Transformasi Digital Blue Bird, Perluas Akses Pesan Taksi dari Berbagai Aplikasi Konsumer

Blue Bird terus melakukan transformasi digital agar tetap relevan dengan kondisi terkini. Kali ini perseroan memperluas akses pesan taksi melalui berbagai aplikasi konsumer sehari-hari, setelah Gojek, kini masuk ke aplikasi Shopee dan Traveloka. Kerja sama dengan Shopee baru diresmikan kemarin (16/12).

Dalam keterangan resminya, strategi ini merupakan lanjutan dari realisasi perusahaan untuk pilar Multi Channel Reservation, dalam upaya memperluas aksesibilitas layanan Blue Bird yang dikombinasikan dengan ekosistem digital.

Fitur ini dapat ditemukan di ikon Pulsa, Tagihan & Hiburan, lalu masuk ke pilihan Transportasi & Akomodasi. Nanti akan ditemukan lambang Taksi untuk mulai memesan taksi Blue Bird terdekat. Pengguna Shopee juga dimanjakan dengan fitur pembayaran Split-Payment, memungkinkan pengguna dapat mengombinasi pembayaran melalui metode non-tunai digabungkan dengan koin Shopee.

Pun hal sama di Traveloka. Meski belum hadir secara resmi, pengguna Traveloka dapat menggunakan fitur QuickRide untuk memesan taksi. Lalu menggunakan ekosistem pembayaran non-tunai yang sudah tersedia di Traveloka untuk membayarnya.

Wakil Direktur Utama Blue Bird Andre Djokosoetono mengatakan, keberlanjutan kolaborasi bersama Shopee adalah bentuk nyata komitmen perusahaan dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat dalam mendapatkan mobilitas yang aman dan nyaman.

“Selama pandemi, kami terus berupaya menjadi semakin relevan dengan kebutuhan masyarakat. Saat ini, masyarakat semakin mendapatkan keleluasaan akses dalam menjangkau layanan Blue Bird,” ujarnya.

Head of Brands Management & Digital Products Shopee Indonesia Daniel Minardi menambahkan, fitur pemesanan taksi ini adalah bagian dari produk digital Shopee, diharapkan memberi kemudahan dan kenyamanan hidup pengguna dengan memanfaatkan satu aplikasi Shopee untuk berbagai kebutuhan.

Sebelumnya, kolaborasi Shopee dan Blue Bird sudah terjadi dua kali. Pertama, menghadirkan layanan pembayaran digital ShopeePay untuk para penumpang yang memesan taksi melalui aplikasi MyBlueBird. Kedua, peluncuran layanan Bluebird Kirim sebagai metode pengiriman yang mengutamakan ketepatan waktu dan keamanan barang dengan kapasitas daya angkut hingga 200 kg di aplikasi Shopee.

“Setelah kesuksesan kolaborasi kami sebelumnya dalam layanan Bluebird Kirim, kami dengan bangga kembali bermitra dengan Bluebird dalam fitur terbaru, yaitu pemesanan taksi yang dapat diakses melalui aplikasi Shopee,” kata Daniel.

Manuver Blue Bird masuk ke digital

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Blue Bird kini fokus menjadi Mobility-as-a-Service (MaaS) dengan tiga pendekatan utama, yakni penyedia multiplatform/channel, multiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya tak lain untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Direktur Utama Blue Bird Sigit Djokosoetono mengungkapkan bahwa pihaknya telah belajar banyak dari tahun 2020 dalam menyikapi pembatasan mobilitas masyarakat melalui berbagai program efisiensi untuk mengurangi beban Perseroan. Namun, di sisi lain, Bluebird mengklaim juga terus memberikan layanan yang aman nyaman dan higienis dengan menjalankan protokol kesehatan yang sangat ketat, serta memberikan kemudahan bagi customer untuk melakukan pemesanan taksi di berbagai platform dan makin mengembangkan alternatif pembayaran cashless yang makin diminati oleh masyarakat.

