Perjalanan Natali Ardianto Menjadi Seorang Pakar Industri: Memiliki Tujuan yang Konkret

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Enterpreneurship memang bukan untuk semua orang. Hal ini membutuhkan kerja keras bertahun-tahun, tanggung jawab yang tidak sedikit, resiko tinggi serta banyak pengorbanan lainnya. Namun, semua itu tidaklah menjadi isu ketika Anda memiliki tujuan yang konkret. Setidaknya, prinsip ini yang dipegang Natali Ardianto, yang pernah memimpin sebuah tim teknologi di salah satu layanan OTA ternama, Tiket.com, sepanjang perjalanannya mengarungi bahtera industri teknologi.

Saat ini, Natali menjabat sebagai Co-founder dan CEO PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, sebuah perusahaan yang ia dirikan bersama beberapa rekan setelah menjajal beberapa sektor industri. Mulai dari tata kota, bisnis OTA, fintech, lalu healthtech, masing-masing mengajarkan hal beragam yang telah membentuk pribadinya sebagai seorang pakar industri .

Sebagai seorang penggiat teknologi serta maniak komputer, ia sempat berjibaku dengan isu introvert kronis sampai pada akhirnya bisa bangkit lalu berhasil menguasai kemampuan berkomunikasi. Salah satu kuncinya adalah memiliki tujuan yang jelas, konkret, sesuatu yang bisa dipegang teguh dan terukur.

Seperti tertulis di profil profesionalnya, “Life is a journey, not a destination”(Hidup adalah sebuah perjalanan, bukan hanya soal tujuan), DailySocial berkesempatan untuk menggali lebih dalam tentang perjalanan karir seorang Natali Ardiante, berikut rangkumannya.

Dimulai dari posisi saat ini sebagai Co-founder & CEO di Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan terakhir.

tim ITMI
tim ITMI

Ini merupakan startup ke-5 saya, sebuah perusahaan teknologi kesehatan bernama PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Kami menawarkan solusi digital yang berfokus pada produk suplemen. Mengunakan teknologi achine learning yang sepenuhnya mempersonalisasikan data untuk memberikan rekomendasi suplemen terbaik untuk kesehatan Anda. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa healthtech?

Sederhananya, apakah Anda menganggap kesehatan sebagai kebutuhan primer atau sekunder? Sejujurnya, kebanyakan orang akan menempatkan kesehatan di atas segalanya, kesehatan akan selalu diposisikan pertama. Padahal, itu [kesehatan] adalah kebutuhan pokok yang membuat orang rela merogoh kocek. Sementara industri hiburan serta yang lainnya memerlukan perhitungan menyeluruh karena itu bukan kebutuhan utama. Dari segi keuntungan, memang lebih bagus. Karena pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) dapat meningkat beberapa kali lebih tinggi daripada industri hiburan lainnya. Dengan kata lain, suatu tujuan yang sama dapat dicapai dengan usaha lebih sedikit.

Duabelas tahun yang lalu, ketika pertama kali terjun ke dunia startup, apa yang ada dalam pikiran Anda? Bagaimana anda memulai perjalanan bisnis ini?

Pada tahun 2008, ketika startup belum hype, kami hanya berpikir untuk membangun perusahaan digital. Adapun, memiliki perusahaan telah menjadi impian saya sejak saya masih kecil. Pengalaman pertama saya terpapar teknologi dan jatuh cinta pada komputer ada di kelas 5 SD, saya juga mulai coding sekitar usia tersebut. Saya lalu menetapkan fokus pada teknologi sampai saya berhasil masuk ke Ilmu Komputer di Universitas Indonesia.

Pada tahun 2003, saya sudah memulai beberapa proyek freelance lintas wilayah. Saat startup mulai populer pada tahun 2010, saya mengalami kesulitan dengan Urbanesia, perusahaan pertama di mana saya belajar banyak setelah 13 bulan pengembangan. Saya memiliki pola pikir bahwa hidup adalah tentang menyelesaikan masalah. Ketika kita memecahkan masalah berulang-ulang, kita akan menguasai ilmu tersebut. Kemudian, yang terjadi selanjutnya pada perusahaan kedua saya hanya membutuhkan 8 bulan pengembangan, lalu kami membangun Tiket.com dalam waktu 3 bulan.

Apa yang ingin saya lakukan sangat jelas dari awal. Saya melabeli diri saya sebagai hardcore engineer. Namun, saya sadar bahwa insinyur tanpa pengetahuan dasar komunikasi tidak akan bisa melangkah lebih jauh. Apalagi jika Anda ingin menjadi pemimpin. Kepemimpinan adalah segala hal tentang mengarahkan dan mendelegasikan, itu membuat komunikasi sangat penting.

Sebagai seorang maniak teknologi, apakah Anda pernah merasa kesulitan dalam berkomunikasi? Apa yang bisa Anda bagikan pada para engineer di luar sana?

Ini sebenarnya sangat sederhana, hanya dengan berbicara dengan orang. Di sini bukan cuma perkara literatur, namun sebuah proses belajar sambil bekerja. Setelah dua tahun mengajar, saya menjadi lebih baik dalam pemasaran. Masalah yang ada pada kebanyakan teknisi adalah mereka tidak bisa melakukan pemasaran. Saya beruntung memiliki mitra untuk membantu saya belajar cara menghadapi orang dan berbagi wawasan penting.

Natali Ardianto bersama tim Semut Api Colony
Natali Ardianto bersama tim Semut Api Colony

Dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi informasi, ditambah pengalaman di berbagai sektor industri, mulai dari tata kota, OTA, fintech dan sekarang healthtech. Bagaimana anda mendeskripsikan masing-masing perusahaan?

Saya seorang penganut industri agnostik, startup pertama saya berfokus pada direktori kota tanpa latar belakang terkait. Perusahaan kedua saya bernama Golfnesia, padahal faktanya, saya belum pernah bermain golf dalam hidup saya. Selanjutnya, di perusahaan ketiga saya, Tiket, tidak ada dewan direksi yang memiliki latar belakang terkait layanan OTA. Sebelum ini, adalah perusahaan fintech bernama Pluang [dulu EmasDigi], dan sekarang kapal saya berlabuh di industri healthtech.

Di antara semua ini, ada hikmah yang dirasakan, sebuah pencapaian sebagai seorang pakar industri. Hal ini bukan hanya tentang latar belakang pendidikan, kepribadian, atau keluarga. Untuk mencapai tahap itu, seseorang harus melalui hampir semua hal.

Saya sendiri percaya pada rahasia ilahi. Ada sesuatu yang disebut RAS (Reticular Activating System) di otak kita yang dapat menyaring pikiran hal-hal penting. Ketika Anda memiliki sesuatu yang benar-benar Anda inginkan dan tanam di kepala Anda sejernih dan sejelas mungkin. Pada akhirnya, Anda bisa mendapatkannya.

Dalam empat perusahaan terakhir, Anda memimpin tim teknisi, sementara saat ini Anda menjabat sebagai CEO. Bagaimana Anda melihat gap dalam transisi ini? Apakah hal ini membutuhkan kemampuan khusus?

Dalam gambaran besar ketika kami memulai Tiket, saya membuat dek lapangan dan rencana keuangan. Saya selalu bekerja bagian bisnis untuk CEO kadang-kadang. Juga, saya memiliki latar belakang sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan. Jika harus saya katakan, saya selalu menjadi CTO yang berorientasi bisnis. Saya sangat sadar akan anggaran dan angka.

Natali dalam acara pemberian pernghargaan iCIO
Natali dalam acara pemberian pernghargaan iCIO

Kebanyakan CTO sangat high maintenance dalam hal teknologi. Mereka hanya ingin menggunakan teknologi terbaru dan paling keren, tetapi berbiaya tinggi, Sementara itu, Anda masih bisa menciptakan sesuatu yang berdampak dengan teknologi sederhana yang ada. Saya membuat sistem Tiket dengan sistem yang sangat korporat dengan detail finansial. Setiap transaksi tercatat, menghindari penipuan dan korupsi. Saya adalah tipe orang yang suka belajar sesuatu, oleh karena itu saya tidak bisa hanya fokus pada teknologi, tetapi juga bisnis.

Namun, beberapa orang salah kaprah hanya karena mereka belajar sepotong demi sepotong, bukan ujung ke ujung. Sistem agile cukup menarik tetapi tanpa visi hal itu tidak akan menjadi efektif.

Memiliki pemikiran strategis. Sebagai CEO, kata kuncinya adalah Anda tahu apa yang akan Anda capai dalam 5 hingga 10 tahun. Beberapa CTO masih bertahan dengan rencana selama 6 bulan hingga 2 tahun karena industri yang dinamis. Adapun, yayasan seperti hukum, keuangan, bisnis merupakan target yang terpenting. Saya beruntung memiliki mentor yang baik dan pengalaman selama sebelas tahun. Jujur, hari ini saya agak merasa lega, karena mengambil keputusan sudah menjadi proses yang berulang. Ketika Anda sudah tahu strateginya, selanjutnya adalah untuk mengulangi proses yang sama.

Dalam hal bisnis dan kehidupan pribadi, siapakah yang menjadi role model anda? Mungkin sebagai mentor, pendamping, seseorang yang menemani anda samapai pada tahap seperti ini.

Dalam hal pendamping, tentunya adalah istri saya. Saya bertemu dengannya pada tahun 2002 pada saat masih mengalami introvert kronis. Sebenarnya, dia turut membantu saya berubah, dan mengajarkan banyak hal tentang cara berkomunikasi, berpakaian bagus, serta yang lainnya. Saat ini ia sudah meraih gelar master dalam psikologi konseling. Istri adalah mitra belajar saya, terutama dalam memahami orang.

natali nuniek 2003 - Natali and Nuniek

Kata kunci dalam hal kepemimpinan adalah kemampuan memahami pribadi orang. Anda harus bisa menemukan cara untuk membuat mereka tetap tinggal, meskipun apa yang Anda tawarkan tidak sebesar perusahaan raksasa di luar sana. Saya mencoba memahami dan memenuhi celah emosional tidak hanya secara finansial. Karena kami berusaha membuat yayasan tidak hanya berdasarkan uang. Masalahnya, ketika orang punya uang, mereka mencoba menyelesaikan semuanya dengan membayar. Untuk bisa memecahkan masalah adalah dengan belajar menjadi orang yang efektif. Ketika Anda menjadi orang yang efektif, secara tidak langsung Anda menjadi orang yang efisien.

Secara pribadi, dalam hal menjalankan perusahaan, Jonggi Manalu dari Tiket menjadi salah satu inspirasi saya. Secara umum, Larry Page & Sergey Brin akan selalu menjadi contoh terbaik, walaupun pada 11 tahun pertama, Eric Schmidt yang menjadi eksekutif berpengalaman dan membuat google sangat korporat. Saya menyebutnya dengan corporate agility, korporasi adalah dasar dari sebuah perusahaan sedangkan agile adalah bagaimana kita menjalankan perusahaan. Mengapa sebuah perusahaan harus korporat? Karena saya sering menemukan perusahaan yang mengalami kesulitan dengan keborosan, korupsi, kelemahan finansial, masalah hukum, dan kekurangan manajemen.

Menjalankan startup berarti menjalankan perusahaan, bukan hanya produk. Anda bisa saja membuat produk, namun ketika Anda tidak tahu apa-apa tentang pemasaran, pengembangan bisnis, serta hal-hal yang berkaitan dengan korporasi, semua itu tidak akan berhasil. Saya menemukan dua hal yang dapat membuat perusahaan gagal, yaitu ketika pendiri menyerah dan kehabisan uang.

Natali Ardianto at Tiket grand launching
Grand launching Tiket.com

Diantara beberapa industri yang telah dijelajahi, manakah yang paling menantang? Apa pelajaran terbesar yang ada dapatkan dari berbagai pengalaman ini?

Dalam entrepreneurship, kuncinya adalah waktu. Menjalankan perusahaan yang tidak berbasis jual-beli benar-benar sulit. Untuk mendapatkan satu transaksi, margin yang besar atau kecil membutuhkan usaha yang sama besar.

Dalam menjalankan sebuah perusahaan, saya lebih suka menyebutnya sebagai hardship. Ketika menjalankan sesuatu untuk mendapatkan profit, semuanya akan terbatas oleh anggaran. Sebagai contoh, ketika saya berada di industri OTA, dengan tim kecil saat ini bersaing melawan raksasa pesaing kami adalah satu perjuangan yang sangat berat. Dalam kasus ini, bukanlah sebuah titik terendah, tetapi sebuah kesulitan. Ketangguhan dalam mencoba menjalankan perusahaan yang profitable.

Apa yang menjadi target Anda selanjutnya? Apakah ada mimpi yang belum terwujud ataukah sesuatu yang diidam-idamkan selama ini?

Startup Montage

Setelah “lulus”dari Tiket.com, saya ingin menikmati masa “pensiun” selama satu tahun. Saya dan istri bepergian keliling 5 benua, lebih dari 30 kota. Namun, saya tidak menikmati pensiun seperti itu sama sekali. Akhirnya, pada bulan ke-7, saya membantu teman membangun startup baru. Membangun sesuatu dari awal dan mengubahnya menjadi hal besar selalu menjadi hasrat saya. Sepertinya, saya tidak mau menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika harus melakukan hal ini sampai berusia 70 tahun, saya masih akan melakukan hal yang sama. Menciptakan produk hebat yang digunakan dan dicintai semua orang. Juga, suatu hari saya ingin mengejar gelar Ph.D. dalam kewirausahaan atau e-commerce.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Andi Taufan Meyakini bahwa Ketekunan Akan Berbuah Keberhasilan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai seorang pendiri solo, adalah perjuangan menguras darah, peluh dan air mata bagi Andi Taufan Garuda Putra dalam membangun Amartha. Berbagai kisah mewarnai mulai dari satu per satu Co-founder pergi serta dilema antara pendidikan dan perusahaan. Semua itu membawanya pada sebuah peer-to-peer lending yang telah sukses menyalurkan Rp1,25 triliun pinjaman kepada lebih dari 200 juta pengusaha mikro di daerah-daerah terpencil.

