Untung Rugi Pemblokiran Netflix di Indonesia

Sejak merilis film orisinal pada tahun 2015, pengembang platform video streaming Netflix terus tingkatkan kualitas produksi. Salah satu yang jadi takaran mutunya, di ajang Oscars 2020 karya yang mereka produksi berhasil menggaet 24 nominasi. Dua di antaranya, yakni The Irishman dan Marriage Story, masuk di jajaran kategori film terbaik.

Tak ayal kini perusahaan publik yang awalnya startup Silicon Valley tersebut dijajarkan dengan studio besar Hollywood layaknya Warner Bros, Universal Pictures dan lain-lain. Kualitas konten tersebut juga yang membuat para pengguna rela untuk membayar biaya berlangganan lebih (dibanding platform serupa), termasuk di Indonesia.

Memasuki pertengahan dekade lalu, sekitar tahun 2014-2016, model bisnis Netflix mulai direplikasi startup di Asia Tenggara. Sebut saja iflix (2014), Hooq (2015), dan Viu (2015). Mereka menyuguhkan layanan serupa termasuk untuk pengguna di Indonesia. Selain membeli lisensi penayangan, mereka juga memproduksi serial filmnya sendiri.

Penolakan keras sejak awal

Pada 7 Januari 2016, Netflix memutuskan untuk melakukan ekspansi global, hadir di 130 negara termasuk Indonesia. Rencana tersebut lantas mendapatkan beragam tanggapan dari banyak pihak. Dari regulator, Kominfo memaparkan serangkaian persyaratan administratif yang harus dilakukan pemain OTT (Over The Top). Dua yang terus ditekankan adalah pembentukan badan usaha tetap dan komitmen sensor konten.

Sebagai informasi, OTT mencakup konten berupa data, informasi dan multimedia yang berjalan dan diakses melalui medium internet. Secara regulasi, konten-konten tersebut dianggap “menumpang” beroperasi di atas jaringan internet milik perusahaan telekomunikasi.

“Netflix akan diwadahi dari sisi regulasi, karena ada kepentingan masyarakat yang harus diproteksi, terutama dari sisi konten,” ujar Rudiantara selaku Menkominfo kala itu.

Tidak hanya pemerintah, asosiasi juga memberikan sinyal penolakan kehadiran perusahaan berkode saham NFLX tersebut. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengatakan ada beberapa aturan yang tidak terpenuhi, yakni Perpres No. 39 tahun 2014 pada poin yang menyoal ketentuan penyelenggara jasa perfilman dan TV berbayar. Selain itu juga UU No. 32 tahun 2002 dan UU No. 33 tahun 2009 tentang pembentukan badan hukum.

Hingga akhirnya per 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.

Tetap jadi pilihan

Mengutip data yang dihimpun Statista, per tahun 2019 total estimasi pelanggan aktif Netflix di Indonesia sekitar 418 ribu orang, diproyeksikan akan meningkat jadi 906 ribu tahun ini. Dari riset yang berbeda, misalnya mengutip laporan yang baru dirilis AppAnnie bertajuk “State of Mobile 2020”, Netflix masih masuk ke dalam 5 besar aplikasi streaming pengguna ponsel pintar di Indonesia.

Aplikasi video streaming populer di berbagai negara / AppAnnie
Aplikasi video streaming populer di berbagai negara / AppAnnie

Di luar jaringan telekomunikasi yang disediakan Telkom, pelanggan masih leluasa untuk menggunakan Netflix. Pada umumnya operator non-plat merah baru melakukan pemblokiran jika suatu situs atau aplikasi sudah ada di TrustPositif – kanal untuk daftar situs yang resmi dicekal Kominfo.

Di Indonesia sendiri memang ada cukup banyak layanan serupa, seperti iflix, Viu, Hooq, Genflix, bahkan pemain lokal seperti Vidio, Go-Play.

Beberapa platform global setara Netflix juga mulai hadir, misalnya HBO Go dan Amazon Prime, bahkan layanan konten spesifik seperti beIN Sports dan NBA League Pass di kategori olahraga.

Daftar harga layanan video streaming populer di Indonesia / DailySocial

Dikutip dari pemberitaan Tirto, Direktur Konsumer Telkom Dian Rachmawan mengatakan, “Pemain OTT dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.”

Nyatanya, layanan video on-demand asing lain, seperti Hooq, iflix dan Viu, memang menjalin kerja sama B2B dengan operator lokal agar memberikan manfaat bisnis satu sama lain. Beberapa juga dengan koporasi pemilik media, misalnya iflix dengan MNC Group.

Namun demikian, Telkom pun punya argumentasi lain terkait pemblokiran, yakni terkait konten pornografi khususnya dikaitkan dengan beleid UU Pornografi dan UU ITE.

Potensi untung dari pajak

Sejak beberapa tahun terakhir Kementerian Keuangan tengah giat untuk mengupayakan penarikan pajak dari OTT asing yang beroperasi di Indonesia. Tidak hanya layanan video, mereka juga mulai “memburu” perusahaan besar seperti Google, Facebook dan lain-lain.

Belum adanya beleid yang mengatur pajak perusahaan OTT membuat mekanismenya belum detail. Rencananya di Omnibus Law, rancangan regulasi yang akan diupayakan DPR RI, akan mulai mengakomodasi kondisi tersebut.

Dikutip dari Kompas, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi menyontohkan regulasi di Singapura dapat diterapkan di sini. Perusahaan digital tidak wajib bikin kantor di sini, namun tetap dikenakan pajak dari biaya langganan dari konsumen Indonesia.

Demikian pula disampaikan Hestu Yoga Saksama selaku Direktur Penyluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, “Makanya di Omnibus Law nanti, kita atur bahwa tidak harus ada physical presence, tapi ada substansial atau significant economic presence.”

Umumnya bagi perusahaan yang berdomisili di Indonesia, pemerintah mewajibkan untuk melakukan pembayaran pajak, baik berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari produk yang dijual, maupun Pajak Pengasilan (PPh) dari ketenagakerjaan.

Potensi rugi dari sektor kreatif

The Night Comes for Us jadi film orisinal Indonesia pertama yang dipublikasikan Netflix pada tahun 2018. Untuk meningkatkan kuantitas film lokal, pertengahan tahun lalu, perusahaan juga mulai membangun kemitraan dengan konten kreator hingga penggiat film di Indonesia untuk menciptakan konten lokal yang secara khusus ditayangkan di Netflix.

Director of Product Innovation Netflix Ajay Arora mengungkapkan, investasi tersebut menjadi fokus Netflix di Indonesia demi menghadirkan konten yang bisa disukai oleh pelanggan di tanah air.

Acara peresmian kerja sama Netflix dengan Kemendikbud / Kemendikbud
Acara peresmian kerja sama Netflix dengan Kemendikbud / Kemendikbud

Hingga pada tanggal 9 Januari 2020 kemarin, Netflix meresmikan kemitraan strategis dengan Kemendikbud untuk mendukung pengembangan talenta perfilman Indonesia.

Secara spesifik, akan berfokus pada pengembangan kemampuan penulisan kreatif (creative writing), pelatihan pasca-produksi, serta lomba film pendek. Selain itu, akan ada juga pelatihan di bidang keamanan online serta tata kelola untuk menghadapi pertumbuhan industri kreatif yang dinamis. Di kemitraan tersebut, Netflix mengucurkan dana setara $1 juta atau setara 14 miliar Rupiah.

Sejatinya sinergi seperti ini menjadi corong yang sangat baik bagi industri kreatif di Indonesia untuk berkembang pesat. Selain menghadirkan pengetahuan global – dalam hal ini ilmu film dari Hollywood – peran OTT juga bisa dimanfaatkan sebagai kanal bagi pelaku kreatif untuk merangkul pasar internasional. Terlebih Netflix kini jadi salah satu takaran kualitas untuk produk film. Tidak hanya film sebenarnya, platform seperti Spotify bahkan TikTok memungkinkan beragam kreativitas digital dipasarkan secara luas.

