Apple Jelaskan Kenapa Layanan Cloud Gaming Microsoft xCloud Tidak Tersedia di iOS

Pada tanggal 15 September nanti, konsumen di 22 negara dapat memainkan berbagai game Xbox melalui smartphone atau tablet berkat layanan cloud gaming xCloud dari Microsoft. Syaratnya cukup dengan berlangganan Xbox Game Pass Ultimate saja, tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lagi.

Syarat yang kedua, pastikan smartphone atau tablet yang dipakai menjalankan sistem operasi Android, sebab layanan ini tidak akan tersedia di platform iOS, setidaknya di awal peluncurannya nanti. Kabar ini tentu terdengar mengejutkan, apalagi mengingat xCloud sempat menjalani fase pengujian di iOS pada bulan Februari lalu.

Kepada Business Insider, perwakilan Apple menjelaskan bahwa alasan xCloud harus absen di iOS sebenarnya berkaitan dengan kebijakan platform App Store itu sendiri: setiap aplikasi atau game yang akan masuk ke App Store harus di-review satu per satu dahulu, serta nantinya harus muncul di hasil pencarian maupun chart.

Jadi kalau xCloud menawarkan akses ke 100 game, maka 100 game itu harus Microsoft cantumkan satu per satu untuk di-review oleh tim App Store. Berhubung Microsoft tidak melakukannya, maka xCloud yang bertindak sebagai portal untuk gamegame tersebut pun tidak diperbolehkan hadir di App Store. Kedengarannya konyol memang, apalagi jika melihat Netflix dan Spotify yang diperbolehkan hadir tanpa perlu mencantumkan satu per satu kontennya untuk di-review.

Apple berdalih bahwa game itu sifatnya interaktif, tidak seperti film atau musik. Apple mungkin terkesan sangat kaku, tapi setidaknya mereka konsisten dengan kebijakannya: semua game yang tersedia di Apple Arcade (layanan gaming subscription milik Apple), memang akan muncul satu per satu kalau kita cari di App Store.

Facebook Gaming harus memangkas fitur Instant Games supaya bisa hadir di iOS / Facebook
Facebook Gaming harus memangkas fitur Instant Games supaya bisa hadir di iOS / Facebook

xCloud pun bukan satu-satunya layanan cloud gaming yang tidak bisa hadir di iOS karena terbentur kebijakan App Store. Contoh lainnya adalah Google Stadia. Meski aplikasi Stadia ada di App Store, fungsinya cuma sebatas untuk mengatur library game yang dimiliki masing-masing pelanggan, bukan untuk memainkan game-nya.

Bahkan aplikasi Facebook Gaming pun baru-baru ini juga menjumpai kendala saat akan dirilis di iOS. Aplikasinya akhirnya tersedia, tapi Facebook harus mengorbankan fitur Instant Games agar bisa disetujui. Jadi kalau aplikasi Facebook Gaming di Android bisa dipakai untuk memainkan sejumlah mini game, di iOS tidak.

Dari sini mungkin sebagian dari kita akan berasumsi Apple takut penjualan game di App Store merosot dengan adanya layanan cloud gaming seperti xCloud atau Stadia. Namun kalau memang kenyataannya begitu, mengapa Apple tidak sekalian memblokir Netflix dan Spotify yang mempengaruhi penjualan film dan musik di iTunes, sekaligus bersaing langsung dengan layanan milik Apple sendiri (Apple TV+ dan Apple Music)?

Saya sama sekali tidak bermaksud untuk membela Apple, dan saya pribadi juga berharap xCloud maupun Stadia nantinya bisa tersedia sepenuhnya di iOS mengingat saya sendiri merupakan pengguna iPhone. Semoga saja Microsoft akan terus bernegosiasi dan memperjuangkan layanan cloud gaming-nya agar bisa eksis di semua platform.

Sumber: Business Insider.

Samsung Luncurkan Galaxy Note20, Note20 Ultra, dan Z Fold2

Seperti yang sudah diprediksi, Samsung akhirnya menyingkap secara resmi Galaxy Note versi baru, yakni Note20 dan Note20 Ultra. Juga seperti yang sudah diperkirakan, keduanya sama-sama mengusung spesifikasi kelas wahid.

Kita mulai dari Note20 Ultra terlebih dulu, sebab inilah model yang benar-benar tanpa kompromi. Di Amerika Serikat, banderol harganya dipatok mulai $1.299, dan di rentang harga itu tentu konsumen mendambakan yang terbaik dari Samsung.

Benar saja, dari segi fisik saja, Note20 Ultra sudah kelihatan lebih premium ketimbang seri Note10, terutama berkat bezel layar yang bahkan lebih tipis lagi. Bezel yang nyaris tidak ada ini mengapit layar AMOLED 6,9 inci beresolusi 3088 x 1440 pixel, dan tentu saja Samsung tidak lupa menyematkan dukungan refresh rate 120 Hz di sini. Layar ini juga luar biasa terang dengan tingkat kecerahan maksimum 1.500 nit.

Sepintas layarnya terdengar identik dengan milik S20 Ultra, namun kalau soal performa, Note20 Ultra lebih unggul berkat chipset Qualcomm Snapdragon 865+. Saya belum tahu apakah versi yang dijual di Indonesia bakal membawa spesifikasi yang berbeda; apakah akan ditenagai chipset Exynos 990 yang sama seperti milik S20 Ultra, atau ada chipset lain yang lebih baru lagi.

Melengkapi prosesornya adalah pilihan RAM 8 GB atau 12 GB, storage internal berkapasitas 128 GB, 256 GB atau 512 GB (plus slot microSD), dan baterai 4.500 mAh. Sekali lagi kalau soal spesifikasi, ada baiknya kita menunggu pengumuman resmi dari Samsung Indonesia.

