Melihat Hubungan Erat Bukalapak, Warung, dan Jawa Barat

Roda ekonomi Indonesia digawangi oleh 99,97% pelaku UKM dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap ekonomi negara. Pemilik warung tradisional masuk ke dalam salah satu komponennya, karena punya andil penting sebagai denyut nadi ekonomi di kehidupan sehari-hari.

Menurut data Eurominitor International 2018, mayoritas masyarakat Indonesia, India dan Filipina berbelanja di toko kelontong. Dari total nilai pasar ritel sebesar $521 miliar, sebanyak $479,3 miliar atau 92% di antaranya merupakan transaksi toko kelontong.

Dibalik potensi yang besar, ekonomi kelas bawah ini menyimpan tantangan yang besar bagaimana kehadiran teknologi bisa membantu mereka bisa “naik kelas” lewat go digital. Isu yang perlu dijawab, tidak hanya bagaimana mereka dapat lebih mudah memasarkan produknya lewat platform digital.

Aspek lainnya yang perlu diselesaikan, mulai dari sistem pembayaran, logistik, hingga rantai pasokan yang harus efisien. Kesadaran ini akhirnya dicoba dijawab oleh berbagai startup digital, baik yang sudah menyandang status unicorn maupun yang masih berstatus startup.

Solusi yang ditawarkan sangat beragam dan bisa mewakili apa yang menjadi isu selama ini buat pemilik warung. Bukalapak bisa menjadi contoh bagaimana proyek awal khusus pemberdayaan warung tradisional “Mitra Bukalapak” bisa menjadi bisnis yang serius hingga pencetak cuan yang nyata.

Sebagai prolog, pada 2016 Bukalapak membuat sebuah inisiatif bernama Juragan Pulsa Bukalapak yang merupakan cikal bakal dari Mitra Bukalapak. Layanan yang ditawarkan adalah penjualan produk virtual seperti pulsa telepon, paket data, voucher game dan token listrik prabayar.

Dari situ berkembang menjadi Agen Bukalapak untuk menciptakan bisnis O2O pasca memperoleh antusiasme yang positif dari masyarakat. Setahun berikutnya, agen diguyur dengan tambahan layanan agar lebih banyak yang bisa mereka jual, seperti tiket transportasi dan Grosir Agen Bukalapak untuk menciptakan saluran distribusi perdagangan.

Pada tahun berikutnya, memilih untuk rebranding menjadi Mitra Bukalapak sekaligus merilis aplikasinya. Penambahan fitur terus dilakukan pada 2019, dengan merilis fitur investasi emas, pemanfaatan QRIS untuk metode pembayaran dan kolaborasi dengan Google Bisnisku agar lebih mudah menemukan warung melalui Google Maps.

“Kontribusi sudah lumayan meski saya tidak bisa sebut persisnya. Tapi sudah double digit percentage dari total kontribusi bisnis di Bukalapak. Dulu pas awal-awal, masih di bawah 10%, sekarang [Mitra Bukalapak] sudah menjadi bisnis yang menjanjikan,” ujar Co-Founder & Presiden Bukalapak M. Fajrin Rasyid saat ditemui DailySocial di Bandung, pekan lalu (8/3).

Kini Mitra Bukalapak disebutkan sudah berjumlah lebih dari 3,3 juta mitra, terdiri dari 1,5 juta mitra warung tersebar di 189 daerah dan sisanya berbentuk agen individu. Menariknya, sekitar 30% atau setara 500 ribu mitra berada di Provinsi Jawa Barat.

Peta persaingan sebagai bisnis baru

Pada saat yang bersamaan, Bukalapak mengumumkan tambahan fitur baru yang disematkan untuk Mitra Bukalapak. Di antaranya fitur Kirim Uang (bersama Bank Mandiri), Tabungan Emas (bersama Pegadaian), pembayaran E-Samsat dan Samolnas (Samsat Online Nasional), tagihan Telkom/Indihome, dan voucher game.

Untuk sementara, pembayaran samsat ini baru tersedia untuk konsumen dan Mitra Bukalapak yang berdomisili di Jawa Barat. Disebutkan pembayaran e-samsat yang disalurkan lewat Mitra Bukalapak mencapai Rp30 miliar untuk membayar pajak 40 ribu kendaraan.

Dengan Kirim Uang, masyarakat dapat memanfaatkan keberadaan 1,5 juta warung Mitra Bukalapak sebagai ATM untuk mengirim uang tanpa harus memiliki rekening. Sementara untuk Tabungan Emas, masyarakat dapat berinvestasi emas dari harga Rp10 ribu di warung.

Fajrin menyebut perusahaan akan perluas ke provinsi lainnya agar semua orang bisa memiliki kemudahan. Seluruh fitur teranyar ini adalah pengembangan dari kebutuhan mitra di lapangan. Juga hasil kolaborasi internal bersama dengan mitra.

“Pembayaran Samsat online sebenarnya sudah di aplikasi [konsumen] sudah bekerja sama dengan banyak provinsi. Kita akan segera tambahkan [provinsi lainnya] ke aplikasi Mitra Bukalapak.”

Inspirasi fitur berikutnya yang akan dibawa ke Mitra Bukalapak, menurut Fajrin, bakal ada yang berasal dari aplikasi konsumer. Sebab pada dasarnya, semua fitur tersebut memungkinkan untuk disediakan. Kendala tetap ada, sambungnya, meski sebatas ke hal-hal teknis.

Misalnya, Bukalapak punya fitur investasi reksa dana bernama BukaReksa. Untuk membeli reksa dana pertama kali, butuh proses KYC yang secara teknis ini akan lebih rumit. Beda halnya dengan pembelian tabungan emas yang terbilang lebih simpel.

“Semua fitur di aplikasi Bukalapak kita usahakan juga hadir di aplikasi Mitra, jadi mudah-mudahan bisa ada tambahan [fitur] berikutnya.”

Gencarnya Bukalapak merupakan dalam rangka menciptakan masyarakat inklusif yang tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Hal ini dapat dilakukan melalui warung sebagai salah satu caranya, melalui Mitra Bukalapak.

Produk ini akan menjadi fokus perusahaan hingga lima tahun ke depan karena dianggap sebagai platform penggerak utama yang dapat meningkatkan adopsi digital dan inklusi keuangan. Menurut laporan “E-warung: Indonesia’s New Digital Battleground” yang dirilis CSLA di 2019 menunjukkan warung tradisional di Indonesia berjumlah sekitar 6 juta.

Fajrin menyebut, pencapaian Mitra Bukalapak hingga saat ini membuat perusahaan cukup berbangga diri karena secara kuantitas dan fitur bisa dikatakan lebih unggul ketimbang pemain lain.

“Awalnya kita bergerak di online dan kita sadar bahwa UKM offline juga perlu diberdayakan. Mungkin kita jadi perusahaan yang bergerak di keduanya secara serius dan [skalanya sudah] besar, ini bisa menjadi kunci diferensiasi yang mungkin belum dijumpai perusahaan lain. Ada perusahaan yang besar
di online, tapi offline-nya enggak terlalu, atau sebaliknya.”

Produk sejenis yang dibuat Tokopedia, bernama Mitra Tokopedia mencatatkan per akhir tahun lalu telah menjaring sekitar 400 ribu pengusaha mikro baik pemilik warung, toko kelontong, dan usaha sejenis lainnya. Sejak dirilis pada November 2018, mitra dapat berjualan produk digital seperti PPOB hingga membeli stok barang.

