6 Sumber Modal Usaha Tambahan bagi UMKM untuk Mengembangkan Bisnis

Modal kerap menjadi kendala utama, tidak hanya untuk mereka yang ingin memulai bisnis, tetapi juga UMKM yang ingin mengembangkan bisnis. Namun, saat ini telah banyak pilihan yang bisa diambil guna mendapatkan modal untuk memulai bisnis. Beberapa pilihan tersebut diantaranya:

Bootstrapping

Sumber modal bootstrapping adalah sumber modal usaha yang berasal dari dana pribadi. Dengan menggunakan tabungan sendiri, Anda bisa memulai bisnis dan mengandalkan laba atau keuntungan bisnis untuk kegiatan operasional lainnya.  Tidak hanya bersumber dari tabungan, dana pribadi juga bisa berasal dari penjualan aset pribadi untuk modal bisnis.

Download eBook 65 Sumber Modal Usaha untuk UMKM, Gratis!

Meskipun dana pribadi cenderung terbatas, namun dengan menggunakan sumber dana pribadi Anda memiliki kendali penuh atas bisnis Anda. Anda bisa memusatkan fokus Anda pada pengembangan bisnis saja dan tidak perlu memikirkan cara mengembalikan atau membayar uang modal.

Venture Capital

Venture Capital merupakan sebuah lembaga yang terdiri dari perorangan maupun korporat yang secara khusus menyediakan modal bagi bisnis rintisan. Individu dalam venture capital mengumpulkan dana mereka untuk mendanai perusahaan rintisan yang membutuhkan modal dalam bentuk investasi.

Untuk mendapatkan modal dari venture capital, Anda perlu melalui beberapa proses penilaian dari venture capital. Salah satu yang perlu dilakukan adalah mengajukan rencana bisnis. Venture capital akan melakukan peninjauan dari rencana bisnis yang diajukan dan memutuskan apakah bisnis Anda layak untuk untuk mendapat pendanaan atau tidak.

Peer-to-peer (P2P)

Peer-to-peer lending adalah lembaga yang memberikan jasa pinjam meminjam melalui platform online. Dalam memilih lembaga p2p, pastikan lembaga tersebut sudah memiliki izin dan diawasi oleh OJK. Platform tersebut akan mempertemukan peminjam dana dengan pemberi pinjaman, kemudian akan dilakukan verifikasi secara mendetail. Beberapa contoh p2p lending yaitu Investree, danamas, dan akseleran.

Angel Investor

Istilah angel investor biasa dilekatkan kepada individu yang biasanya bersedia memberikan pinjaman modal bagi UMKM maupun startup. Mendapatkan angel investor cenderung lebih sulit karena sifatnya yang individu maka Anda memerlukan relasi yang luas. Namun bukan berarti tidak mungkin. Anda bisa mulai memperluas relasi dan mencari angel investor dengan latar belakang minat dan industri yang sama.

Program Pembiayaan UMKM

Pentingnya kontribusi UMKM bagi perekonomian Indonesia membuat pemerintah meluncurkan program bantuan pendanaan bagi UMKM. Dua contoh program yang sudah dijalankan adalah pinjaman KUR dan LPDB.

Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah program kerjasama pemerintah dengan berbagai perbankan di Indonesia untuk memberikan pembiayaan atau modal usaha kepada UMKM. KUR menjangkau UMKM dengan kebutuhan modal maksimum Rp500 juta, pinjaman modal kerja, dan kredit investasi.

Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) adalah lembaga yang dibentuk oleh Kementerian Koperasi dan UMKM untuk memberikan pinjaman kepada pelaku UMKM dengan bunga yang relatif rendah. Hal itu dilakukan agar UMKM memiliki daya saing yang lebih tinggi di pasar nasional maupun global.

Pinjaman Online

Di era digitalisasi saat ini, proses pinjam meminjam bisa dilakukan dengan lebih mudah secara online. Pelaku UMKM bisa memanfaatkan pinjaman online untuk menambah modal usaha mereka. Kemudahannya ditunjukkan melalui persyaratan dan proses pencairan yang cepat. Namun, jangan hanya tergiur oleh kemudahannya. Anda juga perlu menyiapkan rencana bisnis yang tepat supaya menghindari penunggakan pembayaran. Jika peminjam melakukan penunggakan, maka akan berpengaruh pada skor kredit dan reputasi bisnisnya.

Itulah beberapa sumber modal yang bisa dijadikan pertimbangan bagi UMKM yang ingin menambah modal. Setiap pilihan yang diambil tentu memiliki konsekuensi dan tantangan tersendiri, pastikan Anda telah melakukan analisis dan mempersiapkan rencana bisnis yang mendetail sebelum mengajukan pinjaman.

Modal Rakyat Memasuki Bisnis Insurtech dan e-Procurement

Setelah resmi hadir tahun 2018 lalu, platform peer to peer lending digital Modal Rakyat telah menambah beberapa layanan terbaru, yaitu asuransi dan procurement untuk pembelian truk.

Kepada DailySocial Co-Founder & CEO Modal Rakyat Hendoko Kwik mengungkapkan, berangkat dari produk financing down payment pada pengadaan unit truk, perusahaan juga membantu transporter yang menjadi peminjam di platform Modal Rakyat untuk menyediakan perlindungan asuransi pada truk yang di-procure.

“Modal Rakyat melihat pendekatan offline memiliki 3 basis touch point yakni proses pengajuan, proses underwriting, dan proses pengiriman polis fisik; sehingga terbesit ide bahwa pendekatan online memiliki SLA yang lebih baik pada proses perlindungan unit seperti motor, mobil dan truk niaga,” kata Hendoko.

Menggandeng Asuransi Adira, Modal Rakyat mencoba memberikan kemudahan untuk memasarkan produk perlindungan kendaraan bermotor. Kini hanya dalam satu genggaman, para pengguna dapat melindungi kendaraan mereka. Melalui produk asuransi mobil Adira Insurance, yaitu Autocillin, terdapat dua jenis jaminan utama, yaitu Komprehensif dan Total Loss Only (kerugian atau kerusakan total).

Produk asuransi ini baru saja diluncurkan oleh Modal Rakyat beberapa waktu yang lalu. Masih dalam tahapan sosialisasi terhadap captive market user. Perusahaan menargetkan bisa menyumbangkan produksi minimal 50 polis per bulan untuk Asuransi Adira. Kerja sama dengan Adira menjadi terobosan baru bagi Modal Rakyat untuk bisa memberikan manfaat lebih bagi para pengguna, khususnya asuransi kendaraan.

