Astell & Kern Luncurkan Speaker Bluetooth Kelas Audiophile, Acro BE100

Dikenal sebagai produsen pemutar musik portabel kelas audiophile, Astell & Kern (A&K) belakangan mulai berani keluar dari zona nyamannya dan meluncurkan earphone hasil garapan tim internalnya sendiri. Yang terbaru, pabrikan asal Korea Selatan tersebut memperkenalkan speaker Bluetooth perdananya, Astell & Kern Acro BE100.

Target pasar utamanya tetap kalangan audiophile, dan itu diwujudkan lewat DAC (digital-to-analog converter) 32-bit yang tertanam di dalam speaker ini. Tidak kalah penting adalah Bluetooth 5.0, lengkap dengan dukungan codec 24-bit aptX HD (48 kHz) maupun LDAC (96 kHz), sehingga pengguna masih bisa menikmati koleksi musik Hi-Res selagi dimanjakan oleh kepraktisan koneksi nirkabel.

Kinerja audionya disokong oleh sebuah woofer 4 inci berbahan Kevlar dan sepasang silk dome tweeter 1,5 inci, yang semuanya menerima suplai daya dari amplifier Class-D 55 W hasil rancangan A&K sendiri. Kita juga bisa menjumpai lubang besar di sisi belakang yang akan semakin memantapkan dentuman bass yang dihasilkan.

Semua itu dikemas dalam bodi dengan desain angular yang sudah menjadi ciri khas produk-produk A&K selama ini, baik dalam pilihan warna hitam atau putih. Bagian grilnya yang memiliki motif trapezoid terbuat dari bahan logam, sementara sisi-sisi lainnya dibalut oleh bahan kulit sitentis.

Pada sisi atasnya, kita juga bisa menemukan kenop besar untuk mengatur volume secara presisi — lagi-lagi mewarisi ciri khas pemutar musik portabelnya. A&K tidak lupa membekali Acro BE100 dengan fitur Dynamic Range Control (DRC) untuk melindungi unit speaker-nya ketika perangkat digeber dalam volume maksimum.

Satu hal yang perlu dicatat adalah, Acro BE100 bukan speaker portabel. Ia tidak dilengkapi baterai internal dan harus selalu dicolokkan ke listrik. Wujudnya mungkin boleh terlihat cukup ringkas, tapi bobot perangkat ini cukup lumayan di angka 3,2 kg.

Kalau memang tidak portabel, kenapa A&K tidak sekalian menyematkan koneksi Wi-Fi saja, sehingga perannya sebagai speaker nirkabel rumahan bisa semakin maksimal? Saya tidak punya jawabannya, tapi satu hal yang pasti, itu jelas bakal menambah ongkos.

Acro BE100 di sisi lain tergolong cukup terjangkau untuk ukuran produk Astell & Kern, dengan banderol tidak lebih dari $380, atau kurang lebih sekitar 5,4 jutaan rupiah. Memang masih lebih mahal daripada kebanyakan speaker Bluetooth, tapi tetap saja langka untuk perusahaan yang terbiasa menjual produk audio seharga puluhan juta rupiah.

Sumber: What Hi-Fi.

Anker Luncurkan Soundcore Frames, Kacamata Pintar dengan Desain Semi-Modular

Soundcore merupakan sub-brand milik Anker yang secara khusus menggeluti bidang audio. Namun produk mereka kini tak hanya mencakup speaker, earphone dan headphone saja, melainkan juga kacamata.

Gambar di atas adalah Soundcore Frames, kacamata pintar sekaligus perangkat wearable pertama dari Anker. Kata pintar di sini mengacu pada kemampuannya memutar audio, bukan untuk menyajikan konten augmented reality seperti Snap Spectacles.

Dalam mengerjakan tugasnya, Soundcore Frames mengandalkan sepasang driver pada masing-masing tangkainya; satu berdiameter 25 mm, satu lagi 8 mm. Anker tidak lupa menyematkan sejumlah mikrofon sehingga perangkat juga bisa dipakai untuk menelepon maupun menangkap perintah suara.

Selain via perintah suara, pengoperasiannya juga bisa dengan menyentuh dan mengusap sisi luar tangkainya. Secara keseluruhan, perangkat ini tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4.