Untuk kameranya, tonjolan masif di belakang itu dihuni oleh tiga modul: kamera utama 108 megapixel f/1.8, kamera ultra-wide 12 megapixel f/2.2, dan kamera periskop 12 megapixel yang menawarkan 5x optical zoom atau 50x digital zoom. Tepat di bawah LED flash-nya, kita juga bisa melihat sebuah sensor laser autofocus. Beralih ke depan, ada kamera selfie 10 megapixel dengan Dual Pixel AF.

Lalu kalau ditanya apa alasan terkuat untuk membeli Note20 Ultra ketimbang S20 Ultra, maka jawabannya tentu saja adalah S Pen. Stylus milik Note20 Ultra ini punya dimensi yang sama persis seperti milik Note10, akan tetapi latency-nya sudah dipangkas hingga menjadi 9 milidetik saja, atau hampir lima kali lebih rendah daripada sebelumnya.

Berkat latency serendah itu, tentu saja pengguna bakal mendapat pengalaman menulis atau menggambar yang lebih baik lagi, yang nyaris tidak berbeda dari mencorat-coret di atas kertas. Satu hal yang agak disayangkan adalah, Samsung memindah slot untuk menyimpan S Pen ke sebelah kiri pada duo Note20 ini.

Note20 non-Ultra tapi juga bukan Lite

Oke, saatnya beralih ke Note20 biasa. Jujur saya agak bingung dengan perangkat yang satu ini. Pasalnya, meski dihargai paling murah $999, perangkat ini terkesan terlalu banyak kompromi. Di beberapa aspek, bahkan Galaxy S20 biasa saja kedengaran jauh lebih menarik ketimbang Note20, kecuali Anda benar-benar melihat S Pen sebagai prioritas.

Lihat saja layarnya, yang merupakan panel AMOLED 6,7 inci beresolusi 2400 x 1080 pixel, dengan refresh rate 60 Hz. Bukan salah ketik, tapi memang kenyataannya cuma 60 Hz. Aneh memang, apalagi mengingat semua seri S20 datang membawa layar 120 Hz, dan seandainya ini Note20 Lite yang dibicarakan, saya sih tidak akan terkejut. Desain layarnya pun berbeda dari Note20 Ultra; ujung-ujungnya lebih membulat, dan sisi sampingnya tidak melengkung mengikuti kontur bodi.

Terkait spesifikasi, Note20 turut ditenagai oleh chipset Snapdragon 865+ untuk versi yang dijual di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. RAM-nya cuma tersedia dalam kapasitas 8 GB, sedangkan pilihan storage internalnya mencakup 128 GB atau 256 GB (tanpa slot microSD). Kapasitas baterainya sedikit lebih kecil ketimbang kakaknya di angka 4.300 mAh.

Lanjut mengenai kamera, tonjolan milik Note20 rupanya tidak sebengkak pada Note20 Ultra, tapi spesifikasinya memang juga berbeda: kamera utama 12 megapixel f/1.8 dengan Dual Pixel AF, kamera ultra-wide 12 megapixel f/2.2, dan kamera telephoto 64 megapixel f/2.0 dengan 3x hybrid zoom. Kamera depannya sama persis meski ukurannya kelihatan lebih besar di layarnya yang lebih kecil.

Kolaborasi dengan Microsoft

Samsung Galaxy Note20 Ultra Link to Windows

Hardware baru sebagian dari cerita lengkap seputar seri Note20, sebab Samsung turut mengumumkan sejumlah hasil kolaborasinya dengan Microsoft yang sangat menarik. Yang pertama berkaitan dengan fitur unggulan seri Note sendiri, yakni S Pen. Semua coretan-coretan yang pengguna buat di aplikasi Samsung Notes nantinya dapat tersinkronisasi secara otomatis ke Microsoft OneNote maupun Outlook versi web.

Ini berarti semua catatan yang pengguna buat di smartphone bisa langsung muncul di laptop dengan menggunakan layanan-layanan dari Microsoft tersebut. Fitur sinkronisasi yang sama juga berlaku untuk aplikasi Samsung Reminders, yang kontennya bisa pengguna lihat langsung di Microsoft To Do, Teams, maupun Outlook.

Juga menarik adalah pembaruan yang diterapkan pada fitur Link to Windows beserta aplikasi Your Phone di Windows 10. Pada seri Note20, kombinasi keduanya tidak cuma menghadirkan akses ke notifikasi maupun galeri foto saja di laptop yang terhubung, melainkan juga akses ke seluruh aplikasi yang terdapat di ponsel.

Multitasking pun turut didukung, yang berarti lebih dari satu aplikasi di Note20 bisa pengguna buka di laptop secara bersamaan. Kalau memang sering dibuka, aplikasinya bahkan bisa di-pin ke taskbar atau Start Menu Windows 10.

Terakhir, Samsung juga akan menyediakan bundel khusus Note20 yang meliputi akses gratis layanan Xbox Game Pass Ultimate selama tiga bulan di negara-negara tempat layanan itu tersedia, plus controller inovatif buatan PowerA. Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, per 15 September nanti, layanan cloud gaming Project xCloud akan resmi meluncur sebagai bagian dari Xbox Game Pass Ultimate, dan itu berarti konsumen Note20 bisa langsung memainkan 100 lebih game Xbox mulai pertengahan September.

Galaxy Z Fold2

Di samping Note20 dan Note20 Ultra, Samsung turut mengungkap Galaxy Z Fold2 yang membawa banyak sekali penyempurnaan jika dibandingkan dengan pendahulunya. Dalam posisi terlipat pun, Z Fold2 sudah terlihat jauh lebih menarik berkat layar bagian luar yang membentang dari ujung ke ujung dengan ukuran 6,2 inci.

