Cara Menghasilkan Uang dari NFT, Begini Syaratnya!

Akhir-akhir ini, NFT atau non-fungible token menarik perhatian masyarakat luas. NFT adalah adalah aset digital di jaringan blockchain merepresentasikan beragam barang unik, mulai dari yang berwujud hingga tak berwujud.

NFT menjadi platform baru untuk media koleksi digital, yang dapat jadi sarana pendukung seniman dalam memasarkan karyanya sebagai aset NFT, dengan tawaran imbalan yang besar. Imbalan besar itu berasal dari investor yang bersedia untuk membayar aset NFT tersebut.

Sebelumnya, jagat dunia maya sempat dihebohkan oleh Ghozali, pria asal Indonesia yang berhasil meraup keuntungan miliaran rupiah dari hasil menjual foto selfienya, yang dijadikan aset NFT.

Apakah Anda berminat mengikuti jejak Ghozali dalam meraup keuntungan dari menjual NFT? Jika tertarik, ada ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menghasilkan uang dari menjual NFT. Berikut penjelasannya!

Syarat Agar Bisa Meraup Keuntungan dari NFT (Non-Fungible Token)

Tak hanya bermodal perangkat seperti PC atau ponsel saja, dalam upaya meraup keuntungan dari NFT atau non-fungible token dapat dilakukan dengan melakukan langkah-langkah berikut ini:

  • Buat Akun di Marketplace NFT

Marketplace NFT merupakan tempat pemain melakukan jual beli aset NFT. Ada pun beberapa marketplace NFT yang dapat menjadi pilihan, di antaranya adalah Rarible atau Axie Infinity, atau yang paling besar di pasar internasional seperti OpenSea.

Perlu diketahui, setiap marketplace NFT akan menawarkan spesialisasi jenis aset digital yang bisa dijual dengan NFT. Sehingga, pemain dapat memilih marketplace mana yang paling tepat. Setelahnya, pastikan sudah memiliki akun di marketplace itu, sebelum mulai bertansaksi.

  • Miliki Dompel Digital Kripto

Setelah menentukan marketplace NFT mana yang akan digunakan, lanjut dengan menautkan dompet digital kripto atau cryptocurrency yang mendukung marketplace tersebut. Salah satu platform yang dapat digunakan untuk membuat dompet digital ini adalah MetaMask.

Dompet digital kripto berfungsi untuk menukarkan uang resmi dengan uang kripto agar bisa melakukan transaksi NFT. Caranya, seperti dengan menggunakan dompet MetaMask sebagai dompet kripto untuk disambungkan dengan marketplace OpenSea.

  • Punya Karya Unik

Syarat paling utama dalam menjual aset NFT, tentu dengan memiliki karya yang dapat dijadikan aset. Karyanya dapat berupa apa saja, misalnya gambar, video, foto, dan lain sebagainya.

Kurang lebih, langkah menjual aset NFT ini sama dengan menjual barang di marketplace pada umumnya, seperti Tokopedia, Shopee, Lazada dan semacamnya. Hal yang membedakan adalah dari segi transaksi, NFT menggunakan mata uang kripto dan hanya tersedia di marketplace khusus.

  • Unggah Karya

Langkah terakhir, yakni dengan mengunggah karya digital yang telah dibuat ke marketplace NFT. Berilah informasi detail terkait nama aset, batas waktu lelang, hingga mata uang kripto yang dapat digunakan untuk membayar. Paling penting, sematkan tarif untuk karya tersebut.

Setelah selesai, marketplace NFT itu akan menghitung biaya jaringan blockchain ethereum atau gas fees, saat mencatat proses transaksi. Ada pun biaya jaringan itu jumlahnya terbilang variatif, tergantung seberapa sibuk jaringan saat itu.

Demikian, serangkaian langkah dalam menghasilkan uang dari NFT atau non-fungible token. Jika tertarik, silahkan mencoba!

Video: Tutorial Membuat dan Menjual NFT di Marketplace

Mengenal NFT, Platform Koleksi Digital yang Bisa Beri Keuntungan Besar

Belakangan, jagat media sosial sempat heboh membicarakan NFT atau Non Fungible Token. Aset investasi ini, mulai heboh dibicarakan berkat seorang pria asal Indonesia, Ghozali, yang menjadi milyarder berkat NFT.

Ghozali berhasil meraup keuntungan miliaran rupiah dari hasil menjual karyanya, berkonsep “Ghozali Everyday” yakni berupa foto-foto selfienya setiap hari. Setiap foto selfie tersebut laku terjual di salah satu marketplace NFT terbesar, OpenSea.

Lantas, apa sebenarnya NFT itu? Mengapa sosok Ghozali ini dapat meraup keuntungan sebanyak itu hanya dengan menjual foto selfie? Simak penjelasan berikut ini.

Apa Itu NFT (Non Fungible Token)?

NFT atau Non Fungible Token adalah aset digital di jaringan blockchain yang mempunyai kode identifikasi serta metadata unik atau berbeda satu sama lain. NFT juga bisa diartikan sebagai aset computerized, yang merepresentasikan beragam barang.

Sederhananya, NFT menggunakan teknologi blockchain untuk merekam transaksi digital di dalamnya. NFT sendiri berupa barang unik atau berharga, yang memiliki nilai tukar yang tidak bisa diganti.

Jenis barang unik atau berharga yang dapat dijual sebagai aset NFT sendiri beragam, mulai dari yang berwujud hingga tak berwujud. Di antaranya dapat seperti aset game, gambar, foto, lukisan, video, musik dan lainnya.

NFT menjadi platform baru untuk media koleksi digital, yang dapat jadi sarana pendukung seniman dalam memasarkan karyanya sebagai aset NFT, dengan tawaran imbalan yang besar. Imbalan besar itu berasal dari investor yang bersedia untuk membayar aset NFT tersebut.

Sama dengan instrumen investasi atau aset yang lainnya, NFT juga memiliki nilai lewat mekanisme pasar. Faktor penggerak harga NFT dipengaruhi dari tingkat permintaan dan penawaran NFT tersebut.

Karakteristik NFT (Non Fungible Token)

Adapun karakteristik utama NFT sebagai aset investasi yang menjadikannya unik dan berbeda di antara yang lainnya. Antara lain, sebagai berikut:

  • Aset Digital Unik

Aset digital yang dijadikan sebagai NFT, biasanya unik. Setiap token NFT terbukti unik, sehingga antar setiap NFT tidak ada kesamaan. Selain itu, NFT sendiri sudah terekam di dalam jaringan blockchain, yang punya kode identifikasi dan metadata unik

  • Bersifat Transparan

NFT memiliki sifat transparan, yakni karena kepemilikan, sumber hingga pergerakan NFT dapat dilacak dan dilihat secara real-time pada jaringan blockchain.

  • Tidak Dapat Dipalsukan

Setiap token NFT memungkinkan untuk diauntentikasi, sehingga tidak bisa dipalsukan atau direplikasi. Hal ini karena pada setiap token didukung oleh buku besar (ledger) digital yang tidak bisa diubah dan jaringan terdesentralisasi.

  • Mudah Beradaptasi

NFT dikatakan dapat dengan mudah beradaptasi sebab aset ini mudah berbaur dengan ekosistem digital pada dunia metaverse, yang mendukung penggunaan dan aplikasi NFT. Pemain dapat memperjualbelikan NFT, di berbagai platform marketplace yang mendukung NFT.

Video: Penjelasan tentang NFT dan Cara Menjualnya di NFT Marketplace OpenSea

[Seri NFT] Rarity, Utility, Community: Mempelajari Tiga Pilar Terpenting NFT

NFT berharga karena unsur non-fungible-nya, sehingga tidak bisa digantikan dengan yang lain. Pasar ini masih begitu baru dan masih banyak hal yang bisa dieksplorasi lebih jauh. Perlu edukasi yang intens agar tidak salah kaprah.

Kelangkaan, utilitas, dan komunitas (rarity, utility, community) adalah pilar dasar dari setiap proyek NFT yang baik. Jika sebuah proyek tidak memiliki kombinasi ketiganya, hal ini benar-benar dapat memengaruhi keberhasilan keseluruhan proyek tersebut.

Mari bahas satu persatu mengenai tiga hal ini:

Kelangkaan (rarity)

Kelangkaan adalah inti dari sebuah proyek yang tidak boleh diabaikan ketika ingin membuat proyek yang sukses. Unsur kelangkaaan itu penting karena secara langsung terkait dengan antusiasme dan harga NFT. Hal ini membantu mendorong permintaan dan mendiversifikasi proyek dengan menawarkan berbagai tingkat sifat dan utilitas.

Kelangkaan tidak hanya penting bagi kolektor, bahkan lebih penting bagi kreator di balik proyek. Tanpa kelangkaan, proyek NFT berpotensi menjadi sangat membosankan dan besar kemungkinan sepi peminat.

“Kehadiran NFT di dalam kehidupan manusia itu penyebab utamanya karena ada kepemilikan, bisa dicatat untuk siapa. Perlu dicatat karena jumlahnya terbatas, bukan buat massal. Unsur langka akan terasa bila bukan buat massa sebab jumlahnya tidak bertambah, maka itu konsep NFT yang ideal,” papar CEO Kolektibel Pungkas Riandika.

Utilitas (utility)

Barang langka saja kurang cukup untuk menarik minat calon pembeli. Butuh fungsi (utilitas) sebagai nilai tambah sebelum membeli suatu NFT. Bisa saja suatu tidak punya fungsi, tapi segmen tersebut sangat niche karena hanya mampu menarik minat dari kolektor.

