terbilang minim.”

Terlepas dari itu, satu yang menurut saya cukup menarik dari sisi Boris adalah, konten League of Legends ternyata masih cukup diminati secara umum.

“Kalau jumlah views sih terbilang lumayan, setiap streaming saya dapat sekitar 2k sampai 3k views per stream. Penonton juga ternyata antusias dan interaktif dengan konten stream yang saya sajikan. Kebanyakan mereka merasa terbantu dari sisi game knowledge. Kebetulan tujuan saya streaming memang karena ingin memberi edukasi supaya para pemain bisa climb rank dan berkembang secara pribadi. Jadi saya biasanya memberikan informasi soal Item apa yang harus dibuat, Champion apa yang cocok dipakai, bagaimana cara main Jungle, dan sebagainya. Penonton sendiri terbilang sangat tertarik ketika menonton saya sedang climbing rank.” Aganov menceritakan.

Dalam obrolan sebelumnya, Edel sempat menyebut soal Garena Partner. Aganov Boris terbilang cukup beruntung menjadi salah satu dari dua orang Indonesia yang mendapat sokongan dari Garena karena posisinya sebagai kreator konten. Aganov menceritakan, bahwa dirinya menjadi bagian dari Garena LoL Partnership (GLP) sejak bulan Maret 2020.

“Kebetulan saya mengajukan diri sendiri ke Garena waktu itu. Jujur sih kurang tahu juga Garena mana yang menghubungi, tapi kayaknya Singapura sih. Soalnya semua komunikasi menggunakan bahasa Inggris, dari awal mengajukan diri sampai pemberitahuan bahwa pengajuan saya diterima. Sebagai bagian dari kreator GLP, saya diberikan dukungan berupa Riot Points dan Skin setiap bulan. Biasanya saya gunakan hal tersebut untuk dibagi-bagikan kepada penonton sebagai giveaway ketika stream.”

Aganov Boris, yang kerap kali streaming dengan menggunakan karakter virtual berbentuk pinguin. Sumber: Facebook
Aganov Boris, yang kerap kali streaming dengan menggunakan karakter virtual berbentuk pinguin. Sumber: Facebook

Lalu hal lain yang mungkin juga jadi pertanyaan adalah soal pendapatan. Pendapatan streamer memang sudah jadi topik yang beberapa kali dibahas oleh tim redaksi Hybrid.co.id. Ellavie Ichlasa Amalia, Senior Writer Hybrid.co.id, sempat membuat pembahasan soal dari mana sumber pendapatan seorang streamer game. Bahkan, Yabes Elia selaku Chief Editor Hybrid.co.id juga sempat mengungkap sosok streamer game PC yang bisa mendapat donasi dari penontonnya sampai 7 juta rupiah dalam satu pekan.

Lalu bagaimana dengan nasib Aganov Boris? Ia bercerita, bahwa menjadi streamer League of Legends itu menghasilkan namun masih belum bisa menjadi tumpuan hidup. “Untuk yang donasi ataupun memberikan Stars (semacam saweran untuk streamer di Facebook) itu ada, tapi enggak banyak.” Ucapnya.

Menutup obrolan, kami kembali membahas soal kelanjutan dirinya sebagai streamer, dan kehadiran Wild Rift. “Menurut saya, masa depan kreator/streamer League of Legends PC justru bakal lebih baik. Mayoritas orang Indonesia sebetulnya bukan tidak suka main League of Legends, melainkan belum pernah mencobanya. Nah, dengan kehadiran Wild Rift, orang secara tidak langsung akan mencoba League of Legends, yang nantinya diharapkan dapat membantu memperluas eksposur LoL PC. Kalau nanti Wild Rift rilis, aku juga berniat streaming campuran, antara LoL dengan Wild Rift.” Jawab Aganov Boris menutup obrolan.

 

Aditya “SEGA” Fadillah, Pemain League of Legends Kompetitif yang Masih Bertahan

Sebagai narasumber terakhir, saya mewawancara Aditya Fadillah atau lebih dikenal sebagai SEGA. Dia adalah pemain League of Legends kompetitif, yang terakhir kali bermain bersama Bigetron Esports untuk turnamen League of Legends dalam gelaran Indonesia Games Championship 2020.

