Kominfo Buka Kembali Pendaftaran Program 1000 Startup, Akan Lebih Tonjolkan Kualitas

Kementerian Kominfo kembali membuka pendaftaran untuk program pembinaan startup tahap awal dalam Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Rencananya proses tersebut akan berlangsung hingga akhir tahun. Sempat berubah konsep, acara ini kini tak lagi targetkan kuantitas, namun lebih ke kualitas startup binaannya.

“Di tahun ini Gerakan Nasional 1000 Startup Digital hadir dengan strategi, tahapan dan fitur-fitur yang berbeda dari sebelumnya,” jelas Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan.

Gerakan penampilan baru ini membawa konsep untuk perluasan skala dan peningkatan kualitas pengembangan startup digital, termasuk mengajak kementerian dan lembaga lain serta mitra lokal. Tak hanya itu, kurikulum program pun telah direvisi dengan fokus pada inkubasi. Program pembinaan lebih bersifat inklusif.

“Gerakan ini bukan sekolah, tapi merupakan upaya untuk menciptakan ekosistem ekonomi digital. Apalagi di Indonesia masih banyak peluang untuk membuat solusi dari permasalahan sehari-hari sampai masalah kota dan bangsa; mulai dari pertanian, pendidikan, kesehatan dll,” ungkap Stafsus Menteri Kominfo Bidang Ekonomi Digital Lis Sutjiati.

Gerakan Nasional 1000 Startup Digital kembali didukung oleh berbagai institusi pemerintahan, masyarakat dan komunitas termasuk Kumpul yang terpilih menjadi koordinator nasional.

Kegiatan 1000 Startup sebelumnya telah dilaksanakan secara intensif di 10 kota dengan kurun waktu 6 bulan, dengan konsep pembinaan yang menyeluruh, termasuk di dalamnya pembekalan materi, networking, konsultasi terkait bisnis model dan strategi produk marketing, serta inkubasi yang merupakan sesi mentoring mendalam.

Bagi yang berminat bergabung, dapat mendaftarkan diri dengan mengunjungi laman https://participant.1000startupdigital.id.

1000 Startup 2019

Kemkominfo Umumkan “The Next 1001 Startup Digital”

Kementerian Kominfo bersama para penggerak ekosistem digital meluncurkan “The Next 1001 Startup Digital”. Program ini merupakan pembaruan dari Gerakan Nasional 1000 Startup yang sebelumnya sudah dijalankan sejak 2016. Nantinya berbagai lembaga, seperti BUMN dan perusahaan swasta, akan lebih banyak disinergikan dalam suksesi program tersebut.

“Gerakan ini disinergikan dengan program dari lembaga lain seperti BUMN dan perusahaan lainnya. Di masing-masing kota (ada 10 kota yang sudah disinggahi program sebelumnya) rencananya akan didirikan pusat inovasi, pelaku dan kreator lokal dapat berkolaborasi menciptakan solusi bagi kebutuhan masyarakat setempat,” ujar Dirjen Aptika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan.

Jika gerakan sebelumnya menargetkan kuantitas melahirkan 1000 startup, dengan pembaruan visi kegiatan ini lebih ditargetkan untuk menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Menurut Samuel, semua pihak –baik itu telko, komunitas, akademisi, pemerintahan, hingga coworking space—akan diajak berbaur untuk melangsungkan The Next 1001 Startup.

“1001 itu dari angka biner, digital. Kita ada moto, mari kita bangun dengan 1000 mimpi, 1000 karya dan 1000 solusi untuk 1 Indonesia Raya,” ujar Samuel.

Sementara itu Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati menekankan, bahwa keluaran dari program ini nantinya berupa startup yang mampu menyelesaikan isu-isu terkait kebutuhan industri digital. Dengan kualitas lebih baik dan sesuai keinginan investor.

“Program lanjutan 1000 Startup Digital ini akan terus mempertahankan kualitas terbaik, dengan memperbarui mentor, membuat modul pembelajaran secara online, memaksimalkan ide dan bakat yang dimiliki. Dengan harapan dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia,” ujar Lis.

Untuk pengembangan startup sendiri, Kemkominfo menaungi beberapa program. Di tahapan early stage ada program ini. Sementara untuk scaling stage, Kemkominfo juga punya program The Nexicorn, dengan target membawa startup ke pendanaan tingkat lanjut dan menjadi unicorn.