“Kita coba mengutarakan pengembangan penutupan risiko melalui skema online kepada pihak Adira, dan ternyata Adira memiliki animo yang baik pada proses digital dan sudah memiliki infrastruktur pendukung, sehingga terbentuklah produk asuransi kendaraan digital dan platform Modal Rakyat sebagai salah satu reseller mereka,” kata Hendoko

Produk procurement truk

Selain produk asuransi, Modal Rakyat juga memiliki produk baru lainnya yaitu Produk Procurement Truk. Produk Procurement Truk merupakan produk yang lahir dari pengembangan bersama dengan platform truk digital Ritase.

Dalam hal ini fungsi yang dilakukan masing-masing stakeholder adalah, Modal Rakyat berupa pemenuhan down payment 30% dari nilai unit truk. Sisanya akan dilimpahkan ke lembaga finansial seperti bank. Sementara untuk Ritase, pihak yang memiliki kemampuan melakukan verifikasi dari revenue yang akan didapatkan unit truk dan sustainability dari proyek yang akan dikerjakan transporter/borrower.

“Hal ini dimungkinkan karena Ritase membantu melakukan digitalisasi terhadap bisnis transporter/borrower sehingga biaya operasional, penerbitan invoice dan surat jalan, hingga pembayaran dari shipper/pemberi kerja dapat tercatat secara digital. Sementara untuk transportir/borrower, mereka memiliki fleksibilitas untuk mengerjakan proyek yang baik dengan working capital minimum,” kata Hendoko.

Terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak Juni 2018, hingga saat ini total pendana di Modal Rakyat telah mencapai lebih dari 55 ribu orang dengan total penyaluran sekitar Rp370 miliar yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Andi Taufan Meyakini bahwa Ketekunan Akan Berbuah Keberhasilan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai seorang pendiri solo, adalah perjuangan menguras darah, peluh dan air mata bagi Andi Taufan Garuda Putra dalam membangun Amartha. Berbagai kisah mewarnai mulai dari satu per satu Co-founder pergi serta dilema antara pendidikan dan perusahaan. Semua itu membawanya pada sebuah peer-to-peer lending yang telah sukses menyalurkan Rp1,25 triliun pinjaman kepada lebih dari 200 juta pengusaha mikro di daerah-daerah terpencil.

Ia memulai perjalanan ini dengan mimpi untuk mewujudkan inklusi finansial di seluruh Indonesia. Memang tidak mudah, mengingat bisnis pinjaman yang penuh celah dan potensi penipuan. Namun dengan dasar ketekunan, ia berhasil mendaki tebing tinggi dimana bisnis mikro bisa berkontribusi lebih pada ekonomi Indonesia saat ini.

Adapun, belum lama ini ia dipercaya menjadi salah satu anggota staf ahli kepresidenan pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua.

Berikut kisah lebih lengkap mengenai perjalanan Andi Taufan Garuda Putra dalam sesi tanya jawab dengan tim DailySocial.

Sebagai permulaan, dengan latar belakang akademis dalam bidang bisnis. Bagaimana bisa Anda berfikiran untuk memulai Amartha? Apa yang menjadi dasar untuk membangun sesuatu yang memiliki dampak sosial?

Pada awalnya, saya mengampu pendidikan tinggi di bidang bisnis tanpa aspirasi untuk menjadi seorang pengusaha. Orangtua sendiri meniti karir sebagai profesional, saya pun berencana untuk mengikuti jejak mereka. Begitu pula dengan gelar master, semata-mata untuk mendukung karir profesional yang mendukung kesejahteraan. Ketika sudah sukses, bisa bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Definisi sukses saya amatlah sederhana, menginjak umur 50 tahun tanpa khawatir akan masa depan suram.

Setelah menyelesaikan strata satu, saya sempat bekerja di IBM selama dua tahun sebagai konsultan bisnis. Pekerjaan ini melibatkan perusahaan-perusahaan minyak untuk mengimplementasi sistem IT di daerah terpencil. Ketika mengelilingi sudut-sudut pedesaan, saya menemukan gap yang cukup lebar antara daerah pinggiran dan perkotaan, seperti di Jakarta. Hal inilah yang mendorong saya untuk mengambil tindakan, bagaimana saya bisa berkontribusi dalam hal ini. Pada masa itu, saya memutuskan untuk membuat sesuatu yang memiliki target. Daripada sekedar membantu konglomerat semakin kaya, lebih baik membuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk bisnis-bisnis kecil agar lebih bertumbuh.

Saat itu masih di awal tahun 2000, belum ada yang berbicara mengenai fintech atau platform aplikasi. Setelah menggali ide, akhirnya saya menetapkan hati pada microfinance. Sektor ini memiliki target yang jelas, ketika menyuntik dana pertama, cashflow akan langsung terlihat, demikian juga nilai keuntungannya. Hal ini juga menimbulkan multiplayer effect dalam keluarga, selain membangun bisnis, anak-anak mereka pun bisa bertumbuh seiring mendapat pendidikan layak.

Pada awalnya, Amartha hanya berbentuk sebuah koperasi. Bisa dijelaskan detail perjalanan membangun bisnis ini menjadi sebuah platform peer-to-peer lending?

Pada suatu hari, saya mengunjungi daerah di kabupaten Bogor bernama Ciseeng. Saat berkeliling desa, saya bertemu banyak orang dan berbincang mengenai masalah-masalah yang kerap muncul di daerah tersebut. Kebanyakan yang tersisa adalah ibu-ibu, suami mereka sedang bekerja di tempat lain, ada juga yang di kota. Sebagaimana kepala keluarga yang memiliki penghasilan pas-pas an, para istri pun harus ikut bekerja paruh waktu demi kesejahteraan keluarga.

Didasari dengan fenomena ini, saya rasa mereka akan sangat membutuhkan bantuan. Saya mulai menawarkan pinjaman kecil-kecilan, mulai dari 500 ribu untuk 100 orang pada tahun pertama. Berbicara tentang produktifitas, mereka menggunakan uang pinjaman tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti membeli mesin jahit dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka cukup bertanggung jawab dan mengembalikan pinjaman tepat waktu. Kami pun bertumbuh dengan menyediakan pinjaman bagi seribu orang di tahun selanjutnya.

Setelah lima tahun melayani lebih dari 7000 orang di pedesaan, kami menemukan tantangan tersendiri pada bisnis ini. Pada akhirnya, pinjaman mikro bukan hanya sekedar uang, namun menciptakan harapan. Mereka mulai membuat rencana untuk bisnis dan keluarga, lalu ingin pinjaman yang lebih banyak. Dengan kredit macet serta isu lainnya, kami pun nyaris kehabisan uang sementara pertanyaan mengenai “Amartha mau bankrut ya?” menyerang dari berbagai sisi. Ini sangat sulit, bahkan untuk saya.