“Banyak perusahaan transportasi yang sudah bertumbangan akibat pandemi. Namun, fakta bahwa Bluebird masih bertahan dan terus mengembangkan bisnisnya adalah bukti dari kepercayaan masyarakat terhadap layanan Bluebird dan tata kelola perusahaan yang prudent serta berorientasi kepada customer,” jelas Sigit mengutip dari WartaEkonomi.

Dalam rangka itu, Blue Bird mulai masuk ke solusi logistik, bermitra dengan Paxel, Shopee, Union Group, Kem Chicks, KAI, dan lainnya. Bersama Paxel, disediakan kapasitas pengiriman maksimal 20 kg untuk pengiriman di hari yang sama dan esok hari, baik di dalam maupun luar kota memanfaatkan jaringan Blue Bird Group. Solusi tersebut kini sudah mencakup tak hanya Jabodetabek, tapi juga Bandung, Tasikmalaya, Purwokerto, Yogyakarta, Malang, hingga Denpasar.

Application Information Will Show Up Here

Analyzing Gojek’s Decision to Acquire Minority Ownership of Blue Bird

In the recent regulatory filing on February 14th, PT Blue Bird Tbk (Blue Bird) announced the operator’s holding company has sold 4.3% stock worth of $30 million (411 billion Rupiah) to the undisclosed buyer. Bloomberg named Gojek as a buyer, according to the rumor spread since the end of last year.

The public must be questioning the reason behind Gojek’s interest in Indonesian largest taxi company stocks. Based on our observation, there are certain points of concern when Gojek, in collaboration with Blue Bird trying to dominate the on-demand transportation services market in Indonesia.

Alliance and Innovation

The enemy of my enemy is my friend. Dealing with Grab and the large sum cash poured by its investors, including electric car development, the adage sounds legit as Gojek took (and tie) Blue Bird to join forces in “winning” the Indonesian market.

Grab has quite rapid innovation in Indonesia within the last year by initiating Greenline taxi and introducing the electric fleet with Hyundai — as one of its investors.

Rather than individually “battling”, the two ally and innovate. Blue Bird has a diversified broad product line, including BYD and Tesla electric cars, however, lacks of assignments on digital innovation.

In addition, Gojek has the most rapid innovation, including the payment channel, though a lack of diversification in transportation products. They are very dependent on the driver’s partner vehicles.

Digital transformation of Blue Bird

As a publicly listed company, it is literally visible that Blue Bird’s market capitalization and profits have not improved since its peak in early 2015 (before the high-penetration of on-demand services in Indonesia).

BIRD stock exchange in the last 5 years
BIRD stock exchange in the last 5 years

The current value of Blue Bird’s share then is at Rp 12,100. As of this writing 5 years later, the number has shrunk to Rp 2,400, it shows the company’s market capitalization to only one fifth.

Officially introduced as (minority) owner, Gojek should put technology transfer, such as a mapping system, PoI (Point of Interest) determination, and ways of communicating between drivers and passengers as its current focus.

This collaboration should be the green light, especially for public investors, that Blue Bird can afford to be sustainable and relevant. Unlike other taxi companies that flunked in a storm of on-demand services with heavy cash to burn.

Will this become a new trend?

We’ll have to wait and see, for the results of a broader partnership between the two companies this year. Gojek’s focus on pursuing revenues and profits has met its match with Blue Bird Corporation.

It is too early to speculate the angle of this collaboration, or whether synergy like this will become a new trend between technology startups and conventional companies.

The thing is, Gojek has been one step ahead in pulling Blue Bird, as a taxi company with the best brand value, from the pool of tempting competitors. It is not impossible that we will see GoSilverBird or GoBlueBirdElectric options in the near future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Alasan Gojek Ambil Saham Minoritas Blue Bird

Di keterbukaan tanggal 14 Februari lalu, PT Blue Bird Tbk (Blue Bird) mengakui bahwa keluarga pengendali perusahaan telah menjual 4,3% saham senilai sekitar $30 juta (411 miliar Rupiah) ke pembeli yang tidak disebutkan namanya. Bloomberg menyebutkan pembelinya adalah Gojek yang rumornya sudah berseliweran sejak akhir tahun lalu.