Kemkominfo: Mencetak Talenta Digital Dimulai dari Kurikulum yang “Disruptif”

Indonesia saat ini memiliki empat startup unicorn, yaitu Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Menkominfo Rudiantara sempat memprediksi setidaknya ada dua unicorn baru dalam 2-3 tahun ke depan.

Hal ini menandakan bahwa Indonesia memiliki peluang sangat besar dalam mencetak unicorn baru. Dalam skala besar, Indonesia dapat mengembangkan potensi di bidang ekonomi digital, terutama menghadapi industri 4.0. Namun Indonesia masih terbentur pada kurangnya talenta digital.

“Kita punya potensi ekonomi digital yang besar. Bagaimana unleash-nya? Kita kebanyakan potensi, tetapi kapan jadinya?” ungkap Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati di Pembukaan idEA Works Pro, Kamis (11/4).

Menurutnya, hal ini dapat terjawab apabila Indonesia telah siap dalam mencetak talenta digital baru yang saat ini dinilai masih minim. Saat ini talenta-talenta terbaik kini menjadi rebutan sejumlah startup atau perusahaan besar.

Menurut riset McKinsey, lanjut Lis, Indonesia diprediksi memiliki 180 juta populasi di usia produktif sebagai penggerak ekonomi, dengan sembilan juta harus melakukan shifting profesi dan dua juta profesi bakal tidak relevan lagi di 2030.

Indonesia juga diperkirakan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030 berdasarkan metode Purchasing Power Parity (PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja.

“Nah, 180 juta ini mau kerja apa? Ini yang menjadi tantangan terbesar kita. Indonesia butuh sembilan juta talenta di bidang digital untuk bisa unleash semua sektor potensial kita. Tidak hanya e-commerce dan fintech, tetapi juga kesehatan, agrikultur, dan pendidikan,” paparnya.

Memulai dari kurikulum pendidikan

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi era ekonomi digital di masa depan adalah mencetak talenta-talenta baru melalui sejumlah program. Salah satunya ada Indonesia Digital Talent Scholarship yang menggaet sejumlah mitra global dalam penyediaan kurikulum, seperti IBM dan Cisco.

Namun hal itu saja belum cukup untuk menyelesaikan masalah kekurangan talenta di masa depan. Menurutnya, kemampuan non-teknis dan akademis atau soft skill dan hard skill seseorang dapat diasah melalui kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar.

“Kita tidak bisa pakai kurikulum konvensional [untuk menambah talenta baru]. Kurikulumnya harus disruptif. Begitu juga industri [harus kasih kurikulum] supaya bisa match juga dengan industri,” ungkap Lis.

Kemampuan hard skill, seperti coding sudah bisa diperkenalkan sebagai mata pelajaran di sekolah. Demikian juga kemampuan soft skill, seperti critical thinking dan creative thinking. “Ini sama pentingnya juga karena creative thinking tidak bisa mengandalkan engine,” katanya.

Ketua Umum idEA Ignatius Untung menilai bahwa soft skill juga sama pentingnya dengan hard skill. Kemampuan ini sebetulnya yang wajib dimiliki generasi selanjutnya di masa depan.

“Diakui ada gap antara kampus dan industri masih besar. Ketika lulus mereka tidak siap untuk bekerja. Penting untuk memikirkan profesi di era ekonomi digital,” ujar Untung.

“Chaos” dan Imbasnya Terhadap Perkembangan Startup di Indonesia

Dalam sesi diskusi dengan penggiat startup di acara Indonesia Australia Digital Forum 2018, dibahas tantangan dan tren startup ke depannya. Hadir sebagai panel diskusi di antaranya adalah Founding Partner Kejora Ventures Andy Zain, Co-founder Medico Grace Tahir, Mantan CEO OLX Indonesia yang saat ini menjabat sebagai penasihat Menkominfo untuk ekonomi digital Daniel Tumiwa, Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati dan Direktur Acorns Grow startup asal Australia George Lucas.

Salah satu hal yang dibahas adalah soal “chaos” di Indonesia dan bagaimana entrepreneur dengan startup dan inovasinya memecahkan kekacauan tersebut dengan menghadirkan teknologi. Menurut Daniel Tumiwa, kekacauan yang terjadi di Indonesia, justru menjadi peluang sekaligus tantangan kepada entrepreneur. Hal tersebut dapat terlihat dari perkembangan industri startup saat ini yang sudah mengalami peningkatan sejak 10 tahun terakhir, bahkan telah menghadirkan generasi kedua pendiri startup di Indonesia.