Soundcore Frames bukanlah kacamata audio pertama yang eksis di pasaran. Jauh sebelum ini sudah ada perangkat serupa dari Bose. Bahkan Razer pun juga punya kacamata dengan fungsi yang sama bernama Anzu.

Namun yang membedakan Soundcore Frames adalah fleksibilitasnya. Ketimbang menawarkan beberapa varian dengan desain yang berbeda, Anker justru menerapkan desain semi-modular pada Soundcore Frames; kedua tangkainya dapat dilepas-pasang dengan mudah dari bingkai kacamata.

Jadi ketimbang membeli unit baru secara lengkap hanya sekadar untuk berganti gaya, konsumen cuma perlu membeli bagian bingkainya saja. Jauh lebih hemat, tapi di saat yang sama masih tetap praktis. Agar dapat menjangkau semua pengguna, perangkat tentu juga kompatibel dengan lensa berukuran.

Soal baterai, Soundcore Frames diklaim bisa tahan sampai 5,5 jam sebelum ia perlu diisi ulang. Pengisiannya sendiri mengandalkan charger magnetis khusus. Saat buru-buru, perangkat bisa di-charge selama 10 menit saja, dan itu sudah cukup untuk menenagainya selama 1,5 jam pemakaian.

Untuk pasar Amerika Serikat, Soundcore Frames kabarnya akan dijual dengan harga $200 (sama seperti Razer Anzu), sementara bingkai tambahannya (yang tersedia dalam 10 variasi desain) dihargai $50 per unit.

Sumber: 9to5Toys dan Anker.

Harganya Bersahabat, JLab JBuds Work Adalah Headset Nirkabel Kaya Fitur untuk Pekerja Kantoran

Bukan JLab namanya kalau produk yang dijualnya tidak ramah kantong. Produk terbaru mereka adalah sebuah headset nirkabel untuk kalangan pekerja kantoran, dan lagi-lagi mereka mematok harga yang amat bersahabat: $79.

Namun jangan sesekali tertipu oleh harganya. Headset bernama JBuds Work ini tergolong kaya fitur. Yang paling mencolok, ia datang membawa koneksi Bluetooth 5, lengkap dengan dukungan multipoint pairing. Jadi dalam waktu yang bersamaan, ia dapat dihubungkan ke dua perangkat yang berbeda, semisal smartphone dan laptop, sangat berguna dalam konteks bekerja.

Fitur lain yang tak kalah menarik adalah, panggilan telepon yang masuk dapat diterima secara otomatis hanya dengan menurunkan mikrofon yang terpasang pada earcup sebelah kanannya. Selesai berbicara, lipat kembali mic-nya ke atas untuk mengakhiri panggilan telepon.

JBuds Work turut dilengkapi tombol mute pada salah satu earcup-nya, sehingga Anda tidak perlu repot-repot mengingat posisi tombol mute di berbagai aplikasi video conference. Saat mic dalam kondisi mute, sebuah indikator LED di ujungnya akan menyala dalam warna merah.

Andai diperlukan, headset ini dapat digunakan dalam mode mono dengan melepas earcup sebelah kirinya. JBuds Work tercatat memiliki bobot 170 gram, dan itu berarti bobotnya bakal lebih enteng lagi saat salah satu earcup-nya dicopot, ideal untuk pemakaian dalam durasi yang lama.

Meski ringan, baterai JBuds Work terbilang sangat awet. Dalam sekali pengisian, JLab mengklaim daya tahan hingga 60 jam nonstop. Anggap Anda bekerja selama 9 jam per hari, itu berarti headset ini tidak perlu di-charge sama sekali selama dipakai dari hari Senin sampai Jumat, termasuk ketika ada sesi-sesi lembur sekalipun.

Charging-nya sudah menggunakan USB-C. Dalam paket penjualannya, JLab turut menyertakan kabel USB ke AUX (3,5 mm) agar perangkat dapat digunakan sebagai wired headset seandainya diperlukan. Oh ya, JBuds Work punya dua pengaturan equalizer (EQ); satu untuk bekerja (menelepon), satu untuk bersantai (mendengarkan musik). Untuk berganti mode EQ, pengguna cukup mengklik dan menahan kedua tombol volume yang terdapat pada earcup.