Shopee juga tidak mau kalah. Sejak aplikasinya dirilis di Play Store pada September 2019, fiturnya pun tidak jauh berbeda. Hingga kini, Shopee belum bersedia merilis produk ini secara resmi ke publik.

Menurut CSLA, model B2B yang diambil para pemain marketplace ini berpeluang mendorong laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan ke arah positif.

Dari vertikal bisnis lain, ranah ini juga diramaikan oleh pemain lain seperti GrabKios by Kudo, Warung Pintar, Wahyoo, Payfazz, Netzme dan masih banyak lagi. Konsep yang ditawarkan saling beririsan dengan isu yang selama ini dihadapi agen dan warung tradisional.

Payfazz misalnya menempatkan diri sebagai agen keuangan di desa. Sementara, Wahyoo memosisikan diri sebagai pembentuk ekosistem warung makan dengan memberikan kemudahan stok barang.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder & CEO PayFazz Hendra Kwik mengklaim model bisnis yang dianut perusahaan yakni B2B2C dianggap mampu memberikan kontribusi bisnis yang positif. Bahkan dia menyebut perusahaan sudah mencetak laba tapi belum positif.

“Tahun ini harusnya positif kalau misalnya hiring stop, tapi kita investasi terus di situ, spent-nya besar,” katanya.

Kontributor terbesar Payfazz berasal dari penjualan produk PPOB karena layanan pembayaran yang disediakan cukup komprehensif. Selain dijual oleh para agennya, PPOB juga didistribusikan secara API (host-to-host/H2H) melalui anak usahanya Billfazz. Lewat Billfazz, API dari PPOB Payfazz dapat digunakan mitra perusahaan yang ingin menjual PPOB.

Hubungan spesial Jawa Barat dengan Bukalapak

Secara historis dan geografis, Jawa Barat punya hubungan yang spesial dengan Bukalapak. Tak heran kalau disebutkan ada lebih dari 500 ribu mitra berada di provinsi ini dari total 3,3 juta di seluruh Indonesia.

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin menjelaskan, Bandung dipilih sebagai tuan rumah peluncuran juga merupakan bagian dari inisiatif perusahaan tahun ini untuk roadshow ke daerah lainnya untuk mengidentifikasi potensi UKM lokal yang dapat dikolaborasikan dengan berbagai pemangku kepentingan.

“Memasuki dekade kedua, Bukalapak memang berfokus untuk mengoptimalkan potensi UKM yang ada di tiap daerah Indonesia. Warung sebagai salah satu tempat masyarakat dalam beraktivitas ekonomi, memiliki potensi besar untuk jadi kekuatan ekonomi daerah dan mendorong pertumbuhan nasional,” terang Rachmat.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang turut hadir pada acara peresmian, menyebutkan pemanfaatan teknologi di warung dapat menjadi basis kekuatan ekonomi daerah. Menurutnya, semakin banyak warung yang menjual produk virtual, maka semakin menguntungkan bagi pemilik warung dan masyarakat sekitar yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian daerah.

Di provinsi ini, lanjutnya, 80% perekonomiannya didukung oleh sektor UKM dengan porsi terbanyak berada di sektor kuliner. Diklaim pula, penetrasi digital telah mencapai angka yang sama. Kondisi ini membuat Pemerintah Provinsi optimis dalam tiga sampai lima tahun mendatang semua jenis perdagangan bisa dilakukan secara digital.

“Tiga basis inilah yang sudah go digital. Saya yakin dalam hitungan tiga sampai lima tahun semua jenis perdagangan di Jawa Barat, baik skala besar atau kecil dan riil seperti warung, bisa menggunakan platform digital,” ujar Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil.

Dia menyebut untuk merealisasikan ambisi tersebut Pemprov tengah menggenjot pengembangan ekonomi berbasis digital untuk UMKM, warung, dan pesantren dengan model kolaborasi Pentahelix.

Konsep ini memperkenalkan bahwa kekuatan pembangunan di suatu negara atau wilayah perlu didukung oleh semua elemen, tidak bisa satu pihak saja. Lima elemen tersebut, mulai dari pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha dan media.

Mendukung pernyataan Kang Emil, menurut hasil laporan EV-DCI 2020 memaparkan Jawa Barat memiliki skor indeks 55.0 (skala 100) menempati posisi kedua, setelah Jakarta berdasarkan skor berkaitan kesiapan daya saing digital.

Faktor pendukungnya, antara lain SDM yang didukung dengan jumlah program studi dan dosen bidang digital tertinggi di Indonesia. Alhasil, jumlah tenaga kerja di sektor TIK tergolong tinggi. Infrastruktur digital sudah memadai dan berada di posisi ketiga, setelah DKI Jakarta dan Bali.

Kendati begitu, laporan ini juga menitikberatkan pada tergolong rendahnya kontribusi ICT terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Lantaran, kepemilikan komputer masih rendah, masuk urutan tiga terendah di antara provinsi lain di Pulau Jawa.

Akses internet melalui laptop di provinsi terendah di Pulau Jawa dan tiga terbawah di level nasional. Fasilitas keuangan seperti ATM belum terbesar merata karena perekonomian di provinsi ini terpusat di beberapa kota saja. Dengan kata lain, Jawa Barat masih punya peluang besar untuk terus berkembang karena tingkat pertumbuhan PDRB sektor ICT adalah tertinggi di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

A total 92 Million Potential Users to Acquire Through Partnership Program

Shopee’s marketplace platform eventually become a part of the Online-to-Offline (O2O) business model by launching Mitra Shopee in Indonesia. Prior to this, two of its competitors have run a similar program, Mitra Bukalapak, and Mitra Tokopedia. The point is, Shopee has developed its own digital wallet, ShopeePay.

In terms of features, the three platforms have quite similar coverage. They developed the app to acquire micro-business players – targeting kiosk – to sell various digital products, such as PPOB vouchers and integrated e-commerce will be responsible for the supply chain.

The well-received digital payment service (digital wallet) is to encourage partnership penetration. It allows transactions – such as electricity tokens – made faster, therefore, to provide a better experience for partners’ business customers.

As the first to debut, Bukalapak claims to have around 1 million partners located all over the country, even in the third-tier areas. Meanwhile, Tokopedia’s AVP of New Retail, Adi Putra shared Mitra Tokopedia has acquired around 400 thousand micro businesses at the end of 2019. Shopee is yet to have data due to its new initiative.

Mitra Bukalapak's map throughout Indonesia / Bukalapak
Mitra Bukalapak’s map throughout Indonesia / Bukalapak

What to explore in the partnership program?

Based on the research titled The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services performed by Google, Temasek and Bain & Company, at least 92 million people in the productive age in Indonesia are still unbankable. It’s quite a large number, more than the total population in other countries in Southeast Asia, excluding the Philippines.

The unbankable is mostly assumed as people who are yet to have access to online services due to incapable to create a bank account to make transactions. The partnership program is basically to distribute offline agents in various cities to become aggregators, facilitating the unbankable to gain access to e-commerce products.

