GudangAda Hadirkan Marketplace untuk Digitalkan Rantai Pasokan Produk FMCG

Didirikan pada akhir tahun 2018 oleh Stevensang, GudangAda jadi layanan marketplace B2B khusus produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan (supply chain), sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Pengembangan platform ini  dilatarbelakangi pengalaman founder selama 25 tahun bekerja di industri FMCG.

Harapannya dengan teknologi yang disajikan, para penjual yang bertransaksi melalui GudangAda dapat melihat kenaikan volume penjualan, perputaran barang yang lebih cepat, biaya operasional dan harga pengadaan yang lebih rendah, serta transparansi transaksi. Di saat yang bersamaan, pedagang juga dapat mengakses jaringan pelanggan, pelaku bisnis, serta pilihan produk yang lebih luas daripada sebelumnya.

Kepada DailySocial CEO GudangAda Stevensang mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya resiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.

“GudangAda didirikan karena adanya keprihatian terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”

Ditambahkan olehnya, sebagai penjual, toko akan mendapatkan semakin banyak pembeli dan mendapatkan kesempatan untuk menjual kategori produk lain. Sebagai pembeli, toko akan mendapatkan harga yang kompetitif, pengiriman produk yang cepat dan dapat membeli produk kapan saja dan di mana saja.

“GudangAda akan terus melakukan pembaruan terhadap platform yang sudah ada dan akan terus melengkapi layanan untuk memenuhi kebutuhan toko yang bergabung, seperti financial services, logistic services dan lain-lain,” kata Stevensang.

Akuisisi lebih banyak pemilik toko

Setelah mendapatkan pendanaan awal (seed) sebesar belasan juta dolar dari firma modal ventura Alpha JWC Ventures dan Wavemaker Partners, GudangAda selanjutnya ingin fokus menambah jumlah penjual dan pemilik toko, sembari membangun ekosistem dengan melengkapi fitur untuk memenuhi kebutuhan semua stakeholder FMCG. Firma private equity asal Singapura, Pavilion Capital, juga ikut berpartisipasi dalam pendanaan ini.

“Tidak setiap hari Anda menemukan perusahaan sesolid GudangAda dengan pendiri berpengalaman seperti Stevensang. Sejak awal, kami memiliki keyakinan besar pada perusahaan ini dan potensi yang mereka miliki,” ujar Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Saat ini GudangAda telah memiliki 15 anggota tim. Mayoritas dari mereka berpengalaman di bidang FMCG lebih dari 10 tahun dan memiliki hubungan baik dengan pemilik toko grosir di Indonesia. Secara bertahap, GudangAda juga akan melakukan monetisasi terhadap layanan yang diberikan dalam platform, seperti layanan transaksi, logistik dan lainnya.

Di tahun 2020 ini, target utama GudangAda adalah memperluas jaringan anggotanya ke seluruh lapisan rantai pasok industri FMCG di Indonesia dan menyediakan lebih banyak solusi yang bisa diintegrasikan ke kegiatan mereka.

“Kami telah memvalidasi bisnis dan membangun fondasi kuat. Kini, dengan dukungan berkelanjutan dari investor dan mitra, yang harus kami lakukan adalah meneruskan apa yang telah berhasil kami lakukan, namun dengan skala yang lebih besar dan dalam waktu yang lebih cepat. Kami akan mengakselerasi ekspansi kami dan menyediakan lebih banyak layanan agar kami dapat melayani semua pemain industri FMCG di Indonesia,” tutup Stevensang.

Mengenal Zulu, Perusahaan “Wearable” yang Didukung Gojek

Zulu secara definisi bukanlah startup teknologi. Mereka adalah perusahaan yang membuat perangkat kelengkapan, aksesoris, apparel untuk pengemudi roda dua–beberapa bisa dikategorikan wearable. Meskipun demikian, tanpa bantuan investasi Gojek, Zulu mungkin tidak pernah hadir seperti saat ini.

Kepada DailySocial, CEO Zulu Nathan Roestandy menceritakan sebelumnya dia sempat berkiprah di korporasi sebelum terjun secara full time membesarkan perusahaan.

