Smartwatch Perdana Hublot Didedikasikan untuk Piala Dunia 2018

Dalam waktu kurang dari tiga tahun, produsen jam tangan asal Swiss, Tag Heuer, sudah melahirkan tiga smartwatch: Tag Heuer Connected, Connected Modular 45 dan Connected Modular 41. Kendati demikian, tidak ada kata terlambat bagi produsen arloji asal Swiss lain untuk menyusul jejak Tag Heuer.

Di event Baselworld 2018, ‘sepupu’ Tag Heuer yang masih di bawah satu konglomerasi LVMH, Hublot, dengan bangga memperkenalkan smartwatch perdananya. Smartwatch debutan ini bukan sembarangan, melainkan yang dirancang secara spesifik untuk ajang Piala Dunia 2018, di mana semua wasit yang berpartisipasi nantinya akan mengenakan jam tangan pintar tersebut.

Hublot Big Bang Referee 2018 FIFA World Cup Russia

Bernama lengkap Hublot Big Bang Referee 2018 FIFA World Cup Russia, desainnya cukup identik dengan seri Hublot Big Bang lainnya. Casing berdiameter 49 mm-nya terbuat dari bahan titanium, demikian pula bezel yang mengitari layarnya. Secara keseluruhan, perangkat tahan air hingga kedalaman 50 meter.

Layarnya sendiri merupakan touchscreen, dengan panel AMOLED berdiameter 35,4 mm, dan resolusi 400 x 400 pixel (287 ppi). Sejauh ini spesifikasinya terdengar mirip seperti Tag Heuer Connected Modular 45, dan ternyata prosesor yang menenagai keduanya pun juga sama, yakni Intel Atom Z34XX.

Melengkapi spesifikasinya adalah sederet sensor, mulai dari accelerometer, gyroscope sampai GPS. Baterainya diperkirakan punya daya tahan sekitar satu hari dalam satu kali charge.

Hublot Big Bang Referee 2018 FIFA World Cup Russia

Big Bang Referee menjalankan sistem operasi Wear OS (nama baru Android Wear yang diumumkan belum lama ini). Hublot tentunya tidak lupa menyematkan sejumlah fitur eksklusif, salah satunya watch face yang menampilkan 32 bendera negara yang berpartisipasi di Piala Dunia 2018.

Lebih lanjut, Big Bang Referee juga akan mengirim notifikasi setiap 15 menit sebelum pertandingan dimulai, serta menyuguhkan informasi seputar distribusi kartu kuning/merah untuk tim yang bersangkutan. Selama pertandingan, pengguna dapat memantau statistik dan berbagai informasi lainnya, serta menerima notifikasi bertuliskan “GOAL” setiap kali sang kulit bundar mengoyak jaring gawang.

Hublot berencana melepas Big Bang Referee ke pasaran mulai tanggal 1 Mei mendatang, dengan banderol sekitar $5.000. Selain mahal, smartwatch ini juga eksklusif; Hublot hanya akan memproduksi sebanyak 2.018 unit di samping yang disiapkan untuk para wasit.

Sumber: SlashGear dan Hublot.

Lenovo Watch 9 Adalah Smartwatch Hybrid Berdesain Elegan dan Berharga Amat Terjangkau

Menurut saya, ada dua alasan mengapa smartwatch hybrid bisa menjadi alternatif yang menarik. Pertama, karena tidak memiliki layar, baterainya sangat awet. Pada kenyataannya, baterai yang digunakan seringkali bukanlah baterai rechargeable, dan bisa bertahan sampai berbulan-bulan. Kedua, penampilannya lebih mendekati jam tangan konvensional.

Besar atau tidak pangsa pasarnya dibanding smartwatch digital, yang pasti smartwatch hybrid masih punya tempat di hati konsumen. Lenovo mengamini pendapat tersebut dengan meluncurkan sebuah smartwatch hybrid di samping trio smartphone barunya.

Dijuluki Lenovo Watch 9, penampilannya kelihatan sangat minimalis. Kerangkanya terbuat dari bahan stainless steel, sedangkan strap-nya terbuat dari silikon, dengan motif perforated yang menumbuhkan kesan sporty di tengah-tengah nuansa menyeluruh yang elegan. Perangkat tahan air hingga kedalaman 50 meter.

