Produsen Makanan Bayi Bubays Optimalkan Teknologi untuk Layanan Pesan Antar

Bubays adalah kanal online yang menjual produk makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Ide pengembangan usaha tersebut muncul ketika founder mengikuti program startup generator Antler di Singapura.

“Kami mencari masalah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari yaitu sebagai orang tua. Kami menemukan fakta bahwa masih banyak masyarakat Indonesia, terutama ibu muda, yang kesulitan memberi MPASI. Keberhasilan pemberian MPASI dipengaruhi berbagai faktor; dari pengetahuan orangtua, jenis dan kualitas makanan, hingga budaya makan,” jelas Co-Founder & CEO Bubays Muhammad Faiz Ghifari.

Bubays sendiri fokus pada faktor jenis dan kualitas makanan, karena mereka melihat kebanyakan produk makanan bayi di pasaran mengandung pengawet, tinggi gula tambahan, bahkan yang lebih miris ada makanan bayi di rak toko yang usianya lebih lama dari usia bayi itu sendiri.

“Selain itu kami melihat di Indonesia tingkat stunting masih tinggi, hampir 30%. Hal ini bisa disebabkan salah satunya karena nutrisi yang tidak optimal pada 1000 hari pertama pertumbuhan anak,” imbuhnya.

Bubur Bayi Bubays
Salah satu produk bubur bayi yang diproduksi Bubays / Bubays

Salah satu produk Bubays adalah bubur bayi dengan aneka bahan dasar, dibuat dengan varian tekstur sesuai dengan usia anak. Mereka turut meyakinkan, setiap proses produksi diawasi ketat oleh ahli gizi. Prosedurnya juga dipastikan aman dan higienis.

“Kami mengantarkan MPASI siap makan dan segar. Ahli nustrisi kami juga memastikan bahwa produk yang diterima sesuai dengan kebutuhan bayi,” lanjut Faiz.

Selain Faiz, turut menjadi co-founder adalah Ifatul Khasanah. Faiz memiliki latar belakang pendidikan dan karier di bidang teknik dan pemasaran. Sementara Ifatul merupakan seorang food scientist yang fokus pada permasalahan gizi dan tumbuh kembang anak. Untuk mengakselerasi bisnis, Bubays juga sudah membukukan pre-seed funding dari Antler senilai 1,5 miliar Rupiah.

Muhammad Faiz Ghifari
Muhammad Faiz Ghifari dan Ifatul Khasanah selaku founder Bubays / Bubays

Saat ini cakupan pangsa pasar Bubays baru di seputar Jabodetabek. Sekurangnya kini sudah ada sekitar 100 pelanggan. Kendati demikian, mereka cukup optimis bahwa konsumennya akan terus bertumbuh. Menurut data BKKBN, setidaknya setiap tahun ada 4,8 juta bayi lahir di Indonesia. Tren milenial yang erat dengan kesibukan dan mobilitas tinggi turut menjadi poin penting yang menjadi konsiderasi tim Bubays untuk memasarkan produknya — mereka butuh solusi instan makanan bernutrisi untuk bayinya.

Di Indonesia, cukup mudah ditemukan pelaku UKM yang membuat produk makanan nustrisi untuk bayi, dari yang level penjual kecil sampai ke produsen produk dengan brand tertentu. Sebagian dari mereka turut menjual dagangannya melalui kanal online, seperti media sosial dan online marketplace. Kemudahan pemesanan kini dijadikan poin plus yang coba dihadirkan Bubays.

Introducing Jumpstart, A Smart Vending Machine Startup for Coffee

The mushrooming coffee shops in every corner of the city in Indonesia reflects the high enthusiasm of coffee lovers. International Coffee Organization (ICO) listed Indonesian consumption of 60 kg/lb coffee at 4.6 million sachets in the 2016/2017 period, it’s in the 6th position of 10 most coffee consuming countries in the world.

Welcoming the high enthusiasm of local coffee, technology innovation is required to acquire consumers. A different concept of serving coffee offered by Jumpstart by launching a self-service smart vending machine.

Jumpstart’s Co-Founder (who don’t want to be named) told DailySocial about the company founded by 3 coffee lovers with much concern to the freshly brewed coffee at the office without having to come to the store and queue. This solution will be presented through the vending machine that is yet available in Indonesia.

He adopted the vending machine concept in the developed countries and adjust it to local needs. After some iteration process, the first Jumpstart vending machine is publicly presented in 2017.

“We need a year of preparation because we are yet to obtain data on Indonesian consumer habits. Therefore, conducted several tests, in terms of taste, ingredients, machine knowledge, everything is checked thoroughly in case of error,” he added.

Furthermore, Jumpstart machine is equipped with the internet of things (IoT) to manage all the coffeemaking processes to the procurement. The current technology facilitates the team to keep the quality of the coffee and its hygiene. Two times a week, there will be a team to clean and refill the empty stock.

Coffee is an art which to handle it, requires specific techniques, in terms of measuring, grinding, pressure, hot water temperature, and others. All of these things must have the right amount to provide the best quality. Therefore, he claims Jumpstart uses the freshly brewed method.

“We have a team of experts creating the menus. The types of coffee Indonesians like, most aren’t really like sour coffee, it tends to be sweet but strong [caffeine]. In terms of prices, it’s far more affordable than the ones at a coffee shop, we start from Rp10,000 to Rp15,000.”

jumpstart vending machine

In its development until today, Jumpstart has developed 20 menus not only coffee, but also non-coffee such as chocolate, matcha, and available in hot or cold.

Jumpstart’s Co-Founder avoids elaborating further on the distribution of the engine by far or the business model. Currently, they are operating only in Jakarta with a point of presence in offices, or public places such as malls, campuses, hospitals and so on.

Jumpstart competes with other coffee shop startup players which already adopt digital technologies such as Fore and Kopi Kenangan.

Appreciation for e-money platforms

Jumpstart real journey is not immediately providing e-money payment options. At first, the machine is taking cash for payment. He said the education process through an app is easier than cash, supported by several factors.

