Proyeksi Pertumbuhan Industri Legaltech di Indonesia

Industri jasa hukum dikenal cukup konvensional dengan kebutuhan akan paperwork dan regulasi yang ketat. Hal itu menyebabkan terjadinya stagnasi atas inovasi di industri tersebut. Kompetisi yang terjadi hanya berkisar pada pertarungan harga dan kualitas, namun minim kreativitas karena sudah nyaman dengan pola kerja tradisional.

Hal ini menciptakan peluang baru bagi inovasi di sektor ini. Produk inovasi teknologi di industri jasa hukum inilah yang  dikenal secara luas dengan sebutan legaltech. Legaltech sendiri berkaitan erat dengan Regtech, smart legal tool yang menggunakan teknologi inovatif untuk membantu masyarakat dan bisnis pada umumnya memahami dan patuh terhadap peraturan yang berlaku.

Pada tahun 2017, para penggiat legaltech dan regtech di Indonesia sudah menginisiasi pembentukan asosiasi yang dinamai Asosiasi Regtech dan Legaltech Indonesia (Indonesian Regtech and Legaltech Association IRLA). Ketika itu IRLA masih beranggotakan 10 startup hukum. Asosiasi ini bertujuan untuk memungkinkan kolaborasi antara setiap institusi yang mengejar inovasi teknologi dalam regulasi dan bisnis legal. Selama dua tahun berdiri, asosiasi ini relatif belum menuai dampak signifikan, disinyalir karena anggota yang masih sedikit dan kesibukan bisnis masing-masing.

Lalu di tahun 2019, asosiasi pertama di Asia Tenggara yang menghubungkan ekosistem legaltech atau startup digital yang bergerak di bidang hukum di seluruh kawasan, ASEAN LegalTech resmi diperkenalkan di Indonesia. Terdapat 88 startup legaltech di seluruh Asia Tenggara, 21 di antaranya berasal dari Indonesia.

Tantangan dan peluang

Berbicara mengenai tantangan, perkara hukum memang belum bisa sepenuhnya dilakukan secara digital. Meskipun sudah banyak startup yang menawarkan layanan digital, namun dalam beberapa aspek masih harus menggunakan cara tradisional. Selain itu, kondisi pasar yang belum siap menerima perkembangan teknologi turut menjadi salah satu beban tersendiri.

Dalam Global Legal Tech Report yang disusun Australian Legal Technology Association dan Alpha Creates, pandemi COVID-19 adalah tantangan teratas bagi perusahaan legaltech di seluruh dunia.

Sumber: ASEAN Legal Tech
Sumber: ASEAN Legal Tech

 

Legaltech untuk UMKM

Hukum itu melekat di setiap fase kehidupan masyarakat maupun entitas, termasuk UKM. Stigma terhadap jasa legal yang mahal serta kurangnya pemahaman terhadap dokumen-dokumen legal menjadi alasan kuat bagi para pelaku UKM untuk mengesampingkan urusan legal. Ini menjadi pasar yang menarik untuk dipecahkan startup legaltech.

Founder Lexar.id Ivan Lalamentik mengatakan, “Menurut kami, hal yang menjadi tantangan terbesar terhadap UKM terkait legal issue adalah membangkitkan kesadaran akan pentingnya legalitas perusahaan yang dimulai sejak awal berdirinya perusahaan. [..] Banyak dari pelaku UKM yang menganggap pendaftaran merek sebagai suatu biaya, padahal merek dagang itu merupakan aset yang tidak berbentuk (intangible asset) dan bilamana merek-merek tersebut belum didaftarkan, maka bisa menimbulkan risiko yang lebih besar.”

Dukungan lain juga disalurkan Justika, bagian Hukumonline yang fokus menggarap segmen UKM, dengan melakukan kerja sama strategis dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) untuk Program Konsultasi Hukum Gratis, yang melibatkan 100 advokat dari 40 kantor firma hukum ternama dari berbagai kota dan keahlian.

Masa depan legaltech di Indonesia

Pandemi COVID-19 telah menunjukkan perlunya firma hukum dan tim internal untuk berinovasi lebih jauh dan menemukan metode yang tepat untuk memberikan layanan terbaik.