Sehingga idealnya kemitraan dengan OTT tidak hanya dipandang dari sudut regulasi finansial, melainkan perlu berunding dengan kementerian lain, dalam hal ini misalnya Kemenparekraf.

Harapan untuk akses yang lebih bebas

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo bahwa masyarakat bisa mempersoalkan pemblokiran ke layanan OTT tertentu apabila dirasa merugikan. Karena pada dasarnya masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk memilih.

“Yang pertama, hak untuk mendapat informasi, right to know. Kalau pemblokiran itu menghambat konsumen mendapat informasi, mestinya dapat dipersoalkan,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia.

Pasalnya, aturan model pemblokiran ini seperti sudah jadi warisan turun-temurun. Bahkan untuk mendorong inisiatif ini, pada tahun 2017 lalu Kominfo menganggarkan 211 miliar Rupiah untuk membeli mesin sensor internet. Kendati sudah jadi rahasia umum, situs-situs yang diblokir tetap bisa diakses mekanisme tertentu.

Tentu kita punya harapan, bahwa internet bisa menyuguhkan konten-konten berkualitas, baik untuk hiburan maupun pendidikan. Selain pemblokiran, ada satu hal yang terus kami coba tawarkan untuk pemerintah, yakni penguatan literasi digital masyarakat. Beberapa aktivitas riil yang dapat dilakukan seperti:

  • Melakukan sosialisasi aktif memanfaatkan jaringan institusi pemerintah (sampai level desa) untuk memberikan pemahaman tentang literasi digital. Materi literasi digital yang diajarkan mendorong kalangan masyarakat memahami batasan konten relevan yang bisa mereka akses.
  • Memberikan akses dan dukungan kepada pelaku industri kreatif digital untuk mengisi ekosistem internet nasional dengan konten-konten berkualitas, dengan beragam bentuk.

Dengan cakupan global, sebuah keniscayaan internet untuk bersih dari konten negatif. Memberikan pemahaman tentang konten negatif itu sendiri akan menjadi aksi visioner yang membentuk pribadi bangsa yang lebih baik. Tanpa harus diblokir, masyarakat menjadi tahu bahwa suatu konten negatif tidak layak diakses.

Mengenal Lebih Dekat Lokadata, Wajah Anyar Situs Beritagar

Situs berita Beritagar mewarnai sejumlah pemberitaan pada pertengahan Oktober 2019 lalu. Kabar pemutusan hubungan kerja sejumlah karyawan, perubahan nama dan fokus bisnis menjadi topik utamanya.

Per 1 Desember kemarin, Beritagar yang berada di bawah naungan PT Cipta Lintas Media resmi rebranding menjadi Lokadata. Nama Lokadata sendiri sebelumnya digunakan sebagai merek dagang produk mereka terkait paparan data.

Mengutip apa yang tertera di situs mereka, kian besarnya derajat data sebagai dasar pengambilan keputusan dalam segala bidang kehidupan menjadi salah satu alasan kelahiran Lokadata ini.

Kendati demikian, Lokadata tetap mengidentifikasi dirinya sebagai perusahaan media. Hal ini ditekankan oleh Dwi Setyo Irawanto selaku Pemimpin Redaksi.

“Kita masih merasa sebagai perusahaan media karena kita bekerja dalam prinsip-prinsip jurnalistik, tidak meninggalkan etika jurnalistik, melakukan verifikasi terhadap fakta, tidak suuzan, mengonfirmasi kepada orang-orang yang disebut. Semua rambu-rambu jurnalistik itu tetap kita penuhi meskipun sebagian kerja kita dibantu mesin,” ujar Dwi kepada Dailysocial saat ditemui di kantornya.

Media dan robot

Lokadata adalah salah satu perusahaan media yang pertama di Indonesia –jika bukan satu-satunya– yang melibatkan mesin pintar ke dalam kerja jurnalistik. Di belahan dunia lain seperti Amerika Serikat, tren ini sudah dimulai sejak 2014 silam ketika Associated Press (AP) menggandeng perusahaan kecerdasan buatan/AI bernama Automated Insights.

AP memanfaatkan AI khusus untuk menyusun laporan mengenai bidang finansial, seperti laporan keuangan perusahaan. Sama seperti AP, Lokadata memanfaatkan AI secara penuh untuk laporan-laporan yang bersifat repetitif.

“Yang sudah full mesin itu sepak bola, saham, gempa bumi, dan indeks kualitas udara. Editor nanti mengerjakan barang-barang yang tidak repetitif, yang lebih analitis, bertemu orang wawancara, jadi lebih indepth lah,” ucap COO Lokadata Didi Nugrahadi.

Didi menjelaskan secara umum ada beberapa jenis laporan yang dihasilkan oleh Lokadata berdasarkan derajat keterlibatan robot. Jenis laporan repetitif yang sudah disebut sebelumnya seratus persen dibuat oleh robot. Jenis laporan bernama Sorotan Media melibatkan 10-15% kerja manusia dan sisanya oleh robot. Terakhir ada laporan yang 80% digarap oleh manusia dengan sisanya dibantu robot.

“Yang 100% manusia tanpa bantuan teknologi sepertinya enggak ada,” imbuh Didi.

Penggunaan robot dalam kerja jurnalistik menghindari awak redaksi dari laporan-laporan repetitif namun memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Pemanfaatan robot juga mendongkrak produktivitas suatu media. Lokadata memang tidak membeberkan berapa jumlah artikel yang bisa mereka hasilkan semenjak “mempekerjakan” robot, namun pengalaman AP bisa jadi bayangan kasar.

Semenjak AP melibatkan AI ke dalam redaksinya, mereka bisa menerbitkan 3000 judul berita keuangan setiap kuartal. Angka itu bahkan bisa terus bertambah sesuai kebutuhan perusahaan.

Namun tak bisa dimungkiri bahwa ada yang dikorbankan untuk meraih efisiensi lewat adopsi teknologi ini. Redaksi mereka kini hanya diisi oleh 8 orang saja, termasuk pemimpin dan wakil pemimpin redaksi, jauh lebih sedikit dibanding punggawa mereka yang mengurusi data dan teknologi platform.

Model bisnis

“Pendapatan naik terus, tapi masih tidak mengejar beban biaya,” ujar Dwi pada media Oktober lalu kepada CNN Indonesia.

Dengan kondisi demikian, Lokadata akan lebih fokus terhadap jurnalisme data, serta riset dan analisis mengenai lanskap bisnis, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain data tidak sekadar menjadi komponen produk jurnalistik, tapi sebagai produk itu sendiri.

Didi mengatakan sumber pemasukan Lokadata berasal dari iklan dan produk data tadi. Sebab mereka sadar pendapatan iklan di bisnis media sedang meredup di seluruh dunia, monetisasi produk data jadi jalan keluarnya. Dwi bahkan tak menutup kemungkinan pihaknya akan menerapkan paywall.

“Ada kemungkinan ke sana, tapi lihat nanti saja,” pungkas Dwi.

The Digital Service has Transformed Nation’s Behavior in SEA

Google-Temasek report titled “e-Conomy SEA 2019” placed e-commerce and online travel as the biggest participant in the regional digital economy. In 2019, each gives $38 billion and $34 billion, to increase at $153 billion and $78 billion by 2025.

Previously in 2018, the same report placed the online travel sector on top, e-commerce presents a new experience that creates rapid growth. The players’ effort to promote also have a significant impact – online shopping festival such as 9.9, Singles Day, 12.12  always welcomed to all businesses.