Lalu saya menemukan bahwa microfinance saja tidak cukup dalam era internet ini. Kami pun kembali dengan sebuah inovasi untuk menggalang dana dari masyarakat, bisa dibilang sebagai peer-to-peer lending marketplace. Dengan partner serta oinjaman berkualitas, saya melakukan pitching dengan investor tahap awal kami [BEENEXT dan MidPlaza]. Mereka nampaknya menyukai ide ini dan melalui berbagai macam rintangan, Amartha akhirnya resmi beroperasi sebagia platform online di tahun 2016.

Momentumnya ada, kemudian beberapa platform p2p ikut meramaikan pasar Indonesia. Industri fintech mulai masuk masa kejayaannya. Dalam hal ini, kamu turut mendorong OJK untuk membentuk regulasi mengenai industri p2p yang masih seumur jagung ini. Amartha pun masuk menjadi salah satu punggawa awal dalam industri p2p ini yang mendapatkan izin resmi dari OJK di awal tahun 2019.

Tim Amartha saat ini
Tim Amartha saat ini

Berbicara mengenai masa-masa krusial, bagaimana Anda menyikapi situasi ini dan bisa bangkit kembali?

Saya rasa sekitar tahun 2014-2015. Masyarakat mulai krisis kepercayaan pada Amartha, saya sendiri juga ragu bisa melanjutkan bisnis ini. Saya pun berfikir untuk menciptakan inovasi baru, lalu datanglah kabar baik dari Harvard. Di tahun yang sama, para investor mulai berdatangan ketika masa-masa sulit menghampiri Amartha.

Hal ini menjadi dilema, ketika harus memilih antara pendidikan atau perusahaan. Lalu saya berinisiatif untuk berbicara dengan investor dan mereka memperkenankan saya untuk melanjutkan studi dengan syarat platform ini harus segera rilis. Terjadilah di tahun 2016, ketika itu saya bekerja secara remote di US dengan bantuan Aria serta tim developer. Adalah sebuah anugrah memiliki tim yang selalu mendukung serta lingkungan yang positif.

Menjadi pendiri solo menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Di tahun 2009, saya pernah memiliki partner, hinga satu per satu pergi menyusul keadaan saat itu. Saya pun mencoba lagi di tahun 2014 dengan beberapa partner baru sampai akhirnya dua orang gugur dan satu lainnya memiliki prioritas lain. Saya menyadari bahwa selalu ada Co-founder di setiap tahapan bisnis Amartha, ini menjadi poin penting. Sementara itu, para C-level yang ada sekarang menjadi sangat penting dalam menopang bisnis ini ke jenjang yang lebih tinggi.

Apa yang menjadi target Amartha di jenjang yang lebih lanjut?

Hal itu adalah ketika kami bisa melampaui batas pinjaman peer-to-peer. Kami sangat baik dalam memberikan pinjaman mikro untuk perempuan di daerah pedesaan. Tetap setia pada misi kami untuk memberikan kesejahteraan yang setara bagi orang-orang pada piramida terbawah. Jika harus menentukan definisi kesejahteraan, hal itu adalah mengurangi biaya hidup mereka, menyediakan produk-produk yang terjangkau, sehingga mereka dapat menyisihkan uang untuk ditabung, dan mulai berinvestasi. Bagaimana Amartha dapat berkembang melampaui pinjaman p2p? Ini tidak hanya tentang dukungan modal awal tetapi juga demi menyediakan produk lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Bagaimana caranya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap setia pada komitmen saat ini?

Kuncinya adalah memahami ragam masalah yang terjadi. Sebagai bisnis pinjaman, pasti akan ada permasalahan mengenai pembayaran melewati tanggal jatuh tempo, celah dalam peraturan, serta potensi penipuan. Jika kita tidak mencoba memahami, kita tidak akan pernah menjadi lebih baik. Apa yang saya pelajari sampai saat ini karyawan kami mencapai 2.500, adalah bagaimana membangun tim dengan misi. Semangat mereka harus diselaraskan dengan misi keseluruhan perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menanamkan rasa memiliki pada setiap karyawan. Setelah itu terpenuhi, mereka dapat mulai mengeksplorasi dan bergerak pada satu tujuan. Hal ini cukup menantang tetapi layak diperjuangkan.

Taufan sebagai pembicara di acara #SelasaStartup pertama DailySocial
Taufan sebagai pembicara di acara #SelasaStartup pertama DailySocial

Sebagai salah satu pelopor platform peer-to-peer lending di Indonesia, siapa/apa yang menjadi role model bagi Amartha?

Saya mengacu pada pasar AS dan Eropa. Mereka sudah terlebih dahulu memiliki unicorn LendingClub di AS, dan pasar Eropa dengan Funding Circle dan Prosper. Belum pernah ada yang seperti ini di Asia. Karena itu, dengan basis pelanggan yang berbeda, saya mulai bekerja dengan apa yang kita punya. Dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berada di piramida kelas bawah, Amartha menciptakan model bisnis yang menargetkan pasar massal dan peminjam berkualitas tinggi.

Dalam lanskap p2p lending ini, apakah pernah ada isu dengan perbankan atau departemen lain terkait inklusi finansial?

Sejak awal, kita memiliki tanggung jawab yang jelas untuk masing-masing divisi. Semua yang dilakukan perusahaan pun tak luput dari infrastruktur perbankan. Di sisi lain, untuk perbankan bisa masuk ke segmen ini, akan sangat menguras tenaga. Amartha punya kapasitas untuk memberi pelayanan dan sebaliknya. Semua ini kembali lagi pada kepercayaan dan kami pun akan lebih menjunjung tinggi kolaborasi dibandingkan kompetisi.

Sejak tren ini mulai berkembang di tahun 2016 dan semakin banyak pemain bermunculan di tahun 2017. Pada tahun 2018, masalah ilegal muncul, meskipun bukan kami, tetap hal ini berpengaruh. OJK disebut akan mengatasi semua masalah di tahun ini dan asosiasi pun punya tanggung jawab sendiri. Saya melihat kedepannya akan penuh dengan kolaborasi, tidak hanya pendanaan dengan perbankan tetapi sesuatu yang lebih solid dan intens. Lalu, akan ada perusahaan-perusahaan baru menawarkan produk yang lebih canggih untuk menjalankan inklusi keuangan. Bagaimanapun, saya selalu melihat semua pendiri baru dengan sudut pandang positif, karena itulah yang kami butuhkan, orang-orang yang lebih agresif dan positif.

Selama lebih dari 10 tahun Anda bekerja keras menguras tenaga, peluh dan air mata dalam membangun perusahaan ini. Apakah pernah berniat untuk membuat sesuatu yang baru?

Masih terlalu jauh untuk saya memikirkan hal itu. Amartha masih dalam masa pertumbuhan, kami pun memiliki skala bisnis yang berbeda dengan Google atau perusahaan elit lainnya. Terlebih dengan tanggung jawab baru sebagai staf ahli kepresidenan. Saat ini load saya sudah sangat banyak.