Another scenario, agents will be the distribution point for shipping goods. Some areas, especially remote areas, are difficult to reach by logistic services. A variety of payment services enable micro-businesses managed by agents to offer complete product variants with relatively cheaper prices.

Furthermore, there are three things e-commerce can obtain from this program. First, it helps product distribution by expanding coverage to the unbankable populations. Second, it supports product or brand expansion by having representation in certain areas. The third is, it creates opportunities for more effective distribution chains.

Market competition with other digital players

Obviously, 92 million is not a small number, in fact, it is a huge market potential considering the people are in the productive age. Unfortunately, this is not the competition of only three unicorn e-commerce companies, there are many other digital businesses currently focusing on the O2O market in Indonesia.

Payfazz currently has 450 thousand agents. The financial application makes it easy for SME owners to offer various financial products, including PPOB, bill payments, fund transfers, cash withdrawals, and credit payments. PPOB’s contribution every month nearly reached Rp1 trillion. The Co-Founder & CEO Hendra Kwik said PPOB is a service that contributes a large amount, each month nearly reached Rp1 trillion transaction value.

One of Payfazz agents, also kiosk owners / Payfazz
One of Payfazz agents, also kiosk owners / Payfazz

In addition, there are GrabKios by Kudo, Netzme, Paytren and many other platforms outside the e-commerce ecosystem that offer similar concepts. Not to mention how the popular digital wallet for consumers has also provided a complete feature of full payment – although some are integrated with e-commerce, such as Dana in Bukalapak and Ovo in Tokopedia.

Competition over agents has already begun, with digital business competition strategies that currently exist: price wars. Therefore, the stronger is the winner?

With the development of technology and the expansion of connectivity, the success of O2O is likely to depend on the consumer experience. Discomfort, delays or technical issues may cause a decrease in interest in related services amid strong competition between platforms.

The O2O concept is actually broader than just a partnership. World brands have adopted this approach. Despite the statistics stated 91% of brands failed to bring a digital experience to their retail stores.

Based on the successful case studies such as Amazon or Alibaba in applying O2O, there are several key points. First, make sure the O2O initiative is to facilitate online activities to happen offline. Second, it prioritizes personalized customer experience. Third, always run the business along with technological developments. Some brands are now using AR / VR to help improve product visualization.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Potensi 92 Juta Pelanggan yang Ingin Dijaring Lewat Program Kemitraan

Platform marketplace Shopee akhirnya turut terjun meramaikan model bisnis online-to-offline (O2O) di Indonesia dengan merilis Mitra Shopee. Program serupa sebelumnya sudah dijalankan terlebih dulu oleh dua kompetitornya, melalui Mitra Bukalapak dan Mitra Tokopedia. Kelebihannya, Shopee telah miliki platform digital wallet-nya sendiri, ShopeePay.

Ditinjau dari fitur, ketiganya miliki cakupan yang nyaris serupa. Aplikasi dikembangkan untuk mengajak pemilik bisnis mikro –dengan warung sebagai sasaran utamanya—menjualkan beragam produk digital seperti voucher PPOB dan menjadikan e-commerce terkait sebagai kanal pemasok barang dagangan.

Layanan pembayaran digital (digital wallet) yang diterima baik oleh pengguna turut memacu penetrasi program kemitraan tersebut. Karena memungkinkan setiap transaksi –misalnya pembelian token PLN—dilakukan secara lebih cepat, sehingga memberikan pengalaman yang cukup baik bagi pelanggan bisnis mitra-mitranya.

Meluncur paling di antara platform marketplace lain, Bukalapak mengklaim telah miliki sekitar 1 juta mitra yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, sampai di daerah tier-3. Sementara menurut AVP of New Retail Tokopedia Adi Putra, menutup tahun 2019 program Mitra Tokopedia sudah diikuti sekitar 400 ribu pebisnis mikro. Belum ada data untuk inisiatif milik Shopee karena masih tergolong baru.

Mitra Bukalapak
Sebaran Mitra Bukalapak di berbagai penjuru Indonesia / Bukalapak

Apa yang dicari dari program kemitraan?

Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services yang dilakukan Google, Temasek dan Bain & Company, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable). Jumlah tersebut tentu sangat besar, lebih besar dari total penduduk negara-negara lain di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Kalangan unbankable tersebut sebagian besar diasumsikan sebagai orang-orang yang tidak pernah mengakses platform jual beli online, karena pada dasarnya minimal pengguna harus memiliki akun bank untuk bisa bertransaksi di sana. Tujuan program kemitraan adalah mendistribusikan agen-agen penjualan offline yang tersebar di berbagai wilayah untuk menjadi perantara, memberikan kemudahan kepada unbankable agar mudah mendapatkan produk-produk e-commerce.

Skenario lainnya, agen tersebut dijadikan poin distribusi untuk pengiriman barang. Beberapa wilayah, khususnya di daerah pelosok, sulit dijangkau oleh layanan logistik. Beragam layanan pembayaran memungkinkan bisnis mikro yang dikelola agen menawarkan varian produk yang lebih lengkap dengan harga kulak yang relatif lebih murah.

Jadi ada tiga hal yang sebenarnya didapat oleh bisnis e-commerce dari program ini. Pertama, membantu distribusi produk dengan menjangkau populasi unbankable. Kedua, membantu perluasan pemasaran produk atau brand dengan menghadirkan representasi di daerah. Dan yang ketiga, membuka peluang rantai distribusi yang lebih efektif.

Berebut pasar dengan pebisnis digital lain?

Jelas 92 juta bukan angka yang kecil, bahkan itu adalah potensi pasar yang sangat besar mengingat jumlah tersebut datang dari kalangan usia produktif. Sayangnya peluang itu tidak hanya dipersaingkan oleh tiga unicorn e-commerce saja, ada banyak pebisnis digital lain yang kini serius garap basar O2O di Indonesia.

Payfazz saat ini sudah miliki 450 ribu orang agen. Aplikasi keuangan tersebut memudahkan pemilik UKM menawarkan berbagai produk keuangan, termasuk untuk PPOB, pembayaran tagihan, transfer dana, tarik tunai, hingga pembayaran kredit. Kontribusi PPOB saja setiap bulannya hampir menyentuh Rp1 triliun. Menurut Co-Founder & CEO Hendra Kwik, PPOB jadi layanan yang berkontribusi besar, setiap bulannya hampir sentuh nilai transaksi Rp1 triliun.

Agen Payfazz
Salah satu agen Payfazz yang juga merupakan pemilik warung / Payfazz

Selain itu masih ada GrabKios by Kudo, Netzme, Paytren dan banyak platform lain di luar ekosistem e-commerce yang tawarkan konsep serupa. Belum lagi kini aplikasi digital wallet populer untuk kalangan konsumer juga sudah sajikan fitur lengkap pembayaran lengkap – kendati beberapa terintegrasi dengan e-commerce, seperti Dana di Bukalapak dan Ovo di Tokopedia.

Persaingan memperebutkan agen pun sudah mulai terasa, dengan strategi kompetisi bisnis digital yang sering ada: perang harga. Jadi, siapa kuat dia akan menang?

Dengan perkembangan teknologi dan perluasan konektivitas, bisa dibilang keberhasilan O2O sangat bergantung pada pengalaman konsumen yang dijajakan. Ketidaknyamanan, keterlambatan atau isu-isu teknis bisa jadi menyebabkan penurunan minat terhadap layanan terkait di tengah persaingan kuat antarplatform.