Gojek, sebagai satu-satunya investor Zulu saat ini, membantu mewujudkan hal ini. Mendapatkan investasi sejak akhir 2018, kini perusahaan memiliki 15 pegawai yang bekerja secara penuh waktu dengan kantor saat ini di sebuah coworking space di bilangan SCBD Jakarta.

“Sebetulnya dari awal kita ingin pitching ke Gojek karena driver itu bagian dari target market kita. Kenapa kita memilih Gojek, karena mereka punya driver base yang sangat luas. Salah satu kendala besar untuk mengembangkan produk fisik seperti hardware perlu skala yang besar untuk men-justify spending R&D yang tinggi, untuk men-justify unit cost yang lebih rendah. Jadi tanpa ada driver base yang sebesar Gojek ini produksi kita jadi susah. Karena unit cost kita terlalu tinggi, kalau cost-nya terlalu tinggi harga jualnya nggak competitive dan your market jadi mengecil.”

Menurut Nathan, sebenarnya tren VC berinvestasi di non-startup teknologi sudah cukup jamak di Amerika Serikat dan Eropa, tapi di Indonesia konsep ini masih belum umum.

“Sebetulnya kalau kita lihat dari tren-tren di Amerika Serikat sampai Eropa banyak sekali VC yang invest ke brand yang mereka gak jual software tapi mereka menjual physical product dan ini udah berjalan lima-sepuluh tahun lalu.”

Ia mengatakan, “We’ve already seen about investment, about acquisition. Kalau di Indonesia sendiri mungkin karena pasar ritelnya masih bisa dibilang segmen bawah yang price sensitive. Dilemanya adalah kalau kita mau berinovasi it has to be affordable and it’s difficult to do, especially kalau kita baru mulai.”

Bisnis Zulu

Secara bisnis, Zulu memiliki dua lini. Pertama adalah B2B yang menyuplai perlengkapan mitra pengemudi Gojek, termasuk helm dan jaket. Lini kedua adalah menjual produk hasil riset ke konsumen umum.

Produk unggulannya saat ini adalah helm pintar yang dilengkapi konektivitas bluetooth dan masker anti polusi. Kedua produk ini tersedia secara online dan melalui toko-toko reseller seluruh Indonesia.

Smart helmet itu intinya bisa pairing dengan ponsel lewat Bluetooth dan itu bisa melakukan berbagai fitur secara handsfree, dari menelepon, Google Assistance, GPS, Notification, Radio, dan terutama lebih ke [urusan] safe. Kalau untuk passenger lebih ke entertaiment ya. Jadi kalau entertaiment itu mereka bisa streaming Spotify dan YouTube.”

Nathan melanjutkan, “Perbedaan utama antara smart helmet atau bluetooth speaker helmet dengan earphone dia tidak kedap suara. Jadi suara sekitar masih kedengeran. Ada orang klakson, [meski] kita [sedang] nyetir sambil mendengarkan radio, dia nggak ngeblok semua.”

Meski bukan merupakan startup teknologi, Zulu memiliki CTO [dijabat Yusuf Syaid]. Nathan mengatakan, CTO ini bertanggung jawab terhadap inovasi hardware dan software khususnya yang berkaitan dengan supply chain.

“Kita membangun inventory sistem menggunakan teknologi RFID. Jadi RFID ini adalah kayak semacam chip yang kita masukan ke dalam pakaian dan itu gunanya itu dia bisa nge-track jadi kita pasang sensor-sensor di setiap warehouse, di setiap distribution center, sampai diterima oleh driver.”

“Jadi pada saat driver transaksi, ia akan pairing antara kode ID driver dengan RFID Jacket. Jadi kita pantau persis jaket ini dimiliki ID ini, dia belinya kapan, jadi kita ada full visibility di supply chain kita. Sistem kayak gitu ada unsur hardware-nya, itu RFID tapi juga ada bagian software. Nah itu kita bekerja sama dengan tech team-nya Gojek,” lanjutnya.

Langkah ke depan

Nathan mengatakan tahun ini fokus perusahaan ada di tiga hal. Pertama adalah pengembangan platform e-commerce terdedikasi, kedua adalah ekspansi produk ke lebih banyak negara, dan ketiga adalah inovasi dan pengembangan produk–baik bersama Gojek maupun secara mandiri.