Publik tentu bertanya-tanya kenapa Gojek sangat meminati saham perusahaan taksi terbesar di Indonesia ini. Menurut hemat kami, ada beberapa poin yang menjadi perhatian tentang ketika Gojek menggandeng Blue Bird dalam usahanya bersama-sama mendominasi pasar layanan transportasi on-demand di Indonesia.

Aliansi dan inovasi

The enemy of my enemy is my friend. Menghadapi Grab yang memiliki pendanaan besar dari investor-investornya, termasuk pengembangan mobil listrik, adagium tersebut terasa logis ketika Gojek menggandeng (dan mengikat) Blue Bird untuk bersama-sama “memenangkan” pasar Indonesia.

Inovasi Grab dalam setahun terakhir ini di Indonesia termasuk pesat dengan menginisiasi lini taksi Greenline dan menghadirkan lini mobil listrik bersama Hyundai–sebagai salah satu investornya.

Ketimbang sendiri-sendiri “berperang”, keduanya beraliansi dan berinovasi. Blue Bird memiliki diversifikasi lini produk yang luas, termasuk mobil listrik BYD dan Tesla, di berbagai kota besar Indonesia tapi memiliki PR besar soal inovasi digital.

Di sisi lain, Gojek termasuk dalam jajaran startup yang paling cepat inovasinya, termasuk lini pembayaran, tapi memiliki kekurangan diversifikasi lini produk transportasi. Mereka sangat bergantung pada kendaraan mitra pengemudi.

Transformasi digital untuk Blue Bird

Sebagai sebuah perusahaan terbuka, sesungguhnya sangat terlihat bahwa kapitalisasi pasar Blue Bird dan profitnya tidak kunjung membaik sejak puncaknya di awal 2015 (sebelum booming layanan on-demand masuk Indonesia).

Pergerakan nilai saham BIRD dalam 5 tahun terakhir
Pergerakan nilai saham BIRD dalam 5 tahun terakhir

Kala itu nilai per lembar saham Blue Bird mencapai angka Rp12.100. Per tulisan ini dibuat 5 tahun kemudian, angkanya menyusut menjadi Rp2400-an, artinya kapitalisasi pasar perusahaan hanya tinggal seperlimanya.

Dengan secara resmi menjadi pemilik (minoritas), transfer teknologi, misalnya sistem pemetaan, penentuan PoI (Point of Interest), dan cara berkomunikasi pengemudi dan penumpang seharusnya menjadi agenda Gojek.

Diharapkan kolaborasi ini bisa menjadi sinyal positif, terutama bagi investor publik, bahwa Blue Bird dapat terus bertahan dan relevan. Tidak seperti perusahaan taksi lainnya yang luluh lantah di antara badai layanan on-demand dengan suntikan dana jor-joran.

Apakah bakal menjadi tren?

Kita harus wait and see melihat hasil kemitraan yang lebih luas antar kedua perusahaan tahun ini. Fokus Gojek yang mulai mengejar pendapatan dan keuntungan semakin pas disandingkan dengan korporasi seperti Blue Bird.

Masih terlalu prematur untuk berspekulasi tentang arah kolaborasi keduanya, atau apakah sinergi seperti ini bakal menjadi tren baru antara startup teknologi dan perusahaan konvensional.

Yang jelas Gojek telah satu langkah di depan dalam membentengi Blue Bird, sebagai perusahaan taksi dengan brand value terbaik, dari godaan kompetitor-kompetitornya. Bukan tidak mungkin kita akan melihat pilihan GoSilverBird atau GoBlueBirdElektrik dalam waktu ke dekat.

