Lewat Program TikTok Resumes, TikTok Berniat Menjadi LinkedIn-nya Kalangan Gen Z

Melamar pekerjaan lewat sebuah video TikTok mungkin terkesan kurang profesional atau bahkan kurang sopan. Namun ada kemungkinan tren ini bakal diadopsi secara luas ke depannya. Di Amerika Serikat, TikTok baru saja meluncurkan TikTok Resumes, sebuah program yang pada dasarnya bakal menambah fungsi TikTok menjadi semacam bursa lowongan kerja.

Lewat program ini, pengguna TikTok pada dasarnya dapat mengirimkan lamaran dalam bentuk video untuk sejumlah posisi di berbagai perusahaan. Di AS misalnya, TikTok sudah menggandeng perusahaan-perusahaan ternama macam Chipotle, Target, WWE, Alo Yoga, Shopify, Contra, Movers+Shakers, dan masih banyak lagi, untuk ikut berpartisipasi dalam program ini.

Sama halnya seperti melamar pekerjaan dengan cara tradisional, di sini kandidat dianjurkan untuk menunjukkan berbagai keahlian beserta pengalamannya dengan cara sekreatif mungkin. Baru-baru ini, TikTok telah menambah durasi video maksimum untuk semua pengguna dari 60 detik menjadi 3 menit, dan itu pastinya dapat membantu kandidat untuk mengekspresikan kelebihan-kelebihannya secara lebih maksimal.

@coop.cmTiktok do your thing! Check out ➡️ #TikTokResumes #TikTokPartner #productmanagment #jobsearch #graduated

♬ original sound – Christian 🚀

Usai dibuat, video resume-nya bisa langsung diunggah ke TikTok dengan tagar #TikTokResumes, kemudian dikirim ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan. Sejauh ini, sebagian lowongannya melibatkan pekerjaan-pekerjaan di bidang kreatif seperti membuat konten TikTok untuk brand maupun mengembangkan strategi media sosial.

Meski demikian, ada juga beberapa posisi yang sepintas tidak ada kaitannya sama sekali dengan bidang kreatif, seperti misalnya lowongan untuk posisi Senior Data Scientist yang dibuka oleh Shopify. Namun yang paling mencuri perhatian mungkin adalah lowongan untuk posisi “WWE Superstar” yang dibuka oleh sang raksasa media di bidang gulat profesional asal Amerika Serikat, WWE.

Juga sama seperti lowongan pekerjaan pada umumnya, program TikTok Resumes ini hanya bersifat sementara dan punya batas waktu. Di AS, program ini bakal berakhir pada tanggal 31 Juli mendatang. Bukan tidak mungkin ke depannya TikTok akan membuka program yang sama di negara-negara lain, sampai akhirnya mereka bisa dikenal sebagai LinkedIn-nya kalangan Gen Z.

Sumber: TikTok dan The Verge.

Instagram Sedang Kembangkan Fitur Membership bernama Exclusive Stories

Instagram bukan lagi sebatas aplikasi berbagi foto. Pendapat itu datang langsung dari bos Instagram sendiri, Adam Mosseri. Menurutnya, Instagram saat ini tengah berfokus pada empat area: Creator, Video, Shopping dan Messaging.

Untuk mewadahi para kreator, Instagram sepertinya sedang menyiapkan semacam fitur membership bernama Exclusive Stories. Kabar ini pertama muncul dari seorang reverse engineer bernama Alessandro Paluzzi, dan kini telah dikonfirmasi langsung oleh Instagram kepada TechCrunch.

Menurut Instagram, screenshot dari fitur Exclusive Stories yang dibagikan Alessandro tersebut berasal dari prototipe internal yang sekarang sedang dalam proses pengembangan, tapi belum diuji secara publik. Sayangnya Instagram enggan mengungkap detail lebih lengkap mengenai fitur ini.

Tampilan prototipe fitur Exclusive Stories / Sumber: Alessandro Paluzzi

Cara kerja Exclusive Stories cukup mirip seperti fitur Super Follow di Twitter. Kreator pada dasarnya dapat mengunggah konten Story, lalu menandainya sebagai konten eksklusif yang hanya bisa dilihat oleh para member-nya. Agar bisa menjadi member, kemungkinan ada tarif berlangganan yang harus dibayarkan kepada sang kreator. Dengan kata lain, fitur ini bisa menjadi sumber pemasukan tambahan bagi kalangan kreator.

Konten Exclusive Stories itu akan ditandai dengan icon berwarna ungu. Tiap-tiap konten Exclusive Stories tidak bisa di-screenshot. Tentunya mekanisme ini dimaksudkan untuk melindungi eksklusivitas konten, sehingga para member tidak bisa seenaknya membagikan Exclusive Stories unggahan seorang kreator kepada teman-temannya yang belum menjadi member.

Kreator juga memiliki opsi untuk menyimpan Exclusive Stories sebagai Highlight, sehingga member-nya dapat mengakses deretan konten eksklusif sebelum-sebelumnya. Tentunya semua ini bisa berubah seiring fiturnya dikembangkan, tapi setidaknya kita sudah tahu garis besarnya seperti apa.

Apa yang Instagram kerjakan ini sejatinya sejalan dengan visi Facebook untuk memberikan wadah monetisasi yang lebih bervariasi kepada kreator. Facebook sendiri belum lama ini mengumumkan kehadiran podcast dan live audio room (kloningan Clubhouse) pada platform-nya, dan mereka juga baru saja meluncurkan sebuah platform paid newsletter bernama Bulletin.

Sumber: TechCrunch. Gambar header: Depositphotos.com.

Instagram Jabarkan Langkah-Langkah yang Diambil dalam Mengurutkan Konten

Saat diluncurkan pertama kali di tahun 2010, Instagram tidak lebih dari sebatas kumpulan foto unggahan banyak orang yang disajikan secara kronologis. Namun sejak April 2016, Instagram mulai menerapkan algoritma khusus sehingga foto dan video di linimasa seakan-akan tersaji secara acak.