Sekali lagi, semua itu bisa didapat dengan harga $79 saja, atau kurang lebih sekitar 1,1 jutaan rupiah. Sayang sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaan JLab JBuds Work di pasar tanah air.

Sumber: Engadget.

JBL L75ms Suguhkan Pengalaman Audio Modern dalam Kemasan Bernuansa Retro

Speaker adalah kategori produk teknologi yang cukup istimewa. Di saat kategori lain seperti smartphone atau laptop harus mengandalkan desain yang modern, speaker bebas mengadopsi rancangan lawas. Namun agar bisa relevan di tahun 2021, tentu saja nuansa retro tersebut harus dibarengi dengan sejumlah elemen modern.

Kira-kira begitulah prinsip dasar yang JBL tawarkan melalui lini speaker Classic Series-nya. Anggota terbaru di lineup tersebut adalah JBL L75ms. Bentuknya yang agak melengkung di depan dan datar di belakang mengingatkan saya pada JBL Paragon, speaker raksasa yang JBL produksi sejak tahun 1957 sampai 1983.

Perpaduan rangka kayu berwarna walnut dan busa hitam bermotif kotak-kotak sebagai grille semakin memperkuat kesan kunonya. Namun jangan pernah tertipu dengan penampilan luarnya, sebab jeroannya mencakup komponen-komponen yang sudah sesuai dengan ekspektasi kita terhadap sebuah perangkat audio modern.

Yang paling utama tentu adalah konektivitas nirkabel, baik Wi-Fi maupun Bluetooth, demikian pula dukungan terhadap protokol Chromecast sekaligus AirPlay 2. Streaming langsung menggunakan kabel Ethernet juga dimungkinkan, dan JBL telah membekalinya dengan DAC andal yang mampu mengolah audio dalam format hi-res — sampai 32-bit/192kHz.

Alternatifnya, perangkat turut dibekali input analog 3,5 mm maupun input phono (MM) untuk digunakan bersama turntable. Kalau perlu, JBL L75ms juga dapat diperlakukan sebagai soundbar berkat kehadiran port HDMI ARC, yang berarti ia hanya membutuhkan satu sambungan kabel saja ke TV.

Buka busa hitamnya, maka pengguna bakal menjumpai lima unit driver dengan konfigurasi sebagai berikut: midrange driver 4 inci, sepasang woofer 5,25 inci, dan sepasang tweeter 1 inci. Respon frekuensinya berada di rentang 45 Hz – 25.000 Hz, sedangkan total daya yang dihasilkan amplifier-nya mencapai angka 350 watt.

JBL L75ms mendapat namanya dari umur perusahaan JBL itu sendiri, yang tahun ini menginjak usia 75 tahun. Speaker ini rencananya akan dijual dalam beberapa bulan mendatang seharga $1.500.

Sumber: What Hi-Fi.

TWS Urbanista Seoul Andalkan Fitur Gaming Mode untuk Perangkat Android Sekaligus iOS

Urbanista, pabrikan audio asal Swedia yang sempat mencuri perhatian belum lama ini lewat sebuah headphone bertenaga surya, baru saja merilis TWS yang cukup menarik bernama Seoul. Salah satu fitur unggulannya adalah mode khusus dengan latensi rendah untuk keperluan gaming.

Fitur “Gaming Mode” pada TWS jelas bukan barang baru. Fitur ini bekerja dengan menekan angka latensi sambungan Bluetooth sampai serendah 40 milidetik, sehingga pada akhirnya audio dan visual yang tersaji bisa berjalan secara sinkron. Yang berbeda pada Seoul adalah bagaimana fitur ini dapat diwujudkan tanpa perlu mengandalkan codec aptX.

Mayoritas TWS yang menawarkan fitur gaming mode menggunakan codec aptX sebagai salah satu syarat agar fiturnya bisa terwujud. Ini jelas bukan syarat yang sulit buat para pengguna perangkat Android mengingat sebagian besar smartphone dan tablet Android memang sudah mendukung codec aptX. Masalahnya muncul ketika Anda menggunakan iPhone atau iPad, sebab dari dulu sampai sekarang memang belum ada satu pun perangkat iOS yang kompatibel dengan codec besutan Qualcomm tersebut.