Anterin Wants to Disrupt Go-Jek and Grab’s Domination

Anterin might not be as well recognized as Grab and Go-Jek, but it has been consistent in providing services since 2016. Focus on users’ privilege to choose drivers and bringing various business models (B2C & B2B), Anterin is ready to disrupt Go-Jek and Grab’s domination in Indonesia’s logistics.

Currently, Anterin is available in Jabodetabek, Bandung, and Yogyakarta. There are 130,000 registered drivers or motorcycle owners and 80,000 users. It is predicted to increase as many Uber drivers are claimed to join Anterin.

“Indonesia’s on-demand business competition is still dominated by two big players, Go-Jek and Grab. Anterin is pursuing to be a ‘challenger’ and suppose to offer a new, different, and better option for customers or drivers, if compared to the existing dominant players. Anterin brings up the tagline ‘Bebaskan Pilihanku’ [freedom to choose],” Rachmat Efendi, Anterin’s Co-Founder, said.

Anterin is currently offering a marketplace for city transporting network using auction system that allows customers to determine the decent price, specific vehicle, and favorite driver.

Ready for any kind of delivery

Recently, Anterin has introduced an auction concept. It is to give option for women or mothers by allowing them to choose the vehicle and the driver. This is a new concept since the other players don’t have this feature.

Anterin also offers to deliver goods by truck, not only car and motorcycle. It is part of an effort in competing with the two online transportation behemoths.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Anterin Ingin Ganggu Dominasi Go-Jek dan Grab

Naman Anterin mungkin belum begitu dikenal layaknya Grab dan Go-Jek, namun kehadirannya sejak tahun 2016 membawa konsistensi dalam memberikan layanan yang berbeda. Mengedepankan kebebasan memilih driver dan membawa model bisnis yang beragam (B2C & B2B), Anterin siap mengganggu dominasi Go-Jek dan Grab di segmen logistik Indonesia.

Saat ini Anterin beroperasi dan dapat digunakan dengan baik di wilayah Jabodetabek, Bandung dan Yogyakarta. Dengan total 130.000 mitra pengendara atau pemilik motor yang terdaftar dan 80.000 pengguna, angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan klaim banyak driver Uber yang mendaftar menjadi mitra Anterin.

“Persaingan bisnis on-demand di Indonesia saat ini masih didominasi oleh dua pemain besar, yakni Go-Jek dan Grab. Anterin saat ini menyusul untuk menjadi challanger brand dan harus menawarkan sesuatu yang baru, berbeda dan lebih menguntungkan bagi pengguna maupun pemilik kendaraan dibandingkan dengan apa yang masih ditawarkan oleh pemain dominan yang ada. Aplikasi Anterin sendiri menggangkat tagline Bebaskan Pilihanku,” terang Co-Founder Anterin Rachmat Efendi.

Anterin sendiri saat ini menawarkan konsep marketplace city transporting network yang menggunakan sistem lelang yang memungkinan para pelanggan dapat menentukan harga yang sepantasnya dibawar, memilih spesifik kendaraan yang dibutuhkan, dan memilih pengendara favorit.

Siap mengantarkan apapun

Anterin beberapa waktu lalu mengenalkan konsep lelang. Konsep ini digadang-gadang akan memberikan ruang bagi pengguna wanita atau ibu-ibu untuk mendapatkan kenyamanan dengan memungkinkan memilih kendaraan dan pengemudi yang sesuai. Konsep ini tergolong baru di Indonesia, pasalnya layanan transportasi online lain tidak memiliki fitur ini.

Selain itu Anterin juga menawarkan untuk mengantarkan barang menggunakan truk, tidak hanya motor dan mobil. Ini merupakan wujud usaha Anterin untuk menjadi layanan yang berbeda untuk bisa tetap bersaing dengan dua raksasa layanan transportasi online.

