Transformasi Digital Blue Bird, Perluas Akses Pesan Taksi dari Berbagai Aplikasi Konsumer

Blue Bird terus melakukan transformasi digital agar tetap relevan dengan kondisi terkini. Kali ini perseroan memperluas akses pesan taksi melalui berbagai aplikasi konsumer sehari-hari, setelah Gojek, kini masuk ke aplikasi Shopee dan Traveloka. Kerja sama dengan Shopee baru diresmikan kemarin (16/12).

Dalam keterangan resminya, strategi ini merupakan lanjutan dari realisasi perusahaan untuk pilar Multi Channel Reservation, dalam upaya memperluas aksesibilitas layanan Blue Bird yang dikombinasikan dengan ekosistem digital.

Fitur ini dapat ditemukan di ikon Pulsa, Tagihan & Hiburan, lalu masuk ke pilihan Transportasi & Akomodasi. Nanti akan ditemukan lambang Taksi untuk mulai memesan taksi Blue Bird terdekat. Pengguna Shopee juga dimanjakan dengan fitur pembayaran Split-Payment, memungkinkan pengguna dapat mengombinasi pembayaran melalui metode non-tunai digabungkan dengan koin Shopee.

Pun hal sama di Traveloka. Meski belum hadir secara resmi, pengguna Traveloka dapat menggunakan fitur QuickRide untuk memesan taksi. Lalu menggunakan ekosistem pembayaran non-tunai yang sudah tersedia di Traveloka untuk membayarnya.

Wakil Direktur Utama Blue Bird Andre Djokosoetono mengatakan, keberlanjutan kolaborasi bersama Shopee adalah bentuk nyata komitmen perusahaan dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat dalam mendapatkan mobilitas yang aman dan nyaman.

“Selama pandemi, kami terus berupaya menjadi semakin relevan dengan kebutuhan masyarakat. Saat ini, masyarakat semakin mendapatkan keleluasaan akses dalam menjangkau layanan Blue Bird,” ujarnya.

Head of Brands Management & Digital Products Shopee Indonesia Daniel Minardi menambahkan, fitur pemesanan taksi ini adalah bagian dari produk digital Shopee, diharapkan memberi kemudahan dan kenyamanan hidup pengguna dengan memanfaatkan satu aplikasi Shopee untuk berbagai kebutuhan.

Sebelumnya, kolaborasi Shopee dan Blue Bird sudah terjadi dua kali. Pertama, menghadirkan layanan pembayaran digital ShopeePay untuk para penumpang yang memesan taksi melalui aplikasi MyBlueBird. Kedua, peluncuran layanan Bluebird Kirim sebagai metode pengiriman yang mengutamakan ketepatan waktu dan keamanan barang dengan kapasitas daya angkut hingga 200 kg di aplikasi Shopee.

“Setelah kesuksesan kolaborasi kami sebelumnya dalam layanan Bluebird Kirim, kami dengan bangga kembali bermitra dengan Bluebird dalam fitur terbaru, yaitu pemesanan taksi yang dapat diakses melalui aplikasi Shopee,” kata Daniel.

Manuver Blue Bird masuk ke digital

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Blue Bird kini fokus menjadi Mobility-as-a-Service (MaaS) dengan tiga pendekatan utama, yakni penyedia multiplatform/channel, multiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya tak lain untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Direktur Utama Blue Bird Sigit Djokosoetono mengungkapkan bahwa pihaknya telah belajar banyak dari tahun 2020 dalam menyikapi pembatasan mobilitas masyarakat melalui berbagai program efisiensi untuk mengurangi beban Perseroan. Namun, di sisi lain, Bluebird mengklaim juga terus memberikan layanan yang aman nyaman dan higienis dengan menjalankan protokol kesehatan yang sangat ketat, serta memberikan kemudahan bagi customer untuk melakukan pemesanan taksi di berbagai platform dan makin mengembangkan alternatif pembayaran cashless yang makin diminati oleh masyarakat.

“Banyak perusahaan transportasi yang sudah bertumbangan akibat pandemi. Namun, fakta bahwa Bluebird masih bertahan dan terus mengembangkan bisnisnya adalah bukti dari kepercayaan masyarakat terhadap layanan Bluebird dan tata kelola perusahaan yang prudent serta berorientasi kepada customer,” jelas Sigit mengutip dari WartaEkonomi.

Dalam rangka itu, Blue Bird mulai masuk ke solusi logistik, bermitra dengan Paxel, Shopee, Union Group, Kem Chicks, KAI, dan lainnya. Bersama Paxel, disediakan kapasitas pengiriman maksimal 20 kg untuk pengiriman di hari yang sama dan esok hari, baik di dalam maupun luar kota memanfaatkan jaringan Blue Bird Group. Solusi tersebut kini sudah mencakup tak hanya Jabodetabek, tapi juga Bandung, Tasikmalaya, Purwokerto, Yogyakarta, Malang, hingga Denpasar.

Application Information Will Show Up Here

Same Day Delivery Gets Hyped, Logistics Competition Went Tight

The growth of the logistics market in Indonesia is predicted to get better in 2021. This has taken into account the current situation in Indonesia as the implementation of social restriction policies in some areas.

Indonesian Logistics Association’s (ALI) Chairman, Zaldy Ilham Masita revealed several predictions and trends in logistics to occur in Indonesia this year. First, he observed that logistics service players had started to adapt during the pandemic. This is visible as the emerging new services and collaboration between startups and large logistics companies, especially to accommodate the needs of instant courier services (on-demand).

“In the fourth quarter of 2020, logistics will get more popular due to increasing public spending. In the first quarter of 2021, it is a bit worrying as the implementation of social restrictions. However, we are optimistic because during the last six months, [logistics players] have been trained to adapt. We predict that the logistics peak [increase] will occur in the third and fourth quarters of 2021 as more people get vaccinated,” he said in recent contact with DailySocial.

According to Ken Research‘s report, Indonesia’s logistics market is estimated to reach $200.3 billion with a CAGR of 7.9% in 2024. This value includes goods transportation, freight forwarding, warehouse, express and parcel (CEP) and cold chain logistics businesses.

Second, he estimates that the increase in the logistics business this year will be boosted by the same day delivery service. With the current situation, he estimates that this trend can spur logistics industry players to evaluate whether the current duration of same day delivery times has met customer expectations and is business competitive.