Perubahan ini jelas memicu banyak pertanyaan. Yang paling utama adalah bagaimana Instagram menyortir konten dan menentukan mana yang muncul di paling atas. Sebagian dari kita mungkin juga penasaran terkait kriteria-kriteria yang Instagram jadikan acuan dalam menyajikan konten di tab Explore.

Guna menghindari miskonsepsi, tim Instagram memutuskan untuk menjelaskannya sendiri ke publik. Lewat sebuah blog post, Instagram menjabarkan langkah-langkah apa saja yang mereka ambil dalam mengurutkan konten di Feed, Stories, Explore, maupun Reels.

Salah satu miskonsepsi yang paling banyak tersebar adalah bahwa Instagram cuma menggunakan satu algoritma saja untuk menyortir konten. Pada kenyataannya, Instagram memanfaatkan kumpulan algoritma yang bervariasi, yang masing-masing dirancang untuk tujuan yang berbeda. Dengan kata lain, algoritma yang digunakan di Feed dan Stories betul-betul berbeda dari yang digunakan di Explore maupun Reels.

Untuk Feed dan Stories, yang pengguna ekspektasikan adalah konten dari orang-orang yang dekat dengan mereka, sedangkan di Explore, pengguna pasti berharap untuk menemukan konten yang betul-betul baru buat mereka. Instagram bilang bahwa mereka memperhatikan ribuan ‘sinyal’ untuk menentukan apa saja yang disajikan ke tiap-tiap pengguna.

Dari sinyal-sinyal tersebut, Instagram kemudian membuat sekumpulan prediksi terkait bagaimana pengguna bakal berinteraksi dengan suatu unggahan, semisal menyukainya, memberikan komentar, atau sebatas melihatnya sekian detik lebih lama dari post lainnya. Semakin besar kemungkinan pengguna mengambil tindakan, dan semakin berat bobot yang Instagram tetapkan untuk tindakan tersebut, maka semakin tinggi posisi suatu konten pada Feed.

Jadi jangan heran seandainya foto atau video unggahan mantan sering kali muncul di Feed meski Anda tidak pernah membubuhkan like maupun komentar, sebab mungkin bisa jadi Anda mengamatinya terlalu lama — jauh lebih lama daripada foto dan video unggahan pengguna lain yang muncul di Feed — dan Instagram melihat itu sebagai indikasi bahwa Anda tertarik dengan post darinya.

Lalu adakah yang bisa pengguna lakukan untuk mempengaruhi algoritma Instagram? Kalau menurut Instagram, ada tiga langkah yang bisa diambil. Yang pertama adalah menentukan daftar Close Friends, sehingga Instagram bakal memprioritaskan unggahan dari orang-orang yang tercantum di daftar tersebut.

Sebaliknya, pengguna juga bisa memanfaatkan fitur mute sebagai alternatif dari tombol unfollow. Terakhir, jangan segan memilih opsi “Not Interested” ketika melihat kumpulan post yang muncul di Explore maupun Feed, sehingga Instagram bisa lebih paham mengenai hal-hal apa saja yang menarik buat masing-masing pengguna.

Ke depannya, Instagram berkomitmen untuk menghadirkan lebih banyak lagi blog post seperti ini, memberikan kejelasan mengenai cara kerja teknologi yang diadopsi Instagram, serta menepis miskonsepsi-miskonsepsi yang ada.

Sumber: Instagram. Gambar header: Depositphotos.com.

Twitter Luncurkan Layanan Berlangganan Twitter Blue, Tawarkan Sejumlah Fitur Eksklusif untuk Power User

Setelah dinanti-nanti, Twitter akhirnya resmi memperkenalkan layanan berlangganan (subscription) perdananya yang dijuluki Twitter Blue. Di tahap awal peluncurannya ini, untuk sementara Twitter Blue baru tersedia bagi konsumen di dua negara saja, yakni Kanada dan Australia.

Tarif berlangganan Twitter Blue di kedua negara tersebut dipatok 3,49 dolar Kanada (CAD) atau 4,49 dolar Australia (AUD) per bulannya. Masing-masing pelanggan tentu saja bisa menikmati sejumlah fitur eksklusif, seperti misalnya fitur Bookmark Folders, Undo Tweet, Reader Mode, dan opsi kustomisasi tampilan antarmuka.

Bookmark Folders, sesuai namanya, memungkinkan para pelanggan untuk merapikan kumpulan Tweet yang mereka simpan agar lebih mudah dicari ke depannya. Bookmark bukanlah fitur baru di Twitter, dan ke depannya masih akan tersedia bagi seluruh pengguna Twitter. Bedanya, khusus para pelanggan Twitter Blue, mereka dapat menyimpan Tweet di beberapa folder yang berbeda.

Beralih ke Undo Tweet, fitur ini memang bukan fitur Edit Tweet seperti yang selama ini diimajinasikan oleh kalangan power user Twitter, tapi setidaknya fitur ini masih memungkinkan pengguna untuk merevisi cuitan sebelum cuitan tersebut dapat terbaca oleh seluruh jagat maya.

Cara kerjanya adalah, pengguna bisa menetapkan timer dengan durasi maksimum 30 detik. Setelahnya, setiap kali pengguna mengunggah sebuah cuitan, mereka punya waktu maksimal hingga 30 detik untuk mengklik tombol “Undo” dan membatalkannya. Dari situ mereka bisa merevisi cuitan seandainya ada saltik (typo), atau seandainya ada seseorang yang lupa di-mention.

Untuk Reader Mode, fitur ini dirancang agar pengguna bisa membaca sebuah utas (thread) dengan tampilan yang jauh lebih rapi layaknya sebuah artikel. Fitur ini berbeda dari yang Twitter janjikan ketika mereka mengakuisisi Scroll, namun Twitter memastikan bahwa platform tersebut bakal mereka integrasikan ke Twitter Blue ke depannya.