Lebih lanjut, SEGA lalu memperkenalkan diri dan pengalamannya bermain League of Legends. “Saya Aditya Fadillah atau lebih dikenal SEGA. Saya bermain LoL sejak tahun 2016. Pertama kali kenal gara-gara roadshow pengenalan LoL ke warnet-warnet. Sejak saat itu saya jadi mulai bermain. LoL juga menjadi game MOBA pertama yang saya mainkan.” SEGA menceritakan pertama kali dirinya bermain League of Legends.

SEGA bergabung Bigetron Esports untukmenghadapi IGC 2020. Sumber: Bigetron Esports
SEGA bergabung Bigetron Esports untukmenghadapi IGC 2020. Sumber: Bigetron Esports

Aditya Fadillah atau SEGA memang sudah cukup lama malang melintang di dunia kompetitif League of Legends Indonesia. Lebih lanjut ia lalu menceritakan pengalaman tersebut.

“Kalau ditanya pengalaman di dunia kompetitif League of Legends sih terbilang cukup lumayan. Saya sudah ikut turnamen dari sewaktu masih di bangku sekolah dan jadi juara 1 di pertandingan siswa kelas SMP-SMK. Saya juga mengikuti berbagai turnamen tingkat komunitas pada zamannya seperti Teemo Cup, Jakarta Cup, Kennen Cup, BINGO, turnamen universitas, dan banyak turnamen lain lagi yang saya juga lupa. Saya juga mengikuti beberapa turnamen besar seperti Hyperplay 2018, LOC dari Lenovo, LST SEA Summer dan Spring, IGC, International Esports Champion, dan lainnya.”

Walaupun pada zamannya League of Legends punya banyak turnamen untuk diikuti, saya melihat skena League of Legends sekarang sudah tidak sama seperti dulu. Lalu apa sebenarnya alasan pemain yang sudah mencapai rank Diamond 2 ini masih bersikeras bertahan di dunia kompetitif League of Legends?

“Saya masih bertahan karena cinta sama game ini sih, betul-betul enggak ngebosenin. Selalu ada update dan selalu ada sesuatu yang baru dari game ini. Juga, karena League of Legends adalah game yang membuat saya merasakan dunia kompetitif esports. Selain itu, saya juga masih punya mimpi untuk dapat bermain di World Championship bersama nama-nama besar di dunia kompetitif League of Legends dan membawa nama Indonesia ke sana.”

Flickr League of Legends Esports Indonesia. Foto - Hazmi Iskandar
SEGA (kanan bawah) yang sempat bermain untuk tim Armored Projects, dan bertanding untuk kompetisi Hyperplay 2018. Flickr LoL Esports Indonesia – Foto Oleh Hazmi Iskandar

SEGA lalu juga menceritakan bagaimana keadaan komunitas LoL, dari sudut pandangnya sebagai pemain kompetitif. “Kalau harus jujur, saya merasa League of Legends PC sudah hampir menuju dead game. Esports di kancah lokal sudah hampir tidak ada, turnamen sangat jarang, ditambah lagi ada PSBB yang membuat banyak warnet tutup. Banyak orang, termasuk saya, jadi enggak bisa main, kompetisi liga juga enggak ada. Mungkin harapan bagi komunitas LoL Indonesia tinggal PCS Asia Pasifik, turnamen dari sponsor, dan turnamen dari komunitas saja.” jawab SEGA membahas nasib ekosistem kompetisi LoL Indonesia kini.

Menutup obrolan singkat kami, saya juga menanyakan pandangan Adit terhadap kehadiran Wild Rift. Adit SEGA mengatakan bahwa dia dan rekan satu timnya memang sudah berencana untuk mencoba peruntungan pada game Wild Rift sejak dari satu tahun yang lalu. “Aku enggak yakin LoL PC masih akan hidup di Indonesia bila Wild Rift sudah mulai aktif. Apalagi pasar game SEA dan Indonesia memang cenderung ke arah mobile. Untuk saat ini aku sudah dapat akses CBT Wild Rift. Baru 3 hari main, tapi kebetulan sudah sampai tier Gold sih… Hehe.” Cerita Adit memberikan pandangannya soal masa depan LoL PC dan perjalanannya.