Ivan, yang juga menjabat sebagai First Deputy Chairman di IRLA mengungkapkan, “Secara umum Legaltech pasti akan berkembang lebih pesat lagi dan menurut saya, UKM akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dengan kemajuan tersebut karena terus mengalami pasang surut  di tengah masa pandemi Covid-19. [..] Terlebih lagi, sejak akhir 2020 kemarin, pemerintah telah menerbitkan UU Cipta Kerja, yang kami rasa akan berdampak positif kepada UKM, sehingga potensi market semakin membesar.”

Selain didukung perubahan perilaku konsumen, yang menyebabkan disrupsi teknologi lebih cepat terjadi, pandemi Covid-19 juga membawa dampak yang besar bagi perkembangan teknologi khususnya di bidang hukum. Bekerja dari rumah menjadi tantangan tersendiri dalam mengawasi dan memperbarui setiap regulasi yang dikeluarkan Pemerintah selama pandemi.

“Potensi pasar yang masih tersembunyi ini adalah UKM, jadi kami berharap dengan adanya teman-teman di industri legaltech dan oleh Kontrak Hukum khususnya, kami bisa lebih membantu dan mencapai para pelaku ekonomi UKM nasional, menaikkan kelas usaha mereka melalui legalitas dan meningkatkan akses dan kapabilitas mereka di era digital ini,” tutup Founding CEO KontrakHukum Rieke Caroline.

Berbagai Tips Urusan Legal yang Patut Disimak Startup Indonesia

Mendirikan sebuah startup dan menghadirkan solusi dan layanan yang tepat guna merupakan hal yang penting, tapi bukan satu-satunya. Selain fokus di urusan teknis, startup perlu mulai peduli dengan urusan legal agar tidak tersandung masalah di kemudian hari.

Founder Lexar Ivan Lalamentik menjelaskan, startup yang lalai dalam pengurusan dokumen hukum akan kesulitan mengakses berbagai fasilitas yang tersedia, seperti akases pembiayaan, investasi, pendaftaran hak kekayaan intelektual dan lainnya. Hal ini karena pengurusan dokumen legal merupakan syarat pertama untuk menjadikan perusahaan startup menjadi profesional dan bisa menjalin hubungan hukum dengan pihak ketiga.

“Biasanya, startup tidak mengetahui kebutuhan startupnya sendiri sehingga terkendala dalam melihat perizinan yang tepat. Hal ini biasanya karena model bisnis yang masih belum jelas di awal, atau sudah jelas namun salah dalam memilih Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) untuk keperluan kode di perizinannya,” terang Ivan.

Hal senada disampaikan Founder dan CEO Legalku M. Philosophi. Menurutnya, ketika suatu startup lalai atau mengesampingkan perkara legalitas, ada hal-hal yang bakal menjadi ancaman serius, seperti kehilangan momentum untuk mendapat tambahan modal, duplikasi bisnis sejenis oleh kompetitor, pengambilalihan merk dagang, gugatan perdata dan pidana ke pendiri karena startup dianggap sebagai usaha ilegal, hingga paling parah pembekuan dan penutupan usaha.

“Dari pengalaman yang kami dapatkan di lapangan, sebagian besar pendiri startup masih awam untuk mengetahui perizinan yang tepat untuk usaha yang dijalaninya. Ketidaksesuaian izin yang mereka miliki dengan bidang usaha yang tercatat di akta dan sedang berjalan menjadi penghambat bahkan masalah baru dalam menjalankan bisnis,” terang Philosophi.

(Ka-ki) Sofiarini (Finance Mgr.), Himawan Hadi (CFO), Muhamad Philosophi (Founder & CEO), Jasman Effendi (Operational Mgr.) / Legalku
(Ka-ki) Sofiarini (Finance Manager), Himawan Hadi (CFO), Muhamad Philosophi (Founder & CEO), Jasman Effendi (Operational Manager) / Legalku

Mendirikan PT

Untuk membantu bisnis startup bergerak dengan cepat sudah seharusnya startup berada di bawah nuangan perusahaan terbatas atau PT. Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan sebelum para pendiri memutuskan untuk membuat PT, di antaranya adalah perjanjian kerja sama antar pendiri usaha yang berfungsi untuk mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab dari masing-masing pendiri. Semacam dokumen komitmen bersama.