Pungkas mencontohkan proyek yang memiliki utilitas, misalnya NFT kuliner Indonesia. Para kolektornya berkesempatan mendapat akses untuk makan di restoran, jaringan franchise, atau sejenisnya. Kemudian mendapat diskon, mendapatkan welcome drink, tanpa waiting list, dan lainnya sebagai penawaran tambahan.

Atau perusahaan maskapai yang menerbitkan NFT, tapi dijual dengan harga yang mahal. Taruhlah harganya Rp15 juta. Adakah yang mau beli? Ternyata untuk para kolektornya diberikan penawaran berupa tiket pesawat pulang-pergi selama satu tahun untuk rute yang tersedia dari maskapai tersebut.

“Pun ketika dijual di secondary market, kolektornya tetap bisa untung karena value dari sebuah NFT itu bisa sangat mahal harganya. Ini menarik buat para NFT holder karena utilisasinya terkonfirmasi langsung untuk mereka.”

Komunitas (community)

Setelah dua poin di atas dilakukan, individu yang memiliki ketertarikan yang sama akan bersatu, tapi trik untuk panjang umurnya suatu komunitas itu kuncinya butuh konsistensi. Agar tidak menjadi salah satu NFT yang gagal, menciptakan komunitas yang kuat adalah kuncinya.

Ini semua mengenai: membawa nilai otentik kepada anggota, menciptakan hubungan melalui konsistensi dan usaha, dan membawa orang-orang dengan perspektif yang berlawanan untuk menyeimbangkan pandangan kreator.

“Sama halnya bagi brand. Pasti mereka ingin produknya dipakai oleh konsumen yang mencerminkan apa yang brand mau. Jadi bagi kreator itu, bagaimana dia harus mengupayakan bagaimana produknya itu dibeli duluan oleh komunitasnya sendiri agar terasa sesuai dengan market yang dia inginkan.”

Langkah tersebut diupayakan Kolektibel untuk tiap kerja sama dengan IP owner (kreator, dan sebagainya) dalam ekspansi ke pasar baru dengan meningkatkan loyalitas pengguna terhadap suatu brand. Model bisnis seperti ini, menurut Pungkas, merupakan rangkaian untuk menciptakan efek Trifecta Synergy, yang melibatkan IP, Kolektibel, dan kolektor.

Tujuan dari Trifecta Synergy tersebut adalah mendapatkan perluasan pasar dan memperkuat loyalitas merek dengan membidik transformasi dari pelanggan menjadi kolektor, menciptakan sebuah bisnis yang digerakkan oleh komunitas (community driven business).

“Dari sinergi yang kami lakukan, end game-nya adalah komunitas. Makanya dari rarity, utility, dan community itu paling enggak harus ada di tiap IP owner. Pemikirannya harus sesingkat itu ketika melihat suatu NFT,” tutupnya.


Disclosure: Rubrik “Seri NFT” ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan Kolektibel

NFT Sebagai Gerbang Awal Ekonomi Kreator

Kata “NFT” (Non-Fungible Token) semakin terasa familiar di telinga sebagian orang Indonesia. Meski pasar belum teredukasi secara merata, antusiasme terhadap teknologi baru ini mulai terlihat, setidaknya dari semakin mudah ditemukannya artikel berbahasa Indonesia dan komunitas-komunitas lokal yang bermunculan.

Bagi kreator konten dan pengusaha konten, NFT telah menjadi topik umum pada tahun ini karena memungkinkan banyak kreator dari semua latar belakang dan genre (seniman, musisi, konten kreator yang biasa memanfaatkan platform media sosial, influencer, petinggi perusahaan, bahkan orang biasa sekalipun) datang untuk berbagi kreativitas mereka, bertemu orang baru, dan mungkin memulai karir.

Di kancah global, seniman seperti Beeple dan Trevor Jones telah menghasilkan jutaan dollar dari penjualan NFT mereka. Musisi seperti 3LAU sedang merancang model bisnis di mana penggemar (dan akhirnya pemilik NFT) dapat mengakses musik eksklusif dan tiket ke acara. Grup musik Kings of Leon menghasilkan jutaan dollar dengan menjual album baru mereka sebagai NFT.

Dengan template yang sama, kesempatan ini tidak ingin dilewatkan oleh kreator di Indonesia dalam menyambut kehadiran NFT. Dalam pantauan DailySocial.id, tidak hanya seniman yang tertarik. Ilustrator, musisi, merek fesyen, rumah produksi, influencer, hingga olahraga sudah menaruh minatnya dengan memanfaatkan platform yang ada.

Ekonomi kreator

NFT mengubah permainan secara keseluruhan, menjadikannya sebagai model bisnis yang benar-benar baru buat kreator. Pada akhirnya, mereka dapat menjual karyanya langsung ke komunitas global atau kini dikenal dengan istilah ekonomi kreator. Model bisnis baru ini memotong sebagian besar distributor (yang biasanya menerima komisi) dan memungkinkan kreator berhubungan dengan kolektor secara langsung dan mudah melalui marketplace seperti OpenSea dan Foundation.

Dapat dibayangkan, saat ini kreator mendapatkan penghasilan melalui konten mereka dengan mempublikasikannya di platform terpusat seperti YouTube, TikTok, dan Instagram. Platform mengambil bagian besar dari pendapatan iklan yang dihasilkan oleh konten mereka dan memberikan sisanya kepada pembuatnya.

Kreator sering kali menghasilkan lebih banyak uang dari kesepakatan brand daripada konten mereka yang sebenarnya. Meskipun demikian, skema tersebut membuat platform tetap hidup dan menghasilkan banyak keterlibatan pengguna.

Dengan NFT, kreator dapat memperoleh penghasilan langsung dari konten mereka. Mereka dapat mengambil momen penting dari unggahan mereka, misalnya unggahan yang paling viral, album perdana dirilis, atau momen penting dalam perjalanan pribadi yang memiliki arti bagi para basis komunitas di kreator tersebut. Tidak hanya itu, kreator dapat membuat konten itu lebih berharga dengan membatasi pasokannya. Plus, mereka dapat memperoleh dari royalti dari konten tidak hanya sekali, tetapi tanpa batas.

Tak hanya itu, kreator juga dapat memilih untuk melampirkan hadiah eksklusif bagi pembeli NFT, seperti tiket VIP ke suatu acara, diskon merchandise, atau akses ke komunitas pribadi sebagai hanya bonus tambahan.

Salah satu contoh yang dilakukan musisi rap Tory Lanez  adalah menjual tujuh lagunya sebagai NFT seharga $1. Dalam waktu kurang dari satu menit, ia menjual 1 juta NFT dan menangkap $1 juta penjualan tanpa memberikan sepeser pun kepada label rekaman atau perantara industri.

Para penggemarnya dapat membeli aset supermurah dan dapat menjualnya kembali dengan jumlah uang yang mengubah hidup. Dengan demikian, NFT diklaim menciptakan situasi win-win, ketika kreator dan penggemar menangkap value yang sama.

Sumber: Pexels

Kreator Indonesia

Faza Ibnu Ubaydillah Salman atau lebih terkenal dengan Faza Meonk, komikus dibalik karakter Si Juki, mengaku tertarik terjun ke NFT setelah diberitahu  temannya yang berprofesi sebagai seniman digital. Temannya telah mendapat penghasilan baru lewat NFT. Hype-nya semakin terasa ketika ia menyaksikan sendiri kuantitas seniman yang masuk ke NFT terus bertambah.

Faza sendiri, sebelum ikut “nyemplung” ke NFT, ia sudah mengenal dunia kripto berkat aktivitas trading yang ia lakoni.

“Jadi saya sudah ngerti kalau ada teknologi yang namanya blockchain yang dipakai untuk NFT. Saya baru nyemplung di Agustus 2021 ke komunitas dan mulai mengonsep personal project yang belum dirilis hingga saat ini,” ujar Faza saat dihubungi DailySocial.id.

Ia berpendapat, secara personal ketertarikannya terjun ke NFT karena di sana membuka kesempatan untuk berkarya secara bebas tanpa harus melihat dari sisi komersil, harus laku atau tidak. Ia pun dapat terus belajar, memperbaiki kualitas karyanya agar semakin baik. Perspektif tersebut ingin ia tularkan kepada para seniman lainnya.

Nothing to lose saja. Mungkin NFT ini jadi masa depan untuk teman-teman seniman agar bisa berkarya dari proyek pribadinya dan mengomersilkannya, sebab pada akhirnya ini jadi dorongan yang menarik.”

Di samping itu, praktik transaksi jual beli offline karya seni di galeri sebenarnya kurang lebih sama dengan NFT. NFT memiliki kode unik yang di-minting dari jaringan blockcain untuk memberikan kode unik kepada para kolektor. Hal tersebut juga dilakukan galeri yang memberikan sertifikat untuk membuktikan pembeli tersebut adalah pemilik yang sah.

“Jadi NFT itu ke depannya bukan buat seni saja. Memungkinkan lebih banyak hal. Kalau pemerintah terbuka, bisa banget dimanfaatkan lebih masif lagi ke banyak aspek kehidupan.”

Saat ini Faza menerbitkan NFT dengan memanfaatkan dua platform marketplace, di TokoMall dan Objkt. Di TokoMall, ia masuk sebagai mitra eksklusif yang digandeng Tokocrypto, sementara di Objkt ia memilih untuk memamerkan karya-karya pribadinya, sekaligus memperkenalkannya ke target penikmat seni di luar negeri.