Ia memulai perjalanan ini dengan mimpi untuk mewujudkan inklusi finansial di seluruh Indonesia. Memang tidak mudah, mengingat bisnis pinjaman yang penuh celah dan potensi penipuan. Namun dengan dasar ketekunan, ia berhasil mendaki tebing tinggi dimana bisnis mikro bisa berkontribusi lebih pada ekonomi Indonesia saat ini.

Adapun, belum lama ini ia dipercaya menjadi salah satu anggota staf ahli kepresidenan pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua.

Berikut kisah lebih lengkap mengenai perjalanan Andi Taufan Garuda Putra dalam sesi tanya jawab dengan tim DailySocial.

Sebagai permulaan, dengan latar belakang akademis dalam bidang bisnis. Bagaimana bisa Anda berfikiran untuk memulai Amartha? Apa yang menjadi dasar untuk membangun sesuatu yang memiliki dampak sosial?

Pada awalnya, saya mengampu pendidikan tinggi di bidang bisnis tanpa aspirasi untuk menjadi seorang pengusaha. Orangtua sendiri meniti karir sebagai profesional, saya pun berencana untuk mengikuti jejak mereka. Begitu pula dengan gelar master, semata-mata untuk mendukung karir profesional yang mendukung kesejahteraan. Ketika sudah sukses, bisa bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Definisi sukses saya amatlah sederhana, menginjak umur 50 tahun tanpa khawatir akan masa depan suram.

Setelah menyelesaikan strata satu, saya sempat bekerja di IBM selama dua tahun sebagai konsultan bisnis. Pekerjaan ini melibatkan perusahaan-perusahaan minyak untuk mengimplementasi sistem IT di daerah terpencil. Ketika mengelilingi sudut-sudut pedesaan, saya menemukan gap yang cukup lebar antara daerah pinggiran dan perkotaan, seperti di Jakarta. Hal inilah yang mendorong saya untuk mengambil tindakan, bagaimana saya bisa berkontribusi dalam hal ini. Pada masa itu, saya memutuskan untuk membuat sesuatu yang memiliki target. Daripada sekedar membantu konglomerat semakin kaya, lebih baik membuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk bisnis-bisnis kecil agar lebih bertumbuh.

Saat itu masih di awal tahun 2000, belum ada yang berbicara mengenai fintech atau platform aplikasi. Setelah menggali ide, akhirnya saya menetapkan hati pada microfinance. Sektor ini memiliki target yang jelas, ketika menyuntik dana pertama, cashflow akan langsung terlihat, demikian juga nilai keuntungannya. Hal ini juga menimbulkan multiplayer effect dalam keluarga, selain membangun bisnis, anak-anak mereka pun bisa bertumbuh seiring mendapat pendidikan layak.

Pada awalnya, Amartha hanya berbentuk sebuah koperasi. Bisa dijelaskan detail perjalanan membangun bisnis ini menjadi sebuah platform peer-to-peer lending?

Pada suatu hari, saya mengunjungi daerah di kabupaten Bogor bernama Ciseeng. Saat berkeliling desa, saya bertemu banyak orang dan berbincang mengenai masalah-masalah yang kerap muncul di daerah tersebut. Kebanyakan yang tersisa adalah ibu-ibu, suami mereka sedang bekerja di tempat lain, ada juga yang di kota. Sebagaimana kepala keluarga yang memiliki penghasilan pas-pas an, para istri pun harus ikut bekerja paruh waktu demi kesejahteraan keluarga.

Didasari dengan fenomena ini, saya rasa mereka akan sangat membutuhkan bantuan. Saya mulai menawarkan pinjaman kecil-kecilan, mulai dari 500 ribu untuk 100 orang pada tahun pertama. Berbicara tentang produktifitas, mereka menggunakan uang pinjaman tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti membeli mesin jahit dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka cukup bertanggung jawab dan mengembalikan pinjaman tepat waktu. Kami pun bertumbuh dengan menyediakan pinjaman bagi seribu orang di tahun selanjutnya.

Setelah lima tahun melayani lebih dari 7000 orang di pedesaan, kami menemukan tantangan tersendiri pada bisnis ini. Pada akhirnya, pinjaman mikro bukan hanya sekedar uang, namun menciptakan harapan. Mereka mulai membuat rencana untuk bisnis dan keluarga, lalu ingin pinjaman yang lebih banyak. Dengan kredit macet serta isu lainnya, kami pun nyaris kehabisan uang sementara pertanyaan mengenai “Amartha mau bankrut ya?” menyerang dari berbagai sisi. Ini sangat sulit, bahkan untuk saya.

Lalu saya menemukan bahwa microfinance saja tidak cukup dalam era internet ini. Kami pun kembali dengan sebuah inovasi untuk menggalang dana dari masyarakat, bisa dibilang sebagai peer-to-peer lending marketplace. Dengan partner serta oinjaman berkualitas, saya melakukan pitching dengan investor tahap awal kami [BEENEXT dan MidPlaza]. Mereka nampaknya menyukai ide ini dan melalui berbagai macam rintangan, Amartha akhirnya resmi beroperasi sebagia platform online di tahun 2016.

Momentumnya ada, kemudian beberapa platform p2p ikut meramaikan pasar Indonesia. Industri fintech mulai masuk masa kejayaannya. Dalam hal ini, kamu turut mendorong OJK untuk membentuk regulasi mengenai industri p2p yang masih seumur jagung ini. Amartha pun masuk menjadi salah satu punggawa awal dalam industri p2p ini yang mendapatkan izin resmi dari OJK di awal tahun 2019.

Tim Amartha saat ini
Tim Amartha saat ini

Berbicara mengenai masa-masa krusial, bagaimana Anda menyikapi situasi ini dan bisa bangkit kembali?

Saya rasa sekitar tahun 2014-2015. Masyarakat mulai krisis kepercayaan pada Amartha, saya sendiri juga ragu bisa melanjutkan bisnis ini. Saya pun berfikir untuk menciptakan inovasi baru, lalu datanglah kabar baik dari Harvard. Di tahun yang sama, para investor mulai berdatangan ketika masa-masa sulit menghampiri Amartha.

Hal ini menjadi dilema, ketika harus memilih antara pendidikan atau perusahaan. Lalu saya berinisiatif untuk berbicara dengan investor dan mereka memperkenankan saya untuk melanjutkan studi dengan syarat platform ini harus segera rilis. Terjadilah di tahun 2016, ketika itu saya bekerja secara remote di US dengan bantuan Aria serta tim developer. Adalah sebuah anugrah memiliki tim yang selalu mendukung serta lingkungan yang positif.

Menjadi pendiri solo menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Di tahun 2009, saya pernah memiliki partner, hinga satu per satu pergi menyusul keadaan saat itu. Saya pun mencoba lagi di tahun 2014 dengan beberapa partner baru sampai akhirnya dua orang gugur dan satu lainnya memiliki prioritas lain. Saya menyadari bahwa selalu ada Co-founder di setiap tahapan bisnis Amartha, ini menjadi poin penting. Sementara itu, para C-level yang ada sekarang menjadi sangat penting dalam menopang bisnis ini ke jenjang yang lebih tinggi.

Apa yang menjadi target Amartha di jenjang yang lebih lanjut?

Hal itu adalah ketika kami bisa melampaui batas pinjaman peer-to-peer. Kami sangat baik dalam memberikan pinjaman mikro untuk perempuan di daerah pedesaan. Tetap setia pada misi kami untuk memberikan kesejahteraan yang setara bagi orang-orang pada piramida terbawah. Jika harus menentukan definisi kesejahteraan, hal itu adalah mengurangi biaya hidup mereka, menyediakan produk-produk yang terjangkau, sehingga mereka dapat menyisihkan uang untuk ditabung, dan mulai berinvestasi. Bagaimana Amartha dapat berkembang melampaui pinjaman p2p? Ini tidak hanya tentang dukungan modal awal tetapi juga demi menyediakan produk lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Bagaimana caranya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap setia pada komitmen saat ini?

Kuncinya adalah memahami ragam masalah yang terjadi. Sebagai bisnis pinjaman, pasti akan ada permasalahan mengenai pembayaran melewati tanggal jatuh tempo, celah dalam peraturan, serta potensi penipuan. Jika kita tidak mencoba memahami, kita tidak akan pernah menjadi lebih baik. Apa yang saya pelajari sampai saat ini karyawan kami mencapai 2.500, adalah bagaimana membangun tim dengan misi. Semangat mereka harus diselaraskan dengan misi keseluruhan perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menanamkan rasa memiliki pada setiap karyawan. Setelah itu terpenuhi, mereka dapat mulai mengeksplorasi dan bergerak pada satu tujuan. Hal ini cukup menantang tetapi layak diperjuangkan.

Taufan sebagai pembicara di acara #SelasaStartup pertama DailySocial
Taufan sebagai pembicara di acara #SelasaStartup pertama DailySocial

Sebagai salah satu pelopor platform peer-to-peer lending di Indonesia, siapa/apa yang menjadi role model bagi Amartha?

Saya mengacu pada pasar AS dan Eropa. Mereka sudah terlebih dahulu memiliki unicorn LendingClub di AS, dan pasar Eropa dengan Funding Circle dan Prosper. Belum pernah ada yang seperti ini di Asia. Karena itu, dengan basis pelanggan yang berbeda, saya mulai bekerja dengan apa yang kita punya. Dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berada di piramida kelas bawah, Amartha menciptakan model bisnis yang menargetkan pasar massal dan peminjam berkualitas tinggi.

Dalam lanskap p2p lending ini, apakah pernah ada isu dengan perbankan atau departemen lain terkait inklusi finansial?

Sejak awal, kita memiliki tanggung jawab yang jelas untuk masing-masing divisi. Semua yang dilakukan perusahaan pun tak luput dari infrastruktur perbankan. Di sisi lain, untuk perbankan bisa masuk ke segmen ini, akan sangat menguras tenaga. Amartha punya kapasitas untuk memberi pelayanan dan sebaliknya. Semua ini kembali lagi pada kepercayaan dan kami pun akan lebih menjunjung tinggi kolaborasi dibandingkan kompetisi.

Sejak tren ini mulai berkembang di tahun 2016 dan semakin banyak pemain bermunculan di tahun 2017. Pada tahun 2018, masalah ilegal muncul, meskipun bukan kami, tetap hal ini berpengaruh. OJK disebut akan mengatasi semua masalah di tahun ini dan asosiasi pun punya tanggung jawab sendiri. Saya melihat kedepannya akan penuh dengan kolaborasi, tidak hanya pendanaan dengan perbankan tetapi sesuatu yang lebih solid dan intens. Lalu, akan ada perusahaan-perusahaan baru menawarkan produk yang lebih canggih untuk menjalankan inklusi keuangan. Bagaimanapun, saya selalu melihat semua pendiri baru dengan sudut pandang positif, karena itulah yang kami butuhkan, orang-orang yang lebih agresif dan positif.

Selama lebih dari 10 tahun Anda bekerja keras menguras tenaga, peluh dan air mata dalam membangun perusahaan ini. Apakah pernah berniat untuk membuat sesuatu yang baru?

Masih terlalu jauh untuk saya memikirkan hal itu. Amartha masih dalam masa pertumbuhan, kami pun memiliki skala bisnis yang berbeda dengan Google atau perusahaan elit lainnya. Terlebih dengan tanggung jawab baru sebagai staf ahli kepresidenan. Saat ini load saya sudah sangat banyak.

Para penggiat startup seringkali disebut buta politik, namun Anda bisa mengubah itu. Apa yang membuat anda tertarik untuk menerima ‘amanah’ ini?

Kita memiliki presiden yang tulus dan saya dengan senang hati bisa turut mendukungnya. Kami berdiskusi tentang usaha-usaha kecil di Indonesia. Dia ingin melakukan perubahan, agar mesin birokrasi dapat bergerak lebih cepat menuju tren masa depan. Ini adalah sebuah mandat bagi Indonesia untuk menempati posisi 4 negara teratas di dunia dengan ekonomi terkuat. Hal ini harus dibangun dengan energi positif dan orang-orang optimis. Saya, bersama dengan staf lainnya, percaya bahwa ini adalah langkah kecil untuk menciptakan kepercayaan diri demi membawa Indonesia ke jenjang yang lebih tinggi.

Taufan sebagai salah satu staf kepresidenan
Taufan sebagai salah satu staf ahli kepresidenan

Dengan kerangka berfikir startup yang pace nya cepat, apakah ada clash of culture yang terjadi dalam interaksi dengan birokrasi?

Adalah tugas kami sebagai staf ahli kepresidenan untuk memberikan pemikiran dan terobosan inovatif saat presiden menjalankan kereta birokrasi dengan teknologi dan pendekatan digital. Pertama-tama lihat tujuannya, saat ini saya belum menghadapi bentrokan apa pun. Beruntung, saya masih diberi kesempatan untuk bekerja dua kaki di Amartha, oleh karena itu, saya bisa menyeimbangkan startup dengan hal-hal birokrasi untuk saat ini. Mari kita lihat apa yang akan terjadi enam bulan dari sekarang.

Menilik masa-masa membangun startup hingga pencapaian saat ini, apa yang bisa Anda katakan untuk para pengusaha tahap awal yang mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu Anda alami?

Jika saya bisa mengatakan sesuatu, cobalah untuk tetap teguh pada tujuan jangka panjang Anda, karena ketekunan pada akhirnya akan membuahkan hasil. Bagi mereka yang baru memulai, ini bukan tentang individu, atau uang, atau teknologi. Justru ketika Anda menemukan satu hal sebagai fokus dan tidak memberikan celah untuk distraksi. Hambatan adalah bagian dari perjalanan. Kegagalan sesungguhnya adalah ketika kita berhenti.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Natali Ardianto’s Journey on Becoming an Industry Expert: Set Up a Vivid Goal

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Entrepreneurship is not for everyone. It takes years of hard work, loads of responsibilities, high risk, and other important sacrifices. However, all those will not be an issue when you have a clear set of goals to achieve. At least, it’s what Natali Ardianto, the former tech leader in one of the leading OTA services, Tiket.com, has been doing through these years of paving ways into the tech industry.

Ardianto is now the Co-Founder & CEO at Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, the company he built after sailing through several industry sectors. From city directory, OTA, fintech, and now healthtech, each venture has taught him different lessons and shaped him as the industry expert he is now.