 

Walaupun sudah ditinggal selama satu tahun oleh Garena Indonesia, namun cukup menarik melihat ekosistem League of Legends masih memiliki bagian-bagian yang cukup lengkap. Dari wawancara saya, Anda bisa lihat sendiri bahwa LoL Indonesia masih punya 3 elemen yang cukup penting, yaitu media, streamer, sampai pemain kompetitif.

Namun demikian tanpa ada dukungan apapun dari publisher ataupun developer, LoL PC di Indonesia seakan jadi mati suri. Contoh nyatanya seperti cerita perjuangan Edel untuk membuat nobar Worlds 2019, Aganov Boris yang dengan jujur mengatakan kecilnya pendapatan yang ia dapat sebagai streamer League of Legends, sampai cerita SEGA yang wadah pertandingannya semakin terkikis.

Apakah LoL PC sebagai sebuah ekosistem mandiri punya masa depan? Sepertinya tidak akan ada harapan jika keadaan terus seperti ini sampai bertahun-tahun ke depan. Gamenya masih akan tetap ada, tapi kita mungkin tidak bisa berharap apapun soal esports ataupun dukungan publisher.

Namun tiga narasumber tersebut sepakat, bahwa Wild Rift diharapkan bisa menjadi energi baru bagi kecintaan mereka terhadap League of Legends. Terlepas dari semua itu, saya merasa Garena Indonesia telah melakukan tugasnya dengan baik dalam mengembangkan League of Legends di Indonesia. Tanpa Garena Indonesia, mungkin tidak akan ada orang-orang di atas menjadi narasumber saya. Bahkan mungkin, tidak ada kenangan manis atas keseruan esports, bermain bersama, ataupun berkomunitas di League of Legends Indonesia. Terima kasih League of Legends, mungkin memang sudah saatnya game ini beristirahat dan perjuangannya di Indonesia diteruskan oleh Wild Rift.

Bagaimana Industri Esports dan Musik Saling Bersinggungan

Esports kini telah menjadi industri besar. Diperkirakan, valuasi industri esports tahun ini akan menembus US$1 miliar. Jadi, jangan heran jika semakin banyak perusahaan besar yang tertarik untuk terjun ke dunia esports. Perusahaan non-endemik sekalipun menunjukkan ketertarikan dengan esports, mulai dari merek minuman seperti Coca-Cola sampai perusahaan pembuat mobil seperti Lamborghini.

Bagi perusahaan non-endemik, esports biasanya menjadi bagian dari strategi marketing mereka, alat untuk memperkenalkan merek mereka pada audiens esports, yang biasanya masih muda. Memang, salah satu alasan mengapa industri esports bisa tumbuh begitu pesat adalah karena konten competitive gaming dipercaya akan menjadi hiburan generasi berikutnya.

Sebagai bagian dari industri hiburan, game dan esports tentu saja memiliki persinggungan dengan aspek lain dari dunia entertainment, seperti musik dan film. Banyaknya game yang diadaptasi ke film merupakan salah satu bukti dari hal itu. Bukti lainnya, semakin banyak kerja sama antara pelaku industri musik, mulai dari musisi sampai perusahaan streaming musik, dengan pelaku industri esports. Berikut pembahasan tentang sejumlah pelaku industri musik yang memutuskan untuk terjun ke esports.

 

Perusahaan Streaming Musik di Esports

Spotify menjadi salah satu perusahaan di dunia musik yang memutuskan untuk masuk ke industri esports. Mereka menjajaki dunia esports melalui kerja sama dengan Riot Games berupa sponsorship berbayar. Melalui kerja sama ini, Spotify resmi menjadi rekan streaming musik dan audio resmi dari berbagai kegiatan esports League of Legends, termasuk World Championship, Mid-Season Invitational, dan All-Star Event.