Selanjutnya itu dokumen-dokumen yang dibutuhkan antara lain:

  • Data identitas Pengurus dan Pemegang Saham. Berupa KTP dari pemegang saham dan juga NPWP.
  • Nama PT. Sesuai dengan UU PT Nomor 40 tahun 2007 nama PT terdiri dari tiga suku kata dengan wajib menggunakan Bahasa Indonesia.
  • Domisili PT. Khususnya untuk wilayah DKI Jakarta, domisili PT harus berada di kawasan zona perkantoran atau campuran. Sedangkan untuk wilayah lainnya disesuaikan dengan Perda masing-masing. Sebagai alternatif, domisili PT juga bisa menggunakan alamat virtual offfice. Untuk domisili ini dibuktikan juga dengan bukti sewa atau kontrak kantor atau keterangan domisili dari pengelola gedung jika berdomisili di gedung perkantoran.
  • Bidang Usaha. Ini disesuaikan dengan Klasifikasi Buku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2017.
  • Susunan Modal Dasar dan Modal Setor. Sesuai dengan Undang-Undang PT nomor 40 tahun 2007 modal dasar PT minimal sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan modal setor minimal 25% dari modal dasar atau sejumlah Rp 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah).
  • Susunan Pemegang Saham. Minimal dua pemegang saham.
  • Susunan Pengurus. Terdiri dari minimal satu Komisaris dan satu Direktur.

“Startup harus mengetahui jenis badan usaha dan badan hukum yang tepat untuk memulai usahanya dan dikaitkan dengan target yang ingin dicapai startup. Status hukum perusahaan yang sesuai ini akan berhubungan dengan proses perizinan yang nantinya akan lebih mudah dalam persiapan dokumennya dibandingkan jika startup masih belum memiliki tujuan bisnis yang jelas,” tambah Ivan.

Ivan Lalamentik - Founder - LEXAR.id
Ivan Lalamentik – Founder dan CEO LEXAR.id

Tentang Hak Kekayaan Intelektual

Supaya tidak keliru, Hak Kekayaan Intelektuan terbagi menjadi tiga, yaitu Merk Dagang (Barang atau Jasa), Hak Cipta dan Hak Paten.

Kategori Hak Cipta Hak Paten Hak Merk
Definisi Hak Ekslusif Pencipta untuk mempubliasikan,
memproduksi dan memberi izin pemanfaatan suatu karya cipta
Hak Ekslusif Inventor karena penemuan
untuk pemecahan masalah yang spesifik
di bidang teknologi berupa penyempurnaan dan/atau
pengembangan produk atau proses
Hak Eksklusif yang terdaftar
dalam daftar umum merk
Wujud Hak Ekonomis dan moral Ekonomis dan Moral Ekonomis dan Moral
Sumber Karya Kemampuan pikiran, imajinasi, cekatan, keterampilan,
atau keahlian
Suatu hasil invensi yang berwujud, memiliki konfigurasi,
kontraksi, dan komponen (paten sederhana)
Suatu hasil karya yang memiliki pembeda
dan diwujudkan dalam unsur gambar,
warna, kata, huruf, angka, dan kombinasi

Khusus untuk merk dagang, yang perlu dipersiapkan adalah logo dan penamaan merk yang ingin didaftarkan, penentuan kelas merk dapat dilihat pada sistem Klasifikasi Merek pada portal Sistem Klasifikasi Merek Ditjen HKI.