Para penggiat startup seringkali disebut buta politik, namun Anda bisa mengubah itu. Apa yang membuat anda tertarik untuk menerima ‘amanah’ ini?

Kita memiliki presiden yang tulus dan saya dengan senang hati bisa turut mendukungnya. Kami berdiskusi tentang usaha-usaha kecil di Indonesia. Dia ingin melakukan perubahan, agar mesin birokrasi dapat bergerak lebih cepat menuju tren masa depan. Ini adalah sebuah mandat bagi Indonesia untuk menempati posisi 4 negara teratas di dunia dengan ekonomi terkuat. Hal ini harus dibangun dengan energi positif dan orang-orang optimis. Saya, bersama dengan staf lainnya, percaya bahwa ini adalah langkah kecil untuk menciptakan kepercayaan diri demi membawa Indonesia ke jenjang yang lebih tinggi.

Taufan sebagai salah satu staf kepresidenan
Taufan sebagai salah satu staf ahli kepresidenan

Dengan kerangka berfikir startup yang pace nya cepat, apakah ada clash of culture yang terjadi dalam interaksi dengan birokrasi?

Adalah tugas kami sebagai staf ahli kepresidenan untuk memberikan pemikiran dan terobosan inovatif saat presiden menjalankan kereta birokrasi dengan teknologi dan pendekatan digital. Pertama-tama lihat tujuannya, saat ini saya belum menghadapi bentrokan apa pun. Beruntung, saya masih diberi kesempatan untuk bekerja dua kaki di Amartha, oleh karena itu, saya bisa menyeimbangkan startup dengan hal-hal birokrasi untuk saat ini. Mari kita lihat apa yang akan terjadi enam bulan dari sekarang.

Menilik masa-masa membangun startup hingga pencapaian saat ini, apa yang bisa Anda katakan untuk para pengusaha tahap awal yang mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu Anda alami?

Jika saya bisa mengatakan sesuatu, cobalah untuk tetap teguh pada tujuan jangka panjang Anda, karena ketekunan pada akhirnya akan membuahkan hasil. Bagi mereka yang baru memulai, ini bukan tentang individu, atau uang, atau teknologi. Justru ketika Anda menemukan satu hal sebagai fokus dan tidak memberikan celah untuk distraksi. Hambatan adalah bagian dari perjalanan. Kegagalan sesungguhnya adalah ketika kita berhenti.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

The Unspoken Truth Behind OJK’s Public Appeal on Illegal Fintech Lending

Fintech, peer to peer lending (FP2PL) in particular, is still an on-demand sector in Indonesia. However, the industry exists with the presence of illegal fintech lending. Although law enforcement and authorities have been hunting it down, these illegal FP2PL keep surviving and multiplying.

The act against illegal practices took place on December 21th, 2019. An operation by Polres Metro Jakarta Utara uncover the fraudulent practice of online lending (fintech lending) office under the name PT Vega Data and PT Barracuda Fintech in Penjaringan, North Jakarta, specifically pinned at Mal Pluit Village. The police named 5 suspects of the total of 76 employees at that time.

The impact of the massive raid on illegal fintech lending is OJK’s appeal letter. It is to appeal registered fintech to avoid the Pluit and Central Park area, West Java, for an office space.

OJK said some of that illegal fintech players were running as syndicates, therefore, they are most likely to move in one area. Appeals to not have offices in the two places mentioned, according to the FSA, are part of prevention efforts.

“Considering that illegal fintech can be very tricky for intimidating users, and in terms of protection for the public community, prevention steps are required, as well as to maintain the quality and reputation of registered and/or fintech lending licenses,” OJK’s Director for Fintech Managing, Licensing and Supervision, Hendrikus Passagi told DailySocial,

In fact, the illegal fintech termination wasn’t just a one-time thing. Similar operations have been carried out before. There are some factors that allow those illegal firms to keep appearing and capture new customers.

Large market

Lending businesses grow big every year. In 2017, lending has contributed 15% of the total fintech transaction in Indonesia. Another indicator is the number of cash distributed to customers that keeps increasing.

Based on OJK’s data during 2019, fintech lending has distributed up to Rp68 trillion. The number grew from Rp22.66 trillion last year. This is considered a rapid growth.

It is obvious that the business players are also increasing, both legal and illegal. OJK said, there are a total of 25 fintech lending players by December 2019, while the illegal ones are getting thousands.

Regarding the illegal fintech lending, they’ve been using various kinds of platforms. There’s an app-based operation, websites, or through SMS blast that’ll lead into instant messages platforms, such as WhatsApp. The Ministry of Communication and Information, as part of the OJK-formed Investment Alert Task Force, claims that there are 4,020 illegal fintech players have been blocked during the last two years.

The existing gap

Observing the government’s effort in terminating illegal fintech is like trying to dodge a bullet. The acts are unstoppable because there’s still a gap to be leveraged by the law gangsters.

The biggest one is, there’s no exact law to avoid the rise of these illegal businesses. Passagi admitted the absence of regulations can be the main reason for the mushrooming illegal fintech lending.

Another hole that may be missed by the supervisory authority, especially by the Ministry of Communication and Information, is the SMS feature to outsmart the government systems supervision and operating system provider. Quoted from Kompas, the Pluit based office search by the police used random SMS chains. Start from the SMS, potential victims will be escorted to a site through the sent link. They will be asked for some data to process loans such as National Identity Cards, Family Cards, also the Tax ID.

On the other hand, prohibiting an area for fintech lending operation is a kind of unreasonable act. Seeing how dynamic the movement of illegal syndicates is, a place is just a place. With the existing passionate market and multiple gaps, they can be anywhere.

Room for Improvements

Aside from hoping the regulations for illegal fintech lending issued, the government has an “optimistic” plan coming.

The Kominfo, The Indonesian Telecommunications Regulatory Agency (BRTI), and the Directorate General of Population and Civil Registration are currently working on renewing the registration terms of prepaid cellular. This plan will later enable cellular operators to use the ‘know your customer’ mechanism as in banking.

It will involve biometric technology to make sure the prepaid cellular owner has a valid number. In reverse, when the data doesn’t match in the Dukcapil’s system, there will be sanctions.

“For example, with face recognition technology, fingerprint, or iris recognition. On the records, operators are fully responsible for the validity of their customers. In this way, hopefully there will be no misuse of other people’s data to register prepaid customers,” BRTI’s member, I Ketut Prihadi said.