Konsep O2O sebenarnya lebih luas dari sekadar kemitraan. Brand produk dunia juga banyak yang mengadaptasi pendekatan ini. Kendati pada faktanya menurut statistik, 91% brand sempat gagal menghadirkan menghadirkan pengalaman digital di toko ritel mereka.

Dari studi kasus kesuksesan para retailer seperti Amazon atau Alibaba dalam mengaplikasikan O2O, ada beberapa poin yang menjadi kunci bisnis. Pertama, pastikan inisiatif O2O memudahkan akitvasi online terjadi secara offline. Kedua, mengedepankan personalisasi pengalaman pelanggan. Dan ketiga, selalu manfaatkan perkembangan teknologi. Beberapa brand kini manfaatkan AR/VR untuk membantu meningkatkan visualisasi produk.

Offline Programs are Getting Tech Players More Customers in Indonesia

In a small 2×2 meter kiosk along Jakarta’s Radio Dalam street, Romana provides digital payment services to her customers by using the GrabKios platform. She offers several services, including phone credit top-ups, OVO credit-top ups, bill payments, and domestic remittance services for customers. The 37-year old has used GrabKios [previously named Kudo] since 2017.

Since becoming a GrabKios agent, Romana has been able to complete transactions totaling a maximum of IDR 20 million (USD 1,427) a month, compared to below IDR 10 million a month previously as a phone credit seller before joining GrabKios. Her income is largely derived from selling phone credit, and facilitating bill payments, as well as domestic remittances.

“The profit is not big, it ranges from IDR 500 to IDR 13,500 (USD 0.04 to USD 0.96) per transaction, depending on the service. Compared to other players’ products, GrabKios is much cheaper and easier to use,” Romana said.

She admitted that she did not have a banking account in the past and used to pay via Indomaret, an Indonesian convenience store chain, before she joined GrabKios. However, after becoming an agent, she opened a bank account, which has made it easier for her to perform transactions.

Meanwhile, Rofiatun, a mother of three, joined Tokopedia’s offline agent program Mitra Tokopedia in 2o18. Mitra Tokopedia empowers agents operating small kiosks or mom-and-pop stores by helping them use Tokopedia’s platform to increase their product sales. By becoming an offline agent, Rofiatun has been able to purchase products such as snacks and beverages at slightly lower prices for her kiosk.

“Although the product prices are quite similar or slightly cheaper than those from traditional distributors, I can use the profits for my children’s allowances. This way, I can help my husband who works as a Grab driver, to earn more income. Moreover, I can transfer money to my family, even in small denominations, on my own,” Rofiatun told KrASIA.

People such as Romana and Rofiatun, who belong to the middle-to-low income segment, may not have tapped digital platforms if these services had not directly benefitted their lives.

Indonesia is the largest internet economy and most populous country in Southeast Asia. The country’s internet economy is estimated to be worth USD 40 billion in 2019.

More than half of the country’s total adult population are now using mobile internet. Furthermore, according to the Global Digital 2019 report from We Are Social and Hootsuite, Indonesia is also among the top countries in the world by mobile internet usage. Its users are connected to mobile internet for approximately four hours a day, while the global average is three hours and 13 minutes.

However, few Indonesian users use mobile internet for productivity, the report said.

Empowering kiosk operators to reach more customers

Empowering warungs [mom-and-pop stores] and small kiosks has become a way for e-commerce and tech players to reach more customers, especially those who are from the middle-to-low income segment, and who mostly do all their transactions offline.

“The offline retail portion in Indonesia is still huge. Indonesia retail e-commerce is below 4% of the country’s total retail sales. The remaining 96% is still offline. Hence, we believe an agent network is the most effective model to capture this market,” said Agung Nugroho, chief executive officer and co-founder of GrabKios.

He added that using technology alone makes it impossible to reach middle and low income earners, who are less technologically savvy. Through warungs, the firm expects that technology will penetrate this segment.

Nugroho added that he is doing this because he believes in helping people through financial inclusion.

Kudo [before becoming GrabKios] was a pioneer in empowering traditional retailers since 2014, prior to merging with Grab in 2017. It was founded by Albert Lucius and Agung Nugroho. Today, GrabKios is available in 505 towns and regions, with 2.6 million users across Indonesia.

GrabKios approaches agent candidates through sales or marketing staff, so it is easier to earn the trust of the locals. Nugroho said that there are no specific requirements to become an agent, apart from the fact that candidates should have a warung or kiosk for selling products.

GrabKios equips the warung owner or agent with technology to help the agent’s customers order goods and manage transactions. Moreover, the agent program offers some additional business opportunities, such as airtime top-ups, bill payments, travel tickets, money transfers, and the registration of Grab driver-partners. The company claims that a warung’s revenue increases by as much as 30%–40% after adopting its system.

E-commerce unicorns have joined the fray

Many tech players are entering the middle and low income segment, which has room still to grow. Therefore, other tech companies including e-commerce unicorn players don’t want to miss out on the market.

SoftBank Group-backed Tokopedia and Shinhan Financial Group-backed Bukalapak entered the offline world last year. The platforms named their agent programs ‘Mitra Tokopedia’ and ‘Mitra Bukalapak’, respectively.

Tokopedia’s assistant vice president of new retail Adi Putra said that Mitra Tokopedia complements its existing consumer base, and expects to eventually serve the full range of customers that the platform can reach.

“We hope Mitra Tokopedia bridges the online and offline world for partners spread across various cities in Indonesia while preserving Indonesia’s neighborhood-based culture. Synthesizing both online and offline retail will result in powerful synergy, that will help achieve the mission of democratizing commerce in Indonesia through technology,” Putra told KrASIA.

As of October 2019, there are around 350,000 active Mitra agents for the platform. Putra said that Tokopedia’s 30 digital products will gradually be made available to Mitra Tokopedia partners, thus encouraging traditional retail players to contribute more to Indonesia’s digital economy.

Edward Buckingham, a professor of management and director of engagement at Monash Business School said that engaging with agents is an effective way for tech and e-commerce players to penetrate rural areas.

“The cost of logistics and transactions to reach them [rural areas] is high, but if they partner with local people or get them to become agents, especially those who have good social networks, it will be easier. The agent can become the bridge, and the solution between the informal and formal economies,” Buckingham told reporters on the sidelines of the Fintech Summit in Jakarta, in September.

Furthermore, tech players should be able to successfully prove that their business models are more efficient than that of other players. They also need to provide opportunities to their customers [agents] to use their networks to increase the latter’s standard of living.

However, Buckingham foresees that empowering agents will not be a long-term plan for tech players. He thinks Indonesians will be tech savvier in the near future. Hence, customers will not need agents as the middlemen for connecting with companies. They will eventually reach out to companies directly, hence tech players’ business models need to evolve.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Bukalapak Resmi Kenalkan Sistem Pembayaran QRIS di 1000 Mitra

Bukalapak meresmikan implementasi sistem pembayaran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) di 1000 Mitra Bukalapak yang tersebar di kawasan Kemang, Jakarta. Lokasi lainnya segera menyusul secara bertahap.

QRIS adalah standar QR Code yang dapat diakses menggunakan seluruh penerbit uang elektronik berbasis server, termasuk Dana, LinkAja, GoPay, Ovo, dan lainnya. QRIS diresmikan bertepatan pada hari kemerdekaan Indonesia oleh Bank Indonesia.