Untuk dokumen-dokumen, yang perlu dipersiapkan untuk hak cipta atas nama perorangan:

  • Surat kuasa ditandatangani di atas materai
  • Surat pernyataan keaslian karya
  • NPWP
  • Sampel Karya

jika hak cipta atas nama perusahaan:

  • Surat pengalihan hak dari pembuat karya kepada pemegang hak cipta
  • NPWP perusahaan
  • Akta perusahaan
  • Fotokopi KTP pemohon dan pencipta karya

Persiapan sebelum pendanaan

Ivan menjelaskan, secara umum calon investor akan melakukan due diligence, termasuk aspek hukum. Yang diminta dari due diligence tersebut biasanya akta pendirian beserta perubahannya, perizinan usaha, dan legalitas lain seperti perjanjian dan lainnya. Selanjutnya juga harus ada dokumen shareholders agreement.

“Dokumen ini untuk mengetahui seberapa besar kontrol masing-masing pemegang saham terhadap bisnis Anda. Namun, jika shareholders agreement belum pernah dibuat, maka penting bagi Anda dan investor baru untuk membuatnya. Di dalam perjanjian ini, Anda harus menjelaskan secara detail mengenai ketentuan-ketentuan umum, seperti hak dan kewajiban pemegang saham, pembagian dividen, hak suara, pengalihan saham, perlindungan bagi pemegang saham,” terang Ivan.

Philosophi menambahkan, biasanya beberapa dokumen lain juga harus disiapkan, seperti dokumen finansial (salinan rekening koran perusahaan 3-6 bulan terakhir, bukti setor pajak, laporan keuangan tahun berjalan), dokumen operasional (perjanjian ketenagakerjaan, perjanjian kemitraan, vendor agreement, traksi atas usaha), dan dokumen pelengkap dan rencana usaha seperti rencana selanjutnya, inovasi, dan target-target lainnya.

“Mengapa dokumen tersebut dipersiapkan? karena hampir 70% investasi gagal dalam proses due diligence atau dengan kata lain saat pengecekan dokumentasi. Jika investasi berlanjut dalam kondisi perusahaan tidak memiliki dokumen lengkap, maka konsekuensi yang muncul adalah nilai tawar perusahaan akan semakin rendah,” imbuh Philosophi.

Tips legal untuk startup

Ivan menekankan, setiap pendiri startup harus memiliki pengetahuan mendalam terkait jenis badan usaha dan badan hukum yang tepat untuk memulai usahanya. Sementara Philosophi menyoroti bagaimana mindset pendiri startup menjadi dasar untuk memudahkan melengkapi dokumen legal di kemudian hari.

“[Menurut] Mindset banyak pendiri startup saat ini, legal merupakan biaya yang tidak relevan dengan keuntungan usaha. Maka mindset harus diubah menjadi ‘Legal is protection act, if you think compliance is expensive, try not comply.‘ Quotes ini dapat dianalogikan seperti anda memiliki teralis untuk jendela rumah Anda. Jika Anda membandingkan dengan kondisi rumah yang aman, maka teralis itu merupakan biaya yang tidak perlu, namun jika Anda membandingkan dengan kondisi rumah yang telah dirampok hingga mengancam jiwa pemilik rumah, maka biaya teralis tersebut hanya biaya kecil untuk mencegah perampokan tersebut,” terang Philosophi.

Beberapa hal lain, menurut Philosophi, yang juga bermanfaat di kemudian hari untuk urusan legalitas antara lain: pembuatan daftar manajemen risiko untuk mempersiapkan antisipasi risiko yang muncul; mencatat semua hal, baik itu rapat, perjanjian, kesepakatan, atau lainnya; dan yang terakhir memiliki legal counsel yang tepat.

Startup Legaltech Lexar Bantu Pendiri Bisnis Urus Berbagai Perizinan

Aspek legal sering jadi permasalahan serius yang dihadapi pengusaha ketika hendak memulai bisnis, termasuk bagi startup. Hal tersebut yang melatarbelakangi lahirnya Lexar sebagai startup yang bergerak di bidang hukum (legaltech). Didirikan oleh Ivan Lalamentik, visi utamanya menjadi penyedia solusi legal terpadu.

Lexar mulai beroperasi pada 2015 lalu dengan nama awal Startup Legal Clinic dan berganti nama seperti sekarang per April 2018. Keseriusan Lexar menatap bisnisnya seiring dengan keinginan pemerintah untuk mempermudah laju bisnis di Indonesia. Saat ini layanan Lexar dapat diakses melalui platform berbasis web.