As a tech enthusiast and computer geek, he was struggling with chronic introvert but eventually managed to overcome the issue and master the communication skill. One of the key points he suggested is to have a clear vision, a vivid goal, one that you can cling on to, and be precise about it.

As stated on his profile “Life is a journey, not a destination”, DailySocial has an opportunity to dig deeper into his journey and here’s what we discover.

Let’s start from your current position, Co-founder & CEO at Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Tell me a bit about the latest venture.

ITMI Team member
ITMI Team member

This is my 5th startup, a healthtech company under the name PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. We provide a digital solution focused on supplement products. It’s a machine learning that fully personalized your data to give recommendations of the best supplement for your health. People may have question, why healthtech?

Simply put, do you think health as primary or secondary? Actually, most people will put health above anything, health will always be positioned first. In fact, it [health] becomes a basic need that people willing to spend money. While other leisure industries require thorough calculation as it is not the primary need. In terms of profit, it surely be a good thing. As the average revenue per user (ARPU) can get few times higher than other leisure industries. In other words, a goal can be achieved with less effort.

Twelve years ago, when you first jumped into the startup life, what were you thinking? How did you start the whole tech-business journey?

In 2008, when startup hype is yet to penetrates the region, we only thought to build a digital company. Also, own a company has been my dream since I was a child. I had my first encounter and fall in love with the computer in the 5th grade, I also started coding around that age. I keep my eyes and mind focused on tech until I make it into Computer Science in Universitas Indonesia.

In 2003, I already started some freelance projects, and it crosses the region. While startups are getting popular in 2010, I had my struggle with Urbanesia, the first company where I learned a lot after 13 months of development. I have mindset that life is about solving problems. When we solve the problem over and over again, we master the skill. It is what happened to my second company that took 8 months of development, and then we make it only 3 months for Tiket.com.

What I want to do is very clear from the very beginning. I labeled myself as a hardcore engineer. However, I’m aware that engineers without basic knowledge of communication will not get any further. Especially if you want to be a leader. Leadership is all about directing and delegating, it makes communication very important.

As a tech geek, do you have any issues regarding communication? You have something to say to other engineers out there?

It’s actually simple, just talk to people. This is not only about literature yet a learning-by-doing process. After two years of teaching, I get better at marketing myself. The problem with engineer is they can’t do marketing. I’m lucky to have a partner to help me learn on how to manage people and share essential insights.

The very first book that’s important to read is “How to win friends and influence people” written by Dale Carnegie. It’s the foundation of communicating with people. And then “7 Habits of Highly effective people” by Stephen Covey, on how we make the right decisions for ourselves and the other. The rest is usually biography and books about different kinds  of leaders, such as Elon Musk, Steve Jobs, or even “Bad Blood” Elizabeth Holmes.

Natali Ardianto with Semut Api Colony team
Natali Ardianto with Semut Api Colony team

You have an educational background in technology information, experienced in several industry sectors, from city directory, OTA, fintech, and now healthtech. How would you describe each venture?

I am an industry-agnostic, I had my first startup focused on city directory without any related background. My second company is named Golfnesia, with a fact that I’ve never been playing golf in my life. Next, in my third company, Tiket, none of the board of directors have background in the OTA service. The previous one is a fintech company named Pluang [used to be EmasDigi], and now my ship anchored in healthtech.

Among all these, there’s a silver lining that one must have, a value named industry expert. It’s not only about the educational background, personality traits, or family pictures. In order to reach that stage, one must get through almost everything.

I am, myself, believe in the secret. There’s something called RAS (Reticular Activating System) in our brain that can filter the mind of significant things. When you have something you really want and plant it in your head as clear and vivid as possible. Eventually, you’ll get it.

In the last four companies, you’ve been serving as a tech leader for the last four companies, now you’re a CEO. How do you see the gap in the transition? Is there any specific skill for that?

In a big picturem when we started Tiket, I created the pitch deck and financial plan. I was always been working a business part for the CEO sometimes. Also, I have background as a project manager in the consulting company. If I must say, I’m always be the business-oriented CTO. I’m very aware of budgets and numbers.

Natali as the iCIO awards
Natali as the iCIO awards

Most of the CTOs are very high maintenance in terms of technology. They only want to use the latest and coolest technology, but high costing, In fact, you can still create something impactful with the simple technology you already have. I create Tiket’s system in a very corporate way and financial detaill. Every transaction is recorded, avoiding fraud and corruption. I’m the type of person who likes to learn things, therefore I can’t just focus on tech, but also business.

However, some people get misled just because they’re learning piece by piece, not end-to-end. The agile thing is quite interesting but without vision it’s no longer effective.

Strategic thinking. As a CEO the keyword is you know what you’re going to achieve in 5 to 10 years. Some CTOs still on to 6 to 2 years plam due to the dynamic industry. In fact, foundations such as legal, finance, businessm is what really matter. I’m lucky to have a good mentor and eleven years of experience. Honestly, today I kinda feel relieved, because decision is a repeating process. When you already know the strategy it’s only time to repeat the previous overcomes.

In terms of Business and Life, do you have someone or something that you really look up to? Either a mentor, companion, things that shaped you into the current position?

In terms of companion, I’d say my wife. I met her in 2002 in time of my chronic introvert issue. Actually, she helped me changed too, on how to communicate, dress well and many others. She’s now a master in psychology counseling. she’s my learning partner, especially in understanding people.

 

The keyword to the leadership position is to manage people. You have to find a way to make them stay, even though what you offer is not as big as the giant company out there. I try to understand and fulfill the emotional part not only financially.  Because we try to create a foundation not only based on money. The problem when people have money, they try to solve everything using it. A way to solve a problem is to become an effective person. When you become an effective person, you also become an efficient person.

Personally, in terms of running a company, Jonggi Manalu of Tiket is my inspiration. In general, Larry Page & Sergey Brin are always the best example, but the first 11 years, Eric Schmidt becomes the seasoned executive and makes google very corporate. I called it corporate agility, corporate is the foundation of a company while agility is how we run the company. Why the foundation must be corporate? Because I often find a company struggling with cash leak, corruption, financial weakness, legal issue, and under management.

Running a startup means running a company, not just a product. You can make a product but if you don’t know anything about marketing, business development, things related to a corporation it won’t work.  I found out two things that can make a company going down, it’s when the founder gives up and the cash runs out.

Natali Ardianto at Tiket grand launching
Natali Ardianto at Tiket’s grand launching

Among the several industries you’ve been managed, which one is the most challenging? What is your biggest lesson for these past experiences?

In terms of entrepreneurship, the key point is timing. Running a company that is not commerce-based is really tough. In order to gain one transaction, either big or small margin need practically the same effort.

In running a company, I’d rather called it a hardship. When running something to be profitable, everything is restricted by budget. As an example, when I’m in the OTA industry, with the current small team competing against the horsepower of our competitor is one hell of a struggle. If I were to say it, not the lowest point, but hardship. The toughness of trying to run a profitable company.

What do you aim next? Is there any unfulfilled dream or something you really want to do after all these?

Startup Montage

After exiting from Tiket.com, I wanted to take a year of “retirement”. My wife and I travel around 5 continents, over 30 cities. But I didn’t enjoy that kind of retirement at all. Eventually, in the 7th month, I help co-found another startup. Building something from scratch and turn it into a big thing has always been my passion. I guess I wouldn’t trade it for anything. Even if I will do this until I am 70 years old, I would still do the same thing. Creating a great product that everyone uses and loves. Also, one day I would like to pursue a Ph.D. in entrepreneurship or e-commerce.

Andi Taufan Believes Perseverance Will Eventually Pay Off

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As the sole founder of Amartha, Andi Taufan Garuda Putra has poured blood, sweat, and tears in building the company. With the story of being left by co-founders, the dilemma of choosing study over its own company. It’s all lead to the current situation where the peer-to-peer lending platform has delivered Rp1.25 trillion successful loans to over 200 thousand micro-entrepreneurs in the rural area.

He began the journey with a dream to enable financial inclusion throughout Indonesia. It’s a challenging one, considering the loan business is full of loophole and fraud potential. However, with perseverance as the foundation, he works his way up to the point where micro-businesses can contribute more to Indonesia’s economy.

In fact, he was recently appointed as one of the presidential expert staff by Jokowi. It’s definitely creating more pile of work on his desk. However, he’s eager to accept the challenge, it’s because he believes this country is moving towards a better economy and it’ll be incredibly great to be part of the change.

Let’s hear more of Andi Taufan Garuda Putra’s story through the excerpt from his interview with DailySocial’s team.

To begin with, you are one with an academic background in business. What’s your first thought on starting Amartha? What encouraged you to create such a thing with social impact?

I was getting my business degree without any aspirations to become an entrepreneur. My parents are struggling with their professional career, so I was just planning to follow their path. I was also planning to get my master’s degree and build a professional career worth living. Once I become successful, I would spare some for those less fortunate people. I used to have a simple definition of success, it’s when I turn 50 and have nothing to worry about on my plate.

After graduating from college, I was working at IBM for two years as a business consultant. My job is basically involving palm oil companies to implement the IT system in rural areas. While circling around the less-urban spots, I found out a significant gap between the rural and urban areas, such as Jakarta. It encourages me to make a move, how to contribute more to this issue. In my exploration days, I decided to create something more targeted. Instead of helping conglomerates bulking up their organizations, I need to make something more impactful for small businesses to grow.

It was in the early ’00s, nobody thought of fintech or application platform. After digging into some ideas, I finally settled with microfinance. It has a clear view, once you inject the first capital, cashflow will work out, it also comes with a significant increase in income. It also creates a multiplayer effect in the family, aside from growing business, their children can grow along and have a proper education.

You started Amartha in a cooperative form. Can you spare me the detail on your journey in building the leading peer-to-peer lending platform?

One afternoon, I was visiting a rural area in Bogor named Ciseeng. While exploring the village, I met some people and talked about the issues that often come up in the area. Most of them who stayed at home are women, their husbands were at someplace working informal jobs. As the head of the household didn’t earn much, the wives have to work part-time to improve the family’s welfare.

Based on this phenomenon, I thought they need some additional support. I started to provide small loans, starts from 500 thousand for 100 people in the first year. Talking about productivity, they take the loan seriously and use it for something useful, such as sewing machines and many more. Most of them are responsible enough to return the money on time. We grew by providing a thousand people the next year.

After five years serving over 7000 people in the rural, we’ve found the business quite challenging. At the end of the day, micro-loan has become more than just money, it is a hope for them. They started to make plans for the business and the family, and expect for more loans. With some bad credits and stuff, we were so close to run out of money and the “Amartha went bankrupt?” question has been thrown almost at every corner. It’s just hard, even for me too.

I then discovered that in this internet era, microfinance alone was not enough. We then come up with an idea to gain money from the public, such thing called marketplace peer-to-peer lending. With high-quality partners and the impactful loans, I had my pitch to the seed investors [BEENEXT and MidPlaza]. They turned out to love the idea and through ups and downs, Amartha finally launched its online platform in 2016.

The momentum is there, and more peer-to-peer lending platforms are to launch. Fintech industry is getting alive than ever. We also advised OJK to issue the regulations for the newborn p2p lending industry. Amartha then becomes one of the first batch p2p lending platforms to acquire the license from OJK in early 2019.

Amartha's current team
Amartha’s current team

Talking about the crucial season, how did you cope with the situation and rise up?

It was around the year 2014-2015. People have turned their backs on Amartha, I, too, have doubt in surviving this company. I’ve thought about something new, and the good news from Harvard arrived. In the same year, investors are coming to the Amartha-near-falling-town.

It’s a dilemma, whether to take the school or take care of the company. I finally talked to the investors and they decided to let me continue with my study, under one condition, the platform must be launched as soon. It did happen in 2016. I was working remotely in the US with lots of help from Aria and the developer team. It’s a blessing to have a supportive team and a positive environment around you.

Being a sole founder is a different challenge for me. In 2009, I used to have partners, until one by one left because of the current situation back then. I tried again in 2014 with some partners before eventually two were left and the last one departed with another priority. I then realized that we have co-founders for every stage of Amartha, it is indeed important. In fact, today’s C-levels are very critical to help us moving to the next stage.

What is the next stage for Amartha?

It is when we go beyond peer-to-peer lending. We’ve been very good at providing micro-loan for women in rural areas. Stay true to our mission to deliver equal welfare for people in the last pyramid. If we’re to define the welfare it would be to reduce their cost of living, provide them with affordable products, therefore, they can spare money for savings, and start investing. How Amartha can evolve beyond p2p lending? It’s not only about supporting the initial capital but also to provide other products that can improve the quality of their lives.

How can you make sure the company stays true to the commitment?

The key is to embrace the problem. As the loan business, there are always people with payment past the due date, a loophole in regulations, potential for fraud. If we’re not to embrace, we’ll never improve. What I learned until now the employee has reached 2500, is how to build team with a mission. Their spirit should be aligned with the company’s overall mission. It’s to plant a sense of belonging in each employee. Once done, they can start to explore and move towards the goal. It’s quite challenging but worth fighting for.

Taufan as the first speaker at #SelasaStartup
Taufan as the first speaker at #SelasaStartup

As one of the first-batch peer-to-peer lending platforms in Indonesia, who/what is your role model for Amartha?

I was looking up to the US and Europe markets. They already have unicorn LendingClub in the US, and Europe market with its Funding Circle and Prosper. I’ve never seen one in Asia. Therefore, with a different customer base, I worked with what we have. As most of the Indonesian population is in the low-end pyramid, Amartha created a business model targeting mass-market and high-quality borrowers.

In the p2p lending landscape, do you have any issue with banking or any other departments towards financial inclusion?

Since the beginning, we have a clear division of roles. Everything we’ve done will not happen without banking infrastructure. On the other hand, banking is not likely to serve this segment, it’ll cost them a grand. Amartha knows the way to serve them and vice versa. This is all about trust issues and we’re fancy collaboration over competition.

Since the trend emerged in 2016 and more players arise in 2017. In 2018, the illegal issue comes up, and even though it’s not us, we’re still affected. OJK is said to take care of the issues this year and association is doing its homework. I see the future will be filled with collaboration, not only funding with banking but something more solid and intense. Also, there will be new ones offering more sophisticated products to run financial inclusion. And I’m always positive with the new founders, because that is what we need, more aggressive and positive people.

In over 10 years, you have poured blood, sweat, and tears into this company. Have you ever thought of creating something new?