Basically, the new draft regulation will patch up the failure of the prepaid registration policy which was previously said to overcome SMS / telephone spam. The rest is yet to know whether the new policy is applicable. No doubt, as long as there is no policy intends to protect the industry from unlicensed organizers, the stories of illegal fintech lending with tens of billions of revenue like the one in Pluit will keep repeating.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Yang Tak Terkatakan dari Imbauan OJK Soal “Fintech Lending” Ilegal

Fintech, terutama peer to peer lending (FP2PL), memang masih naik daun di Indonesia. Namun pertumbuhan industri ini juga turut dinikmati pelaku fintech lending ilegal. Meski penegak hukum dan otoritas berwenang mengejar, FP2PL ilegal ini dapat bertahan dan berlipat ganda.

Penindakan terhadap praktik ilegal tersebut paling anyar terjadi pada 20 Desember 2019 lalu. Sebuah operasi oleh Polres Metro Jakarta Utara mengungkap praktik culas kantor peminjaman online (pinjol) bernama PT Vega Data dan PT Barracuda Fintech di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Mal Pluit Village. Polisi menetapkan 5 tersangka dari total 76 karyawan saat penggrebekan itu.

Salah satu imbas penggrebekan terhadap fintech lending tak berizin itu adalah surat imbauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam surat itu, OJK mengimbau fintech berizin untuk menghindari kawasan Pluit dan Central Park di Jakarta Barat sebagai tempat mereka berkantor.

OJK menyebut ada indikasi pelaku fintech ilegal tadi beroperasi dalam bentuk sindikat sehingga mereka cenderung bergerak dari lokasi yang sama. Imbauan untuk tidak berkantor di dua tempat tadi, menurut OJK, menjadi bagian dari upaya pencegahan.

“Mengingat fintech ilegal dapat beroperasi seperti siluman dalam melakukan intimidasi kepada pengguna, dan dalam rangka perlindungan bagi masyarakat secara luas, maka langkah pencegahan sangat diperlukan, sekaligus untuk menjaga kualitas dan reputasi fintech lending terdaftar dan atau berizin OJK,” ucap Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi kepada DailySocial.

Kendati demikian, perlu dipahami bahwa upaya pemberantasan FP2PL ilegal tak sekali ini terjadi. Operasi serupa sudah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Ada sejumlah faktor yang memungkinkan FP2PL tak berizin tetap bermunculan dan menjerat nasabah baru.

Pasar yang besar

Bisnis pinjam-meminjam tumbuh dengan mantap setiap tahun. Pada 2017 saja, lending berkontribusi 15 persen dari total transaksi fintech di Indonesia. Indikator lainnya adalah nominal uang yang disalurkan kepada nasabah terus meningkat.

Data OJK sepanjang 2019 menunjukkan total pinjaman yang sudah disalurkan oleh fintech lending mencapai Rp68 triliun. Angka itu tumbuh 200% dari sekitar Rp22,66 triliun pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terbilang sangat pesat.

Maka tak heran pelaku bisnisnya terus bertambah, baik yang legal maupun ilegal. OJK menyebut jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar hingga Desember kemarin berjumlah 25 perusahaan, sedangkan yang ilegal jumlahnya mencapai ribuan.

Mengenai fintech lending ilegal itu, platform yang mereka gunakan cukup beragam. Ada yang operasinya berbasis aplikasi, situs web, atau sekadar SMS blast yang berlanjut via aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagai bagian dari Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi bentukan OJK, mengklaim sudah 4.020 fintech ilegal mereka blokir sepanjang dua tahun terakhir.

Masih Ada Celah

Melihat upaya pemerintah dalam membasmi fintech ilegal ini serupa menghabisi cendawan di musim hujan. Penindakan tak henti-henti terjadi karena masih ada celah yang dapat dimanfaatkan para pelanggar hukum tersebut.

Celah paling besar adalah ketiadaan payung hukum yang dapat mencegah lahirnya pinjol nakal. Hendrikus mengakui absennya peraturan tersebut jadi alasan utama maraknya fintech lending ilegal.

Lubang lain yang mungkin terlewatkan oleh otoritas pengawas, terutama oleh sistem Kemenkominfo, adalah penggunaan fitur SMS untuk mengakali pengawasan darri sistem pemerintah maupun penyedia sistem operasi. Dikutip dari Kompas, kantor layanan fintech yang di Pluit yang digrebek polisi memanfaatkan SMS berantai secara acak. Dari SMS itu, calon korban akan digiring ke sebuah situs via tautan yang tertera di dalamnya. Mereka nantinya akan dimintai sejumlah data untuk memproses pinjaman seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, hingga Nomor Pokok Wajib Pajak.

Di sisi lain, melarang suatu kawasan sebagai tempat fintech lending beroperasi justru bisa tidak beralasan. Melihat betapa dinamisnya pergerakan sindikat pinjol ilegal, tempat hanyalah tempat. Dengan kondisi pasar yang tengah bergairah dan berbagai celah yang ada, mereka bisa hidup di mana saja.

Harapan untuk Perbaikan

Selain berharap munculnya undang-undang yang dapat menghukum penyelenggara fintech lending tak berizin, ada satu rencana pemerintah yang dapat diharapkan jika nanti sudah direalisasi.

Kominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil saat ini sedang menggodok pembaruan registrasi pelanggan seluler prabayar. Rencana ini nantinya memungkinkan operator seluler memakai mekanisme know your customer seperti halnya di perbankan.

Mekanisme ini akan melibatkan teknologi biometrik untuk memastikan identitas pemilik nomor prabayar tadi benar-benar valid. Sebaliknya, jika data yang diberikan pelanggan tidak cocok dengan data yang terekam di sistem Dukcapil, maka ada sanksi yang menunggu.

“Misalnya dengan face recognition technology, finger print, atau iris recognition. Dengan catatan, operator bertanggung jawab penuh terhadap validitas pelanggannya. Jadi dengan cara ini, diharapkan tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan data orang lain untuk melakukan registrasi pelanggan prabayar,” ucap anggota BRTI I Ketut Prihadi.

Pada dasarnya rancangan peraturan baru itu akan menambal kegagalan kebijakan registrasi prabayar yang sebelumnya disebut akan mengatasi SMS/telepon spam. Selebihnya, belum diketahui kapan kebijakan baru itu dapat diterapkan. Maka jangan lagi heran selama kebijakan yang diputuskan untuk melindungi industri dari penyelenggara tak berizin ini masih nol, kisah-kisah penggrebekan kantor pinjol ilegal yang beromset puluhan miliar seperti di Pluit tadi akan kembali terjadi.

Andi Taufan Believes Perseverance Will Eventually Pay Off

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As the sole founder of Amartha, Andi Taufan Garuda Putra has poured blood, sweat, and tears in building the company. With the story of being left by co-founders, the dilemma of choosing study over its own company. It’s all lead to the current situation where the peer-to-peer lending platform has delivered Rp1.25 trillion successful loans to over 200 thousand micro-entrepreneurs in the rural area.