“Rencananya saya mau perluas lagi ke OpenSea. Tujuannya ingin jangkau orang luar negeri karena secara natural orang Indonesia itu belum ada kebiasaan untuk mengoleksi karya seni. Sementara orang luar negeri itu lebih appreciate, makanya banyak seniman lokal memanfaatkan platform seperti ini.”

Sementara itu, IBL (Indonesian Basketball League), kompetisi basket terbesar di Indonesia, tertarik masuk ke NFT karena ingin selalu engage dengan para penggemar bola basket dan menarik penggemar baru dari kalangan anak muda melalui tren-tren yang menarik perhatian mereka. IBL mulai mempelajari NFT sejak Februari 2021, sampai akhirnya resmi menjadi mitra perdana Kolektibel di November 2021.

“Kita sebagai IBL selalu merujuk pada beragam inovasi yang ada di market. Kami pun merujuk pada NBA yang punya produk NFT sebagai referensi kami dan masuk melalui Kolektibel karena mereka punya approach yang sesuai dengan apa yang kami harapkan, sama seperti NBA Top Shot,” terang Brand Marketing IBL Raihanda Rafi.

Raihan menuturkan, pihaknya memaknai NFT sebagai produk yang memiliki daya tarik tersendiri karena dapat mendekatkan penggemar dengan atlet basket melalui momen-momen (foto, video durasi pendek, gif). Serta, dapat lebih dekat karena tiap NFT yang dikoleksi memiliki utilitas (kegunaan) yang bersifat eksklusif. Tentunya hal tersebut akan menjadi nilai tambah bagi atlet itu sendiri, membuat mereka jadi lebih percaya diri.

“Karena ini industri yang baru, jadi saat ini masih cenderung mempelajari bagaimana NFT itu bekerja. Tugas dari kami, bersama Kolektibel, adalah mengedukasi pasar, mengedukasi mereka bahwa NFT itu di masa depan akan menjadi status sosial yang baru. Sebab barang yang bernilai itu sekarang sudah bukan lagi barang fisik, tapi juga digital.”

Saat ini IBL berhasil menjual 700 pack NFT yang diterbitkan melalui Kolektibel. Setiap pack berisi video momen-momen terbaik dengan level rarity yang berbeda. Di Kolektibel ada tiga level rarity, yakni Common, Rare, dan Epic, masing-masingnya memberikan tingkat keunikan dan nilai pada setiap produk NFT tergantung tipe rarity yang dimiliki.

Dari data IBL, para pembeli NFT-nya adalah para penggemar setia basket, NFT enthusiast, trader, dan investor. “Kita akan terus cari collectibles yang bagus dan bisa dikoleksi, sebab para kolektor ini masih dalam fase mencari tahu dan mengumpulkan collectibles-nya belum ada yang trading di secondary market. Ini jadi menarik karena kami masih banyak aset yang bisa di-NFT-kan.”

Koleksi NFT yang sudah dibeli ini masih berfokus pada momen-momen dari pertandingan di musim 2021. Aset-aset dari pertandingan di 2017 sudah masuk daftar berikutnya yang sudah disiapkan untuk di-NFT-kan. IBL sendiri memiliki kumpulan aset dari tahun 2000-an dengan atlet-atlet legendaris yang tentunya akan menarik untuk dikoleksi para penggemar basket.

“Saya dan tim terus meningkatkan kualitas gambar dari aset lama kami. Banyak aset nostaligia yang masih perlu kami standarisasi kualitasnya agar nantinya lebih enak saat dinikmati para penggemar.”

Ada kekhawatiran

Penawaran yang paling menarik di NFT adalah bagian non-fungible, memberikan verifikasi yang tak terbantahkan soal kepemilikan terhadap sebuah aset digital yang transparan. Ketertarikan dunia ke NFT, sejalan dengan penolakannya, semakin meninggi belakangan ini.

Sama seperti pisau, yang dapat melukai orang atau malah membuat masakan jadi terasa lezat. Penggunaan NFT dapat menjadi celah kejahatan, meski teknologi blockchain diklaim sudah canggih dan mumpuni.

Faza sering menemui praktik mencuri karya seniman yang belum terjun ke NFT. Karyanya di-minting tanpa seizin pemiliknya di platform marketplace. Kejadian ini sering membuat seniman kewalahan dalam mengatasinya.

“Ini semacam dampak dari adanya sistem NFT. Saya percaya teknologi akan terus berkembang. Harapannya, ke depan ada sistem autentikasi untuk membuktikan bahwa karya yang di-minting itu benar pemilknya. Teman-teman di [sektor] IT perlu antisipasi ini.”

Kekhawatiran tersebut diharapkan juga menjadi perhatian dari para platform marketplace NFT lokal selagi industri ini masih sangat baru di Indonesia. Di samping itu, komitmen serius dari pemain platform untuk mempromosikan karya NFT perlu digalakkan kembali. Banyak seniman yang memanfaatkan platform luar negeri, karena tujuan utamanya adalah menjangkau penikmat karya seni secara lebih luas.

Mayoritas orang Indonesia itu belum terbiasa mengoleksi karya seni sebagai bentuk menghargai suatu karya dengan membeli karya itu sendiri. “Jadi kalau hanya dikasih tempat untuk berjualan, tapi tidak dipromosikan juga ya akan percuma karena habit orang Indonesia untuk menghargai suatu karya seni dengan spending itu masih rendah. Jadi lebih mudah untuk ajak orang luar negeri untuk mengoleksi karya kita.”

Sebagai catatan, blockchain Tezos yang digunakan Objkt dan Hit et Nunc (sebelum tutup) banyak dilirik oleh kreator lokal untuk mencicipi dunia NFT pada tahap awal karena lebih ramah lingkungan dan hemat biaya minting. Pula hadirnya jaringan komunitas yang sudah kuat terbangun karena anggota dapat berkomunikasi dengan erat dengan kreator.

“Kreator sekarang dituntut untuk punya kemampuan berkomunikasi yang baik dengan calon pembeli. Makanya banyak muncul pekerjaan baru, manager artist, yang bekerja dengan ruang lingkup seperti kurator, menghubungkan artist dengan kolektornya.”

Membangun komunikasi ini penting, lanjut dia, pasalnya kolektor itu perlu diyakinkan bahwa seniman atau kreator tersebut dapat terus berkarya hingga pada masa mendatang. “Bebas kalau tujuannya ada yang mau investasi, ada juga yang suka karyanya tapi ini persentasenya pasti kecil. Jadi yang paling utama itu harus komunikasi agar mereka percaya kita ini punya value, punya masa depan, yang mungkin membuat nilai jual karya akan lebih baik.”

“Value sebuah karya seni bisa mahal itu karena banyak yang percaya. Sama seperti emas yang bentuknya batu tapi banyak orang yag percaya itu bernilai. Ketika komunitas semakin besar, maka karya seniman tersebut akan semakin mahal, makanya komunitas pegang peranan penting,” tutup Faza.

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri musik, terlibat dengan awal-awal layanan musik digital dalam bentuk ringtone dan ringbacktone (RBT). Petualangan pertama saya sebagai wiraswastawan, Ohdio.FM, adalah upaya memperkaya ekosistem musik. Bahkan perusahaan saya yang sekarang, KaryaKarsa, bermula dari menerapkan konsep direct-to-fans untuk musisi, walaupun kini KaryaKarsa bisa digunakan oleh kreator apapun. Jadi, karier saya sudah lama dekat dengan teknologi dan musik.

Salah satu topik paling ramai dibicarakan di tahun 2021 adalah NFT. Berbasis blockchain, NFT memberikan musisi alternatif dalam berpenghasilan dari kegiatan berkarya yang pada dasarnya mengurangi atau menghilangkan porsi pekerjaan (dan porsi bagi hasil) oleh penengah seperti distributor, bahkan label. Sehingga, NFT digadang-gadangkan sebagai teknologi yang akan pada akhirnya membawa kesejahteraan yang lebih merata pada produsen inti industri musik, yaitu musisi, karena musisi akan dapat mengatur sendiri harga dan royaltinya.

Namun, apakah prospeknya sesederhana itu?

2021 menjadi tahun yang cukup istimewa untuk gabungan musik + NFT. Dari 3BLAU sampai Audius, artikel ini cukup merangkum kejadian-kejadian menarik di ranah NFT musik. Dari tanah air, musisi Indonesia pun sudah mulai berkecimpung ke NFT; ada rilisan Aloysius Nitia menggunakan koin TEZ dan Alex Kuple merilis lagu NFT via Distrokid yang didistribusikan via Nifty Gateway (menggunakan ETH).

Secara umum, ketertarikan dunia ke NFT – lengkap dengan penolakannya – semakin meninggi sepanjang 2021. Jadi kalau dilihat secara anekdotal, potensi dampak teknologi NFT untuk industri musik, Indonesia maupun global, cukup besar.

Yang menarik dari NFT itu adalah bagian non-fungible, sehingga mendekatkan rilisan karya (misalnya musik) seperti yang sudah lama terjadi sebelum era internet dimulai, saat jumlah fisik sebuah karya itu terbatas (atau dibatasi).

Teknologi NFT memberikan verifikasi yang tak dapat dibantah soal kepemilikan terhadap sebuah aset digital dengan transparansi sampai ke transaksi awalnya, sebuah antitesis terhadap perbanyakan file digital tanpa batas dan tanpa rekam jejak jelas yang terjadi semenjak internet berdiri. Memang, filenya sendiri tetap dapat diperbanyak, tapi peneguhan hak akan karya tersebut tercatat di blockchain.