Google Trends data showed e-commerce promotion has constantly increased per year. With various strategy, starts from influencer and gamification feature to acquire users to connect with the platform. A machine learning technology has also affected the increase of product offerings to all consumers.

layanan digital1

The logistics expand also has an impact on the rising e-commerce. In order to pamper its users, some even provide fast delivery – less than 24hr after the finished order. All the attempts, from the promotion to logistics, has changed the basic behavior for online shopping. Prior to this, e-commerce mostly served those who want to make a “big” purchase, such as a smartphone or TV, but daily goods are now available.

Over 5 million orders are processed by e-commerce per day worth $15-$20 on average.

Food delivery becomes the hype

In 2015, the ride-hailing sector is worth $3 billion, by this year at $13 billion, projected to reach $40 billion by 2025. Four years ago, the industry is only about alternative transportation. To date, it has further expanded to provide more services. A significant example is food delivery, such as Go-Food or GrabFood – later might be financial services.

layanan digital2

The food delivery service has been highlighted since 2018 as it affected much on consumer’s behavior. People from all classes are fond of the service, using effectivity as justification amid traffic congestion and weather condition. In the metropolitan area, the service is in high demand.

There are lots of reasons, besides promotion and marketing effort from the decacorns, accessibility to the food industry is expanding. The delivery service offered various menus from restaurants to small stalls. In terms of business, the platform brings a lot of benefits. Some have been using it to build a better connection to the users through rewards and loyalty programs.

Entertainment channel is still on

Since 2015, there are at least 100 million new internet users in Southeast Asia. Applications from video, music, and game are channels with the highest demand – through smartphones. The value has reached $14.2 billion this year and to multiple a few times by 2025. Most users prefer free content, even if it means to watch some ads.

A new trend captured, that short-time video, such as Bigo Live and Tik Tok has fascinated the market. A supported app like lip-sync has produced viral content adored by groups of people. In addition, online gaming is boosting up. One of the popular games is Free Fire under Garena that acquires 450 million users with 50 million active users.

Budget hotel supporting the travel industry

This sector has been matured enough in Southeast Asia’s digital economy. Tourism becomes the main factor. As a market, the urge of the middle class to travel – have a significant effect on the online travel industry. Alternative services arose, budget hotel platforms for example, such as OYO and RedDoorz.

An aggregator platform like Tiket.com, Traveloka, and Booking.com is planning for a better maneuver. Partnership with other digital players is getting increased, with ride-hailing for example. Not only as a travel ticket provider, but the online travel agency is also getting ready with “experience” channel for users who want to take a full trip. Various features are now accessible in one platform, ticket to the amusement park and various shows.

Service integration

Another note to mind is service integration from the platform to improve user experience. Take the Hooq partnership with Grab to provide streaming video last year as an example. Another one is Gojek’s latest maneuver to present kumparan news on its platform. The integration has extended various services on each platform.

layanan digital4

Take a note on ride-hailing and e-commerce as the most ambitious ones. Various digital services are being integrated into apps. Acquisitions and investment become the solution for some startups to improve the entire capability on its platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Layanan Digital Berhasil Mengubah Kebiasaan Masyarakat di Asia Tenggara

Laporan Google-Temasek bertajuk “e-Conomy SEA 2019” menempatkan e-commerce dan online travel menjadi sektor digital yang paling besar partisipasinya terhadap ekonomi digital regional. Tahun 2019, masing-masing memberikan sumbangsih $38 miliar dan $34 miliar, akan meningkat hingga $153 miliar dan $78 miliar tahun 2025 nanti.

Sebelumnya di tahun 2018 riset yang sama menempatkan online travel di peringkat pertama, pengalaman yang diberikan e-commerce dalam memberikan pengalaman baru membuat pertumbuhannya menggeliat. Upaya pemain dalam melakukan promosi juga dinilai memberikan dampak yang signifikan – festival belanja online seperti 9.9, Singles Day, 12.12 selalu disambut meriah oleh seluruh komponen bisnis.

Data Google Trends mencatat, peningkatan promosi layanan e-commerce selalu konsisten setiap tahunnya. Strateginya pun mulai beragam, mulai dengan menggandeng influencer hingga membuat fitur gamifikasi untuk menarik minat pengguna terhubung dengan aplikasi. Teknologi seperti machine learning juga telah memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan penawaran produk untuk para konsumen.

Gambar 1

Perluasan saluran logistik juga dinilai turut menyumbangkan peningkatan bisnis e-commerce. Bahkan untuk memanjakan penggunanya, beberapa pemain memberikan opsi pengiriman cepat – kurang dari 24 jam pasca pesanan diselesaikan. Dari semua upaya tersebut, mulai dari promosi sampai opsi logistik, berhasil mengubah kebiasaan mendasar ketika orang berbelanja online. Jika sebelumnya e-commerce banyak digunakan untuk membeli barang-barang “besar” seperti smartphone atau televisi, saat ini kebutuhan sehari-hari pun dapat diakomodasi.

Rata-rata per hari ada lebih dari 5 juta pesanan yang diproses e-commerce dengan nilai rata-rata $15-$20.

Pesan antar makanan jadi tren kekinian

Tahun 2015, sektor ride-hailing terhitung memiliki kapitalisasi pasar $3 miliar, tahun ini angkanya mencapai $13 miliar dan diproyeksikan mencapai $40 miliar di tahun 2025. Jika empat tahun lalu industri ini masih tentang penyediaan transportasi alternatif, sekarang sudah bertransformasi lebih luas mengakomodasi banyak kebutuhan lain. Yang mulai terlihat signifikan adalah layanan pesan antar makanan, seperti GoFood atau GrabFood –dan mungkin ke depan juga terkait layanan finansial.

Gambar 2

Riset menyoroti, sejak tahun 2018 layanan pesan antar makanan ini telah memberikan pengaruh besar pada pergeseran kebiasaan konsumen. Berbagai kalangan mulai gemar menikmati layanan tersebut, dengan dalih efektivitas di tengah kepadatan lalulintas dan cuaca. Di area metro, layanan ini memiliki tingkat pesanan yang sangat tinggi.

Banyak hal yang menjadi pendorong, terlepas dari promo dan pemasaran yang dilakukan terus-menerus para decacorn, aksesibilitas ke produk makanan menjadi lebih luas. Layanan pesan antar makanan menjembatani menu-menu dari restoran hingga pedagang kaki lima. Dari sisi bisnis, hadirnya platform tersebut juga menghadirkan banyak keuntungan. Beberapa telah memanfaatkan untuk meningkatkan hubungan dengan konsumen melalui program loyalty dan reward.

Kanal hiburan di internet tetap diminati

Sejak tahun 2015, setidaknya tercatat adanya 100 juta pengguna internet baru di kawasan Asia Tenggara. Aplikasi video, musik, hingga game menjadi kanal hiburan yang banyak diminati — melalui ponsel pintar. Tahun ini tercatat nilai pasarnya menyentuh $14,2 miliar dan akan tumbuh hingga lebih dari 2x lipat di tahun 2025. Kebanyakan pengguna masih memilih konten gratis, kendati memaksanya untuk melihat iklan di aplikasi.

Tren baru yang ditangkap ialah konten video singkat seperti Bigo Live dan Tik Tok yang berhasil memesona pasar. Dukungan kemampuan seperti lip-sync menghasilkan konten-konten viral yang disukai hampir semua kalangan masyarakat. Selain itu penikmat game online juga mendapatkan pertumbuhan yang sangat besar. Dicontohkan salah satu yang terpopuler, Fire Fire yang dikembangkan Garena, berhasil menggaet 450 juta pendaftar dengan 50 juta pengguna aktif.

Budget hotel menopang industri travel

Sektor ini dinilai sebagai yang paling matang dalam ekonomi digital Asia Tenggara. Potensi pariwisata menjadi salah satu pendorong utama. Di sisi pasar, peningkatan minat kelas menengah untuk bepergian –baik domestik maupun internasional—memberikan sumbangsih berarti untuk online travel. Alternatif layanan pun muncul, misalnya dengan lahirnya budget hotel seperti OYO dan RedDoorz.