It’s still a long way to go for me to get there. Amartha is still in the growth stage, it’s also a different business scale with Google or others. Especially with my recent appointment as the presidential expert staff. I currently have a lot on my plate these days.

Startup players might have known to have “innocent” political views, but you’ve changed it. What makes you so eager to achieve the challenge?

We have a president who is sincere and I’m more than happy to support him. We had a discussion on Indonesia’s small businesses. He wants to make a change, for bureaucracy’s engine can move faster towards future trends. A mandate for Indonesia to be the world’s top 4 of the country with economic power. This is to be built with positive energy and optimistic people. I, along with the other staff, believe that this is a small step to create the confidence to bring Indonesia to the next level.

Taufan as one of the presidential expert staff
Taufan as one of the presidential expert staff

With the current framework thinking in startup companies, which is fast. Do you happen to experience a clash of culture with the bureaucracy?

It is our duty as the presidential expert staff to provide innovative thoughts and breakthroughs as the president move bureaucracy’s trains with technology and digital approach. First look at the goal, I have yet to face the clash of anything. It’s a good thing that I still get the chance to work in Amartha, therefore, I can balance the startup with bureaucracy stuff for now. Let’s see what’ll happen six months from now.

Looking back at where you start and how it turns out today, what can you say to the early entrepreneurs facing near-failure situations like yourself back then?

If I were to say something, it would be to stay true to your long term goal, because perseverance will eventually pay off.  For those who just started, it’s not about the people, or the money, or the technology. It’s when you find the one thing to focus on and let no distractions come in the middle. Failure is part of the journey. We fail when we stop.

Willson Cuaca Menanamkan Lebih dari Sekadar Uang dalam Sebuah Bisnis

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai salah satu investor yang paling aktif dalam industri VC, Willson Cuaca telah berinvestasi lebih dari sekadar uang dalam sebuah bisnis. Sejak awal, ia percaya pada ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara.

Banyak orang hanya memandang Wilson identik dengan industri VC, sementara ada banyak bidang yang juga ia kuasai dengan baik. Ia merasa terlahir untuk berada dalam industri teknologi, menggeluti bidang komputer sedari belia hingga berbagai pencapaian sebagai nomor satu di masa-masa awal kariernya . Siapa sangka ia tumbuh menjadi seseorang dengan intuisi tinggi yang berhasil masuk ke dalam industri melalui pendekatan yang berbeda.

Didirikan pada tahun 2009, portfolio East Ventures kini sudah mencapai 160 startup dan beberapa diantaranya sudah profitable. Tahun ini tercatat sebagai ulang tahun ke 10 mereka dan pastinya banyak kisah yang sudah menanti. Ia percaya pada kekuatan bangsa ini beserta populasinya.

Di sini, Willson membahas perkara keyakinan serta nilai inti dalam menjalankan bisnis. DailySocial telah menerjemahkan percakapan tersebut ke dalam susunan paragraf di bawah ini.

Anda dikenal sebagai salah satu investor paling aktif di dalam industri VC. Kapan Anda mulai merintis karier ini?

Banyak orang mungkin berpikir saya hanya bermain dalam industri VC, padahal sejak awal saya sangat melekat dengan hal-hal terkait komputer dan jaringan.

Saya memulai perjalanan akademik di Binus University pada tahun 1996, di mana Binus baru dinobatkan menjadi universitas – sebelumnya bernama STMIK. Masa-masa kuliah saya dipenuhi dengan kegiatan selain belajar. Saya juga menjadi instruktur kursus di BNTRC sebelum berganti nama menjadi Binus Center. Di tengah jadwal yang ketat sekalipun, saya masih punya waktu untuk bersenang-senang dengan bermain game.

Saya selalu berusaha menjadi yang pertama mempelajari segalanya. Selama kuliah, saya mempelajari semua tentang jaringan area lokal dan mendalami Linux yang kemudian menjadi inti sistem Android dan iOS. Slackware menjadi distribusi Linux favorit saya saat itu. Saya mencoba memahami lebih dalam dan menjadi salah satu orang pertama yang belajar tentang peralatan Cisco. Setelah itu, saya ditunjuk menjadi instruktur Cisco Certified pertama di Indonesia yang melatih insinyur Cisco untuk mendapatkan sertifikasi CCNA, dan menjadi bagian dari tim pendiri Cisco Networking Academy di Indonesia.

Pada tahun 2000, saya menyelesaikan pendidikan di universitas kemudian diangkat sebagai Kepala Infrastruktur di sebuah perusahaan pertanian. Pekerjaan ini mengharuskan saya untuk mengelola konektivitas intra-jaringan nasional yang sangat luas.

Mengapa Anda pindah ke Singapura?

Sebenarnya, saya adalah seseorang yang mudah bosan, saya merasa perlu mencari sesuatu yang baru untuk dilakukan. Saat itu masih tahun 2001, ketika saya mengamati tren internet security dan memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi spesialis, mendukung beberapa perusahaan di Singapura.

Sekitar tahun 2006, aplikasi web semakin populer lalu saya termotivasi untuk membuat aplikasi sendiri bernama Foyage. Hal ini terjadi sebelum iPhone diluncurkan dan Blackberry banyak digunakan. Saya juga menjadi bagian dari pengembang iPhone pertama di Singapura dan satu dari beberapa pengembang Blackberry pertama di kawasan ini.

Setelah Foyage, saya juga menciptakan Apps Foundry dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi dan aplikasi. Terobosan pertama kami adalah Scoop – #1 digital magazine reader di Indonesia- yang kemudian diakuisisi oleh Kompas.

wilson cuaca 1

Boleh ceritakan sedikit tentang masa-masa awal berdirinya East Ventures? Bagaimana Anda menemukan mitra saat ini?

Relasi saya dengan Batara sudah terjalin jauh sejak 1993 ketika kami masih berada di SMA. Ketika saya pergi ke Jakarta, ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Jepang. Sementara saya berjuang dengan Foyage, ia pun memutuskan keluar dari perusahaannya sendiri yang bernama Mixi. Mixi merupakan sebuah situs web yang memulai debut di pasar saham pada tahun 2006 dan bernilai miliaran dolar, hal ini terjadi sebelum istilah unicorn mencuat ke permukaan. Kami kemudian kembali berkolaborasi untuk membuat East Ventures pada tahun 2009 dengan dua mitra lainnya. Taiga Matsuyama, salah seorang mitra, adalah investor pertama Batara di Mixi.

Foyage mengumpulkan dana awal dari skema investasi pemerintah Singapura pada tahun 2008. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa Indonesia juga memiliki peluang besar dalam industri ini. Pada tahun 2009, kami memutuskan untuk membentuk East Ventures.

Kami memulai Jakarta Ventures Night, mengundang beberapa investor dari Jepang dan juga startup lokal. Pada tahun 2010, turut berpartisipasi dalam acara tersebut, Rama Mamuaya dari DailySocial, serta William Tanuwijaya dari Tokopedia, yang akhirnya menjadi portfolio pertama kami. Setelah itu, kami berinvestasi di Disdus dan berhasil exit untuk pertama kali. Sebenarnya, kami adalah VC pertama yang memiliki siklus lengkap dan hal itu seketika meningkatkan kepercayaan diri kami. Hal ini kemudian membantu menciptakan the flywheels effect.

Hingga saat ini, East Ventures telah berinvestasi di 160 perusahaan, sebagian besar adalah startup tahap awal yang berfokus pada konsumen internet, ponsel, SaaS, media, pendidikan ritel, dan banyak lagi. Baru-baru ini, beberapa diantaranya telah mendapatkan keuntungan mengikuti ekonomi digital Indonesia yang telah mencapai titik perubahan.

Dengan begitu banyak portofolio di tangan, bagaimana Anda bisa mengaturnya?

Kuncinya adalah berinvestasi pada individu. Setelah Anda menemukan seseorang yang tepat dan klik, Anda akan percaya sepenuhnya pada kemampuan mereka untuk berjalan secara independen dan membawa hasil terbaik melalui kesepakatan ini.

Kami membutuhkan 3 titik keselarasan dengan pengusaha.
1. visi, masalah apa yang harus dipecahkan, apa tujuannya?
2. strategi, bagaimana menyelesaikannya, bagaimana cara sampai ke sana?
3. taktis, hal ini lebih kepada eksekusi.

East Ventures dan tim pendiri harus memiliki visi yang sama. Lagipula, saya tidak percaya bahwa investor dapat mengubah portofolionya. Kami bisa menyarankan strategi tetapi individu (para pendiri) adalah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk perusahaan mereka.

Anda telah meluncurkan aplikasi, membuat VC, serta menjalankan bisnis. Selama perjalanan karier Anda, adakah hal yang menjadi batu sandungan?

Tentu saja, ada pasang surut, tetapi satu hal yang saya selalu yakini adalah “hal-hal yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat”.

Saya pernah sangat putus asa karena tidak bisa mengumpulkan dana untuk Foyage, namun saya bukanlah tipe orang yang berhenti dan meratap sementara industri kian berkembang pesat. Kami mendirikan East Ventures pada tahun 2009, dimana sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang-orang pada saat itu. Kami pergi ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang percaya, kecuali beberapa investor Jepang, itu pun karena kepercayaan pada Batara. Namun, saya merasa disini letak kekuatan untuk tidak menyerah sampai sampai pada titik di mana semua bagian pada akhirnya tersusun rapi.

masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri
masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri

Jika tidak ada yang percaya pada industri digital Indonesia, bagaimana bisa Anda percaya?

Secara emosional, ini karena saya orang Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Dalam hal bisnis, ada 30 juta pengguna internet di Indonesia. Pasar ini berukuran sangat besar, mengapa tidak ada yang membuat pergerakan? Saat itu, masalahnya hanya satu. Jika kita mulai sekarang, kapan kita akan berhasil? Di sinilah peran keyakinan sangat diperlukan.

Masalahnya, Indonesia mampu membuat sesuatu yang mustahil terjadi. Alih-alih berbicara tentang American Dreams, mengapa kita tidak bisa menciptakan Mimpi Indonesia. Kita terlalu fokus pada kisah beberapa orang yang menciptakan hal-hal besar di suatu tempat, mengapa tidak kita saja yang menyelesaikannya dan membuat orang melihat kita. Inferiority complex semacam ini seharusnya lenyap dari pola pikir kita. Kita adalah bangsa yang hebat dengan begitu banyak populasi.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk menanamkan investasi?

Ada tiga hipotesis tentang individu;
1. integritas, standar moral, Anda melakukan hal yang benar bahkan ketika tidak ada yang melihat,
2. kesadaran diri, mengetahui kapasitas dan kemampuan diri sendiri,
3. paradoks, memiliki sifat kontradiktif, yang berarti adaptif.
Hal-hal ini tidak dapat dipelajari secara langsung atau dipalsukan.

Begitu saya menemukan kriteria ini pada setiap orang, tidak perlu lagi banyak berpikir atau membuang waktu. Itulah sebabnya sebagian besar penawaran bagus kami terjadi dalam waktu 28 jam setelah pertemuan pertama. Secara konsisten, hal ini terjadi dengan Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai dan banyak lagi. Kami juga mencoba menciptakan ekosistem yang sehat di VC ini. Karenanya, saya tidak akan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki persaingan. Kami mendukung para pendiri kami dengan sepenuh hati.

Perihal latar belakang akademis, bagaimana Anda melihat orang-orang dengan gelar dari luar negeri memiliki dampak dalam industri ini?

Secara kasual, orang-orang yang belajar di luar negeri akan memiliki privilese untuk mendapatkan wawasan lebih serta pengetahuan global. Namun, saya tidak percaya orang yang belajar di luar negeri akan selalu lebih sukses. Yang saya percayai adalah, setiap orang harus memiliki pengetahuan global untuk mengetahui apa yang terbaik dalam eksekusi lokal. Hal ini tidak harus dengan belajar di luar negeri.

Selama bertahun-tahun bertahan menjalankan bisnis dalam industri. Apakah Anda memiliki support system khusus?

Keluarga harusnya menjadi dukungan mendasar yang membentuk diri kita saat ini. Saya juga percaya bahwa karakter itu dikembangkan, bukan dipelajari. Inilah mengapa saya merasa sulit untuk percaya pada konsep akselerator atau mentoring yang bertujuan untuk mengubah seseorang menjadi entepreneur.

Program akselerator, mereka mungkin telah melakukan proses dengan kurasi ketat untuk menemukan bakat, tetapi dalam konsep saya, sebuah permata yang sudah tercipta, meskipun tertutup tanah, adalah tetap permata. Potensi itu ada sejak awal dan berkembang melalui zaman.

Saya percaya pada serendipity, itulah sebabnya saya memusatkan perhatian pada individu. Konsep Chronos dan Chairos, bahwa setiap orang memiliki garis waktu mereka sendiri, dan saat keduanya bertemu, keputusan dibuat, apakah akan terlibat atau tidak dalam kehidupan masing-masing.

Jika Anda benar-benar percaya pada industri digital Indonesia, mengapa Anda tidak tinggal saja di Indonesia?

Di Singapura, kami selalu mendapatkan skenario terbaik, dalam hal regulasi dan banyak hal lain. Sementara di Indonesia, semuanya menjadi kasus terburuk, hal-hal tak terduga kerap terjadi. Saya ingin mempertahankan kesadaran dengan berada di dalam kontras. Seperti Yin dan Yang, jika diibaratkan. Jadi, hidup saya bisa lebih kontras dengan pikiran yang lebih jernih untuk mengidentifikasi sebuah masalah.

Selain itu, Singapura saat ini merupakan hub di Asia Tenggara.

Setelah meraih berbagai pencapaian “nomor satu” dalam industri komputer dan teknologi, juga dengan East Ventures, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?

Ini juga menjadi pertanyaan yang selalu hadir dalam diri saya setiap hari, Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Bagaimana saya bisa menurunkan pengetahuan saya ke tim yang ada saat ini, lalu mereka dapat melanjutkannya dengan kapasitas mereka sendiri, dengan gaya mereka sendiri, serta memiliki entitas sendiri.