Menurut Andy Zain “chaos” atau kekacauan justru menciptakan peluang yang bagus untuk entrepreneur, agar bisa melakukan navigasi. Di sisi lain pemerintah sebagai regulator dituntut harus bisa mengejar ketinggalan dan beradaptasi dari inovasi yang diciptakan oleh entrepreneur tersebut untuk memecahkan kekacauan.

“Ciptakan inovasi segera jangan tunggu, carilah solusi terbaik, lakukan konsultasi dan raih dukungan dari pemerintah,” kata Andy.

Hal menarik yang dicermati oleh George Lucas, entrepreneur asal Australia adalah, besarnya jumlah entrepreneur muda asal Indonesia yang langsung mendirikan bisnis, sehingga jumlah entrepreneur saat ini di Indonesia makin meningkat jumlahnya.

“Hal tersebut yang membedakan Indonesia dengan Australia. Di Australia tidak banyak anak muda yang mendirikan startup atau perusahaan lainnya, sehingga tidak banyak jumlahnya.”

Besarnya pasar Indonesia

Sementara itu menurut Andy Zain, Indonesia merupakan negara yang paling tepat untuk brand hingga perusahaan teknologi mempromosikan produk mereka. Besarnya minat dan antusiasme pasar Indonesia untuk mencoba dan menggunakan berbagai produk tersebut, disebut Andy merupakan peluang bisnis yang besar dan terbukti telah banyak dimanfaatkan oleh brand ternama seperti Facebook, Google, hingga Instagram.

“Saat ini Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna Facebook dan Instagram terbesar. Hal tersebut membuktikan besarnya respons dari pasar di Indonesia untuk mencoba berbagai produk terbaru yang ada.”

Namun demikian saat ini Jakarta sudah menjadi sentral dari startup industri lokal hingga asing. Makin padatnya pemain di Ibukota dinilai oleh Lis Sutjiati sebagai Staf Khusus Menkominfo, kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia yang tinggal di luar Pulau Jawa. Sehingga idealnya untuk startup lokal hingga asing yang berencana untuk menyasar pasar yang ada, coba lakukan pendekatan kepada pasar di luar pulau Jawa.

Hal senada juga diutarakan oleh Andy Zain dan Daniel Tumiwa, yang mengajak lebih banyak pelaku startup untuk mengembangkan bisnis di pulau lain di luar pulau Jawa.

Belajar dari Australia

Hal lain yang menjadi perhatian dalam sesi diskusi tersebut adalah, masih kurangnya talenta yang memiliki pengalaman hingga edukasi cukup dalam hal pemrograman hingga Informasi Teknologi. Untuk itu belajar dari Australia yang memiliki disiplin dan pendidikan yang baik terkait hal tersebut, bisa dijadikan acuan dan pedoman oleh Indonesia.

“Saat ini sudah banyak entrepreneur asal Indonesia yang belajar di Australia kemudian mendirikan startup di Indonesia. Jika Indonesia bisa mempelajari sistem pendidikan dan disiplin yang dimiliki oleh Australia, bisa membantu Indonesia menciptakan talenta yang berkualitas,” kata Andy.

Di sisi lain, Australia juga bisa memanfaatkan Indonesia sebagai salah satu emerging market, untuk mencoba dan melihat respons pasar terhadap berbagai produk berbasis teknologi yang akan diluncurkan.

“Di Indonesia banyak entrepreneur yang berani mendirikan bisnis, orang Indonesia lebih fleksibel dan mudah beradaptasi, hal tersebut yang membuat kami lebih versatile,” kata Grace Tahir.

Prediksi segmen startup favorit di tahun 2018

Di akhir sesi diskusi, para panelis diminta untuk memberikan prediksi terkait dengan tren segmen startup favorit di tahun 2018. Grace Tahir yang fokus untuk meningkatkan layanan kesehatan di Indonesia menyebutkan healthtech masih menjadi favorit dan memiliki potensi yang besar tahun ini. Sementara Lis Sutjiati menyebutkan, selain healthtech, agro dan aqua culuture, edutech, fintech hingga tour dan travel, masih memiliki peluang besar untuk berkembang di Indonesia.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Indonesia – Australia Digital Forum 2018 (IADF 2018)