Berhubung tidak memerlukan aptX, fitur gaming mode yang ditawarkan Urbanista Seoul juga dapat dinikmati oleh para pengguna iPhone dan iPad. Saat diaktifkan, Seoul bakal menurunkan latensinya sampai sekitar 70 milidetik. Memang tidak serendah yang ditawarkan TWS lain, tapi menurut Urbanista sudah cukup untuk meminimalkan delay antara audio dan visual.

Dari segi desain, Seoul hadir dalam bentuk bertangkai yang sangat familier. Tangkai tersebut dilengkapi panel sentuh untuk memudahkan pengoperasian, dan fisiknya secara keseluruhan tahan air dengan sertifikasi IPX4. Di balik masing-masing unitnya bernaung dynamic driver berdiameter 10 mm, dan Urbanista pun tidak lupa menyematkan mikrofon berteknologi noise cancelling. Sayang tidak ada fitur ANC di sini.

Dalam sekali charge, Seoul dapat beroperasi sampai 8 jam nonstop. Charging case-nya diklaim bisa mengisi ulang sampai tiga kali, memberikan total daya tahan baterai hingga 32 jam. Cukup mengesankan kalau melihat wujud charging case-nya yang tampak tipis dan ringkas. Selain menggunakan kabel USB-C, charging case-nya juga dapat diisi ulang menggunakan Qi wireless charger.

Saat ini Urbanista Seoul sudah dipasarkan dengan harga $90. Pilihan warna yang tersedia ada empat: hitam, putih, ungu, dan biru.

Sumber: Engadget.

Ikea dan Sonos Samarkan Speaker Nirkabel Sebagai Sebuah Lukisan

Dua tahun lalu, Ikea dan Sonos menyingkap hasil kolaborasinya berupa speaker yang merangkap peran sebagai rak buku dan lampu meja. Ide menyamarkan perangkat audio sebagai perabot rumah itu masih terus dipertahankan dan dikembangkan lebih lanjut. Yang terbaru, kemitraan kedua perusahaan melahirkan sebuah speaker nirkabel yang menyamar sebagai lukisan.

Ikea dan Sonos menjuluki produk ini dengan nama “Symfonisk Picture Frame WiFi Speaker”. Namun sebenarnya akan lebih akurat jika ia dikategorikan sebagai lukisan ketimbang bingkai foto, sebab kita tidak bisa menyelipkan foto atau gambar milik kita sendiri. Beruntung panel depannya masih bisa dilepas dan diganti dengan yang lain, yang akan Ikea jual secara terpisah seharga $20 per panel.

Saat panel depannya dilepas, kita pun bisa langsung melihat jeroan speaker-nya, yang sayangnya belum dijabarkan secara merinci oleh Ikea maupun Sonos. Perangkat ini dapat digantungkan ke tembok dalam posisi horizontal maupun vertikal, dan sisi belakangnya dilengkapi banyak celah untuk membelok-belokkan kabel penyalur dayanya.

Alternatifnya, perangkat juga dapat diberdirikan sendiri di atas lantai atau meja berkat kaki-kaki kecil yang dapat dilipat ke dalam maupun ke luar. Selain supaya perangkat dapat berdiri dengan stabil, kaki-kaki tersebut juga berfungsi untuk meredam getaran, sehingga pada akhirnya suara bass bisa terdengar lebih bulat. Ikea tampaknya benar-benar memanfaatkan pengalaman panjangnya di dunia desain produk dalam mengembangkan perangkat ini.

Untuk mengoperasikan speaker, pengguna dapat memakai aplikasi Sonos di smartphone, atau bisa juga dengan mengklik tombol-tombol yang berada di sisi kiri untuk mengatur volume maupun playback. Seperti halnya produk Sonos lain, perangkat ini juga bisa diikutkan ke dalam setup multi-room. Pengguna perangkat iOS maupun macOS juga dapat meneruskan audio secara nirkabel ke speaker ini dengan memanfaatkan protokol AirPlay 2.

Dijual seharga $199, speaker jadi-jadian ini semestinya bisa menjadi alternatif yang menarik bagi mereka yang ingin mempunyai speaker nirkabel sekaligus menghiasi kediamannya dengan sebuah karya seni. Belum diketahui kapan perangkat ini bakal mendarat di Indonesia, namun pemasarannya di Amerika Serikat bakal berlangsung mulai pertengahan bulan Juli.

Sumber: The Verge dan Ikea.