“Tahun ini kami ingin sekali membahagiakan wanita dan ibu Indonesia agar nyaman, aman dan bertambah teman demi Anterin mereka menuju cita-cita ataupun tujuan besar yang diinginkannya. Wanita dan Ibu Indonesia adalah apresiasi utama kami, memohon izin dan doa ibu agar kami selamat sampai tujuan,” tutup Rachmat.

Application Information Will Show Up Here

Grab dan Go-Jek Diminta Jadi Perusahaan Transportasi

Polemik transportasi online di Indonesia tak kunjung selesai. Jika kali pertama booming di Indonesia mereka didemo pengemudi taksi konvensional, kini mereka didemo mitra pengemudi sendiri. Salah satu tuntutannya adalah untuk menaikkan tarif transportasi ojek online yang dinilai terlalu rendah (Rp.1.600 per km). Dari demo dan mediasi yang berlangsung beberapa waktu lalu, pemerintah meminta Grab dan Go-Jek terdaftar sebagai perusahaan transportasi.

Demo yang dilakukan para driver ojek online atau juga Aliansi Nasional Driver Online (Aliando) beberapa waktu lalu secara umum menuntut kenaikan tarif untuk meningkatkan kesejahteraan para pengemui ojek online. Di dalamnya ada beberapa poin seperti revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 dan juga meminta Go-Jek dan Grab untuk menjadi perusahaan transportasi. Harga dan kesejahteraan adalah dua poin yang disoroti.

Sekretaris Jendral Kemenhub Sugihardjo, seperti dikutip dari Kontan, menyampaikan bahwa ada dua alasan mengapa kajian perubahaan dari aplikator dan menjadi perusahaan transportasi dipilih sebagai jalan tengah permasalahan. Pertama ia menilai bahwa layanan on-demand tersebut merupakan pemberi upah para pengemudi.

Kedua, terkait dengan operasional, pengemudi tidak bisa menentukan penumpang yang dipilih atau dengan kata lain penumpang ditentukan oleh aplikator. Hal ini menegaskan Go-Jek dan Grab tidak lagi bisa disebut sebagai aplikator tetapi sebagai perusahaan transportasi berbasis aplikasi.

Secara terpisah terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan keputusan untuk meminta Go-Jek dan Grab menjadi perusahaan transportasi diambil atas wewenang dua menteri terkait, yakni Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

“Tadi sudah bersepakat, aplikator itu dijadikan perusahaan jasa angkutan, di samping [juga sebagai] aplikator,” kata Moeldoko, Rabu 28 Maret silam seperti dikutip dari Tempo.

Uber baru saja menarik diri dan “menyerahkan” operasionalnya di Asia Tenggara di Grab. Kondisi ini secara langsung berdampak pada persaingan di Indonesia. Dengan persaingan mengerucut ke dua kubu, Grab dan Go-Jek, persaingan siapa yang bakal merebut kue terbesar bakal semakin ketat.

Saat ini persaingan keduanya tidak hanya soal transportasi perorangan, tetapi juga pengantaran makanan, pengantaran barang, dan jasa finansial.

Menanggapi hal ini Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyampaikan bahwa penambahan status Grab menjadi perusahaan transportasi masih dalam tahap kajian. Persoalan tarif pun ditentukan secara internal.

“Pendapatan [pengemudi] tak hanya berdasarkan tarif, ada juga volume, yang menentukan adalah unsur penumpang, pengemudi, dan kompetisi,” terang Ridzki.

 

 

Grab is Now Available at All DAMRI Stations

Damri, Grab, and OVO have agreed to create a connectivity platform in all DAMRI stations. This partnership is to accommodate all passengers in ordering GrabCar or GrabBike directly by visiting the official pick-up point at all DAMRI stations throughout Indonesia.

The signing between the three companies is OVO and Grab’s commitment to providing not only affordable, safe, and convenient transportation solution, but also cashless payment for DAMRI customers in particular. It will be Grab’s next breakthrough after becoming the official transport at several airports.