He began the journey with a dream to enable financial inclusion throughout Indonesia. It’s a challenging one, considering the loan business is full of loophole and fraud potential. However, with perseverance as the foundation, he works his way up to the point where micro-businesses can contribute more to Indonesia’s economy.

In fact, he was recently appointed as one of the presidential expert staff by Jokowi. It’s definitely creating more pile of work on his desk. However, he’s eager to accept the challenge, it’s because he believes this country is moving towards a better economy and it’ll be incredibly great to be part of the change.

Let’s hear more of Andi Taufan Garuda Putra’s story through the excerpt from his interview with DailySocial’s team.

To begin with, you are one with an academic background in business. What’s your first thought on starting Amartha? What encouraged you to create such a thing with social impact?

I was getting my business degree without any aspirations to become an entrepreneur. My parents are struggling with their professional career, so I was just planning to follow their path. I was also planning to get my master’s degree and build a professional career worth living. Once I become successful, I would spare some for those less fortunate people. I used to have a simple definition of success, it’s when I turn 50 and have nothing to worry about on my plate.

After graduating from college, I was working at IBM for two years as a business consultant. My job is basically involving palm oil companies to implement the IT system in rural areas. While circling around the less-urban spots, I found out a significant gap between the rural and urban areas, such as Jakarta. It encourages me to make a move, how to contribute more to this issue. In my exploration days, I decided to create something more targeted. Instead of helping conglomerates bulking up their organizations, I need to make something more impactful for small businesses to grow.

It was in the early ’00s, nobody thought of fintech or application platform. After digging into some ideas, I finally settled with microfinance. It has a clear view, once you inject the first capital, cashflow will work out, it also comes with a significant increase in income. It also creates a multiplayer effect in the family, aside from growing business, their children can grow along and have a proper education.

You started Amartha in a cooperative form. Can you spare me the detail on your journey in building the leading peer-to-peer lending platform?

One afternoon, I was visiting a rural area in Bogor named Ciseeng. While exploring the village, I met some people and talked about the issues that often come up in the area. Most of them who stayed at home are women, their husbands were at someplace working informal jobs. As the head of the household didn’t earn much, the wives have to work part-time to improve the family’s welfare.

Based on this phenomenon, I thought they need some additional support. I started to provide small loans, starts from 500 thousand for 100 people in the first year. Talking about productivity, they take the loan seriously and use it for something useful, such as sewing machines and many more. Most of them are responsible enough to return the money on time. We grew by providing a thousand people the next year.

After five years serving over 7000 people in the rural, we’ve found the business quite challenging. At the end of the day, micro-loan has become more than just money, it is a hope for them. They started to make plans for the business and the family, and expect for more loans. With some bad credits and stuff, we were so close to run out of money and the “Amartha went bankrupt?” question has been thrown almost at every corner. It’s just hard, even for me too.

I then discovered that in this internet era, microfinance alone was not enough. We then come up with an idea to gain money from the public, such thing called marketplace peer-to-peer lending. With high-quality partners and the impactful loans, I had my pitch to the seed investors [BEENEXT and MidPlaza]. They turned out to love the idea and through ups and downs, Amartha finally launched its online platform in 2016.

The momentum is there, and more peer-to-peer lending platforms are to launch. Fintech industry is getting alive than ever. We also advised OJK to issue the regulations for the newborn p2p lending industry. Amartha then becomes one of the first batch p2p lending platforms to acquire the license from OJK in early 2019.

Amartha's current team
Amartha’s current team

Talking about the crucial season, how did you cope with the situation and rise up?

It was around the year 2014-2015. People have turned their backs on Amartha, I, too, have doubt in surviving this company. I’ve thought about something new, and the good news from Harvard arrived. In the same year, investors are coming to the Amartha-near-falling-town.

It’s a dilemma, whether to take the school or take care of the company. I finally talked to the investors and they decided to let me continue with my study, under one condition, the platform must be launched as soon. It did happen in 2016. I was working remotely in the US with lots of help from Aria and the developer team. It’s a blessing to have a supportive team and a positive environment around you.

Being a sole founder is a different challenge for me. In 2009, I used to have partners, until one by one left because of the current situation back then. I tried again in 2014 with some partners before eventually two were left and the last one departed with another priority. I then realized that we have co-founders for every stage of Amartha, it is indeed important. In fact, today’s C-levels are very critical to help us moving to the next stage.

What is the next stage for Amartha?

It is when we go beyond peer-to-peer lending. We’ve been very good at providing micro-loan for women in rural areas. Stay true to our mission to deliver equal welfare for people in the last pyramid. If we’re to define the welfare it would be to reduce their cost of living, provide them with affordable products, therefore, they can spare money for savings, and start investing. How Amartha can evolve beyond p2p lending? It’s not only about supporting the initial capital but also to provide other products that can improve the quality of their lives.

How can you make sure the company stays true to the commitment?

The key is to embrace the problem. As the loan business, there are always people with payment past the due date, a loophole in regulations, potential for fraud. If we’re not to embrace, we’ll never improve. What I learned until now the employee has reached 2500, is how to build team with a mission. Their spirit should be aligned with the company’s overall mission. It’s to plant a sense of belonging in each employee. Once done, they can start to explore and move towards the goal. It’s quite challenging but worth fighting for.

Taufan as the first speaker at #SelasaStartup
Taufan as the first speaker at #SelasaStartup

As one of the first-batch peer-to-peer lending platforms in Indonesia, who/what is your role model for Amartha?

I was looking up to the US and Europe markets. They already have unicorn LendingClub in the US, and Europe market with its Funding Circle and Prosper. I’ve never seen one in Asia. Therefore, with a different customer base, I worked with what we have. As most of the Indonesian population is in the low-end pyramid, Amartha created a business model targeting mass-market and high-quality borrowers.

In the p2p lending landscape, do you have any issue with banking or any other departments towards financial inclusion?

Since the beginning, we have a clear division of roles. Everything we’ve done will not happen without banking infrastructure. On the other hand, banking is not likely to serve this segment, it’ll cost them a grand. Amartha knows the way to serve them and vice versa. This is all about trust issues and we’re fancy collaboration over competition.

Since the trend emerged in 2016 and more players arise in 2017. In 2018, the illegal issue comes up, and even though it’s not us, we’re still affected. OJK is said to take care of the issues this year and association is doing its homework. I see the future will be filled with collaboration, not only funding with banking but something more solid and intense. Also, there will be new ones offering more sophisticated products to run financial inclusion. And I’m always positive with the new founders, because that is what we need, more aggressive and positive people.

In over 10 years, you have poured blood, sweat, and tears into this company. Have you ever thought of creating something new?

It’s still a long way to go for me to get there. Amartha is still in the growth stage, it’s also a different business scale with Google or others. Especially with my recent appointment as the presidential expert staff. I currently have a lot on my plate these days.