Cell Alpha Adalah Speaker Super-Premium Bikinan Desainer Veteran Apple

iPhone merupakan salah satu produk tersukses Apple, dan ini terkadang membuat sebagian dari kita lupa bahwa mereka sebenarnya juga punya pengaruh besar di industri audio. 20 tahun lalu, Apple memperkenalkan iPod, dan mereka juga berjasa memopulerkan tren TWS dalam beberapa tahun terakhir. Itulah mengapa ketika ada seorang mantan karyawan veteran Apple yang menciptakan perangkat audionya sendiri, dunia perlu menaruh perhatian ekstra.

Beliau adalah Christopher Stringer. Namanya memang tidak terdengar familier sama sekali, akan tetapi ia menghabiskan 22 tahun bekerja sebagai desainer di tim Jony Ive, dan namanya tercantum pada sekitar 1.400 paten yang Apple daftarkan. Mulai dari iPod generasi pertama sampai HomePod, Stringer terlibat langsung dalam pengembangannya.

Sekarang, dia merupakan CEO dari Syng, sebuah startup yang ia dirikan di tahun 2017. Produk pertama Syng adalah Cell Alpha, sebuah speaker super-premium yang dibanderol seharga $1.799. Bentuknya yang membulat dengan diameter 30 cm lebih mirip kamera 360 derajat ketimbang perangkat audio, dan entah kenapa saya langsung teringat pada Death Star dari franchise Star Wars.

Bagian pipih di sisi atas dan bawahnya itu masing-masing dihuni oleh sebuah subwoofer dengan konfigurasi “force-balanced” — bukan referensi Star Wars. Kemudian di bagian tengahnya, kita bisa melihat tiga buah mid-range driver yang diposisikan mengelilingi perangkat. Respon frekuensinya tercatat di angka 30 Hz – 20.000 Hz.

Syng mengklasifikan Cell Alpha bukan sebagai speaker stereophonic ataupun surround, melainkan “Triphonic”. Istilah ini pada dasarnya merupakan sebutan fancy dari teknologi spatial audio. Ini berarti Cell Alpha tak hanya mampu mengisi seluruh ruangan dengan suara surround saja, tetapi juga memberikan kesan bahwa tiap-tiap suara atau instrumen tertentu berasal dari titik-titik yang berbeda di dalam ruangan secara sangat akurat.

Untuk mewujudkannya, Cell Alpha juga memanfaatkan tiga buah mikrofon yang berfungsi untuk mengukur geometri ruangan. Dengan mengamati pantulan-pantulan suara, perangkat pada dasarnya sanggup memetakan ruangan tempatnya berdiri. Kedengarannya mirip seperti kemampuan HomePod mendeteksi posisinya di dalam ruangan. Seperti yang saya bilang tadi, Stringer memang terlibat dalam proses pembuatan HomePod, tapi ia juga menghabiskan waktu sekitar tiga tahun untuk menyempurnakan teknologi yang terdapat pada Cell Alpha.

Cell Alpha juga bakal hadir bersama sebuah aplikasi pendamping untuk perangkat Android dan iOS bernama Syng Space. Lewat aplikasi tersebut, pengguna pada dasarnya bisa memanipulasi lebih jauh lagi titik-titik penempatan suara itu tadi. Menurut laporan Financial Times, Syng juga berencana melisensikan teknologi audionya ke produsen-produsen hardware lain.

Perihal konektivitas, Cell Alpha datang membawa dukungan AirPlay 2 maupun Spotify Connect. Selain memutar audio secara nirkabel, perangkat turut dilengkapi dua port USB-C untuk disambungkan ke sumber-sumber audio lain. Cell Alpha pun juga bisa dihubungkan ke TV yang memiliki port HDMI eARC (Enhanced Audio Return Channel), tapi Anda butuh kabel khusus yang harus ditebus secara terpisah seharga $49.

Bluetooth LE sebenarnya juga tercantum di rincian spesifikasi Cell Alpha, tapi itu cuma berguna ketika pengguna hendak menyambungkan unit lainnya. Ya, kalau Anda punya budget-nya, Anda bisa menempatkan lebih dari satu unit Cell Alpha di dalam ruangan. Menurut Syng, pengalaman spatial audio terbaik bisa didapat dengan konfigurasi tiga unit Cell Alpha.