Terakhir, pelanggan Twitter Blue juga dapat mengatur kustomisasi tampilan antarmuka aplikasi Twitter, mulai dari mengganti icon aplikasinya di home screen, sampai mengganti tema warna di dalam aplikasinya. Menurut Twitter, semua fitur ini mereka buat berdasarkan masukan-masukan yang mereka terima dari kalangan power user selama ini.

Belum diketahui kapan Twitter Blue akan merambah konsumen di negara-negara lain. Namun satu hal yang pasti, Twitter bakal tetap bisa digunakan secara gratis selamanya. Kehadiran layanan subscription ini semata hanya untuk memenuhi hasrat kalangan power user, dan tentu saja di saat yang sama bisa menjadi salah satu sumber pemasukan tambahan yang sustainable buat Twitter.

Sumber: Twitter dan TechCrunch. Gambar header: Depositphotos.com.

Twitter Spaces Kini Dapat Diakses Lewat Browser

Di saat Clubhouse sudah tersedia di Android tapi masih mempertahankan sistem invite-only, Twitter justru semakin membuka lebar pintu akses ke Spaces, fitur live audio yang mereka buat untuk menyaingi Clubhouse. Awalnya cuma tersedia di aplikasi Twitter versi iOS, Spaces lanjut merambah ke Android tidak lama kemudian, dan sekarang fitur ini pun akhirnya hadir di Twitter versi web.

Ya, Twitter Spaces sekarang sudah bisa diakses melalui browser di perangkat desktop maupun mobile. Setiap kali Anda mengklik suatu Space, Twitter akan menampilkan jendela preview-nya terlebih dulu, sehingga Anda dapat melihat siapa saja pembicara dan partisipan yang hadir beserta topik yang dibahas, sebelum akhirnya ikut bergabung.

Selagi bergabung di dalam suatu Space, Anda tetap bisa lanjut memantau linimasa. Di perangkat desktop, tampilan Space-nya akan diperkecil dan ditempatkan di sebelah kanan, menutupi porsi yang biasanya dihuni oleh daftar trending topic.

Partisipan juga memiliki opsi untuk mengaktifkan fitur transcription, dan seperti yang bisa dilihat pada gambar di atas, teksnya pun akan ikut ditampilkan di jendela kecil tadi sehingga partisipan tetap bisa mengikuti percakapan walaupun speaker-nya mati. Tentu saja fitur ini juga Twitter siapkan untuk mengakomodasi pengguna yang memiliki gangguan pendengaran.

Belum lama ini, Twitter memang sempat membeberkan rencananya agar Spaces dapat lebih mudah diakses oleh kaum difabel. Selain faktor accessibility, Twitter pun tidak lupa berfokus pada fitur-fitur lain yang tak kalah penting, seperti misalnya fitur reminder untuk Space yang dijadwalkan tayang di waktu tertentu, serta tampilan antarmuka yang bisa beradaptasi dengan baik dengan ukuran layar perangkat.

Sekadar informasi, semua pengguna Twitter tanpa terkecuali dapat bergabung dalam suatu Space, akan tetapi yang bisa menjadi host hanyalah yang mempunyai paling tidak 600 follower. Dalam setiap Space, jumlah maksimum pembicara yang didukung adalah 11 (termasuk host), namun jumlah pendengarnya sama sekali tidak dibatasi.

Sumber: Engadget dan Twitter.

Twitter Sedang Siapkan Layanan Subscription, Salah Satu Fasilitasnya Adalah Pengalaman Membaca Bebas Iklan

Twitter sedang sibuk menyiapkan sebuah layanan berlangganan (subscription) demi meningkatkan pendapatannya di luar pemasukan dari iklan. Seperti halnya layanan subscription di banyak platform lain, Twitter bakal memberikan sejumlah fasilitas menarik yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mau membayar.

Salah satu fasilitasnya adalah pengalaman membaca berita tanpa diganggu oleh iklan. Ini dikarenakan Twitter baru saja mengakuisisi Scroll, sebuah layanan subscription yang pada dasarnya mencoba menjadi penengah antara pembaca dan penerbit berita, memberikan pengalaman membaca yang nyaman (bebas iklan), tapi di saat yang sama tidak mengurangi pemasukan yang diterima oleh sang penerbit berita.

Tampilan standar artikel (kiri) dan tampilan setelah dipermak Scroll (kanan) / Twitter

Dengan kata lain, para pelanggan layanan subscription Twitter nantinya bisa membaca artikel atau newsletter di Twitter dengan tampilan yang bersih dan terfokus seperti yang ditawarkan oleh Scroll selama ini. Pengguna gratisan Twitter tentu masih bisa mengakses konten yang sama, hanya saja tampilannya bakal berbeda karena iklan-iklan yang ada di masing-masing situs berita masih akan muncul seperti biasa.

Satu hal yang perlu dicatat adalah, tidak semua situs berita dapat dipermak tampilannya oleh Scroll, sebab masing-masing situs harus menjadi mitra Scroll terlebih dulu. Sejauh ini sudah ada ratusan situs berita yang tergabung sebagai mitra Scroll, termasuk halnya media-media kenamaan seperti BuzzFeed, Insider, Salon, Slate, Vox, The Atlantic, The Daily Beast, dan masih banyak lagi.

Ilustrasi pemasukan yang diterima mitra-mitra Scroll dari tarif subscription yang dibayarkan oleh pelanggan / Twitter

Menurut Scroll, mitra-mitranya bisa memperoleh pemasukan hingga 40% lebih banyak ketimbang sebatas mengandalkan pemasukan dari iklan berkat adanya semacam sistem bagi hasil. Situasinya masih akan tetap sama pasca akuisisi ini, di mana sebagian dari biaya subscription yang dibayarkan oleh pelanggan Twitter akan diteruskan ke media-media yang tergabung sebagai mitra Scroll.