Platform agregator seperti Tiket.com, Traveloka, hingga Booking.com juga mulai meningkatkan manuver. Kemitraan dengan pemain digital lain, misalnya ride-hailing, juga terus diupayakan. Tidak berhenti hanya sebagai penyedia tiket perjalanan, kini aplikasi online travel mulai menyediakan kanal “experience“, didorong kebutuhan pengguna yang ingin memaksimalkan pengalaman perjalanan mereka. Berbagai hal kini bisa diakses melalui satu platform, seperti tiket hiburan hingga karcis ke sebuah pertunjukan.

Integrasi layanan

Catatan lain yang menarik disimak adalah soal integrasi antar layanan yang dihadirkan platform untuk meningkatkan kenyamanan pengguna. Misalnya awal tahun lalu, Hooq menyepakati kerja sama untuk menghadirkan layanan streaming video di aplikasi Grab. Atau aplikasi Gojek yang kini menghadirkan kanal berita dari Kumparan. Soal integrasi ini, menghadirkan varian layanan yang lebih luas di tiap platform.

Gambar 3

Jika diamati, ride-hailing dan e-commerce menjadi yang paling gencar melakukannya. Di kedua aplikasi tersebut, hampir setiap layanan digital mulai ada. Aksi perusahaan seperti akuisisi dan investasi pada akhirnya dipilih beberapa startup untuk meningkatkan kapabilitas menyeluruh di platformnya.

Indonesia’s Digital Economy is Now at $40 Billion, E-commerce as the Biggest Participant

Google and Temasek have published another annual report on Southeast Asia’s digital economy. Titled as e-Conomy SEA 2019, there are some issues worth highlighting. Since 2015, the internet user has exceeded 100 thousand people-increased by 10% in the past year. In 2019, SEA’s total internet user has reached 360 million. New users are mostly at the age of 15-19 years old.

The increasing number has an impact on the internet/digital economy. The number has reached $100 billion in 2019, projected to reach $300 by the year 2025. The estimated number increased after last year’s report prediction at $240 – in 2018 the value reached out to $72 billion.

As seen from the internet industry’s sub-sector, most of the internet users are in the online game category (180 million active users), followed by e-commerce and ride-hailing. The number is getting higher as esports trend arises in the region – still exploring the true identity with business models that keeps changing, more than just a game.

Indonesian digital economy 1

The ride-hailing demand also gives quite an impact. Since 2015, the report shows increasing internet users five times up. In terms of industry players, Grab and Gojek are still competing for the regional market. Both are consistently raise funding for expansion.

Indonesia is leading

Indonesia’s digital economy is predicted to reach $130 billion by 2025, it’s already at $40 billion this year49% growth in average per year. E-commerce and ride-hailing become the main industry; as the digital payment dominating all the app-based services. The related growth is supported by endless investment. It includes funding for Indonesian unicorns, the value is at $4 billion in 2018.

Indonesian digital economy 2

Indonesia, compared to six other countries with the rapid-growing internet economy, is more significant in terms of value. Based on its geographical condition and total population, it’s far indeed. Vietnam is projected as the second biggest market after Indonesia. The digital players start eyeing the region to settle. Some of Indonesian giant digital companies – such as Gojek and Traveloka – has its debut there.

In its report, Google-Temasek always highlighting e-commerce, online travel, online media, and ride-hailing. The four main sectors are playing great roles for business transformation in Southeast Asia – as the locomotive and gate to the digital economy. In fact, the e-commerce and ride-hailing sectors in Indonesia has opened new opportunities, particularly to encourage SMEs to level-up and create more job offers.

Indonesian digital economy 3

Indonesia is getting momentum, for at least 152 million internet users, has exceeded the total population. The online travel sector leads the last year achievement, this year is for e-commerce to rise. The growth has reached 88% since 2015, the number (GMV – Gross Merchandise Value) this year has reached $21 billion. While online travel is still at $10 billion. Ride-hailing on the other side is at $6 billion.

Centralized area

One of the highlighted issues in the report is the internet economy distribution in the region. Research has compared the economic cycle that occurs in the metro or urban areas, has outperformed the other regions. Take Indonesia for example, the GMV per capita for the internet economy in Jabodetabek is $555 while the other region is at $103.

Indonesian digital economy 3

Meanwhile, only 15% of the total Southeast Asia population living in the urban area. Some digital startups have a “holy mission” to reach the rurals. As in Indonesia, the digital payment app penetration aims for the unbankable. It includes some e-commerce trying to accommodate SMEs from the rural area.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ekonomi Digital Indonesia Capai $40 Miliar, Bisnis E-commerce Beri Sumbangsih Terbesar

Google dan Temasek kembali merilis laporan tahunannya menyorot perkembangan ekonomi digital di Asia Tenggara. Bertajuk e-Conomy SEA 2019, ada beberapa hal menarik disorot dalam laporan. Sejak tahun 2015 tercatat pertumbuhan jumlah pengguna internet mencapai 100 juta orang –penambahan satu tahun terakhir mencapai 10 juta. Untuk tahun 2019 jumlah pengguna internet di Asia Tenggara mencapai 360 juta orang. Pengguna baru hadir sebagian besar dari demografi usia 15-19 tahun.

Pertumbuhan tersebut turut memberikan sumbangsih pada pertumbuhan ekonomi internet/digital. Tahun 2019 tercatat nilainya mencapai $100 miliar, diproyeksikan akan mencapai $300 miliar pada tahun 2025 mendatang. Prakiraan tersebut meningkat, setelah laporan tahun lalu memprediksi angkanya akan sampai $240 miliar saja – tahun 2018 nilainya $72 miliar.

Ditinjau dari sub-sektor industri internet, alokasi jumlah pengguna paling banyak masuk ke kategori online game (180 juta pengguna aktif), dilanjutkan e-commerce dan ride-hailing. Angka tersebut diperkuat dengan tren esports yang memang terus berkembang di kawasan ini – secara bisnis masih terus mencari jati diri dengan model bisnis yang terus berevolusi, dari sekadar permainan game biasa.

e-Conomy SEA 2019

Permintaan layanan ride-hailing juga memberikan dampak berarti. Sejak tahun 2015, laporan mencatat pertumbuhan jumlah pengguna mencapai 5x lipat. Ditinjau dari pemain industri, Grab dan Gojek yang tengah mencoba untuk terus memenangkan pasar regional. Keduanya secara konsisten menggalang pendanaan baru untuk menguatkan ekspansi di tiap negara.

Indonesia masih mendominasi

Ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 mendatang, tahun ini angkanya sudah mencapai $40 miliar – rata-rata pertumbuhannya 49% per tahun. E-commerce dan ride-hailing menjadi pendorong utama di kawasan ini; ditambah adopsi pembayaran digital yang mendominasi semua layanan berbasis aplikasi. Pertumbuhan bisnis terkait didukung investasi yang terus mengalir. Termasuk dukungan yang diberikan pada unicorn Indonesia, nilainya mencapai $4 miliar pada tahun 2018 lalu.

e-Conomy SEA 2019

Dibandingkan enam negara lain yang turut mendapat lonjakan tinggi dari ekonomi internet, Indonesia memang memiliki signifikansi lebih dari sisi nilai. Ditinjau dari luas geografis dan total populasi perbandingannya memang sangat jauh. Vietnam digadang-gadang sebagai pangsa pasar terbesar kedua setelah Indonesia. Pebisnis digital mulai memperhatikan wilayah tersebut untuk memantapkan bisnis. Beberapa perusahaan digital besar di Indonesia –sebut saja Gojek dan Traveloka—juga telah debut di sana.