Lenovo Watch 9

Wajahnya diproteksi oleh kaca safir, dan di sini bisa Anda lihat tidak ada angka-angka terkecuali indikator kecil bertuliskan angka 0 – 100 untuk memantau progress pengguna. Seperti halnya smartwatch hybrid lain, Watch 9 dapat memonitor beragam aktivitas fisik pengguna (jumlah langkah kaki, kalori yang terbakar, pola tidur, dan lain sebagainya).

Meneruskan notifikasi juga bisa dilakukan, tapi hanya sebatas bergetar ketika ada notifikasi yang masuk ke ponsel. Fitur pintar lainnya adalah menjadi remote control atas kamera ponsel via gesture mengguncangkan tangan.

Terkait kompatibilitasnya, Lenovo Watch 9 dapat digunakan bersama perangkat Android maupun iOS, sedangkan baterainya diklaim bisa bertahan sampai 12 bulan. Perangkat ini kabarnya bakal dipasarkan mulai 23 Maret, tapi sayang hanya di Tiongkok saja. Sangat disayangkan mengingat harganya amat terjangkau: cuma 129 yuan atau ± 280 ribu rupiah.

Sumber: GizmoChina dan Gagadget.

Android Wear Resmi Punya Nama Baru

Dibanding watchOS (sistem operasi yang dijalankan Apple Watch), menurut saya Android Wear punya nama yang lebih catchy. Kita tahu bahwa itu merupakan sebuah sistem operasi berkat label “Android” (dengan fondasi yang memang sama), sedangkan label “Wear” mengindikasikan konteks spesifiknya di ranah wearable.

Kendati demikian, Google merasa Android Wear belum bisa merefleksikan visi mereka. Google juga bilang bahwa nama ini tidak bisa merepresentasikan para konsumennya, sebab tidak semua pengguna smartwatch Android Wear merupakan pengguna perangkat Android – seperti yang kita tahu, Android Wear sebenarnya juga kompatibel dengan iOS.

Pada kenyataannya, di tahun 2017 kemarin setidaknya satu dari tiga pengguna smartwatch Android Wear adalah pengguna iPhone. Data ini diungkap oleh Google sendiri, dan mereka pun menilai harus ada nama baru yang lebih pas untuk Android Wear.

Wear OS by Google

Pilihannya jatuh pada “Wear OS”, diikuti oleh embel-embel “by Google”. Nama baru ini diumumkan menjelang event Baselworld, di mana kemungkinan besar kita bakal melihat beberapa smartwatch baru yang menjalankan sistem operasi besutan Google tersebut.

Selain namanya, logonya juga berubah, tapi sayangnya sejauh ini Google hanya mau berbagi soal itu saja. Kemungkinan Google bakal membahas lebih detail mengenai versi baru Wear OS pada ajang Google I/O di bulan Mei mendatang. Selagi menunggu, sebaiknya kita membiasakan diri dulu dengan nama barunya yang jadi kurang catchy itu.

Sumber: Google.

Bukan Sembarang Smartwatch, Haier Asu Mengemas Sebuah Proyektor

Tidak seperti dua tahun yang lalu, perkembangan smartwatch saat ini bisa dikatakan stagnan. Penyebabnya ada banyak, salah satunya mungkin karena Qualcomm tak kunjung merilis generasi baru chipset Snapdragon Wear. Situasi seperti ini sejatinya punya dua implikasi: 1) pabrikan jadi malas dan melupakan segmen smartwatch sepenuhnya, atau 2) pabrikan malah memanfaatkan waktunya untuk bereksperimen dengan ide-idenya, seperti yang dilakukan oleh Haier belum lama ini.

Di ajang MWC 2018, pabrikan asal Tiongkok itu memamerkan sebuah smartwatch yang amat eksentrik. Namanya Haier Asu, tapi saya mohon jangan jadikan nama ini sebagai bahan guyonan, sebab masih ada gadget lain yang namanya lebih parah lagi dan sempat membuat heboh masyarakat tanah air di tahun 2011.

Yang tergolong eksentrik adalah integrasi sebuah proyektor di tubuh kecilnya. Proyektor ini duduk di sebelah kanan layar, bertugas menampilkan informasi ekstra yang tidak muat di layar dalam resolusi 854 x 480 pixel. Informasinya bisa nomor telepon yang pengguna inputkan, bisa data fitness tracking, atau bisa juga untuk sebatas stopwatch.