Sejauh ini Twitter masih sibuk menggodok layanan subscription-nya, dan kita belum tahu fitur premium apa lagi yang bakal mereka tawarkan nantinya. Selain mencari sumber pemasukan baru, Twitter belum lama ini juga mengumumkan inisiatif supaya kalangan kreator juga bisa ikut mendapatkan pemasukan tambahan dengan memanfaatkan platform Twitter.

Sumber: TechCrunch dan Twitter. Gambar header: Depositphotos.com.

Aplikasi Facebook Kini Dilengkapi Miniplayer untuk Memutar Konten Audio dari Spotify

Facebook sedang keranjingan dengan konten audio. Pekan lalu, mereka membeberkan rencananya untuk lebih berfokus pada penyajian konten audio, termasuk halnya meluncurkan kompetitor Clubhouse. Bukan cuma itu, mereka rupanya juga tidak segan menggandeng salah satu nama terbesar di industri konten audio saat ini, Spotify.

Buah kerja sama di antara keduanya adalah semacam miniplayer Spotify yang dapat ditemukan langsung di aplikasi Facebook versi Android maupun iOS. Fitur ini sekarang sudah tersedia di 27 negara, termasuk Indonesia, dan dijadwalkan menyusul ke lebih banyak negara lagi dalam beberapa bulan ke depan.

Setiap lagu atau episode podcast yang dibagikan ke Facebook sekarang dapat diputar langsung lewat aplikasi Facebook. Cukup klik tombol “Play” pada lagu atau podcast yang dijumpai di News Feed, maka audio akan langsung dijalankan di background. Namanya miniplayer, fitur ini hanya memakan porsi kecil dari tampilan antarmuka aplikasi Facebook di bagian bawah.

Selama audio diputar, pengguna masih bisa terus melihat isi News Feed seperti biasa. Ketika lagu atau episode podcast-nya usai, maka konten berikutnya dari Spotify akan diputar secara otomatis. Kalau Anda bukan pelanggan Spotify Premium, maka sesekali Anda juga akan mendengarkan iklan, sama persis seperti di aplikasi Spotify itu sendiri.

Satu hal yang perlu dicatat adalah, agar bisa memutar audio via miniplayer Facebook ini, Anda masih harus meng-install aplikasi Spotify. Pasalnya, ketika Anda mengklik tombol “Play”, perangkat otomatis akan membuka aplikasi Spotify dan memutar konten audionya dari situ. Dengan kata lain, miniplayer yang muncul di aplikasi Facebook itu pada dasarnya hanya berfungsi sebagai remote control aplikasi Spotify.

Ini berarti audio masih tetap akan berjalan meski pengguna menutup aplikasi Facebook. Lebih lanjut, pengguna yang belum pernah memakai Spotify sama sekali juga wajib mendaftarkan akun Spotify terlebih dulu agar fitur miniplayer di aplikasi Facebook ini bisa bekerja.

Sumber: Spotify dan TechCrunch.

Korelasi antara Konten Digital dengan Penjualan Merchandise bagi Organisasi Esports

Uang hadiah turnamen mungkin akan cukup apabila tim esports hanya ingin berkompetisi. Tetapi bagi tim esports yang merupakan sebuah unit bisnis, uang hadiah sulit diandalkan dan cenderung sedikit jumlahnya. Karenanya, komersialisasi dari konten digital dan merchandising memiliki potensi untuk mendatangkan pendapatan yang lebih berkesinambungan.

Dalam artikel ini kita akan membahas relasi konten digital dengan merchandising sebagai sarana komersialisasi tim esports. Untuk melihat fenomena tersebut lebih dekat, kami juga mencoba menggali beberapa insight dari Shawn Liem selaku CEO dari ONIC Esports. Setelahnya, kami juga akan hitung-hitungan seberapa besar sebenarnya konversi fans tim esports yang akhirnya membeli merchandise.

Namun sebelum menuju ke pembahasan utama, mari simak pengantar kenapa konten digital dan merchandise jadi penting bagi komersialisasi tim esports.

 

Peran Konten bagi Perkembangan Bisnis Olahraga

Sebelum menuju ke pembahasan utamanya, saya akan menyajikan sedikit pengantar untuk menjelaskan kenapa relasi konten dengan merchandising menjadi pembahasan saya untuk kali ini. Konten video milik Athletic Interest kembali menjadi inspirasi saya. Dalam salah satu video, Athletic interest membahas peran film dokumenter bagi perkembangan bisnis klub sepak bola.

Melalui video tersebut dijelaskan bahwa pada umumnya, klub sepak bola memiliki 3 sumber pemasukan: Broadcast income, match day revenue, dan commercial income. Broadcast income merupakan pemasukan yang didapat dari mengikuti liga. Match day revenue merupakan pemasukan dari penjualan tiket pertandingan. Terakhir, commercial income datang dari sumber-sumber lainnya seperti penjualan merchandise, sponsorship, ataupun berbagai kegiatan komersil lainnya yang dilakukan tim sepak bola.

Namun dari perspektif bisnis, ada masalah tersendiri dari tiga sumber pemasukan tersebut. Dua dari tiga sumber pemasukan tim sepak bola tidak bisa berkembang. Pemasukan dari penjualan tiket misalnya, jumlahnya terbatas kepada ukuran stadion. Lalu dari sisi broadcast income, pemasukannya bergantung kepada negosiasi operator liga (misalnya pelaksana English Premier League) dengan pemilik saluran televisi.

Maka dari itu, tim sepak bola akan sulit berkembang secara bisnis apabila hanya mengandalkan dua sumber pemasukan tersebut saja. Namun satu pemasukan lainnya membuka peluang yang jauh lebih besar, yaitu commercial income. Kesempatan commercial income yang terbuka dan dapat selalu berkembang membuat tim sepak bola mulai melebarkan sayap menjadi “media company“.