Zulu saat ini sudah tersedia di pasar Singapura dan Malaysia. Tahun ini mereka berharap bisa berekspansi ke Jepang dan Korea Selatan. Kedua pasar ini dianggap sudah tidak sensitif terhadap biaya produk dan perusahaan berharap bisa menawarkan sesuatu yang inovatif secara fitur dengan harga yang relatif bersaing.

Perusahaan sendiri saat ini juga sedang mengembangkan perangkat kompas digital yang diharapkan bisa membantu navigasi pengemudi roda dua dan inovasi lain dengan Gojek yang belum bisa didetailkan untuk publik.

Terkait pendanaan, Nathan menyebutkan saat ini Zulu sudah mendapatkan keuntungan. Meskipun demikian perusahaan akan tetap terbuka terhadap pendanaan lanjutan untuk mendukung R&D.

We are always [open for] funding. We are very lucky that we are in [profitable] position. Karena sudah profitable kita nggak harus mempercepat proses itu. We want to deliver more result. We’re trying to make this attractive outside Gojek [ecosystem],” tutupnya.

Bremble Furniture Arrives in Indonesia, to Provide Augmented Reality Based Product Browsing

Was founded in 1991, Bramble Furniture officially expands to Indonesia. The US-based furniture company has placed a fabrication center in Indonesia. For better customer experience, a new showroom was built in Jakarta. However, something’s unique with its debut in the local market, in order to improve the customer experience for product awareness, the company developed an Augmented Reality (AR) based app.

Using a combination of showroom and technology, it’s expected to help customers to directly see the products. Bramble has also formed a local team in Indonesia to help market penetration.

Bramble Furniture’s Director, Jeremiah Bramble said Indonesia is an ideal market for the company. Not only focus on B2B but Bramble is currently targeting middle to upper-class consumers with lists of luxury design products available online and offline.

“Despite providing definite benefits, the B2B market makes it difficult for us to build direct relationships with customers. With the launch of the showroom and the AR-based technology in the platform, it is expected to increase the number of new customers,” he added.

AR technology implementation

Bremble furniture
Bramble furniture

In the app development, Bramble collaborates with Ars.App. In particular, Ars.App helps brand and designers to share interactive content digitally through AR. Using the developed app, users can directly see the designed furniture in detail.

“Only by downloading the Ars.App application on PlayStore, users can directly select all Bramble furniture products. This method is to facilitate customers with easy transaction while enjoying a unique experience when purchasing products online,” Ars.App’s Co-Founder, Jonathan Aditya said.

Every digitalized product in 3D format by Ars.App always based on Bramble data on customer’s interest obtained from their activities in the e-commerce platform.

“Currently, not only millennials capable of using kinds of technology like AR but common people are also using it. It certainly makes it easier for us to promote this feature to customers to facilitate them for purchasing by virtually see the products in its original form,” Aditya said.

In addition to the AR technology, Bramble and Ars.App will collaborate to implement Virtual Reality (VR) technology into the platform. In the development process, VR technology is expected to help customers while providing opportunities for companies to collect relevant data also acquiring new customers using technology.

“In the future, I can see the AR and VR technology not only through smartphones but also through glasses or smart contact lenses in which currently being developed in the United States,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Hadir di Indonesia, Bramble Furniture Sajikan Pengalaman Menjelajah Produk Lewat Augmented Reality

Berdiri sejak tahun 1991, Bramble Furniture resmi ekspansi ke Indonesia. Perusahaan furnitur asal Amerika Tersebut kini juga miliki pusat fabrikasi di Indonesia. Demi mendekatkan diri dengan konsumen, sebuah showroom juga baru diresmikan di Jakarta. Namun ada yang unik dengan debutnya di pasar lokal, untuk berikan pengalaman lebih dalam pengenalan produk, mereka kembangkan aplikasi berteknologi Augmented Reality (AR).

Dengan gabungan showroom dan teknologi yang dimiliki, harapannya bisa membantu pelanggan untuk melihat langsung produk yang dimiliki. Bramble juga sudah bentuk tim lokal di Indonesia untuk penetrasi pasar.