Saya tidak bisa menjalankan peran ini selamanya, itulah sebabnya saya memiliki mitra. Saya ingin membangun East Ventures dan menjadikannya sebuah institusi, membesarkan tim generasi berikutnya, dan memastikan setiap mereka tetap setia pada misinya, untuk menjadi Platform Kewirausahaan. Kemudian, saya akan memiliki waktu dan ruang untuk memikirkan sesuatu yang baru lagi – atau mungkin saya akan melakukan ini selamanya. Mari menunggu waktu yang tepat agar semua bisa selaras.

Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi
Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi

Jika Anda memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang industri VC, apa yang akan Anda katakan?

Industri VC saat ini memiliki kue yang jauh lebih besar. Indonesia, dengan begitu banyak masalah di negara ini, menawarkan banyak peluang. Jadi, saya pikir industri VC akan betah di sini.

Bagi saya, industri VC adalah tentang bisnis individu. Teknologi sendiri hanyalah alat.


Artikel ini awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Izak Jenie Belajar Mengambil Bagian Tanpa Melampaui Batas Kemampuan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebelum mengenal industri teknologi, Izak Jenie menjalani hari-hari layaknya masyarakat biasa. Ketertarikannya akan teknologi serta apa yang dapat ia lakukan dengan semua itu membuatnya tak bisa berpaling. Ia lalu memulai bisnis di usia yang terbilang cukup dini serta menghadapi beberapa kegagalan dalam prosesnya.

Setelah berpuluh tahun menjalani bisnis, Ia tidak lelah menciptakan ide serta inovasi. Begitu banyak rintangan yang membuatnya jatuh bangun, namun teknologi dan internet bagaikan pecut yang memacu semangatnya. Saat ini ia menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta kontributor di berbagai aktivitas terkait teknologi.

Berikut adalah hasil rangkuman dari pergerakan karier yang dinamis seorang Izak Jenie di industri teknologi.

Izak Jenie sebagai direktur Jakarta Founder Institute
Izak Jenie sebagai direktur Jakarta Founder Institute

Anda telah mengenal industri teknologi sedari dini. Bisakah ceritakan sedikit tentang masa kecil anda?

Masa kecil saya biasa saja, seringkali menghabiskan waktu untuk bermain di sekitar rumah. Dulu, Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di Jakarta dengan banyak peraturan yang tidak saya sukai. Riwayat kesehatan saya pun tidaklah sempurna, saya kerap mengalami kejang juga menderita asma, sebuah keajaiban saya masih bertahan sampai sekarang.

Pelajaran tidak pernah menjadi isu saat itu, namun saya tidak suka tindakan yang sewenang-wenang. Suatu kali saya membuat petisi saat pihak sekolah mengganti mata pelajaran Olahraga menjadi Bahasa Indonesia tanpa pemberitahuan, dengan alasan guru yang tidak bisa hadir.

Siapa yang mengenalkan anda pada teknologi?

Ialah almarhum ayah saya, Aldi Jenie. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN, Pertamina, dan juga seorang penggiat teknologi. Beliau sering mengajak Saya ke kantornya untuk mencoba teknologi terbaru dan mengenalkan saya pada programming di masa itu. Saya berumur 12 tahun ketika ia mengajarkan garis besar pemrograman.

Saya pertama kali mencoba membuat bahasa pemrograman bernama APL (A Programming Language). Saya takjub! Begitu banyaj hal yang saya pelajari dari membaca buku-buku komputer yang ia bawa sebagai buah tangan saat berlibur / dinas luat kota, bahkan ia membeli sebuah PC IBM pertama yang harganya sangat mahal untuk mendukung ketertarikan anak-anaknya dengan teknologi.

Begitu banyak yang beliau ajarkan tentang teknologi serta hidup. Menjabat sebagai seorang Group Head bukan berarti hidup kami bergelimang harta. Ia masih mencari penghasilan lebih dengan mengambil pekerjaan penerjemahan. Satu hal yang ia tanamkan adalah untuk selalu bersyukur dan tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.

Menghabiskan waktu sehari-hari dengan teknologi, apakah anda pernah mengalami isu sosial?

Sedari kecil, ayah saya selalu mengajarkan untuk berani berbicara. Saya sering melakukan presentasi di depan publik, juga belajar banyak tentang cara berinteraksi. Pengalaman menjadi mentor ilmu komputer telah saya geluti semasa SMA. Ketika masuk universitas, Saya memilih jurusan Teknik karena mengikuti saran beberapa teman. Tentu, saya memiliki teman.

Kegiatan saya tidak jauh dari bermain musik dan komputer setiap waktu, sampai saya menginjak perguruan tinggi. Saya memulai grup komputer di kampus dan terbuka untuk umum, ikut meramaikan paduan suara di kampus, sebelum akhirnya lulus walaupun seringkali mangkir karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, pada masa ini saya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya, ia salah satu yang memotivasi saya untuk menyelesaikan kuliah.

Izak Jenie bersama anggota paduan suara kampus
Izak Jenie bersama anggota paduan suara kampus

Apakah anda pernah bekerja di perusahaan sebelumnya?

Ya, setelah lulus dalam kurun waktu lima tahun, saya mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Ketika teman-teman sudah memulai karier di perusahaan besar, saya masih menganggur selama 6 bulan. Banyak perusahaan besar yang menolak, sampai ketika sebuah kesempatan muncul di BBS (Bulletin Board System), salah satu perusahaan swasta populer di Indonesia sedang mencari lulusan komputer grafis handal.

Proses wawancara berjalan mulus dan saya berbicara banyak tentang bidang yang diminati. Tidak lama setelah itu, saya diterima dengan gaji yang melampaui perkiraan. Belum genap satu minggu diterima, saya akhirnya menolak sebuah penawaran oleh perusahaan lain yang tidak kalah terkenal, dan saya belajar mengenai komitmen.

Pada tahun 1994, anda muncul di media sebagai salah satu penemu VoIP. Bagaimana awal mula terciptanya VoIP sampai akhirnya mendunia?

Hal ini terjadi setelah lulus kuliah, saya merasa memiliki spesialisasi untuk memecahkan teka-teki. Dulu, saat internet masih langka, sebuah modem bisa mengonversi suara menjadi data. Lalu saya memiliki ide untuk menyambungkan modem dan mengembangkan perangkat untuk mengirim sinyal. Sekarang mungkin sudah menjadi hal biasa, namun di tahun 90-an, ini adalah sebuah revolusi luar biasa. Dalam istilah awam – ini disebut Jaringan Telepon Komunitas P2P di tahun 1994.

Saya berpartner dengan dua orang penggiat internet lainnya, Jeff Pulver dari New York dan Brandon Lucas dari Tokyo, kami mulai mengembangkan ide kemudian diberitakan oleh London Financial Times, Wall Street Journal dan beberapa media besar lain.

Setelah kisah penemuan tersebut, apa yang anda lakukan? Kapan anda mulai membangun bisnis?

Hal yang pertama saya lakukan adalah berhenti dari pekerjaan saya saat itu. VoIP sangat menyita waktu. Sementara itu, ada sangat banyak kesempatan di luar daripada hanya duduk di belakang meja. Ini menjadi pekerjaan pertama dan terakhir saya.

Berbicara mengenai membangun sebuah perusahaan, sebenarnya saya sudah memulai sejak di semester kedua perguruan tinggi, dengan membuat logo bergerak, saya menghasilkan uang untu membayar biaya kuliah dan lain-lain. Hal ini terjadi jauh sebelum saya bertemu mitra yang luar biasa kemudian berbagi pengalaman mengenai seluk beluk industri.

Di masa penjajakan, saya bertemu dengan seorang pemain industri yang tertarik dengan ide-ide saya dan mau berinvestasi. Euforia tak terhindari lalu saya dimanjakan dengan uang. Percobaan pertama adalah sebuah toko buku online bernama Sanur.com yang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Saya beradu pendapat dengan investor dan memutuskan untuk keluar. Melalui proses yang panjanh serta dibantu oleh proyek seharga 200 juta Rupiah, akhirnya saya bisa berdamai dengan perusahaan lama. Dibantu oleh Jusuf Sjariffudin, bersama dengan Ishak Surjana, kami membangun perusahaan bernama Jatis.

Anda memulai Jatis dari awal hingga melahirkan kontribusi dalam industri. Mengapa anda memutuskan untuk keluar?

Kami memulai Jatis sebagai konsultan enterprise, saat perusaan asing sedang mendominasi. Strategi yang digunakan pada saat itu adalah menandatangani sebanyak mungkin kontrak serta melakukan pitching dengan berbagai macam klien. Bagaimanapun usaha yang dilakukan untuk membuat manajemen proyek yang solid dan sempurna, ternyata tidak didukung oleh kesepakatan harga yang sesuai. Konsultan menjadi bisnis yang sulit bagi pemain lokal ketika anda tidak bisa menetapkan harga kemudian menjadi isu ketika akan scale-up.

Mengembangkan bisnis dari skala kecil menuju skala menengah tidaklah sulit, namun setelah itu muncul perkara krusial dimana harus memilih untuk tinggal atau terus beranjak. Saya meninggalkan Jatis karna ketertarikan saya mulai bergeser ke ranah B2C dan lagi saya sudah lelah menjadi konsultan untuk B2B selama itu. Perputaran bisnis ini seperti gasing – hanya mengitari tempat yang sama bertahun-tahun tanpa inovasi lebih lanjut. Bukan perkara mudah meninggalkan perusahaan yang sudah dibesarkan selama 12 tahun.

Izak Jenie bersama tim Jatis
Izak Jenie bersama tim Jatis

Selama membangun bisnis, bagaimana anda menghadapi jatuh bangun dalam industri teknologi?

Saat itu mungkin adalah titik terendah saya, tidak ada lagi tempat di industri ini, bahkan dimusuhi banyak pihak. Akhirnya, Saya menemui seorang mentor, yang juga teman lama – Simon Halim – mantan CEO E&Y. Ia yang mengarahkan saya untuk menyusun rencana serta membuat laporan setiap minggu. Sedikit demi sedikit masalah terselesaikan, selangkah demi selangkah saya kembali bangkit dan akhirnya berhasil keluar dari lubang hitam. Menghadapi masalah dan hutang sama seperti mengikuti lomba renang, anda mulai meluncur lalu berhenti setiap 10 menit untuk mengambil nafas. Selama garis akhirnya tidak berubah – anda akan sampai pada waktunya.

Pada masa ini juga Nexian bermula. Ketika itu saya sedang dalam antrian untuk membeli sebuah perangkat lalu memutuskan untuk langsung menemui pendiri perusahaan dan mengemukakan ide untuk mengembangkan platform yang lebih baik. Proyek ini akhirnya berhasil dan Nexian berjaya pada saat itu. Saya memulai bisnis ini bersamaan dengan Nexian, fokus pada konten perangkat. Berbagai macam konsep disajikan dengan bantuan beberapa selebritis seperti Slank, Anang, Ashanti, Syahrini dan lainnya. Nexian JV adalah perusahaan pertama saya yang menuai profit.

Saat ini, anda menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta berkontribusi dalam banyak kegiatan dalam industri terkait. Bisa ceritakan bagaimana perjalanan anda sampai ke titik ini?

Semua menjadi lebih menarik ketika saya menemukan mitra saya sekarang – Jahja Suryandy, Martin Suharlie, dan Michael Stevens. Bersama-sama kami memulai MCAS Group pada tahun 2017 dengan visi untuk mendisrupsi ekosistem digital di Indonesia. Kami menjadikan perusahaan IPO dan sekarang berkembang pesat. Saat ini kami sedang melakukan penelitian mendalam tentang teknologi AI dan Fintech, yang berfokus pada pembentukan ulang berbagai industri dalam 20 tahun ke depan.

Tak ada satu industri pun yang dapat lolos dari penetrasi teknologi, dan dalam 20 tahun ke depan, sebagian besar pekerjaan akan bertransfomasi menjadi mesin. Bukan berarti semua orang menjadi pengangguran, hanya saja pada akhirnya akan berpindah haluan pada pekerjaan dengan lebih banyak waktu luang untuk hal yang paling signifikan dalam hidup: keluarga.

Saya mungkin telah membuat beberapa keputusan buruk di masa lalu, tetapi kerja keras, ide, kegigihan adalah yang membuat kita berkembang setiap hari. Saya menjunjung tinggi , “Nilai anda bukan ditentukan oleh seberapa banyak uang, tetapi seberapa banyak ide,” dan saya tidak pernah berhenti menghasilkan ide sampai sekarang.

MCAS IPO di 2017
MCAS IPO di 2017

Anda juga dikenal sebagai pembicara di banyak acara terkait teknologi, juga sebagai mentor bagi banyak inkubator startup. Menurut anda, apa hal yang paling fundamental dalam membangun bisnis?

Bagian tersulit dari membangun bisnis adalah bertransformasi dari bisnis pribadi menjadi sebuah institusi. Untuk bertahan, seseorang harus menciptakan sistem khusus serta mengatasi isu fundamental. Setelah itu, fokus pada apa yang anda lakukan sekarang, jangan terbawa euforia. Anda memulai begitu banyak bisnis sehingga tidak punya waktu untuk menggarap semua. Cobalah untuk tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.

Bagi mereka yang ingin memulai, mari kembali ke bagian paling mendasar dari bisnis ini – menghasilkan keuntungan yang sehat. Pada dasarnya, pembiayaan harus lebih kecil dari pendapatan, lalu perbedaannya disebut laba – dan jangan coba membuat definisi lain seperti kebanyakan startup.

Izak Jenie sebagai pembicara di #SelasaStartup / DailySocial
Izak Jenie sebagai pembicara di #SelasaStartup / DailySocial

Saat ini, startup sedang dalam masa sulit dan tidak terlalu bagus untuk industri. Pola pikir tidak sehat menjamur di mana para pendiri startup rela kehilangan uang demi mengejar nirwana. Nah, masalahnya tidak semua startup menjadi Unicorn, hanya yang gigih, memiliki jaringan dan bisa mengeksekusi dengan baik. Sisanya harus mempertahankan perusahaan dan akan sangat sulit jika anda tidak menghasilkan profit. Ada banyak kasus di mana para pendiri kelelahan dan bukan hanya bisnisnya yang gagal tetapi kehidupan pribadi mereka juga.