Zaldy, who is also the President Director of Paxel, even admitted that he would consider the findings. Moreover, Paxel, which is a technology-based logistics delivery service platform startup, started a same-day delivery service with a duration of up to 10 hours.

Service

Ja(bo)detabek rate

Duration

GoSend Rp,.815/km (0-6km), Rp 18,000 (6-15km), Rp1,200/km (>15km) Up to 4hrs since the pick-up
Grab Express Start from Rp15.000 (0-5km) Up to 6hrs (motorcycle) since the pick-up
Paxel Flat s/d 5kg Rp8.000 (dalam kota), Rp15.000 (luar kota) 6-8hrs (within city), 10-12hrs (inter-city)
MrSpeedy Rp8.000 for the first 4km Up to 90 menit

Source: Official website of Gojek, Grab, Paxel, MrSpeedy / Organized by DailySocial

“Currently, Same day delivery within the city is only 2 hours. Over the last few years, customer expectations have increased significantly. [Paxel] is even evaluating whether the same delivery with a duration of 8-10 hours can compete. In addition, there is something more extreme at a lower cost. It means that the industry needs more innovation,” he added.

Same day delivery trend is driven by food delivery

Referring to the report The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective released by MarkPlus Inc in October 2020, the frequency of courier services increased rapidly during the pandemic. This increase was triggered by a number of main factors, including online shopping activities, prices, and delivery times.

Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial
Source: MarkPlus Inc / Organized by DailySocial

In addition, same day delivery services are expected to get rapidly increased after the pandemic (67.2%) compared to regular delivery services (78.7%) even it has a larger portion. The research was done with 122 respondents from the Greater Jakarta area (59.8%) and non-Jabodetabek (40.2%).

Then, respondents have a main expectation for the delivery of services on time (36.7%) and logistics service providers are considered to need to improve pick-up services in the future.

Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial
Source: MarkPlus Inc / Organized by DailySocial

Third, in Zaldy’s observations, the B2B logistics market is getting decrease due to the shifting of shopping behavior from offline to online. The effort is getting stronger as the pandemic and increasing customer expectations are considered increasingly extreme. He estimates that the composition of the logistics business in the B2C segment will increase from 10% to 25% this year.

Fourth, this year is also a proving ground to see which logistics business models are successful and which are not. New business models may emerge because many new markets are yet to open, such as food delivery services,” Zaldy explained.

Several giant startups, such as Gojek (GoFood), Bukalapak (BukaFood), and Shopee (ShopeeFood) are started to tighten its position in the market segment. The large logistics company SiCepat also acquired 51% shares in the DigiResto food delivery platform to boost revenue contribution from the food delivery market in Indonesia.

Quoting Momentum Works’ research, GMV food delivery services experienced accelerated growth during the pandemic. The report noted the GMV of food delivery services in six countries in Southeast Asia reached $11.9 billion in 2020.

In terms of the Indonesian market, the number has reached $3.7 billion or equivalent to Rp52 trillion, dominated by two big players, Grab and Gojek, with a share of 53% and 47% of the total market share, respectively.

Challenges for legacy logistics

Fifth, Zaldy continued, he said that older conventional logistics companies would find it difficult to catch up with future trends. This is because it is not easy for companies to transform or build infrastructure in a short time. The key is in collaboration.

At least, throughout 2020, there will be many collaborations between startups and corporations. For example, Ninja Xpress partners with Grab and Gojek partners with Paxel. The partnership was due to strengthening inter-city freight forwarding services (intercity).

According to Zaldy, the pandemic is an eye-opening experience, therefore, conventional logistics companies are willing to collaborate. “Many conventional legacy companies find it difficult to catch up with business as customer expectations getting higher now. We see some conventional companies, their service may be threatened by the same-day delivery,” Zaldy said.

In fact, he also saw an emerging new trend due to the pandemic, non-logistics companies entering the logistics sector. Blue Bird is one of which that executed this idea.

The company has made maneuvers in logistics since the second quarter of 2020, powered by the fleets. Blue Bird has started to expand its logistics services by partnering with Paxel for large package shipments with a same-day delivery service.

“We are using the existing fleet for cost-efficient. In essence, we want to contribute to logistics services during a pandemic, regarding hygiene in particular, we apply protocols according to our standards,” Blue Bird’s Chief Strategy Officer, Paul Soegianto said to DailySocial.

Zaldy also gave an example of how this will be a challenge to PT Pos Indonesia. He said the infrastructure is no longer possible to catch up with logistics service providers, SiCepat, for example.

“However, [models such as] PT Pos Indonesia can take advantage of infrastructure from other platforms, such as Anteraja. This means that the first and middle miles can collaborate with each other, while the competition is in the last mile,” he added.

Gojek and Tokopedia’s Merger to affect logistics industry

Sixth, he estimates that the plan of Gojek and Tokopedia’s merger can have a big impact on the Indonesian logistics industry. Also, he added, conventional logistics companies will be significantly affected.

“The merger of the two will struck the legacy companies. Why? It’s hard to get legacy companies to change their business models, especially those that already have thousands of courier fleets and hubs. Unless they have good IT systems or technology, this will be difficult. Blue Bird is an example of a legacy company with a ready system. The question is have they done the ‘homework’?” Zaldy said.

In a separate article, DailySocial Founder and CEO Rama Mamuaya said that the merger of the two can have a big impact on consumers and the industry. Rama said, cross-breeding of complementary products would be fantastic for consumers. Moreover, both of those have integrated e-commerce, transportation, and financial infrastructure in one application.

“Today, we have same-day delivery which works most of the time. The integration between Gojek and Tokopedia can produce something even better, Amazon Prime-style instant same-hour delivery, helping push e-commerce transaction and customer satisfaction even more while increasing driver utilization rate making it more economical as a business,” he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tren “Same Day Delivery” Diprediksi Meningkat, Persaingan Jasa Logistik Semakin Ketat

Pertumbuhan pasar logistik di Indonesia diprediksi semakin membaik di 2021. Prediksi tersebut sudah mempertimbangkan pada faktor situasi Indonesia saat ini dengan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial di sejumlah wilayah.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengungkap sejumlah prediksi dan tren logistik yang bakal terjadi di Indonesia di tahun ini. Pertama, ia mengamati bahwa pelaku jasa logistik sudah mulai beradaptasi selama masa pandemi. Hal ini terlihat dari kemunculan layanan baru dan kolaborasi antara startup dan perusahaan logistik besar, terutama untuk mengakomodasi kebutuhan layanan kurir instan (on-demand).