Menurut Director Bramble Furniture Jeremiah Bramble, Indonesia menjadi pasar yang sangat ideal untuk perusahaannya. Tidak hanya fokus untuk B2B, kini Bramble turut menyasar segmentasi konsumen menengah ke atas dengan pilihan produk berdesain mewah, dapat dipesan secara online dan offline.

“Meskipun memberikan keuntungan yang pasti, pasar B2B menyulitkan bagi kami untuk membina relasi yang langsung kepada pelanggan. Dengan diresmikannya showroom dan penerapan teknologi AR dalam platform, diharapkan bisa menambah jumlah pelanggan baru,” kata Jeremiah.

Penerapan teknologi AR

Demonstrasi teknologi AR dalam smartphone

Dalam pengembangan aplikasi, Bramble menggandeng Ars.App. Secara khusus Ars.App membantu brand maupun para desainer untuk berbagi konten interaktif secara digital melalui AR. Melalui aplikasi yang dikembangkan, pengguna bisa melihat secara langsung desain (furnitur) yang ingin dibeli secara mendetail.

“Hanya dengan mengunduh aplikasi Ars.App di PlayStore, pengguna bisa langsung memilih semua produk furnitur Bramble. Cara ini tentunya memudahkan pelanggan untuk mengambil keputusan sekaligus menikmati pengalaman unik saat melakukan pembelian produk secara online,” kata Co-Founder Ars.App Jonathan Aditya.

Setiap produk yang didigitalisasi dalam bentuk 3D oleh Ars.App selalu dilandasi data dari Bramble yang didapat dari ketertarikan pelanggan yang direkam melalui aktivitas di situs e-commerce.

“Saat ini bukan hanya kalangan milenial yang sudah terbiasa menggunakan teknologi seperti AR, tapi masyarakat umum pun sudah mulai terbiasa menggunakan. Hal ini tentunya memudahkan kami untuk mempromosikan fitur ini kepada pelanggan agar mempermudah mereka melakukan pembelian dengan melihat langsung produk tersebut secara virtual dalam bentuk aslinya,” kata Jonathan.

Selain teknologi AR, rencana ke depannya Bramble dan Ars.App juga akan menerapkan teknologi Virtual Reality (VR) ke dalam platform. Masih dalam proses pengembangan, harapannya teknologi VR bisa membantu pelanggan sekaligus memberikan kesempatan untuk perusahaan mengumpulkan data yang relevan sekaligus mengakuisisi pelanggan baru memanfaatkan teknologi.

“Ke depannya saya lihat bukan hanya teknologi AR dan VR melalui smartphone saja, namun juga melalui kaca mata atau softlens pintar yang saat ini sudah mulai dikembangkan di Amerika Serikat,” kata Jonathan.

Application Information Will Show Up Here

Sinergi Kopi dan Teknologi, Tak Sekadar Pengejawantahan Konsep “New Retail”

Industri coffee chain mulai tumbuh di Indonesia. Tak hanya merk internasional yang membanjiri kota-kota besar di Indonesia, nama-nama lokal pun mulai tumbuh. Beberapa menawarkan kopi dengan berbagai macam pilihan, sementara yang lain mulai menambahkan teknologi untuk memberikan pengalaman lebih dalam berinteraksi dengan kedai kopi.

Tanda-tanda teknologi mulai akan disematkan sudah mulai terlihat di tahun 2018 kedia dua nama pemain coffee chain berhasil mengamankan pendanaan dari venture capital dengan nafas teknologi. Fore Coffee mendapatkan suntikan dari East Ventures dan Kopi Kenangan mendapat suntikan dana dari Alpha JWC Ventures.

Ada juga Anomali Coffee yang sudah mulai menerapkan sistem pemesanan menggunakan aplikasi. Jalan terang menuju kedai kopi bernafaskan teknologi yang mulai dikenal sebagai konsep new retail.

“Semenjak investasi kami di Kopi Kenangan, mulai banyak pelaku bisnis F&B, termasuk kopi, yang mendekati VC [Venture Capital] untuk modal usaha, nampaknya kami telah membuka tren dan kesempatan baru untuk berkembang bagi pelaku bisnis serupa,” terang Co-Founder dan Manager Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Alpha JWC Ventures Oktober silam menyuntikkan dana tak kurang dari Rp121 miliar untuk Kopi Kenangan. Tak hanya membantu mengenai finansial perusahaan modal ventura itu juga menjanjikan dukungan teknologi dan akselerasi bisnis untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan tentunya meningkatkan pengalaman pengguna.