Keunggulan dari teknologi ini, digabungkan dengan semakin mudahnya memproduksi karya digital apapun dari komputer maupun HP, memberikan kendali dan kekuatan yang cukup besar kembali ke kreator seperti musisi.

Karena produksi toh sebenarnya bisa dilakukan sendiri semua, kini distribusi pun bisa dilakukan sendiri dengan bantuan situs-situs seperti Nifty Gateway atau Audius, tanpa harus adanya perusahaan rekaman maupun publisher (terlepas dari perlu atau tidak ya).

Nah, sebenarnya produksi dan distribusi mandiri, atau sering disebut indie, ini bukan sesuatu yang baru. Musisi sudah melakukan distribusi mandiri melalui situs seperti Bandcamp [atau KaryaKarsa], atau dibantu oleh layanan seperti Distrokid atua CDBaby.

Akan tetapi, untuk mengakses pendengar yang banyak, memang akhirnya akan berujung di layanan-layanan seperti Spotify dan Apple Music, yang model bisnisnya lebih menguntungkan siapapun label (atau agregator musik, seperti Believe) yang memiliki market share besar berdasarkan jumlah pendengar.

Perputaran uang music streaming belakangan ini bahkan didominasi oleh pemilik katalog lagu lama, yang notabene kebanyakan ada di para major label Universal Music, Sony Music Entertainment dan Warner Music.

Di sisi lain, kebanyakan pendengar musik masih enggan keluar uang jika yang ditawarkan “hanya” lagu. Dari pengamatan, konsumen musik – yang mau keluar uang – memilih untuk membayar untuk langganan layanan musik untuk mendapatkan lagu yang diinginkan, dan akan keluar uang lebih untuk hal-hal “unik” dari artis/musisi yang disukai, seperti merchandise, limited edition CD, dan sebagainya.

Preferensi konsumsi seperti ini, tentunya membuka lebar kemungkinan NFT musik menjadi salah satu cara fans seorang artis/musisi memberi dukungan.

Namun ada faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan seorang artis atau musisi mendapatkan penghasilan dari karyanya melalui merchandise sampai NFT, bahkan mendapatkan pemasukan lebih dari layanan music streaming. Faktor itu adalah basis pendengar atau fans.

Perlu diingat bahwa NFT dan merchandise, misalnya, adalah “barang jualan”. Kalau barang jualannya tidak ada potensi massa yang berminat membeli, akan menjadi masalah. Sehingga, pembentukan massa pendengar, penikmat dan fans ini tetap menjadi unsur penting dalam membangun karier seorang musisi komersial.

Di era sebelumnya, peranan membentuk massa pendengar ini banyak dilakukan oleh perusahaan rekaman. Mereka menemukan sebuah pola bisnis di mana mereka bisa benar-benar “mengorbitkan” seorang artis/musisi melalui usaha promosi yang gencar via media, memastikan lagunya terpasang cukup sering di TV dan radio, dan membentuk persepsi di media dan publik bahwa “lagunya enak dan artisnya keren”.

Di zaman media sosial ini, keadaan praktis berbalik saat seringkali artis sudah memiliki massa yang sudah terbangun sebelum melakukan perjanjian dengan perusahaan rekaman. Artis atau musisi yang sudah cukup sukses pun tidak tergantung pada pemasukan yang bisa dihasilkan via perusahaan rekaman, karena bisa “menyewakan” massa fansnya ke brand secara langsung dengan melakukan brand endorsement.

Dan kini, ada NFT.

Meskipun karier seorang artis atau musisi kini tidak melulu tergantung pada penjualan rekaman musik, komponen membangun massa ini tetap penting untuk memastikan ada yang membeli barang jualannya. Di sisi lain, industri NFT masih tergolong sangat spekulatif, seperti halnya cryptocurrencies yang digunakan untuk mencetak dan membelinya.

Meskipun saya yakin kolektor NFT memiliki keinginan tulus untuk mendukung kreator yang NFTnya mereka beli, tetap saja ada sisi spekulatif yang berharap nilai NFTnya akan mengalami apresiasi; ini bukan sesuatu yang buruk, karena hal yang sama juga terjadi di pasar seni yang lebih “tradisional” melalui seniman, kolektor dan galeri. Apresiasi terhadap seni tentu ada, namun spekulasi investasinya pastinya tetap ada. Ini realita yang perlu dihadapi saja.

Pada akhirnya, setidaknya buat saya, yang penting itu seberapa banyak seorang artis/musisi dapat menghasilkan uang untuk terus berkarya. Industri hiburan secara makro selama bertahun-tahun condong pada karya-karya yang dapat dijual ke massa yang besar, karena modal yang diperlukan untuk membuat karya tersebut – seperti film – juga besar, dipengaruhi juga oleh biaya yang diperlukan untuk pemasaran dan distribusi.

Dengan skala yang lebih kecil, dan pengeluaran biaya yang lebih rendah untuk pemasaran dan distribusi, harusnya ada tempat untuk kreator-kreator yang memiliki massa tak lebih dari 1000 followers sekalipun.

Untuk saya, NFT ataupun teknologi apapun yang akan datang untuk meramaikan pengalaman hiburan kita, hanya sebagian dari strategi atau produk yang perlu dipikirkan untuk karier berkarya yang berkesinambungan.


Disclosure: tulisan tamu ini dibuat oleh Ario Tamat. Ario adalah Co-Founder dan CEO Karyakarsa, platform apresiasi kreator Indonesia. Ia bisa dikontak di ario [at] karyakarsa [dot] com.

Menyambut Metaverse: Peluang Inovasi dan Kekhawatiran yang Membuntuti

Secara sederhana, metaverse didefinisikan sebagai sebuah dunia baru yang sepenuhnya virtual. Berbagai hal yang ada dalam dunia nyata akan ada versi virtualnya, termasuk barang-barang fisik seperti bangunan, karya seni, televisi dll; maupun yang bersifat sistem, seperti pembayaran, telekomunikasi, asuransi, dan mungkin regulasi. Representasinya juga mungkin akan lebih bagus dibandingkan konten digital yang sudah kita nikmati sejauh ini, karena mengandalkan teknologi Virtual Reality (VR).

Realisasinya bisa saja lebih cepat dari yang kita bayangkan. Perusahaan teknologi seperti Facebook, Microsoft, dan yang lain telah berinvestasi besar-besaran dengan harapan bisa menjadi penyedia dari platform yang melandasi metaverse tersebut – untuk tidak menyebutnya sebagai penguasa dunia virtual tersebut nantinya. Banyak yang sudah bersiap-siap untuk turut andil dalam dunia baru tersebut, namun tidak sedikit yang belum paham, bahkan belum tahu sama sekali tentang metaverse ini.

Gambaran aktivitas di metaverse

Sama seperti di kehidupan yang kita jalani sekarang, di metaverse semua aset virtual di dalamnya dapat dimiliki seseorang. Jika di dunia nyata orang membeli tanah untuk ditempati sebagai rumah, di metaverse orang juga akan bisa membeli lahan virtual untuk dijadikan tempat singgahnya. Pun demikian lukisan yang dipajang di rumah kita, di metaverse kita bisa membeli lukisan virtual yang dapat kita pajang di aset yang kita miliki.

Infrastruktur proses ekonomi tersebut dilandasi teknologi blockchain, dengan salah satu sistem yang sudah mulai tenar akhir-akhir ini, yakni Non-Fungible Token (NFT). NFT memungkinkan sebuah aset virtual untuk diikat kepemilikannya oleh seseorang – yang sebenarnya konsepnya sama dengan sertifikat tanah. Tanah itu mungkin bisa ditempati siapa saja, tapi pemiliknya adalah orang yang ada di sertifikat tersebut. Pun gambar-gambar virtual yang mungkin bisa disimpan dan digunakan banyak orang. Pemiliknya adalah yang tercatat di sistem kontrak NFT.

Kegiatan lainnya pun bisa saja terjadi, seperti bisnis, hiburan, dan sebagainya. Digadang-gadang metaverse akan menawarkan berjuta kesempatan aktivitas baru [termasuk ekonomi] yang mungkin sebelumnya tidak pernah ada. Contoh sederhananya, ketika ada yang membangun rumah di metaverse, tentu ada yang butuh jasa orang lain untuk mempercantik rumah tersebut – mungkin nanti akan ada desainer interior khusus mendesain rumah virtual di metaverse.

Diyakini banyak orang akan bergabung di metaverse, layaknya orang yang kini berbondong-bondong memasuki “kehidupan di media sosial”. Populasi yang besar, akan menciptakan cara-cara baru dalam berkehidupan. Mirip dengan yang disajikan ekosistem digital sekarang ini, misalnya sistem pendidikan berubah menjadi e-learning, jual-beli menjadi e-commerce, kesehatan jadi e-health, dan sebagainya. Nantinya akan ada versi metaverse untuk kegiatan-kegiatan seperti itu.

Pada intinya, metaverse akan menawarkan cara-cara baru bagi seseorang untuk melakoni kehidupannya. Bukan tidak mungkin hal yang ada di film “Ready Player One” akan kita rasakan, saat orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia virtualnya. Apa yang ada sekarang ini memang masih sebatas konsep belaka, karena memang metaverse tersebut belum benar-benar ada. Meskipun demikian, beberapa infrastruktur penyangganya mulai bisa diakses pengembang dan semua orang.

Siapa cepat, dia dapat

Yang diupayakan para inovator teknologi saat ini adalah berlomba-lomba untuk terlebih dulu menghadirkan “planet baru” tersebut. Dengan harapan tempat itu yang akan dihuni oleh orang-orang, bersama dengan ekosistem aset metaverse yang ada. Tentu, dengan menyediakan platform, perusahaan tersebut menjadi yang paling diuntungkan. Untuk itu tidak heran jika puluhan triliun Rupiah dana digelontorkan untuk melakukan R&D tentang metaverse.

Kita, sebagai konsumen, mungkin juga termotivasi untuk menjadi early adopter NFT. Mereka berinvestasi untuk menyiapkan kehidupan barunya di metaverse, yang diyakini aset-aset tersebut akan lebih bernilai di sana. Mereka belajar dari harga Bitcoin, yang sangat rendah di fase awal kemunculannya sampai bertahun-tahun, namun melambung sangat tinggi di beberapa tahun terakhir seiring dengan fungsinya sebagai alat transaksi yang mulai diakui. Namun apa daya, tidak semua orang telah memiliki pemahaman, akses, kemampuan untuk turut andil di fase awal metaverse ini.

Sayangnya, belum ada satu negara pun yang memiliki regulasi tentang metaverse. Hal ini sebenarnya juga sudah terjadi sejak awal media sosial muncul. Kala itu semua yang ada di sana bebas, tidak ada regulasi secara khusus yang mengatur. Seiring berjalannya waktu, baru ada regulasi yang mengatur, misalnya terkait batasan ketika berpendapat. Yang lebih menyeramkan, dunia baru ini seperti tidak akan memiliki batasan, karena pada dasarnya metaverse memiliki banyak universe.

Kekhawatiran terbesar

Mungkin akan ada yang bilang, “dengan kondisi tersebut, metaverse tidak untuk semua orang”. Pernyataan tersebut mungkin juga relevan pada awal tahun 2010-an, ketika saat itu penetrasi ponsel pintar dan internet belum sebesar sekarang, media sosial dikatakan bukan untuk semua orang. Berbeda dengan saat ini, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, orang tua semua berbaur dalam media sosial untuk saling berinteraksi, berbagi, dan berkomunikasi.

Jika hambatan penetrasi metaverse adalah perangkat VR, tidak menutup kemungkinan akan ada inovasi produk yang memungkinkan perangkat tersebut menjadi sangat terjangkau dan menjadi kebutuhan yang lebih mendesak, seperti ponsel pintar.

Jika metaverse datang lebih cepat, ia akan hadir di tengah proses edukasi literasi digital yang belum tuntas, di tengah literasi finansial yang belum menyeluruh. Bukan tidak mungkin jika gap yang ada saat ini justru menjadi lebih lebar, memberikan peluang kepada orang-orang yang sudah berkecukupan, namun melahirkan tantangan baru bagi mereka-mereka yang seharusnya membutuhkan bantuan. Toh keberhasilan di dalam dunia teknologi selalu didasari dengan kesigapan dalam mengadopsi.

Saya pribadi jadi merasa khawatir. Di sisi lain, belum rampung dengan urusan kehidupan nyata yang sedang dijalani saat ini. Lantas, apakah sudah harus memaksakan diri masuk ke hiruk-pikuk adopsi metaverse, bahkan saat saya sendiri belum memahami manfaatnya. Sebuah kegamangan untuk menyambut masa depan. Memang, investasi selalu punya risiko, pun investasi untuk masuk ke metaverse lebih awal. Perasaan takut tertinggal [dalam artian tidak bisa beradaptasi secara cepat] di dunia baru tersebut kini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang-orang yang memikirkan, memikirkan bagaimana cara hidup di metaverse.

Peluang inovasi

Teknologi selalu menghadirkan sebuah disrupsi, dari skala yang sangat kecil sampai ke sesuatu yang mempengaruhi masyarakat luas. Disrupsi sendiri erat kaitannya dengan inovasi, yakni proses melahirkan cara-cara baru yang jauh lebih efisien dari mekanisme yang ada sebelumnya. Tentu kita ingat mengapa produk payment gateway dilahirkan; karena ada kebutuhan akses ke sistem pembayaran yang ringkas untuk memfasilitasi transaksi di sistem e-commerce.

Menawarkan dunia baru, cara-cara baru, metaverse diyakini akan melahirkan peluang baru untuk berinovasi. Para pengembang akan ditantang, bagaimana melahirkan pengalaman berbisnis yang baik di dunia virtual 3D, bagaimana membangun sistem pengajaran dan pendidikan yang nyaman dengan keterbatasan aktivitas fisik, bagaimana sistem perdagangan dikonsep ulang dengan pengalaman pelanggan yang baru, dan lain-lain. Istilah “startup digital” yang trendi saat ini bisa jadi menjadi “startup metaverse” di kemudian hari.

Epilog

Sebagai orang yang mengikuti perkembangan teknologi, saya pribadi selalu tertarik untuk melihat kejutan-kejutan inovasi berikutnya. Setiap tahun saya menyimak konferensi yang diadakan raksasa teknologi, seperti Google, Apple, atau Microsoft; mengagumi produk-produk teknologi yang akan makan digandrungi masyarakat. Karena saya sendiri merasakan betul manfaat dari alat-alat teknologi tersebut.

Entah mengapa metaverse ini memberikan kesan yang beda. Sebuah perasaan yang menyiratkan ketidaksiapan menyambut era baru teknologi tersebut. Bisa jadi saya yang terlalu berburuk sangka dengan kompleksitas yang ditimbulkan oleh dunia virtual tersebut; atau saya yang terlalu mencari-cari tahu sesuatu yang sebenarnya belum memiliki bentuk pasti lalu “overthinking”. Namun layaknya inovasi teknologi yang bisa mengubah kehidupan banyak orang menjadi lebih baik, saya punya pengharapan besar metaverse tidak membuat kekhawatiran –mungkin dirasakan banyak orang juga di luar sana—tersebut terjadi.

[Seri NFT] Memahami Alasan NFT Lahir dan Kenapa Ia Dibutuhkan

Memahami suatu teknologi baru tidak selalu membutuhkan penjelasan yang rumit, termasuk saat ingin mengerti apa itu NFT (non-fungible token). Dari sekian banyak literatur yang mencoba untuk menjelaskan NFT, mungkin pendekatan secara filsafat ini bisa dimengerti: NFT punya korelasi kuat dengan sifat alamiah seorang manusia, yaitu keinginan untuk memiliki sesuatu.

Kelahiran NFT awal mulanya karena pengembangan dari inovasi teknologi blockchain. Namun, bila ditarik mundur jauh sebelum itu, bahkan saat manusia purba, cara untuk bertahan selain mencari makan ada prioritas lainnya, yakni memiliki teritori dengan melabelinya sebagai tanda bahwa itu adalah miliknya.

Dalam evolusi manusia berikutnya, di masa modern, banyak inovasi yang bisa menemukan mana sesuatu yang dimiliki oleh tiap manusia. Sampai-sampai muncul kepemerintahan di suatu teritori yang menciptakan mata uang untuk bertransaksi, demi menentukan barang apa milik siapa.

“Kenapa NFT exist karena manusia pada dasarnya ingin memiliki sesuatu. Ini memang sifat dasar manusia yang ingin memiliki, itu paling fundamental. Jadi ini bukan soal teknologi, tapi lebih ke sosial. Sehingga sudah sewajarnya NFT itu exist dan jauh ke depannya akan jadi bagian dari setiap lini kehidupan manusia,” terang CEO Kolektibel Pungkas Riandika.

Dengan pemahaman mendasar seperti ini, artinya tidak perlu repot mendalami teknologi blockchain dan turunannya. Bila dicontohkan lagi, di kelas ekonomi ke atas misalnya, mayoritas orang-orangnya memiliki sesuatu yang bersifat non-fungible, alias berharga yang memiliki nilai emosi yang tidak bisa dihargai dengan uang. Itu adalah NFT.

Berikutnya, untuk strategi pemasaran yang ingin melekatkan unsur non-fungible juga bisa diterapkan. Seperti yang dilakukan oleh IKEA saat menjual perabotan rumah tangga yang sebenarnya itu adalah barang fungible. Mereka memanfaatkan kursi yang dibuat oleh desainer dari Swedia sebagai strategi branding untuk membuatnya lebih berharga dan langka daripada kursi yang dibuat oleh orang lain.

“Strategi branding mereka sukses membuat para pembeli harus segera memilikinya. Jadi strategi [dengan konsep NFT] itu sudah ada sejak dulu. Sampai akhirnya, muncul dalam teknologi blockchain, melahirkan OpenSea dan sebagainya. Kami percaya dan memfokuskan diri mengembangkan Kolektibel sebagai e-commerce NFT untuk kehidupan sehari-hari.”

Oleh karena itu, dalam praktek Kolektibel yang ingin meramahkan NFT, perusahaan menganut konsep decentralized finance (DeFi) yang menggunakan mata uang fiat untuk bertransaksi NFT. Dengan kata lain, dengan mata uang yang berlaku di negara tersebut, para pengguna dapat bertransaksi NFT. Bahkan, perusahaan terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja Gopay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat bayar melalui Alfamart, dan Indomaret.

NFT sebagai status diri

Perlahan tapi pasti NFT akan dibuat menjadi lebih mainstream, ditandai dengan beragamnya perusahaan dari berbagai vertikal, termasuk ritel barang mewah, terjun ke sana. Tujuannya bukan untuk memperkenalkan NFT, tapi karena sudah menganggap NFT sebagai status diri, sebuah identitas diri digital.

NFT-NFT yang dibeli, lalu dikumpulkan, itulah yang membuatnya menjadi status diri siapa pemiliknya. Orang-orang bisa mengidentifikasi seseorang saat melihat koleksi NFT, hal ini sebenarnya sudah terjadi di dunia fisik. Menilai pribadi orang dari koleksi dan kesukaannya terhadap sesuatu karena unik dan punya memori yang tidak bisa dinilai dengan uang.

“NFT itu bukan mata uang. Sama seperti di dunia sebenarnya. Orang yang punya uang apa iya dipamerkan uangnya? Pasti yang diperlihatkan adalah tasnya merek apa, sepatunya merek apa, itulah fungsi NFT nantinya. Bisakah hidup tanpa brand? Sepertinya susah karena manusia itu butuh pamer. Itu sudah jadi sifat dasar.”

Maka dari itu, NFT berkaitan erat dengan metaverse. Di dalam dunia metaverse akan menjadi dunia tersendiri yang memiliki koleksi digital sendiri, dari ujung kaki hingga rambut yang melekat di avatar tersebut. Di dalam dunia tersebut, avatar dapat memiliki dunia bertemu dengan orang dari belahan manapun dan melakukan berbagai aktivitas.

Bahkan dalam pemahaman yang lebih futuristik, mengutip dari Dr. Michio Kaku, seorang fisikawan teoritis dan penulis buku, dia mencoba berspekulasi tentang apa yang akan terjadi di 2050. Dalam salah satu kutipannya, ia mengatakan bahwa pada masa depan setiap manusia akan memiliki digital immortality. Artinya, manusia dapat tetap hidup selamanya dengan adanya identitas digitalnya, meski jiwa dan raganya sudah tiada.

Dia menjelaskan, meskipun seseorang sudah meninggal secara fisik, tapi orang tetap bisa merasakan kehadirannya secara digital, yang didukung oleh melesatnya inovasi di bidang neuroscience dan kecerdasan buatan. Bahkan dalam pandangan ia untuk jangka waktu yang lebih jauh lagi, 10 ribu tahun lagi warga bumi akan pindah ke planet lain.

“Itulah mengapa Jeff Bezos, Elon Musk berlomba-lomba ke luar negeri dalam rangka menyiapkan sekoci penyelamat pada saat perubahan iklim tidak bisa dibendung lagi. Jawabannya dengan memindahkan ke planet terdekat, ini ada hubungannya dengan digital immortality,” tutup Pungkas.

Disclosure: Rubrik “Seri NFT” ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan Kolektibel

NFT Collectors: An Ancient Dream to Directly Support Creators

Before NFT happens, the appreciation form for an artist’s or collector’s work was usually transactional or one-way. For example, purchasing art through a gallery. Collectors rarely have direct access to the artists. In fact, it is often the galleries that try to cut-off on possibilities like this for one reason or another.

NFT offers the two-way connection. Everyone connected to the internet can access NFT collection on various global marketplace platforms. One example, in SuperRare, an ID @colborn is the collector with the largest transaction. He purchased 204 NFT works produced by 17 creators for $166,264, his biggest purchase was worth of $44,226.

In an interview with DailySocial, NFT collectors agreed that ownership and direct support for creators by purchasing their works are NFT’s superior value, which previously did not exist in the physical world. Thus, it is not just any form of investment.

For creators, the NFT also benefits them due to a fair royalty system applies when the work is sold on the secondary market. This had never happened before.

“NFT brings out ownership. In the physical world, every purchase will get a certificate. If it’s lost, it’ll be hard to prove that we are the owner. With NFT, everything is traceable. The future idea for artists and creators in general is the creation of ideal conditions as there has been inequality in the traditional system, where the gallery is bigger than the artist. NFT will set it on the same level, hopefully that’s the case,” Detty Wulandari, a local art and NFT collector said.

Detty herself was a fan of art, long before NFT exist. Various works of art, paintings and sculptures by artists have adorned all the walls of her house. She started learning about NFT autodidactically since April this year, considering that there were not many Indonesian-friendly literatures at that time. The rooms created by users of the Clubhouse social audio platform also help her understanding NFT better.

Due to her high curiosity, she tried various global NFT marketplace platforms. To date, she has used more than 10 platforms to buy NFT. Those include Nifty Gateway, Rarible, SuperRare, OpenSea, KnownOrigin, Mirror, Kalamint, also objkt has captured her attention.

“The UI and display are very influential, especially for new collectors. I’ve tried everything, and personally like OpenSea, it’s easy to use also for purchasing and reselling. It is like an aggregator, all my NFT collections under Ethereum–even the ones outside of OpenSea can be displayed. Unfortunately, it’s not otherwise.”

Detty is not alone, Irzan Raditya, Kata.ai’s Co-founder and CEO, has been very invested in NFT since August 2021. He personally is a collector of real goods, such as superhero comics published by Marvel & DC Comics, and action figures. He said, there are lots of things about NFT he need to learn, considering the fast pace of innovation in the web3 world.

“Currently I am still learning and exploring several NFT collections with various utilities on the roadmap, ranging from pure PFP (Profile Picture), P2E Game (Play2Earn), DeFi (Decentralized Finance), and several collections that guarantees IRL (In Real Life) utility.”

Moselo’s Co-founder and Commissioner, Richard Fang shared the same reason. As the form of fondness of a creator, purchasing the works is part of the support. Moreover, he believes that NFT will be used as membership access and associated with physical goods as well in the future. “So, the potential is quite extensive,” he said.

Market education is necessary

Irzan also mentioned, the local NFT platform has blown a fresh air to mainstream the NFT in Indonesia. He also emphasized that the platform can help educate the wider community about NFT, both by paving the way for creators and IP owners to trade their work. Also, making it easier for collectors to buy a collection using local payment methods, such as bank transfers and e-wallet.

“Hopefully, the adoption will be broad. Also, the price will be more competitive i order to reduce entry barrier,” Feng added.

KaryaKarsa’s Co-Founder and CTO, Aria Rajasa spoken as an NFT collector. He said, the NFT development in Indonesia is still premature, it’s not really different with the global market.

Therefore, even though there are local platforms, he encourages creators not to limit themselves to the scope of their target market because there are many local creators who are successful in the global market. “Maybe in the next 5-10 years it will be more mainstream,” he said.

Aria uses the OpenSea platform to buy NFT that he considered “speaks to me”.

“Some of my favorite creators have their own style of work that I like and that is the reason why I collect their works. It’s fun being a part of the creator’s tribe.”

Meanwhile, Detty mentioned about the essential of market education. In fact, she still finds many people who misunderstood the jargons used by NFT players using the phrase “auto cuan” and other similar words. “It’s a misunderstanding, it doesn’t mean that people who buy it are definitely rich, or the creators can automatically sell out. Education is very important.”

Detty also expects the current local platform will always prioritize decentralization spirit as promoted by NFT. This means that everyhing is at the same level, unlike the previous concept that suppressed artists/creators. In other words, the rules for commissions and so on need to be as fair as possible and not for one-party only benefit.

“If the marketplace is new but the orientation is purely business-oriented, it will eventually put pressure on artists. It’s such a bummer because it’s not going to be okay in the long run.”

Detty’s statement is true about investing in NFT. An interesting report by Chainalysis shows that there is no guarantee on NFT investment.

OpenSea’s transaction data shows that only 28.5% of NFT bought during minting and then sold on the platform makes a profit. Moreover, buying NFT on the secondary market from other users and reselling it, however, makes a profit 65.1% of the time.

The advantage of selling NFT basically depends on the existence of the community and word of mouth strategy. Almost all successful NFT projects are fully supported by fans who make reviews on Discord and Twitter as a form of promotion. It occurs because it has been designed that way.

Creators typically start promoting a new project long before the first asset is released, gathering  a dedicated fanbase that helps promote the project from the beginning. Furthermore, he will reward those dedicated followers by adding them to a whitelist which allows them to buy new NFTs at significant lower price than other users during the minting period.

Whitelisting isn’t just a nominal reward — it’s a guarantee of a much better investment return. OpenSea data shows that users who whitelist and then sell their newly minted NFTs earn 75.7% profit, compared to only 20.8% for users who do so without being whitelisted.

In addition, data shows that it is nearly impossible to achieve huge returns for scoring purchases without being whitelisted. The chart below categorizes newly minted NFT sales into buckets based on the ROI achieved by collectors, expressed in multiples of initial investment, with whitelisted collectors buying during printing compared to those who did not whitelist.

NFT Outlook

Detty continued, as she explained previously, in the physical world, the gallery seldom provide communication between collectors and creators. There are even those who cut off the relationship between the collector and the creator, no direct contact. All processes are carried out in secret, some are even anonymous.

However, NFT creates a new habit as collectors and creators can open up and directly communicate with each other, considering the collectors directly purchased from wallets that are connected to creators. “This is very different, NFT collectors are happy to announce the work they’ve bought. This is good for the artist too as it provides communication. For example, when a collector wants to sell it again on the secondary market. Usually, if it is an only piece, there will be a discussion about the selling price. We can ask their opinion to make it more equal.”

Irzan also said that the relationship between the collector or the community of an NFT collection is more than just a buyer, but can be considered as a believer of the creator. For creators who have an eternal royalty system, NFT allows them to have passive income along with selling their collections on the secondary market.

“In a way, NFT is “community-first business.” Everything will be based on the community because they are the creators’ key to success, not just another customer, but also a believer. How creators can work and create value for them. The key is one: make the lives of your community better. Because when a creator can help improve the standard of living of his community, then success will be easier to achieve.”

Irzan said an example, a real example can be seen through the Play-to-Earn (P2E) game Axie Infinity which is based on blockchain and NFT. They help residents in the Philippines earn an income by playing games. As a result, their monthly income is higher than the minimum wage in their country.

The second example, one of the Bored Ape Yacht Club (BAYC) blue chip NFT collections offer an initial price of one NFT with only 0.08 ETH or around $300 when they launched 10,000 collection in April 2021. To date, the asset’s lowest price has skyrocketed to 45 ETH, or about $190,000, increased by 300 times in seven months.

“Eventually, in my opinion, through the rise of NFT, we are arriving at a tectonic shift how blockchain and cryptocurrency technology can reach the wider community, and NFT is not only present as a collection, but also provides opportunities for equitable distribution of people’s living standards in the era of decentralized economy both for creators as well as collectors/communities,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolektor NFT: Impian Lama Mendukung Kreator Secara Langsung

Sebelum NFT hadir, bentuk menghargai suatu karya seniman atau kolektor biasanya berbentuk transaksional alias satu arah. Bila membeli karya seni lewat suatu galeri misalnya, kolektor jarang sekali mendapat akses untuk berkomunikasi langsung dengan seniman. Bahkan tak jarang galeri berusaha untuk memutus kemungkinan-kemungkinan seperti ini karena satu lain hal.

Koneksi dua arah inilah yang ditawarkan NFT. Seluruh orang yang terhubung dengan internet dapat mengakses koleksi NFT milik kolektor siapapun di berbagai platform marketplace global. Ambil contoh, di SuperRare, saat ini ID bernama @colborn menjadi kolektor dengan transaksi terbesar. Ia membeli 204 karya NFT yang dihasilkan oleh 17 kreator senilai $166,264, pembelian terbesarnya adalah membeli karya seharga $44,226.

Dalam wawancara bersama DailySocial, para kolektor NFT sepakat bahwa kepemilikan dan memberi dukungan secara langsung kepada kreator dengan membeli karyanya adalah nilai unggul dari NFT, yang sebelumnya tidak hadir di dunia fisik. Jadi, bukan sekadar bentuk investasi semata saja.

Pun bagi kreator, kehadiran NFT juga menguntungkan mereka karena berlaku sistem royalti yang adil ketika karya mereka dijual di pasar sekunder. Penawaran tersebut sebelumnya nihil terjadi.

“Di NFT itu bicara mengenai ownership. Di dunia fisik, setiap beli karya seni dapat sertifikat. Kalau itu sudah hilang, susah carinya untuk sekadar membuktikan bahwa kita ini pemiliknya. Tapi di NFT itu bisa dilacak. Ke depannya yang terbayang buat seniman dan kreator pada umumnya adalah terciptanya kondisi ideal karena selama ini terjadi ketidaksetaraan di sistem tradisional, di mana galeri itu di atas seniman. Tapi di NFT jadi satu level yang sama, mudah-mudahan bisa begitu,” ucap Detty Wulandari, kolektor lokal karya seni dan NFT.

Detty sendiri termasuk penggemar karya seni, jauh sebelum NFT hadir. Berbagai karya seni lukisan dan patung karya seniman telah menghiasi seluruh dinding rumahnya. Ia mulai mempelajari tentang NFT sejak April tahun ini secara autodidak, mengingat saat itu belum banyak literasi yang ramah berbahasa Indonesia. Rooms yang dibuat oleh pengguna platform audio social Clubhouse juga turut membantunya lebih mudah memahami NFT.

Berkat rasa keingintahuannya yang tinggi, berbagai platform marketplace NFT global ia jajal. Terhitung ada lebih dari 10 platform telah ia gunakan untuk membeli NFT. Nama-nama seperti Nifty Gateway, Rarible, SuperRare, OpenSea, KnownOrigin, Mirror, Kalamint, hingga objkt tak luput dari perhatiannya.

“Tampilan dan UI sangat berpengaruh, apalagi buat kolektor baru. Karena semua sudah coba, secara personal suka dan mudah dipakai untuk dibeli dan dijual kembali itu OpenSea. Karena di sana seperti agregator, bisa menampilkan semua NFT koleksi saya yang di bawah Ethereum–di luar OpenSea sekalipun. Tapi kalau sebaliknya tidak bisa.”

Tak hanya Detty, Irzan Raditya, Co-founder dan CEO Kata.ai, juga turut menaruh minatnya terhadap NFT sejak Agustus 2021. Secara personal, ia adalah kolektor barang-barang riil seperti komik-komik superhero terbitan Marvel & DC Comics, hingga action figures. Menurutnya, masih banyak ilmu yang perlu ia pelajari di NFT, mengingat laju inovasi di dunia web3 ini begitu pesat.

“Saat ini saya masih belajar dan sedang mengeksplor beberapa koleksi NFT dengan berbagai macam utility pada roadmap mereka, mulai dari pure PFP (Profile Picture), P2E Game (Play2Earn), DeFi (Decentralized Finance), sampai beberapa koleksi yang menjanjikan IRL (In Real Life) utility.”

Alasan yang sama diutarakan Richard Fang, Co-founder dan Komisaris Moselo. Sebagai bentuk kegemarannya terhadap karya suatu kreator, membeli karyanya adalah bagian dari bentuk dukungan yang ia berikan. Terlebih itu, di masa depan ia meyakini bahwa NFT akan digunakan sebagai akses membership dan dihubungkan dengan barang fisik juga. “Jadi potensinya masih sangat banyak,” katanya.

Edukasi perlu digalakkan

Irzan melanjutkan, kehadiran platform NFT lokal sebenarnya membawa angin segar untuk meng-mainstream-kan NFT di Indonesia. Satu hal yang ia tekankan adalah platform tersebut bisa bantu mengedukasi masyarakat lebih luas mengenai NFT, baik membuka jalan bagi para kreator dan pemilik IP untuk memperjual-belikan karyanya. Serta, mempermudah aksesibilitas bagi para kolektor untuk membeli suatu koleksi dengan metode pembayaran lokal, seperti bank transfer dan e-wallet.

“Harapannya agar adopsinya lebih banyak lagi ya. Dan mungkin secara harga juga akan lebih murah sehingga entry barrier nya tidak terlalu tinggi,” tambah Richard.

Aria Rajasa, Co-Founder dan CTO KaryaKarsa turut memberikan pendapatnya sebagai kolektor NFT. Menurutnya, perkembangan NFT di Indonesia masih terlalu dini, bahkan kondisi yang sama juga di pasar global.

Oleh karenanya, meski sudah ada platform lokal, ia mendorong kepada kreator agar tidak perlu membatasi diri dengan cakupan target pasarnya karena ada banyak kreator lokal yang sukses berkarya di kancah internasional. “Mungkin dalam 5-10 tahun ke depan bisa lebih mainstream,” ujarnya.

Aria menggunakan platform OpenSea untuk membeli karya NFT yang dianggap “speaks to me”.

“Beberapa kreator yang saya suka punya gaya berkarya tersendiri yang saya suka dan itu menjadi alasan saya untuk mengoleksi karya-karyanya. Serunya adalah menjadi bagian dari tribe kreator tersebut.”

Sementara itu, Detty berujar mengenai pentingnya edukasi pasar. Lantaran, ia masih melihat masih banyak orang yang salah kaprah dengan jargon-jargon yang digunakan pemain NFT dengan frasa “auto cuan” dan kata-kata senada lainnya. “Itu salah kaprah, bukan berarti orang beli sudah pasti kaya, atau kreator jual karyanya langsung laku. Edukasi itu penting banget.”

Detty juga berharap pada platform lokal yang ada saat ini untuk selalu mengedepankan spirit desentralisasi seperti yang diusung oleh NFT. Artinya, semua berada di level yang sama, bukan seperti kondisi dulu yang menekan seniman/kreator. Dengan kata lain, peraturan pembagian komisi dan sebagainya perlu dibuat seadil mungkin dan tidak menguntungkan satu pihak saja.

“Kalau marketplace baru tapi orientasinya pure ke bisnis, itu akhirnya akan menekan seniman. Itu enggak banget karena in the long run enggak bakal oke.”

Pernyataan Detty ini ada benarnya soal investasi di NFT. Laporan yang menarik diungkap oleh Chainalysis menunjukkan bahwa investasi NFT jauh dari kata pasti.

Data transaksi dari OpenSea menunjukkan hanya 28,5% dari NFT yang dibeli selama minting dan kemudian dijual di platform menghasilkan keuntungan. Kemudian, membeli NFT di pasar sekunder dari pengguna lain dan menjualnya kembali, bagaimanapun, menghasilkan keuntungan 65,1% dari waktu.

Keuntungan menjual NFT ini pada dasarnya bergantung pada keberadaan komunitas dan strategi word of mouth. Hampir semua proyek NFT yang sukses didukung penuh penggemar yang membuat ulasan di Discord dan Twitter sebagai bentuk promosinya. Kondisi ini terjadi karena sudah didesain seperti demikian.

Kreator biasanya mulai mempromosikan proyek baru jauh sebelum aset pertama dirilis, mengumpulkan penggemarnya yang berdedikasi yang membantu mempromosikan proyek sejak awal. Kemudian, dia akan memberi penghargaan kepada pengikut yang berdedikasi itu dengan menambahkan mereka ke daftar putih (whitelist) yang memungkinkan mereka untuk membeli NFT baru dengan harga yang jauh lebih rendah daripada pengguna lain selama masa minting.

Daftar putih bukan hanya hadiah nominal — namun menjadi jaminan hasil investasi yang jauh lebih baik. Data OpenSea menunjukkan bahwa pengguna yang membuat daftar putih dan kemudian menjual NFT yang baru dicetak memperoleh keuntungan 75,7%, dibandingkan hanya 20,8% untuk pengguna yang melakukannya tanpa masuk daftar putih.

Tidak hanya itu, data menunjukkan bahwa hampir tidak mungkin untuk mencapai pengembalian yang terlalu besar untuk mencetak pembelian tanpa masuk daftar putih. Bagan di bawah ini mengelompokkan penjualan NFT yang baru dicetak ke dalam ember berdasarkan ROI yang dicapai kolektor, yang dinyatakan dalam kelipatan investasi awal, dengan kolektor yang masuk daftar putih yang membeli selama pencetakan dibandingkan dengan mereka yang melakukannya tanpa masuk daftar putih.

Outlook NFT

Detty melanjutkan, seperti yang ia ceritakan di bagian awal, di dunia fisik seringkali hubungan antara kolektor dengan kreator tidak disediakan oleh galeri. Bahkan ada yang sampai memutus hubungan antara kolektor dengan kreator jangan sampai ada kontak langsung. Semua proses dilakukan secara sembunyi, bahkan ada yang sampai anonim.

Akan tetapi, dengan kehadiran NFT menimbulkan kebiasaan baru karena kolektor dan kreator dapat saling terbuka dan berhubungan langsung, mengingat kolektor membeli langsung ke wallet yang terhubung dengan kreator. “Ini beda banget, kolektor NFT senang mengumumkan karya yang mereka beli. Ini baik buat senimannya juga karena ada komunikasi. Contoh saat kolektor mau jual lagi di secondary market, kalau karyanya hanya satu piece, biasanya suka ada diskusi soal harga jualnya. Kita bisa minta pendapat ke mereka biar lebih setara.”

Irzan turut menambahkan, hubungan kolektor atau komunitas dari suatu koleksi NFT lebih dari sekadar sebagai pembeli, tapi bisa dianggap sebagai believer dari kreator tersebut. Bagi para kreator yang memiliki sistem royalti yang bersifat kekal, NFT memungkinkan mereka memiliki passive income seiring dengan penjualan koleksi mereka di pasar sekunder.

“Di satu sisi, NFT adalah “community-first business.” Semuanya akan berpijak pada komunitas karena mereka adalah kunci kesuksesan bagi para kreator, tidak hanya memandang komunitas sebagai pelanggan, namun juga believer. Bagaimana para kreator bisa berkarya dan menciptakan value untuk mereka. Kuncinya hanya satu: make the lives of your community better. Karena ketika seorang kreator dapat membantu meningkatkan taraf hidup komunitasnya, maka kesuksesan pun akan lebih mudah dicapai.”

Irzan pun mencontohkan, contoh nyatanya bisa dilihat lewat Play-to-Earn (P2E) game Axie Infinity yang berbasis blockchain dan NFT. Mereka membantu penduduk di Filipina mendapatkan penghasilan dengan cara bermain game. Hasilnya pendapatan mereka dalam sebulan lebih tinggi dari UMR di negaranya.

Contoh kedua, pada salah koleksi NFT blue chip Bored Ape Yacht Club (BAYC) awalnya harga satu NFT nya hanya 0.08 ETH atau berkisar $300 ketika 10.000 koleksi mereka diluncurkan pada bulan April 2021 lalu. Sekarang harga aset terendah sudah meroket menjadi 45 ETH, atau sekitar $190,000 naik 300 kali lipat dalam kurun waktu tujuh bulan.

“Pada akhirnya menurut saya, melalui maraknya tren NFT ini kita sedang tiba di dalam suatu tectonic shift bagaimana teknologi blockchain dan cryptocurrency bisa menyentuh masyarakat luas, dan NFT tidak hanya hadir sebagai koleksi, namun juga memberikan kesempatan pemerataan taraf hidup masyarakat di era decentralized economy baik bagi para kreator dan juga para kolektor/komunitas,” pungkasnya.

Misi Vexanium Perkuat Ekosistem Blockchain di Indonesia

Sempat berkiprah di awal mula perkembangan startup Indonesia melalui Evoucher, Danny Baskara–yang sejak lama memiliki ketertarikan di dunia kripto dan blockchain–pada tahun 2019 meluncurkan Vexanium sebagai sebuah public blockchain lokal.

Membangun infrastruktur blockchain, Vexanium menyediakan beberapa fitur teknologi berbasis blockchain yang bisa dimanfaatkan entitas digital. Mereka juga memiliki token digital sendiri yang bernama Vexanium Coin atau Vex.

Vexanium sebagai public blockchain merupakan organisasi DAO pertama di Indonesia. Berada di bawah entitas Yayasan Vexanium Teknologi Nusantara, tahun 2022 mendatang mereka memiliki beberapa rencana yang ingin dicapai, sesuai dengan semangat desentralisasi komunitas dan bagaimana pengguna bisa tumbuh bersama.

Pasar blockchain Indonesia

Masih rendahnya kepercayaan dan edukasi masyarakat Indonesia tentang kripto dan blockchain di tahun 2017 membuat Danny sempat enggan membangun bisnis berbasis blokchain. Namun, setelah mendapat nasihat dari salah satu mentor untuk mulai membangun infrastruktur kepada komunitas kripto di Indonesia, Danny memutuskan membangun infrastruktur blockchain yang bisa digunakan semua pemain lokal tanpa harus memanfaatkan platform asing.

Untuk mematangkan ide bisnisnya, Danny mempelajari lebih mendalam tentang kripto dan blockchain selama 5-6 bulan di Tiongkok. Akhirnya ia meluncurkan Vexanium dengan semangat membangun infrastruktur blockchain di Indonesia.

“Untuk blockchain sendiri ada dua kategori, yaitu bisnis yang berdasarkan project base dan infrastruktur. Untuk infrastruktur sudah jelas desentralisasi dan tidak ada pihak yang memiliki entitas ini, karena semua bisa menjadi miner dan berpartisipasi,” kata Danny.

Secara khusus terdapat tiga core di blockchain, yaitu Bitcoin, Ethereum dan EOSIO. Untuk memudahkan bisnis menggunakan Vexanium, model turunan teknologi yang digunakan Vexanium adalah EOSIO.

Di blockchain juga dikenal dua jenis model, yaitu Transaction Model dan Resource Model. Untuk Transaction Model, seperti Ethereum atau blockchain pada umumnya, fee setiap transaksi dibebankan kepada pengguna.

Sementara Resource Model adalah bisnis yang menyewa resource untuk memproses data (serupa dengan bisnis model hosting). Model ini lebih cocok ke bisnis yang sentralisasi atau bisnis yang tidak membebankan transaksi kepada pengguna.

“Kita percaya di masa mendatang akan ada dua pilihan di bisnis ini, yaitu pelanggan yang membayar atau bisnis yang membayar. Konsep ini kita yakin bisa dibawa kepada perusahaan yang nondesentralisasi. Ada proyek di bawah Vexanium yang tidak sepenuhnya desentralisasi,” kata Danny.

Ekosistem Vexanium / Vexanium

Ada beberapa fundamental yang bisa didisrupsi dari solusi berbasis blockchain. Yang pertama adalah bisnis yang berhubungan dengan finansial. Yang kedua adalah database yang dulunya bersifat sentralisasi, bisa didisentralisasi dengan menggunakan blockchain. Yang ketiga adalah yang berhubungan dengan sertifikasi, misalnya seperti NFT.

Di Indonesia sendiri saat ini ada tiga kategori jaringan publik yang populer. Mereka adalah Binance Smart Chain (BSC), Ethereum dan Vexanium. Menurut Danny, karena sifatnya lebih fleksibel, BSC menjadi pilihan terbanyak komunitas di Indonesia.

Tercatat saat ini sudah ada 50 entitas bisnis yang menggunakan Vexanium, termasuk tiga startup yang menghadirkan solusi berbasis NFT yang populer tahun ini, yaitu Kolektibel, Baliola dan Rivernity.

Rencana bisnis tahun depan

Berbeda dengan model bisnis pada umumnya yang mengenakan biaya untuk pemanfaatan teknologi dan produk, Vexanium–karena fokus pada basis komunitas–tidak menerapkan strategi monetisasi pada umumnya. Keunikan  ekosistem desentralisasi telah memberikan kesempatan agar monetisasi dibagikan sesuai dengan stakeholder. Pengguna juga bisa menjadi bagian dari komunitas.

“Idealnya pengguna yang memiliki kripto Vexanium bisa menikmati hasil tersebut juga. Dengan cara ini bisa membuat ekosistem lebih baik. Ketika pengguna puas mereka bisa membangun sesuatu di Vexanium. Itulah kelebihan dari desentralisasi,” kata Danny.

Ada beberapa target yang ingin dicapai yayasan di tahun 2022. Setelah sepanjang tahun ini fokus Vexanium adalah mengajak lebih banyak ekosistem berdiri di atas infrastrukturnya, tahun depan mereka berharap bisa menjembatani beberapa solusi blockchain.

Hal tersebut, menurut Danny, menjadi kelebihan solusi berbasis blockchain, yaitu bisa melakukan komunikasi antara yang satu dan yang lainnya. Ke depannya diprediksi tidak ada lagi batasan antara satu solusi blockchain dengan lainnya.

“Tahun 2022 kita juga ingin mengajak lebih banyak pengguna yang membangun smart contract di atas Ethereum dan BSC dengan basis Ethereum Virtual Machine (EVM) agar kemudian published di [infrastruktur] blockchain Vexanium. Secara teknis hal tersebut bisa dilakukan,” kata Danny.