“Di kuartal IV 2020, logistik sudah mulai naik karena spending masyarakat sudah mulai jalan. Di kuartal pertama 2021, memang agak mengkhawatirkan karena ada pemberlakuan pembatasan sosial kembali. Tetapi, kami optimistis karena selama enam bulan terakhir, [pelaku logistik] sudah terlatih untuk beradaptasi. Kami prediksi puncak [kenaikan] logistik terjadi di kuartal III dan IV 2021 sejalan dengan semakin banyak orang yang divaksin,” tuturnya dihubungi DailySocial.

Berdasarkan laporan Ken Research, pasar logistik Indonesia diestimasi mencapai nilai $200,3 miliar dengan CAGR 7,9% pada 2024. Nilai ini sudah termasuk untuk bisnis angkutan barang, pengiriman barang, warehouse, express and parcel (CEP), hingga cold chain logistic.

Kedua, ia memperkirakan kenaikan bisnis logistik di tahun ini akan banyak didongkrak oleh layanan same day delivery. Dengan situasi saat ini, ia memperkirakan tren tersebut dapat memacu pelaku industri logistik untuk mengevaluasi apakah durasi waktu pengiriman same day delivery yang sudah ada saat ini telah memenuhi ekspektasi pelanggan dan kompetitif secara bisnis.

Zaldy yang juga Direktur Utama Paxel bahkan mengaku akan mempertimbangkan temuan tersebut. Terlebih, Paxel yang merupakan startup platform jasa pengiriman logistik berbasis teknologi ini awalnya memulai layanan same day delivery dengan durasi pengiriman hingga 10 jam.

Layanan

Tarif Ja(bo)detabek

Durasi

GoSend Rp2.815/km (0-6km), Rp 18.000 (6-15km), Rp1.200/km (>15km) Max 4 jam terhitung setelah pick-up barang
Grab Express Dimulai dari Rp15.000 (0-5km) Max 6 jam (motor) terhitung setelah pick-up barang
Paxel Flat s/d 5kg Rp8.000 (dalam kota), Rp15.000 (luar kota) 6-8 jam (dalam kota), 10-12 jam (luar kota)
MrSpeedy Rp8.000 untuk 4km pertama Max 90 menit

Sumber: situs resmi Gojek, Grab, Paxel, MrSpeedy / Diolah kembali oleh DailySocial

“Sekarang, same day delivery di dalam kota hanya 2 jam. Selama beberapa tahun terakhir ini, ekspektasi customer naik signifikan. [Paxel] bahkan mengevaluasi lagi apakah same delivery berdurasi 8-10 jam masih bisa berkompetisi. Apalagi, ada yang lebih ekstrem dengan biaya lebih rendah. Ini berarti industri butuh inovasi lebih besar,” paparnya.

Tren same day delivery didorong oleh pengiriman makanan

Jika mengacu laporan The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective yang dirilis MarkPlus Inc pada Oktober 2020, frekuensi jasa kurir meningkat pesat selama masa pandemi. Peningkatan ini dipicu oleh sejumlah faktor utama antara lain kegiatan belanja online, harga, dan waktu pengiriman.

Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial

Selain itu, layanan same day delivery diekspektasi bakal meningkat lebih pesat penggunaannya pasca-pandemi (67,2%) dibandingkan layanan pengiriman regular (78,7%) meski porsinya masih lebih besar. Adapun riset ini diikuti oleh sebanyak 122 responden dari wilayah Jabodetabek (59,8%) dan non-Jabodetabek (40,2%).

Kemudian, responden juga memiliki ekspektasi utama terhadap pengiriman layanan yang tepat waktu (36,7%) dan penyedia jasa logistik dinilai perlu meningkatkan layanan pick-up di masa depan.

Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial

Ketiga, menurut pengamatan Zaldy, pasar logistik B2B sudah mulai berkurang porsinya dikarenakan terjadi shifting perilaku belanja dari offline ke online. Dorongannya semakin kuat ketika pandemi dan meningkatnya ekspektasi customer yang dinilai semakin ekstrem. Ia memperkirakan komposisi bisnis logistik di segmen B2C bakal naik porsinya dari 10% menjadi 25% di tahun ini.

Keempat, tahun ini sekaligus menjadi ajang pembuktian untuk melihat mana model bisnis logistik yang berhasil, mana yang tidak. Model bisnis baru mungkin akan lebih banyak bermunculan karena banyak pasar baru yang belum terbuka, misalnya jasa pengiriman makanan,” jelas Zaldy.

Beberapa startup raksasa, seperti Gojek (GoFood), Bukalapak (BukaFood), dan Shopee (ShopeeFood) sudah mulai bersiap untuk memperkuat posisinya di segmen pasar ini. Perusahaan logistik besar SiCepat juga bahkan mencaplok 51% saham platform pengiriman makanan DigiResto demi mendorong kontribusi pendapatan dari pasar pengiriman makanan di Indonesia.

Mengutip hasil riset Momentum Works, GMV layanan pengiriman makanan (food delivery) mengalami percepatan pertumbuhan selama pandemi. Laporan ini mencatat GMV layanan pengiriman makanan di enam negara di Asia Tenggara mencapai $11,9 miliar di 2020.

Untuk pasar Indonesia saja, angkanya mencapai $3,7 miliar atau setara Rp52 triliun yang didominasi dua pemain besar, yakni Grab dan Gojek dengan porsi masing-masing sebesar 53% dan 47% dari total pangsa pasar.

Tantangan bagi perusahaan logistik legacy

Kelima, lanjut Zaldy, ia memperkirakan perusahaan logistik konvensional yang sudah lama beroperasi bakal sulit mengejar tren ke depan. Hal ini karena tidak mudah bagi perusahaan untuk melakukan transformasi atau membangun infrastruktur dalam waktu singkat. Kuncinya ada pada kolaborasi.

Setidaknya, sepanjang 2020 terdapat banyak kolaborasi yang terjadi antara startup dan korporasi. Misalnya, Ninja Xpress bermitra dengan Grab dan Gojek bermitra dengan Paxel. Kemitraan keduanya dilakukan untuk memperkuat jasa pengiriman barang antar-kota (intercity).