Apa artinya? Spotify akan memiliki bagian khusus LoL Esports yang berisi musik, playlist, dan podcast terkait League of Legends. Podcast tersebut tidak hanya membahas tentang cerita di belakang layar dari kompetisi League of Legends, tapi juga mengenai pembuatan original soundtrack League of Legends World Championship. Memang, dari tahun ke tahun, Riot selalu menyiapkan sejumlah lagu sebagai soundtrack dari League of Legends Worlds, sama seperti Piala Dunia.

KDA adalah girl band virtual buatan Riot Games. | Sumber: Polygon
KDA adalah girl band virtual buatan Riot Games. | Sumber: Polygon

Pada 2018, Riot Games bahkan memperkenalkan virtual girl band bernama K/DA, yang terdiri dari 4 karakter League of Legends, yaitu Ahri, Akali, Evelynn, dan Kai’Sa. Ketika itu, Riot mengaku, tujuan mereka membuat K/DA adalah karena mereka ingin serius dalam menggarap konten musik terkait League of Legends. Ambisi Riot tersebut tak padam sampai sekarang. Salah satu buktinya, Riot akan menampilkan K/DA bersama hero baru LoL, Seraphine, untuk menyanyikan lagu baru di League of Legends World Championship.

Spotify bukan satu-satunya perusahaan musik yang melibatkan diri dalam industri esports, TikTok juga cukup aktif di dunia esports. Memang, TikTok lebih dikenal sebagai media sosial. Namun, media sosial ini juga identik dengan berbagai lagu catchy yang digunakan oleh para penggunanya.

Salah satu bentuk keterlibatan TikTok dalam dunia esports adalah dengan mengadakan turnamen esports tingkat mahasiswa bernama TikTok Cup. Tak hanya itu, TikTok juga pernah bekerja sama dengan beberapa pelaku industri esports, seperti Riot Games dan ESL.

Riot Games menggandeng TikTok untuk meluncurkan “GIANTS”, lagu original yang dibawakan oleh grup hip-hop virtual, True Damage. Sementara itu, ESL berkolaborasi dengan TikTok untuk menampilkan highlight dari turnamen profesional Counter-Strike: Global Offensive dan konten esports secara umum. Di Indonesia, TikTok punya kerja sama dengan WHIM Indonesia, perusahaan manajemen influencer di bawah EVOS Esports. Tujuan WHIM menjadikan TikTok sebagai rekan adalah untuk mengembangkan bisnis influencer mereka.

TikTok bekerja sama dengna WHIM Indonesia milik EVOS. | Sumber: Esports Bureau
TikTok bekerja sama dengna WHIM Indonesia milik EVOS. | Sumber: Esports Bureau

Para streamer dan organisasi esports juga menggunakan TikTok untuk menjangkau Gen Z. Di Indonesia, beberapa organisasi esports yang punya akun resmi TikTok antara lain EVOS, Bigetron, dan ONIC. Sementara di mancanegara, Team SoloMid, 100 Thieves, dan G2 Esports merupakan contoh organisasi esports yang aktif di TikTok.

 

Kolaborasi Musisi dengan Esports

Pihak yang berkolaborasi dengan pelaku industri esports tak melulu perusahaan musik, tapi juga musisi dan grup musik. Minggu lalu, PUBG Mobile mengumumkan kerja samanya dengan grup girl band asal Korea Selatan, Blackpink. Tak lama setelah pengumuman itu, PUBG Mobile mengungkap ID dari masing-masing anggota Blackpink. Selain itu, PUBG Mobile kini juga memiliki kotak airbox bertema Blackpink dan pesawat berwarna pink.

Kali ini bukan pertama kalinya PUBG Mobile berkolaborasi dengan Blackpink. Pada Juli 2020, para pemain bisa mendengar lagu Blackpink “Playing with Fire” di beberapa lokasi pada peta PUBG Mobile.