In fact, there are many consumers are yet to understand the concept of a vending machine, that everything is self-service. The habit is yet to built and insecurity hits hard.

steps jumpstart

For example, when paying in cash, there are many complications that ultimately hinder the intention of the buyer. Like, money should not be worn out, must provide the exact amount, must entering one by one and can not be all at once. When the error occurs, the buyer will be complaining because there are no guards.

“Since the presence of e-money players, everything is much more convenient. The process is quite helpful because we’re launching in time [along] with the e-money players.”

Future plans

He said Jumpstart plans to expand its presence to other big cities, including Bandung. Next, the company will release an application to facilitate ordering drinks.

“It is likely that when we expand, we will adjust the taste to suit the standard of each resident because each region has a different appetite.”

Not only selling through smart coffee machines at various points, the company also opens offline outlets like most other coffee shops. The outlet serves to serve buyers who order through online platforms as GoFood. The location is distributed around office buildings, malls, or public places.

Jumpstart‘s official site now accommodates online ordering.

Jumpstart has received funding from investors with undisclosed details. Jumpstart team is now around 40 people.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Jumpstart, Startup Smart Vending Machine untuk Kopi

Menjamurnya kedai kopi di berbagai pelosok kota di Indonesia mencerminkan betapa tingginya peminat kopi. International Coffee Organization (ICO) mencatat konsumsi kopi Indonesia periode 2016/2017 mencapai 4,6 juta kemasan 60 kg/lb, masuk dalam urutan ke-6 dari jajaran 10 besar negara dengan konsumsi kopi terbesar di dunia.

Menyambut tingginya permintaan kopi dalam negeri, inovasi teknologi dibutuhkan untuk berlomba-lomba menarik konsumen baru. Konsep penyajian kopi yang berbeda ditawarkan Jumpstart dengan menghadirkan mesin penjual pintar (smart vending machine) khusus kopi tanpa pelayan alias self service.

Kepada DailySocial, seorang Co-Founder Jumpstart, yang tidak ingin disebutkan namanya, bercerita perusahaan didirikan oleh tiga orang founder penyuka kopi yang peduli pada kenyamanan minum kopi freshly brewed di kantor tanpa harus datang ke gerai dan mengantre. Solusi ini sebenarnya bisa dijawab lewat kehadiran mesin penjual (vending machine) yang belum hadir di Indonesia.

Ia mengadopsi konsep vending machine yang ada di negara maju lalu disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Setelah melalui banyak proses iterasi, mesin pertama Jumpstart pertama kali hadir pada 2017 secara publik.

“Persiapannya butuh setahun karena kita belum ada data mengenai kebiasaan orang Indonesia seperti apa. Jadi banyak tes, dari segi rasa, cari bahan, pelajari mesin, dicek semua apakah ada error atau tidak,” terangnya.

Dijelaskan lebih jauh, mesin Jumpstart dibekali dengan internet of things (IoT) untuk mengatur seluruh proses pembuatan kopi sampai pengecekan stok. Teknologi seperti ini memudahkan tim dalam menjaga kualitas kopi tetap baik dan higienis. Setiap dua kali dalam seminggu akan ada tim yang membersihkan mesin dan mengisi ulang semua bahan-bahan yang kosong.

Kopi merupakan sebuah seni yang penanganannya perlu teknik khusus, baik saat menakar, menggiling, tekanan, suhu air panas, dan lainnya. Semua hal tersebut harus ada takaran yang pas agar memberikan kualitas terbaik. Makanya, dia mengklaim Jumpstart menggunakan metode freshly brewed.

“Kita punya tim expert yang membuat menu kopi. Jenis kopi apa saja yang orang Indonesia suka, kebanyakan tidak suka kopi yang asam, lebih cenderung manis tapi strong [kafein]. Secara harga jauh lebih terjangkau dari harga secangkir di coffee shop, kita dimulai dari Rp10 ribu sampai Rp15 ribu.”

Dalam pengembangannya hingga sekarang, Jumpstart telah mengembangkan 20 menu tidak hanya kopi, tapi juga non-kopi seperti cokelat, matcha, dan dapat diseduh panas maupun dingin.

Co-Founder Jumpstart ini enggan merinci lebih jauh persebaran mesinnya sejauh ini maupun model bisnisnya seperti apa. Saat ini nereka masih bermain di Jakarta dengan titik kehadiran di perkantoran, atau tempat publik seperti mal, kampus, rumah sakit atau sebagainya.

Jumpstart bersaing dengan pemain startup kedai kopi lainnya yang mengadopsi teknologi digital seperti Fore dan Kopi Kenangan.

Bersyukur dengan kehadiran pemain e-money

Perjalanan Jumpstart sejatinya tidak langsung menyediakan opsi pembayaran dengan e-money. Awalnya mereka mengadopsi pembayaran dengan uang tunai.  Dia menerangkan proses edukasi dengan aplikasi jauh lebih mudah ketimbang uang tunai karena didukung berbagai faktor.

Terlebih masih banyak konsumen yang belum paham dengan konsep vending machine bahwa semuanya self service. Kebiasaan yang belum terbentuk ini menimbulkan perasaan takut ditipu.

Dicontohkan, saat harus membayar secara tunai, ada banyak kerumitan yang akhirnya menghalangi niatan pembeli. Seperti, uang tidak boleh lecek, harus menyediakan uang pas, saat memasukkan uangnya pun harus satu per satu tidak bisa sekaligus. Ketika terjadi kesalahan tersebut, pembeli akhirnya komplain karena tidak ada penjaga.

“Sekarang dengan kehadiran pemain e-money jauh lebih convenient prosesnya. Kami cukup terbantu karena timing kami hadir [seiring] dengan kehadiran pemain e-money.”

Rencana berikutnya

Dia menyebut Jumpstart berencana memperluas kehadirannya ke kota besar lainnya, termasuk Bandung. Berikutnya perusahaan akan merilis aplikasi untuk mempermudah pemesanan minuman.