Target utamanya kalangan UKM atau startup tahap awal yang masih awam mengenai hukum. Salah satu layanan utama mereka adalah pendirian perseroan terbatas (PT) secara online.

Ivan mengatakan, pada dasarnya Lexar merupakan service provider, bukan marketplace. Dalam hal pendirian PT ini, mereka akan bekerja dengan mitra yang sudah terkurasi. Kecuali tanda tangan dokumen, pengerjaan dokumen, hingga pengurusan ke badan-badan pemerintah terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM serta Direktorat Jenderal Pajak semua dilakukan oleh Lexar tanpa bertatap muka dengan pelanggannya.

Ivan mengklaim Lexar dapat mengerjakan pendirian PT dengan durasi satu hingga dua pekan. Ketika waktu yang dibutuhkan untuk mendirikan PT pada waktu lampau yang bisa mencapai 2-3 bulan, Ivan menyebut tak sedikit pelanggan mereka yang terkejut akan cepatnya layanan legaltech mereka.

“Bahkan pernah rekor kita mengerjakan ini cuma 4 hari,” imbuh Ivan yang juga berperan sebagai Managing Director Lexar.

“Target kita memang ease of doing business. Kita support banget pemerintah punya plan.”

Pemerintah memang berambisi mengerek level kemudahan berbisnis di Tanah Air. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo pada 2016 silam yang menargetkan Indonesia menempati peringkat 40 dalam kemudahan berbisnis (EODB) pada 2020.

Kenyataannya, harapan Jokowi itu belum terkabul. Laporan Bank Dunia tahun ini menunjukkan kemudahan berbisnis Indonesia berada di peringkat 73 dengan skor 69,6. Meskipun skor tersebut naik sedikit dibanding laporan tahun lalu, peringkat Indonesia dalam laporan ini tak bergerak. Kita pun masih tertinggal oleh negara-negara Asia Tenggara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Model bisnis

Lexar memiliki tiga model bisnis yang terdiri dari transaction-based, subscription-based, dan referral. Layanan berdasarkan transaksi ini termasuk salah satu di antaranya pendirian PT tadi.

Lexar membanderol mulai dari Rp9 juta untuk bantuan legal pendirian PT. Layanan lainnya seperti pendirian PT PMA mulai dari Rp5 juta, pengurusan administrasi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Rp3 juta, perlindungan HAKI mulai dari Rp2,5 juta, hingga pengurusan Kartu Izin Tinggal Terbatas Sementara (KITAS) untuk warga negara asing dengan harga Rp13 juta.

Sementara untuk layanan hukum berbasis langganan menurut Ivan lebih ditujukan kepada usaha yang mengalami pertumbuhan cepat sehingga butuh bantuan legal yang memadai.

“Jadi biasanya habis mereka berdiri kita bantuin setup infrastruktur legal mereka sampai akhirnya mereka bisa hire dan lempar ke orang yang akan di-hire nanti, itu model subscription,” lanjut Ivan.

Terakhir, model referral menghubungkan kebutuhan pelanggan dengan penyedia jasa lain yang diperantarai oleh Lexar. Umumnya layanan yang dibutuhkan masih berkaitan dengan pendirian PT semisal mencari kantor virtual atau pembuatan rekening perusahaan. Dari jasanya ini, Lexar akan mendapat imbalan dari transaksi yang terjadi.

Pendanaan

Model bisnis demikian menandakan sejak awal Lexar fokus mencari profit ketimbang membesarkan valuasi perusahaan. Ini sebabnya selama 4 tahun beroperasi status pendanaan Lexar masih bootstrap. Tim mereka pun tergolong ramping.

Kendati begitu, Ivan memastikan Lexar segera menggelar pengumpulan dana untuk seed funding pada bulan depan setelah satu setengah tahun berkiprah sebagai legaltech. Ia mengupayakan investor mereka nanti akan diikuti oleh venture capital, angel investor, firma hukum, ataupun individu yang punya pengaruh dalam industri legal.