Saat dibuka, giliran layar 7,6 inci yang menyambut pengguna. Baik di luar maupun dalam, pengguna tak akan menjumpai poni. Sayangnya Samsung belum membeberkan spesifikasinya secara lengkap, tapi mereka sempat menyebut refresh rate 120 Hz untuk layar bagian dalamnya, serta konstruksi layar keseluruhan yang lebih kokoh.

Bukan cuma layarnya, engselnya pun juga ikut dimatangkan lebih jauh lagi. Semua pembaruannya tentu didasari oleh berbagai masukan dari pengguna Fold generasi pertama dan pengguna Z Flip. Alhasil, engsel milik Z Fold2 sekarang bisa menahan posisi di berbagai sudut seperti Z Flip, dan ini tentunya bisa mewujudkan lebih banyak skenario penggunaan.

Di titik ini mungkin konsumen Galaxy Fold dan Z Flip terdengar seperti kelinci percobaan, tapi yang namanya produk generasi pertama memang seperti itu, dan sekarang semestinya Z Fold2 sudah jauh lebih matang dan tak lagi terkesan eksperimental.

Seperti yang bisa kita lihat, fisik Z Fold2 juga terlihat jauh lebih elegan berkat tebal bodi yang menyusut menjadi 6 mm (dalam posisi terbuka). Meski menipis, Z Fold2 rupanya mengusung kapasitas baterai yang sedikit lebih besar daripada pendahulunya di angka 4.500 mAh. Lebih lengkapnya soal Z Fold2 baru akan Samsung umumkan pada tanggal 1 September.

Sumber: Samsung.

Cara Membuat Daftar Isi Otomatis di Microsoft Word 2016

Membuat daftar isi secara otomatis di Microsoft Word bisa jadi sebuah tugas yang tidak mudah apabila tidak paham caranya. Padahal, daftar isi merupakan unsur penting yang wajib ada dalam karya tulis, proposla skripsi dan juga skripsi.

Continue reading Cara Membuat Daftar Isi Otomatis di Microsoft Word 2016

Project xCloud Siap Meluncur 15 September Sebagai Bagian dari Xbox Game Pass Ultimate

Hampir dua tahun setelah diumumkan pertama kali, Project xCloud akhirnya punya jadwal rilis resmi. Layanan cloud gaming besutan Microsoft tersebut bakal tersedia untuk publik secara luas mulai 15 September mendatang sebagai bagian dari Xbox Game Pass Ultimate.

Konsumen yang sudah berlangganan Xbox Game Pass Ultimate ($15 per bulan) tidak perlu membayar biaya tambahan untuk bisa menikmati xCloud. Layanan ini akan tersedia di 22 negara pada hari peluncurannya: Amerika Serikat, Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Hungaria, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Norwegia, Perancis, Polandia, Portugal, Republik Ceko, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss.

Ya, sangat disayangkan Indonesia belum termasuk dalam daftar, akan tetapi negara-negara Asia Tenggara lainnya pun juga demikian. Dari 22 negara tersebut, satu-satunya negara Asia yang kebagian jatah baru Korea Selatan.

Terlepas dari itu, cukup wajar apabila banyak gamer yang menaruh harapan besar terhadap xCloud. Layanan ini pada dasarnya dirancang untuk melengkapi pengalaman para konsumen Xbox, memungkinkan akses ke katalog game Xbox yang masif di mana saja dan kapan saja. Pada hari peluncurannya, Microsoft sudah menjanjikan ada lebih dari 100 game yang bisa dinikmati via xCloud.

Project xCloud on Xbox Game Pass Ultimate

Microsoft belum membeberkan isi katalog game xCloud secara lengkap, akan tetapi mereka sudah mengonfirmasi setidaknya tiga lusin judul, termasuk halnya judul-judul AAA macam Destiny 2, Forza Horizon 4, Gears 5, Hellblade: Senua’s Sacrifice, The Outer Worlds, Ori and the Will of the Wisps, Sea of Thieves, State of Decay 2, Wasteland 3, dan bahkan yang masih sangat gres seperti Grounded.

Jadi tanpa harus berada di depan TV, deretan game ini bisa dimainkan melalui smartphone atau tablet Android – belum diketahui kapan xCloud akan tersedia di iOS. Semua progres yang dicatatkan pemain akan disimpan dan disinkronisasikan, yang berarti save game di console dapat langsung dilanjutkan di perangkat mobile via xCloud, demikian pula sebaliknya.

Juga menarik adalah kompatibilitas xCloud dengan game multiplayer. Jadi ke depannya kalau Anda berjumpa dengan pemain lain di suatu game multiplayer, belum tentu orang itu bermain di console Xbox atau PC, tapi bisa juga malah menggunakan smartphone dengan bantuan controller.

Controller memang bukanlah suatu keharusan, akan tetapi konsumen xCloud dipastikan bisa mendapatkan pengalaman yang lebih baik dengan memanfaatkan controller. Microsoft cukup inklusif soal ini; selain controller Xbox One, konsumen bahkan dipersilakan untuk memakai controller PlayStation 4.

Alternatifnya, konsumen juga bisa membeli controller dari brandbrand seperti Razer, 8BitDo maupun PowerA yang secara khusus memang dirancang untuk mobile gaming. Controller bikinan PowerA misalnya, dilengkapi power bank terintegrasi sehingga perangkat bisa dipakai bermain sambil di-charge.