“Kemungkinan saat kita ekspansi, akan adjust rasa kopi menyesuaikan dengan selera masing-masing penduduk di sana karena tiap daerah punya selera yang berbeda.”

Tidak hanya menjual lewat smart coffee machine di berbagai titik, perusahaan juga membuka gerai offline seperti kebanyakan kedai kopi lainnya. Gerai tersebut berfungsi untuk melayani pembeli yang memesan lewat platform online seperti GoFood. Lokasinya tersebar di gedung perkantoran, mal, atau tempat publik.

Situs resmi Jumpstart kini sudah mengakomodasi untuk pemesanan secara online.

Jumpstart telah menerima pendanaan dari investor dengan detail yang tidak disebutkan. Total tim Jumpstart kini berjumlah sekitar 40 orang.

Saturdays Garap Fitur “Seamless Experience”, Optimalkan Penjualan Kacamata Lewat Skema O2O

Tahun lalu, merek lifestyle Saturdays belum bicara bagaimana teknologi canggih yang berkembang dapat segera dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan bisnis utamanya saat ini, yakni produk kacamata.

Saat itu diwawancarai DailySocial, CEO dan Co-founder Saturdays Rama Suparta mengaku masih mencermati berbagai perkembangan teknologi yang lagi happening di Indonesia, misalnya Artificial Intelligence (AI) atau Augmented Reality (AR).

Di tahun ini, Rama mengungkap rencana besarnya untuk memperkuat konsep Online-to-Offline (O2O) yang sejak awal diusung Saturdays. Strateginya adalah menghadirkan konsep seamless experience. 

Belum banyak informasi yang dapat dibagikan mengenai rencana ini. Yang pasti, bentuk pengembangan dari konsep tersebut adalah aplikasi mobile, memungkinkan konsumen tak perlu merasakan pengalaman berbelanja yang berbeda, baik melalui online maupun offline.

Kemudian, aplikasi ini rencananya akan memberikan pengalaman yang optimal bagi konsumen untuk menjajal kacamata melalui aplikasi, tanpa harus datang ke toko.

Basically, idenya adalah konsumen akan merasakan experience dan value yang sama saat berbelanja di online atau offline. I can’t tell you now, tapi kami lagi development,” ungkap Rama kepada DailySocial.

Sebetulnya saat ini, Saturdays sudah melakukan pemasaran digital dengan memanfaatkan channel media sosial dan penjualan O2O. Artinya, pembeli dapat bertransaksi online melalui website atau datang ke toko offline miliknya.

Akan tetapi, Rama mengaku masih banyak konsumennya yang lebih nyaman untuk datang ke toko offline, baik untuk membeli kacamata atau sekadar mencoba.

“Yang belanja di online biasanya retain customer atau mereka yang sudah pernah berbelanja. Kami harap [pertumbuhan transaksi] online terus bertumbuh, tidak hanya dari toko offline saja,” tuturnya.

Tantangan pengembangan teknologi hingga rencana ekspansi

Untuk menghadirkan seamless experience ini, Rama mengaku masih melakukan riset terkait teknologi yang tepat. Apalagi, bicara pengembangan O2O, konsepnya dapat memanfaatkan teknologi canggih, seperti AR dan AI.

Namun, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, ekosistem perangkat yang mendukung AR dinilai masih sangat minim.

Sedangkan, menurutnya, smartphone yang betul-betul sudah mendukung pengalaman AR yang optimal baru iPhone X dan seri di atasnya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah orang-orang yang akan akan mengembangkannya. Untuk saat ini, ia mengungkap tengah membangun tim yang akan melakukan riset untuk teknologi yang tepat.

“Kita sudah get some channel to help support our technology dan sudah ada core team juga. Tapi tidak mudah build teknologi, apalagi di Indonesia lack of talent juga. Untuk sekarang, kami masih mencari talent untuk mengembangkan konsep ini,” ujar Rama.

Di luar pengembangan besar Saturdays di atas, Rama menuturkan sejumlah rencana strategis lainnya tahun ini yang tetap berfokus pada peningkatan customer experience.

Untuk ekspansi toko, ia menyebut ada penambahan toko, baik flagship ataupun shop-in-shop. Saturdays saat ini sudah memiliki dua toko flagship dan tiga shop-in-shop di Jakarta.

Kemudian, pengembangan baru fitur Personal Stylist di website. Fitur ini sebetulnya sudah ada sejak awal Saturdays berbisnis, konsumen dapat memperoleh rekomendasi frame kacamata dari referensi data pengguna.

“Fitur ini belum optimal berjalan. Nah, kami punya ide lain tentang bagaimana memberikan rekomendasi kacamata ke konsumen. Kami bakal packaging fitur ini dengan cara yang lain nanti. Tunggu saja,” ungkapnya.

Sebagai informasi, Saturdays menawarkan produk eyewear berkualitas dengan harga terjangkau. Produksi lensa dan frame dilakukan sendiri mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Potensi O2O di pasar retail

Pertumbuhan ekonomi digital menjadi wajah baru perekonomian Indonesia. Sebagaimana disebutkan Asisten Deputi Humas Kemensetneg Eddy Cahyono Sugiarto, ekonomi digital mampu mentransformasikan perekonomian yang diprediksi menjadi prime mover ekonomi Indonesia.

Disampaikan Eddy, mengutip riset McKinsey, posisi ekonomi digital Indonesia saat ini sudah hampir sama dengan Tiongkok di 2010. Hal ini berdasarkan sejumlah indikator, seperti penetrasi e-retail, GDP per kapita, penetrasi internet, dan pengeluaran ritel.

Menyoal tren O2O, konsep ini diprediksi menjadi masa depan industri ritel di Indonesia. Riset Statistita 2018 mengestimasi penjualan ritel e-commerce di Indonesia pada 2020 mencapai $12,3 miliar dan bakal naik menjadi $16,5 miliar pada 2022.