Menurut Zaldy, pandemi menjadi pembuka mata agar perusahaan logistik konvensional mau berkolaborasi. “Banyak perusahaan legacy konvensional susah mengejar bisnis karena sekarang ekspektasi customer jauh lebih tinggi. Kita lihat beberapa perusahaan konvensional, service-nya mungkin terancam karena sudah ada same day delivery,” ujar Zaldy.

Bahkan ia juga melihat tren baru yang bakal muncul akibat pandemi, yakni perusahaan non-logistik masuk ke sektor logistik. Blue Bird merupakan salah satu yang sudah melakukannya.

Perusahaan melakukan manuver ke logistik sejak kuartal II 2020 yang diperkuat dengan dukungan aset armadanya. Blue Bird juga mulai memperluas cakupan layanan logistiknya dengan menggandeng Paxel untuk pengiriman paket berukuran besar dengan layanan same day delivery.

“Kami menggunakan armada existing jadi secara cost [efisien]. Intinya, kami ingin berkontribusi pada layanan logistik di masa pandemi, terutama soal higienis yang kami terapkan sesuai standar kami,” ungkap Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto kepada DailySocial.

Zaldy juga mencontohkan bagaimana tantangan ini bakal dihadapi oleh PT Pos Indonesia. Ia menilai infrastruktur yang dimiliki sudah tidak memungkinkan untuk mengejar ketertinggalan dengan penyedia jasa logistik, SiCepat misalnya.

“Akan tetapi, [model seperti] PT Pos Indonesia bisa memanfaatkan infrastruktur dari platform lain, seperti Anteraja. Artinya, first mile dan middle mile bisa saling berkolaborasi, sedangkan kompetisinya ada di last mile,” tambahnya.

Dampak merger Gojek dan Tokopedia terhadap industri logistik

Keenam, ia memperkirakan rencana merger Gojek dan Tokopedia dapat memberikan dampak besar terhadap industri logistik Indonesia. Dan, menurutnya yang bakal terdampak signifikan adalah perusahaan logistik konvensional.

“Merger keduanya bakal membuat perusahaan legacy ‘berkeringat’. Kenapa? Susah membuat perusahaan legacy untuk mengubah model bisnis bisnis, apalagi yang sudah memiliki ribuan armada kurir dan hub. Kecuali mereka punya sistem IT atau teknologi yang bagus, ini bakal sulit. Blue Bird itu satu contoh perusahaan legacy yang sistemnya sudah siap. Pertanyaannya adalah apa mereka sudah mengerjakan ‘PR’-nya?” ucap Zaldy.

Dalam artikel terpisah, Founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya beropini bahwa merger keduanya dapat memberikan dampak besar bagi konsumen dan industri. Dikatakan Rama, kawin silang produk yang saling melengkapi akan menjadi sangat fantastis bagi konsumen. Terlebih, keduanya telah memiliki infrastruktur e-commerce, transportasi, hingga keuangan yang terintegrasi dalam satu aplikasi.

“Saat ini, kita sudah menikmati sistem pengiriman di hari yang sama.
Integrasi antara Gojek dan Tokopedia dapat menciptakan sesuatu yang lebih mengunggah, misalnya pengiriman instan ala Amazon Prime dalam hitungan jam, membantu mendorong transaksi ecommerce, hingga meningkatkan utilisasi pengemudi sehingga lebih ekonomis sebagai bisnis,” paparnya.

Paxel dan Blue Bird Meluncurkan Layanan Logistik “Same Day Delivery” PaxelBig

Startup logistik berbasis aplikasi Paxel resmi meluncurkan layanan logistik “same day delivery” PaxelBig berkolaborasi dengan PT Blue Bird Tbk. Layanan first mile ini sudah komersial sejak Maret 2020.

Menggunakan armada Blue Bird, PaxelBig menyediakan kapasitas pengiriman lebih besar, yakni 5-20 kg dengan tarif mulai dari Rp30.000 untuk 10 kg pertama. Untuk tahap awal, PaxelBig baru dapat digunakan di dalam dan luar kota untuk kawasan Jadetabek-Bandung dan sebaliknya.

Dalam acara peluncurannya, Co-founder Paxel Zaldi Ilham Masita mengatakan bahwa PaxelBig dikembangkan untuk menjawab permintaan segmen UKM yang menginginkan pengiriman berkapasitas besar selama masa pandemi ini. Sekaligus, ini menjadi upaya Paxel memperluas cakupan layanan di luar kota.

Sebelum pandemi, ungkap Zaldi, sebesar 85 persen pengguna Paxel yang berasal dari segmen UKM melakukan pengiriman barang dengan kapasitas rata-rata di bawah 2 kg. Begitu pandemi terjadi, kapasitas ini meningkat hingga 5 kg.

Selain itu, data Paxel mencatat adanya peningkatan tajam hingga 50 persen pada transaksi pengiriman barang yang kebanyakan berupa makanan, bahan pokok, dan produk kesehatan di sepanjang periode Maret-Mei 2020. Adapun, jumlah pengiriman rata-rata mencapai 100-200 ribu paket per hari.

“Karena banyak pengiriman makanan, kapasitas 5 kg pun jadi tidak cukup. Kami pikir bagaimana caranya melayani same day delivery dengan kapasitas lebih besar dan harga terjangkau. Di sini lah PaxelBig hadir,” ungkapnya.

Sementara itu, Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto mengatakan bahwa kolaborasinya dengan Paxel menjadi salah satu bentuk inisiatif perusahaan untuk menggenjot bisnis logistik.

Ini menjadi pangsa pasar baru bagi Blue Bird yang sebelumnya bermain di segmen passanger. “Kami yakin dengan potensi pasar dan input dari customer, layanan ini dapat berkembang besar. Apalagi kita lihat segmen UKM selama ini sulit menjangkau konsumen dan biaya logistik masih mahal di Indonesia,” tambahnya.

Salah satu keunggulan PaxelBig, ujar Paul, adalah standardisasi higienis di setiap armada, terlebih karena seluruhnya adalah aset milik sendiri. Selain itu, PaxelBig menggunakan armada jenis MPV yang cocok untuk mengakomodasi pengiriman barang berkapasitas besar.