Jadi, sebisa mungkin – buatlah startup yang mendulang profit. Suntikan dari VC adalah permulaan yang baik, namun, jangan memanjakan diri dengan banyak seri dan cobalah menjalankan perusahaan secara mandiri. Setelah anda bisa menguasai hal itu, kebanyakan orang akan bisa mengikuti.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Willson Cuaca to Invest a Lot More than Just Money in People Business

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As one of the most active investors in the VC industry, Willson Cuaca has invested a lot more than just money in the people business. He is the early believer of Indonesia and Southeast Asia digital economy.

Many people only associate him with the VC industry, while he’s expert at much larger field. Cuaca was born to be in the tech industry, he started young in the computer field and achieved many firsts during his early career. Who knows that he is a person with guts that can make it into the industry through a different approach.

Was founded in 2009, East Ventures managed to have 160 startup portfolios in hand and some are getting profitable. This year marked their 10th anniversary and more stories to come. He believes in the power of this nation and its population.

He talks about beliefs and the core value to run a business. DailySocial has translated the conversation into paragraphs below.

You are best known as one of the most active investors in the VC industry. When did you start?

Many people might think I only about VC industry, meanwhile, my early days was full of computer stuff and network thingy.

I began my academic year at Binus University in 1996, this was also the year when it becomes a university – from previously named STMIK. My school year is filled with other activities besides study. I became a course instructor at BNTRC before renamed into Binus Center. Amidst the tight schedule, I still find time to have fun playing games.

I always tried to be the first to learn everything. In my college years, I learned all about the local area network and find out about Linux which was actually the core to Android and iOS systems. Slackware was my favorite distribution. I tried to fathom the knowledge and become one of the first people to learn about Cisco equipment. I was the first Cisco Certified instructor in Indonesia to trained Cisco’s engineer to be CCNA certified and the founding team of Cisco Networking Academy in Indonesia.

In 2000, I graduate university then hired as the Head of Infrastructure in an agriculture company. My job requires me to manage national wide intra-network connectivity.

Why did you move to Singapore?

Actually, I get bored easily, I need to find something new to do. It was 2001 when I observed the trend in internet security and learned enough to be a specialist, supporting firms in Singapore.

Around 2006, web-app was getting hype and I was encouraged to create my own app named Foyage. It was before iPhone launched and Blackberry widely used. I was also part of the first iPhone developer in Singapore and a few first Blackberry developers in the region.

After Foyage, I also created Apps Foundry with the aim to develop technologies and applications. Our first breakthrough is Scoop – #1 digital magazine reader in Indonesia- which was later acquired by Kompas.

Tell me about the early days of East Ventures? How did you meet the partners?

My relation with Batara is all the way to 1993 when we’re still in high school. When I went to Jakarta, he left for college in Japan. While I struggle with Foyage, he also exited his own company named Mixi. The website debuted on the stock market in 2006 and valued billions dollar, it was before the term unicorn coined. We then re-group again to create East Ventures in 2009 with 2 other partners. Taiga Matsuyama, the other partner, was the first investor of Batara’s Mixi.

Foyage raised first money from Singapore government investment scheme in 2008. Not until then, I realized that Indonesia also has a huge opportunity in this industry. In 2009, we decided to form East Ventures.

We started Jakarta Ventures Night, inviting few investors from Japan and some local startups. In 2010, DailySocial’s Rama Mamuaya also presented in the event and William Tanuwijaya from Tokopedia, the first in our portfolio. Later on, we invest in Disdus and made our very first exit. We’re actually the first VC to have a complete cycle and that instantly boosted our confidence. It helped creating the flywheels effect.

To date, East Ventures has invested in 160 companies, mostly are the early-stage startups focuses on consumer internet, mobile, SaaS, media, retail education and much more. Recently, some are getting profitable as Indonesia’s digital economy hit the inflection point.

With so many portfolios in hand, how could you manage?

The key is to invest in people. Once you meet the right one and clicked, you trust them enough to run independently and to bring out the best result through this deal.

We need 3 point of alignment with entrepreneur.
1. vision, what kind of problems to solve, what’s the goal?
2. strategy, it’s how to work things out, how to get it done?
3. tactical, this is more like the execution.

East Ventures and the founding team must have a same vision. In fact, I don’t believe that investors could change their portfolios. We might advise strategy but it’s the people (founders) who know what’s best for their company.

You’ve created your own app, built your own VC, run the business. During your journey, have you faced any stumbling block?

Of course, there are ups and downs, but one thing I always believe is “things that don’t kill you make you stronger”.

I was so desperate that I couldn’t raise funds for Foyage, but I’m not the kind of person who stops and stares while the industry’s rapidly growing. We founded East Ventures in 2009, it was really hard to gain trust from people that time. We went some places, but no one believes except some Japanese innvestors, it was due to Batara’s credential. However, I think it’s the power of not giving up until it gets to the point where all the pieces put down together.

Early days of East Ventures, managing the whole portfolios alone

 

If no one believes in Indonesia’s digital industry, why would you?

Emotionally, It’s because I’m Indonesian. If not us, who else?

In terms of business, there are 30 million internet users in Indonesia. A huge size market, why wouldn’t anyone make a move? At that time, there’s only one problem. If we start now, when will we make it? This is where the leap of faith is necessary.

The thing is, Indonesia is capable of making something impossible happened. Instead of talking about American Dreams, why can’t we create the Indonesian Dream. We are too focused on the story of some people who create big things somewhere, why don’t we work things out and have people look at us. This kind of inferiority complex should have vanished from our mindset. We are a great nation with lots of people.

What makes you decide to invest in one?

There are three hypotheses on people;
1. integrity, a moral standard, you do the right thing when no one sees,
2. self-awareness, to know yourself and what you’re capable of,
3. paradox, having contradictive traits, which means adaptive.
These things cannot be learned instantly or faked.

Once I met these criteria in people, no need to think or waste time. That is why most of our good deals were closed within 28 hours after the first meeting. These consistently happened overtime with Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai and many more. Also, we tried to create a healthy ecosystem in this VC. Therefore, I wouldn’t invest in competing businesses. We back our founders wholeheartedly.

In terms of academic background, how do you see people with the overseas title have an impact in the industry?

Casually, people who study overseas will have the privilege to gain insight from the global knowledge.  However, I don’t believe people who study overseas will always be more successful. In fact, I believe people should have global knowledge to know and what’s best for local execution.It is not always by studying abroad.

You survived many years in this industry. Do you have any specific support system?

Family is indeed the fundamental support that shapes your current self. I also believe that character was developed, not learned. That is why I find it hard to believe in the accelerator or mentoring concept that aims to turn someone into an entrepreneur.

The accelerator program, they might have done a very curated process to find talents, but in my concept, once a jewel, although it’s covered in dirt, is still a jewel. The potential was there from the very beginning and developed through times.

I believe in serendipity, that is why I put my focus on people. A Chronos and Chairos concept, everybody has their own timeline, and the moment we met, the decision was made, whether to involve or not at each other’s life.

If you really believe in Indonesia’s digital industry, why won’t you live in Indonesia?

In Singapore, we always get the best scenario, in terms of regulation and many more. While in Indonesia, everything is in the worst case, unexpected things often arose. I’d like to maintain my consciousness by having the contrast. The yin and yang, so to say. Therefore, My life could be more contrast and I have a clearer mind to identify the problem statement.

Also, Singapore is currently the hub in Southeast Asia.

After achieving many firsts in the computer and technology industry, also with East Ventures, what’s next?

This is also the question I always ask myself every day, What should I do next? How can I transfer my knowledge to my team, for they can do their own things, in their own style, and have their own investees.

I can’t have this role forever, that is why I have partners. I want to build East Ventures and make it institutional, raise the next generation team, and make sure it stays true to its mission, to be an Entrepreneurship Platform. Then, I will have time and space to think of something new again – or maybe I will do this forever. Let’s wait for the stars to align.

This year marked as East Venture's 10th year anniversary
This year marked as East Venture’s 10th year anniversary

If you have something to say about the industry, what would you say?

The industry currently has a much larger pie. Indonesia, with so many issues in the country, offers quite many opportunities. Thus, I think the VC industry will stay long here.

To me, the VC industry is all about people business, the technology is just a tool.

Nicko Widjaja dalam Investasi Teknologi: Bangkit dari Rasa Tersisih dan Anggapan Remeh

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Industri teknologi bukanlah tempat bermain, tidak ada buku panduan dalam mencapai kesuksesan dalam hal ini. Menjadi salah satu penggiat investasi teknologi, Nicko Widjaja, telah merasakan pahit manisnya industri ini. Sebagai seorang CEO, Nicko berhasil menjadikan MDI Ventures dengan dukungan telkom Indonesia, satu dari sedikit perusahaan modal ventura (PMV) yang menuai profit paling besar.

Pada tahun 2011, Ia memulai PMV bernama Systec Ventures dikala banyak yang masih ragu dengan perkembangan startup teknologi di Indonesia. Setelah tutup buku di tahun 2013, Ia kemudian memimpin sebuah program startup inkubator terbesar oleh Telkom di Indonesia bersama Telkom Indigo Incubator. Di tahun 2015, Ia naik menjadi kepala PMV racikan Telkom Indonesia, MDI Ventures.

Setelah sukses membawa lima perusahaan exit di luar negeri, ekspansi ke Singapura, dan melakukan penggalangan dana kedua untuk MDI Ventures, Nicko kini diangkat menjadi CEO dari PMV baru milik BRI, BRI Ventures, untuk mengelola dana sebesar $250 juta menargetkan ekosistem fintech di Indonesia.

Seluruh pencapaian ini bukan tanpa kerja keras dan dedikasi. Berikut adalah beberapa potongan cerita yang berhasil dirangkum oleh tim DailySocial.

Dimulai dari bagaimana perjalanan awal seorang Nicko Widjaja serta apa yang menjadi dasar di balik setiap pemikirannya?

Pertama-tama, saya terlahir di waktu yang tepat. Jika saya lahir 10 tahun lebih awal, dunia belum siap, sementara lebih lama lagi sudah terlambat.

Saya tidak pernah percaya dengan sistem pendidikan oleh institusi. Hal itu sangat ketinggalan jaman dan secara eksplisit menggambarkan sistem kerja sebuah pabrik – anda masuk, lalu jadilah, dan ditaruh di suatu tempat. Saya tumbuh menjadi seorang rebel. Bukan seorang pembangkang terhadap orangtua, namun lebih kepada iseng terhadap teman.

Selama itu, saya merasa tidak biaa beradaptasi. Saya tidak merasa cocok dimanapun dan mengalami depresi melihat kehidupan di sekitar layaknya sebuah film “Divergent” – di mana sedikit banyak mencerminkan era 90-an. Saya mengampu pendidikan di sebuah institusi Katolik, semacam persiapan untuk ‘orang-orang sukses’ yang dididik untuk berkomitmen pada kehormatan keluarga, karier, reputasi, dan dapat dipercaya seumur hidup.

Percaya tidak percaya, beberapa orang bahkan benar-benar menjadi seperti yang dulu sering mereka bicarakan. Seorang pekerja bank, arsitek, dokter, atau bahkan putra / menantu seseorang – sangat mengerikan, bukan?

Dalam usaha menyesuaikan diri, saya gagal pada banyak subyek seperti matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan lainnya. Reputasi sebagai penunda akut melekat sampai akhirnya saya menggagalkan pelajaran olahraga dan orang-orang menganggap itu sebagai pemberontakan. Seketika dunia sekitar berubah, dan saya menjadi ‘tanpa golongan’.

Saat itu saya sadar bahwa mengikuti jejak orang lain bukanlah sebuah keharusan, juga memiliki banyak waktu untuk mempelajari diri sendiri. Hal ini menjadi penting dalam membangun fondasi seorang Mastermind: Know yourself.

Di perguruan tinggi, jurusan apa yang Anda ambil? Mengapa?

Ya, bukankah ini sesuatu yang sudah dirancang untuk kita? Lulus SMA, masuk universitas, membangun karir/menikah, lalu pensiun. Sebuah lingkaran penderitaan yang tanpa akhir.

Alasan saya masuk universitas mungkin berbeda dengan kebanyakan orang yang berfikir: “Ya, saya ambil jurusan akuntansi karena ingin menjadi akuntan!” atau “Yah, sepertinya bakat saya adalah menggambar, saya akan coba jurusan desain grafis!”. Dalam pikiran saya ada keinginan untuk belajar mengenal diri sendiri. Apa hal-hal yang menjadi inspirasi/motivasi serta apa yang tidak. Tempat di mana kita bisa menemukan tujuan/ambisi lain yang lebih besar dalam hidup. Mengapa sebuah mata kuliah bisa membuat saya penasaran sementara yang lain tidak.

Saya belum menetapkan jurusan sampai tahun ketiga di universitas. Beruntung saya memiliki orang tua yang mau mengerti dan tetap mendukung. Pada awalnya saya fokus pada jurusan teknik dan merasa tidak cocok, lalu mengambil beberapa matkul bisnis yang ternyata tidak menarik, sampai akhirnya saya menemukan liberal arts. Pelajaran tentang evolusi manusia, narasi serta interaksi menjadi fokus hidup saya. Apapun itu yang sedang saya lakukan, semua adalah hasil dari pembelajaran saya saat itu.

Coba ceritakan kisah awal kembalinya Anda ke Indonesia. Apa saja yang Anda lakukan?

Setelah lulus dari Oregon, saya pindah ke San Fransisco di tahun 2000. Kota itu dipenuhi dengan ‘situs-situs’, hanya selang beberapa tahun – yang sekarang dikenal dengan nama startup. Semua tentang e-commerce hingga portal pra-sosmed sangat menarik. Saya mencari pengalaman di beberapa perusahaan, aeringkali di bidang pengembangan konten, bisnis analisis, dan bidang lain yang cocok untuk lulusan baru.

Saya kembali ke Jakarta di tahun 2004 dan bergabung dengan Indofood sebagai corporate development officer yang bersinggungan langsung dengan CEO yang mengajarkan banyak hal tentang dasar-dasar bekerja serta hepicopter view dalam mengatur strategi perusahaan. Setelah tiga tahun bekerja, saya mulai mendengar desas desua tentang seseorang yang ingin menciptakan sebuah revolusi.

Setelah resign dari Indofood di 2007, saya menjadi co-founder di beberapa unit bisnis, Thinking*Room (perusahaan desain), Mindcode (perusahaan riset conaumer dan inovasi), serta berinvestasi pada beberapa produksi film. Masa sebelum industri VC adalah masa dimana hidup masih indah dan belum serumit sekarang.