Konsep O2O memberikan prospek cerah bagi industri yang sejalan dengan semakin berkembangnya ekosistem digital dan pergeseran perilaku konsumen. Di sisi lain, inovasi di bidang O2O juga dapat mendongkrak sektor UKM yang selama ini menjadi penopang ekonomi di Tanah Air.

Melalui Teknologi, Produk Perawatan Kulit Lokal “Callista” Hadirkan Personalisasi untuk Pelanggannya

Callista adalah merek produk perawatan kulit lokal yang dirilis sejak tahun 2016. Menyediakan varian produk seperti serum, tooner, mask, sunscreen, celansing dan lain sebagainya. Selain Indonesia, mereka juga telah miliki konsumen dari Malaysia, Filipina dan Hong Kong.

Dibandingkan dengan merek produk serupa lainnya, ada yang unik dari Callista. Mereka mengoptimalkan platform teknologi untuk mengakselerasi bisnis.

“Kami memiliki layanan analisis kulit dan personal beauty assistant yang mempermudah pelanggan untuk mendapatkan paket produk yang dipersonalisasi sesuai dengan masalah dan jenis kulit mereka,” jelas Co-Founder & CEO Callista Ryan Narendra.

Ketika awal memulai bisnis, Callista cuma andalkan media sosial Facebook dan Instagram untuk memasarkan dan menjual produk – atau dikenal dengan social commerce—bahkan saat itu mereka belum memiliki situs jualannya sendiri seperti sekarang. Tim juga manfaatkan WhatsApp untuk terhubung dengan pelanggan, memberikan bantuan konsultasi perawatan kulit.

Seiring dengan meningkatnya jumlah pelanggan, platform media sosial dan aplikasi pesan yang digunakan jadi kurang efisien untuk memberikan pelayanan, karena prosesnya sangat manual. Tak jarang beauty assistant –tim pakar perawatan yang ditunjuk—kewalahan, padahal bisa berimplikasi pada hilangnya prospek pembelian.

“Dari sana kami membuat platform Skin Analysis yang diperkuat dengan AI agar konsumen bisa mendapatkan rekomendasi produk secara langsung, tanpa menunggu dibalas secara manual oleh beauty assistant. Saat ini fitur tersebut bisa diakses melalui situs resmi Callista,” terang Ryan.

Hingga saat ini, dengan bantuan teknologi yang dimiliki, mereka telah berhasil merangkul sekitar 32 ribu konsumen dan mengelola sekitar 150 ribu data analisis kulit.

Teknologi untuk personalisasi produk

Diketahui bersama, produk yang serupa diproduksi Callista sangat banyak di pasaran, bahkan datang dari brand besar kelas dunia. Indonesia memiliki potensi pasar yang luar biasa untuk produk perawatan dan kecantikan. Menurut data yang dihimpun Statista, tahun 2020 keuntungan dari bisnis tersebut diproyeksikan mencapai US$7,288 juta dan akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Proyeksi keuntungan di pangsa pasar produk kecantikan dan perawatan di Indonesia / Statista
Proyeksi keuntungan di pangsa pasar produk kecantikan dan perawatan di Indonesia / Statista

Menyadari hal itu, Ryan dan tim memutuskan pendekatan personalisasi agar diminati pengguna, salah satunya dengan layanan konsultasi tadi. Model bisnis itu dilakukan sejak awal berdiri, dari yang manual hingga sekarang semi-otomatis.

“Untuk memastikan produk memiliki dampak yang baik, biasanya setiap bulan beauty asisstant kami akan melakukan follow up melalui untuk melihat kemajuan dan melakukan optimalisasi pada paket perawatan selanjutnya kepada tiap pelanggan,” lanjut Ryan.

Pengembangan varian produk dan model bisnis Callista juga masih akan terus dilanjutkan. Jika di tahun-tahun sebelumnya mereka fokus melakukan distribusi produk online, tahun ini akan mulai memperkuat kanal offline melalui “beauty ambassador”. Sederhananya seperti program reseller, membuka peluang bagi pebisnis mikro untuk ikut menjualkan produk-produknya. Sistem manajemennya, tetap masih andalkan platform digital.

“Berdasarkan pengalaman kami, orang akan lebih yakin membeli produk perawatan kulit apabila direkomendasikan oleh teman/keluarganya yang sudah pernah menggunakan dan mendapatkan hasil yang memuaskan,” ujar Ryan.

Dapatkan dukungan dari program akselerasi bisnis

Shinta Priantika Sari dan Ryan Narendra
Founder Callista Shinta Priantika Sari dan Ryan Narendra / Callista

Selain Ryan, ada Shinta Priantika Sari yang juga sebagai co-founder Callista. Ia memiliki latar belakang studi bidang kesehatan di Universitas Indonesia dan telah berpengalaman 8 tahun di bidang perawatan kulit. Ryan sendiri latar belakang pendidikannya di bidang teknologi dan bisnis, sejak lulus dari Queensland University of Technology.

Sejak awal berdiri, Callista berjalan secara bootstrapping, hingga pada awal tahun ini mereka menerima pendanaan pre-seed dari program akselerator SKALA. Saat ini Callista juga tengah bergabung dalam program serupa yang diinisiasi oleh Gojek, yakni Xcelerate.

Jogja’s Sate Ratu Uses Online Channels to Acquire Tourists

Was established in 2015, the name “Sate Ratu” is now associated with other ‘legend’ culinary destinations in Yogyakarta, targeting foreign tourists. It’s not an instant growth; with various perfectly-mixed satay seasonings, the business strategy is also well planned. We’ve come to the conclusion after talking with the culinary business owner, Fabian Budi Seputro.

He told DailySocial that he first started the business by optimizing online channels for promotion. Social media such as Instagram, Facebook, Twitter until recently launched a website; managed to introduce its products to potential buyers. In addition, a good relationship with consumers also helps Sate Ratu to get more impressions on the internet.

Online presence

Online presence (online presence) is a must for business, as Seputro said. It’s not without reason, quite basic, because society trends are shifting. Search engines and social media have become a space where people ask questions. We might do so when planning a vacation to a city, the first thing is to googling about unique places, delicious culinary, and other things in there.