Startup players might have known to have “innocent” political views, but you’ve changed it. What makes you so eager to achieve the challenge?

We have a president who is sincere and I’m more than happy to support him. We had a discussion on Indonesia’s small businesses. He wants to make a change, for bureaucracy’s engine can move faster towards future trends. A mandate for Indonesia to be the world’s top 4 of the country with economic power. This is to be built with positive energy and optimistic people. I, along with the other staff, believe that this is a small step to create the confidence to bring Indonesia to the next level.

Taufan as one of the presidential expert staff
Taufan as one of the presidential expert staff

With the current framework thinking in startup companies, which is fast. Do you happen to experience a clash of culture with the bureaucracy?

It is our duty as the presidential expert staff to provide innovative thoughts and breakthroughs as the president move bureaucracy’s trains with technology and digital approach. First look at the goal, I have yet to face the clash of anything. It’s a good thing that I still get the chance to work in Amartha, therefore, I can balance the startup with bureaucracy stuff for now. Let’s see what’ll happen six months from now.

Looking back at where you start and how it turns out today, what can you say to the early entrepreneurs facing near-failure situations like yourself back then?

If I were to say something, it would be to stay true to your long term goal, because perseverance will eventually pay off.  For those who just started, it’s not about the people, or the money, or the technology. It’s when you find the one thing to focus on and let no distractions come in the middle. Failure is part of the journey. We fail when we stop.

CCO Amartha Hadi Wenas Umumkan Empat Inisiatif Baru Pengembangan Bisnis

Startup P2P Lending Amartha mengumumkan segera mendapat pendanaan baru. Terakhir, Amartha telah mengantongi pendanaan seri A senilai $2 juta atau sekitar Rp26 miliar dari Mandiri Capital Indonesia (MCI) di 2017.

“Saat ini, kami belum bisa sebutkan serinya apa. Tapi, kami akan umumkan dalam waktu dekat,” ungkap Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas saat ditemui di acara Editor Luncheon Amartha, Rabu (23/10).

Pria yang karib disapa Wenas ini menyebutkan pendanaan baru ini akan dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan bisnis di 2020, termasuk rencana ekspansi Amartha ke beberapa wilayah di Indonesia.

Saat ini, Amartha telah menyalurkan pinjaman kepada 311 ribu pemilik usaha mikro dan kecil di Pulau Jawa. Total penyaluran dana hingga saat ini tercatat sebesar Rp1,47 triliun dengan NPL sekitar 0,83 persen.

Sejak 30 September, ujar Wenas, Amartha sudah mulai menyalurkan pinjaman ke Sulawesi Selatan. Kemudian, ekspansi ini dilanjutkan secara bertahap ke Sumatera pada November mendatang.

“Selain pendanaan baru, kami juga akan mengumumkan kerja sama dengan beberapa bank daerah dan nasional untuk penyaluran pinjaman di awal 2020,” tambah Wenas.

Empat inisiatif baru Amartha

Setelah mengecap pertumbuhan berkali lipat dalam beberapa tahun terakhir, Amartha berupaya untuk melahirkan sejumlah inisiatif baru untuk pengembangan bisnis selanjutnya.

Ada empat strategi yang tengah disiapkan Amartha. Wenas mengatakan keempat strategi tersebut saat ini masih dalam tahap pengembangan dan direncanakan hadir dalam waktu dekat.

Pertama, Amartha akan menyiapkan fitur yang akan membantu para peminjam untuk mengoptimalkan investasinya. Dalam hal ini, Amartha akan berkolaborasi dengan pihak ketiga, seperti asset management, untuk membantu pengelolaan dana lebih cepat.

“Selama ini sejumlah investor harus menunggu investasinya diambil. Daripada uangnya menganggur, lebih baik ditaruh dulu ke reksa dana. Kami kerja sama dengan asset management, jadi tidak masalah dengan OJK karena tidak kelola langsung,” tuturnya.

Kedua, Amartha akan menyiapkan aplikasi untuk peminjam (borrower) untuk mengatur pengeluaran mereka. Wenas meyakini bahwa layanan ini akan membantu meningkatkan kesejahteraan pemilik usaha mikro, tak cuma bisnis yang dikelolanya saja.

“Contoh use case-nya, mereka bisa beli kebutuhan sehari-hari secara borongan lewat aplikasi ini sehingga lebih murah. Pembelian ini akan digerakkan oleh semacam Ketua Majelis. Tentu kami akan bicara dengan prinsipal dan ritel untuk menyediakan barang sesuai kebutuhan di pedesaan,” jelasnya.

Ketiga, Amartha akan menghadirkan fitur donasi otomatis yang diperuntukkan bagi peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan. Menurut Wenas, fitur ini tidak seperti platform donasi di pasaran karena berbasis kebutuhan wilayah/desa para peminjam.

Donasi ini akan dikonversi langsung dalam bentuk program atau beasiswa. Misalnya, program sanitasi dan air bersih. Donasi ini akan hadir dalam bentuk pengadaan WC umum.

Terakhir, startup yang berawal dari koperasi ini mengembangkan sejumlah fitur aplikasi untuk memudahkan para petugas Amartha di lapangan menjalankan kegiatan dengan Majelis Amartha, seperti image recognition dan fingerprint.

Application Information Will Show Up Here

Qazwa Fokus Kembangkan Platform Pembiayaan Syariah

Mulai berkembangkan industri teknologi finansial di Indonesia tak hanya berdampak pada kepercayaan pengguna yang mulai naik tetapi juga banyaknya pemain baru yang bermunculan. Salah satunya adalah Qazwa, mereka hadir sebagai platform  pembiayaan peer to peer (P2P) berbasis syariah yang saat ini tengah fokus untuk mengembangkan platform yang lebih berkualitas dan juga menjangkau lebih banyak pengguna.

Sebagai platform pembiayaan, Qazwa mengemban misi menciptakan kemakmuran bersama dengan cara memfasilitasi pembiayaan ke pelaku usaha mikro yang sudah dipilih secara syariah.

Secara legal, perusahaan berada di bawah naungan PT Qazwa Mitra Hasanah. Mereka juga telah resmi terdaftar dan diawasi oleh dua otoritas penting di sektor teknologi finansial dan syariah, yakni OJK dan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.

“Seluruh kegiatan pembiayaan kami diawasi oleh OJK. Selain itu, sebagai platform pembiayaan syariah Qazwa juga sudha terdaftar dan diawasi oleh DSN-Majelis Ulama Indonesia. Oleh karena itu kami makin mantap untuk berkontribusi memajukan ekonomi pelaku usaha mikro di Indonesia dengan menjunjung tinggi integritas dan kepatuhan terhadap ketentuan hukum di Indonesia dengan memberikan pelayanan dan perlindungan terbaik,” terang Public Relation Officer Qazwa Nurul Khomarial kepada DailySocial.