Selain Blankpink, PUBG Mobile juga pernah bekerja sama dengan DJ Alan Walker. Tahun lalu, satu hari sebelum lagu “On My Way” dirilis secara global, lagu tersebut sudah muncul terlebih dulu di PUBG Mobile. Tak hanya itu, Walker juga tampil di PUBG Mobile Club Open Spring Split Global Finals, yang diadakan di Berlin, Jerman. Dia bahkan ikut serta dalam pertandingan showmatch. Dia kembali bekerja sama dengna PUBG Mobile dalam lagu “Live Fast”.

Sementara itu, Epic Games baru saja mengumumkan bahwa boy band BTS akan merilis video musik barunya, “Dynamite”, di Fortnite pada 25 September 2020. Tak cukup sampai di situ, Epic juga memperkenalkan 2 emote baru, yang koreografinya dibuat oleh BTS sendiri. Sebelum menggandeng BTS, Epic juga pernah mengundang Marshmello dan Travis Scott untuk mengadakan konser virtual di Fortnite.

BTS akan merilis video lagu terbarunya di Fortnite.
BTS akan merilis video lagu terbarunya di Fortnite.

Fortnite memang dikenal sebagai game battle royale. Namun, Epic juga tertarik untuk menyajikan konten musik di Fortnite. Mereka bahkan membuat studio high-tech di Los Angeles sebagai tempat untuk konser live yang akan ditayangkan di Fortnite. Pada April 2020, Epic juga memperkenalkan peta baru Party Royale Island. Seperti namanya, di sini, para pemain didorong untuk berpesta dan bukannya membunuh satu sama lain. Biasanya, di pulau inilah konser virtual para musisi diadakan.

Kepada The Verge, Head of Global Partnerships, Fortnite, Nate Nanzer mengungkap bahwa Epic memang ingin menjadikan Party Royale Island sebagai tempat bagi para musisi untuk mengadakan konser virtual. “Musisi yang tengah melakukan tur mungkin tertarik untuk melakukan konser di Fortnite,” ujarnya. “Karena konser virtual ini memungkinkan para musisi untuk tampil di depan audiens yang tidak bisa mereka temukan saat mengadakan konser biasa.”

Pada pertengahan September 2020, Epic mengundang Dominic Fike untuk mengadakan konser live di Fortnite. Sementara pada minggu lalu, mereka mengundang Anderson .Paak. Ke depan, Epic akan mengajak lebih banyak musisi untuk tampil di pangung virtual dalam game mereka.

Untuk masuk ke dunia esports, seorang musisi tak harus bekerja sama dengan publisher game. Ada juga musisi yang memilih untuk menjadi investor dari organisasi esports. Misalnya, rapper Kiari Kendrell Cephus alias Offset yang berinvestasi di Faze Clan atau Kim Hee-Chul, anggota Super Junior, yang mengucurkan dana ke BRION E-Sports agar tim itu bisa ikut berlaga dalam League of Legends Champions Korea.

 

Bagaimana dengan Musisi Indonesia?

Tren musisi terjun ke dunia esports juga terjadi di Indonesia. Buktinya, muncul sejumlah musisi ternama yang melibatkan diri dalam esports, baik dengan membuat organisasi esports, badan esports, atau ikut membuat konten gaming. Ariel dari Noah jadi contoh musisi yang membuat organisasi esports. Pada Januari 2020, dia memperkenalkan The Pillars. Tim pertama dari organisasi tersebut berlaga di Free Fire Master League dengan nama The Pillars Claymore.

Pelaku industri musik lain yang ikut terjun ke esports adalah Reza Oktavian (Arap). Pria yang dikenal sebagai DJ, musisi, YouTuber, dan streamer ini cukup aktif dalam membuat konten gaming. Tak hanya itu, dia juga sempat membentuk tim esports WAW Esports. Pada Februari 2020, dia mengumumkan terbentuknya MORPH Team, yang merupakan hasil kolaborasinya dengan BUBU.com. Tim PUBG Mobile MORPH Team terdiri dari 3 pemain mantan WAW Esports dan 1 pemain mantan EVOS Esports.

Giring Ganesha, vocalis band Nidji, juga aktif dalam dunia esports. Namun, bukan organisasi esports yang dia dirikan, tapi Indonesia Esports Premier League (IESPL), penyelenggara turnamen esports. Menurut Kumparan, salah satu alasan Nidji tertarik masuk ke dunia esports adalah karena anaknya, Zidane, punya impian untuk menjadi pemain game profesional.