“Over this strategic partnership with Grab [OVO included] we expect to broaden access towards different kinds of transport for DAMRI customers and public as part of our effort to provide faster, easier service and cashless payment,” Tatan Rustandi, DAMRI’s Director of Commercial and Business Development, explained.

He also added that the company will make an effort to support the existing transportation system in Indonesia. He expects DAMRI to be a good example for online-based transportation and cashless payment at Indonesia’s public facility.

Grab Indonesia’s Managing Director Ridzki Kramadibrata said the partnership with DAMRI will provide access to various kinds of first and last mile transportations for DAMRI customers.

“With customer base in eight Southeast Asia’s countries and has been downloaded over 90 million times, we notice the Grab’s presence in DAMRI stations will be able to support DAMRI’s purpose in providing easier access to its customers, either local or overseas tourists,” he explained.

In addition, Grab will also help the customers to book a trip through their agents. Grab members can also exchange GrabReward points to get DAMRI pass by scanning voucher code.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Grab Kini Hadir di Terminal DAMRI Seluruh Indonesia

Perum Damri, Grab, dan OVO sepakat untuk menjalin kerja sama untuk mewujudkan sebuah platform konektivitas tanpa hambatan di seluruh terminal DAMRI. Kerja sama ini diharapkan mampu memberikan kemudahan bagi seluruh penumpang yang tiba di terminal DAMRI di seluruh Indonesia. Kerja sama ini memungkinkan penumpang DAMRI dapat melanjutkan perjalanan dengan menggunjungi titik penjemputan resmi Grab dan langsung memesan layanan transportasi GrabCar maupun GrabBike.

Penandatanganan kerja sama ketiga pihak ini disebut sebagai bentuk komitmen bersama Grab dan OVO untuk tidak hanya menyediakan layanan transportasi yang nyaman, aman dan terjangkau tetapi juga pembayaran non tunai bagi masyarakat khususnya pelanggan DAMRI. Ini akan menjadi terobosan selanjutnya bagi Grab karena sebelumnya mereka juga telah berhasil hadir sebagai transportasi resmi di beberapa bandara.

“Melalui kerja sama strategis dengan Grab (termasuk OVO) kami berharap dapat membuka lebih banyak akses kepada pelanggan dan masyarakat Indonesia jenis transportasi lainnya sebagai bagian dari usaha kami untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat yang memanfaatkan jasa kami dengan opsi pembayaran yang cepat, mudah serta cashless kepada pelanggan DAMRI,” terang Direktur Komersil dan Pengembangan Usaha Perum DAMRI Tatan Rustandi.

Tatan juga menambahkan bahwa pihaknya akan bekerja lebih keras untuk menopang sistem transportasi yang ada di seluruh Indonesia. Ia berharap DAMRI bisa jadi contoh yang baik bagi kehadiran layanan pemesanan transportasi berbasis online dan opsi pembayaran cashless di lokasi-lokasi fasilitas umum di Indonesia.

Dari pihak Grab, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyampaikan bahwa kerja sama dengan DAMRI akan memberikan kemudahan akses berbagai jenis transportasi first and last mile yang dapat terintegrasi dan dinikmati oleh pelanggan DAMRI.

“Dengan basis pelanggan kami yang tersebar di 8 negara Asia Tenggara dengan jumlah unduhan aplikasi Grab sebanyak lebih dari 90 juta kali kami melihat kehadiran Grab secara resmi di terminal DAMRI seluruh Indonesia ke depannya dapat mendukung tujuan DAMRI untuk menyediakan kemudahan akses kepada pelanggannya baik masyarakat Indonesia maupun wisatawan asing untuk menikmati layanan mereka dari terminal DAMRI ke tujuan mereka di seluruh kota di Indonesia,” terang Ridzki.

Selain kehadiran berbagai layanan Grab, pelanggan DAMRI yang berada di terminal juga akan dibantu petugas Grab yang berada di sana untuk memesan Grab. Pelanggan Grab juga dapat menukarkan poin GrabRewards untuk mendapatkan tiket DAMRI dengan cara memindai kode kupon.