Kondisi tidak jauh beda juga dilakukan oleh East Ventures. Mereka berinvestasi ke Fore Coffee, coffee chain yang didukung oleh Otten Coffee ini menjanjikan pelayanan pembelian kopi yang lebih baik, tentunya dengan pendekatan teknologi. Terbaru, Fore Coffee baru saja mengantongi pendanaan senilai 118 miliar Rupiah dari sejumlah investor, termasuk East Ventures dan SMDV. Setelah pendanaan ini, Fore Coffee juga berusaha menerapkan sejumlah inovasi teknologi dalam bisnisnya.

“Kami memilih artisan kopi karena pentingnya menumbuhkan demand dan mendidik pasar untuk konsumsi kopi jenis Arabica, dibanding kopi Robusta. Karena dengan begitu, Indonesia akan mampu meningkatkan kesejahterahan petani kopi lokal berlipat- lipat dengan effort yang sama,” ujar Partner East Ventures Melisa Irene.

Ia melanjutkan, “Tujuan utama pendekatan new retail adalah agar mempermudah customer untuk mendapatkan produk atau jasa yang mereka inginkan. Sekian tahun perusahaan- perusahaan berbasis platform digital sudah membangun dasar yang kuat hingga kami rasa infrastuktur digital Indonesia sudah cukup kokoh untuk kita mulai menyusun kategori pokok di atasnya. Kategori kopi, kami rasa strategis, karena ini adalah produk dengan nilai tinggi yang berpotensi untuk dikonsumsi setiap hari oleh kalangan middle class.

New retail tak hanya soal teknologi

Konsep new retail tidak hanya berkaitan dengan teknologi. New retail adalah sebuah konsep yang menyeimbangkan antara pelayanan dan pengalaman pembeli. Tak hanya soal memesan atau membayar melalui aplikasi, tetapi juga menyediakan kebutuhan pengguna.

Hal ini diamini Founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata. Ia menyampaikan bahwa konsep new retail setidaknya harus memiliki skala distribusi yang sesuai. Karena akan sangat sulit membuat ekosistem new retail di Jakarta tanpa distribusi yang sesuai.

Jefrey kepada DailySocial lebih jauh juga menjelaskan bahwa menerapkan sistem new retail tidak semudah menciptakan sistem jual beli. Ada aspek-aspek lain yang juga harus dipenuhi seperti penerimaan masyarakat dan ketersediaan gerai yang mumpuni.

“Tidak seperti kebanyakan orang pikir, untuk mewujudkan konsep ‘new retail’ itu tidak semudah menciptakan aplikasi jual beli, ada banyak hal yang harus diperhatikan, seperti jumlah toko yang memadai, produk yang dapat diterima berbagai lapisan masyarakat, serta sistem dan tim yang memadai untuk melayani puluhan ribu pelanggan setiap harinya. Apakah semua pelaku F&B (termasuk kopi) bisa melakukannya? Tidak. Inilah mengapa kami memutuskan untuk mendukung Kopi Kenangan: visi besar mereka didukung oleh kapabilitas yang memadai,” imbuh Jefrey.

Kopi Kenangan dan Fore Coffee yang berencana menuju moderanisasi untuk coffee chain tengah mencoba memperbanyak ketersediaan mereka. Hingga kini Kopi Kenangan sudah memiliki 29 gerai dari 100 gerai yang ditargetkan di tahun ini. Demikian juga Fore Coffee yang saat ini sudah memiliki 12 gerai dan berusaha untuk terus menambahkannya.

“Fokus inovasi Fore Coffee adalah memberikan online to offline customer experience yang berkualitas tinggi dan seamless– kopi enak, mudah ditemukan, layanan cepat, dan harga bersahabat. Inovasi minuman akan jalan terus, ekspansi outlet sudah mencapai lebih dari 12 outlet dan terus bertambah,” terang Melisa.