Bukalapak menjadi perusahaan teknologi yang menerbitkan QRIS di gerai Mitra Bukalapak yang telah bergabung. Dengan kode QR tersebut, konsumen bisa berbelanja di gerai dan membayarnya dengan aplikasi dompet digital yang mereka pakai.

“Awalnya bermula dari interaksi kami dengan BI. Kami tidak punya lisensi e-wallet dan tidak terlibat dalam pilot project. BI lihat interaksi kita dengan Mitra Bukalapak dan merasa implementasi QRIS akan bagus karena ini sesuatu yang potensial,” ujar VP of O2O (Online to Offline) Bukalapak Rahmat Danu Andika, Rabu (21/8).

Dia melanjutkan 1000 Mitra Bukalapak ini terdiri atas warung kelontong dan pedagang keliling. Mereka sudah dibekali dengan kode QR tersendiri dan bisa langsung di-scan oleh pembeli.

Seluruh pembayaran dari konsumen, apapun itu aplikasi yang mereka pakai, akan masuk ke dalam Saldo Mitra secara langsung. Aplikasi yang bisa diterima adalah Dana, Ovo, Gopay, LinkAja, Sakuku, dan Go Mobile CIMB Niaga.

Mitra dapat memutar kembali saldo tersebut untuk berjualan produk virtual seperti pulsa, token listrik, paket data, atau membeli stok barang lewat merchant Bukalapak. Saldo juga dapat dicairkan bila mereka mau.

“1000 Mitra ini adalah pilot project kami selama dua bulan. Lokasinya sengaja di Kemang agar eksperimen lebih mudah karena kami ingin pastikan ada added value-nya atau tidak.”

Menarik pedagang untuk bergabung tentunya menjadi tantangan tersendiri. Selama ini mereka sudah terbiasa dengan cara konvensional. Perputaran uang terjadi secara harian untuk membeli kebutuhan usaha sekaligus memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Untuk bergabung sebagai Mitra Bukalapak, persyaratannya juga tidak rumit. Pedagang hanya cukup mengisi data diri. Setelah itu, mereka bisa berjualan produk virtual berbasis komisi untuk meningkatkan pendapatannya.

Terhitung ada lebih dari 2 juta Mitra Bukalapak bergabung di 477 kota di seluruh Indonesia sejak pertama kali dimulai pada dua tahun lalu. 1 juta di antaranya berbentuk warung kelontong, sementara sisanya adalah usaha perseorangan, termasuk pedagang keliling. Ditargetkan sampai akhir tahun ini ada 3,5 juta Mitra Bukalapak yang bergabung.

Potensi penggunaan QRIS ini sebenarnya tidak hanya sebatas untuk transaksi di gerai offline saja. Di level pemerintah pun bisa memanfaatkannya untuk program penyaluran bantuan sosial atau inisitif lainnya, agar lebih efisien biaya yang dikeluarkan. Di Tiongkok, adopsi kode QR juga sudah mendalam, misalnya untuk memberi sumbangan ke pengamen.

Head of Project Management Office SNKI (Strategi Nasional Keuangan Inklusif) Djauhari Sitorus yang turut hadir dalam peresmian ini menjelaskan, kode QR adalah metode pembayaran yang paling mudah untuk dipelajari dan murah karena tidak perlu perangkat tambahan. Beda halnya ketika mereka harus berhadapan dengan pembayaran dengan kartu.

Application Information Will Show Up Here

Evolusi Nyata Warung dengan Teknologi

Kita saat ini menjadi saksi evolusi pengemudi ojek. Tak hanya sebatas transportasi kini mereka mampu penjadi pembeda. Berkat teknologi kini mereka bisa menjadi kurir pengantar barang atau makanan. Teknologi berhasil membuat pengemudi ojek kembali berdaya di jalanan. Warung menyimpan potensi yang serupa, kembali menjadi lebih berdaya berkat bantuan teknologi.

Hal ini yang tengah diupayakan Kudo, Bukalapak melalui Mitra Bukalapak, Tokopedia melalui Mitra Tokopedia, Wahyoo, dan WarungPintar. Semuanya melakukan pendekatan offline to online (O2O) untuk mengoptimalkan potensi dari warung sebagai bagian penggerak ekonomi digital selanjutnya.

Vice President O2O Bukalapak Rahmat Danu Andika kepada DailySocial menjelaskan bahwa saat ini Bukalapak, melalui Mitra Bukalapak, berusaha untuk mendorong usaha kecil dengan teknologi dan distribusi yang lebih efisien. Warung dinilai bisa jembatan bagi masyarakat untuk menjangkau produk-produk digital dan menjadi bisnis yang lebih modern berkat alat pengelolaan bisnis yang disediakan.

“Seperti yang kita ketahui, sektor UMKM menjadi salah satu penopang penting ekonomi Indonesia. Selain itu, Indonesia juga diproyeksikan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020.”

“Bukalapak yang memiliki visi menjadi perusahaan teknologi yang menciptakan dampak sosial dan ekonomi yang menyeluruh melihat hal ini sebagai tantangan sekaligus kesempatan, bagaimana kami dapat mentransformasikan teknologi sehingga dapat menciptakan dampak yang luas bagi para pelaku usaha kecil dan membuka banyak kesempatan bagi apra pelaku usaha kecil termasuk warung untuk meningkatkan daya saing dan jangkauan bisnis mereka,” terang Danu.

Hal yang senada disampaikan CEO Kudo Agung Nugroho. Warung tradisional disebut menjadi salah satu pilar terbesar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun kehadiran minimarket modern membuat mereka kesulitan bersaing. Pengelolaan yang masih tradisional juga membuat mereka tidak bisa mengoptimalkan bisnisnya.

“Melihat kondisi tersebut (peranan UMKM terhadap PDB negara), peluang untuk memberdayakan warung sangat besar karena warung adalah salah satu aset bangsa terhadap kemajuan ekonomi yang perlu diberikan perhatian dan kesempatan untuk bersaing dengan menggunakan teknologi. Melalui teknologi yang diberikan oleh Kudo, warung dapat selangkah lebih maju dan mampu bersaing dengan minimarket modern,” terang Agung.

Evolusi warung, tak hanya sekedar jual produk digital

Masuknya teknologi di warung warung ini dimulai dari hal yang paling sederhana, melayani pembelian produk digital seperti pulsa dan paket data. Setelah efek positif terasa masing masing perusahaan digital ini mengembangkannya dengan keahlian masing masing.

Bukalapak misalnya, mereka memulai dengan menghadirkan aplikasi yang bisa digunakan oleh para mitranya untuk membeli pulsa, paket data, tiket kereta, pembayaran tagihan, dan produk digital lainnya.

Kemudian secara bertahap mereka menghadirkan layanan pembelian barang grosir. Layanan ini dihadirkan untuk memudahkan Mitra Bukalapak yang berbentuk warung untuk membeli barang dagangan dengan penawaran dan harga yang menarik berakat kerja sama Bukalapak dengan berbagai macam brand dan pemain terkait.

Danu menceritakan. cikal bakal Mitra Bukalapak dimulai pada tahun 2017, di mana dari data yang ada kebanyakan reseller Bukalapak adalah warung.