Application Information Will Show Up Here

Tahun Ini Bisa Jadi Penentuan Nasib Uber di Asia Tenggara

Uber baru saja menunjuk Monika Rudijono sebagai Presiden Direktur yang baru untuk Indonesia. Meskipun demikian, menghadapi tahun 2018, jalan terjal dan berliku dihadapi startup yang didirikan oleh Travis Kalanick dan Garrett Camp ini, khususnya untuk pasar Asia Tenggara.

Meski perkasa di banyak negara, Uber menghadapi persaingan sengit di kawasan Asia. Persaingan ketatnya dengan DiDi Chuxing di Tiongkok yang berakhir dengan keluar Uber dari negara tersebut adalah salah satu bukti bahwa keunggulan teknologi saja tidak cukup. Ia harus berhadapan dengan pemain lokal dan regulator demi menguasai pasar transportasi on-demand.

Kearifan lokal

Mundur ke belakang, solusi Uber sebenernya dipuja-puja sebagai salah satu solusi yang bisa membantu masyarakat. Mereka hadir dengan merevolusi cara bertransportasi warga Amerika Serikat. Uber pun mendunia dan mulai hadir di mana-mana, termasuk negara-negara Eropa dan Asia.

Penolakan terjadi di berbagai tempat. Di saat bersamaan, pemain setempat mulai mengembangkan layanan sejenis dengan pendekatan kearifan lokal. Di Asia Tenggara sendiri, khususnya di Indonesia, Uber masih tertinggal dibanding pesaingnya, Go-Jek dan Grab.

Sinyalemen keluarnya Uber dari persaingan layanan transportasi on-demand di Asia Tenggara muncul ketika November silam Softbank resmi memberikan suntikan dana kepada Uber. Langkah Softbank ini menimbulkan spekulasi bahwa Grab dan Uber tidak akan berkompetisi dan salah satu harus memilih keluar. Dalam hal ini Uber memiliki peluang lebih besar untuk hengkang dari kawasan ini.

Dua permasalahan besar yang menghambat Uber di Asia Tenggara adalah adaptasi dengan regulasi dan apasar lokal. Kita harus mengakui bahwa budaya yang berbeda antara Amerika Serikat dan Asia Tenggara menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Uber.

Uber masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan sesuatu yang visioner. Mereka disambut suka cita oleh konsumen tetapi di saat yang sama mengalami pergolakan di jalanan. Mereka ditolak sebagian besar armada transportasi konvensional yang pada akhirnya mendesak pemerintah meregulasi. Bisa ditebak, Uber menjadi “diuber-uber pemerintah”.

Sebagai sebuah startup, Uber benar-benar memperlihatkan cara sebuah perusahaan Silicon Valley bertumbuh dan mencari potensi pasar-pasar baru. Meskipun demikian, di Asia Tenggara, Uber harus berusaha ekstra untuk bertahan.

Uber juga sedikit terlambat memahami pasar Asia Tenggara. Di negara-negara seperti Indonesia dan Thailand, moda transportasi sepeda motor lebih banyak digunakan dengan alasa beragam, mulai menembus kemacetan, harga yang relatif terjangkau, dan biaya perawatan yang jauh lebih rendah ketimbang mobil.

Penyesuaian lain yang dirasa cukup lambat adalah metode pembayaran. Meskipun Uber pada akhirnya memberikan pilihan penggunaan uang tunai, pilihan pembayaran digital yang bersifat cashless tanpa kartu kreditnya masih sangat terbatas. Padahal kita ketahui persentase kepemilikan kartu kredit di kawasan ini sangatlah kecil.

Dikutip dari CNBC, pasca “terdepak” dari pasar Tiongkok, Uber terlihat fokus di pasar India dan Asia Tenggara. Sejauh ini usahanya terbentur regulasi di negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina. Di sisi lain, Grab dan GO-JEK agresif memperluas diversifikasi layanan, termasuk pilihan pembayaran.