Tim sepak bola menyajikan berbagai macam konten melalui media digital (termasuk film dokumenter), dengan harapan mendapat peluang pemasukan yang lebih besar seperti membuka peluang kedatangan investor, sponsor, atau meningkatkan penjualan merchandise.

Terlepas dari itu, kehadiran konten medial sosial sendiri saja memang tidak selalu berhasil mendongkrak peluang pemasukan dari sumber komersil lainnya. Barcelona sebagai contohnya. Mengutip laporan dari blog resmi Barcelona yang diterbitkan Januari 2021 dikatakan bahwa klub tempat Lionel Messi bernaung tersebut memimpin di hampir segala lini media sosial tahun 2020 lalu.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber Gambar – Barcelona Blog

Mereka mencatatkan 1,6 milyar interaksi dari keseluruhan media sosial (Instagram, Facebook, Twitter, TikTok), 200 juta lebih banyak ketimbang Liverpool di peringkat kedua dengan 1,4 milyar interaksi. YouTube Barcelona mencatatkan 230 juta total views. Instagram Barcelona mencatatkan 1,2 milyar interaksi, Twitter 108 juta interaksi, TikTok 45 juta interaksi, dan Facebook 168 juta interaksi. Barcelona memimpin di segala lini media sosial, kecuali Facebook.

Lalu dengan segala kejayaan di media sosial, bagaimana kondisi Barcelona dari segi bisnis? Mengutip tulisan Insider.com yang mengutip dari laporan keuangan milik Barcelona, dikatakan bahwa tim tersebut justru merugi US$117 juta. Namun kerugian tersebut sebenarnya wajar, karena dampak pandemi covid-19 membuat liga sepak bola terhenti. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Barcelona mungkin akan mendapat profit sekitar US$2 juta apabila pandemi tidak terjadi.

Barcelona juga menunjukkan pemasukan yang kurang memuaskan dari sisi merchandising. Namun di dalam laporan kembali ditekankan bahwa penurunan tersebut terjadi mengingat kondisi pandemi COVID-19 yang membuat penonton jadi tidak bisa menonton secara langsung sehingga membuat penjualan merchandise jadi menurun.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Penjualan merchandise tergolong dalam kategori sales yang kini jumlahnya lebih besar dari sumber pemasukan lain. Sumber Gambar – Barcelona Official

Relasi tersebut mungkin tidak bisa terasa secara langsung apabila kita melihatnya dari perspektif industri olahraga. Apalagi seperti juga yang dijelaskan oleh Barcelona, industri sepak bola bisa dibilang hampir lumpuh karena kondisi pandemi yang membuat pertandingan jadi tidak mungkin dilaksanakan.

Sementara industri olahraga sedang lumpuh, esports di sisi lain justru sedang melejit. Lalu bagaimana relasi antara konten media sosial dengan penjualan merchandise dari sisi esports? Mari kita melaju ke pembahasan berikutnya.

 

Komersialisasi Esports Lewat Konten Digital dan Merchandise

Kondisi pandemi sangat berdampak kepada perkembangan industri olahraga seperti sepak bola. Walaupun masih bisa disiasati melalui konten media sosial, tapi satu yang pasti adalah tim sepak bola kehilangan konten utamanya yaitu keseruan di lapangan sepak bola.

Mengutip dari data perbandingan media sosial tim olahraga dengan esports di tahun 2020 lalu milik Socialbakers, perkembangan konten media sosial tim olahraga pun jadi menurun seperti yang diprediksi. Pada sisi lain, konten media sosial milik tim esports cenderung stabil dengan beberapa peningkatan. Beberapa data lebih jelasnya bisa Anda lihat dari cuplikan pemaparan milik Socialbakers berikut ini.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber gambar – Socialbakers
antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber gambar – Socialbakers

Lalu bagaimana relasi antara pengikut media sosial dengan penjualan merchandise bagi tim esports? FaZe Clan mungkin bisa kita jadikan sebagai contoh dari esports luar negeri. FaZe Clan sendiri merupakan organisasi esports yang terkenal tidak hanya di ranah kompetitif saja. FaZe Clan mencoba menyajikan formula baru bagi tim esports dengan menyatukan beberapa elemen seperti gaming, esports, dan gaya hidup glamor ala selebriti lewat konten yang mereka sajikan.

Berkat strategi tersebut, FaZe Clan pun mencuat sebagai salah satu organisasi esports dengan jumlah pengikut media sosial terbanyak. Mengutip dari Shareablee, tercatat bahwa FaZe Clan sudah memiliki total followers mencapai 16 juta lebih, dengan menghitung followers dari Facebook, Twitter, dan Instagram.

Tak hanya memiliki banyak followers, tingkat engagement media sosial FaZe Clan juga tergolong tinggi. Menurut data Shareablee bulan Maret 2021 lalu, FaZe Clan mencatatkan 6,5 juta Actions (termasuk reaction, comment, share, retweet, dan like) dari keseluruhan media sosialnya. Angka tersebut menempatkan FaZe Clan di peringkat ke-2. Sementara di peringkat pertama ada Bigetron Esports yang mencatatkan 7,2 juta lebih Actions. Melihat dari datanya, angka tersebut sepertinya merupakan akumulasi bulanan. Pada puncaknya, FaZe Clan sempat mencatatkan 11,5 juta lebih Actions, tepatnya pada bulan Oktober 2020 lalu.

Followers mereka sendiri didapatkan dari berbagai sumber. Dari segi esports, mereka punya tim-tim yang berprestasi. Atlanta FaZe misalnya, tim Call of Duty League yang bisa digolongkan sebagai top 4 terkuat di skenanya. Terakhir kali Atlanta FaZe berhasil keluar sebagai runner-up Call of Duty League tahun 2020. Tim CS:GO milik FaZe Clan juga tergolong cukup kuat. Divisi CS:GO FaZe Clan sempat memenangkan beberapa gelaran BLAST Pro Series di tahun 2019 walau performanya cenderung menurun belakangan ini. Ditambah lagi, FaZe Clan juga punya bejibun streamers dan influencers yang punya nama yang besar di komunitas gamers.