“Sejak 2017, siapa pun bisa jadi reseller bukalapak. Karena kebanyakan yang menggunakan warung, akhirnya kita research sehingga hadir fitur ‘kulakan’ untuk stock. Distribusi yang ndak efisien. Sejak 2017 kita membuat distribution center bekerja sama dengan banyak pihak,” lanjut Danu.

Salah satu Mitra Bukalapak yang ditemui DailySocial mengaku mendapat sejumlah keuntungan. Salah satu yang paling kentara adalah pilihan pembayaran dan juga pilihan cara untuk mendapatkan barang dagangan. Dengan hadirnya fitur pembelian stok, mereka dapat kesempatan untuk menikmati kemudahan pemesanan, gratis ongkos kirim hingga berbagai macam promo yang ditawarkan Bukalapak. Termasuk fitur kirim-kirim uang melalui aplikasi.

“Selain Mempermudah pembayaran, untuk warung dan penyet juga bisa bayar melalui saya. Sebelumnya salesman datang, sekarang setelah jadi Mitra Bukalapak ada pilihan, dari Bukalapak biasanya ada promo dan free ongkir,” cerita mitra Bukalapak tersebut.

Selanjutnya Bukalapak juga akan mengintegrasikan layanan yang ada untuk bisa juga dimanfaatkan untuk Mitra Bukalapak. Seperti BukaMotor yang memungkinkan Mitra Bukalapak menjadi “perantara” untuk membelikan sepeda motor masyarakat yang ada di sekitarnya.

Mitra Bukalapak juga akan mampu menerima pembayaran menggunakan berbagai macam jenis e-money karena sudah menerapkan QRIS (QR code Indonesia Standar), sebuah standar kode QR yang dikeluarkan pemerintah. Warung yang menjadi mitra juga dimungkinkan sebagai “agen” pencairan “saldo” dari mitra lainnya.

Kudo juga memiliki misi yang sama, menghadirkan layanan lengkap bagi para penggunanya, perlahan-lahan melengkapi dan menginovasi fitur dan yang ada.  Kini tak hanya produk digital, pembayaran tagihan, dan pembelian stok barang para pengguna Kudo sudah bisa melakukan kirim dan setor uang dan membantu proses pendaftaran menjadi driver Grab.

“Salah satu hal yang menjadi fokus saat ini adalah memberikan layanan keuangan digital kepada masyarakat luas dengan keterbatasan akses digital dan perbankan melalui kolaborasi dengan BNI untuk menghadirkan layanan kirim uang melalui jaringan agen Kudo,” terang Agung.

Kudo sejak bulan Februari silam mulai mengkapanyekan #MajuinWarung. Selain kemudahan akses untuk “kulakan” atau stok barang mereka juga akan mendapatkan konsultasi yang diberikan langsung oleh tim Kudo. Tim tersebut secara berkala akan memberikan informasi yang berguna untuk meningkatkan usaha warung para agen Kudo.

Mengusung semangat yang sama Warung Pintar melakukan pendekatan yang berbeda. Mereka mengubah warung tak hanya dari produk dan layanan digital tetapi juga secara fisik. Menyulapnya menjadi tempat yang nyaman dan cukup “cozy” dengan hadirnya wifi, televisi, kulkas, akses wifi dan beberapa perlengkapan lainnya.

Warung Pintar awalnya dimulai sebagai proyek spesial di East Ventures. Mereka menangkap keresahan Pak Jun, pemilik warung di depan coworking space Jakarta Smart City Hive, yang khawatir warungnya tutup. Berangkat dari sana tim Warung Pintar memindahkan lokasi warung Pak Jun ke dalam area parkir dan merenovasinya.

Selang satu bulan kemudian pendapatan Pak Jun pun meningkat hingga 7 kali. Dari sanalah kemudian merevolusi warung dengan teknologi menyimpan potensi menyelesaikan masalah yang dihadapi pemilik warung.

“Kami terus berinovasi dan mendengarkan apa yang dibutuhkan pelanggan serta mitra kios agar teknologi yang kami kembangkan dapat diakses dan mudah digunakan oleh mereka. Kami terus mencoba memecahkan masalah hyperlocal yang dimiliki para warung ini setiap hari dengan teknologi terbaru serta pengetahuan global tentang produk. Oleh karena itu kami tengah membangun tim engineering dengan pemahaman teknis yang kuat dan hati yang besar bagi masyarakat Indonesia,” jelas CTO Warung Pintar Sofian Hadiwijaya kepada DailySocial Agustus tahun lalu.

Warung Pintar
Warung Pintar

Upaya untuk menyejahterakan warung juga dilakukan oleh Wahyoo. Mereka menghadirkan sebuah konsep yang akan mengintegerasikan teknologi dengan usaha warung makan. Termasuk dari segi tampilan dan distribusi bahan-bahan makanan.

Sejauh ini Wahyoo menawarkan kemudahan bagi pemilik warung untuk berbelanja kebutuhan seperti bumbu dan kebutuhan makanan. Namun pendiri sekaligus CEO Wahyoo Peter Shearer menjanjikan sejumlah inovasi teknologi lainnya yang akan digunakan oleh pengguna Wahyoo.

“Wahyoo punya beberapa pipeline teknologi untuk mendukung warung makan. Saat ini produk teknologi yang kami keluargan berupa aplikasi yang memudahkan pemilik warung untuk berbelanja. Tapi kedepannya akan ada beberapa teknologi yang kami luncurkan seperti penggunaan POS dan aplikasi khusus pelanggan warung makan,” terang Peter.

Adopsi teknologi masih jadi tantangan

Sama halnya dengan solusi berbasis teknologinya, proses menginovasikan warung juga dihadapkan dengan tantangan adopsi teknologi yang belum banyak menyentuh para pelaku warung. Mau tidak mau harus ada pendampingan atau tim khusus yang membantu penetrasi teknologi hingga ke mitra.

Wahyoo misalnya, mereka dihadapkan tantangan ketika menjumpai beberapa pemilik warung yang sudah berumur dan belum menggunakan smartphone.

“Tantangannya lebih karena beberapa pemilik warung sudah berumur dan belum menggunakan smartphone atau yang meminjam milik anaknya. Tapi kami rasa itu bisa kami atasi dengan beberapa program kami, yaitu pembiayaan elektronik,” jelas Peter.

Kudo pun juga demikian, dengan pasar Indonesia yang cukup beragam dan masih banyak warung tradisional yang sama sekali belum tersentuh teknologi, tantangannya adalah mengajak mereka untuk mau belajar dan mengoptimalkan teknologi. Tentunya dengan strategi yang berbeda-beda.

“Salah satu strategi yang kami lakukan adalah dengan merekrut tim lokal yang benar-benar memahami kebiasaan dan kebutuhan masyarakat sehingga strategi kami dapat terimplementasikan dengan baik, dan juga dengan menghadirkan teknologi yang mudah digunakan oleh para pemilik warung ini untuk dapat memaksimalkan usaha mereka,” jelas Agung.

Salah satu warung binaan Wahyoo

Bagi Bukalapak tantangan terbesar dalam upaya membuat warung naik kelas adalah menciptakan infrastruktur teknologi dan edukasi yang tepat bagi mitra-mitra mereka, terutama untuk meyakinkan bahwa teknologi yang sedang dikembangkan bisa memberikan dampak positif bagi mitra.