 

Penutup

Layaknya kacang goreng, esports kini tengah laku keras. Pandemi juga membuat semakin banyak orang sadar dengan keberadaan industri esports. Jadi, tak aneh jika ada banyak perusahaan dari berbagai bidang yang tertarik untuk menjalin kerja sama dengan pelaku esports, termasuk musisi dan perusahaan musik. Buktinya, semakin banyak kolaborasi antara industri musik dan industri esports. Sebaliknya, perusahaan game seperti Riot Games dan Epic Games juga semakin serius dalam menyediakan konten musik dalam game mereka.

Di satu sisi, tidak semua orang akan merasa senang akan kolaborasi antara pelaku industri esports dan musik. Misalnya, sebagian fans PUBG Mobile protes akan keputusan mereka untuk bekerja sama dengan Blackpink. Di sisi lain, kerja sama antara pelaku esports dan musik akan membuat industri hiburan terus berevolusi, memunculkan berbagai hal baru, seperti konser virtual yang Epic adakan di Fortnite. Siapa tahu, konser virtual di game akan menjadi hal biasa di masa depan.

Pembagian Grup League of Legends World Championship 2020

Setelah beberapa saat, yang ditunggu-tunggu dari League of Legends World Championship 2020 akhirnya datang juga. Hal tersebut adalah pembagian grup pertandingan. 22 tim peserta League of Legends World Championship akan dibagi ke dalam beberapa grup, untuk memulai pertandingan.

Pertandingan akan dimulai dari babak grup Play-In terlebih dahulu. Mengutip dari pengumuman yang dilakukan pada 25 Agustus 2020 lalu, babak grup Play-In akan diselenggarakan mulai 25 September 2020 mendatang.

Babak Play-In mempertandingkan 10 tim yang berasal dari: fourth seed LPL Tiongkok dan LEC Eropa, third seed LCS Amerika Serikat, second seed PCS Taiwan/Hong Kong/SEA, first seed CBLOL Brazil, LCL region CIS, LJL Jepang, LLA Amerika Latin, OPL Oseania, dan TCL Turki. Berikut pembagian grup untuk babak play-in.

Group A

  • Team Liquid (LCS Amerika Serikat)
  • MAD Lions (LEC Eropa)
  • Legacy Esports (OPL Oseania)
  • Papara SuperMassive (TCL Turki)
  • INTZ Esports (CBLOL Brazil)

Group B

  • LGD Gaming (LPL Tiongkok)
  • PSG Talon (PCS Taiwan/Hong Kong/SEA)
  • V3 Esports (LJL Jepang)
  • Unicorns of Love (LCL region CIS)
  • Rainbow7 (LLA Amerika Latin)

Sementara itu untuk babak grup sendiri akan mempertandingkan 16 tim, dengan komposisi berupa 12 tim dari undangan langsung, dan 4 tim terbaik dari babak Play-In. Semua tim tersebut dibagi menjadi empat grup, dan akan bertanding secara Double Round-Robin dalam seri Best-of one. Dua tim terbaik dari masing-masing grup akan melaju ke babak selanjutnya, yaitu babak Knock Out. Babak grup dimulai 3 Oktober mendatang, berikut pembagian grup untuk League of Legends World Championship 2020:

Group A

  • G2 Esports (LEC Eropa)
  • Suning (LPL Tiongkok)
  • Machi Esports (PCS Taiwan/Hong Kong/SEA)
  • Slot play-in

Group B

  • Damwon Gaming (LCK Korea Selatan)
  • JD Gaming (LPL Tiongkok)
  • Rogue (LEC Eropa)
  • Slot play-in

Group C

  • Team SoloMid (LCS Amerika Serikat)
  • Fnatic (LEC Eropa)
  • Gen.G (LCK Korea Selatan)
  • Slot play-in