The digital strategy is not only about displaying product photos or videos online. There is a direct interaction with customers, in order to encourage them to make a review of their visit.

“When tourists come to Sate Ratu, I usually talk to them, sometimes they also document their presence and said their impressions of our cuisine. I sometimes ask them to give testimonials, through TripAdvisor,” Seputro explained.

TripAdvisor is a travel directory site that covers global markets, becoming a reference for tourists from home and abroad in search of information about recommended objects by users.

Sate Ratu review on TripAdvisor
Sate Ratu review on TripAdvisor

“Our location may not be so near to a crowd of foreign tourists like the Prawirotaman area in Yogyakarta, however, we are located on the main road where tourists will pass when going to the most popular attractions. Therefore, our detailed information is quite important on the internet – there is a chance for our place to be visited,” he added.

Require research and data

Sate Ratu have no specific social media or digital marketing team, the existing accounts are simply managed by Budi. He also admitted to investing several times in promotions through Google Ads, though not in a large sum.

“I use Google Ads sometimes, usually for a specific target of international tourists. When there is a crowd of Singaporean tourists attending certain events, I’ll target the advertising there. The results were effective in helping Sate Ratu to be seen,” Seputro said.

In order for the investment wasted and misdirected, Budi must actively find the appropriate data. He must do some research to find moments in Yogyakarta which brings more tourists from abroad.

He also archived photos from tourists who stopped by his shop in its Instagram account. Currently, if you look at @sateratu, there are story-highlights illustrating a particular country’s flag that contains photos and videos of the Sate Ratu reviewer from such countries. There are the United States, Venezuela, the Philippines, Germany, the Netherlands, and many others.

“Digital media is very effective in helping businesses expand – in the sense of reaching potential customers from a wider area,” he added.

Strategy for business diversification

One of the products in Sate Ratu's menu
One of the products in Sate Ratu’s menu

In fact, there are many satay sellers around Yogyakarta, moreover, especially the signature dish like Sate Klathak. Seputro also tried to present a product with a unique blend. He thought unique selling points like this are important for a business, especially the newcomers.

If the culinary products with a long time history can rely on mouth marketing for its popularity, the new players will have to struggle to introduce their products. Sometimes, unique and delicious dishes might not sell in the market without good marketing and business traction.

The use of digital channels is Sate Ratu’s way to popularize its business products. Especially, since they’re targeting a niche tourist,  although it’s not limited for domestic tourists.

“Initially, the online promotion brought tourists to Sate Ratu, since then, we build interactions that made visitors increase our online presence. They post and give a review. Currently, reviews or posts from visitors are used for promotion, to be posted in other media,” Budi said.

Although without any exact figures, Sate Ratu is regularly visited by hundreds of foreign tourists every month.


This article is a part of the New Economy initiative. DailySocial is currently reporting on success stories of SMEs or non-technology businesses that capable to leverage growth through digital channels. Do you have some stories on the New Economy initiative? Feel free to share it with [email protected].

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

“New Economy”, Permata Tersembunyi di Gempita Bisnis Teknologi

Belum lama ini, kami berbincang dengan Fabian Budi Seputro selaku pemilik Sate Ratu di Yogyakarta. Ada yang unik dari bisnis kulinernya, selain sajian sate dengan bumbu spesial, mereka mencatat ratusan kunjungan pelanggan dari luar negeri setiap bulannya. Sekurangnya kedai tersebut sudah dikunjungi wisatawan asing dari 83 negara. Bukan datang begitu saja, empunya merancang strategi khusus untuk memperkenalkan bisnisnya ke tamu internasional.

Konsep pemasaran digital dijalankan secara konsisten oleh Budi, sehingga menguatkan “online presence”. Ia memanfaatkan situs ulasan pariwisata seperti Tripadvisor untuk menginformasikan sajiannya kepada para turis yang berencana mengunjungi Yogyakarta. Juga memanfaatkan layanan iklan berbayar untuk menargetkan suguhan konten promosi yang dibuat kepada calon pelanggan potensial.

Merek sepatu Brodo mungkin tidak asing bagi generasi muda yang gemar mainkan media sosial di tengah gempuran produk sneakers global. Manfaatkan kanal e-commerce dan media sosial, bisnis yang berdiri sejak tahun 2010 tersebut terapkan model bisnis yang berbeda dengan produsen sepatu pada umumnya, yakni menjual langsung ke konsumen (direct-to-consumer), alih-alih melalui ritel distribusi. Dampaknya tentu pada harga jual yang lebih rendah, karena memotong rantai pasok, sehingga bisa fokus pada kualitas produk.

Produk kasur premium yang dijajakan Mimpi melalui kanal online / Mimpi
Produk kasur premium yang dijajakan Mimpi melalui kanal online / Mimpi

Cerita bisnis lainnya, Mimpi. Sebuah produsen kasur premium dengan bahan-bahan yang memungkinkan untuk dikemas sangat ringkas, bahkan untuk dibawa oleh kurir yang menggunakan sepeda motor. Mantap dengan inovasi pengemasan, mereka luncurkan situs jual-belinya sendiri dan hanya melayani penjualan secara online. Memotong rantai penjualan, pihak Mimpi mengklaim dapat memberikan efisiensi harga hingga 1/3 dari produk dengan kualitas yang sama di toko.

Pemberdayaan alat-alat digital dalam aspek spesifik pada bisnis di atas yang kami sebut sebagai “new economy”. Tidak diaplikasikan dalam seluruh proses bisnis, hanya tertentu saja, namun memiliki dampak signifikan-–bahkan menjadi ujung tombak—dalam mengakselerasi penjualan produk.

Sentuhan teknologi dalam takaran yang tepat

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, per tahun 2018 ada sekitar 64 juta UMKM yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Keberadaannya berhasil menyerap 116,9 juta tenaga kerja, atau setara 97% dari seluruh serapan tenaga kerja nasional. Angka tersebut diproyeksi akan terus meningkat, seiring terbukanya akses dan peluang untuk berbagai usaha baru, termasuk permodalan. Dari total unit yang ada, baru sekitar 8% yang sudah memanfaatkan platform digital untuk mengakselerasi bisnis.