“Kami menggunakan armada existing jadi secara cost [efisien]. Intinya, kami ingin berkontribusi pada layanan logistik di masa pandemi, terutama soal higienis yang kami terapkan sesuai standar kami,” tambahnya.

Sebelumnya, dalam wawancara dengan DailySocial beberapa waktu lalu, Paul mengatakan bahwa Blue Bird memiliki tiga fokus utama, yakni menjadi penyedia multiplatform/channelmultiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Lanskap logistik di 2021

Zaldi mengharapkan kehadiran PaxelBig dapat menjadi tren baru di industri logistik mengingat belum ada pemain yang masuk ke layanan semacam ini. Sejauh ini, ungkapnya, belum ada layanan same day delivery yang melayani pengiriman barang berkapasitas 5-20 kg.

“Solusi ini dapat menjawab tantangan logistik di Indonesia. Kami harap layanan ini dapat mengubah lanskap industri logistik di tahun depan dan membuka hidden ekonomi lebih banyak,” paparnya.

Sebelumnya, Zaldi menyebutkan bahwa pertumbuhan industri logistik di Indonesia selama satu dekade terakhir naik di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang berkisar 10 persen per tahun. Kenaikan ini salah satunya didorong oleh kehadiran layanan logistik last mile yang tumbuh 30 persen per tahun.

Berdasarkan survei Paxel Buy & Send Insights 2019, kepemilikan toko fisik di era digital mulai tidak relevan bagi segmen UKM. Sebanyak 66 persen dari 535 responden menganggap pendapatan dari toko online telah melampaui pendapatan dari toko fisik.

Adapun, penjual online semakin mengandalkan jasa same day delivery. Hal ini tergambar dari 36 persen responden yang menginginkan kecepatan pengiriman daripada ongkos yang lebih murah (29%), pengiriman mudah (26%), dan sistem live tracking (8%).

Application Information Will Show Up Here

Manuver Blue Bird Hadapi Pandemi Lewat Akselerasi Digital

Ketika Gojek dan platform on-demand lainnya beroperasi secara komersial, sejumlah penyedia jasa transportasi konvensional sempat berteriak. Gojek dinilai telah mendisrupsi bisnis transportasi yang sudah ada. Kehadiran layanan seperti ini bahkan sempat memunculkan perseteruan antara penyedia transportasi konvensional vs on-demand.

Selang beberapa tahun kemudian, situasinya berkebalikan. Penyedia jasa transportasi konvensional maupun on-demand kini saling merangkul untuk me-leverage peluang baru lewat teknologi.

Konteks di atas turut terjadi pada operator taksi terbesar di Indonesia, Blue Bird, yang pada akhirnya berkolaborasi dengan Gojek di 2016. Korporasi semakin melihat esensi digitalisasi terhadap keberlangsungan bisnis. 

Lalu bagaimana manuver Blue Bird menghadapi perkembangan digital, terutama di masa pandemi? Simak selengkapnya lewat wawancara DailySocial dengan Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto.

Transformasi digital Blue Bird

Bicara transformasi digital, Blue Bird dinilai perlu mengambil langkah baru dengan posisinya sebagai operator taksi terbesar di Indonesia. Apalagi, teknologi telah mengubah bagaimana pasar berperilaku.

Sejak 2015 hingga 2019, Blue Bird mencatatkan penurunan pada kinerja keuangannya. Puncak penurunan ini mulai terlihat pada pendapatan Blue Bird di periode 2015-2017, di mana saat itu popularitas layanan transportasi on-demand tengah meroket di sejumlah kota besar Indonesia.

Penurunan kinerja Blue Bird dalam 4 tahun terakhir

Yang tidak banyak diketahui, Blue Bird sebetulnya sudah lebih dulu mengembangkan aplikasi pemesanan taksi My Blue Bird sekitar 2011/2012. Dapat dikatakan aplikasi ini sudah jauh lebih dulu meluncur sebelum Gojek.

Menurut Andeka Putra, mantan Chief Information Officer Blue Bird di wawancara terdahulu, My Blue Bird kurang dipromosikan dengan baik sehingga popularitasnya belum dapat mengejar transportasi on-demand.

Kini, Paul Soegianto mengomandoi transformasi digital yang gencar dilakukan sejak tahun lalu oleh divisi Strategic Transformation Office (STO) untuk mengelola strategi, portofolio, dan transformasi digital perusahaan. Sebelumnya, transformasi digital dieksekusi divisi Business Transformation Office (BTO).

Paul mengungkap ada sejumlah inisiatif baru untuk mengakselerasi bisnisnya. Sebagai perusahaan berbasis aset, ia menilai Blue Bird perlu melakukan diferensiasi dengan kompetitor. Per akhir 2019, Blue Bird memiliki 20.633 unit armada taksi reguler, 883 unit taksi eksekutif, 6.231 unit limosin dan mobil sewaan, dan 601 unit bus.

Fokus utamanya adalah menjadi Mobility-as-a-Service (MaaS) di mana perusahaan menggunakan tiga pendekatan utama, yakni menjadi penyedia multiplatform/channel, multiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya tak lain untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Pendekatan pertama, multichannel, adalah memperluas akses layanan transportasi Blue Bird di lebih dari satu channel. Sebelumnya, layanan ini sudah tersedia di Gojek dan Traveloka. “Kami akan perbanyak channel ini, akan ada akhir September ini,” ungkapnya di sesi virtual meet dengan DailySocial.

Saat ini My Blue Bird menjadi platform utama perusahaan dalam pemesanan taksi. Menurut Paul, aplikasi tersebut akan hadir dengan sejumlah pembaruan pada Desember mendatang.

Blue Bird juga melakukan diferensiasi layanan di luar jasa transportasi, yakni sewa mobil dan bus, serta logistik. Paul juga menargetkan layanan tersebut juga dapat dipesan melalui multiplatform.

“Terkait mobility partnership, kami juga akan umumkan kolaborasi dengan salah satu perusahaan besar di Indonesia untuk layanan multimoda. Ini berkaitan ke multiproduct/service tadi,” ungkap Paul.

Terakhir adalah multipayment. Opsi pembayaran beragam dinilai menjadi salah satu kunci utama di era inklusivitas layanan. Apalagi masuknya Gojek sebagai pemegang saham minoritas Blue Bird akan memungkinkan integrasi GoPay ke layanan My Blue Bird.