Mobile gaming controller

Microsoft kelihatannya benar-benar memanfaatkan waktunya untuk mematangkan xCloud. Mereka sepertinya belajar banyak dari Google Stadia, yang perilisannya terkesan tergesa-gesa dan pada akhirnya dinilai kurang sesuai ekspektasi.

Dari segi model bisnis, arahan yang diambil Microsoft untuk xCloud juga sangat berbeda. Ketimbang menarik biaya untuk satu per satu judul game seperti yang Google terapkan pada Stadia, Microsoft memilih untuk menetapkan tarif flat $15. Jadi cukup membayar biaya berlangganan Xbox Game Pass Ultimate saja setiap bulannya, konsumen sudah bisa menikmati semua game yang tersedia melalui console Xbox, PC, ataupun perangkat mobile – benar-benar sesuai dengan visi Microsoft untuk mewujudkan “Netflix-nya video game“.

Kata “semua” ini penting untuk disoroti, sebab Microsoft sebelum ini sudah berjanji supaya semua game keluaran Xbox Game Studios bisa tersedia di Xbox Game Pass pada hari yang sama, dan ini termasuk deretan game baru yang sedang dikembangkan untuk Xbox Series X. Jadi untuk game seperti Halo Infinite misalnya, pelanggan Xbox Game Pass tidak perlu membeli game-nya secara terpisah untuk bisa menikmatinya langsung di hari peluncurannya dan di berbagai platform sekaligus.

Sumber: Xbox.

Gabe Newell Pilih Xbox Series X Ketimbang PlayStation 5

Anggap Anda Gabe Newell, sosok yang kerap ‘didewakan’ di ranah PC gaming. Saat ada jurnalis yang menanyakan mengenai console next-gen pilihan Anda, apa jawaban paling diplomatis yang bisa Anda berikan? Berhubung bisnis Anda berhubungan langsung dengan platform PC, sudah pasti jawaban yang paling aman ya “PC” itu sendiri.

Namun ternyata Gabe Newell yang sebenarnya tidak semembosankan itu. Dalam sebuah acara TV Selandia Baru berjudul The Project, beliau sempat ditanya persis soal itu, soal mana yang menurutnya lebih baik antara Xbox Series X atau PlayStation 5. Tanpa menunjukkan sedikit pun keraguan, Gabe menjawab “Xbox”.

Gabe tidak menjelaskan lebih lanjut alasannya kenapa, dan ia tidak lupa mengklarifikasi bahwa ia sebenarnya tak punya kepentingan apa-apa terkait perang console next-gen tersebut. Namun seandainya ia harus memilih, pilihannya jatuh pada Xbox Series X.

Kemungkinan, preferensi Gabe mengacu pada fakta bahwa di atas kertas, Xbox Series X memang punya kinerja CPU dan GPU yang lebih unggul daripada PS5. Ini kontras dengan preferensi bos Epic Games, Tim Sweeney, yang beberapa kali tidak segan memuji performa SSD milik PS5 yang luar biasa cepat.

Kemungkinan yang kedua sepertinya berkaitan dengan fakta bahwa hampir semua game eksklusif milik Xbox kini sudah tersedia di PC (dan dipasarkan melalui Steam, platform distribusi game milik Valve, perusahaan yang Gabe Newell dirikan). Ke depannya, Microsoft malah bakal membawa semua penawaran eksklusifnya untuk Xbox Series X ke PC, seperti yang sudah diumumkan pada acara Xbox Games Showcase belum lama ini.

Microsoft dan Valve selama ini memang tergolong cukup akrab. Markas besar kedua perusahaan itu saling berdekatan di provinsi Washington, dan sebelum mendirikan Valve, Gabe Newell sendiri merupakan mantan programmer Microsoft yang secara langsung terlibat dalam pengembangan beberapa versi sistem operasi Windows selama 13 tahun karirnya di sana.

Juga lucu adalah jawaban Gabe ketika ditanya soal kiat untuk mengurangi rasa mual yang muncul setelah menggunakan VR headset. “Beli perangkat yang lebih baik,” jawab Gabe, dan ini tentu saja mengacu pada fakta bahwa salah satu nilai jual utama VR headset Valve Index adalah display dengan refresh rate 120 Hz, yang dipercaya mampu meminimalkan rasa mual semacam itu.

Sumber: VG247.

Microsoft: Eksklusif untuk Xbox Series X Bukan Berarti Tidak Akan Dirilis di Xbox One

PlayStation 5 dan Xbox Series X boleh memiliki spesifikasi yang mirip-mirip, akan tetapi saat bicara mengenai konten, strategi yang diterapkan masing-masing produsennya rupanya sangatlah berbeda.

Dari kubu PlayStation, taktik yang Sony ambil cukup gamblang: deretan game terbaru yang dikerjakan oleh studio-studio internal PlayStation Studios, macam Horizon Forbidden West maupun Ratchet & Clank: Rift Apart, adalah game yang dikhususkan untuk PS5. Sejauh ini tidak ada wacana untuk menghadirkan kedua game tersebut (maupun sejumlah judul lainnya) ke PS4.

Alasannya bukan sebatas bisnis, tapi memang sejumlah judul cuma bisa terwujud berkat peningkatan performa yang PS5 hadirkan, khususnya SSD super-cepatnya. Salah satu contohnya adalah Ratchet & Clank: Rift Apart itu tadi, yang gameplay-nya bakal melibatkan petualangan lintas dimensi tanpa sisipan loading screen. Hal ini tentu tidak memungkinkan pada PS4 yang masih menggunakan HDD piringan yang lambat.