$1.799 bukanlah harga yang murah untuk sebuah speaker wireless, apalagi jika dikali tiga. Banderol tersebut adalah banderol untuk bundel yang disertai sebuah table stand. Syng juga akan menjual Cell Alpha yang dibekali floor stand seharga $1.969. Kendati demikian, harga ini masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan speaker besutan Bang & Olufsen.

Syng bukanlah satu-satunya produsen hardware audio yang pendirinya merupakan alumni Apple. Belum lama ini, saya juga sempat menuliskan tentang VZR Model One, sebuah headset gaming yang pada dasarnya juga menawarkan efek spatial audio, tapi yang dicapai melalui teknik manipulasi akustik ketimbang sepenuhnya bergantung pada software. Seperti Syng, VZR juga didirikan oleh bekas karyawan senior Apple.

Sumber: Fast Company.

Berkat Rancangan Modular, Speaker Beosound Level Bakal Punya Umur Panjang

Satu hal unik yang memisahkan perangkat audio dari produk teknologi lain adalah faktor usia. Speaker atau amplifier dari puluhan tahun silam mungkin masih bisa berfungsi dengan baik sekarang, dan terkadang kualitas suara yang dihasilkan juga bisa mengalahkan perangkat serupa yang lebih modern.

Itulah mengapa bagi sebagian orang perangkat audio ibarat suatu produk investasi. Mereka tidak segan mengucurkan dana ribuan dolar hanya untuk sebuah speaker, sebab mereka tahu perangkat itu masih relevan sampai beberapa dekade lagi. Masalahnya, pemikiran yang sama jarang bisa berlaku untuk perangkat audio modern.

Ambil contoh speaker portabel. Semahal apapun material yang diusung, speaker tersebut masih mengemas baterai rechargeable yang bisa mengalami degradasi kinerja seiring berjalannya waktu. Bisa dibayangkan betapa mengesalkannya membeli speaker portabel seharga $1.000, lalu baterainya tidak lagi berfungsi setelah dua atau tiga tahun dan harus dibawa ke tukang servis.

Solusi yang lebih elegan adalah desain yang modular, yang memungkinkan beberapa komponen speaker untuk ditukar dengan yang baru apabila diperlukan. Itulah filosofi di balik speaker portabel terbaru dari Bang & Olufsen: Beosound Level. Sepintas penampilannya kelihatan seperti speaker kuno, dan itu mungkin disengaja guna menggambarkan bahwa ia punya umur yang panjang seperti perangkat-perangkat dari zaman lawas.

Umur panjang tersebut dimungkinkan berkat modul streaming dan baterai yang bisa dilepas-pasang. Idenya adalah, ketika komponen-komponen tersebut sudah menurun kinerjanya – atau sudah ketinggalan zaman – pengguna bisa melepas dan menggantinya dengan yang baru. Anggap saja ke depannya bakal ada teknologi yang lebih advanced ketimbang Chromecast maupun AirPlay, maka konsumen bisa ikut menikmatinya dengan meng-upgrade modul streaming Beosound Level, tidak harus membeli speaker baru.

Sebagai sebuah speaker portabel, Beosound Level tergolong cukup fleksibel. Ia bisa ditidurkan atau diberdirikan, atau kalau perlu juga bisa digantungkan ke tembok dengan bantuan wall bracket yang dijual terpisah. Dalam posisi yang berbeda-beda itu, perangkat bakal menyesuaikan karakter akustiknya secara otomatis sehingga suara yang dihasilkan tetap optimal di mana pun ia berada.

Di dalamnya bernaung sepasang woofer 4 inci, satu full-range driver 2 inci, dan sepasang tweeter 0,8 inci, masing-masing dengan unit amplifier-nya sendiri-sendiri. Cover depannya bisa dipilih antara yang berbahan kayu atau kain, dan secara keseluruhan perangkat seberat 3,3 kg ini tahan air dengan sertifikasi IP54.

Dalam sekali pengisian, Beosound Level diklaim mampu beroperasi hingga 16 jam nonstop. Charging-nya bisa dengan mengandalkan kabel USB-C, atau bisa juga dengan menancapkan konektor magnetis khusus ke sisi belakangnya. Wi-Fi AC, Bluetooth 5.0, integrasi Chromecast, sampai dukungan AirPlay 2 dan Spotify Connect, semuanya hadir sebagai standar di sini.