Tahun ini setidaknya bisa menjadi awal baru bagi industri coffee chain. Dengan apa yang sudah dilakukan oleh Anomali Coffee dan rencana-rencana inovatif dari Fore Coffee dan Kopi Kenangan yang dipaparkan investor mereka.

Pihak Alpha JWC Ventures bahkan dengan terbuka sudah menyebutkan bahwa berusaha mendukung Kopi Kenangan dari segala aspek, demi ekspansi yang lebih baik. Edward menyampaikan, saat ini menambah gerai menjadi fokus utama. Ketika semua itu terpenuhi kemungkinan besar konsep new retail akan benar-benar optimal diterapkan oleh Kopi Kenangan.

“Untuk tahun depan, kami akan terus mendukung Kopi Kenangan dalam ekspansi mereka. Seperti pada portofolio kami lainnya, Alpha JWC selalu siap memberikan dukungan dalam hal strategi bisnis dan operation, manajemen sumber daya manusia, dan tentu saja, dukungan finansial,” terang Jefrey.

Sedangkan pihak East Ventures menjelaskan, bahwa Fore Coffee akan memadukan aplikasi dengan ketersediaan gerai atau outlet sehingga memudahkan mereka menjangkau konsumen.

Key enabler Fore adalah perpaduan teknologi dalam bentuk aplikasi dan retail presence. Fore membuka outlet- outlet khusus delivery, sehingga customer dari berbagai tempat yang pesan lewat aplikasi Fore atau platform pengantaran lainnya bisa mendapatkan minumannya dengan lebih cepat. Dengan adanya aplikasi pula, customer akan bisa mendapatkan offer yang sesuai dengan preference masing- masing,” terang Melisa.

Aplikasi Anomali Coffee terinspirasi antrean

Anomali Coffee adalah salah satu merk coffee chain yang sudah menyediakan aplikasi untuk penggunanya. Mereka berangkat dari perasaan tidak nyaman melihat pelanggan mereka mengantre cukup panjang untuk mendapatkan beberapa gelas kopi.

Disampaikan oleh Head of Sales and Marketing Anomali Coffee Ryo Limijaya, pihaknya mengamati bahwa dari proses memesan sampai selesai proses pembayaran satu pelanggan mereka membutuhkan rata-rata 3 hingga lima menit.

Dari sana kemudian mereka mengembangkan aplikasi untuk memudahkan pelanggan mereka memesan kopi, dan datang hanya untuk mendapatkan kopi yang mereka pesan.

“Kami melihat hal ini sebagai salah satu jalan keluar atau hal yang dapat kami lakukan untuk membuat customer kami merasa nyaman dan aman untuk melakukan transaksi di Anomali Coffee karena seluruh data transaksi sudah terekam di dalam sistem. Misalnya jika muncul komplain dari customer, dari segi kami pun lebih mudah untuk mencari tahu kronologi serta langkah apa yang harus kami lakukan,” ujar Ryo mengomentari konsep new retail pada bisnis coffee chain.

Sejauh ini Anomali Coffee tercatat sudah memiliki 12 outlet yang tersebar di Jakarta, Bali, Makassar, dan Surabaya. Tahun ini rencananya selain menambah beberapa outlet baru Anomali Coffee juga berencana untuk memperbaiki kualitas sambil menjajaki teknologi apa yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

“Menurut kami, trend membeli kopi melalui aplikasi mungkin akan semakin meningkat. Namun semua itu kembali lagi kepada fokus perusahaan dalam memposisikan fungsi aplikasi berdasarkan kebutuhan konsumennya. Karena masing-masing perusahaan, walaupun dalam bidang bisnis yang sama, belum tentu kebutuhan konsumennya juga akan sama untuk diwujudkan ke dalam fitur aplikasi.”

“Mungkin ini adalah tantangan utama dalam trend itu sendiri, supaya jangan sampai aplikasi yang dirancang oleh perusahaan tidak menjawab kebutuhan customer sehingga pada akhirnya menjadi aplikasi yang gagal,” tutup Ryo.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Pendekatan Digital Produsen Kasur “Mimpi” dan Efektivitas yang Dihasilkan

Membicarakan startup digital tak melulu tentang sebuah bisnis yang menjual solusi berbasis aplikasi atau layanan perangkat lunak. Bisa saja inti dari produk yang dikembangkan bukan sebuah barang digital, namun proses bisnis yang dipilih cenderung memaksimalkan potensi digital. Di Indonesia sudah ada beberapa startup yang mengusung konsep tersebut, yang paling baru ada Mimpi.