Dalam laporannya, Google-Temasek selalu menyoroti e-commerce, online travel, online media, dan ride-hailing. Empat sektor utama tersebut dianggap memiliki peran besar dalam mentransformasi bisnis di wilayah Asia Tenggara –sebagai lokomotif sekaligus gerbang ekonomi digital. Di Indonesia sendiri, platform e-commerce dan ride-hailing telah mampu menghadirkan banyak kesempatan baru, khususnya dalam rangka mendorong UKM untuk naik kelas dan membuka kesempatan kerja lebih luas.

e-Conomy SEA 2019

Indonesia mendapatkan momentum, sekurangnya jumlah pengguna internet tahun ini mencapai 152 juta pengguna, telah melebihi dari total populasi. Tahun lalu sektor online travel masih memimpin perolehan, tahun ini giliran e-commerce. Peningkatan e-commerce dari tahun 2015 mencapai 88%, tahun ini angkanya (GMV – Gross Merchandise Volume) sudah mencapai $21 miliar. Sementara untuk online travel masih berada di $10 miliar. Ride-hailing mendapatkan porsi $6 miliar.

Terpusat di area metro

Sorotan lain yang turut disampaikan dalam laporan mengenai sebaran ekonomi internet di kawasan tersebut. Riset membandingkan antara putaran ekonomi yang terjadi di area metro atau pusat perkotaan, sebagian besar mengungguli berkali-kali lipat daerah lain. Di Indonesia misalnya, GMV per kapita untuk ekonomi internet yang terjadi di Jabodetabek mencapai $555 sementara di luar kawasan itu hanya di angka $103.

e-Conomy SEA 2019

Sementara secara keseluruhan populasi di Asia Tenggara yang berada di kawasan metro hanya 15% dari total. Namun beberapa startup digital memiliki “misi mulia” untuk menjangkau kawasan rural. Seperti di Indonesia, penetrasi aplikasi pembayaran digital banyak ditargetkan untuk menjangkau pengguna unbankable. Termasuk beberapa e-commerce yang mencoba mengakomodasi produk-produk dari UKM di daerah.

IDN Media Resmi Akuisisi Media Esports GGWP.id (UPDATED)

IDN Media secara resmi telah mengumumkan akuisisi terhadap salah satu media esports GGWP.id (GGWP). GGWP akan menjadi bagian dari keluarga besar IDN Media yang di dalamnya terdapat IDN Times, Popbela, Popmama, Yummy, IDN Creative, IDN Event, dan IDN Creative Network.

Setelah proses akuisisi ini rampung, GGWP tetap dipimpin Ricky Setiawan yang akan membawahi 60 anggota tim. Akuisisi ini dilandasi oleh pergerakan industri esports yang terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Indonesia.

Pihak IDN Media percaya pertumbuhan esports yang terjadi saat ini hanyalah permulaan. Kondisi ini ditandai dengan meningkatnya jumlah pemain, penonton, dan penggemar esports di Indonesia dan diproyeksikan akan terus meningkat di tahun 2019 dan 2020.

“Kami sangat bersemangat untuk memasuki industri esports dan bekerja dengan Ricky dan seluruh tim GGWP.id. Kami percaya bahwa fenomena esports baru saja dimulai. Dengan GGWP.id kami memimpikan untuk perusahaan esports terbesar dan paling berpengaruh di wilayah ini untuk milenial dan Gen Z,” jelas Founder & CEO IDN Media Winston Utomo.

GGWP sendiri saat ini menjalankan 4 jenis unit bisnis di kancah e-sports yang cukup lengkap. Tanya media mereka juga memiliki tim dan tournament platform. Unit-unitnya meliputi esports media, esports tournament platform, esports team, dan esports creative.

Selain itu GGWP juga menyelenggarakan salah satu acara game terbesar di Indonesia, Game Prime, bersama dengan BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) dan AGI (Asosiasi Game Indonesia).

“Kami sangat senang dengan bergabung dengan IDN Media dan untuk bekerja sama dengan Winston, William, dan seluruh tim IDN Media. Sebagai perusahaan media terkemuka untuk milenial dan Gen Z di Indonesia, IDN Media dapat membantu kami menjangkau lebih banyak audien dan mempercepat kami visi untuk membuat esports tersedia untuk semua orang,” jelas founder dan CEO GGWP Ricky Setiawan.

Visi esports untuk semua

Kepada DailySocial, Winston menceritakan bahwa setelah akuisisi mereka akan fokus untuk mencapai visi melalui unit-unit bisnisnya. Unit esports mediaesports tournament platformesports team, dan esports creative yang dimiliki GGWP akan dioptimalkan untuk memenuhi visi “to make esports available for everyone“, selaras dengan visi dari IDN Media yaitu “membawa dampak positif untuk masyarakat”.

Dengan akuisisi ini teknologi GGWP akan dimigrasikan ke teknologi milik IDN Media, termasuk cross distribution di media sosial.

“Jadi basically, tetep di bawah IDN Media, tapi secara operasional tetap independen tapi semuanya tetap kolaborasi,” terang Winston menjelaskan posisi GGWP pasca akuisisi.

Winston melihat bahwa industri esports di Indonesia saat ini masih ada pada tahap awal meski sudah mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Jumlah pemain, jumlah media, jumlah kompetisi dan jumlah elemen-elemen yang ada di industri ini memang sudah cukup banyak, tapi masih berpeluang untuk tumbuh lebih banyak. Peluang tersebut yang coba dimaksimalkan melalui keahlian yang dimiliki tim GGWP.

Permainan game, menurut Winston, pada dasarnya juga memberikan dampak positif seperti melatih kerja sama dan fokus.

Winston berharap, dengan majunya ekosistem dan industri esports di Indonesia juga menjadi peluang bagi industri game tanah air untuk bisa tumbuh dan berkembang, memiliki IP (intellectual property) sendiri yang dikenal masyarakat luas.

“Jumlah pemain di industri ini bertambah, tapi harusnya masih bisa banyak lagi. Dan bagaimana GGWP itu bisa bikin esports bisa tersedia untuk semuanya, baik meraka yang ada di daerah atau orang yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan game atau esports,” imbuh Winston.

Tantangan Bermedia di Era Digital

Media menjadi industri yang ikut berdampak karena perkembangan teknologi digital. Konsumsi orang dalam membaca berita pun bergeser, mulai dari durasi membaca makin pendek, lebih tingginya ketertarikan pada visual daripada tulisan, dan faktor lainnya. Lantas bagaimana solusinya?

Hal ini dijawab dalam salah satu diskusi panel yang diselenggarakan Qlue bertajuk Smart Citizen Day beberapa hari lalu, menghadirkan praktisi dari berbagai media seperti Hugo Diba (Kumparan), Rama Mamuaya (DailySocial.id), Edi Taslim (Kaskus), dan Karaniya Dharmasaputra (Bareksa).

Hugo Diba menjelaskan kehadiran Kumparan sejak 2017 ini adalah jawaban dari pergeseran konsumsi media. Pergeseran ini adalah suatu keniscayaan yang membuatnya percaya bahwa mau tak mau harus meredifinisikan kembali jurnalisme. Caranya harus dengan membangun tim terbaik dan teknologi terbaik.

“Perusahaan media itu harus jadi tech juga, makanya kita challenge tim IT kita bagaimana teknologi bisa bantu teman-teman jurnalis bisa dapat info lebih cepat dan akurat. Ada algoritma, trending topic, supply side kami perbesar. Alhasil jurnalis kami bisa kerja 4x lebih cepat. Visi misi kami adalah bagaimana menyampaikan berita dengan baik dan tepat,” terangnya.

Di sisi lain, Rama Mamuaya menambahkan perusahaan media memang harus beradaptasi dengan perubahan teknologi. Informasi yang disampaikan dalam konten harus sempurna tersampaikan dengan baik, apapun medium yang dipakai entah itu visual, teks, ataupun video.

“Perusahaan media harus tetap bertanggung jawab dengan kualitas konten yang disampaikan, apapun format yang mereka pakai,” katanya.