“Semua layanan Blue Bird menerima jenis pembayaran nontunai, termasuk platform digital. Bahkan sejak empat bulan terakhir, kami sudah roll out Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) ke 12.000 armada Blue Bird dan sudah selesai,” tambahnya.

Tak kalah penting, lanjut Paul, perusahaan juga berupaya mendigitalisasi semua armada taksi selama sebulan terakhir. Paul mengungkap bahwa kini setiap armada dilengkapi front panel yang dapat mengukur sensor di dalam taksi, melakukan tracking akurat dengan GPS, dan safety management.

“Kami mendukung ujung tombak (pengemudi) dengan teknologi, seperti IoT dan AI. Sekarang kami lagi moving semuanya ke cloud based. Sistem dan jaringan juga kami revamp supaya baru semua di akhir tahun ini. Ini semua untuk meyakinkan konsumen bahwa kami dapat memenuhi good factor layanan kami,” paparnya.

Masuk ke layanan logistik

Pandemi Covid-19 sangat memukul sektor transportasi di dunia. Dampaknya turut dirasakan Blue Bird akibat kebijakan pembatasan sosial yang mengharuskan kegiatan kerja dan sekolah di rumah.

Berdasarkan kinerja di kuartal II 2020, Blue Bird mengalami penurunan signifikan pada total pendapatan dan laba. Pandemi membuat kontribusi pendapatan dari jasa taksi Blue Bird turun 43 persen menjadi Rp865 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu Rp1,5 triliun.

Dampak pandemi terhadap kinerja Blue Bird
Sumber: Laporan Keuangan Kuartal II (2019-2020) / Diolah kembali oleh DailySocial

Blue Bird melakukan manuver dengan masuk ke layanan logistik sejak Maret lalu. Perusahaan memperkenalkan program COD (Chat-Order-Delivery) Blue Bird yang dapat dipesan melalui WhatsApp. Layanan ini tersedia untuk kawasan Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pekanbaru, Batam, dan Palembang.

Program COD ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah layanan baru, BirdKirim. Pelanggan dapat mengantar barang atau dokumen yang tarifnya disesuaikan dengan jarak kirim. Layanan yang tersedia di aplikasi My Bluebird ini diperkenalkan pada Juni lalu.

“Sekarang kami tinggal tunggu [pengembangan] untuk layanan logistik grosir, jadi dapat dipesan via aplikasi juga. Bagi kami, layanan logistik untuk korporasi sangat menarik. Sudah banyak perusahaan besar yang memindahkan layanan logistiknya ke kami. Ada [platform] e-commerce B2B yang pengiriman logistiknya sudah pakai jasa Blue Bird, hanya saja belum bisa kami umumkan,” jelasnya.

Selain itu, Paul mengungkap bahwa pihaknya berencana mengumumkan kolaborasi dengan salah satu startup logistik yang sudah berjalan sejak Maret lalu. Lewat upaya kolaborasi ini, perusahaan memproyeksikan pertumbuhan bagus dari layanan logistik.

Menentukan “Make-or-buy decision”

Bicara tentang pengembangan inovasi, baik sendiri maupun kolaborasi ini, tentu dibutuhkan komitmen solid dari top level. Dalam prosesnya, Paul menegaskan pentingnya menerapkan strategi “make-or-buy decision“.

Menurutnya, model ini belum diterapkan dengan baik oleh banyak perusahaan di Indonesia. Di Blue Bird sendiri, Paul mengaku terus mengamati kapabilitas perusahaan untuk memahami perlunya pengembangan sendiri, pengelolaan sendiri, atau berkolaborasi dengan pihak ketiga.

Sebetulnya model ini sudah tak asing bagi korporasi. Umumnya, strategi membeli lewat akuisisi sering dipilih karena lebih efisien secara waktu dan sumber daya. Dan konsep ini dinilai lebih cepat untuk men-deliver layanan di pasar. Namun, mengembangkan sendiri juga tidak ada salahnya selama ada modal dan sumber daya yang cukup dan mumpuni.

Di konteks ini, saham minoritas Blue Bird bahkan telah diakuisisi Gojek senilai $30 juta atau sekitar Rp411 miliar) pada Februari 2020.

Sampai saat ini belum diketahui rencana besar apa di balik pembelian saham Blue Bird oleh Gojek. Yang pasti, Blue Bird saat ini tengah menyiapkan sinergi menguntungkan bagi kedua belah pihak. Paul sendiri menolak berkomentar terkait rencana selanjutnya dari akuisisi tersebut.

“Beberapa hal yang bukan kompetensi Blue Bird pasti akan kami beli. Artinya, skema beli ini untuk long term partnership. Sebentar lagi, Blue Bird akan ada tanda tangan kontrak besar terkait hal ini,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSResearch: Tren Inovasi dan Transformasi Digital di Korporasi 2020

Korporasi selalu dihadapkan dengan tantangan bisnis yang dinamis yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kebiasaan konsumen yang berubah, relevansi produk/layanan, hingga disrupsi teknologi dari pemain baru. Kondisi tersebut membuat perusahaan harus gesit menyusun langkah-langkah transformatif kaitannya dengan strategi, model bisnis, tatanan organisasi, hingga digitalisasi.

Kondisi tersebut tentu juga dialami para korporasi di Indonesia. Untuk melihat bagaimana para perusahaan di Indonesia mengagendakan transformasi, DSResearch menyusun laporan bertajuk Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020. Di dalamnya peneliti melakukan wawancara lebih dari 20 narasumber dari perusahaan berskala besar, baik di posisi C-Level maupun Mid-Level.

Adapun perusahaan yang disurvei dipilih lima sektor berbeda meliputi perbankan, keuangan non-perbankan, telekomunikasi, transportasi dan pariwisata, serta FMCG. Beberapa perusahaan tersebut termasuk BCA, Bank Mandiri, Zurich Insurance, Telkom, XL Axiata, Blue Bird, Garuda Indonesia, HM Sampoerna dll.

Selain membahas mengenai tren transformasi bisnis terkini, laporan ini banyak menampilkan studi kasus proses transformasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi narasumber. Peneliti menggunakan tiga komponen identifikasi untuk menemukan pola-pola transformasi yang dilakukan, meliputi komitmen pemangku kebijakan, perjalanan inovasi, dan produk inovasi; dibungkus dengan kerangka kerja yang relevan untuk pengukuran.