Namun jika ditelusuri, 8% artinya ada sekitar 5,1 juta unit bisnis yang telah memanfaatkan layanan teknologi, dalam artian secara intensif mereka mendapatkan manfaat yang berarti melalui transaksi secara digital – mayoritas memang menggunakan untuk membantu pemasaran produk. Angka tersebut terus diupayakan meningkat, salah satunya melalui rangkai program “go-digital” yang diinisiasi pemerintah menggandeng perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia.

Jargon “transformasi digital” memang kadang terlihat klise, namun nyatanya teknologi tepat guna dapat menghadirkan keuntungan berlipat untuk pebisnis. Sayangnya menurut riset McKinsey, sejauh 70% dari bisnis yang melakukan transformasi mengalami kegagalan. Ada banyak cerita kegagalan yang disampaikan, tapi ada dua yang paling sering diutarakan. Pertama, pemimpin tidak punya tujuan yang jelas dari transformasi yang dilakukan. Yang kedua, kompetensi digital yang tidak mumpuni justru menghadirkan hambatan bisnis. Tampaknya tidak hanya terjadi pada bisnis berskala besar, pun demikian dengan UKM.

Cerita new economy adalah tentang mereka yang berhasil mengadopsi teknologi sesuai takaran. Teknologi diterapkan untuk benar-benar menunjang produktivitas, kendati beberapa malah menjadi “nyawa” dari bisnis itu sendiri. Itu juga cerita tentang kejelian pelaku UKM yang mampu melihat peluang emas yang mungkin tidak terpikirkan pebisnis lain. Seperti yang dilakukan Budi dengan strategi Sate Ratu; siapa sangka bisa menggaet tamu internasional di tengah opsi kuliner sate legendaris yang banyak dijajakan di Yogyakarta.

Mereka yang sudah bersiap mendukung new economy

Di Indonesia ada banyak startup digital yang sengaja mengembangkan produk untuk membantu UKM. Jenisnya sudah cukup banyak merata di semua aspek, mulai dari finansial, operasional, ekspasi hingga dukungan lainnya. Kendati banyak dari UKM yang juga manfaatkan platform luar seperti media sosial populer atau situs yang menjangkau pengguna global.

Pemetaan startup digital Indonesia yang fokus bantu UKM / DSResearch
Pemetaan startup digital Indonesia yang fokus membantu UKM / DSResearch

Peluangnya memang masih terbuka lebar untuk menjadikan UKM sebagai target pengguna. Mengingat produk-produk UKM sendiri juga mengakomodasi semua segmen masyarakat – baik umum maupun spesifik, dari usia batita hingga manula. Daya jangkauan konsumennya pun sangat luas, hingga pada segmen pengguna yang tidak terjamah layanan digital, misalnya dari area 3T.

Secara lebih spesifik, Sensus Ekonomi yang dilakukan BPS pada tahun 2016 berhasil memetakan bidang bisnis UKM di Indonesia. Saat ini bidang perdagangan masih menempati porsi yang paling dominan.

Senada dengan jenis startup digital yang coba hadirkan teknologi untuk UKM, sebagian besar inline untuk diaplikasikan dalam sektor perdagangan – membutuhkan kanal penjualan, logistik, pencatatan hingga pendanaan. Tak ayal para unicorn pun bergegas hadirkan program yang secara khusus untuk menggandeng UKM di bidang tersebut ke dalam bisnisnya, salah satunya melalui program kemitraan.

Persentase jenis usaha yang digeluti pelaku UKM menurut Sensus Ekonomi 2016 / BPS
Persentase jenis usaha yang digeluti pelaku UKM menurut Sensus Ekonomi 2016 / BPS

Strategi lain yang turut dilancarkan bisnis untuk menggandeng UKM salah satunya direpresentasikan dalam program Gojek Xcelerate. Dalam program akselerasi putaran ketiga, mayoritas diisi oleh UKM yang memproduksi produk dan memanfaatkan kanal digital untuk distribusi. Seperti Callista yang menjajakan produk kesehatan kulit, Pijak Bumi sebagai pesaing Brodo, Mayer Food yang coba digitalkan proses jual beli daging ayam, dan lain sebagainya.

Beberapa investor early-stage pun juga tampak bersiap menyambut meledaknya bisnis ini. Teranyar East Ventures pimpin pendanaan Greenly, startup non-teknologi yang menyajikan pilihan makanan dan minuman sehat. Berbasis di Surabaya, bisnis tersebut memang diinisiasi oleh ahli nutrisi. Untuk mendistribusikan produknya, mereka manfaatkan kanal digital, seperti aplikasi GoFood dan GrabFood — juga miliki ritel yang akan dioptimalkan dengan pendekatan online to offline.

Dengan porsi pelaku bisnis yang paling besar, selain penyerapan tenaga kerja, sektor UKM diharapkan dapat meningkatkan perekonomian secara nasional. Menurut Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo), kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2019 mencapai 65% atau sekitar Rp2.394,5 triliun, tumbuh 5% dari tahun sebelumnya. Harapannya dengan makin meleknya pelaku UKM dengan teknologi, diharapkan bisa memacu perkembangan bisnis melalui ekspansi pasar dan inovasi produk yang makin terjangkau.

Greenly Practices the New Retail Concept for Healthy Food Products Market

The new retail concept is getting popular among businessmen. The tech-based operation is quite fit to speed up offline business’ growth. Greenly, a fast-casual F&B retail network offering various healthy food and beverages has adopted the approach.

Greenly was founded by Liana Gonta Widjaja and Edrick Joe Soetanto. Liana is a Bachelor of Science from the University of California majoring in nutritional science, dietetics, who has begun her career as a nutritionist. Erick is a serial entrepreneur who also graduated from the University of California.