Tidak ada keterangan "Xbox One" di laman Forza Motorsport maupun sejumlah judul first-party lain yang sedang dikembangkan studio internal Xbox Game Studios / Microsoft
Tidak ada keterangan “Xbox One” di laman Forza Motorsport maupun sejumlah judul first-party lain yang sedang dikembangkan studio internal Xbox Game Studios / Microsoft

Sebaliknya, kalau dari kubu Xbox, strategi Microsoft agak lebih rumit. Di satu sisi, mereka tidak mau memaksa konsumen untuk meng-upgrade console lamanya sesegera mungkin. Alhasil, setidaknya selama beberapa tahun ke depan, mereka berkomitmen untuk menghadirkan deretan game garapan studio-studio internalnya di Xbox Series X dan Xbox One sekaligus.

Di sisi lain, dari sederet judul permainan yang sudah diumumkan, beberapa di antaranya secara spesifik dikembangkan untuk Xbox Series X. Forza Motorsport adalah salah satunya, yang disebut bakal memaksimalkan kapabilitas Series X demi menyuguhkan visual yang menawan di resolusi 4K 60 fps, lengkap beserta efek ray tracing.

Jadi mana yang benar? Apakah semua game first-party Xbox Series X juga akan dirilis untuk Xbox One sesuai dengan komitmen Microsoft? Atau beberapa judul memang eksklusif untuk Series X saja? Sayangnya tidak ada jawaban yang pasti. Bahkan Aaron Greenberg yang merupakan petinggi divisi marketing Xbox pun juga tidak berani memastikan.

Lewat Twitter, beliau cuma bisa memberikan sedikit klarifikasi bahwa deretan game first-party anyar itu lebih dulu disiapkan untuk Xbox Series X, namun itu tak harus berarti gamegame tersebut tidak akan dirilis di Xbox One ke depannya. Semua keputusan ada di tangan masing-masing tim developer, dan itu berarti setiap game punya peluang untuk dibuatkan versi Xbox One-nya.

Microsoft pada dasarnya terkesan ingin menjadi good guy jika dibandingkan dengan Sony, namun strategi semacam ini bisa menjadi senjata makan tuan seumpama tidak dieksekusi dengan baik. Kalau ternyata dalam satu-dua tahun ini Xbox Series X punya banyak game first-party yang tidak tersedia di Xbox One, mungkin Phil Spencer bakal menyesal pernah bilang bahwa mereka tak berniat memaksa konsumen Xbox One untuk membeli Series X demi bisa menikmati judul-judul eksklusif terbaru dari mereka.

Via: Video Games Chronicle.

10 Pengumuman Paling Menarik dari Xbox Games Showcase

Seperti yang sudah dijanjikan, Microsoft semalam memamerkan sederet game yang akan mengisi katalog Xbox Series X nantinya. Beberapa di antaranya merupakan karya dari studio-studio internal di bawah naungan Xbox Game Studios, sedangkan sisanya dari developer luar yang memilih untuk meluncurkan game-nya secara eksklusif di platform Xbox dan PC.

Ada banyak sekali game yang diumumkan, tapi saya akan membahas 10 yang paling menarik saja. Tentu saja semua ini merupakan pilihan yang subjektif, jadi kalau mau mengetahui selengkapnya, silakan langsung tonton video resmi Xbox Games Showcase yang berdurasi hampir satu jam.

Halo Infinite

Suguhan pembukanya sudah pasti adalah Halo Infinite, apalagi mengingat game ini sudah diumumkan sejak E3 2018 lalu. Beruntung kali ini 343 Industries turut menyertakan video gameplay-nya, dan di sini kita bisa melihat bahwa mereka tidak berlebihan saat menyebut Halo Infinite sebagai Halo yang paling ambisius.

Video demo berdurasi 9 menit di atas berhasil menggambarkan betapa ekspansifnya dunia dalam Halo Infinite. Pengembangnya sendiri bilang luasnya beberapa kali lipat milik gabungan dua game Halo sebelumnya, dan semua itu dapat pemain nikmati di resolusi 4K 60 fps pada Xbox Series X nantinya.

Gameplay trailer-nya ini tak lupa memamerkan koleksi persenjataan sekaligus gadget canggih yang dimiliki Master Chief, termasuk halnya sebuah grappling hook yang langsung mengingatkan saya pada franchise Just Cause. Saya pribadi bukanlah penggemar seri Halo, namun harus saya akui saya cukup tertarik setelah menonton trailer di atas.

Forza Motorsport

PlayStation 5 punya Gran Turismo 7, Xbox Series X punya Forza Motorsport, reboot dari game balapan berjudul sama yang dirilis pertama kali 15 tahun silam. Kedua game ini sama-sama tidak mau main-main dalam menyajikan visual yang amat realistis. Dalam kasus Forza, developer Turn 10 Studios menjanjikan efek ray tracing pada keseluruhan konten di resolusi 4K 60 fps.

The Outer Worlds: Peril on Gorgon

Satu-satunya yang bukan merupakan game baru di artikel ini, melainkan sebuah DLC atau expansion pack. Namun berhubung The Outer Worlds merupakan salah satu game favorit saya, tentu saja saya tidak akan melewatkannya, apalagi mengingat Obsidian menjanjikan konten baru yang sangat melimpah pada DLC berjudul Peril on Gorgon ini.

Gorgon di sini merupakan nama dari sebuah asteroid di koloni Halcyon, dan pemain bakal berkunjung ke sana untuk menginvestigasi kisah misterius di balik lahirnya Adrena-Time, salah satu consumable yang efeknya meningkatkan movement speed sekaligus melee attack speed, tapi setelahnya malah menurunkan semua atribut.

Bukan cuma lokasi baru untuk dieksplorasi, Peril on Gorgon juga bakal menghadirkan sederet senjata, armor, dan bahkan flaw baru sekaligus. Saya pribadi berharap Obsidian juga menambahkan setidaknya satu companion baru, sebab deretan companion dan masing-masing backstory-nya inilah yang membuat saya jatuh cinta pada game ini.