“Kami juga terus berupaya untuk memberdayakan para mitra Bukalapak melalui berbagai pelatihan, karena kami yakin, yang terpenting dalam meningkatkan potensi ekonomi digital adalah daya saing dan kualitas SDM yang harus kita tingkatkan terus,” jelas Danu.

Proses untuk hadir di seluruh negeri

Baik Bukalapak, Kudo, Warung Pintar dan Wahyoo tengah mengusahakan yang terbaik untuk solusi yang mereka kembangkan. Danu mengklaim saat ini mereka sudah memiliki lebih dari 900.000 mitra warung dengan 14 pusat distribusi yang berada di Sumatera dan Jawa. Sementara untuk mitra yang bersifat individu atau perorangan sudah tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia.

Bukalapak bahkan optimis bisa mendapatkan 3 sampai 3,5 juta mitra, baik mitra warung maupun individu, di tahun ini. Sebab Mitra Bukalapak adalah salah satu fokus perusahaan saat ini. Danu juga berujar bahwa akan ada banyak kejutan di semester dua tahun ini dari Bukalapak.

“Potensinya tidak terbatas, untuk sekarang kita masih fokus apa yang sedang kita kerjaan ngurusi warung. Begitu kita bisa bermitra dengan tempat centre of society kesempatannya terbuka lebar. Mudah-mudahan kita bisa ke sana (shifting offline ke online). Potensinya masih terbuka luas,” terang Danu.

Untuk Kudo, yang sejak Mei 2017 diakusisi Grab telah berhasil membantu mendaftarkan 800.000 pengemudi Grab melalui agennya. Kerja sama dengan Ovo dan BNI juga menambah fungsionalitas layanan Kudo menjadi lebih lengkap. Hingga saat ini pihak Kudo mencatat sudah berhasil mendapatkan 2,4 juta agen yang tersebar di lebih dari 500 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

“Rencana di 2019 ini adalah memfokuskan pemberdayaan pada pengusaha kecil dan menengah, terutama warung-warung di Indonesia untuk bisa maju, lebih produktif meningkatkan kesejahteraan serta berkontribusi membangun bangsa melalui teknologi dengan Kudo,” ujar Agung.

Untuk Warung Pintar, yang beberapa waktu lalu mengamankan pendanaan seri B senilai 390 miliar dari SMDV, Vertex, Pavilion Capital, Line Ventures, Digital Garage, Agaeti, Triputra, Jerry Ng, Ev Growth dan Ovo, berusaha untuk melebarkan jangkauannya di seluruh pulau jawa.

“Rencana dari Warung Pintar selanjutnya adalah melakukan ekspansi ke pulau jawa dan menambah jumlah warung sebanyak 5000 warung. Serta terus berinovasi untuk menciptakan produk yang dapat meningkatkan kapabilitas bisnis warung,” terang Business Development Associate Warung Pintar Dista Mirta Ayu.

Sementara itu Wahyoo, yang memulai debut di 2017, tahun ini menargetkan untuk bisa menginovasi 13.000 warteg (warung tegal). Sejauh ini mereka sudah berhasil menyematkan teknologi di lebih dari 7.000 warteg di Jakarta dan sekitarnya. Dukungan dari investor akan dimaksimalkan untuk peningkatan layanan dan perluasan wilayah.

“Pendanaan tersebut akan digunakan untuk mengembangkan produk serta tim kami, agar Wahyoo bisa menghadirkan pelayanan yang lebih baik kepada para mitra warteg kami serta meningkatkan jangkauan kami ke wilayah yang lebih luas lagi. Saat ini mitra kami masih berpusat di Jakarta. Ke depannya, kami berharap untuk menjangkau wilayah Jabodetabek,” jelas Peter mengomentari pendanaan yang didapat beberapa waktu lalu.

Bukalapak Pours A Trillion Rupiah to Develop “Mitra Bukalapak” Program

It all begins with experiment, Mitra Bukalapak‘s current online-to-offline model has contributed around 20% of the company’s total income. In order to increase the potential, Bukalapak is soon to invest up to 1 trillion rupiah on the program. It is to be held intensively in 2019.

Ahmad Zaky, Bukalapak’s CEO stated to all media at Bukalapak’s 9th anniversary (1/10) that the rapid growth of Mitra Bukalapak was supported by consumer behavior which mostly are still making offline transaction. On the other hand, the rapid growth of smartphone penetration in various classes is claimed to develop stall business of Mitra Bukalapak.

“Since the beginning, Bukalapak’s mission is to help SMEs to run online business. Now, through Mitra Bukalapak, we tried helping many Indonesian traditional stalls to increase sales,” he added.

Since the establishment in 2017, Mitra Bukalapak has partnered with 500 stalls and 700 thousand independent business players in Indonesia. Entering the 9th year, Bukalapak claims to approach more than 4 million sellers and 50 million users all over Indonesia. They’ve launched some features and services for Mitra Bukalapak, such as Mitra Bukalapak app, “Warung Terdekat” [Nearest Stall] feature, Call Order Delivery (COD), and “Saldo bantuan” [Balance Support] service.

“Later, Mitra Bukalapak will not only be the stall owners, but also farmers, fritters vendor, and other grocery stall owners,” he said.

Regarding Bukalapak’s plan for fundraising, Zaky avoids to give further information. Likewise, the IPO plan which implementation is still uncertain.

In a separate interview, Bukalapak’s Co-Founder and President, M. Fajrin Rasyid revealed the monthly Gross Merchandise Value (GMV) h has reached 4 trillion rupiah ($270 million) per month or Annualized GMV reached 48 trillion rupiah (around $3.2 billion).

“In terms of profit, we’re currently on-track. All our business lines have grown a positive result,” Zaky said.

Bukalapak’s IoT technology development

Bukalapak's CEO Achmad Zaky
Bukalapak’s CEO Achmad Zaky

Aside from helping traditional stall owners through Mitra Bukalapak, the engineer team is currently developing technology to create the latest innovation. They’re getting serious by establishing a Research and Development Center in Bandung and Bukalapak-ITB Artificial Intelligence & Cloud Computing Research Lab.

Achmad Zaky, being mentioned about their target by developing such technology answered that Bukalapak has always create new experiment by launching new innovation.

“One of those is Mitra Bukalapak, first come from experiment. We’ve also launched BukaBike which currently available at ITB. Later, if it resulted in good term, we’ll continue, otherwise it’ll be terminated,” he continued.

Bukalapak’s engineer team is still trying some new technologies, such as IoT, machine learning, and AI. Starting from the drone development to unmanned store which many China-based e-commerce have developed. Although it’s still in planning and trial, this kind of technology and innovation will be Bukalapak’s focus in the future.

“We managed to prove with a discipline funding, we’re capable to make a significant growth. Using more than 2500 country’s best talents, Bukalapak is to build Indonesia through technological innovation and creativity,” he finished.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Gelontorkan 1 Triliun Rupiah untuk Kembangkan Program “Mitra Bukalapak”

Berawal dari percobaan, model online-to-offline Mitra Bukalapak saat ini sudah memberikan kontribusi sekitar 20% kepada pemasukan perusahaan. Untuk meningkatkan peluang tersebut, Bukalapak akan menggelontorkan investasi hingga 1 triliun Rupiah pada program Mitra Bukalapak. Investasi tersebut akan fokus dilancarkan mulai tahun 2019.