The healthy food business debuted in January 2019 in Surabaya, with 5 outlets. One is located in the mall with a restaurant and cafe concept, while the other 4 branches serve orders as cloud kitchen – taking orders through on-demand applications such as GoFood or GrabFood.

In a year, Greenly claims to have managed growth up to five times with hundreds of orders every day.

“Our business model is new retail with an online to offline (O2O) approach, we adopt a multi-channel sales pattern in distributing products. Using this strategy, Greenly not only has a physical store in a shopping center like traditional retail but also operates a cloud kitchen and sales through online platforms,” Greenly’s Director & Co-founder Edrick Joe Soetanto said.

Entering its second year Greenly managed to secure seed funding led by East Ventures. The fresh funds received will be used for product innovation, technology development and expanding its network in Surabaya, including other cities.

Optimizing technology to leverage business

Furthermore, Soetanto said the new retail strategy with the O2O approach is what distinguishes the business from other conventional services and other similar businesses.

Greenly also developed a system with some leading features in order to be more effective, developed, and loved by its customers. The stuff being implemented are including supply chain management, POS, accounting and taxation systems, HRIS and payroll, also third-party delivery systems, user loyalty, and pick-up orders.

“The current technology has supported Greenly run business and serve customers in maximum effort. The development of backend technology helps us manage the supply chain efficiently, particularly since we manage fresh & perishable products with a very short extent. With the development of infrastructure technologies such as demand forecasting, inventory management, and logistics optimization, we can maximize production output, manage resource capacity effectively, track inventory accurately, minimize waste, and optimize distribution,” Soetanto added.

He also mentioned that technology integration and supply chain efficiency enable them to cut into the minimum operational cost, therefore we can offer products at affordable prices.

Integration with delivery services of third parties through the cloud kitchen concept is claimed to have succeeded in making dozens of Greenly customers comfortable.

Today, for the first three months of 2020, they are targeting to open 3 new outlets in Pakuwon Mall and Tunjungan Plaza, Surabaya. The first outlet in Jakarta will also be launched, located in the Senopati area. This year, Greenly is to focus on product development, technological innovation, customer growth, and expansion both in Jakarta, Surabaya, and other cities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sate Ratu di Yogyakarta, Manfaatkan Kanal Online untuk Pikat Tamu Mancanegara

Kendati baru berdiri sejak tahun 2015, nama “Sate Ratu” kini bersanding dengan destinasi kuliner legendaris lain di Yogyakarta, khususnya yang targetkan wisatawan mancenagara. Capaian itu tidak didapat begitu saja; sama seperti aneka bumbu sate yang diracik sempurna, strategi bisnisnya juga matang terencana. Demikian kesimpulan kami setelah bebincang dengan pemilik bisnis kuliner tersebut, Fabian Budi Seputro.

Kepada DailySocial ia bercerita, sejak awal memulai bisnis sudah mengoptimalkan kanal-kanal online untuk promosi. Media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter hingga sekarang turut luncurkan website; dikelola untuk mengenalkan produk-produknya kepada calon pembeli. Tidak hanya itu, interaksi baik yang dijalin dengan konsumennya juga membantu Sate Ratu untuk mendapatkan impresi lebih di internet.

Kehadiran online

Kehadiran online (online presence) menurut Budi wajib dimiliki sebuah bisnis. Bukan tanpa alasan, justru sangat mendasar, karena tren di kalangan masyarakat sudah berubah. Sekarang mesin pencari dan media sosial jadi tempat orang untuk bertanya. Mungkin kita juga melakukan, ketika akan berlibur ke suatu kota, yang dilakukan googling tentang tempat unik apa yang ada di sana, kuliner yang enak apa saja dan lain sebagainya.

Strategi digital yang dilancarkan tidak hanya sekadar memajang foto atau video produk secara online. Ada proses interaksi langsung dengan pelanggan yang dilakukan, untuk mendorong mereka secara sukarela memberikan kesan terhadap kunjungannya.

“Ketika ada turis yang mampir ke Sate Ratu, biasanya saya ajak ngobrol, kadang juga mendokumentasikan kehadiran mereka dan menangkap kesan mereka terhadap masakan kami. Saya kadang meminta mereka untuk memberikan testimoni, melalui TripAdvisor,” terang Budi.

TripAdvisor sendiri merupakan situs direktori wisata yang mencakup pasar global, menjadi rujukan turis dari dalam dan luar negeri dalam mencari informasi mengenai objek-objek yang direkomendasikan oleh pengguna.

Ulasan Sate Ratu di kanal TripAdvisor
Ulasan Sate Ratu di kanal TripAdvisor

“Lokasi kami mungkin tidak begitu dekat dengan kerumunan turis asing, seperti area Prawirotaman kalau di Yogyakarta, kendati demikian kami ada di seputaran jalan utama yang dilewati turis ketika akan berkunjung ke tempat wisata unggulan. Sehingga informasi detail mengenai kami sangat penting untuk ada di internet – ada potensi tempat kami disinggahi,” lanjut Budi.

Butuh riset dan data

Sate Ratu tidak memiliki tim media sosial atau pemasaran digital khusus, akun-akun yang ada dikelola langsung oleh Budi. Ia pun mengaku, beberapa kali berinvestasi dengan melakukan promosi lewat Google Ads, kendati tidak dalam nominal yang besar.

“Beberapa kali saya pakai Google Ads, biasanya punya target spesifik ke wisatawan mancanegara tertentu. Misalnya ada potensi banyak turis Singapura dari acara wisata tertentu, ya saya iklankan dengan targeting ke sana. Hasilnya efektif membantu Sate Ratu dilihat mereka,” ujar Budi.

Agar investasinya tidak sia-sia dan salah sasaran, Budi juga harus aktif menemukan data-data yang sesuai. Ia harus riset untuk menemukan momen liburan di Yogyakarta yang berpotensi mendatangkan turis dari luar negeri.