Kembali ke khittah awal

Sementara itu, perkembangan teknologi internet yang pesat membuat Kaskus berbenah diri agar tetap relevan dengan kondisi terkini. Edi Taslim mengatakan ekosistem internet 20 tahun lalu berbeda jauh, belum ada platform media sosial, sehingga Kaskus harus mencari cara agar tetap relevan dan menjadi destinasi untuk kultur pop.

Kaskus banyak meluncurkan inisiasi yang pada ujungnya mengembalikan Kaskus ke khittahnya sebagai platform diskusi yang berlandaskan pada kesamaan minat dan hobi.

“Jadi esensinya adalah tetap menjadikan Kaskus sebagai tempat orang membicarakan hobi. Itu yang kami pertajam sehingga membuat Kaskus tetap unik,” terang Edi.

Bagi Bareksa, penetrasi keuangan yang masih rendah saat ini adalah bukti ketidakmampuan jurnalisme elitis. Ini adalah jurnalisme yang memberitakan hanya untuk segelintir kalangan saja. Oleh karenanya, Bareksa ingin mendemokratisasikan kekuatan teknologi dengan industri keuangan terutama reksa dana agar bisa dijangkau oleh siapapun dari berbagai kalangan kelas ekonomi.

“Pengalaman di Bareksa, kami jadi fintech pertama yang mendapat lisensi APERD dari OJK. Investor ritel kami ada 450 ribu orang, itu mencerminkan 40% dari total investor reksa dana di Indonesia.”

Kolaborasi dengan berbagai pihak

Kolaborasi itu tidak berlaku untuk satu industri saja. Perusahaan media pun juga harus berkolaborasi. Rama menjelaskan untuk mengembangkan teknologi, agar bisa dikenal oleh siapapun, perlu harus gandeng berbagai pihak. Mulai dari pembuat kebijakan, pengambil keputusan, dan lainnya.

Hal ini juga diamini Karaniya. Dalam bisnisnya, Bareksa kini bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Bukalapak, Tokopedia, dan Ovo untuk memasarkan produk reksa dana online secara masif dan ritel. Agar semakin banyak orang yang terkonversi menjadi investor pasar modal.

“Kami ingin mereplika kisah sukses di Tiongkok. Dunia fintech tumbuh dengan pesat karena e-commerce dan e-money,” pungkasnya.

Transformasi Kaskus: Seribu Cara Ajak “Kaskuser” Kembali

Mungkin hampir semua anak generasi 90-an atau awal 2000-an tahu betul Kaskus itu apa dan pasti pernah mengaksesnya. Entah iseng-iseng ingin baca sesuatu atau dapat artikel rekomendasi dari teman.

Mengingat Kaskus itu seperti sedang bernostalgia. Segala topik bisa dibahas di sana. Yang paling saya ingat itu konten yang bermuatan jenaka namun informatif. Kaskuser sungguh kreatif dalam membuat tulisan.

Memang, konsep artikel UGC (user generated content) pada waktu itu memang belum banyak tersedia, sehingga belum ada alternatif portal lain yang bisa diakses anak muda. Baik itu portal berita atau forum lain sebesar Kaskus.

Jual-beli barang bisa terjadi lewat Forum Jual Beli. Belum ada Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee dengan promo ongkos gratisnya yang tak kunjung usai itu. Cari barang yang mau dijual, pasang harga, dan tak lupa memasukkan pesan “Nego halus, yang keterlaluan di lempar bata ya.”

Kalau mau cari barang pun bisa pasang thread. Tak perlu capek-capek cari lapak, ketika thread sudah jadi tak lama pasti ada yang kirim pesan atau langsung SMS. Nego harga saja, janjian lokasi dengan penjual, barang pun diterima.

Tampilan Kaskus di 2012 / Kaskus
Tampilan Kaskus di 2012 / Kaskus

Belum banyaknya opsi yang bisa dipilih oleh Kaskuser, entah itu mengakses informasi dan transaksi barang, menjadikan Kaskus sebagai primadona. Apa-apa harus lewat Kaskus.

Ingat betul di benak saya, saat pulang sekolah iseng-iseng ke warnet cuma buat nge-Kaskus saja, lalu membuka semua tab yang masuk Hot Thread, sembari memasang lagu dari aplikasi Winamp yang selalu siap di PC warnet.

Setelah semua tab terbaca, saya mengklik thread rekomendasi dari Kaskuser yang biasanya dipamerkan di bagian bawah. Tak lupa baca beberapa respons dari Kaskuser. Kebiasaan ini saya lakukan sampai duduk di bangku sekolah. Saat handphone sudah sedikit canggih, saya perlahan beralih ke situs mobile.

Sempat beberapa kali saya beli dan jual barang lewat FJB. Kebanyakan produk elektronik, seperti handphone, tablet, mouse, keyboard, laptop, sampai kamera. Selama transaksi di FJB syukurnya belum pernah mengalami kejadian buruk.

ID Kaskus saya ternyata dibuat sejak 2010. Namun tak satupun thread pernah saya buat, alias silent reader. Hampir jarang sekali meninggalkan komentar dari setiap thread yang saya baca. Bahkan kemarin saya cek status ID Kaskus masih “newbie“.

Minim gebrakan inovasi sampai hinggapnya konten politik

Perayaan hari jadi Kaskus ke 15 pada 2014 lalu / Kaskus
Perayaan hari jadi Kaskus ke 15 pada 2014 lalu / Kaskus

Sedari awal Kaskus berdiri memang hanya fokus ke konten tulisan karena ingin menempatkan diri sebagai forum diskusi. Tampilan UI/UX terus dipermak demi menyesuaikan pembaca dan perkembangan zaman.

Setiap kali Kaskus melakukan pembaruan tampilan, selalu ada pro-kontra. Dalam pembaruan tampilan yang diumumkan Kaskus baru-baru ini, seorang Kaskuser menyebut, pembaruan layout, engine atau lainnya tidak diperlukan karena esensi terpenting dari Kaskus adalah kesederhanaannya sebagai forum diskusi, tidak terlalu banyak tombol sebab dia menganggap itu membingungkan.

Produksi konten tulisan dirasa semakin tertantang karena makin maraknya portal berita yang memiliki konsep UGC, platform media sosial, dan messaging. Jangan lupakan faktor smartphone dan dukungan jaringan data yang harganya semakin terjangkau.

Semuanya mengubah gaya hidup manusia dalam berkomunikasi dan mengakses informasi. Perubahan yang cepat ini membuat Kaskus seolah hilang arah. Mau mengikuti platform A, B, dan C, bagaimana cara agar tetap menjadi role model bagi setiap perusahaan digital.

Pengalaman kesusahan mencari konten original saya rasakan sendiri. Setelah vakum sekian tahun, belakangan ini saya iseng buka Kaskus. Kalau di cek thread berdasarkan “Lagi Ngetop” kebanyakan bermuatan politik. Algoritmanya terasa kacau.

Sekalinya menemukan konten yang menarik, ternyata hasil saduran dari portal media lain. Ekspektasi saya untuk mendapatkan konten yang menghibur kini sulit ditemukan di Kaskus. Berbeda dengan sebelumnya, cukup cek Hot Thread saja, sudah dijamin kontennya menarik dan original.

Thread paling fenomenal yang pernah dibuat di Kaskus adalah cerita bersambung Keluarga Tak Kasat Mata pada 2016 dan sudah dibuat versi film setahun berikutnya. Konten ini berhasil menarik lebih dari 13,8 juta Kaskuser dan mendapat lebih dari 7.600 komentar. Menobatkan thread ini paling banyak dibaca Kaskuser.

Inovasi yang dilakukan Kaskus, belum ada yang begitu drastis. Masih sebatas pengembangan dari produk yang sudah ada. Salah seorang Kaskuser beranggapan, sejak 2014 Kaskus mulai ditemukan konten berbau politik yang membuat dia jadi malas untuk kembali lantaran perdebatannya dianggap sudah tidak sehat. Komentar ini ditanggapi serius Kaskuser lainnya dengan menandai tahun tersebut adalah era kemunduran Kaskus.