Seperti yang sudah bisa ditebak dari produk besutan B&O, harganya jauh dari kata murah. Di Amerika Serikat, Beosound Level saat ini sudah dijual dengan banderol mulai $1.499. Belum diketahui berapa harga yang akan dipatok untuk modul-modul penggantinya, tapi kemungkinan besar juga tidak murah.

Sumber: Trusted Reviews.

JBL Luncurkan Headphone dan Empat TWS Noise Cancelling Baru

JBL merayakan hari jadinya yang ke-75 tahun ini, dan anak perusahaan Harman itu langsung menyerbu CES 2021 dengan sederet perangkat audio baru. Spesifiknya, JBL memperkenalkan satu headphone dan empat TWS baru, semuanya lengkap dengan teknologi active noise cancellation (ANC).

JBL Tour One

Kita mulai dari yang paling besar dulu, yakni JBL Tour One yang akan dijual mulai akhir bulan Mei mendatang. Dengan banderol $300, ia pada dasarnya bakal bersaing langsung dengan Sony WH-1000XM4, salah satu headphone ANC terpopuler di rentang harga ini. Secara estetika, kedua headphone ini juga sama-sama mengusung desain yang simpel sekaligus elegan.

Urusan kualitas suara, Tour One mengandalkan sepasang driver 40 mm plus sertifikasi Hi-Res Audio. Total ada empat buah mikrofon yang tertanam di dalamnya, dan JBL tidak lupa membekalinya dengan teknologi ANC yang bersifat adaptif, yang dapat menyesuaikan sendiri intensitas fitur noise cancellation-nya berdasarkan kondisi di sekitar secara real-time.

Juga menarik adalah fitur SilentNow, yang memungkinkan pengguna untuk sebatas mengaktifkan fitur ANC tanpa harus memutar musik, cocok ketika hendak menenangkan pikiran dalam suasana yang benar-benar hening. Dalam sekali pengisian, Tour One diyakini dapat beroperasi hingga 25 jam nonstop, atau malah sampai 50 jam kalau fitur ANC-nya dimatikan.

JBL Tour Pro+

JBL Tour Pro+ / JBL
JBL Tour Pro+ / JBL

Kalau kurang suka dengan headphone over-ear, ada JBL Tour Pro+ yang mengemas sejumlah fitur unggulan Tour One dalam wujud TWS. Bukan cuma fitur ANC yang adaptif, tapi juga fitur SilentNow tadi sehingga penggunanya dapat memblokir suara luar tanpa harus diiringi dengan lagu.

Tidak ketinggalan juga adalah fitur Fast Pair yang secara otomatis akan menyambungkan perangkat ke smartphone sesaat setelah case-nya di buka. Kualitas suaranya sendiri ditunjang oleh sepasang driver berdiameter 6,8 mm beserta tiga buah mikrofon. Semua itu dikemas dalam bodi yang tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4.

Baterai Tour Pro+ diklaim mampu bertahan hingga 6 jam pemakaian, atau hingga 8 jam tanpa ANC (total 30 jam kalau dipadukan dengan charging case-nya). Perangkat ini rencananya akan dijual seharga $200 mulai akhir bulan Mei.

JBL Live Pro+

JBL Live Pro+ / JBL
JBL Live Pro+ / JBL

Buat yang lebih nyaman menggunakan TWS bertangkai ala AirPods, JBL punya Live Pro+ yang dihargai $180. ANC dan mode ambient merupakan fitur standar di sini, demikian pula fitur Fast Pair dan Dual Connect + Sync, yang memungkinkan unit sebelah kiri dan kanan untuk digunakan secara terpisah.

Dalam sekali pengisian, JBL Live Pro+ disebut sanggup beroperasi selama 6 jam, atau 7 jam kalau tidak mengaktifkan fitur ANC-nya. Disandingkan dengan charging case-nya, total daya tahan baterai yang disuguhkan mencapai angka 21 jam. Perangkat ini kabarnya akan hadir lebih dulu mulai bulan Maret.