Dokumentasi foto dari turis-turis yang mampir ke kedainya juga ia arsipkan dengan baik di akun Instagram yang dikelolanya. Saat ini jika melihat @sateratu, ada story-highlight bergambar bendera negara tertentu yang berisi foto dan video testiomi penikmat Sate Ratu dari negara tersebut. Ada dari Amerika Serikat, Venezuela, Filipina, Jerman, Belanda dan lain-lain.

“Media digital sangat efektif untuk membantu bisnis lakukan ekspansi – dalam artian menjangkau calon pelanggan potensial dari area yang lebih luas,” imbuh Budi.

Cara berbisnis bisa jadi pembeda

Sate Ratu
Salah satu produk yang disajikan di Sate Ratu / Sate Ratu

Diketahui di seputaran Yogyakarta memang banyak sekali penjual sate, apalagi juga punya kuliner khas seperti Sate Klathak. Budi pun berusaha menghadirkan produk dengan racikan unik. Karena menurutnya unique selling point seperti ini penting bagi sebuah bisnis, apalagi yang masih baru.

Jika produk-produk kuliner yang sudah ada sejak lama tadi bisa mengandalkan promosi mulut ke mulut dari popularitasnya, para pemain baru harus berjuang keras memperkenalkan produknya. Kadang masakan yang unik dan enak sekalipun jika tidak dipasarkan dengan baik maka tidak akan menghasilkan traksi bisnis yang baik.

Pemilihan kanal digital dijadikan cara Sate Ratu untuk mempopulerkan produk bisnisnya. Apalagi sejak awal memang menargetkan ceruk wisatawan yang lebih spesifik, kendati tidak menutup pintu untuk potensi wisatawan domestik.

“Awalnya promosi online menghadirkan turis datang ke Sate Ratu, dari sana kami jalin interaksi yang menjadikan para pengunjung turut meningkatkan kehadiran online kami. Mereka posting dan memberikan review. Untuk sekarang kadang review-review atau postingan dari pengunjung itu yang dimanfaatkan untuk promosi, seperti di-post di media lain,” ujar Budi.

Kendati tidak ada angka pasti, saat ini Sate Ratu rutin dikunjungi ratusan wisatawan macanegara setiap bulannya.

Tulisan ini merupakan bagian dari inisiatif rubrik New Economy. Saat ini DailySocial turut meliput kisah sukses UKM atau bisnis non-teknologi yang berhasil mengakselerasi pertumbuhannya lewat kanal digital. Punya cerita tentang inisiatif New Economy? Kirimkan ke [email protected].

Greenly Adopsi Konsep “New Retail” untuk Jual Produk Makanan Sehat

Konsep new retail tampaknya mulai banyak dilirik oleh pebisnis. Potensi pemanfaatan teknologi dirasa cocok untuk bisa membantu “bisnis offline” melanjut lebih kencang. Pendekatan tersebut kini juga diadopsi Greenly, jaringan ritel fast casual F&B yang menawarkan aneka makanan dan minuman sehat.

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah seorang Bachelor of Science dari University of California di bidang nutritional science, dietetics dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi  kesehatan. Sedangkan Edrick adalah seorang serial entrepenuer yang juga lulusan University of California.

Bisnis makanan sehat tersebut pertama beroperasi pada Januari 2019 di Surabaya, dengan 5 outlet. Satu outlet berada di mall dengan konsep restoran dan cafe, sementara 4 cabang lainnya melayani pesan antara dengan konsep cloud kitchen — menerima pesanan melalui aplikasi on-demand seperti GoFood atau GrabFood.

Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim telah berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

“Bisnis model kami adalah new retail dengan pendekatan online to offline (O2O), kami mengadopsi pola penjualan multi-kanal dalam mendistribusikan produk. Dengan strategi ini, Greenly tidak hanya memiliki toko fisik di pusat perbelanjaan layaknya ritel tradisional, namun juga mengoperasikan cloud kitchen dan penjualan via platform online,” terang Director & Co-founder Greenly Edrick Joe Soetanto.

Memasuki tahun keduanya Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

Memaksimalkan teknologi untuk perkuat bisnis

Lebih jauh Edrick bercerita, bahwa strategi  new retail dengan pendekatan O2O  menjadikan mereka berbeda dengan layanan konvensional dan bisnis sejenis lainnya.

Greenly juga mengembangkan sistem dengan sejumlah fitur yang dibutuhkan agar mereka bisa lebih efektif, berkembang, sekaligus dicintai pelanggannya. Yang diimplementasikan mulai dari manajemen supply chain, POS, sistem akuntansi dan perpajakan, HRIS dan payrol, hingga sistem pengantaran pihak ketiga, loyalitas pengguna dan pick-up order.

“Teknologi yang kami pergunakan membantu Greenly menjalankan bisnis dan melayani pelanggan dengan lebih optimal. Pengembangan teknologi backend membantu kami dalam mengatur supply chain dengan lebih efisien, terlebih karena kami mengelola produk fresh & perishable dengan shelf life yang sangat singkat. Dengan pengembangan teknologi infrastruktur seperti demand forecasting, inventory management hingga logistic optimization, kami dapat memaksimalkan output produksi, mengatur kapasitas sumber daya secara efektif, melacak inventaris secara akurat, meminimalkan waste, hingga mengoptimalkan distribusi,” lanjut Edrick.

Ia juga menerangkan bahwa integrasi teknologi dan efisiensi supply chain membuat mereka bisa memangkas biaya operasional ke level minimum sehingga kami dapat menawarkan harga terjangkau untuk produk-produknya.

Integrasi dengan layanan pesan antar pihak ketiga melalui konsep cloud kitchen yang dibangun juga diklaim berhasil membuat nyaman puluhan ribu pelanggan Greenly.

Kini untuk tiga bulan pertama di tahun 2020 mereka menargetkan untuk membuka 3 gerai baru di Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza, Surabaya. Gerai pertama di Jakarta juga akan diresmikan, tepatnya di kawasan Senopati. Sepanjang tahun ini Greenly akan fokus pada pengembangan produk, inovasi teknologi, pertumbuhan pelanggan, dan ekspansi baik di Jakarta, Surabaya, juga kota-kota lainnya.