Berikut ini beberapa poin menarik yang dirangkum dalam laporan:

  • Di tingkat korporasi, penempatan transformasi bisnis difokuskan untuk dua hal, yakni peningkatan pangsa pasar atau pelayanan konsumen; dan pengembangan produk atau aset bisnis. Dimulai dari meningkatkan sumber daya yang sudah dimiliki, dilanjutkan dengan eksplorasi dan membuka peluang-peluang baru.
  • Covid-19 memberikan pukulan untuk beberapa jenis bisnis, utamanya di sektor transportasi dan pariwisata. Namun beberapa celah masih bisa dioptimalkan dengan baik, misalnya untuk bisnis logistik. Sementara untuk sektor lain seperti perbankan, pandemi menjadi momentum untuk adaptif dengan implementasi teknologi.
  • Di sektor perbankan, beberapa tahun terakhir kegiatan transformasi mengarah pada realisasi “open banking platform”. Pendekatan digital juga terus dimaksimalkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna yang lebih baik. Kolaborasi dengan fintech juga makin dioptimalkan – misalnya dengan membuka layanan API untuk diintegrasikan oleh para pengembang aplikasi.
  • Perusahaan telekomunikasi di Indonesia tidak lagi hanya terpaku pada bisnis utama mereka, tapi juga mulai banyak mengeksplorasi peluang lain khususnya terkait layanan OTT. Namun tidak sedikit yang gagal. Pendekatan kolaboratif akhirnya dipilih dengan membentuk CVC, lab inovasi, atau program akselerasi.
  • Perusahaan FMCG sudah merasakan adanya disrupsi, namun kebanyakan belum memiliki komitmen yang serius untuk melakukan transformasi digital. Ditandai dengan tidak adanya roadmap digital atau sumber daya khusus yang disiapkan untuk mengarah ke sana. Mereka merasa masih cukup mengandalkan kanal-kanal distribusi yang sifatnya “terbuka”, seperti dengan menghadirkan lapak di platform online marketplace.

Selain itu, dalam laporan turut dirangkum tentang kultur organisasi, perjalanan inovasi, hingga inovasi teknologi dari tiap perusahaan yang menjadi narasumber, dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan. Selengkapnya, unduh laporan: Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020 (versi Bahasa Indonesia) dan Corporate Digital Transformation Report 2020 (English version).


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo)

Analyzing Gojek’s Decision to Acquire Minority Ownership of Blue Bird

In the recent regulatory filing on February 14th, PT Blue Bird Tbk (Blue Bird) announced the operator’s holding company has sold 4.3% stock worth of $30 million (411 billion Rupiah) to the undisclosed buyer. Bloomberg named Gojek as a buyer, according to the rumor spread since the end of last year.

The public must be questioning the reason behind Gojek’s interest in Indonesian largest taxi company stocks. Based on our observation, there are certain points of concern when Gojek, in collaboration with Blue Bird trying to dominate the on-demand transportation services market in Indonesia.

Alliance and Innovation

The enemy of my enemy is my friend. Dealing with Grab and the large sum cash poured by its investors, including electric car development, the adage sounds legit as Gojek took (and tie) Blue Bird to join forces in “winning” the Indonesian market.

Grab has quite rapid innovation in Indonesia within the last year by initiating Greenline taxi and introducing the electric fleet with Hyundai — as one of its investors.

Rather than individually “battling”, the two ally and innovate. Blue Bird has a diversified broad product line, including BYD and Tesla electric cars, however, lacks of assignments on digital innovation.

In addition, Gojek has the most rapid innovation, including the payment channel, though a lack of diversification in transportation products. They are very dependent on the driver’s partner vehicles.

Digital transformation of Blue Bird

As a publicly listed company, it is literally visible that Blue Bird’s market capitalization and profits have not improved since its peak in early 2015 (before the high-penetration of on-demand services in Indonesia).

BIRD stock exchange in the last 5 years
BIRD stock exchange in the last 5 years

The current value of Blue Bird’s share then is at Rp 12,100. As of this writing 5 years later, the number has shrunk to Rp 2,400, it shows the company’s market capitalization to only one fifth.

Officially introduced as (minority) owner, Gojek should put technology transfer, such as a mapping system, PoI (Point of Interest) determination, and ways of communicating between drivers and passengers as its current focus.

This collaboration should be the green light, especially for public investors, that Blue Bird can afford to be sustainable and relevant. Unlike other taxi companies that flunked in a storm of on-demand services with heavy cash to burn.

Will this become a new trend?

We’ll have to wait and see, for the results of a broader partnership between the two companies this year. Gojek’s focus on pursuing revenues and profits has met its match with Blue Bird Corporation.

It is too early to speculate the angle of this collaboration, or whether synergy like this will become a new trend between technology startups and conventional companies.

The thing is, Gojek has been one step ahead in pulling Blue Bird, as a taxi company with the best brand value, from the pool of tempting competitors. It is not impossible that we will see GoSilverBird or GoBlueBirdElectric options in the near future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Alasan Gojek Ambil Saham Minoritas Blue Bird

Di keterbukaan tanggal 14 Februari lalu, PT Blue Bird Tbk (Blue Bird) mengakui bahwa keluarga pengendali perusahaan telah menjual 4,3% saham senilai sekitar $30 juta (411 miliar Rupiah) ke pembeli yang tidak disebutkan namanya. Bloomberg menyebutkan pembelinya adalah Gojek yang rumornya sudah berseliweran sejak akhir tahun lalu.

Publik tentu bertanya-tanya kenapa Gojek sangat meminati saham perusahaan taksi terbesar di Indonesia ini. Menurut hemat kami, ada beberapa poin yang menjadi perhatian tentang ketika Gojek menggandeng Blue Bird dalam usahanya bersama-sama mendominasi pasar layanan transportasi on-demand di Indonesia.

Aliansi dan inovasi

The enemy of my enemy is my friend. Menghadapi Grab yang memiliki pendanaan besar dari investor-investornya, termasuk pengembangan mobil listrik, adagium tersebut terasa logis ketika Gojek menggandeng (dan mengikat) Blue Bird untuk bersama-sama “memenangkan” pasar Indonesia.

