Vidio Announced Its First External Injection, $150 Million from Affinity

Vidio, one of the largest local OTT platforms, announced it has received $150 million (Rp2.1 trillion) funding from Affinity Equity Partners (Affinity), the largest private equity in Asia. Previously fully owned by Emtek Group under Surya Citra Media (SCM), it’s Vidio’s first external injection. The platform has a $750 million pre-money valuation and the funding has inflated its valuation to near unicorn/soonicorn status.

According to Emtek’s latest (Q3 2021) financial report, Vidio has Rp362 billion of total assets.

With this investment, Affinity will join Vidio’s board of directors and will partner to accelerate its growth and expand its Indonesian market leadership. The company also plans to expand the original series contents, enrich the program by adding sports content licenses, and invest in advancing user experience.

“This marks a new milestone for Vidio as the largest OTT platform in Indonesia. We strive to continue to focus on users by offering the best streaming experience and the most complete exclusive premium content for users. We are very proud to partner with Affinity, and with this partnership and supported by the best talent at our disposal, we will take a huge leap forward in delivering outstanding quality and value to Vidio customers,” Sutanto Hartono, Vidio’s CEO, said.

As of September 2021, Vidio has 62 million subscribers. Several research firms also rank them as the #1 OTT platform in Indonesia. In August 2021, Comscore ranked Vidio as the #1 ranked app with the largest unique viewers. And MPA ranks them as the OTT with the highest daily active users in Southeast Asia in Q2 2021.

Vidio offers live programs and video on-demands. It includes original series, local/international movies, and live shows. One of the value propositions is on sports programs, such as UEFA Champions, La Liga, NBA, F1, and many more.

“We are very pleased to partner with Emtek Group and Vidio in continuing to build the best OTT, which represents the future of the media sector in Indonesia. Emtek’s digital and media ecosystem, plus Vidio’s position at the forefront, and a strong management team, are important factors in Vidio’s success journey in Indonesia’s highly dynamic OTT industry. Affinity will leverage its extensive network across Asia to support Vidio’s growth initiatives, particularly in the areas of content and gamification to enrich live streaming content,” said Benny Lim, Affinity’s Managing Director and Head of South East Asia.

Application Information Will Show Up Here

Monika Rudijono Diangkat Sebagai Managing Director Baru Vidio

Monika Rudijono resmi ditunjuk sebagai Managing Director Vidio yang baru per Oktober tahun ini. Dalam menempati posisi yang baru saja dibentuk, ia akan bertugas mengawasi jalannya operasional sehari-hari dari platform OTT lokal paling populer ini. Ia akan melapor langsung kepada Sutanto Hartono, CEO Vidio dan Wakil Presiden Direktur Emtek Group. Sebelumnya, beliau menjabat sebagai Marketing Chief Lazada Indonesia selama lebih dari 3 tahun.

Monika adalah seorang veteran dengan pengalaman lebih dari 20 tahun di industri. Sebagai lulusan dari UC Berkeley, ia sebelumnya memegang beberapa posisi tinggi di ahensi pemasaran, termasuk Presiden Direktur Grey Group. Monika memulai karirnya di bidang teknologi ketika memimpin Uber Indonesia sampai akhirnya bergabung dengan Grab.

Selama bertugas di Lazada, ia mengawasi beberapa kampanye pemasaran, termasuk kolaborasi dengan Brightspot Market, Pakuwon Group, tim EVOS Esports, dan MasterCard.

Menurut data dari Media Partners Asia pada tahun 2020, Vidio memiliki sekitar 1,1 juta pengguna berbayar secara nasional. Platform ini bersaing langsung dengan pemain regional dan global untuk menjadi pemuncak di industri OTT Indonesia. Vidio fokus pada siaran olahraga (sepak bola, bola basket, dan F1), Asia, dan konten asli lokal.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Kekuatan Konten Original dan Olahraga Dukung Pertumbuhan Vidio

PT Vidio Dot Com (Vidio) awalnya diciptakan sebagai situs berbagi video yang didirikan sejak 2014. Situs ini dikelola PT Kreatif Media Karya (KMK), anak usaha PT Elang Mahkota Teknologi (Grup Emtek). Seiring berjalannya waktu, kini Vidio bertransformasi menjadi platform over the top (OTT) yang mampu bertahan di tengah kencangnya persaingan platform serupa selama beberapa tahun terakhir.

Pandemi memperkuat posisi Vidio sebagai platform lokal yang menawarkan konten original dan program unggulan mereka, yaitu olahraga. Kepada DailySocial, Chief Product Officer (CPO) Vidio Hadikusuma Wahab mengungkapkan strategi dan dukungan Emtek terhadap Vidio.

Layanan digital unggulan grup

Bagi Emtek, Vidio merupakan produk unggulan digital yang didorong melengkapi portofolio audienceship—dari TV, portal, hingga platform OTT sebagai satu end-to-end audience reach di pasar Indonesia.

Roadmap Vidio saat ini berfokus pada hal yang dibutuhkan pengguna, mulai dari content journey yang lebih baik untuk eksplorasi konten yang beragam, personalisasi konten yang lebih relevan, sampai perluasan bisnis partnership supaya pengguna bisa akses Vidio lebih murah dan mudah,” kata Hadikusuma.

Secara khusus, Vidio membagi konten mereka antara audiens TV, olahraga, dan entertainment — yang menyukai film, baik lokal seperti original series, sampai konten Asia dan luar negeri. Sports dan Entertainment saat ini diklaim sedang berkembang pesat sesuai dengan animo masyarakat.

“Kami juga melihat bagaimana kekuatan lokal konten, baik di Sports dan Entertainment makin semarak. Penonton Liga 1, Liga 2, dan (nantinya Liga 3), beserta penonton original series lokal Vidio terus menunjukkan peningkatan positif yang memperkuat kedudukan konten lokal sebagai raja konten di Indonesia.”

Beberapa waktu lalu Vidio telah meluncurkan inovasi baru di OTT yang bisa meningkatkan interaksi dengan atau sesama pengguna, dengan meluncurkan fitur Fantasy Team. Pengguna bisa menyusun tim dari klub Liga 1 dan Liga 2 dan berkompetisi sesuai statistik permainan sesungguhnya.

Kerja sama eksklusif dengan Wattpad juga memberikan keuntungan tersendiri bagi perusahaan. Tahun depan Vidio berencana menggandakan jumlah titel original series yang akan diluncurkan. Hal ini diklaim terbanyak dari yang pernah ada di Indonesia.

“Konten original masih relatif baru dan kami harus terus membuat banyak judul. Saat ini Vidio bisa dibilang OTT yang paling agresif memproduksi konten originals dan memanfaatkan data untuk paham audiens user. [..] Kami berencana lebih agresif lagi dengan membuat lebih banyak konten lokal dan juga membeli konten luar, baik sports dan non sports yang menarik bagi pengguna di Indonesia,” kata Hadikusuma.

Dorong pertumbuhan pelanggan berbayar

Selain berlangganan, Vidio juga menyajikan konten-konten gratis dengan iklan. Meskipun demikian, mereka terus mengedukasi masyarakat menikmati konten melalui OTT agar ke depannya bisa dikonversi menjadi pelanggan berbayar.

Di tahun 2021 ini Vidio mencatat peningkatan jumlah pelanggan berbayar lebih dari 2 kali lipat dibandingkan akhir tahun lalu. Hingga saat ini, Vidio sudah memiliki lebih dari 1,5 juta pelanggan berbayar.

“Vidio berkomitmen untuk terus mengedukasi masyarakat Indonesia agar bisa menghargai konten premium dengan menyajikan paket berbayar yang sangat terjangkau, 19 ribu Rupiah per minggu dan 29 ribu Rupiah per bulan, dengan konten yang bisa menjangkau semua anggota keluarga,” kata Hadikusuma.

Selama pandemi Vidio mencatat peningkatan jumlah pelanggan yang baik. Pertumbuhan dari sisi revenue pada Q1 2020 meningkat 3-4x lipat dibanding periode tahun sebelumnya. Lonjakan trafik eksponensial terjadi sekitar bulan April 2020. Kala itu, Vidio menggratiskan tontonan untuk memfasilitasi perubahan perilaku konsumen di fase PSBB pertama.

Application Information Will Show Up Here

Monika Rudijono is Appointed as Vidio’s new Managing Director

Monika Rudijono has been appointed as Vidio’s new Managing Director, starting this October. In this newly created position, she will oversee the day-to-day operation of the local’s most popular OTT platform. She will report to Sutanto Hartono, Vidio’s CEO and Emtek Group’s Vice President Director. Previously she was Marketing Chief of Lazada Indonesia for over 3 years.

Rudijono is a veteran in the industry with more than 20 years of experience. Graduated from UC Berkeley, she was previously held several high positions in advertising agencies, including President Director of Grey Group. Rudijono jumpstarted her career in tech by leading Uber Indonesia until its merger with Grab.

During her stint with Lazada, she oversaw several marketing campaigns, including collaboration with Brightspot Market, Pakuwon Group, EVOS Esports team, and MasterCard.

According to data from Media Partners Asia in 2020, Vidio has around 1.1 million paid users nationwide. It competes with regional and global players to be the household names in Indonesia’s OTT industry. Vidio’s focus is on sports (football, basketball, and F1), Asian, and local original content.

SPAC Terlalu Riuh, MNC Urungkan Niat Bawa Vision+ ke Bursa NASDAQ

Sejak paruh kedua 2020, Asia Vision Network (AVN) atau dikenal dengan produk aplikasinya Vision+ mulai mempertimbangkan untuk melantai ke bursa saham Amerika Serikat melalui kendaraan SPAC. Malaca Straits Acquisition Company (NASDAQ: MLAC) kemudian digandeng untuk menjadi mitra strategis. Hingga kuartal pertama tahun ini rencana tersebut masih optimis dijalankan, hingga mereka memiliki target untuk menuntaskan kesepakatan di kuartal kedua 2021.

Namun dari keterbukaan teranyar yang disampaikan MNC Vision, sebagai induk AVN, perusahaan memutuskan untuk tidak melanjutkan transaksi. Ada dua hal yang disorot. Pertama, tahun 2021 ini terjadi banyak transaksi SPAC di NASDAQ, sehingga berpengaruh pada valuasi MLAC di bawah nilai nominal $10 per saham. Menurut data EY, per H1 2021 terdapat 634 transaksi SPAC yang berhasil dijalankan, menjadi rekor baru di bursa saham setempat.

Alasan kedua yang disampaikan, pihak MNC melihat adanya gairah investor di BEI terhadap perusahaan yang bergerak di bidang digital. Walaupun tidak disebutkan detail, kami rasa keberhasilan Bukalapak IPO di Indonesia menjadi salah satu tolok ukur yang digunakan. Bisnis utama AVN sendiri adalah platform video streaming, operator TV berbayar, dan layanan broadband.

Sebelumnya proses penandatanganan Business Combination Agreement sudah dilakukan per 22 Maret 2021 oleh AVN dan MLAC. Proyeksi valuasi perusahaan adalah senilai $573 juta atau setara 8 triliun Rupiah — mencerminkan rasio EV/EBITDA di 5,8 kali dari nilai tersebut. Kombinasi bisnis juga diperkirakan akan menambah modal segar sekitar $135 juta — jika tidak ada penebusan pemegang saham publik MLAC.

Penguatan proposisi nilai

Menurut data yang dihimpun Statista, revenue untuk bisnis video streaming di Indonesia akan mencapai $237 juta pada tahun 2021. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga $467 juta di tahun 2025 dengan CAGR 18,55%. Peningkatan tersebut disokong peningkatan penetrasi mencapai 6,4% tahun ini. Pandemi yang membatasi kegiatan di luar rumah membuat layanan video streaming menjadi salah satu alternatif hiburan.

Sebagai perusahaan media, MNC Vision (IDX: IPTV) melihat ini sebagai potensi untuk meningkatkan platform mereka di bawah AVN. Vision+ hadir mengakomodasi kebutuhan konten on-demand untuk penikmatnya, termasuk untuk menyuguhkan opsi streaming untuk penonton TV yang membutuhkan alternatif medium menonton tayangan jaringan MNC. Konten lokal tentu menjadi satu kekayaan dimiliki perusahaan, banyak IP yang sudah dihasilkan, baik dalam film, sinetron, maupun video berkonsep lainnya.

Inovasi pun terus digencarkan, termasuk melalui kemitraan strategis dengan pemain serupa. Terbaru, MNC Vision memberikan investasi $40 juta atau setara 570 miliar Rupiah untuk aplikasi video streaming Migo. Tujuannya untuk memanfaatkan teknologi yang dikembangkan startup tersebut, yakni memungkinkan penonton aplikasi video streaming untuk menikmati konten secara online.

Teknologi Migo berupa online to offline (O2O) videos-to-go yang memungkinkan pengguna menonton film secara offline tanpa buffering. Distribusi konten dilakukan melalui Wargo (Warung Migo) atau Migo Download Stations (MDS). Pengguna hanya perlu menuju lokasi warung kelontong mitra untuk mengunduh konten lalu bisa dinikmati secara offline di aplikasi.

Peta persaingan layanan video streaming di Indonesia sendiri cukup ketat, diramaikan oleh pemain lokal dan luar.

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia
Persaingan aplikasi video streaming Indonesia

SPAC lainnya berpotensi tertunda

Tidak hanya AVN, beberapa perusahaan digital lokal lainnya dikabarkan mempertimbangkan SPAC sebagai jalur untuk memasuki bursa saham. Nama-nama yang santer dibicarakan antara lain Tiket.com, Traveloka, GoTo, hingga yang terbaru Kredivo — bahkan yang terakhir ini sudah mengumumkan secara resmi tentang aksi korporasinya tersebut.

Kredivo akan merger dengan VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo. Dengan penggabungan ini, FinAccel (induk Kredivo) akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan.

Sebelumnya berhembus kabar unicorn Traveloka akan membuat kesepakatan dengan Bridgetown Holdings Ltd. untuk SPAC. Namun baru-baru ini, tersiar informasi bahwa dewan direksi Traveloka memutuskan untuk tidak melanjutkan langkah tersebut. Alasannya kurang lebih sama dengan MNC, karena antusiasme SPAC telah berkurang seiring tingginya frekuensi di pasar. Perusahaan kemungkinan akan menjajaki proses IPO tradisional, tetap di bursa AS, menurut sumber Bloomberg.

Perusahaan lain, Grab juga telah mengumumkan secara resmi rencana go-public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan SPAC dengan perusahaan cek kosong (blank check company) Altimeter Growth Corp (NASDQ: AGC). Grab membidik valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE (Private Investment in Public Equity) senilai $4 miliar. $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

Awal mulanya, kesepakatan tersebut akan dituntaskan pada pertengahan tahun 2021 ini. Namun dalam kabar terbaru, Grab menunda merger tersebut dengan alasan adanya permintaan audit keuangan dari otoritas bursa setempat. Kemungkinan rencana ini akan mundur hingga akhir tahun 2021.

Application Information Will Show Up Here

MNC Vision Pours 570 Billion Rupiah Funding to Migo, Planning for Collaboration

MNC Vision Networks (IDX: IPTV), a subsidiary of MNC Group which oversees several OTT business units, announced its investment in Migo Indonesia worth of $40 million or equivalent to 570 billion Rupiah. The funds will be used to increase service coverage with a target of 100 million users by 2022.

This funding continues Migo’s acquisition in 2020 in the series B round. The amount is not stated, a series of venture capitalists and angel investors are involved, including Temasek, Provident Capital, Ray Zage (Commissioner of Gojek and Lippo Karawaci), Steve Chen (Co-founder & ex -CTO Youtube), and Pandu Sjahrir.

Compared to other streaming video services, Migo’s technology is quite unique in the form of online to offline (O2O) videos-to-go which allows users to watch movies offline without buffering. Content distribution is done through Wargo (Warung Migo) or Migo Download Stations (MDS). Users only need to go to the partner grocery store location to download the content to be played offline on the application.

Content distribution mechanism on Migo app / Migo

In particular, Migo’s target market is the mass market segment with data issues and without sufficient connectivity at home. Migo started its jouney in Indonesia since March 2020, before finally launching in the global market in June 2020 with a paid model. Currently, the service (the presence of partners) only covers area around Jakarta and Bekasi.

Furthermore, with the funds, Migo also targeting to provide MDS points in 10 thousand new locations in Java.

“Migo uniquely and exclusively innovates for 3 billion consumers in emerging markets. As the largest country in Southeast Asia, Indonesia is home to more than 200 million under-innovated people. These individuals and families basically want to fully participate in the digital age, and Migo can make that happen,” Migo’s Founder & CEO, Barrett Comiskey said.

Partnership with MNC

The IPTV corporate action will be followed by a series of strategic collaborations, continuing the integration of Vision+ in the Migo application which has been carried out since June 2021. The goal is to bring an OTT Vision+ viewing experience to offline customers. With the additional capital, Migo is quite optimistic about setting a target of 20 million monthly paid subscribers for the Vision+ service on Migo by 2025. Migo’s subscription fee iranging from Rp15 thousand per month.

“Working with MNC Group, which provides enormous domestic resources and experience, to accelerate Migo’s scale and increase the impact of Migo on society. MNC Vision Networks is an excellent partner while simultaneously expanding our network nationally in order to realize our mission We aim to change the digital life of Indonesians every day,” Barrett added.

In addition, the agreement also includes the appointment of the President Director of MNC Vision Networks Ade Tjendra and the Marketing Head of the President Director of MNC Vision Networks Clarissa Tanoesoedibjo as the Board of Commissioners of Migo Indonesia.

“Supported by MVN’s superior content and Migo’s rapidly growing reach, we aim to reach tens of millions of people without access to OTT services, or are limited by data connection. In addition, we believe that this service is to change people’s lives because they will have better access to entertainment and educational content,” MNC Vision Networks’ President Director, Ade Tjendra said.

MNC Group OTT Business

This year, MNC Vision Networks has announced several important plans. One that is quite significant is the plan to go public on the United States stock exchange for its subsidiary Asia Vision Networks (AVN) or known for its application product Vision+. The corporate action began with the signing of a merger agreement with a SPAC (Special Purpose Acquisition Company), Malacca Straits Acquisition Company (NASDAQ: MLAC), .

In addition to OTT (over the top) via video streaming applications, AVN also oversees MNC Play as a pay TV and broadband service operator.

MNC’s strenght is evident in the content diversification provided. Moreover, they have television broadcast assets that dominate the national rating. The VOD application presented also bridges access to these shows, while providing post-show replay options. Migo’s presence is certainly a good bridge to reach new people – especially to convert television viewers to VOD.

According to data presented in the disclosure early this year, Vision+ currently has 5.6 million subscribers, and 1.6 million of them are paid subscribers. Meanwhile, its competitors, according to Media Partners Asia data, until early this year Disney+ Hotstar already had 2.5 million paid subscribers in Indonesia, Viu had 1.5 million subscribers, and Vidio had 1.1 million subscribers. While Netflix has 800 thousand.

Meanwhile, according to their popularity (accessed today [14/9] via the analytics service AppBrain), the following is a list of the most popular VOD applications on the Android platform:

Google Play Rank (Entertainment) Application
1 WeTV
2 Vidio
7 iQIYI
8 Mola TV
12 Viu
14 RCTI+
15 Netflix
16 Iflix
20 Disney+ Hotstar
27 Vision+
37 MAXstream
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

MNC Vision Beri Pendanaan 570 Miliar Rupiah ke Migo, Agendakan Sejumlah Kolaborasi

MNC Vision Networks (IDX: IPTV), anak usaha MNC Group yang membawahi beberapa unit bisnis OTT, mengumumkan investasinya ke Migo Indonesia senilai $40 juta atau setara 570 miliar Rupiah. Dana tersebut akan dimanfaatkan untuk meningkatkan jangkauan layanan dengan target 100 juta pengguna di tahun 2022.

Pendanaan ini melanjutkan perolehan Migo pada tahun 2020 lalu dalam putaran seri B. Nilainya tidak disebutkan, sejumlah pemodal ventura dan angel investor terlibat, termasuk Temasek, Provident Capital, Ray Zage (Komisioner Gojek dan Lippo Karawaci), Steve Chen (Co-founder & ex-CTO Youtube), dan Pandu Sjahrir.

Dibandingkan layanan video streaming lain, teknologi Migo cukup unik berupa online to offline (O2O) videos-to-go yang memungkinkan pengguna menonton film secara offline tanpa buffering. Distribusi konten dilakukan melalui Wargo (Warung Migo) atau Migo Download Stations (MDS). Pengguna hanya perlu menuju lokasi warung kelontong mitra untuk mengunduh konten lalu bisa dinikmati secara offline di aplikasi.

Mekanisme distribusi konten di aplikasi Migo / Migo

Secara khusus target pasar Migo adalah segmen pasar masal yang memiliki isu dengan data dan tidak memiliki konektivitas memadai di rumah. Migo mulai menapaki perjalanan di Indonesia sejak Maret 2020, sebelum kemudian meluncur penuh di pasar global Juni 2020 dengan model berbayar. Saat ini cakupan layanannya (keberadaan mitra) baru seputar Jakarta dan Bekasi.

Selanjutnya, dengan dana yang didapat, Migo juga punya target untuk menambah titik MDS di 10 ribu lokasi baru di Jawa.

“Migo secara unik dan eksklusif berinovasi bagi 3 miliar konsumen di pasar negara berkembang. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 200 juta masyarakat yang under-innovated. Para individu dan keluarga tersebut pada dasarnya ingin berpartisipasi penuh dalam abad digital kita, dan Migo dapat mewujudkan hal tersebut,” ujar Founder & CEO Migo Barrett Comiskey.

Kemitraan dengan MNC

Aksi korporasi IPTV akan dilanjutkan dengan sejumlah kerja sama strategis, melanjutkan integrasi Vision+ di aplikasi Migo yang sudah dilakukan sejak Juni 2021 lalu. Tujuannya untuk menghadirkan pengalaman menonton OTT Vision+ kepada pelanggan offline. Dengan modal tambahan yang diberikan, Migo cukup optimis mematok target 20 juta pelanggan bulanan berbayar bagi layanan Vision+ di Migo pada tahun 2025. Biaya berlangganan Migo sendiri di kisaran Rp15 ribu per bulan.

“Bekerja sama dengan MNC Group, yang memberikan sumber daya dan pengalaman dalam negeri yang sangat besar, untuk mempercepat skala Migo dan memperbesar dampak dari Migo bagi masyarakat. MNC Vision Networks adalah mitra yang luar biasa dengan sekaligus mengembangkan jaringan kami secara nasional dalam rangka mewujudkan misi kami untuk mengubah kehidupan digital masyarakat Indonesia setiap harinya,” imbuh Barrett.

Selain itu, kesepakatan tersebut juga mencakup penunjukan Presiden Direktur MNC Vision Networks Ade Tjendra dan Marketing Head Presiden Direktur MNC Vision Networks Clarissa Tanoesoedibjo sebagai Dewan Komisaris Migo Indonesia.

” Didukung dengan berbagai konten unggulan milik MVN dan jangkauan Migo yang terus berkembang pesat, kami berharap dapat menjangkau puluhan juta orang yang tidak memiliki akses ke layanan OTT, atau memiliki keterbatasan atas beban kuota data berkelanjutan. Selain itu, kami meyakini bahwa dengan adanya layanan ini akan mengubah kehidupan masyarakat karena mereka akan memiliki akses yang lebih baik ke konten hiburan dan pendidikan,” sambut Presiden Direktur MNC Vision Networks Ade Tjendra.

Bisnis OTT MNC Group

Tahun ini, MNC Vision Networks telah mengumumkan sejumlah rencana penting. Satu yang cukup signifikan, rencana go-public di bursa Amerika Serikat untuk anak usahanya Asia Vision Networks (AVN) atau dikenal dengan produk aplikasinya Vision+. Aksi korporasi tersebut dimulai dengan penandatanganan perjanjian penggabungan usaha dengan Malacca Straits Acquisition Company (NASDAQ: MLAC), sebuah SPAC (Special Purpose Acquisition Company).

Selain mengoperasikan OTT (over the top) lewat aplikasi streaming video, AVN juga membawahi MNC Play sebagai operator TV berbayar dan layanan broadband.

Kekuatan MNC jelas pada diversifikasi konten yang diberikan. Terlebih, mereka memiliki aset siaran televisi yang menguasai rating nasional. Aplikasi VOD yang disajikan turut menjembatani akses ke tayangan tersebut, sembari menyajikan opsi pemutaran ulang pascatayang. Hadirnya Migo tentu menjadi jembatan yang apik juga untuk menjangkau kalangan baru – khususnya untuk mengonversi penonton televisi ke VOD.

Menurut data yang disampaikan dalam keterbukaan, hingga awal tahun ini Vision+ saat ini memiliki 5,6 juta pelanggan, dan 1,6 juta di antaranya adalah pelanggan berbayar. Sementara kompetitornya, menurut data Media Partners Asia, hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan berbayar di Indonesia, Viu memiliki 1,5 juta pelanggan, dan Vidio 1,1 juta pelanggan. Sementara Netflix memiliki 800 ribu.

Sementara itu, menurut popularitasnya (diakses hari in [14/9] melalui layanan analitik AppBrain), berikut daftar aplikasi VOD terpopuler di platform Android:

Peringkat di Google Play (Entertainment) Aplikasi
1 WeTV
2 Vidio
7 iQIYI
8 Mola TV
12 Viu
14 RCTI+
15 Netflix
16 Iflix
20 Disney+ Hotstar
27 Vision+
37 MAXstream
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Vidio to Strengthen Strategy Amidst the Momentum of OTT Business Growth

The over the top (OTT) platforms are reaching its highest growth momentum. Social restrictions due to the pandemic, encourage people to look for alternative entertainment when they are at home. Video apps have become one of the most popular choices — at least as mentioned by several surveys, including the recent one by The Trade Desk and Kantar.

Obviously, the industry players won’t waste this opportunity, especially local players. Vidio, an OTT platform under Emtek, has recently become a hot topic. Apart from its impressive performance, with the constant position at the top of the rankings for apps in the entertainment/video category, they are also rumored to have planned some strategic actions.

It was rumored that the on-demand video giant Netflix was interested in investing in Vidio. But when we confirmed, the company replied that so far the information is market speculation. Meanwhile, company executives, in several interviews with the media, said that at this time Vidio was indeed open to obtaining external funding [beyond the injection of the parent conglomerate group].

Business growth

Vidio’s Vice President Marketing, Rezki Yanuar, said that growth in terms of revenue in Q1 2020 increased by 3-4 times compared to the previous year. This is also driven by the number of users who heavily increased. The exponential traffic occurred around April 2020, at that time one of Vidio’s strategies was to offer free access, also to facilitate changes in consumer behavior in the first phase of PSBB.

Vidio’s Vice President Marketing, Rezki Yanuar / Vidio

The growth is also supported by the applied business model. There are two approaches, the first is free access to certain content [movies, series, TV streaming] with advertisements. Next, the premium access to exclusive content such as football match. The first model is considered to be a good bridge to convert new audiences, especially those who are unfamiliar with OTT services or [free] TV viewers.

“OTT is similar to e-commerce services in the past. At first, people were not familiar with the fact that shopping had to be charged for shipping, but now they are getting used to it. It’s the same with OTT, when people get value or benefit from the shows that are presented, they can understand when they have to pay. to watch certain shows,” Rezki said.

To date, Vidio already has more than 1.5 million paid subscribers. In addition to sports broadcasts, his team said that original content was the most popular. For this reason, they are quite aggressive in production this year,  there are currently 7 series ready to be aired. The aggressive move of local content is also seen as a way for Vidio to reach more Indonesian filmmakers.

Indonesia’s OTT market

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial
Indonesia’s streaming app competition / DailySocial

The OTT industry is in fact, very competitive. The premature market results in massive penetration of foreign players. For local players like Vidio, unique selling points are crucial in order to bring more value to its users.

Responding to market competition, the Vidio team is quite confident that with their knowledge of the local content industry they believe they can better understand the entertainment needs of the Indonesian people. Moreover, Vidio has the support of one of the oldest media companies in Indonesia.

“The most significant OTT competition is content. Marketing and good products are useless without content that can fulfill user needs. For that, we have three pillars related to content, live streaming, sports, and original series/films,” Rezki added.

Understanding of Indonesian culture is very useful as a strong capital for companies to compete. This includes the old habit of consuming pirated content. Vidio has an anticipatory step by having a special team that works with other digital platform providers such as Google or Facebook.

Collaboration with telco

Another strategy taken to expand its content coverage is to collaborate with other content producers. There are several collaboration agendas, but the Vidio team cannot reveal anything yet to the public. Fox Sports is an example of  Vidio’s company partner to enter its content ecosystem. Sports shows such as F1 racing or MotoGP are considered to have a fairly good level of demand in Indonesia.

Collaboration is also intended to launch a monetization strategy. Vidio collaborates with some telecommunications and broadband companies as service distribution channels. In fact, the conversion of premium users from this partnership is quite large. In its form, Vidio access is used as an add-on to telecommunications/data services sold to customers. Also, payment options include paying for a Vidio subscription with a balance cut mechanism. Regarding this payment, the portion is quite large compared to others.

Business plan

Despite the rumors circulating about the fundraising plan, Vidio is indeed trying to become a stronger and independent business entity. He admitted that he aggressively escalating business since last year. The OTT market is very sexy, the company group also provides support, therefore, Vidio is getting serious working on its potential.

“Emtek as a group is well aware that even the future of the entertainment business is digitization. This is a strong reason to push Vidio to go further,” Rezki said.

In general, there are several aspects to be accelerated as a strategy to grow the business. First, the content expansion. Second, product innovation — including supporting live streaming activities, interactive quizzes for complementary events, and other gamification features. And third, Vidio seeks to increase marketing and distribution channels, not only to the smartphone platform but also to smart tv.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Vidio Perkuat Strategi di Tengah Momentum Pertumbuhan Bisnis OTT

Platform over the top (OTT) tengah mendapatkan momentum pertumbuhan terbaik. Pembatasan sosial akibat pandemi, mendorong masyarakat untuk mencari hiburan alternatif ketika di rumah saja. Aplikasi video menjadi salah satu yang menjadi banyak pilihan — setidaknya dibuktikan oleh beberapa survei, termasuk yang baru-baru ini dilakukan The Trade Desk dan Kantar.

Jelas, pelaku industri tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, tak terkecuali para pemain lokal. Vidio, platform OTT di bawah naungan Emtek, menjadi buah bibir beberapa waktu terakhir. Selain performanya yang cukup mengesankan, dengan selalu bertanggar di peringkat teratas untuk aplikasi di kategori hiburan/video, mereka juga dikabarkan telah merencanakan beberapa aksi strategis.

Sempat beredar kabar bahwa raksasa video on-demand Netflix tertarik untuk berinvestasi ke Vidio. Namun ketika kami konfirmasi, perusahaan menjawab bahwa sejauh ini informasi tersebut adalah spekulasi pasar. Sementara eksekutif perusahaan, dalam beberapa kesempatan wawancara dengan media, mengatakan bahwa saat ini Vidio memang tengah terbuka untuk mendapatkan pendanaan eksternal [di luar suntikan grup konglomerasi induk].

Pertumbuhan bisnis

Vice President Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, pertumbuhan dari sisi revenue pada Q1 2020 meningkat 3-4x lipat dibanding periode tahun sebelumnya. Ini salah satunya didorong dengan jumlah pengguna yang menarik derastis. Lonjakan trafik eksponensial terjadi sekitar bulan April 2020, kala itu salah satu strategi yang dilakukan Vidio menggratiskan tontonan untuk pengguna salah satunya untuk memfasilitasi perubahan perilaku konsumen di fase PSBB pertama.

Vice President Marketing Vidio Rezki Yanuar / Vidio

Pertumbuhan juga didukung oleh model bisnis yang diaplikasikan. Ada dua pendekatan, pertama adalah akses gratis di konten-konten tertentu [film, serial, streaming TV] disertai iklan. Kemudian yang kedua premium, untuk akses ke konten eksklusif seperti tayangan pertandingan bola. Model pertama dinilai menjadi jembatan yang apik untuk mengonversi penonton baru, khususnya dari kalangan yang sebelumnya tidak terbiasa dengan layanan OTT atau penikmat TV [gratisan].

“OTT mirip layanan e-commerce dulu. Awalnya orang tidak familiar kalau belanja harus dikenakan ongkos kirim, namun makin ke sini makin terbiasa. Sama halnya dengan OTT, ketika orang sudah mendapat value atau benefit dari tontonan yang dihadirkan, mereka bisa memahami ketika harus membayar untuk menonton tayangan tertentu,” ujar Rezki.

Hingga saat ini, Vidio sudah memiliki lebih dari 1,5 juta pelanggan berbayar. Selain tayangan olahraga, pihaknya mengatakan bahwa konten orisinal menjadi yang paling banyak diminati. Untuk itu, di tahun ini mereka cukup agresif melakukan produksi, sejauh ini ada sekitar 7 serial yang siap ditayangkan. Agresivitas konten lokal ini sekaligus dipandang sebagai salah satu cara bagi Vidio untuk merangkul lebih banyak sineas dari Indonesia.

Pasar OTT Indonesia

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial
Persaingan aplikasi video streaming Indonesia / DailySocial

Tidak dimungkiri bahwa industri OTT juga sangat kompetitif. Masih hijaunya pasar Indonesia membuat para pemain luar berbondong-bondong masuk. Bagi pemain lokal seperti Vidio, unique selling point menjadi hal krusial untuk dibentuk guna menghadirkan nilai lebih bagi penggunanya.

Menanggapi soal kompetisi pasar, tim Vidio cukup percaya diri, bahwa dengan pengetahuannya tentang industri konten lokal mereka yakin bisa lebih mengerti kebutuhan hiburan masyarakat Indonesia. Terlebih Vidio memiliki dukungan salah satu perusahaan media tertua di Indonesia.

“Persaingan OTT yang paling signifikan adalah konten. Pemasaran dan produk bagus pun percuma kalau tanpa konten yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna. Untuk itu kami punya tiga pilar terkait konten, yakni live streaming, sports, dan serial/film orisinal,” imbuh Rezki.

Pemahaman tentang kultur di Indonesia juga dijadikan modal yang kuat bagi perusahaan untuk bersaing. Ini termasuk dengan kebiasaan lama mengonsumsi konten bajakan. Vidio memiliki langkah antisipatif dengan memiliki tim khusus yang bekerja sama dengan penyedia platform digital lain seperti Google atau Facebook.

Kerja sama dengan telko

Strategi lain yang dilakukan untuk memperluas cakupan konten adalah berkolaborasi dengan produsen konten lain. Ada beberapa agenda kerja sama, namun tim Vidio belum bisa membeberkannya ke publik. Fox Sports adalah salah satu contoh perusahaan yang digandeng Vidio untuk masuk ke ekosistem kontennya. Tayangan olahraga seperti balap F1 atau MotoGP dinilai memiliki tingkat permintaan yang cukup bagus di Indonesia.

Kerja sama juga termasuk dilakukan untuk melancarkan strategi monetisasi. Vidio menggandeng sejumlah perusahaan telekomunikasi dan broadband sebagai kanal distribusi layanan. Diakui, konversi pengguna premium dari kerja sama ini cukup besar persentasenya. Bentuknya, akses Vidio dijadikan add-on ke layanan telekomunikasi/data yang dijajakan ke pelanggan. Juga, opsi pembayaran langganan Vidio dengan mekanisme potong pulsa. Soal pembayaran ini, disampaikan juga porsinya sangat besar dibanding yang lain.

Rencana bisnis

Terlepas dari rumor yang beredar seputar rencana penggalangan dana, Vidio memang tengah berupaya menjadi entitas bisnis yang lebih kuat dan mandiri. Pihaknya mengaku sudah mulai agresif melakukan eskalasi bisnis sejak tahun lalu. Pasar OTT sangat sexy, grup perusahaan pun memberikan dukungan agar Vidio makin serius menggarap potensinya.

“Emtek secara grup sadar betul, bahkan masa depan bisnis hiburan adalah digitalisasi. Ini jadi alasan yang kuat untuk mendorong Vidio melangkah lebih jauh lagi,” ungkat Rezki.

Secara umum ada beberapa aspek yang akan digenjot sebagai strategi menumbuhkan bisnis. Pertama ialah perluasan konten. Kedua, inovasi produk — termasuk mendukung kegiatan live streaming, kuis interaktif untuk komplementer acara, dan fitur gamifikasi lainnya. Dan yang ketiga, Vidio berupaya untuk meningkatkan kanal pemasaran dan distribusi, tidak hanya ke platform smartphone tapi juga mulai ke smart tv.

Application Information Will Show Up Here

Preferensi Penikmat Layanan OTT: Gratis dengan Iklan vs Berlangganan

Layanan over the top (OTT) digadang-gadang menjadi salah satu varian bisnis paling signifikan dalam industri teknologi. Pada dasarnya layanan OTT didefinisikan sebagai aplikasi online yang menyuguhkan tayangan video, memberikan kebebasan kepada pengguna untuk menonton konten sesuai seleranya — disebut juga sebagai platform video on-demand.

Menurut hasil riset yang dilakukan The Trade Desk dan Kantar, penetrasi layanan OTT di Asia Tenggara saat ini sudah melampaui 31%, merangkul sekitar 180 juta pengguna. Indonesia sendiri diproyeksikan telah memiliki 66 juta penikmat layanan OTT, dengan tingkat penetrasi mencapai 24%.

Sepanjang pandemi, pasar OTT di Indonesia juga mengalami kenaikan hingga 43%. Bahkan dari hasil survei yang dilakukan, pengguna di Indonesia sebagian besar (54%) menghabiskan waktu 1-4 jam per hari di layanan OTT.

Konten gratis dengan iklan

Secara mendasar, model bisnis utama layanan OTT umumnya dengan berlangganan fitur premium. Namun demikian, para pemain juga menyadari, bahwa saat ini konsumen mayoritas hadir dari penonton TV. Mereka terbiasa mengakses konten-konten secara gratis, kendati harus turut mendapatkan konten iklan.

Lantas model tersebut juga diaplikasikan di OTT. Banyak aplikasi yang menyuguhkan layanan secara gratis dengan mengikutsertakan iklan. Dari survei sendiri, 89% cenderung tidak mempermasalahkan iklan tersebut selama bisa menikmati konten secara gratis. Dan rata-rata masyarakat Indonesia yang disurvei (52%) masih mentoleransi adanya 2-3 iklan dalam sebuah tayangan video.

Namun demikian jika ditelusuri lebih mendalam sebenarnya persentase penggunaannya masih tetap banyak yang berbasis berlangganan. Di Indonesia, 40% responden mengatakan menggunakan tayangan berlangganan, dan hanya 12% yang hanya mengandalkan tayangan gratisan dengan iklan. Artinya, ada penerimaan yang baik dengan monetisasi berlangganan tersebut.

Preferensi konsumen terhadap layanan OTT berbayar atau beriklan / The Trade Desk dan Kantar

Ditinjau dari sisi pemilik platform, mereka juga memiliki proposisi yang cukup mengesankan untuk pelanggan berbayar. Misanya WeTV, pada dasarnya pengguna bisa mengakses semua konten yang ada di dalamnya secara gratis dan berimplikasi adanya iklan. Namun demikian 42% basis penggunaannya masih tetap membayar untuk paket premium.

Layanan OTT yang sajikan konten gratis dengan iklan / The Trade Desk dan Kantar

Dalam sebuah wawancara dengan perwakilan Tencent, kami mendapatkan strategi mereka untuk mengonversi pengguna gratis ke berbayar. Salah satunya konten eksklusif, misalnya di sebuah seri pengguna premium bisa menonton tayangan episode selanjutnya beberapa hari/minggu lebih cepat ketimbang yang gratis.

Selain pemain yang disebutkan di atas, beberapa platform termasuk yang dari lokal akhirnya juga mengadopsi model yang sama – menggratiskan akses dengan iklan. Sebut saja yang dilakukan oleh Vidio atau Goplay. Pendekatan ini dirasa bagus untuk mendapatkan minat kalangan pengguna baru yang sebelumnya tidak terbiasa dengan platform video on-demand.

Bagi bisnis, konsep ini juga mendukung strategi B2B mereka untuk mendapatkan keuntungan dari para pemilik brand yang membutuhkan awareness, disisipkan ke konten yang lebih relevan atau target pengguna yang lebih sesuai terkait demografinya.

Konten lokal jadi pendorong

Dari hasil survei mengenai varian konten, 54% responden mengatakan suka konten film/serial dari Barat. Kemudian 43% lebih menyukai konten lokal. Dilanjutkan konten Korea (39%), Tiongkok (23%), dan Jepang (15%). Menjadi menarik karena tayangan lokal memiliki proposisi yang cukup tinggi. Maka ini menjadi kesempatan bagi pemilik platform untuk merangkul lebih banyak karya dari sineas lokal.

Di sisi lain, harusnya ini juga menjadi kesempatan apik kepada rumah produksi lokal untuk memanfaatkan kehadiran OTT untuk menayangkan karya mereka. Terlebih karena pembatasan fisik akibat pandemi juga mengakibatkan bioskop harus kembali ditutup.

Gambar Header: Depositphotos.com