Bagaimana pengaruh kombinasi antara konten media sosial yang aktif dan prestasi dari divisi-divisi esports FaZe Clan terhadap penjualan merchandise? Pada akhir tahun 2020 lalu, Lee Trink CEO FaZe Clan sempat mengungkap pendapatan FaZe Clan dari sisi merchandising. Lee Trink mengatakan bahwa mereka bisa mendapat pemasukan sebanyak US$2 juta dalam 24 jam atau sekitar US$500 ribu dalam 5 menit dari merchandise.

Apabila Anda adalah pembaca setia Hybrid.co.id, Anda mungkin tahu bagaimana FaZe Clan memang merupakan salah satu organisasi yang getol di bidang merchandising. Salah satu alasannya juga adalah karena FaZe Clan yang memosisikan dirinya sebagai sebuah brand gaya hidup berkaitan dengan gaming.

Karenanya, FaZe terlihat getol berkolaborasi dengan berbagai brand fashion ataupun membuat merchandise miliknya bergaya streetwear yang fashionable agar dapat menarik minat masyarakat umum. Komitmen mereka untuk menuju ke tujuan tersebut juga terlihat salah satunya dengan peluncuran toko apparel yang mereka lakukan seraya mengutarakan keinginannya untuk menjadi layaknya Supreme di dunia fashion.

Tetapi apa yang dilakukan FaZe Clan juga sebenarnya terbilang tidak neko-neko dan malah tergolong masuk akal dari sisi bisnis. Layaknya tim sepak bola, tim esports sebenarnya juga cukup sulit mengumpulkan atau mengembangkan pemasukannya apabila hanya bersandar kepada kompetisi saja.

Hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel pembahasan antara prestasi dengan konten bagi tim esports. Walaupun keduanya bersifat simbiosis mutualisme bagi tim esports (prestasi dan konten), namun hal yang tak bisa dipungkiri sebenarnya adalah pemasukan dari menjadi juara yang tidak cukup untuk mengembangkan tim esports sebagai bisnis. Artikel saya tersebut juga sempat membahas perkiraan pemasukan yang didapat tim esports apabila ada divisinya yang memenangkan turnamen, dibandingkan dengan pemasukan dari sisi komersil seperti adsense konten media sosial, sponsorship, ataupun mungkin penjualan merchandise.

Setelah melihat FaZe Clan yang sukses “menjual” gaming sebagai gaya hidup lewat konten media sosial dan merchandising di luar negeri sana, sekarang kita akan beralih ke sub-pembahasan berikutnya. Kira-kira, bagaimana dengan kondisi relasi followers media sosial dengan penjualan merchandise bagi tim esports lokal?

 

Melihat Dari Perspektif Esports Lokal

Apabila bicara soal konten media sosial dan merchandise di ranah esports lokal, saya melihat setidaknya ada tiga tim yang mungkin bisa dimasukkan sebagai contoh kasus. Ketiga tim tersebut adalah EVOS Esports, ONIC Esports, dan Bigetron Esports. Ketiga tim tersebut saya jadikan contoh karena ketiganya sama-sama terlihat getol menciptakan merchandise tim esports yang lebih fashionable.

EVOS Esports mungkin jadi salah satu pionir dan terlihat paling getol mengembangkan branding merchandise mereka ke arah lifestyle. Mereka terlihat gencar melakukan kolaborasi bersama beberapa seniman fashion lokal dalam pembuatan lini merchandise miliknya. Mereka juga membuka EVOS Store pada tahun 2019 lalu sebagai bentuk komitmen tersebut.

EVOS x Thanksinsomnia - Photo 2
Hoodie hasil kolaborasi EVOS Esports dengan Thankinsomnia.

ONIC Esport pun seperti demikian. Mereka terlihat melakukan beberapa kolaborasi dengan brand-brand fashion dan lifestye untuk mengembangkan lini merchandise-nya. Beberapa di antaranya seperti kolaborasi ONIC Esports dengan KITC ataupun kolaborasinya dengan salah satu brand footwear lokal ternama yaitu Brodo.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sepatu hasil kolaborasi ONIC Esports dengan Brodo. Sumber Gambar – ONIC Esports Official.

Bigetron Esports mungkin belum terlihat melakukan kolaborasi-kolaborasi dengan brand fashion. Walupun demikian, lini merchandise milik si robot merah tetap mengikuti tren dengan penampilan ala streetwear. Salah satu contohnya bisa dilihat dari jaket Red Aliens Bomber Jacket 2021 yang ditampilkan dengan rancangan grafis ala cyberpunk yang memang sedang trending. Selain itu, Bigetron Red Aliens juga tercatat sebagai tim esports dengan performa media sosial tertinggi menurut Shareablee, bahkan mengalahkan FaZe Clan.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Walau bukan hasil kolaborasi, tapi rancangan Bigetron Red Aliens Bomber Jacket ini tetap ingin menonjolkan kesan fashionable. Sumber Gambar – Bigetron Official.

Setelah melihat bagaimana ketiga tim tersebut memperlakukan lini merchandise miliknya, mari kita melihat jumlah followers media sosial yang dimiliki oleh masing-masing tim. Saya menjadikan Instagram sebagai sampel media sosial dari ketiga tim tersebut karena Instagram adalah media sosial dengan jumlah followers terbesar dari ketiga tim tersebut. EVOS Esports memiliki 5,7 juta followers pada akun official-nya. ONIC Esports memiliki 1,1 juta folllowers, sementara Bigetron Esports memiliki 1,3 juta followers.

Lalu untuk melihat penjualan merchandise dari ketiga tim tersebut, saya menggunakan data official shop mereka di Tokopedia dan Shopee. EVOS Esports sudah mencatatkan sekitar 16 ribu produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 750 produk terjual di official shop Shopee. ONIC Esports mencatatkan sekitar 1600 produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 220 produk terjual di official shop Shopee. Terakhir Bigetron Esports sudah mencatatkan sekitar 4800 produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 360 produk terjual di official shop Shopee.