JBL Live Free NC+

JBL Live Free NC+ / JBL
JBL Live Free NC+ / JBL

Masih di seri Live, JBL juga mengumumkan Live Free NC+ yang mengadopsi desain TWS tradisional. Fitur-fitur yang ditawarkan hampir mirip seperti Live Pro+, hanya saja ia tidak dibekali mikrofon berteknologi echo cancelling. Pun demikian, fisiknya justru lebih tahan air dengan sertifikasi IPX7 ketimbang IPX4.

Selagi terisi penuh, Live Free NC+ siap menemani penggunanya beraktivitas hingga 7 jam nonstop, sedangkan charging case-nya bisa menyuplai 14 jam daya baterai ekstra. Harganya dipatok $150, dengan jadwal pemasaran yang sama seperti Live Pro+.

JBL Reflect Mini NC TWS

JBL Reflect Mini NC TWS / JBL
JBL Reflect Mini NC TWS / JBL

Terakhir, JBL turut menyingkap Reflect Mini NC TWS yang punya tampilan sporty dan dibekali semacam sirip yang adjustable demi memantapkan posisinya selagi berada di dalam telinga pengguna. Meski mungil, ia masih ditenagai driver berdiameter 6 mm, dan JBL pun tak lupa menyematkan fitur-fitur praktis macam Fast Pair maupun auto-pause.

Perangkat ini punya baterai yang bisa bertahan sampai 7 jam pemakaian, atau sampai 21 jam kalau digabungkan dengan charging case-nya. JBL berencana memasarkannya seharga $150 mulai musim semi mendatang.

Sumber: CNET.

JLab JBuds Frames Adalah Sepasang Speaker Mini yang Dapat Dikaitkan ke Kacamata

Di antara sekian banyak TWS yang ada di pasaran, Samsung Galaxy Buds Live mungkin adalah salah satu yang paling unik berkat desain terbukanya. Untuk tahun 2021 ini, sepertinya tren di kategori TWS bakal mengarah ke sana, dan sejauh ini kita sudah melihat Bose beserta Earin yang meluncurkan perangkat berdesain serupa.

Lain halnya dengan yang dilakukan oleh JLab. Produsen perangkat audio asal Amerika Serikat tersebut justru menghadirkan wujud alternatif TWS yang sangat menarik, terutama bagi konsumen yang berkacamata. Dijuluki JBuds Frames, ia sebenarnya merupakan sepasang speaker mini yang dapat dikaitkan ke tangkai kacamata.

JLab JBuds Frames

Kacamatanya bisa kacamata hitam, bisa juga kacamata biasa. Konsepnya kurang lebih sama seperti yang ditawarkan oleh Bose Frames, hanya saja di sini kita sendiri yang menyediakan kacamatanya masing-masing. Berhubung tidak ada satu pun bagian yang menutupi telinga, suara dari sekitar pengguna pun bisa didengar dengan cukup jelas.

Tentu saja hal ini bisa jadi kelebihan sekaligus kekurangan, tergantung kebutuhan masing-masing pengguna. Di dalam kabin pesawat atau di angkutan umum, perangkat semacam ini jelas tidak cocok. Namun saat berada di kantor dan jika sering diinterupsi oleh koleganya, TWS berdesain terbuka ataupun JBuds Frames ini bisa dibilang merupakan alternatif yang lebih praktis.

Masing-masing unit JBuds Frames ditenagai oleh driver berdiameter 16,2 mm, dan JLab bilang suara yang dihasilkannya cukup keras untuk dapat didengar secara jelas oleh penggunanya, tapi tidak sampai kedengaran oleh orang-orang di sekitarnya. Pengguna bebas mengenakan kedua earpiece-nya secara bersamaan, atau bisa juga secara terpisah (kiri saja atau kanan saja).

JLab JBuds Frames

JBuds Frames diklaim tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4, yang berarti ia masih bisa beroperasi seperti biasa di tengah guyuran hujan. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini mampu bertahan hingga 8 jam pemakaian. Charging-nya sendiri membutuhkan waktu sekitar 2 jam menggunakan kabel USB khusus yang disertai konektor magnetis untuk masing-masing earpiece.

Kabarnya, JLab JBuds Frames bakal mulai dipasarkan pada musim semi 2021 seharga $50. Harganya ini jelas jauh lebih terjangkau ketimbang Bose Frames yang memang satu paket bersama kacamatanya.

Sumber: SlashGear dan GlobeNewswire.