Peril on Gorgon akan tersedia pada 9 September seharga $15. Obsidian juga menawarkan bundel seharga $25 yang mencakup Peril on Gorgon sekaligus expansion keduanya yang belum diumumkan, yakni Murder on Eridanos.

Avowed

Di samping mengumumkan DLC pertama The Outer Worlds dan trailer baru Grounded, Obsidian juga membuat kejutan dengan merilis trailer game terbarunya yang berjudul Avowed. Avowed merupakan sebuah RPG first-person ala seri The Elder Scrolls buatan Bethesda, tapi yang mengambil setting fantasi dari IP milik Obsidian sendiri, yakni Pillars of Eternity.

Saya tidak akan terkejut seandainya Obsidian belajar banyak dari Bethesda sehingga akhirnya Avowed bisa menyempurnakan banyak hal dari The Elder Scrolls V: Skyrim. Kasusnya kurang lebih sama seperti ketika Obsidian membenahi beberapa kekurangan Fallout 3 pada Fallout: New Vegas, sekaligus menyuguhkan narasi yang jauh lebih memikat.

Harapan terakhir saya adalah supaya Avowed bisa mendukung fitur modding yang komprehensif. Kalau tidak, berarti Obsidian kurang bisa memahami salah satu kunci di balik kesuksesan Skyrim.

Everwild

Selain Halo Infinite, Everwild juga merupakan game yang sudah diantisipasi sejak cukup lama, namun tak kunjung dirilis. Sayangnya hingga kini Rare selaku pengembangnya masih belum menunjukkan gameplay-nya seperti apa, tapi tidak bisa dipungkiri saya cukup terpikat dengan trailer terbarunya di atas.

Gaya visualnya sungguh menarik, terutama berkat polesan cel shading yang begitu manis di mata. Entah mengapa setelah menonton trailer-nya saya langsung teringat dengan film Princess Mononoke garapan Studio Ghibli. Mungkin karena banyak adegan yang memperlihatkan koneksi manusia dengan alam, serta semacam dewa berwujud rusa yang juga menjadi salah satu karakter utama dalam Mononoke.

S.T.A.L.K.E.R. 2

10 tahun sejak pertama diumumkan, game keempat dari seri FPS survival ini akhirnya punya trailer resmi. Memang belum banyak yang bisa kita pelajari mengenai gameplay S.T.A.L.K.E.R. 2, tapi developer GSC Game World memastikan bahwa trailer ini bisa memberikan gambaran terkait kualitas visual yang akan tersaji pada versi finalnya.

Seperti tiga game sebelumnya, permainan akan kembali mengangkat peristiwa yang terjadi di The Zone, wilayah bekas ledakan nuklir di Chernobyl. Bedanya, The Zone kali ini merupakan area open-world yang dapat pemain eksplorasi secara bebas, dan pengembangnya percaya ini dunia paling immersive yang pernah mereka buat untuk franchise S.T.A.L.K.E.R.

Kalau Anda suka Metro Exodus, saya yakin Anda sudah tidak sabar menanti S.T.A.L.K.E.R. 2.

The Gunk

Usai menonton trailer di atas, saya langsung menyimpulkan The Gunk sebagai ekuivalen dari Kena: Bridge of Spirits yang akan dirilis di PS5. Keduanya jelas merupakan game yang sangat berbeda, tapi vibe-nya kelihatan sejenis, dengan dunia yang begitu indah dan beragam makhluk yang tak dikenal.

Judulnya mengacu pada semacam parasit berlendir (gunk) yang menyelimuti banyak area dan sepertinya menjadi penyebab di balik munculnya banyak makhluk berbahaya. Protagonisnya dibekali semacam alat untuk menyedot parasit itu. Repotnya, terlalu banyak parasit yang disedot justru bakal berakibat longsor atau bagian tanahnya terbelah.

The Gunk digarap oleh Image & Form, developer di balik seri game SteamWorld. The Gunk merupakan game pertama mereka yang menyajikan visual 3D, itulah mengapa jadwal rilisnya masih sangat jauh: September 2021.

The Medium

Kita pertama mendengar soal The Medium pada bulan Mei lalu, dan premis bahwa karakter protagonisnya harus menjalani hidup dalam dua realita yang berbeda sebenarnya sudah sangat penuh intrik. Sekarang, kita bisa mendapat gambaran lebih jelas mengenai konsep “Dual Reality” yang dimaksud dalam game ini seperti apa.

The Medium merupakan game singleplayer, tapi lalu kenapa video di atas beberapa kali menunjukkan tampilan split-screen? Itu dikarenakan dua realitanya akan di-render secara bersamaan, sehingga kita bisa tahu bahwa apa yang kelihatannya biasa saja di dunia nyata, sebenarnya bisa jadi ancaman berbahaya di ranah spiritual.

Peribahasa “there are always two sides to every story” melekat kuat pada game ini, itulah mengapa kedua realita yang dijalani lakonnya harus disajikan secara bersamaan. Pengembangnya bilang mekanisme semacam ini tidak akan bisa terwujud tanpa peningkatan performa yang Xbox Series X tawarkan. Alhasil, kita tak akan menjumpai The Medium di Xbox One.

Warhammer 40,000: Darktide

Melanjutkan kesuksesan seri Warhammer: Vermintide, developer Fatshark memutuskan untuk menerapkan formula co-op FPS (4 orang) yang sama, tapi kali ini pada setting sci-fi Warhammer 40K. Berhubung setting-nya futuristis, sudah pasti ada banyak adegan tembak-menembak di Warhammer 40,000: Darktide.