Group D

  • Top Esports (LPL Tiongkok)
  • DragonX (LCK Korea Selatan)
  • FlyQuest (LCS Amerika Serikat)
  • Slot play-in
Foto oleh Michal Konkol - Riot Games
Dapatkah Rekkles merebut tahta sebagai tim League of Legends terbaik dunia pada tahun ini? Foto oleh Michal Konkol – Riot Games

Jika melihat dari pembagian grup ini, Grup C sepertinya akan menjadi salah satu yang paling panas, melihat daftar tim yang ada di dalamnya. Rekkles dan kawan-kawan Fnatic merupakan runner-up pada World Championship 2019 lalu. Lalu Doublelift dan kawan-kawan Team SoloMid juga bisa dibilang sebagai salah satu tim yang kuat, walau belum bisa membuktikan kemampuan sesungguhnya. Gen.G? Tim League of Legends Korea Selatan belakangan sedang mengalami penurunan kemampuan. Terlepas dari itu, tim lain tentu tidak bisa meremehkan kawasan yang dahulu berhasil menjadi pemenang Worlds 3 kali berturut-turut.

Bagaimana? Sudah siap untuk aksi pemain League of Legends terbaik dunia?

Lakukan Konsolidasi, Astralis Group Ubah Nama Tim League of Legends Origen

Astralis Group dikenal dengan tim Counter-Strike: Global Offensive mereka, yang memiliki nama yang sama. Dalam 3,5 tahun terakhir, tim tersebut telah memenangkan 4 turnamen Major, menjadikan mereka sebagai salah satu tim CS:GO terbaik di dunia. Selain tim CS:GO, Astralis Group juga punya tim League of Legends bernama Origen dan tim FIFA yang dinamai Future FC. Astralis Group baru mengumumkan bahwa mereka akan melakukan konsolidasi dan mengubah nama Origen dan Future FC menjadi Astralis.

“Dalam beberapa tahun belakangan, jumlah fans dari tim-tim kami terus tumbuh. Khususnya, tim Astralis, yang juga dikenal di luar dunia esports,” kata CEO Astralis Group, Anders Horsholt, menurut laporan ESPN. “Dengan melakukan konsolidasi, hal ini akan menjadikan kami sebagai salah satu organisasi esports paling penting dalam dunia esports yang terus tumbuh. Tak hanya itu, kami juga akan memproduksi lebih banyak merchandise untuk fans.”

Astralis Group konsolidasi
Tim League of Legends Astralis Group, Origen, berlaga di LEC. | Sumber: Inven Global

Pada 2018, Astralis Group mengakuisisi tim League of Legends, Origen. Mereka juga menggandeng pendiri Origen, Enrique “xPeke” Cedeño Martinez. Ketika itu, mereka juga meminta bantuan dari mantan pemain profesional dan mantan broadcaster League of  Legends European Championship (LEC), Martin “Deficio” Lynge untuk membantu mereka mendapatkan slot di LEC.

Setelah mengakuisisi Origen, Astralis memutuskan tidak mengubah nama tim tersebut. Tujuannya adalah untuk mempertahankan fans Origen. Hanya saja, sepanjang 2020, performa Origen di LEC tidak sebaik ketika tim tersebut lolos ke League of Legends World Championship pada 2015. Pada LEC Summer Split 2020, Origen menempati posisi ke-10. Karena itu, Astralis Group memutuskan untuk melakukan rebranding dan mengubah nama Origen menjadi Astralis.

Melalui konsolidasi ini, xPeke tak lagi turun tangan dalam menangani tim Origen. Meskipun begitu, dia masih akan tetap menjadi pemegang saham di Astralis Group. Selain mengumumkan rencana konsolidasi, Astralis Group juga memperkenalkan struktur media sosial dan program media baru, serta merchandise baru untuk para fans.

Astralis Group merupakah salah satu organisasi esports yang telah melakukan penawaran saham perdana alias IPO. Pada Maret 2020, mereka merilis laporan keuangan pertama mereka. Hasilnya, mereka masih mengalami kerugian  sebesar €4,6 juta (sekitar Rp74,8 miliar). Namun, laporan keuangan tersebut masih dianggap “memuaskan” karena memang sesuai dengan perkiraan sebelumnya.