Qazwa resmi berdiri pada Maret 2018. Startup yang berkantor di Jakarta ini sekarang berada di bawah kepemimpinan CEO Brithma Argandhi yang menjabat sebagai CEO dan COO Dikry Paren. Keduanya, bersama anggota tim Qazwa lainnya, mengembangkan sebuah platform yang mempertemukan pemilik modal degan pelaku usaha terpilih, seperti layaknya konsep martketplace pada umumnya.

UKM yang ingin masuk ke dalam sistem harus melalui proses seleksi, terutama yang berkaitan dengan credit scoring. Untuk memberikan pelayanan prima bagi pemodal dan UKM, pihak Qazwa menjanjikan komunikasi yang intens, lengkap dengan laporan perkembangan usaha yang diperbarui setiap bulan. Bagi hasil akan dibagikan setelah proyek selesai, karena begitu proyek selesai pelaku usaha menyerahkan dana bagi hasil ke pihak Qazwa dan selanjutnya diteruskan ke rekening pemodal atau pemberi dana.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penyedia layanan peminjaman atau pembiayaan yang mengusung konsep syariah, atau setidak memiliki produk berbasis syariah, seperti Investree, DanaCita, Alami, Ammana, dan lainnya.

Saat ini Qazwa masih aktif melakukan mempromosikan layanannya dan edukasi keuangan syariah baik secara offline maupun online. Pihak Qazwa menilai edukasi terkait keuangan syariah dan ekonomi Islam merupakan bagian penting dalam pengembangan produk keuanggan. Harapannya, masyarakat bisa memiliki wawasan yang baik terkait dengan produk keuangan syariah, sehingga kesadaran untuk menggunakan produk syariah semakin meningkat.

“Hingga saat ini tercatat sudah terdapat 35 pelaku usaha mikro yang dibantu oleh Qazwa. Qazwa terus berfokus mengembangkan platform pembiayaannya dengan inovasi teknologi dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperluas jangkauan dan memberikan pelayanan optimal kepada pengguna,” tutup Nurul.

KoinWorks Secures Series B Funding of Rp 170 Billion

After receiving Series A funding worth of Rp230 billion led by Mandiri Capital Indonesia (MCI) and follow-on funding for Series A+ from Quona Capital with undisclosed value, peer-to-peer lending platform Koinworks has received Series B funding worth of $16.5 million (around Rp170 billion) led by EV Growth and Quona Capital and other investors.

The funding is to build up team and partnership, also the technology and development system to provide financial services throughout Indonesia in one platform.

KoinWorks claims to have more than 60% lenders in their platform are millennials, and 70% of those said that KoinWorks as their first investment instrument, has distributed loan of Rp150 billion per month. This is the biggest number to distribute for business players in fashion, electronics, accessories, and cosmetics.

“During the last three years, we’ve been distributed productive loan to hundred of thousands SMEs in Indonesia. The significant growth is also supported by the increasing public awareness on how important to have an investment as soon as possible,” KoinWorks’ Co-Founder and CEO, Benedicto Haryono said.

Focus to support SME

Was founded in 2016 by Benedicto Haryono and Willy Arifin, KoinWorks has been connecting borrowers and lenders online through one platform by providing financial services for SME with limited access to banking (unbanked or underbanked)

Using machine learning, KoinWorks allows borrowers to access a loan with low interest, and in the meantime, lenders can receive the payment with profitable interest. Products offered including business development loan through KoinBisnis and education through KoinPintar.

“The gap between access and convenience of the investment and loan products has made KoinWorks as a unique fintech [service] in Indonesia,” Willson Cuaca, Partner EV Growth, a partnership of East Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), and Yahoo Japan (YJ) Capital Inc.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

KoinWorks Kantongi Pendanaan Seri B Senilai Rp170 Miliar

Setelah sebelumnya mendapatkan pendanaan seri A senilai Rp230 miliar yang dipimpin Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan pendanaan lanjutan untuk tahap seri A+ dari Quona Capital dengan nominal yang tidak disebutkan, platform peer-to-peer lending Koinworks tahun ini mendapatkan pendanaan Seri B senilai S$16,5 juta (sekitar Rp 170 miliar) yang dipimpin EV Growth dan Quona Capital bersama investor lainnya.

Pendanaan ini akan digunakan KoinWorks untuk memperkuat tim dan kemitraan dan pengembangan sistem dan teknologi untuk menyediakan layanan finansial di seluruh Indonesia di satu platform.

KoinWorks yang mengklaim memiliki lebih dari 60% pendana di platform merupakan generasi milenial, dan 70% di antaranya mengatakan bahwa KoinWorks adalah instrumen investasi pertama mereka, telah menyalurkan pinjaman Rp150 miliar setiap bulannya. Pinjaman ini paling banyak disalurkan ke pelaku usaha fesyen, elektronik, aksesoris, dan komestik.

“Selama tiga tahun terakhir, kami telah menyalurkan pinjaman produktif kepada ratusan ribu UKM di Indonesia. Pertumbuhan yang sangat signifikan ini juga didukung oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memiliki investasi sejak dini,” kata Co-founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono.

Fokus bantu UKM

Didirikan pada tahun 2016 oleh Benedicto Haryono dan Willy Arifin, Koinworks mempertemukan peminjam dan pendana secara daring melalui satu platform dengan menyediakan akses layanan keuangan ke UKM yang memiliki keterbatasan akses perbankan (unbanked atau underbanked).

Memanfaatkan machine learning, KoinWorks memungkinkan peminjam mengakses pinjaman dengan bunga rendah, dengan di saat yang bersamaan pendana juga menerima nilai pengembalian dengan bunga yang menguntungkan. Produk yang ditawarkan termasuk pinjaman pengembangan usaha melalui KoinBisnis dan pendidikan melalui KoinPintar.

“Adanya kesenjangan antara akses dan kenyamanan dalam produk investasi dan pinjaman membuat KoinWorks menjadi [layanan] fintech yang sangat unik di Indonesia,” kata Willson Cuaca, Partner EV Growth, yang merupakan hasil kerja sama East Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), dan Yahoo Japan (YJ) Capital Inc.

Saat ini KoinWorks masih menyasar segmen pasar UKM, termasuk di dalamnya penjual online yang memanfaatkan media sosial sebagai media promosi mereka.

“KoinWorks bersama dengan Quona mewujudkan misi inklusi finansial yang menghasilkan dampak positif bagi perkembangan bisnis UKM di Indonesia sebagai hasil dari komitmen perusahaan pembiayaan yang bertangggung jawab,” kata Ganesh Rengaswamy, Co-Founder dan Partner Quona Capital.

Application Information Will Show Up Here