Selama 2009-2010, beberapa teman mengenalkan saya pada dunia teknologi, orang-orang yang membangun Koprol, Urbanesia, Dealoka, di sini juga pertama kali saya mengenal Rama dan DailySocial – tanpa terasa sudah hampir 10 tahun!

Bagaimana bisa muncul ide untuk membangun Systec?

Saat itu saya sedang terlibat dalam industri film pada tahun 2009 ketika dihubungi beberapa rekan, “Ayo kesini dan dengarkan langsung dari orangnya!”

Kemudian mereka diundang ke acara tentang startup lokal yang mencoba menantang Google di Indonesia, sesuatu seperti Google versi Bahasa Indonesia, atau semacamnya – sebuah ide yang revolusioner pada saat itu. Bayangkan, Google bisa menerapkan semua bahasa secara instan begitu saja. Namun, orang ini, entah darimana membawa kebanggaan, nasionalisme bercampur, dan jadilah $ 1-2 juta ia kumpulkan dengan mudah.

Awalnya, mereka minta dikenalkan dengan orang-orang di jajaran atas. Saya melakukan networking sana-sini – saya rasa mengapa tidak – sampai ketika saya tak henti membicarakan ekosistem digital. Saya seperti masuk dalam mode penggalangan dana ketika berbicara tentang digital.

Beberapa bulan kemudian, saya ikut mendirikan Systec Ventures dengan beberapa rekan dari Mindcode. Ini menjadi bagian awal ekosistem mengingat pada tahun 2011 hanya ada sedikit kami yang hadir di acara-acara seperti Sparxup, Echelon, dll. Systec Ventures adalah studio pembangun ventura, inkubator + investor + kolaborator – mirip dengan Science Inc. Hal ini menjadi menarik ketika saya bisa bekerja sama dengan para pengusaha. Mereka dapat memanfaatkan ruang terbuka milik kami (seperti di kantor sekarang) secara gratis selama Anda seorang investee. Di sinilah Anda bisa mendapatkan gambaran akan pengembangan ekosistem.

Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja
Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja

Apakah ada yang bisa Anda ceritakan mengenai kegagalan berbisnis?

Banyak yang belum menyadari bahwa VC menghasilkan uang dari penjualan saham portofolio mereka – bukan dari dividen. Di Systec Ventures, kami sangat sibuk mengerjakan setiap portofolio untuk menyempurnakan produk, konten, dan model bisnis, sampai kami sadar bahwa tanpa investasi lanjutan maka tidak akan ada profit – sekali lagi ini terjadi di masa awal dunia startup di Indonesia.

Satu per satu portofolio kehilangan likuiditas, sementara bertaruh hanya pada satu atau dua produk fitur.

Hal ini menjadi pelajaran besar yang dipetik, bahwa yang paling berkontribusi terkait industri ini melibatkan pemikiran ‘uang adalah raja.’

Apa yang anda lakukan selanjutnya? Indigo?

Pada tahun 2014, kami diperkenalkan pada Telkom Indonesia, mereka sedang akan memulai kembali Telkom Indigo Incubator untuk startup digital. Kami saling mempelajari terutama ketika Telkom Indonesia memulai program ini di tahun yang sama dengan Systec Ventures, 2011. Sebelumnya, Indigo Incubator adalah ajang untuk mengumpulkan para pendiri startup untuk akhirnya bekerja dalam salah satu proyek di Telkom Group. Tidak jauh berbeda dengan Systec Ventures, atau perusahaan yang didukung konglomerat lainnya.

Ketika kami (sebagian besar adalah tim Systec) masuk ke Indigo Incubator untuk membantu meningkatkan program, kami menyadari bahwa investasi lanjutan harus menjadi metrik kesuksesan – layaknya program inkubator di seluruh dunia.

Saat itu … pendanaan lanjutan jarang sekali terjadi. Sebagian besar program inkubator (terutama di korporat) gagal menarik investor luar. (Satu hal yang dibanggakan dari Systec Ventures adalah akses ke individu/konglomerat yang akan menjajaki bisnis digital).

Kami mengundang berbagai jaringan investor untuk terlibat selama program sebagai mentor/penasihat. Hasilnya, kami mendapatkan 40% pendanaan lanjutan dalam batch pertama, lalu sekarang adalah Indigo Creative Nation yang bisa saja menjadi program akselerator startup paling terkemuka di Indonesia menghasilkan lebih dari 70% follow-on dan $180 juta kapitalisasi pasar dengan portfolio startup terkemuka seperti Payfazz, Nodeflux , PrivyID, Sonicboom, GoersApp, dan sebagainya.

Bagaimana cara Anda menemukan penawaran-penawaran bagus?

Filosofi investasi saya sederhana: Anda akan mendapatkan penawaran bagus dari seseorang yang tahu cara mendapatkan penawaran terbaik. Lalu, mengapa mereka mau memberikan penawaran terbaik? Di MDI Ventures, kami benar-benar mengembangkan dan membina hubungan dengan investor global papan atas. Berbagi dan menggabungkan sumber daya bersama dengan Telkom Indonesia menjadi bagian dari strategi untuk mendapatkan penawaran terbaik.

Saya pernah mendengar tentang salah satu VC di Singapura memberikan investasi kepada startup namun tanpa ada itikad baik, pada akhirnya hanya untuk meraup uang LP. Hal ini tidak bisa diterima, sebab di industri ini, berita menyebar dengan cepat, dan jika Anda benar-benar ingin bergelut dalam industri, reputasi adalah segalanya.

Belakangan, bagaimana perasaan Anda ketika berada di MDI?

MDI Ventures bisa jadi salah satu dari sedikit VC yang paling profitable di Indonesia. Bulan lalu saja (Juni / Juli), kami terlibat dalam tiga exit, dengan total lima exit selama 4 tahun beroperasi, satu IPO di TSE dan satu di ASX. Hal ini mengawali era baru bagi para pemula yang terlibat dalam industri dengan banyaknya uang mengalir. Tim ini akan selalu memiliki semangat tinggi.

Bergeser ke BRI. Bagaimana proses transfer Anda hingga sampai pada posisi ini?

MDI Ventures adalah salah satu yang pertama menerapkan model CVC (Corporate Venture Capital). Ada rumor yang menyebutkan bahwa kami menjadi referensi setiap kali ada pembahasan mengenai CVC. Saya merasakan validasi pertama kali untuk bekerja dengan entitas luar adalah ketika berkolaborasi dengan Mandiri Capital untuk meluncurkan Mandiri Digital Incubator pada tahun 2016. Itu menjadi interaksi pertama kami dengan sektor perbankan.

Sejak saat itu kami telah bekerja sama dengan Pegadaian dan Pertamina untuk memperkenalkan sinergi perusahaan rintisan dan korporasi.

Ketika Anda berbicara tentang transformasi digital di sektor perbankan, BRI telah menjadi salah satu yang paling progresif dalam mengimplementasikan inisiatif digitalnya sejak tahun 2017. Pembahasan tentang dana sudah dimulai pada tahun 2018 dan tesis ekosistem telah dibuat.

Saya menyatakan dengan jelas bahwa perpindahan ke BRI Ventures tidak berarti meninggalkan MDI Ventures sepenuhnya. Keduanya jelas bersinergi dalam banyak hal dan belajar untuk saling memanfaatkan sumber daya satu sama lain: bank terbesar, perusahaan telekomunikasi terbesar, dengan startup teknologi berada di tengah. Kami tengah menantikan kesempatan untuk berkolaborasi sesegera mungkin.

Sedikit jeda membahas industri, coba ceritakan sedikit tentang pengalaman mengajar Anda.

UPH Lecture/ Nicko Widjaja
UPH Lecture/ Nicko Widjaja

Lagi-lagi, hidup tidak bisa diprediksi – bahkan untuk orang-orang yang tidak menyukai institusi akademik. Saya pernah mengajar di UPH Business School selama 2010-2015 (dalam kurun waktu sama dengan Systec Ventures). Ini menjadi kesempatan menarik, bisa bersinggungan dengan pemikiran dari generasi mendatang dalam hal kepemimpinan, kewirausahaan, dsb.

Saya memiliki metode yang tidak konvensional. Ketika bertemu dengan salah satu murid saya, mereka bisa berbagi pengalaman berada di dalam kelas yang ‘kacau’. Kebanyakan, saya akan membahas tentang ekonomi digital masa kini dan memaparka studi kasus Amazon, YCombinator, Yahoo, dan lainnya, serta mengaitkannya dengan isu-isu domestik.

Apakah yang menjadi rahasia kesuksesan Anda?

Pertama, jangan takut untuk membuat kesalahan selama ada hal yang bisa dipelajari. Kedua, berani mengambil resiko serta lebih terlibat dalam prosesnya.

Written by Nicko Widjaja
Written by Nicko Widjaja

Apa saran Anda untuk para pelaku industri untuk memulai startup?

Saya dikenal sebagai seseorang yang blak-blakan dalam mengomentari startup, tapi inilah pendapat saya: Anda merasa bisa menjadi unicorn selanjutnya? Tidak, saya katakan.

Beberapa unicorn bahkan tidak pernah bercita-cita untuk menjadi unicorn. Pemikiran sebagai underdog justru yang mengantar Google, Facebook, dan Netflix ke atas panggung. Mereka menang melawan dominasi para korporat kelas atas: Netflix Vs Blockbuster, Amazon Vs Barnes & Noble (serta segenap rantai retail di Amerika), Apple Vs IBM, dsb. Jadi, jika Anda mengaku sebagai startup dan bermimpi mendominasi industri tanpa ada validasi internal maupun external, ini bukan ajang yang tepat.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Izak Jenie Learned Not to Bite Off More Than What He Can Chew

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Izak Jenie was having an ordinary life before he got introduced to the tech industry. He was amazed by the technology and what he can do with it. He started many companies at such a young age and experienced some failures during his business era.

In his 40s, he never stopped to create value and making innovation. Sticks and stones may break his bones but technology and internet always excite him. He is now the CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributors to many other tech-related activities.

Below is the excerpt to sum up the dynamic chart of his career in the tech industry.

Izak Jenie serves as a director of Jakarta Founder Institute
Izak Jenie serves as a director of Jakarta Founder Institute

You’ve been having encounters with the tech industry at a very young age. What was your childhood like?

It was ordinary, spending most of my time playing around the neighbourhood. Back then, I was studying in one of the private schools in Jakarta with many regulations I’m not fond of. My health record was bad, I used to get convulsions and have asthma, thank God I’m still alive.

There is no academic issue back in the old days, but authority triggers me. I even made a petition when the school rescheduled PE to Bahasa Indonesia unnoticed, due to the absence of the teacher.

Who introduced you to technology?

My late father, Aldi Jenie. He was working at one of the state-owned enterprises, Pertamina, and also tech enthusiast. He often brought me to his office to see the latest technology and introduced me to the programming industry at the early days. When I was only 12 years old he introduced me to programming in the mainframe. I created my first programming language named APL (A Programming Language). I’m hooked! I learned so much from many computer books he brought while travelling/on duty, he even bought the first and very expensive IBM PC to support our interests in technology.

He taught me so much of technology and life itself. Having a position as a Group Head, we didn’t really dig a fancy life, he still made money out of freelance translation. The one thing he always says is to be grateful and don’t bite off more than you can chew.

Having a daily encounter with technology, are you having any issue with a social life?

Since I was a child, my father always told me to speak up. I do lots of public presentations, also learned so much about people interaction. I was a mentor in computer science since high school. I entered Trisakti university and took a major in Electrical Engineering because my friends doing so. Yes, I have friends.

My activity used to be doing music and computer all the time, I take it until my college life. I started computer clubs on campus also for the public and joined campus choir before I finally graduate after missing some classes because I’m too preoccupied with work. In fact, this is where I met my current wife, she motivated me to finish university.

Izak Jenie with the campus choir
Izak Jenie with the campus choir members

Have you ever worked in a company?

Yes, graduated in five years, I have difficulty in finding jobs. While my friends were working at high-profile companies, I was unemployed for 6 months. Most of the top-five companies reject my application, it was until an opportunity appears from BBS (Bulletin Board System) that one of the popular private company in Indonesia is looking for a high-skilled computer graphic graduate.

The interview went well and I got to talk so much on my favourite subject. After the not-so-long process, I got accepted with a salary above my expectation. It’s not even a week after my successful interview, I just declined an opportunity by another well-known firm. This is where I learned about commitment.

In 1994, you came up with VoIP. How did you come up with such an idea and make it into global recognition?

It was after I graduate college, my specialty is actually to solve a puzzle. Back then, when the internet was still a rare thing, there’s a specific modem that can convert voice into data. I initiated the idea to connect modems and create software to send signals. It might sound simple nowadays, but in the 90’s it was such a revolution. In current layman terms – it was P2P Community Phone Network in 1994.

I made a pact with two other internet enthusiasts, Jeff Pulver in New York and Brandon Lucas in Tokyo, we started to develop the idea and make it into the news in London Financial Times, Wall Street Journal and other big media. It really helps with my career until now.

After the discovery, what did you do? When were you started to build your own company?

First thing first, I resigned from the job I had. VoIP has taken most of my time at the company. Meanwhile, this world is too full of opportunity to just stay back by the desk. This has become my first and last job.

When we’re talking about building a company, actually, I started my own company of computer graphics at the 2nd semester in my college year, earned money by making flying logos to pay my own bills and tuition. It was long before I met some great colleagues and shared insights from many parts of the industry.

In my exploration time, I met someone in a similar industry which was fond of my idea and willing to invest some cash. Euphoria struck hard and I was spoiled by easy cash. My first trial is an online bookshop named Sanur.com and it didn’t work as planned. I’m having an argument with the investor and decided to step out. After a long process and a project worth Rp200 million, I can finally make peace with my last company. Jusuf Sjariffudin also took part in the success, with Ishak Surjana, we created a company named Jatis.

You started Jatis, build the whole company from scratch until making impact. Why you decided to leave?

We started Jatis as an Enterprise Consultant when foreign business arrived and dominate the market. My strategy was to sign contracts as much as possible by pitching with many potential clients. However, our attempt to create a perfect and solid project management model does not supported by good pricing model. Consultancy is a tough business when you are a local player since mostly you don’t command the pricing structure and it becomes an issue when we’re trying to scale-up.