Kepada media di acara HUT Bukalapak ke-9 (10/1), CEO Bukalapak Achmad Zaky menegaskan, cepatnya pertumbuhan Mitra Bukalapak didukung oleh consumer behaviour yang masih banyak melakukan transaksi secara offline. Di sisi lain, pesatnya penetrasi smartphone di berbagai kalangan diklaim dapaat mengembangkan bisnis pemilik warung yang menjadi Mitra Bukalapak.

“Sejak awal berdiri, misi dari Bukalapak adalah membantu UKM untuk menjalankan bisnis secara online. Kini dengan Mitra Bukalapak kami mencoba untuk membantu meningkatkan penjualan pemilik warung tradisional yang jumlahnya masih besar di Indonesia,” kata Zaky.

Sejak diresmikan tahun 2017, Mitra Bukalapak telah bermitra dengan 500 warung dan 700 ribu pelaku usaha mandiri di seluruh Indonesia. Memasuki usia ke-9, Bukalapak mengklaim telah merangkul lebih dari 4 juta pelapak dan 50 juta pengguna di seluruh Indonesia.

Bukalapak juga telah meluncurkan beberapa fitur dan layanan untuk Mitra Bukalapak, di antaranya aplikasi Mitra Bukalapak, fitur “Warung Terdekat”, Call Order Delivery (COD) hingga layanan “Saldo bantuan”.

“Ke depannya untuk mitra Bukalapak ini bukan hanya pemilik warung tradisional saja yang akan kita bantu, namun juga petani, penjual gorengan hingga penjual toko kelontong lainnya,” kata Zaky.

Disinggung apakah Bukalapak berencana untuk melakukan fundraising, Zaky enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut terkait hal tersebut. Demikian juga dengan rencana IPO yang hingga kini masih belum jelas kepastiannya.

Dalam wawancara terpisah, Co-Founder dan President Bukalapak M. Fajrin Rasyid mengungkapkan bahwa Gross Merchandise Value (GMV) bulanan perusahaan mencapai 4 triliun Rupiah ($270 juta) per bulan atau Annualized GMV mencapai 48 triliun Rupiah (sekitar $3,2 miliar).

“Untuk profit sendiri bisa dibilang kita cukup on-track hingga saat ini. Semua lini bisnis kami mengalami pertumbuhan yang positif,” kata Zaky.

Pengembangan teknologi IoT Bukalapak

CEO Bukalapak Achmad Zaky
CEO Bukalapak Achmad Zaky

Selain fokus membantu pemilik warung tradisional melalui Mitra Bukalapak, saat ini tim engineer Bukalapak juga semakin agresif mengembangkan teknologi untuk menciptakan inovasi terbaru. Keseriusan Bukalapak untuk mengembangkan teknologi tersebut adalah dengan mendirikan Kantor Pusat Riset dan Pengembangan di Bandung dan Bukalapak-ITB Artificial Intelligence & Cloud Computing Research Lab.

Disinggung apa target yang ingin dicapai oleh Bukalapak dengan mengembangkan teknologi tersebut, Zaky menyebutkan, selama ini Bukalapak selalu mencoba sesuatu yang baru dengan meluncurkan inovasi baru.

“Salah satunya adalah Mitra Bukalapak yang awalnya datang dari uji coba. Selain itu kita juga telah meluncurkan BukaBike yang baru tersedia di ITB. Jika ke depannya inovasi yang sudah kita luncurkan mengalami pertumbuhan yang baik akan kita teruskan, namun jika tidak akan kita hentikan,” kata Zaky.

Saat ini tim engineer Bukalapak masih mencoba beberapa teknologi seperti IoT, machine learning hingga AI. Mulai dari pengembangan drone hingga unmanned store yang saat ini sudah banyak dikembangkan oleh layanan e-commerce di Tiongkok. Meskipun masih dalam rencana dan uji coba, ke depannya teknologi dan inovasi seperti itu yang akan menjadi fokus dari Bukalapak.

“Kami berhasil membuktikan bahwa dengan pendanaan yang disiplin kami mampu bertumbuh secara signifikan. Dengan lebih dari 2500 talenta terbaik tanah air, Bukalapak hadir untuk membangun Indonesia melalui inovasi teknologi dan kreativitas,” kata Zaky.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Sediakan Fitur QR Code di Warung Kelontong Mitra

Bukalapak menyediakan fitur pemindai QR code yang dapat digunakan pengguna saat bertransaksi di warung kelontong. Kehadiran fitur ini diharapkan bisa mendorong gaya hidup nontunai di seluruh aspek kehidupan.

Corporate Communication Manager Bukalapak Evi Andarini menuturkan, fitur ini hanya bisa dinikmati agen Bukalapak (sekarang dinamai Mitra Bukalapak). Mitra yang bisa menerima fitur ini sebelumnya harus terverifikasi data diri dengan kartu identitas, foto diri, dan foto warung atau kiosnya.

Buat pengguna Bukalapak, fitur QR code ini bisa dimanfaatkan langsung dari aplikasi masing-masing dari menu “Mitra Terdekat.” Metode pembayaran yang didukung adalah dengan Buka Dana, Kartu Visa/MasterCard/JCB, dan tunai ke warung itu sendiri.

Sementara ini fitur tersebut baru tersedia di versi Android. Di menu ini, pengguna bisa mencari tahu lokasi Mitra terdekat dari posisi mereka dan petunjuk arahnya untuk sampai ke sana.

“Semua transaksi yang terjadi di platform Mitra Bukalapak dan Bukalapak tercatat di sistem kami,” terang Evi kepada DailySocial.

Agen menjadi “Mitra Bukalapak”

Timeline Mitra Bukalapak
Perjalanan Agen Bukalapak hingga menjadi Mitra Bukalapak / Bukalapak

Terkait pengubahan program, Evi mengatakan Mitra Bukalapak adalah program perluasan yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha kecil menengah terutama warung dengan teknologi sederhana. Mitra Bukalapak bisa berjualan produk virtual, bayar tagihan, juga belanja grosir untuk stok warung dengan mudah hanya dari smartphone.

Ada komisi yang bakal diterima dari setiap transaksi digital. Misalnya untuk penjualan barang fisik, komisi yang diterima sebesar 5%, voucher game/tiket kereta/tiket pesawat komisi yang didapat 5%, dan komisi lainnya tergantung produk yang berhasil terjual.

Di samping itu, perusahaan melihat jumlah Mitra Bukalapak terus mengalami peningkatan dan tersebar di seluruh Indonesia. Perusahaan tetap selalu ingin dekat dengan para Mitranya dalam upaya pemberdayaan pengusaha warung ini. Atas dasar pertimbangan tersebut, perusahaan memutuskan untuk mengubah program Agen menjadi Mitra Bukalapak.

“Siapapun yang memiliki warung kios, atau tempat usaha dapat mendaftar jadi Mitra Bukalapak dengan mudah dan gratis.”

Evi menyebut sampai saat ini ada lebih dari 400 ribu warung bergabung. Lokasinya tersebar di Jawa dan Palembang. Tahun depat ditargetkan Mitra Bukalapak dapat menjaring hingga 2,5 juta warung.

Application Information Will Show Up Here