Bila dilihat dari timeline-nya, mulai dari tahun 2015 hingga 2016, Kaskus membuat fitur-fitur yang secara halus mencegah Kaskuser beralih ke platform lain. Misalnya, Kaskus Plus untuk membership premium, aplikasi Jual Beli, Kaskus Chat, menyempurnakan FJB dengan KasPay, KasAds, BranKas, dan titik akhirnya menginisiasi Kaskus Networks untuk “menambal” kekosongan konten.

Upaya terus dilanjutkan sampai tahun 2017 ditandai lewat peluncuran Kaskus Creator untuk mendorong Kaskuser menghasilkan uang lewat konten yang mereka produksi. Kaskus beralih untuk berpartisipasi untuk pendanaan di ProPS yang bermuara pada terpilihnya eks Founder & CEO ProPS Edi Taslim menjadi CEO Kaskus.

Rekam jejak Kaskus untuk menambah portofolio tidak hanya berhenti di Garasi.id saja, diteruskan ke Prosa.ai dan KontrakHukum. Di masa kepemimpinan Edi, Kaskus akhirnya terjun ke konten video dan suara lewat kehadiran Kaskus TV dan Podcast.

Kepada DailySocial, CEO Kaskus Edi Taslim berpendapat kehadiran dua produk ini adalah upaya Kaskus agar tetap relevan namun tetap konsisten dalam menyorot kekuatan konten yang dimiliki.

“Harapannya, ketiga channel yang kami hadirkan ini bisa menjadi kekuatan dan diferensiasi dari Kaskus, juga memenuhi kebutuhan diskusi dan interasksi dari komunitas akan minat dan hobi,” kata dia.

Sementara terkait investasi ke Prosa.ai dan KontrakHukum, Edi menuturkan Kaskus dan Prosa.ai masih dalam proses pengembangan untuk mengaplikasikan Prosa Text untuk filtering konten hoax di Forum Kaskus. Diharapkan dapat segera diterapkan dalam waktu dekat.

Menurut saya, antisipasi ini bisa dikatakan terlambat namun juga tidak. Sebab Podcast ini masih jadi barang baru buat orang Indonesia dalam mengonsumsi informasi. Kaskus punya peluang di situ.

Namun kebiasaan orang Indonesia untuk mengonsumsi video itu sudah mulai terbentuk sejak YouTube hadir dan semakin dipertegas lewat berbagai platform media sosial kenamaan lainnya. Apalagi konten kreator di YouTube makin menjamur jauh sebelum Kaskus TV hadir.

Saya sendiri sudah mencoba jajal Kaskus TV dan Podcast. Secara impresi, saya lebih menyukai Kaskus Podcast karena sudah terpasang sebagai widget di situs utama Kaskus dan tidak autoplay. Kontennya pun original dan menarik karena diambil dari thread yang diunggah di Kaskus.

Beda halnya dengan Kaskus TV, video dibuat autoplay sehingga memberi kesan Kaskuser dipaksa untuk menontonnya. Satu-satunya opsi yang tersedia adalah pause video secara manual dan membiarkan video buffer dengan sendirinya.

Opsi ini tentu saja merugikan buat para Kaskuser dengan kuota data yang terbatas dan mengurangi impresi buat Kaskus TV. Dilihat dari konten, menurut saya tidak jauh berbeda dengan apa yang biasa orang-orang konsumsi di YouTube. Meski diklaim teknologi yang dipakai mencegah orang untuk melakukan pembajakan, tapi tetap saja butuh waktu untuk Kaskus TV mendapatkan timing-nya.

Lagi-lagi karena terlambat melihat peluang, Kaskus kehilangan timing. Sebelumnya menurut banyak orang, termasuk saya, Kaskus punya peluang besar untuk membesarkan FJB. Lihat sekarang bagaimana FJB, reputasinya sudah jeblok.

Edi mengklaim, sejak Kaskus TV diluncurkan pada September 2018 telah tembus 1,3 juta unique viewers. Angka ini melampaui target 1 juta unique viewers yang dia sebutkan saat peluncuran perdana. Kaskus TV memiliki delapan program original dan bekerja sama dengan lebih dari 30 partner menghasilkan 720 ragam video.

Sementara untuk Kaskus Podcast, ada enam program original dan bekerja sama dengan enam podcast partner. Pihaknya menyediakan studio podcast untuk memfasilitasi komunitas atau kerja sama program ke depannya.

Posisi merosot

Peringkat Kaskus di Alexa (15) dan SimilarWeb (25) terasa merosot jauh dari peringkat 10 besar di Indonesia, per Desember 2018. Dengan IDN Media (peringkat 13 menurut Alexa), notabenenya termasuk media UGC yang baru lahir, Kaskus sudah kebobolan.

Namun bila melihatnya sebagai forum komunitas online, digdaya Kaskus memang belum bisa terkalahkan di Indonesia selama 19 tahun berdiri. Menurut SimilarWeb, Kaskus memiliki total kunjungan 53,76 juta naik 8,36%. Rata-rata lama kunjungan 4:50 menit dan bounce rate 64,9%. Kaskuser membaca sekitar 2,92 halaman per kunjungan.

Dari data internal Kaskus,  saat ini Kaskuser terdaftar mencapai 10,4 juta, sementara jumlah pengunjung aktifnya lebih dari 26 juta per bulan. Konten UGC yang diproduksi jumlahnya tiap tahun mencapai 1,5 juta thread.

Edi menyebut konten yang saat ini menarik bagi Kaskuser maupun non Kaskuser adalah thread yang berasal dari forum The Lounge yang umumnya membahas isu atau tren terkini. Lalu ada thread dari forum Berita & Politik, Stories form The Heart, Kendaraan Roda 4, Dunia Kerja & Profesi, Android, Lowongan Pekerjaan, Supernatural, dan Lounge Video.

Saya yakin, seluruh angka ini bukan menjadi kebanggaan karena di era kejayaannya Kaskuser rela berjam-jam mengakses Kaskus saja. Semakin rendah bounce rate, tentu akan semakin bagus buat situs karena konten yang diproduksi dibaca oleh banyak orang.

Ada salah satu Kaskuser yang saya temukan membuat thread soal perubahan Kaskus dari masa ke masa. Pada Juni 2011, Kaskus masuk ke dalam jajaran 10 besar situs yang paling banyak dikunjungi menggunakan Opera Mini. Unggahan lainnya, memperlihatkan pada Agustus 2015 Kaskus masih masuk ke posisi ke 7 di Alexa, lalu pada awal bulan tersebut melorot ke 8.

Grafik Kaskus menurut Alexa
Grafik Kaskus menurut Alexa

Apabila Kaskus TV dan Kaskus Podcast dalam waktu dekat belum bisa memberi sumbangsih kepada perusahaan. Artinya Kaskus harus putar otak lagi untuk mengembalikan kejayaannya. Mengadakan kompetisi dengan komunitas, seperti Kaskus Battleground untuk gaet industri e-sport, atau gelaran acara musik yang belakangan ini giat dilakukan, belum maksimal buat mendongkrak posisi Kaskus sebagai forum komunitas online.

Saya menangkap beberapa komentar dari Kaskuser menuding penurunan ini karena Kaskus terlalu sering mengubah template, padahal menurutnya hal ini membuat Kaskus kehilangan ciri khas. Berikutnya admin Kaskus yang dianggap terlalu kaku karena sering ban pengguna, tidak seperti dulu yang sangat berbaur. Apalagi saat ada masukan dari Kaskuser, jawaban dari moderator dinilai template.

Kehadiran iklan yang terlalu banyak akhirnya dianggap mengganggu karena Kaskuser menganggap Kaskus terlalu profit-oriented. Padahal kasarnya, sebagai perusahaan, Kaskus memang harus melakukan monetisasi demi menghidupi karyawannya. Namun cara yang diambil kurang berkenan bagi para Kaskuser.