Di antara Grab dan GO-JEK

Kini pengguna layanan transportasi on-demand sedang bertranformasi. Di Indonesia, GO-JEK dan Grab sama-sama menggenjot pemakaian uang elektronik masing-masing, GO-PAY dan GrabPay.

Jika pada akhirnya SoftBank, kini sebagai investor terbesar Uber, memutuskan untuk mendorong peleburan operasional Grab dan Uber di Asia Tenggara, hal ini akan menandai persaingan yang mengerucut di Indonesia, meskipun GO-JEK sudah meniatkan ekspansi ke negara-negara tetangga.

“Lautan hijau” di jalanan hanya menjadi awal persaingan dua perusahaan ini. Persaingan layanan pembayaran menjadi arena peperangan berikutnya. Di tahun 2018, Go-Pay sudah siap untuk keluar dari ekosistemnya dengan mengakuisisi payment gateway offline Kartuku dan online Midtrans sebagai kendaraannya. Di sisi lain, Grab menggandeng Ovo, yang dikembangkan Lippo Digital, untuk melanjutkan solusi uang elektroniknya.

Uber, berada di antara keduanya, mencoba menggandeng Tokopedia dan BBM sebagai mitra. Tahun 2018 ini bakal menjadi penentuan apakah Uber masih bertahan di Indonesia (dan Asia Tenggara) atau harus puas menjadi penonton di pinggir lapangan.


Amir Karimuddin berkontribusi untuk penulisan artikel ini

Issuing Regional Regulation, 11 Provinces Have Set Online Taxi Quota

Ministry of Transport has listed 11 provinces issuing regional regulation (perda) to organize online transportation.

The release is in accordance with government provision listed in Ministry of Transport Regulation (Permenhub) PM 108/2017 on The Implementation of People Transportation With Vehicles Not In Route, there are regulations regarding rental transportation in particular.

The provinces are DKI Jakarta through Jabodetabek’s Transportation Management Department (BPTJ), East Java, West Java, Central Java, North Sumatera, Lampung, South Sumatrera, West Sumatera, Bengkulu and East Borneo.

North Sumatra for example has set online taxi quota for 3.500 units, Lampung for 8 thousand units, East Java 4.445 units and Jabodetabek for 49.500 units.

Quoted from Bisnis, Land Transportation General Director Budi Setiyadi said its team has set boundaries for regional government to issue the regulations by the end of January 2018.

“Tolerance up to the end of January due to Ministry Regulations [PM] on February [yet to issue regulations] there will be an act,” he said.

The act will be held on February 2018 precisely on the first and second week, as a reprimand or disciplinary operation (operasi simpatik) for certain rental vehicles not following the rules. After two weeks, further law enforcement will be delegated to the officer.

He continued on Permenhub organizing daring taxi, is an act of neutral government in responding daring and reguler taxi.

East Java has officially authorized online taxi

East Java has recently operated rental vehicles in particular by setting Governor Regulation (Pergub) to organize online taxi quota operating only 4.445 units. Consists of 3 thousand units in Gresik, Madura, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo and Lamongan. In addition, 225 units in Malang Raya and the rest in others.

The quota is counted by the needs and scattered population of East Java. The counting is off to save the ride hailing companies. The imbalanced availability and necessity will threaten the company’s existence.

The official released is marked by sticker patching as online taxi already obtained an operational permit from East Java Department of Transportation. The sticker is patched on the online taxi’s exterior. Quoted from Kompas, of the quota set, there are only 113 online taxis having license to operate of 2,418 submissions.

“Up to this day, we only proceed licence for 113 units of nine companies,” said Wahid Wahyudi Head of Transportation Department on Thursday (1/4).

The company will continue with the license process, starting from administration checks to online taxi KIR test.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian