Penikmat “Video Streaming” di Indonesia Tak Masalahkan Iklan

Era internet menghadirkan beragam cara baru bagi pengguna dalam mengakses hiburan. Salah satunya melalui layanan over-the-top (OTT) yang saat ini penetrasinya terus dimaksimalkan, baik oleh perusahaan lokal maupun global. Bentuk layanannya beragam, yang paling populer video on-demand (VOD), menyajikan tontonan gratis dan premium yang bisa dinikmati di berbagai perangkat.

Untuk memvalidasi kembali preferensi konsumen terhadap layanan OTT, Brightcove bekerja sama dengan Evergent dan SpotX melakukan riset bertajuk “The 2019 Asia OTT Research Report”. Indonesia menjadi satu dari 9 negara yang menjadi objek penelitian – karena dianggap cukup merepresentasikan karakteristik pangsa pasar di Asia; melibatkan sekitar 1000 responden.

Konten dan iklan

Terdapat beberapa temuan menarik yang didapat dalam survei, salah satunya mengenai alasan pengguna menggunakan lebih dari satu platform. Sebagian besar beralasan menginginkan konten yang lebih banyak dan konten yang lebih spesifik –biasanya layanan VOD punya konten khusus yang hanya tayang di platformnya.

Beberapa lainnya berpendapat, layanan OTT tergolong lebih hemat ketimbang opsi lainnya, misalnya televisi berbayar. Persentase tersebut nyaris mirip di banyak negara yang masuk dalam target survei.

Chart 1

Mekanisme pembayaran langganan juga menjadi bagian pertanyaan dalam survei. Untuk responden di Indonesia, 31% memilih mengakses konten gratis dengan banyak iklan dan 17% memilih membayar lebih murah kendati harus menyaksikan iklan dengan intensitas yang lebih kecil. Artinya pengguna tidak mempermasalahkan adanya sisipan iklan di tiap konten yang diputar, alih-alih melakukan upgrade untuk menghilangkannya.

Lantas bagaimana efektivitas iklan yang dibubuhkan pada konten VOD? Untuk pengguna di Indonesia 43% responden mengatakan mungkin mereka akan tertarik dengan merek tersebut. Sisanya 26% lainnya akan tertarik dan 19% mengaku tidak akan tertarik.

Terkait paket premium yang diminati pengguna, mengambil nilai rata-rata harga yang dianggap ideal antara Rp10.000-Rp50.000.

Menggaet pengguna baru lebih menantang

Dalam riset juga ditangkap tren terkait kemauan orang untuk berlangganan. Sebanyak 54% responden dari Indonesia yang pernah berlangganan VOD sebelumnya mengaku tertarik untuk berlangganan lagi untuk waktu mendatang. Sementara hanya 37% dari responden yang sebelumnya tidak pernah berlangganan yang menyatakan tertarik untuk mencoba berlangganan paket premium dari VOD.

Chart 2

Menurut pengguna, layanan OTT yang diharapkan mampu untuk menyajikan konten yang bisa dinikmati secara offline (39%), multi-perangkat (33%), dan tidak terlalu memakan banyak paket data ketika streaming (32%).

Layanan OTT favorit

Sebelumnya DailySocial pernah menerbitkan hasil riset bertajuk “Video on Demand Survey 2017“. Dari hasil survei yang dilakukan, ketahui Hooq (48,30%) menjadi layanan VOD yang paling banyak digunakan. Disusul Netflix (24,93%), Viu (25,02%) dan iFlix (24,35%).

Lalu di tahun 2018 DailySocial, juga merilis sebuah laporan terkait survei layanan OTT, khususnya untuk music streaming. Untuk layanan musik berlangganan, Joox (70,37%) jadi yang terfavorit. Disusul Spotify (47,70%), Langit Musik (28,51%) dan SoundCloud (19,75%).

Chasing on OTT Company Taxes

The taxes of OTT companies, such as Google, Facebook, and Amazon has been the talk around many countries including Indonesia back then. The potential tax might help with some country’s income. Now, the tax issues have come to an end. The Financial Minister, Sri Mulyani said that in the G20 summit last week, all members decided to set a new framework.

Sri Mulyani explained, as two things have decided, about base erosion and profit shifting (BEPS) or the tendency for companies to find places with low tax and about economy digital. England and France are examples with successful with tech company taxes.

“England and France, in particular, forming unilateral to impose digital economic taxes. It’s not only for the digital economy in terms of VAT, as the simplest one, but also for income tax where the economic presence becomes a tax source as an approach. It’s not the residential place, the business might take place in Ireland with low tax, but when the activities are mostly in England, the tax will follow England’s rate. It was what happened in England and France,” Sri Mulyani said.

Currently, Indonesia has around 260 million population with 100 million internet users, but the tax revenue is yet to be reflected in it. The challenge is having no office building in Indonesia. Moreover, the redefined permanent establishment is still a priority.

“The digital activity has a different business model with the non-digital because it doesn’t require BUT (permanent establishment) in a country or jurisdiction to operate cross-countries,” the Financial Minister said as quoted by Liputan6.

She added further, “What makes it difficult is the tax based on a physical presence. However, digital companies can make it without opening branches or permanent establishment. It’s not only in Indonesia, so the physical presence can no longer count as a reference.”

Quoted from Kontan, DDTC Tax Observer, Bawono Kristiaji said if the effort to implement tax for OTT companies like Google, Amazon, Facebook, and Apple success, Indonesia will take the advantage.

He said, there are two main issues that freed those companies of taxes, first is a permanent establishment and the profit allocation. Even though it’s a permanent establishment, profits that can be taxed in a jurisdiction should reflect the contribution of the state entity towards value creation in a multinational group.

“Unfortunately, the current international tax system does not regulate these two, the status of the permanent establishment has not been based on a significant economic presence and profit allocation has not reflected fair value creation,” he added.

Digital tax pursuits for OTT companies are indeed profitable for countries with large consumers such as Indonesia. However, with the complex digital economy, another challenge risen for government in pursuing OTT corporate tax is policy, especially in quantitative calculations related to the significant presence, and to define low or no tax jurisdiction. Including the formula and the basis of the calculation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengejar Pajak Perusahaan OTT

Pajak perusahaan OTT seperti Google, Facebook, hingga Amazon sudah menjadi perbincangan di banyak negara termasuk Indonesia beberapa waktu lalu. Potensi pajak dari mereka diharapkan bisa memberikan sumbangsih pendapatan negara. Kini perpajakan untuk perusahaan-perusahaan tersebut menemui titik terang. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa dalam pertemuan G20 pekan kemarin para negara anggota sepakat untuk menyusun kerangka kerja baru.

Sri Mulayani menjelaskan ada dua setidaknya hal yang disepakati, pertama soal base erosion and profit shiftting (BEPS) atau kecenderungan perusahaan mencari tempat dengan tingkat pajak rendah dan juga mengenai digital ekonomi. Inggris dan Perancis merupakan dua negara yang menjadi contoh telah berhasil mengenakan pajak terhadap perusahaan teknologi.

“Terutama Inggris dan Perancis yang melakukan unilateral untuk meng-impose pajak digital ekonomi. Dia bahkan melakukannya bukan hanya untuk digital ekonomi dari sisi VAT, karena yang paling mudah, tapi juga dari sisi income tax PPh di mana mereka juga menggunakan pendekatan economic presence-nya lebih dijadikan sumber pajaknya. Jadi bukan tempat tinggalnya jadi dia bisa saja tetap di Irlandia yang tarif pajaknya sangat rendah, tapi kalau aktivitasnya lebih banyak di Inggris maka pajaknya tetap di Inggris. Itu yang dilakukan Inggris dan Perancis,” jelas Sri Mulyani.

Saat ini Indonesia kurang lebih memiliki 260 juta populasi dengan 100 juta pengguna internet, namun realisasi penerimaan perpajakan belum tercermin dari sana. Tantangannya adalah tidak ada kehadiran secara fisik perusahaan di Indonesia. Oleh karena itu redefinisi dari Bentuk Usaha Tetap menjadi prioritas.

“Kegiatan digital itu bisnis modelnya berbeda dengan non digital karena mereka tidak harus memiliki BUT (Bentuk Usaha Tetap) atau permanent establishment di suatu negara atau yurisdiction sehingga beroperasi di lintas negara,” terang Menkeu seperti dikutip dari Liputan6.

Ia lebih jauh menambahkan, “Jadi itu yang membuat kesulitan karena basis pajak adalah kehadiran perusahaan secara fisik. Tapi perusahaan digital bisa lakukan tanpa buat cabang atau permanent establisment. Jadi ini tidak hanya di Indonesia saja. Sehingga kehadiran secara fisik tidak bisa lagi dijadikan acuan.”

Dikutip dari Kontan, Pengamat Perpajakan DDTC Bawono Kristiaji menyampaikan bahwa upaya memberlakukan pajak untuk perusahaan OTT seperti Google, Amazon, Facebook, dan Apple bila direalisasikan maka akan sangat menguntungkan Indonesia.

Menurutnya saat ini ada dua hal utama yang menghindarkan perusahaan OTT tersebut terhindar dari pajak, pertama soal BUT dan yang kedua soal pengalokasian laba. Jadi meskipun sudah menjadi BUT laba yang bisa dipajaki di suatu yuridiksi seharusnya merefleksikan kontributi entitas negara tersebut terhadap pembentukan nilai dalam group multinasional.

“Sayangnya sistem pajak internasional yang saat ini berlaku tidak mengatur kedua hal tersebut yaitu status BUT belum berdasarkan significant economic presence dan alokasi laba yang belum merefleksikan pembentukan nilai secara fair,” imbuh Bawono.

Pengejaran pajak digital untuk perusahaan OTT memang menguntungkan dengan negara dengan konsumen besar seperti Indonesia. Namun dengan kompleksitas ekonomi digital tantangan lainnya yang dihadapi pemerintah dalam mengejar pajak perusahaan OTT adalah formulasi kebijakan, khususnya pada perhitungan kuantitatif terkait significant persence dan mendefinisikan low or no tax jurisdictions. Termasuk formula dan dasar perhitungannya.

Laporan CSIS Sebut Platform OTT Mampu Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

CSIS dan Asia Internet Coalition merilis hasil studi yang membahas potensi dan masa depan dari layanan Over-the-Top (OTT) di Indonesia. Studi kolaborasi yang dipaparkan Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri menyebutkan, 80% media sosial digunakan oleh pengguna usia 18-45 tahun, hampir 45% pengguna memiliki edukasi yang tinggi, sementara 30% lainnya lulusan universitas. Dalam hasil studi tersebut juga terungkap bahwa jaringan yang baik membantu meningkatkan perekonomian di pelosok daerah dan membantu UKM mempromosikan bisnisnya.

Rich Interactive Application (RIA)

Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri

Kehadiran layanan OTT, atau yang juga dikenal dengan nama Rich-Interactive-Application, saat ini makin beragam platformnya. Mulai dari WhatsApp, LINE, KakaoTalk, WeChat hingga Facebook, Twitter dan Viber. Di Indonesia sendiri platform OTT yang paling banyak digunakan UKM untuk melakukan interaksi langsung kepada konsumen adalah melalui WhatsApp dan LINE.

“Aplikasi tersebut memungkinkan penggunanya berinteraksi secara intensif. Selain lebih personal, OTT juga memberikan peluang untuk pengguna berjualan,” kata Damuri.

Dalam hal ini studi CSIS melihat peluang platform OTT terkait dengan impact-nya kepada UKM, lapangan pekerjaan hingga pariwisata dan bagaimana upaya pemerintah meningkatkan infrastruktur, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah hingga 0,92%, jika network coverage di kawasan tersebut baik.

“Tantangan terbesar saat ini adalah industri ini terbilang masih baru, sehingga dibutuhkan waktu untuk pengembangan dan tentunya dukungan infrastruktur dari pemerintah,” kata Damuri.

Kehadiran layanan e-commerce hingga transportasi online juga telah membuka lapangan pekerjaan kepada masyarakat di kota hingga daerah. Memanfaatkan jaringan internet hingga operator telekomunikasi, semua bisa dilakukan dengan mudah. Dalam studi tersebut juga terungkap, OTT/RIA memiliki peranan penting bagi UKM untuk melakukan promosi hingga penjualan memanfaatkan media sosial.

Pada tahun 2016 UKM memberikan kontribusi sekitar 60% untuk GDP Indonesia dan 97% dari total tenaga kerja. Ditambah dengan meningkatnya penetrasi smartphone dan penggunaan internet, platform online menjadi sangat penting untuk bisnis komersial secara umum.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa pengguna terbanyak media sosial dan OTT/RIA adalah kalangan millennial yang mencapai 54,3% setiap harinya. Sementara kalangan di luar millennial hanya sekitar 1,9% yang menggunakan media sosial setiap harinya.

Dampak OTT untuk pariwisata dan lapangan pekerjaan

Dalam survei yang dilakukan oleh idEA pada tahun 2017 lalu terungkap, kebanyakan UKM memanfaatkan Facebook dan Instagram untuk mempromosikan produk hingga berjualan. CSIS juga mencatat, sekitar 700 ribu pengguna Instagram mengikuti akun Instagram yang berisikan promosi tiket pesawat hingga promo untuk pemesanan secara online. Secara langsung OTT/RIA memainkan peranan penting terkait target pemerintah. Salah satunya adalah mendatangkan 20 juta wisatawan asing dengan target pendapatan Rp 240 miliar di tahun 2019.

Dalam hal lapangan pekerjaan, OTT/RIA juga banyak digunakan untuk mempromosikan lowongan pekerjaan melalui marketplace yang menghubungkan pegawai satu dan lainnya seperti Linkedin. Di Indonesia sendiri pengguna Linkedin sudah mencapai 8 juta pengguna yang sebagian besar adalah pengguna di Jakarta. Internet juga memungkinkan kebiasaan baru yang mulai banyak diterapkan startup hingga perusahaan yaitu bekerja secara remote atau menempatkan tim layanan pelanggan di daerah, meskipun kantor pusat ada di ibukota.

Untuk meningkatkan layanan masing-masing platform OTT/RIA yang masuk ke Indonesia, CSIS menyebutkan ada baiknya pemerintah memberikan ruang lebih, yaitu dengan tidak terlalu ketat mengeluarkan peraturan, perizinan, dan hal terkait lainnya.

CSIS memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk bisa mendukung keberadaan platform OTT/RIA di Indonesia. Di antaranya adalah meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat umum, pemahaman yang lebih baik terkait penggunaan OTT, dan meningkatkan infrastruktur di seluruh kawasan. Pemerintah juga diharapkan mempromosikan bahwa infrastruktur yang merata dan makin baik serta pemahaman yang menyeluruh di kalangan masyarakat soal penggunaan internet bisa berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi daerah.

Telkom Melepaskan Pemblokiran Terhadap Netflix

Setelah setahun lebih layanan video on demand Netflix diblokir dari jaringan Telkom, akhirnya kini pengguna IndiHome dan varian jaringan dari Telkom lainnya segera bisa menikmati salah satu layanan streaming terpopuler tersebut.

Pelepasan pemblokiran yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini ditengarai dari rencana kerja sama strategis yang akan dilancarkan oleh Telkom dan Netflix. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Consumer Service Telkom Dian Rachmawan, bahwa pihaknya menilai telah mencapai titik temu yang diharapkan untuk kerja sama yang saling menguntungkan.

“Kerja sama ini menjadi angin segar bagi seluruh pelanggan IndiHome yang bisa menikmati semakin banyak hiburan berkualitas dari berbagai penyedia layanan OTT Video Streaming. Setelah CATCHPLAY, iflix dan HOOQ, sekarang bertambah lagi dengan Netflix. Dalam tahap awal, Netflix bisa dinikmati melalui layanan IndiHome dengan penawaran menarik. Selanjutnya kerja sama kedua layanan tersebut bisa” ditingkatkan untuk memberikan movie-watching experience yang semakin lengkap dan berkualitas, ujar Dian seperti dikutip laman Indotelko.

Sebelumnya pemblokiran Netflix oleh Telkom dilakukan karena indikasi konten negatif dan pornografi yang ada di dalamnya. Tepatnya per tanggal 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.

Kendati demikian, dalam sebuah kesempatan CEO Netflix Reed Hastings tidak ambil pusing kala itu. Di sela-sela acara konferensi Asia Pacific Pay-TV Operators (APOS) 2016 di Bali, Hastings mengisyaratkan tidak peduli terhadap isu blokir ini dan menyebutkan Telkom Group adalah satu-satunya ISP yang memblok layanannya di Asia.

“Salah satu yang paling utama adalah bahwa Netflix akan memenuhi ketentuan yang berlaku di Indonesia, termasuk terkait sensor dan ketentuan lainnya guna menghadirkan layanan Netflix melalui network Telkom,” imbuh Dian.

MNC Group Hadirkan Platform “Video On-Demand” Moviebay

Konglomerat media MNC Group makin banyak mengeluarkan produk OTT berbasis video. Setelah menyediakan aplikasi khusus untuk pelanggan Indovision bertajuk Indovision Anywhere dan platform video MeTube, kini mereka menghadirkan Moviebay. Moviebay adalah platform video on-demand, seperti Netflix, untuk menonton film dan tayangan televisi.

“Berawal dari adanya aplikasi Indovision Anywhere yang merupakan aplikasi untuk menonton tayangan channel premium dari Indovision dimana saja melalui gadget. Sejalan dengan perkembangannya industri Over-the-top content (OTT) di tanah air, MNC Group ingin membuat aplikasi Indovision Anywhere bisa lebih dinikmati oleh target konsumen yang lebih luas,” kata Head Marketing Communication MNC Media Mushofi kepada DailySocial.

“Moviebay hadir dalam dua pijakan posisi sebagai pemain di industri Over-the-top content (OTT) Video Streaming, yaitu sebagai Value Added Services (VAS) dari produk Direct-To-Home (DTH) seperti Indovision, Top TV, Okevision dan Fiber to the home (FTTH) yaitu MNC Play dari MNC Group serta murni sebagai layanan berlangganan untuk berbagai konten film dan serial TV,” lanjutnya.

Secara keseluruhan saat ini Moviebay telah memiliki ribuan konten yang terdiri dari film Internasional, film Indonesia, film Asia, FTV dan serial televisi.

Pilihan pembayaran dan target Moviebay

Saat ini Moviebay sudah bisa dinikmati secara gratis melalui aplikasi mobile platform android dan iOS. Usai mendaftarkan diri, pengguna sudah bisa menikmati beragam pilihan acara televisi lokal hingga asing yang telah dikurasi. Untuk pilihan pembayaran Moviebay menawarkan kemudahan kepada pengguna baru, yaitu melalui potong pulsa atau billing carrier dan pilihan lainnya.

“Saat ini kami masih memberikan gratis untuk menikmati semua layanan di Moviebay. Ke depan kami pasti akan melakukan kerjasama potong pulsa dengan semua operator telko. Tidak hanya dengan telko, kerjasama untuk mempermudah pembayaran akan kami lakukan juga secara E- Payment, jadi pelanggan kami bisa membayar melalui Credit Card, ATM atau Mandiri Clickpay,” kata Mushofi.

Kehadiran Moviebay secara langsung nanti akan bersaing dengan layanan seperti Iflix, Hooq, Netflix, dan Amazon Prime.

Untuk awal peluncuran Moviebay menargetkan pengguna yang telah menjadi pelanggan televisi berbayar MNC Group terlebih dahulu. Meskipun demikian, saat ini kesempatan untuk mendaftarkan sebagai pengguna bari di Moviebay sudah bisa dilakukan.

“Pastinya kami ingin semua pelanggan Pay TV MNC Group menggunakan Moviebay sebagai Value Added Services (VAS) mereka. Baru pada kuartal dua tahun 2017 kami akan melakukan [pengumuman] official untuk mendapatkan konsumen lebih luas,” tutup Mushofi.

Application Information Will Show Up Here

Gencarkan Kegiatan Pemasaran, Yonder Music Ambisius Kejar 1 Juta Pengguna

Meski akhir tahun sudah dipenghujung mata, Yonder Music yang merupakan mitra ekslusif XL Axiata tetap optimistis dapat menembus jumlah pengguna 1 juta orang sampai akhir tahun ini. Beberapa kegiatan pemasaran yang bakal dikebut adalah memperbanyak konten musik eksklusif untuk penggunanya, menggelar kompetisi, menggelar konser gratis dan menerbangkan pengguna loyal ke konser internasional.

“Kami sadar konten itu adalah hal yang penting dan jadi salah satu trigger pengguna untuk terus memakai Yonder. Kami akan kejar 1 juta pengguna sampai akhir tahun ini, makanya strateginya harus berbeda dari pemain streaming musik lainnya,” ujar Country Manager Yonder Music Zico Kemala Batin, Jumat (18/11).

Terhitung saat ini jumlah pengguna aktif Yonder Music di Indonesia mencapai 750 ribu orang. Adapun dari segi lokasi pengguna rata-rata berada di kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, Bali, Medan dan berbagai kota lain, terutama yang sudah didukung oleh jaringan 4G/LTE.

Zico menerangkan, Yonder Music fokus mengembangkan konten musik lokal. Dia mengklaim jumlah lagu lokal yang bisa didengarkan adalah terlengkap dibandingkan kompetitor. Pihaknya juga sudah bekerja sama dengan 48 label musik lokal dan tiga label musik internasional, bila ditotal jumlah lagu di Yonder Music lebih dari 20 juta lagu.

Lagu yang dihadirkan Yonder Music adalah legal dan siap unduh. Pengguna juga diberikan kebebasan tanpa ada intervensi iklan. Zico mengatakan pihaknya menerapkan pembayaran royalti merata untuk seluruh artis. Adapun proporsinya adalah 75% pembayaran royalti untuk label, sementara sisanya masuk ke kantong Yonder.

Perlakuan yang sama juga diterapkan untuk lagu-lagu yang sudah diunduh, di mana rata-rata penggunanya tidak memakai data. Cara pengitungannya berdasarkan hit, berapa kali lagu diputar.

“Bisa dibilang cara pembayaran royalti kami ke label musik adalah terbesar dibandingkan kompetitor, karena kami treat-nya sama.”

Head of OTT XL Axiata Diana Sulaiman menambahkan, “Dari data pengguna internet di XL, kami melihat pemakaian data untuk streaming musik adalah salah satu tertinggi. Ke depannya bersama Yonder akan terus meningkatkan pengalaman bermusik yang lebih eksklusif untuk pengguna kami.”

Saat ini Yonder Music hanya bisa diakses oleh pengguna XL Axiata dan Axis tanpa perlu pendaftaran. Pengguna XL cukup mengakses layanan musik ini dengan berlangganan paket data yang dilanggan.

Tahun depan,rencananya XL Axiata akan menambah kerja sama ekslusif dengan pemain OTT untuk streaming video. Menurut Diana, rencana ini diharapkan bisa game changer untuk layanan OTT. Kendati demikian pihaknya enggan memberikan detil lebih lanjut. Saat ini XL Axiata memiliki kontrak ekslusif untuk layanan OTT video streaming Tribe.

Makin maraknya kerja sama ekslusif antara perusahaan operator dengan penyedia layanan OTT bisa dikatakan sebagai strategi baru untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan dari data, disamping mulai meredupnya frekuensi penggunaan suara dan pesan singkat.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Layanan Video On-Demand Viu Perbanyak Pengguna di Indonesia

Sudah hampir enam bulan Viu resmi beroperasi di Indonesia. Indonesia sendiri adalah negara ke lima yang disambangi Viu setelah sebelumnya berhasil bersinggah di Hong Kong, Malaysia, India dan Singapura. Rupanya dengan kuatnya konten video di segmen Asia terutama Korea, Jepang dan Taiwan ampuh memacu pengguna baru di Indonesia. Terhitung per hari ini, aplikasi Viu sudah diunduh lebih dari 1 juta kali oleh pengguna di Indonesia.

Aplikasi ini merupakan hasil karya anak usaha Vuclip dari PCW Media Company berbasis di Hong Kong. Data terakhir menyebut telah memiliki pelanggan terdaftar sebanyak 9 juta orang di empat negara Asia sejak pertama kali diluncurkan pada tahun ini.

Nickhil Jakatdar selaku CEO dan Founder Vuclip mengungkapkan persentase pengguna Viu di Indonesia didominasi oleh perempuan dengan persentase sekitar 80%. Pencapaian ini terbilang lebih besar bila dibandingkan pengguna Viu di luar Indonesia, rata-rata persentasenya hanya sekitar 60%-70%.

Meski Jakatdar enggan menyebutkan jumlah persis penggunanya di Indonesia, namun dari data ini menunjukkan perempuan Indonesia terbilang sangat loyal untuk meluangkan waktunya untuk menonton video dari aplikasi ini. Selain itu, perempuan Indonesia juga menempati posisi tertinggi untuk konsumsi paket data tertinggi dengan rata-rata waktu tonton 8 hingga 10 jam per bulannya.

“Perempuan Indonesia adalah konsumen terbesar Viu, mereka adalah fans yang sangat loyal terhadap konten-konten yang kami hadirkan. Dari top three content kami yang paling banyak laku ditonton adalah serial drama dari Korea, Jepang dan Taiwan,” ujarnya kepada DailySocial di sela-sela acara Indonesia Economic Forum 2016, Selasa (15/11).

Meski lebih banyak pengguna perempuan, Jakatdar menjelaskan pihaknya tidak melakukan spesifikasi konten untuk gender tertentu saja. Viu tetap fokus menyediakan berbagai kategori video, pihak penentu akhirnya akan diserahkan ke pengguna bagaiamana preferensi mereka.

Untuk menggaet lebih banyak pengguna di tanah air, Viu juga bakal meresmikan beberapa kemitraan strategis dengan perusahaan lainnya. Dalam waktu dekat akan meresmikan ada dua kerja sama strategis yang akan diumumkan, dengan salah satu bank dan perusahaan e-commerce. Sebelumnya, Viu telah menjalin kemitraan strategis dengan Telkomsel, IndiHome dan Samsung.

Tak hanya itu, pihaknya akan terus mengembangkan fitur-fitur yang dapat meningkatkan user experience, misalnya desain interface yang lebih ringkas dan fitur bernuansa lokal lainnya.

Jakatdar melanjutkan, salah satu perhatian utama Viu adalah menyajikan konten video yang ringan dan dapat dijalankan dalam bentuk jaringan apapun, sekalipun 2G. Maka dari itu, pihaknya menyajikan fitur download untuk menyesuaikan koneksi di Indonesia.

“DNA Viu adalah perusahaan teknologi, jadi kualitas video harus tetap sama sekalipun ada di koneksi yang bukan 4G.”

Tak hanya beroperasi di lima negara saja, Viu juga tengah mempersiapkan diri untuk ekspansi ke beberapa negara di kawasan Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, Oman, Kuwait dan beberapa negara di Afrika pada tahun depan. Aksi ini sekaligus melancarkan misi Viu untuk menjadi penyedia VOD OTT (Over The Top) yang fokus menghadirkan konten dari Asia dan lokal asal negara itu sendiri.

“Ada beberapa negara di Timur Tengah yang akan jajal ke depannya. Langkah pertama kami adalah beroperasi di Asia Tenggara, kemudian merambah ke India, Timur Tengah dan Afrika,” pungkas Jakatdar.

Isu Penjualan Saham Operator Telekomunikasi dan OTT di Indonesia

Bulan ini setidaknya ada dua informasi, atau juga boleh dibilang gosip, mengenai rencana dijualnya dua perusahaan telekomunikasi Indonesia. Yang pertama adalah XL milik Axiata dan Indosat milik Ooredoo. Kedua perusahaan tersebut dikabarkan akan dilepas karena pasar Indonesia yang sudah tak lagi menguntungkan. Saham XL Axiata rontok akibat berhembusnya kabar akan dilepasnya XL oleh Axiata, sementara Ooredoo langsung segera membantah isu ini dan menegaskan Indosat masih menjadi salah satu bisnis Ooredoo yang menjanjikan.

Kabar ingin dilepasnya XL oleh Axiata langsung disambut dengan spekulasi masuknya Grup Djarum sebagai salah satu kandidat kuat yang selanjutnya menjadi tempat berlabuh XL. Spekulasi ini langsung menghiasi banyak pemberitaan selepas rumor akan dilepasnya XL.

Sedikit berbeda dengan XL Axiata, kabar Indosat yang rencananya akan dilepas Ooredoo langsung direspon dengan cepat. Dikabarkan melalui laman resmi perusahaan Ooredoo langsung tegas membantah tidak akan menjual Indosat karena menurut mereka Indosat masih menjadi bagian strategis dalam rencana bisnis yang telah disiapkan Ooredoo.

“Ooredoo dengan ini mengkonfirmasi bahwa tidak ada niat untuk menjual kepemilikan bisnisnya,” tulis pihak Ooredoo.

Awan mendung di dunia telekomunikasi?

Yang menarik perhatian adalah apakah ini tanda-tanda awan mendung sedang menggelayuti industri telekomunikasi tanah air? Jika ditarik sedikit ke belakang sebelum isu tarif interkoneksi dan network sharing yang menjadi perbincangan di industri tanah air isu OTT (Over The Top) menjadi isu yang sangat populer. Kala itu para operator telekomunikasi menilai hadirnya OTT asing secara bebas di Indonesia tidak memberikan keuntungan bagi pihak operator. Operator banyak yang mengeluh karena mereka yang membangun infrastruktur tapi OTT yang menikmati hasilnya.

OTT memang sekarang memiliki banyak pilihan layanan, termasuk beberapa layanan yang disediakan operator telekomunikasi seperti berkirim pesan atau melakukan panggilan. Salah satu yang dikhawatirkan juga mengenai Project Loon milik Google dan juga Facebook yang terus berinovasi yang bukan tidak mungkin nantinya masuk ke bisnis operator. Sebuah peringatan bagi operator telekomunikasi.

Sebenarnya para operator di Indonesia tidak tinggal diam menyikapi dominasi OTT asing di Indonesia. Banyak dari mereka mulai mendirikan, berinvestasi, atau menjadi inkubator yang diharapkan bisa melahirkan OTT lokal yang berkualitas dan juga banyak diminati masyarakat Indonesia. Seperti XL Axiata dengan Elevenia, Yonder, dan Tribe, atau Indosat Ooredoo dengan Ideabox, Cipika, hingga aplikasi Obrol. Termasuk juga kerja sama dengan beberapa OTT asing yang ingin masuk ke pasar Indonesia.

Selain sempat diprotes operator telekomunikasi lokal seperti kita ketahui bersama OTT asing yang beroperasi di Indonesia juga tengah “dikejar-kejar” oleh pemerintah karena dianggap belum mematui aturan yang mengharuskan mereka membayar pajak. Sama seperti yang operator telekomunikasi harapkan, kontribusi bagi Indonesia yang potensi pasarnya dieksploitasi.

Permasalahan operator telekomunikasi ini sebenarnya sudah ditawarkan jalan keluarnya, yang paling sering diberitakan adalah regulasi. OTT diharapkan bisa membangun sinergi dengan operator untuk bisa memberikan solusi yang terbaik bagi semua pihak, dan bisa berimbas pada berlanjutnya pembangunan dan peningkatan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Salah satu hal lain yang diupayakan adalah mendorong hadirnya OTT lokal yang bisa menggantikan kehadiran OTT global.

Mencoba Aplikasi Obrol, Layanan OTT Eksklusif dari Indosat Ooredoo

Indosat Ooredoo awal bulan ini baru saja meluncurkan sebuah aplikasi OTT (Over The Top) yang memiliki kegunaan untuk beragam aktivitas komunikasi, seperti chat, SMS, dan Telepon. Aplikasi yang dinamai Obrol tersebut eksklusif disediakan untuk para pengguna Indosat Ooredoo. Jika dilihat dari konsepnya, aplikasi ini adalah salah satu cara Indosat mengurangi ketergantungan penggunanya terhadap layanan OTT luar negeri. Saya berkesempatan mencobanya dan menurut saya aplikasi Obrol sangat layak digunakan. Kualitasnya tidak jauh berbeda dengan aplikasi pesan instan kebanyakan.

Belakangan ini operator telekomunikasi selain getol mempromosikan jaringan 4G juga sering melakukan inovasi lain dalam penggunaannya. Misalnya dengan mempromosikan aplikasi-aplikasi yang bekerja dan mendukung layanan 4G. Aplikasi Obrol, yang tersedia untuk platform Android dan iOS, adalah salah satunya.

Dari segi penggunaan aplikasi Obrol ini sama mudahnya dengan penggunaan aplikasi pesan instan kebanyakan. Pada tahap awal, pengguna diminta untuk mendaftarkan akunnya dengan menggunakan nomor aktif Indosat Ooredoo. Setelah menyelesaikan proses registrasi, pelanggan akan dihadapkan pada menu utama.

Selain chat dan telepon menggunakan jaringan internet (VoIP) ke sesama pengguna aplikasi Obrol, aplikasi ini juga bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan non pengguna melalui SMS dan telepon (menggunakan jaringan seluler). Untuk fitur ini Indosat Ooredoo menyediakan paket khusus, paket Obrol. Paket ini diklaim lebih murah terutama bagi yang berkomunikasi ke atau dari luar negeri.

Saya sendiri berikan kredit positif dari segi tampilan dan fungsi dasar chat yang disematkan. Tampilan aplikasi Obrol di desain sederhana dengan dominasi warna putih. Ikon-ikon menu juga ditampilkan tidak terlalu mencolok namun tetap terlihat eye catching.

Tampilan aplikasi Obrol
Tampilan aplikasi Obrol

Untuk fitur, sebagai aplikasi yang baru diluncurkan, Obrol tergolong lengkap. Selain memungkinkan pengguna saling berkirim pesan teks, fitur chatting-nya juga dilengkapi dengan fitur berkirim foto,lokasi, kontak, voice note. Bahkan sudah ada fitur voice call menggunakan jaringan internet. Saya sempat mencobanya dengan beberapa kerabat yang ditinggal di Jakarta dan Yogyakarta, suaranya jernih dan hampir tidak ada delay.

Aplikasi Obrol yang diluncurkan bersamaan dengan pembukaan gelaran Indonesia Cellular Show (ICS) ini memang sengaja dibuat untuk memberikan pengalaman baru bagi penggunanya. Dengan jargon all-in-one aplikasi, Obrol meringkas beberapa fitur komunikasi ke dalam satu aplikasi.

Tidak hanya itu, jika ditarik ke belakang soal hiruk-pikuk OTT dan pajaknya di Indonesia, bukan tidak mungkin Obrol akan menjadi alternatif untuk perlahan-lahan mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap aplikasi OTT dari luar negeri. Mengingat permasalahan mengenai pajak OTT sampai sekarang tak kunjung selesai.

Dari segi kualitas, baik aplikasi maupun jaringan yang digunakan saya rasa sah-sah saja menyebut Obrol sebagai pesaing OTT luar negeri. Selain produk dalam negeri, Obrol juga didukung oleh salah satu provider telekomunikasi terbesar di Indonesia. Hanya saja Obrol hanya bisa digunakan untuk pengguna Indosat Ooredoo, meski koneksi jaringannya bisa menggunakan jaringan selain milik Indosat Ooredoo.

Application Information Will Show Up Here