Menentukan posisi

Posisi Kaskus berhadapan keras di dua area, media/media sosial dan iklan baris (classified ads). Seolah-olah menjadi pisau bermata dua, harus betul-betul tahu memposisikan diri agar Kaskus tetap eksis.

Sebelum Edi, posisi CEO Kaskus sempat kosong pasca hengkangnya Ken Dean di 2016. Saat itu, secara interim kepemimpinan dipegang On Lee yang sekaligus CTO baik di Kaskus maupun GDP Venture. Andrew Darwis kini menempati posisi Founder dan CCO.

Dalam suatu wawancara, Edi pernah mengatakan, sebagai CEO ia akan memfokuskan Kaskus kepada khittahnya sebagai forum komunitas online dengan mengedepankan unsur diskusi.

Kiprah Edi di industri media, terutama membangun Kompas Gramedia Group, majalah tekno Chip, Kompas.com, dan pencapaiannya lainnya tidak perlu diragukan lagi bisa menjadi bekal yang cukup buat Kaskus. Di bawah kepemimpinannya, saya berharap Kaskus bisa lebih agresif untuk berinovasi dan tidak lagi mandeg.

Sering-sering duduk bersama dengan Kaskuser dan membicarakan masa depan mungkin bisa mengembalikan kiprah Kaskus. Toh, keluhan Kaskuser yang diluapkan lewat thread banyak yang menginginkan manajemen untuk ngariung ngobrol bareng.

Kaskus saat ini masih bisa hidup karena dukungan Kaskuser. Jangan sampai posisi Kaskus semakin terjungkal, sampai akhirnya tinggal kenangan.

Application Information Will Show Up Here

Riset Google-Temasek: Indonesia Kuasai Pangsa Pasar Ekonomi Internet di Asia Tenggara

Kawasan Asia Tenggara (SEA) digadang-gadang sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi internet paling pesat. Dalam satu dekade terakhir, dinamika bisnis digital di berbagai lanskap memang cukup terasa — berupa kemunculan bisnis baru atau penguatan bisnis yang sudah ada dalam investasi besar-besaran. Untuk melihat kondisi terkini, Google dan Temasek kembali merilis laporan riset bertajuk e-Conomy SEA 2018.

e-Conomy mencakup kegiatan ekonomi yang disokong oleh internet dan pendekatan digital. Beberapa sektor yang diteliti termasuk online travel, online media, ride hailing dan e-commerce; karena dinilai sudah mencapai tahap matang di kawasan SEA. Sementara periset beranggapan sektor lain seperti pendidikan, finansial, kesehatan dan sosial masih berada di tahap awal. Riset ini  menjangkau Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Di SEA, ekonomi internet diprediksikan akan mencapai $240 miliar pada tahun 2025 mendatang, tahun ini sudah mencapai $72 miliar. Untuk mendukung pertumbuhan, bisnis akan membutuhkan investasi sampai $50 miliar. Saat ini riset turut memperkirakan konsumen internet di kawasan SEA sudah mencapai lebih dari 350 juta orang. Rata-rata mereka terhubung dengan pendekatan mobile, melalui perangkat ponsel pintar yang dimiliki.

Indonesia negara dengan pertumbuhan tercepat dan terbesar

Pada sektor yang diteliti, pasar paling besar dikuasai oleh bisnis online travel. Namun di tahun 2025, e-commerce akan menjadi yang terbesar. Nilai bisnis online travel tahun 2018 mencapai $30 miliar, e-commerce di angka $23 miliar. Kendati Grab dan Go-Jek menunjukkan putaran investasi besar tahun ini, ukuran pasar mereka masih di angka $8 miliar, bahkan di bawah online media yang nilainya berada di angka $11 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Ekonomi digital di SEA saat ini dan proyeksinya di tahun mendatang / Google-Temasek

Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan paling cepat dan ukuran pasar paling besar di SEA. Tahun 2018 angkanya mencapai $27 miliar, akan menyumbangkan $100 miliar di tahun 2025 mendatang. Pertumbuhannya ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, pasalnya pada tahun 2015 lalu angkanya baru mencapai $8 miliar, artinya tahun ini berhasil tumbuh lebih dari 4x lipat. Untuk tahun ini, Thailand menjadi terbesar kedua di angka $12 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Indonesia memimpin pangsa pasar dengan putaran nilai bisnis tertinggi / Google-Temasek

Melihat lebih dekat masing-masing sektor

Sektor e-commerce menjadi yang paling dinamis dalam tiga tahun ke belakang. Dinamika tersebut disebabkan karena proses adaptasi yang dilakukan masif di kalangan konsumen. Tahun ini sektor e-commerce berhasil menyumbangkan nilai putaran bisnis mencapai $23 miliar, diprediksikan tahun 2025 mencapai $100 miliar. Para unicorn di SEA seperti Lazada, Shopee, dan Tokopedia dinilai Google dan Temasek akan berperan kritis dalam menumbuhkan bisnis ini.

Di sektor e-commerce, Indonesia tetap menjadi pemimpin pasar dengan nilai bisnis mencapai $12 miliar di tahun 2018. Sementara negara lain seperti Thailand dan Vietnam baru mencapai kurang lebih $3 miliar tahun ini.

Online travel jadi yang terbesar tahun ini. Dalam riset disebutkan bahwa lanskap ini mencakup tiga sub-sektor utama, yakni online vacation rental, online hotel, dan online flight. Bisnis penjualan tiket pesawat masih mendominasi tahun ini dengan perolehan mencapai $18,4 miliar, disusul reservasi hotel $10,7 miliar, dan sewa kendaraan $0,6 miliar. Total nilai yang mencapai hampir $30 miliar tersebut akan mencapai $78 miliar tahun 2015 mendatang, dengan porsi penjualan tiket pesawat mendominasi $40 miliar.

Tidak berbeda dengan e-commerce, di sektor online travel Indonesia juga memegang nilai pangsa pasar terbesar. Tahun ini Indonesia menyumbang $8,6 miliar, akan mencapai $25 miliar pada tahun 2025 mendatang. Indonesia juga memimpin pangsa pasar di sektor ini. Tahun ini angkanya $2,7 miliar, diproyeksikan akan bertumbuh 3x lipat di tahun 2025 mencapai $8 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Online travel tahun ini memiliki pangsa pasar terbesar, segera disusul e-commerce / Google-Temasek

Selanjutnya ada sektor online media, yang dibagi dalam tiga jenis layanan, mencakup subscription music and video, online gaming, dan online advertising. Tahun ini angkanya mencapai $11,4 miliar didominasi sub-sektor periklanan online $7,2 miliar. Sementara online gaming menyumbang $3,8 miliar tahun ini, dan layanan musik/video on-demand $0,4 miliar. Tahun 2025 diprediksikan sektor ini akan menyumbangkan angka $32 miliar di SEA, dengan persentase sub-sektor yang tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun ini.

Sektor terakhir yang diteliti oleh Google dan Temasek adalah ride hailing. Terdiri dari dua sub-sektor, yakni online food delivery dan online transport. Tahun 2018 angkanya mencapai $7,7 miliar, dengan pembagian $5,7 miliar didapat dari online transportation dan $2,0 miliar dari online food delivery. Tahun 2025 mendatang angkanya diprediksikan menjadi $28 miliar, dengan kepeimpinan sub-sektor online travel mencapai $20 miliar.

Indonesia tetap menjadi pangsa pasar terbesar dengan nilai tahun ini mencapai $3,7 miliar. Diproyeksikan tahun 2025 mendatang akan menyentuh angka $14 miliar. Turut disoroti juga pemain kunci di SEA untuk sektor ini, yakni Grab dan Go-Jek. Selain transportasi dan jasa antar makanan, keduanya terus mengembangkan solusi pembayaran digital dalam pengembangan bisnisnya.