Ini jelas berbeda dari Vermintide yang didominasi pertarungan jarak dekat alias melee. Kendati demikian, Fatshark memastikan kalau pemain masih harus mampu untuk bergerak secara lincah dan memadukan serangan jarak jauh sekaligus jarak dekat kalau mereka mau bertahan di Darktide. Jadi meskipun mengambil setting masa depan, game ini masih akan banyak diisi dengan adegan melee combat yang brutal.

Fable

Menutup acara Xbox Games Showcase adalah kejutan berjudul Fable. Bukan Fable 4, melainkan Fable saja, mengindikasikan bahwa ini merupakan reboot dari franchise RPG berusia 16 tahun tersebut.

Yang mengerjakan pun sekarang bukan lagi Lionhead Studios, melainkan Playground Games yang selama ini dipercaya menjadi pengembang seri Forza Horizon. Sayang sekali sejauh ini belum ada yang tahu gameplay-nya seperti apa, tapi semestinya jauh lebih menarik ketimbang Fable terakhir yang dirilis 10 tahun lalu.

Upgrade judul-judul lama menjadi “Optimized for Xbox Series X”

Terakhir, Microsoft tidak lupa mengumumkan bahwa beberapa judul permainan yang sudah ada bakal di-upgrade supaya bisa berjalan lebih maksimal di Xbox Series X. Judul-judul seperti Gears 5, Destiny 2, Forza Horizon 4, Sea of Thieves, maupun Ori and the Will of the Wisp, semuanya akan di-upgrade dan dapat konsumen nikmati tanpa perlu membayar biaya ekstra berkat fitur Smart Delivery.

Dalam beberapa kesempatan, upgrade-nya juga jauh dari kata minor. Ambil contoh Ori and the Will of the Wisp, yang sudah dioptimalkan agar dapat berjalan pada resolusi 4K 120 fps di Xbox Series X. Bukan cuma visual, developer Moon Studios turut menjanjikan penyempurnaan di sektor audio demi semakin memaksimalkan kesan immersive yang didapat pemain.

Sumber: Xbox Wire.

Xbox One X dan Xbox One S All-Digital Edition Resmi Berhenti Diproduksi

Perang console next-gen edisi 2020 sepertinya bakal segera dimulai tidak lama lagi. Setelah Sony dilaporkan sibuk menggenjot produksi PlayStation 5 baru-baru ini, sekarang giliran kubu Microsoft yang mendapat sorotan. Kepada The Verge, Microsoft secara resmi menyatakan bahwa mereka telah menghentikan produksi Xbox One X dan Xbox One S All-Digital Edition.

Meski Microsoft sampai saat ini masih belum memberikan kepastian, pengumuman ini jelas merupakan pertanda akan semakin dekatnya peluncuran Xbox Series X. Sebelum ini, banyak yang memprediksi bahwa console next-gen dari kedua kubu bakal meluncur di musim liburan 2020, tapi kalau melihat situasi pandemi yang tak kunjung berakhir, bukan tidak mungkin Sony dan Microsoft bakal memajukan jadwalnya.

Tentu saja ini merupakan situasi yang cukup rumit. Di satu sisi, demand atas perangkat gaming, termasuk halnya PC, meningkat drastis karena kita butuh hiburan selama mengarantina diri di kediaman masing-masing. Di sisi lain, produsen pasti cukup kewalahan memenuhi demand tersebut karena tidak bisa mengoperasikan pabriknya secara maksimal seperti biasanya.

Xbox One S masih akan diproduksi / Microsoft
Xbox One S masih akan diproduksi / Microsoft

Kalau melihat situs resmi Xbox, semua varian Xbox One X rupanya sudah terjual habis, demikian pula Xbox One S All-Digital Edition. Yang masih tersedia stoknya adalah Xbox One S, dan ternyata Microsoft memang masih lanjut memproduksi console tersebut. Bisa jadi ini merupakan salah satu strategi Microsoft untuk memenuhi tingginya permintaan konsumen.

Kemungkinan lain, ini berkaitan dengan komitmen Microsoft untuk tidak memaksa konsumen meng-upgrade ke Xbox Series X. Dijelaskan bahwa setidaknya sampai beberapa tahun ke depan, judul-judul eksklusif yang diterbitkan Xbox Game Studios akan hadir di Xbox Series X dan Xbox One sekaligus.

Tentu saja kita juga tidak boleh lupa dengan rumor bahwa Microsoft sedang menyiapkan alternatif Xbox Series X yang lebih terjangkau, yang kemungkinan bakal dinamai Xbox Series S, dan kabarnya akan diungkap pada bulan Agustus mendatang. Berhubung Xbox One X sekarang sudah resmi di-discontinue, Microsoft tentu bisa mengalokasikan lebih banyak waktunya untuk segera meluncurkan Xbox Series X dan Series S ke pasaran.

Sumber: The Verge.

Bos Xbox Soal Mixer: Saya Kecewa, tapi Tak Menyesal

Pada akhir Juni 2020, Microsoft mengumumkan bahwa mereka akan menutup platform streaming game Mixer. Xbox Head, Phil Spencer mengaku bahwa dia kecewa dengan keputusan tersebut tapi dia tidak menyesal Microsoft pernah mencoba untuk membuat platform streaming game.

“Jika Anda mencoba untuk membuat sesuatu yang memiliki potensi besar dan Anda gagal mencapai potensi tersebut, tentu saja hal itu mengecewakan,” kata Spencer pada GamesIndustry. “Saya tidak menyesal. Kami membuat keputusan terbaik berdasarkan informasi yang kami punya saat itu.