Setelah ditilik, ternyata memang perbandingan angka jumlah followers media sosial sangat timpang dengan jumlah orang yang membeli merchandise dari tim esports. Untuk mengihitung kisaran angka konversi, saya membagi jumlah pembeli merchandise dengan jumlah followers lalu dikali 100 untuk menghitung persentase. Setelah dihitung, maka saya mendapatkan angka konversi kurang lebih sebesar ini: EVOS Esports mencatatkan angka konversi sebesar 0,29%, ONIC Esports sebesar 0,14%, dan Bigetron Esports sebesar 0,42%.

Angka konversi yang saya dapatkan tersebut tentunya adalah angka yang sangat kasar. Hal tersebut mengingat pembelian merchandise tak terbatas pada official shop saja dan tidak terbatas pada pembelian online saja. Di luar dari official shop, beberapa merchandise tim esports kadang dijual di marketplace online lain. Kolaborasi antara ONIC Esports dengan sepatu Brodo misalnya, yang dijual secara online hanya di official website milik Brodo, tidak di official shop ONIC Esports.

Karena saya menghitung angka total penjualan secara online, maka penjualan offline seperti di EVOS Store atau pada saat gelaran M1 2019 tentu jadi tidak terhitung. Belum lagi kalau misalnya kita juga menghitung penjualan di toko pihak ketiga (yang mungkin dipertanyakan orisinalitas barang jualannya) yang banyak sekali jumlahnya.

Terlepas dari itu, angka konversi yang kecil tersebut sebenarnya tidak selalu berarti buruk. Malah apabila Anda oportunis, angka tersebut adalah bukti masih besarnya peluang komersialisasi merchandise bagi tim esports. Shawn Liem selaku CEO dari ONIC Esports juga sempat memberi pandangannya seputar bisnis merchandising bagi tim esports.

Dirinya mengakui bahwa merchandise adalah salah satu revenue stream bagi ONIC, walau jumlahnya ketinggalan dibanding yang lain. “Kontribusi terbesar untuk saat ini masih dari sponsorship dan talent management.” Ucap Shawn menjelaskan. Namun, seperti yang saya bilang, angka konversi yang kecil tersebut sebenarnya bisa jadi peluang untuk dikembangkan. Karenanya tim seperti ONIC Esports pun berpikir serupa seperti apa yang saya pikirkan.

Sumber Gambar – YouTube Channel BRODO

“Lewat kemitraan dengan JUARA pada tahun ini, ONIC Esports ingin fokus mengembangkan merchandise sebagai salah satu pilar bisnis utama. Kami memandang merchandise sebagai identitas tim yang dapat mencerminkan branding dari tim itu sendiri. Oleh sebab itu, ONIC Esports sangat memmerhatikan produk merchandise yang kami keluarkan agar menjadi kebanggan untuk para SONIC (sebutan fans ONIC Esports) dan penggemar esports.” Tutur Shawn Liem menjelaskan pandangannya.

Dalam hal konversi dari followers menjadi pembeli merchandise, Shawn Liem mengatakan bahwa memang beberapa pembelinya justru bukan followers tim ONIC Esports. “Walaupun begitu, sejauh ini terlihat bahwa antusiasme fans terhadap produk baru yang kami keluarkan terbilang cukup tinggi. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karena desain merchandise yang inovatif serta kolaborasi dengan brand lokal terkemuka.”

Selain dari itu, satu hal yang saya juga penasaran adalah pendataan dari tim esports. Bagaimanapun, fans adalah bahan bakar bagi tim esports. Pertanyaannya, apakah tim esports seperti ONIC mendata dan mengukur tingkat fanatisme fans mereka? Secara umum, saya menangkap dari jawaban Shawn Liem bahwa ONIC Esports mungkin memang belum sampai segitunya mendata para penggemarnya.

Namun demikian Shawn Liem menjelaskan. “Kami mencoba memberikan insentif dalam pembelian merchandise dengan menghadirkan sistem loyalty point. Untuk saat ini fokus kami adalah untuk terus meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan value dari brand sehingga target market kami dapat meluas dari SONIC, ke fashion entushiast, sampai ke masyarakat di luar dunia esports.” Tuturnya sambil sedikit menjelaskan ONIC Esports di bidang merchandising.

Setelah banyak bicara soal merchandising, Shawn Liem juga sedikit membagikan pandangannya soal poosisi konten digital bagi sebuah tim esports. Shawn Liem pun menjelaskan bahwa memang konten digital kini sudah tidak terpisahkan bagi tim esports. Perannya juga bukan hanya sebagai suplemen saja, tetapi melainkan sebagai platform pemasaran utama baginya.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Dokumentasi: ONIC Esports

“Konten digital bukan lagi pelengkap saja, melainkan platform pemasaran utama untuk mendukung pilar-pilar bisnis sebuah tim esports. Secara operasional, tim esports seperti ONIC dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang media, entertainment, dan creative industry yang secara umum didorong oleh viewership konten dan media engagement. Tapi di luar itu, tentunya kami sebagai perusahaan juga harus terus berkembang dan bisa melihat peluang apa saja yang bisa dapat kami maksimalkan.” Tutur Shawn Liem.

Terakhir dalam hal integrasi antara konten dengan penjualan merchandise, Shawn Liem mengaku bahwa fokus yang ingin ia lakukan bersama ONIC Esports saat ini adalah branding. “Fokus kami saat ini adalah melakukan branding bahwa merchandise ONIC Esports bukan sekadar merchandise, melainkan sebuah brand fesyen Indonesia. Inisiatif kolaborasi dengan brand lokal adalah inifiatif awal kami yang tujuannya untuk memperluas pengaruh dan relevansi ONIC Esports di dunia fesyen, sembari meningkatkan kapabilitas internal kami dari segi rancangan dan kualitas. Harapan masa depannya adalah, merchandise ONIC Esports dapat berkembang menjadi brand fesyen yang ternama dengan kualitas produk yang kompetitif.”