Inovasi Grab dalam setahun terakhir ini di Indonesia termasuk pesat dengan menginisiasi lini taksi Greenline dan menghadirkan lini mobil listrik bersama Hyundai–sebagai salah satu investornya.

Ketimbang sendiri-sendiri “berperang”, keduanya beraliansi dan berinovasi. Blue Bird memiliki diversifikasi lini produk yang luas, termasuk mobil listrik BYD dan Tesla, di berbagai kota besar Indonesia tapi memiliki PR besar soal inovasi digital.

Di sisi lain, Gojek termasuk dalam jajaran startup yang paling cepat inovasinya, termasuk lini pembayaran, tapi memiliki kekurangan diversifikasi lini produk transportasi. Mereka sangat bergantung pada kendaraan mitra pengemudi.

Transformasi digital untuk Blue Bird

Sebagai sebuah perusahaan terbuka, sesungguhnya sangat terlihat bahwa kapitalisasi pasar Blue Bird dan profitnya tidak kunjung membaik sejak puncaknya di awal 2015 (sebelum booming layanan on-demand masuk Indonesia).

Pergerakan nilai saham BIRD dalam 5 tahun terakhir
Pergerakan nilai saham BIRD dalam 5 tahun terakhir

Kala itu nilai per lembar saham Blue Bird mencapai angka Rp12.100. Per tulisan ini dibuat 5 tahun kemudian, angkanya menyusut menjadi Rp2400-an, artinya kapitalisasi pasar perusahaan hanya tinggal seperlimanya.

Dengan secara resmi menjadi pemilik (minoritas), transfer teknologi, misalnya sistem pemetaan, penentuan PoI (Point of Interest), dan cara berkomunikasi pengemudi dan penumpang seharusnya menjadi agenda Gojek.

Diharapkan kolaborasi ini bisa menjadi sinyal positif, terutama bagi investor publik, bahwa Blue Bird dapat terus bertahan dan relevan. Tidak seperti perusahaan taksi lainnya yang luluh lantah di antara badai layanan on-demand dengan suntikan dana jor-joran.

Apakah bakal menjadi tren?

Kita harus wait and see melihat hasil kemitraan yang lebih luas antar kedua perusahaan tahun ini. Fokus Gojek yang mulai mengejar pendapatan dan keuntungan semakin pas disandingkan dengan korporasi seperti Blue Bird.

Masih terlalu prematur untuk berspekulasi tentang arah kolaborasi keduanya, atau apakah sinergi seperti ini bakal menjadi tren baru antara startup teknologi dan perusahaan konvensional.

Yang jelas Gojek telah satu langkah di depan dalam membentengi Blue Bird, sebagai perusahaan taksi dengan brand value terbaik, dari godaan kompetitor-kompetitornya. Bukan tidak mungkin kita akan melihat pilihan GoSilverBird atau GoBlueBirdElektrik dalam waktu ke dekat.

Gojek Reportedly Nearing a Deal to Acquire 5% of Blue Bird Worth of 420 Billion Rupiah

Gojek is to acquire 5% shares of PT Blue Bird Tbk (Blue Bird). They’re to spend about $30 million or 420 billion Rupiah, it goes higher considering the company’s market capitalization in the closing stock exchange per Monday (12/16) at 6.8 trillion Rupiah.

The news was first published by Bloomberg. According to a source, the deal was built on the previous partnership, since 2016. As publicly known, the taxi operator Blue Bird is also available to order via Gojek application, through the Go-Blue Bird feature.

The company’s move is believed to be in line with the business strategy to continue leading the market amid intense competition with its rival, Grab. Gojek has also applied the strategic partnerships with local transportation companies in Singapore. In November 2019 they announced a strategic partnership with Trans-Cab Services, to accommodate orders for more than 3000 taxi fleets through the application. This service is said to be effective per December 2019.

On the other hand, Gojek is keeping the door for new participants open to the Series F funding round. Targeting $3 billion, it is reported to have reached $2 billion and to be closed in January 2020. Gojek’s Commissioner, Boy Thohir also mentioned the company’s plan to run IPO.

Having the ambition to be a super app, Gojek keeps expanding its services. It is through the acquisition of some digital startups. The latest one is Moka’s point of sales service, in the finalizing stage acquisition worth of 1.6 trillion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gojek Dikabarkan Segera Beli 5% Saham Blue Bird Senilai 420 Miliar Rupiah

Gojek dikabarkan segera akuisisi 5% kepemilikan saham PT Blue Bird Tbk (Blue Bird). Nilai yang akan dibayarkan sekitar $30 juta atau setara 420 miliar Rupiah, lebih tinggi jika melihat kapitalisasi pasar perusahaan pada penutupan bursa saham per hari Senin (16/12) lalu sekitar 6,8 triliun Rupiah.

Kabar ini pertama kali dirilis oleh Bloomberg. Menurut sumber, kesepakatan ini dibangun berdasarkan kemitraan yang sudah ada sebelumnya, sejak tahun 2016. Diketahui bersama, saat ini layanan taksi Blue Bird bisa dipesan dengan aplikasi Gojek, melalu opsi Go-Blue Bird.

Aksi perusahaan ini diyakini sejalan dengan strategi bisnis untuk terus memimpin pasar di tengah persaingan ketat bersama rivalnya Grab. Kemitraan strategis dengan perusahaan transportasi lokal turut diterapkan Gojek di Singapura. November 2019 lalu mereka umumkan kerja sama strategis dengan Trans-Cab Services, untuk mengakomodasi pemesanan lebih dari 3000 armada taksi melalui aplikasi. Layanan ini dijanjikan mulai efektif per Desember 2019.

Di lain sisi, saat ini Gojek masih terus membuka peluang partisipan baru dalam putaran pendanaan seri F. Dengan target perolehan $3 miliar, dikabarkan saat ini sudah capai $2 miliar, dan akan ditutup pada Januari 2020. Turut disampaikan oleh Komisaris Gojek Boy Thohir rencana perusahaan melakukan IPO.

Berambisi menjadi super app, Gojek terus kembangkan sayap layanannya. Termasuk dengan melakukan akuisisi ke sejumlah startup digital. Yang terbaru layanan point of sales Moka, tengah dalam tahap finalisasi akuisisi senilai 1,6 triliun Rupiah.

Application Information Will Show Up Here