“Tapi kita enggak jual ide karena kita sudah ada traksi, sudah ada revenue, sudah ada barang yang sudah jadi,” tegasnya.

Asosiasi Startup Regtech dan Legaltech Terus Berbenah, Setelah Nyaris Mati Suri Dua Tahun

Indonesian Regtech and Legaltech Association (IRLA) merupakan wadah bagi perusahaan berbasis teknologi yang bergerak di bidang hukum. Namun dua tahun sejak berdiri, asosiasi ini relatif belum menuai dampak signifikan. Beranjak dari sana, IRLA berniat melakukan pembenahan untuk mempercepat laju industri di sektor terkait.

Kepada DailySocial, Wakil Ketua IRLA Ivan Lalamentik mengakui, selama hampir dua tahun ini asosiasi cenderung pasif. Kegiatan yang mereka lakukan sejauh ini pun masih sebatas sosialisasi mengenai keberadaan mereka kepada lembaga-lembaga pemerintahan. Menurutnya salah satu sebabnya adalah para anggota yang masih disibukkan dengan bisnis masing-masing.

“Jadi kalau ditanya program yang sudah ada dan impact-nya, saya bisa bilang memang belum [banyak],” ujar Ivan saat ditemui di kantornya.

Menengok kembali visi dan misinya, IRLA mengedepankan pemanfaatan teknologi para anggotanya untuk urusan legal dan regulasi agar meningkatkan kesadaran publik akan kepatuhan hukum. Peran para anggota ini menjadi penting dalam pengembangan inovasi di bidang ini. Semakin banyak pelaku, semakin besar pula kemungkinan inovasi di bidang regtech dan legaltech.

Namun jumlah bukan menjadi perhatian utama dalam iklim bisnis ini. Ivan yang juga Founder & CEO startup legaltech Lexar menilai, jumlah pemain yang terjun di bidang ini belum menghasilkan inovasi yang cukup beragam untuk memecahkan sejumlah masalah di bidang hukum yang dihadapi masyarakat. Ia mencontohkan di Amerika Serikat ada legaltech yang sanggup membantu publik mengurus surat tilang atau menangani kasus perlindungan konsumen.

“Inovasi seperti itu yang sebenarnya banyak banget dari kebutuhan masyarakat tapi belum diakomodasi oleh pemain yang sudah ada,” imbuh Ivan.

Saat ini tercatat ada 10 startup yang sudah bernaung di bawah payung IRLA. Mereka adalah Privy.id, Indexa, Dentons HPRP, eCLIS.id, hukumonline.com, Legal Go, Justika, Kontrak Hukum, Lexar, dan PopLegal. Riset dari ASEAN LegalTech menunjukkan jumlah startup Indonesia yang bergerak di bidang hukum ada di angka 21 unit. Secara garis besar mereka bergerak di koridor legaltech dan regtech dengan fokus di antaranya tanda tangan digital, marketplace konsultasi hukum, pembuatan kontrak hukum, dan banyak lagi.

Kepengurusan baru

Guna mendorong iklim yang lebih matang untuk pelaku startup teknologi di bidang hukum, IRLA mulai berbenah. Mereka membentuk kepengurusan baru dengan perencanaan anyar yang lebih progresif.

Selain melanjutkan sosialisasi ke sejumlah pihak, Ivan menuturkan IRLA berbagai kegiatan lain. Salah satunya adalah menggelar hackathon yang digelar sejak akhir bulan ini hingga pertengahan Desember nanti.

Ivan berharap dampak yang dapat IRLA berikan dapat signifikan di dalam industri. Ia memandang Asosiasi Fintech Indonesia sebagai contoh tepat sebagai patokan pertumbuhan IRLA di masa depan. Dengan masalah-masalah hukum yang masih bertebaran dan ruang inovasi teknologi yang beragam, Ivan yakin masa depan bisnis legaltech dan regtech di Indonesia masih cerah.

“Kalau bisa anggotanya bertambah karena pentingnya asosiasi di early stage ini kan bukan cuma government relations tapi juga nurturing orang-orang yang mau masuk di industri ini biar tahu business opportunity yang bisa dikembangkan seperti apa,” pungkas Ivan.