Accelerating from small to middle-size might be easy, from that point further is the crucial part, whether to stay or to climb higher. I left Jatis because of my interest shifted in B2C technology market and I’m pretty tired back then as a consultant to do the same B2B over and over again every year. My business life was like spinning toy – I circling around in the same place for years and cannot innovate further. It’s not easy to leave a company where you’ve been working for 12 years.

Izak Jenie with Jatis team
Izak Jenie with Jatis team

During your business experience, how did you manage to rise from the failure?

I think it was the lowest point, there is no place for me in the industry, I was so close to being a public enemy. Finally, I had a meeting with my mentor, also my old friend – Simon Halim – he was ex-CEO of E&Y. He taught me to make plans and report the progress every week to him. He helps me carefully list all my problems, categorized it one-by-one and create a solution for each. Step by step, I get back on track and managed to get out of all my problems in three years. Fighting your problems and debt is like taking the swimming practice, you just start your long swim and take a breath every 10m or so. As long as the finish line does not move – you will get there eventually.

During this moment is also the starting point of Nexian era. I was in the long queue to buy the handset when I decided to approach the founder and declared my mission to create a better app for the product. It turned out well and Nexian becomes the hype that day. I created a company together with Nexian, focus on mobile content for handsets. We created dozens of handset concept with the help from notable celebrities like Slank, Anang, Ashanti, Syahrini and other innovative concepts. Nexian JV is my first highly-profitable company.

Currently, you are the CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributor to many other activities in the industry. Tell me more about the journey.

My life becomes more interesting when I met my current partners — Jahja Suryandy, Martin Suharlie, and Michael Stevens. Together we started MCAS Group in 2017 with the vision to disrupt the digital ecosystem in Indonesia. We took the company public and now the business grows very fast. We are now conducting in-depth research on AI technology and Fintech, focusing on reshaping various industries for the next 20 years.

There is no single industry able to escape technology penetration, and in the next 20 years, we are to shift most of the work into machines. It doesn’t mean to be unemployed, but most people will move to much better jobs with more free time in their hand for the most important thing in life: family.

I might have made some bad decisions in the past, but hard-working, ideas, persistence will always help us progressing every day. I always look up the quotes “Lack of money doesn’t make you lose your value, but lack of idea is,” and I never stopped producing ideas up until now.

MCASH IPO in 2017
MCASH IPO in 2017

You’ve known as a speaker at tech-business events and also a mentor to many startup incubators. What do you think is very fundamental in building a business?

The hardest part of developing a company is to transform a personal-based business into an institution. In order to survive, one must build a system and fix the fundamental issue first. Also, focus on what you’re doing now, do not get too excited you started so many businesses you have no time to handle. Try not to bite off more than you can chew.

For those who want to start, let’s go back to the most fundamental part of the business – create a healthy profit. Basically, your cost should be less than your revenue, and the difference of it is simply called profit – please don’t try to come up with other definition as most startups do.

Izak Jenie as a speaker at SelasaStartup / DailySocial
Izak Jenie as a speaker at #SelasaStartup / DailySocial

Nowadays, startups are bleeding and it’s not really good for the industry. Toxic mindset is mushrooming where startup founders think that it is ok to lose money and chase the future nirvana. Well, not everyone will become Unicorn, only those who are persistence, have a good network and execute well are capable. The rest has to struggle for the company to stay afloat and it’ll be very difficult when you have no profit. I’ve seen too many cases where founders got exhausted and not only the business failed but their personal life as well.

Thus, as much as possible – make your startup profitable. VC money is a good way to jumpstart your business, however, don’t be spoiled with multiple series of VC money and try to run the company independently. Once you master it, most people can easily replicate.

Nicko Widjaja on the Tech Investment: The Rise of The Misfits and the Underdogs

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

The tech scene is no joke, in order to succeed, one must not play by the book. As one of the pioneers in the tech investment, Nicko Widjaja, has been through hell and back looking at the industry. As the CEO of telco backed MDI Ventures, he manages to put the company as one of the few profitable venture capital firms in Indonesia.

In 2011, he started his own VC firm named Systec Ventures when many were unsure on how big the tech startup scene would be in Indonesia. Closed the fund in 2013, and became the head of Indonesia’s largest startup incubator program under Telkom Indonesia a year later with Telkom Indigo Incubator. In 2015, he went to head the new iteration of Telkom Indonesia’s creative capital thesis, MDI Ventures.

After successfully leading the exit of five overseas companies, setting up Singapore operation, and raising the second fund for MDI Ventures, Nicko Widjaja is now moving up to head the newly established BRI Ventures with fund eyes up to $250 million targeting fintech ecosystem of Indonesia.

All these achievements are through a series of hard work and dedication. Here’s the glimpse of his story.

Let’s start from the early days of Nicko Widjaja and what’s behind his brilliant mind?

Let’s say I was born on the right timing. If only I was born 10 years earlier, it would be too early, and later would be too late.

I was never a big believer of institutionalized education. It’s outdated, traditional, and somewhat resembled a factory – you’re in and, voila, you’re out for a placement somewhere. I was a rebel growing up. I like to challenge my peers in school most of the time – not the kind of rebel against parents or anything like that.

Growing up, I didn’t fit anywhere. A square peg in a round hole, so to speak. It was quite depressing actually to see the world around you like the movie ‘Divergent’ – the early 90s is somehow reflected in that movie. I was educated in a Catholic institution, like some sort of prep school for ‘successful people’, bred to commit to the family honor, career, reputation, blablabla for life.

And crazy thing was that some people I grew up with really became what they said would be now. Bankers, architects, doctors, or even someone’s son/daughter-in-laws – what the fudge?

As I struggled to fit it, I flunked many subjects. Math, Science, English, and so on. I might have this reputation as chronic procrastinator growing up, until I failed Sports, then the public opinion had begun to label me as rebel. Then the world around me changed. I became the ‘factionless’.

I think this is the beginning when I realized that I don’t have to follow what everybody is and have plenty of time to understand myself better. This is the very important foundation of becoming a Mastermind: Know yourself.

What major did you take? And why?

Oh well, that what we’re ‘designed’ to do anyway, isn’t it right? You graduated high school, go to college, get career/married, go on retirement. An endless cycle of pain.

My reason for going to university was different than most of the dudes back then. Most of them were like: “Hey, I’m majoring in accounting because I want to become an accountant later! Yippy!” or “Hey, I think I’m good at doodles, I’d like to try graphic design!”.

I went because I think I could learn more about myself. What excites/inspires/motivates me and what doesn’t. Where I can find greater purpose/goal/ambition in life and where can’t. Why this particular subject draws me in curiosity and why the other doesn’t.

I didn’t take up to decide a major until the third year of my university year. I’m lucky to have such supportive and understanding parents in that way. I took a bunch of engineering focus courses in my early years and realized that it wasn’t for me. Later took some business courses and I found them quite dull, until I finally found liberal arts. The study of human evolution, narrative and interaction had become a fascination in my life.

Whatever it is that I’m currently doing, it is all a homage to that particular school of thought.

Tell me the early days of your arrival back in Indonesia. What have you done?

After graduating from Oregon State, I moved to San Francisco in 2000. The city was blossoming with dotcoms, just a year before the bust – that what we called startups then. I was attracted to the whole pitch from e-commerce to pre-social media portals.

I did a few gigs in the dotcoms, mostly working in content development, business analysis, and all those chores you expected from a fresh grad.

I returned to Jakarta in 2004 when I joined Indofood as their corporate development officer reporting directly to the CEO where I learned most of the basic working experience and the helicopter view of corporate strategy. I’ve worked there for three years, and during that moment I started to hear chatters about someone was doing something on the Internet.

I resigned from Indofood in 2007, co-founded some businesses, Thinking*Room (multi-disciplinary design company), Mindcode (innovation and consumer research company), and investing in some movie productions. I described my pre-VC days as ‘I-wish-life-was-that-simple-again’ days.

During 2009-2010, I was brought to the early Indonesia’s tech scene by some friends who founded Koprol, Urbanesia, Dealoka, and this was the first time I knew Rama and the Dailysocial – look how we’ve shared this timeline together for almost 10 years!

How did you come up with Systec?

I was in my movie editing studios in 2009 and some friends called over the phone, “You got to come here and listen to this guy!”

Then later they invited to this pitch about a local startup trying to challenge Google in Indonesia, something like Google in Bahasa Indonesia, or something like that – quite a revolutionary too at that point of time. That was crazy, because Google could’ve just easily implemented all languages in instant just like that. But this guy somehow brought pride, nationalism mix together, and voila he collected a hefty $1-2 million easy.

Initially, they asked me to introduce them with some high net worth. I did some introduction here and there – I guess why not – until I found myself talking about the digital ecosystem altogether. Kind of finding myself in a fundraising mode when talking about digital.

Then a few months later, I co-founded Systec Ventures with some colleagues from Mindcode. It was super early ecosystem if you remember in 2011, there were only a handful of us at such events like Sparxup, Echelon, etc. Systec Ventures was a venture builder studio, a hybrid of incubator + investor + collaborator – similar to Science Inc. It was exciting because I can work closely with entrepreneurs. They can utilize our open space (much like what you see in co-working offices now) for free as long as you’re an investee. I think here you can get the bigger picture on how the ecosystem working its way up.

Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja
Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja

Are you willing to share the demise story?

Many might not aware that VCs are making money from the sale of shares in the portfolio they invested in – not from dividends. In Systec Ventures, we’re so busy working on each of the portfolio to perfect their product, content, business model, that we realized until later that without follow-ons then there’d be no path to profit – again this was during the earliest day of Indonesia’s startup scene.

One by one, the portfolio was losing liquidity, while betting on the one or two feature products.

It was a huge lesson learned, and that what contributed to the whole conventional realization that ‘cash is king.’

What did you do next? Indigo?

In 2014, we’ve got introduced to Telkom Indonesia, and they are about to restart the Telkom Indigo Incubator for digital startups. We both learned from each other especially Telkom Indonesia started the open innovation program about the same year as Systec Ventures in 2011. In the past, Indigo Incubator was the kind of a lab when you arrange startup founders to eventually work for one of the projects in Telkom Group. Pretty much similar to Systec Ventures, or any other conglomerate backed venture wannabes out there.

When we (the ‘we’ is mostly Systec’s team) got into Indigo Incubator to help improve the program, we realized that follow-on should be the metric of success – just like any incubator program all over the world.

And back then… follow-on was rare. Most of the incubator programs (especially in corporates) in those days also failed to attract outside investors. (I think one thing about us at Systec Ventures got it right was access to high net worth who are about to venture in the digital business)

We invited our investor networks to even engage during the program as mentors/advisors. We managed to get 40% follow-on rate in our first batch and now Indigo Creative Nation is perhaps Indonesia’s most leading startup accelerator program with more than 70% follow-on and a market cap of $180 million with notable startups such as Payfazz, Nodeflux, PrivyID, Sonicboom, GoersApp, and so on.

How did you manage to find the good deals?

My investment philosophy is simple: You get good deals from someone who knows how to get the best deals. The next question is why would they give their best deals to you? We at MDI Ventures, we really develop and nurture our relationship with top tier global investors. Sharing and combining our resources together with Telkom Indonesia was part of the strategy for our upside in getting the best deals.

I’ve heard of one VC in Singapore giving away term sheets to startups without even honoring them in the end just to bring LP money in. That’s sad because, in this industry, news travels fast, and if you really want to thrive in this industry, your reputation is everything.

How about these past few days in MDI?

MDI Ventures is perhaps one of the few profitable VCs in Indonesia. Last month alone (June/July), we experienced three exit events, totaling of five exits thus far after only 4 years in operation, that is one IPO in the TSE and another one in the ASX. This signals the new dawn for the region’s startups as more money is flowing inbound. The team’s spirit is at all time high.

Let’s move on to BRI. How did you manage to go there?

MDI Ventures was one of the first models of Corporate Venture Capital (CVC). Rumor has it that we were referenced every time CVC is mentioned in corporate meeting rooms all over town. I believe the first validation to work with outside entity was when we collaborate with Mandiri Capital to launch Mandiri Digital Incubator in 2016. That was our first interaction with the banking sector.

Since then we’ve been working closely with Pegadaian and Pertamina to introduce startup x corporation collaboration synergy.

When you talk about digital transformation in the banking sector, BRI has been one of the most progressive implementing its digital initiatives starting in 2017. Started discussing about the fund in 2018 and the ecosystem thesis was coined.

I stated clearly that leaving for BRI Ventures doesn’t mean leaving MDI Ventures completely. Both are clearly in synergy in many ways and learning to leverage each other’s resources: the biggest bank, the biggest telco, and the tech startup right in the middle. We are definitely looking forward to forming up a collaboration sooner that you expected.

Taking a break from the investment story, tell me about your teaching experience?

UPH Lecture/ Nicko Widjaja
UPH Lecture/ Nicko Widjaja

Again, life sometimes takes a strange turn – especially for someone who hates school. I taught at UPH Business School during 2010 – 2015 (around the same time of Systec Ventures). It’s an exciting opportunity to experience the streams of thought from the next generation of leaders, entrepreneurs, etc.

My method was quite unconventional. I believe when you meet one of my students they could share one of their experiences of being inside my chaotic classroom. But most of the time I spoke more about the new digital economy, comparing case studies from Amazon, YCombinator, Yahoo, etc. and build some sort of relevance to what’s happening domestically.

If you can attribute your success, what would it be?

First, don’t be afraid to make mistakes as long as you try to learn as much from them. Second, some skin in the game.

Written by Nicko Widjaja
Written by Nicko Widjaja

Any suggestion for those who want to start their own startups?

I might be known for my bluntness when judging startups, but here’s what I think: You feel you can be the next unicorn? No, I don’t think so.

Unicorns didn’t even aim to be one. It’s the mindset of the underdogs that put Google, Facebook, Netflix on the pedestal. It’s the underdogs who won against the corporate arrogance of domination: Netflix Vs Blockbuster, Amazon Vs Barnes & Noble (and later the whole retail chains in America), Apple Vs IBM, and so on.

So, if you’re a startup and your aim is world domination before even begin to validate yourself, then you belong in the insane asylum.