Dikembangkan oleh dua orang berkebangsaan Belgia, Frank De Witte dan Sven Vervaert, Mimpi menjadi sebuah platform e-commerce untuk produk mebel kasur. Brand dari produk tersebut juga bernama Mimpi, yang dinilai sebagai produk kasur revolusioner. Tidak hanya mengklaim istilah revolusioner sebagai nama, tim Mimpi melakukan riset dan pengembangan mendalam untuk menghadirkan produk kasur berkualitas.

Disrupsi dengan pendekatan digital, didukung kepercayaan diri dengan produk

Mimpi resmi memulai debut pada 10 Oktober 2017 dan berbasis di Jakarta. Menariknya, tidak seperti produsen mebel pada umumnya yang memilih untuk menjual melalui gerai fisik, Mimpi dijual sepenuhnya secara online. Cara ini dipilih untuk dapat memotong rantai penjualan, sehingga dari produsen menyampaikan langsung produknya ke konsumen. Dari perhitungan Mimpi, efisiensinya bisa mencapai 1/3 harga di toko.

“Kasur kami terbuat dari latex foam, memory foam, high resilience foam dan support foam, Mimpi membandrol kasur mewah ini dengan harga terjangkau. Mimpi adalah kasur pertama di Indonesia yang membawa ide seperti ini. Mimpi percaya bahwa kualitas tidur yang baik tidak membutuhkan harga yang tinggi. Guna mengaplikasikan ide ini, kasur Mimpi hanya tersedia secara online melalui website Mimpi,” ujar tim Frank De Witte.

Tampak sudah sangat dipikirkan secara matang, dari desain produk sampai pemilihan proses distribusi secara online. Produk kasur Mimpi dikemas secara optimal dengan metode vacuum-compressed, sehingga kasur dapat dimuat dalam kotak yang relatif kecil, dengan proses pelipatan dan penggunaan. Hal ini tentu menjadi faktor yang memberikan efektivitas untuk kegiatan distribusi.

Teknik vacuum-compressed untuk pengemasan yang lebih ringkas / Mimpi
Teknik vacuum-compressed untuk pengemasan yang lebih ringkas / Mimpi

Sebagai langkah awal untuk memulai penetrasi basis pelanggan, kepercayaan diri terhadap produk Mimpi memberikan jaminan dengan program 100 malam percobaan gratis. Mimpi menyediakan fasilitas 100 malam percobaan gratis untuk mencoba kasur secara langsung. Disampaikan juga jika masih kurang puas, Mimpi menyediakan pengembalian uang secara penuh jika kasur dikembalikan. Menjadi terobosan yang “berani”, dibandingkan dengan hanya mencoba kenyamanan  kasur beberapa saat saja di toko.

Apa yang bisa dipelajari dari debut Mimpi?

Menjadi penting, lantaran apa yang dilakukan mimpi sebenarnya applicable dengan industri kreatif di Indonesia kebanyakan. Keunggulannya biasanya pada produk yang orisinal dan unik, sebut saja kerajinan atau produk kreatif lain. Kadang apa yang dibutuhkan adalah sebuah terobosan, dengan menciptakan kanal sendiri guna terhubung dengan calon konsumen prospektif. Jika ditarik sebuah kesimpulan, ada dua hal yang bisa direplikasi untuk sebuah transformasi bisnis.

Pertama, kepercayaan diri terhadap produk sudah selayaknya didukung dengan pendekatan pemasaran dan distribusi yang tepat, jika perlu dilakukan secara mandiri untuk berbagai pertimbangan, misalnya penekanan harga. Kedua, pendekatan digital membawakan pada satu kesatuan proses, tidak hanya memikirkan sebuah pengembangan situs untuk menampilkan dan transaksi produk, melainkan juga perlu penyesuaian di sisi produknya, misalnya untuk proses distribusi.