Template Dokumen “Aksara Nusantara” Bisa Menjadi Referensi Startup Saat Pendanaan Tahap Awal

Firma hukum Makes & Partners merilis template dokumen “Aksara Nusantara” (A Kit of Standard Startups Agreements) untuk referensi umum startup saat proses pendanaan tahap awal (pra seri A dan seri A), agar proses negosiasi bisa lebih singkat dan efisien.

Managing Partner dan Founder Makes & Partners Yozua Makes menjelaskan, Aksara Nusantara lahir karena selama ini terjadi kesenjangan informasi antara founder dan investor dalam proses pendanaan. Akhirnya menyebabkan proses negosiasi memakan waktu lama dan biaya transaksi jadi tinggi.

Menurutnya, hal tersebut terjadi lantaran belum ada standar paket dokumen yang dipakai dalam proses pendanaan tahap awal. Pun demikian banyak founder yang belum memiliki pengalaman dan pengetahuan saat menghadapi kondisi tersebut.

Inspirasi Makes & Partners merilis dokumen tersebut lantaran sejak dua tahun terakhir mereka terlibat dalam pendanaan dari Gojek, Traveloka, PropertyGuru, Zilingo, pendirian Ovo dan WeWork, serta akuisisi Tiket.com.

“Dokumen-dokumen legal ini juga dapat digunakan dalam fundraising internasional dan telah disesuaikan dengan hukum Indonesia, makanya tersedia dalam dua bahasa. Aksara Nusantara merupakan referensi umum dan panduan awal, bukan advis hukum konklusif,” terangnya, kemarin (27/6).

Aksara Nusantara berisi beberapa template umum dokumen-dokumen, seperti Term Sheet, Share Subscription Agreement, Shareholders’ Agreement, Convertible Note Agreement, dan Pledge of Shares Agreement. Semua dokumen ini tersedia dalam bahasa Inggris dan Indonesia dan diunduh secara gratis lewat situs Makes.

Template didesain untuk dapat digunakan dalam semua tahapan pendanaan, terutama seri A. Namun, Yozua menegaskan hanya menjadi sebatas acuan. Perlu ada penyesuaian terhadap masing-masing ketentuan dari setiap dokumen Aksara sesuai dengan kesepakatan komersial para pihak.

Untuk pendanaan seri A ke atas, sebenarnya juga masih bisa mengacu ke Aksara. Akan tetapi, perlu diketahui semakin tinggi tahap pendanaan, makin kompleks pula dokumennya. Terdapat beberapa perubahan yang perlu diaplikasikan dari template.

Dirinya juga berharap template ini bisa menjembatani kepentingan investor dan disaat yang sama juga melindungi hak-hak founder. Pasalnya, karena founder awam dengan aspek legal, seringkali menandatangani ketentuan yang sebenarnya merugikan mereka.

Head of Startup, Venture Capital and Fintech Practice Group Makes & Partners Bernardus Billy menambahkan ada dua hal utama yang menjadi kunci dari pendanaan startup, yakni waktu dan biaya yang efisien. Sebab baik founder dan investor menginginkan prioritas dananya terserap maksimal untuk keperluan pengembangan bisnis startup tersebut.

Pihaknya menggandeng startup legaltech Lexar untuk bantu startup tahap awal dalam menyiapkan dokumentasi legal yang yang diperlukan. Tujuannya agar startup dapat lebih efisien dalam mempersiapkan pendanaannya.

“Aksara Nusantara dapat menjadi salah satu template dokumen sehingga proses fundraising bisa lebih time dan cost efficient. Untuk lebih menekan cost kepada klien startup, kami berkolaborasi dengan Lexar,” tambah Billy.

Aksara Nusantara masih berbentuk beta, ke depannya akan ada banyak pembaruan dari waktu ke waktu berdasarkan perkembangan pendanaan startup di Indonesia. Serta, hasil diskusi dan saran dari VC dan startup yang tergabung dalam working group yang dibentuk Makes.