“Kita ada di industri kreatif, yang didorong oleh tren,” ujar Spencer. “Dan jika kami masuk ke industri ini tapi takut untuk gagal, kami tidak akan pernah bisa merealisasikan visi kami sebagai perusahaan.” Lebih lanjut dia berkata, “Saya rasa, penting bagi kami untuk tidak takut membuat proyek yang mungkin gagal. Dan itulah seni dalam membuat game serta platform game.”

phil spencer mixer
Phil Spencer merasa tidak menyesal karena mencoba mengembangkan Mixer.

Pada 2019, industri konten game mencapai US$6,5 miliar. Karena itu, tidak heran jika Microsoft juga tertarik membuat platform streaming game sendiri. Mereka bahkan merekrut beberapa streamer ternama, seperti Tyler “Ninja” Blevins dan Michael “Shroud” Grzesiek. Sayangnya, hal itu tidak cukup untuk membuat Mixer sukses. Namun, Microsoft punya alasan untuk bertahan di industri game.

Ke depan, Microsoft akan fokus pada tiga hal, yaitu konten, komunitas, dan cloud. Belakangan, mereka memang sibuk mengakuisisi atau membuat studio game baru. Tak hanya itu, mereka juga fokus untuk mengembangkan cloud gaming bernama xCloud. Spencer mengaku percaya diri dengan strategi Microsoft. Dia percaya, Microsoft bisa mengembangkan xCloud di atas layanan cloud mereka, yaitu Azure. Dia lalu menjelaskan alasan mengapa Microsoft tertarik untuk menyediakan platform cloud gaming.

Spencer mengatakan, konsol memang laku keras di beberapa negara. Namun, dia sadar, di beberapa negara, konsol bukanlah opsi utama para gamer. Tak hanya itu, dari tahun ke tahun, total penjualan konsol juga terus menurun. Spencer mengungkap, Microsoft akan menyediakan xCloud bagi jutaan gamer yang tidak bermain game di konsol. Dan jika mereka sukses, hal itu juga akan menguntungkan para kreator game, karena mereka akan punya jutaan calon pemain baru.

“Soal komunitas, Xbox Live kini punya hampir 100 juta pengguna berbayar. Jumlah pengguna Xbox Live juga terus bertambah di berbagai platform, mulai dari iOS dan Android, dan kini kami juga tersedia di Switch. Kami juga ada di PC dan tentu saja, Xbox. Komunitas kami terus tumbuh, ” ujar Spencer.

Sumber header: The Verge

Microsoft Flight Simulator Siap Lepas Landas 18 Agustus 2020

Penantian panjang penggemar game simulasi akhirnya bakal segera terbayarkan. Microsoft Flight Simulator sudah punya jadwal rilis resmi: sehari setelah perayaan kemerdekaan RI, atau persisnya 18 Agustus 2020.

Apa saja yang bisa kita ekspektasikan dari salah satu permainan paling ambisius garapan Asobo Studio ini? Banyak, salah satunya dunia dengan skala yang amat besar, dan yang sudah diisi dengan lebih dari 37 ribu bandara, 1,5 miliar gedung, 2 triliun pohon, gunung, jalanan, sungai, dan masih banyak lagi. Sekadar mengingatkan, pengembangnya sampai harus meminta bantuan platform cloud Microsoft Azure untuk mengakses data geografis sebesar 2 petabyte.

Bukan cuma besar, dunianya juga diklaim ‘hidup’, terutama berkat simulasi lalu lintas penerbangan berdasarkan data yang dicomot dari dunia nyata (pemain dapat menjumpai pesawat-pesawat lain yang sedang mengambil rute serupa di kenyataan), serta efek cuaca yang dinamis dan realistis.

Tingkat kesulitan dalam game ini benar-benar dapat disesuaikan dengan selera dan kemampuan masing-masing pemain. Mau memiliki kontrol manual sepenuhnya? Bisa saja. Sebaliknya kalau mau serba dituntun, game juga siap menyajikan panduan yang lengkap dan interaktif sehingga pemain tidak melewatkan satu pun langkah persiapan sebelum pesawat lepas landas.

Microsoft Flight Simulator bakal ditawarkan dalam tiga edisi yang berbeda (pre-order sudah bisa dilakukan mulai sekarang). Rinciannya adalah sebagai berikut:

  • Standard Edition seharga $60 yang mencakup 20 pesawat dan 30 airport dengan tingkat detail yang sangat akurat
  • Deluxe Edition seharga $90 dengan 25 pesawat dan 35 airport
  • Premium Deluxe Edition seharga $120 dengan 30 pesawat dan 40 airport

Jadi kalau mau menikmati Microsoft Flight Simulator sepenuhnya, pilihan yang paling tepat tentu saja adalah Premium Deluxe Edition yang harganya dua kali lipat versi standarnya. Dalam versi ini, bandara super-populer seperti Dubai International Airport maupun Heathrow Airport di London mempunyai tingkat detail yang jauh melebihi bandara yang sama di versi standarnya.

Soal pesawat pun juga demikian. Boeing 787-10 Dreamliner hanya bisa kita telusuri dengan tingkat detail yang paling maksimal pada Premium Deluxe Edition. $120 memang terdengar sangat mahal, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa game ini memang menuntut spesifikasi PC yang tinggi. Kalau Anda sanggup membeli Nvidia RTX 2080, tentunya Anda tidak akan keberatan dengan harganya, bukan?

Microsoft Flight Simulator Standard Edition juga akan tersedia bagi para pelanggan Xbox Game Pass di hari peluncurannya nanti. Belum diketahui seperti apa mekanismenya seandainya pelanggan juga ingin menikmati seluruh konten pada Premium Deluxe Edition.

Sumber: Xbox Wire.