Sementara prestasi tim-tim esports terus melejit, komersialisasi lewat konten digital dan merchandise memang menjanjikan peluang yang lebih besar ketimbang sekadar mengejar hadiah uang turnamen saja. Melalui artikel ini kita semua juga dapat melihat bahwa memang penjualan merchandise tim esports tergolong masih punya ruang yang cukup besar untuk berkembang di masa depan. Semoga pembahasan kali ini dapat memberi perspektif baru bagi Anda ataupun menjadi inspirasi untuk mengembangkan bisnis di bidang esports.

TikTok Hadirkan Fitur Auto Captions, Mudahkan Penambahan Subtitle Secara Otomatis

Dalam rangka menjadikan aplikasinya lebih inklusif dan lebih mudah diakses oleh lebih banyak pengguna, TikTok baru saja meluncurkan fitur Auto Captions. Sesuai namanya, fitur ini dirancang supaya kreator bisa menambahkan caption atau subtitle secara otomatis ke konten yang dibuatnya.

Berhubung otomatis, sudah pasti fitur ini memanfaatkan teknologi speech-to-text, dan itu berarti dukungan bahasanya harus ditambahkan satu per satu. Untuk sekarang, bahasa yang didukung baru Inggris (aksen Amerika Serikat) dan Jepang, namun TikTok berniat menambahkan dukungan bahasa-bahasa lainnya dalam beberapa bulan mendatang.

Semoga saja dukungan untuk bahasa Indonesia bisa datang dengan cepat, meski mungkin penerapannya agak tricky mengingat pada praktiknya kita lebih banyak mencampurkan bahasa gaul ketimbang sepenuhnya mengacu pada EYD.

Tampilan fitur Auto Captions di TikTok / ByteDance
Tampilan fitur Auto Captions di TikTok / TikTok

Tujuan diciptakannya fitur ini tentu adalah supaya konten di TikTok juga bisa ikut dinikmati kaum tuna rungu, tidak ketinggalan pula mereka yang mengalami gangguan pendengaran. Kendati demikian, fitur ini pasti juga akan sangat berguna buat siapapun yang sedang dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk mendengarkan audio.

Misalnya saja buat para orang tua yang mungkin setiap harinya cuma punya kesempatan untuk membuka TikTok di malam hari, tepatnya ketika anaknya yang masih bayi sedang tidur, fitur ini jelas bakal sangat membantu mereka memahami isi video tanpa harus mendengarkan audionya dan berpotensi membangunkan sang buah hati.

Kreator dapat mengaktifkan fitur Auto Captions ini ketika mengedit videonya, dan mereka juga dipersilakan untuk menyunting subtitle yang dihasilkan secara otomatis seandainya ada kesalahan. Buat para penonton, mereka bebas mematikan subtitle kapan saja dengan mengklik tombolnya di share panel.

Auto Captions baru satu dari sejumlah upaya yang TikTok lancarkan untuk meningkatkan aksesibilitas. Sebelum ini mereka juga sudah menghadirkan fitur text-to-speech, serta yang tidak kalah penting adalah fitur untuk mengingatkan para kreator terkait video-video yang bisa memicu epilepsi fotosensitif.

Sumber: TikTok. Gambar header: Depositphotos.com.

Twitter Spaces Hadir di Android, Alternatif Bagi yang Menanti Kehadiran Clubhouse

Kecuali Anda tinggal di dalam gua selama beberapa bulan terakhir ini, Anda semestinya sudah mendengar mengenai aplikasi bernama Clubhouse yang sedang naik daun. Meski populer, Clubhouse hingga kini masih saja hanya tersedia secara eksklusif di platform iOS dan dalam jumlah terbatas (invite-only).

Buat para pengguna perangkat Android yang sedang menanti versi Android-nya, well, Anda mungkin bisa mengalihkan perhatian sebentar ke Twitter. Sejak Desember lalu, Twitter sebenarnya sudah memperkenalkan fitur bernama Spaces yang cara kerjanya sangat mirip dengan Clubhouse. Spaces awalnya cuma eksis di aplikasi Twitter versi iOS saja, akan tetapi sekarang versi beta-nya sudah tersedia di Anroid.

Kalau Clubhouse menggunakan istilah Room, Twitter menggunakan, well, Space. Setiap Space bersifat publik (untuk sekarang) dan siapapun bisa bergabung di dalamnya. Kendati demikian, masing-masing host bisa mengatur siapa saja yang dapat ikut berbicara di dalam Space tersebut; apakah semua orang, semua yang si host ikuti, atau yang dipilih secara manual.

Saat Anda membuka sebuah Space, maka follower Anda bisa melihatnya di bagian atas timeline yang Twitter juluki dengan istilah Fleet. Tidak ada batasan jumlah orang yang bisa bergabung ke dalam suatu Space, akan tetapi jumlah yang dapat berbicara secara bersamaan maksimum hanya 10 orang.

Berhubung masih beta, tentunya ada sejumlah batasan. Untuk sekarang, pengguna perangkat Android masih belum bisa membuat Space-nya sendiri, akan tetapi mereka bisa bergabung dan berbicara di Space manapun (kecuali jika diblok oleh host-nya). Kendati demikian, Twitter berjanji bahwa batasan ini akan segera berakhir, meski memang belum ada kepastian kapan.

Satu hal yang cukup menarik dari Twitter Spaces adalah betapa transparannya tim pengembangnya dalam membagikan progres mengenai fitur-fitur atau penyempurnaan yang mereka terapkan. Selagi menanti kehadiran Clubhouse di Android yang masih belum jelas, tidak ada salahnya mencoba Twitter Spaces — atau gunakan Discord saja 🙂

Sumber: CNET.