“Tidak menutup kemungkinan apabila di masa yang akan datang Makes akan menyiapkan tambahan template dokumen Aksara Nusantara jenis lainnya,” tutup dia.

Lexar Umumkan Flash Drive USB 3.0, Dilengkapi Otentikasi Pemindai Sidik Jari

Buat kalian yang kerap menyimpan file penting di flashdisk atau yang menggunakannya untuk mentransfer data pekerjaan, produk baru dari Lexar ini pasti cukup menarik buat Anda.

Mereka telah mengumumkan flash drive USB 3.0 yang dilengkapi dengan otentikasi pemindai sidik jari dan 256-bit AES encryption untuk melindungi konten di dalamnya dari akses yang tidak sah.

Lexar-F35-PR6-256GB_copy

Adalah Lexar JumpDrive Fingerprint F35 USB 3.0 Flash Drive, flashdisk ini bisa merekam hingga sepuluh sidik jari pengguna. Sehingga memungkinkan menjadikannya sebagai media untuk mentransfer data pekerjaan dengan tim secara aman.

Lexar mengklaim bahwa kinerja dalam mengenali sidik jari penggunanya hanya membutuhkan waktu kurang dari satu detik dan memiliki read speed hingga 150 Mbps.

Kompatibel dengan platform Windows, Mac, dan Linux. Namun untuk mengelola sidik jari yang terdaftar, Lexar menyediakan software-nya di Windows.

Lexar JumpDrive Fingerprint F35 USB 3.0 Flash Drive tersedia dalam empat pilihan kapasitas yaitu kapasitas 32 GB dengan harga €29,99 (Rp522 ribuan), kapasitas 64GB seharga €44,99 (Rp784 ribuan), lalu 128 GB di €79,99 (Rp1,3 jutaan), dan kapasitas 256GB dengan harga €149,99 (Rp2,6 jutaan).

Sumber: Dpreview

Lexar Luncurkan Flash Disk USB 3.0 dengan Sensor Sidik Jari

Di titik ini, fitur keamanan biometrik via sensor sidik jari sudah bukan lagi fitur yang eksklusif untuk smartphone flagship. Bertambah banyaknya jumlah ponsel yang memiliki fitur ini pada dasarnya berdampak pada turunnya ongkos produksi yang dibutuhkan untuk membuat sensor sidik jari.

Imbas lebih lanjutnya, kita bisa melihat pemanfaatan sensor sidik jari di perangkat selain ponsel. Perangkat apa kira-kira yang membutuhkan keamanan ekstra? Salah satunya bisa flash disk, dan itu sudah diwujudkan oleh Lexar.

Produsen storage asal Amerika Serikat itu baru saja memperkenalkan Lexar JumpDrive Fingerprint F35. Seperti yang bisa kita cerna dari namanya, keunikan flash disk ini terletak pada sensor sidik jari yang tertanam di salah satu ujungnya. Jadi untuk bisa mengakses isinya, pengguna harus lebih dulu meletakkan salah satu jarinya di atas sensor tersebut.

Lexar JumpDrive Fingerprint F35 USB 3.0

Sensor tersebut dapat mengenali hingga 10 sidik jari, dan proses pendeteksiannya diklaim kurang dari satu detik. Sebagai proteksi lebih lanjut atas data yang tersimpan, Lexar tak lupa menyematkan fitur enkripsi 256-bit.

Sayangnya untuk urusan performa, ia masih terbatasi oleh standar USB 3.0 yang digunakan, dengan kecepatan transfer data maksimum 150 MB/s secara teoretis. Mungkin akan lebih menarik apabila ke depannya Lexar merilis varian yang sudah menggunakan standar USB-C, meski harganya tentu bakal jauh lebih mahal.

Saat ini Lexar JumpDrive Fingerprint F35 sudah dipasarkan dalam tiga varian: 32 GB ($33), 64 GB ($50), dan 128 GB ($90). Varian 256 GB akan menyusul seharga $170. Keamanan ekstra pada sebuah flash disk memang bukan untuk semua orang, apalagi mengingat harganya tergolong cukup mahal.

Sumber: Lexar via 9to5Mac.