Sumber gambar: CNET
Sumber gambar: CNET

Tidak kalah unik adalah bagaimana hasil proyeksinya ini juga mendukung kontrol berbasis gesture, di mana pengguna dapat menyentuh tangannya dua kali untuk mengganti apa yang ditampilkan pada layar. Kendati demikian, saya yakin tidak sedikit yang mempertanyakan kegunaan dan kepraktisannya.

Dari sisi teknis, Asu mengemas spesifikasi yang cukup mumpuni. Ada prosesor 1,2 GHz, RAM sebesar 1 GB, sensor laju jantung, GPS, dan bahkan konektivitas 4G LTE. Layarnya sendiri yang berukuran 1,5 inci merupakan touchscreen, dengan resolusi 240 x 240 pixel. Secara keseluruhan, bodinya yang bongsor juga telah mengantongi sertifikasi ketahanan air IP65.

Yang agak mengejutkan, Asu bukan sebatas produk konsep yang biasanya bertujuan untuk memperlihatkan visi industri ke depan. Haier rupanya sudah berencana untuk memasarkannya di Tiongkok mulai kuartal berikutnya.

Sumber: CNET dan The Verge.

Kacamata Sekaligus Activity Tracker Level Akhirnya Siap Dipasarkan

Agustus 2016 lalu, VSP selaku salah satu penyedia layanan kesehatan mata terbesar di Amerika Serikat memamerkan sebuah kacamata pintar bernama Level. Level bisa dianggap sebagai Fitbit untuk wajah, sebab terlepas dari wujudnya yang menyerupai kacamata biasa, ia mampu memonitor aktivitas fisik penggunanya.

Sejak diumumkan, Level sudah diuji oleh ratusan relawan lewat program kerja sama antara VSP dan University of Southern California. Tujuan dari pengujian tersebut adalah memastikan Level bisa memiliki peran yang lebih besar ketimbang activity tracker berbentuk gelang atau jam tangan pada umumnya.

Hasil tesnya terbukti positif. Dari 284 partisipan, 221 terus menggunakan Level dari awal sampai akhir program berdurasi 15 minggu tersebut. Sisanya berhenti menggunakan di tengah jalan, dan ada beberapa yang memutuskan untuk tidak berpartisipasi sama sekali.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari pengujian Level adalah, konsumen lebih suka dengan activity tracker yang menjadi satu dengan kacamatanya ketimbang yang berwujud perangkat wearable terpisah. Ini senada dengan pemikiran VSP: kalau seseorang memiliki gangguan penglihatan, ia tak akan lupa mengenakan kacamatanya, dan kalau kacamata yang digunakan adalah Level, berarti orang tersebut bisa terus memonitor aktivitas fisiknya.

Level Smart Glasses

Berangkat dari hasil pengujian yang positif itu, VSP pun akhirnya memutuskan untuk mulai memasarkan Level. Versi retail-nya ini nyaris tidak berbeda dibanding yang diumumkan sebelumnya, dengan desain yang stylish dan tidak menyerupai gadget – meski menurut saya masih kalah stylish dari Intel Vaunt yang baru-baru ini diungkap.

Semua komponen esensialnya – accelerometer, gyroscope dan magnetometer – disematkan dengan rapi di tangkai sebelah kiri. Level murni merupakan sebuah activity tracker, ia siap memonitor jumlah langkah kaki, kalori yang terbakar dan durasi aktivitas fisik, tapi tidak untuk meneruskan notifikasi.

Semua data yang dikumpulkan akan diteruskan ke aplikasi smartphone via Bluetooth. Level dilengkapi baterai rechargeable yang diperkirakan bisa tahan sampai sekitar lima hari, sebelum perlu di-charge kembali via micro USB, dengan port yang tersembunyi di engsel sebelah kiri.

Level Smart Glasses

Sebagai pemanis, VSP turut menambatkan fitur-fitur seperti “Find My Glasses”, serta “Eyes of Hope”, di mana target harian masing-masing pengguna bakal diterjemahkan menjadi poin terakumulasi. Ketika poinnya sudah mencapai 50, VSP akan menyediakan tes mata sekaligus kacamata kepada yang membutuhkan secara cuma-cuma – bisa anak-anak, lansia, tuna wisma atau veteran perang, tergantung pilihan masing-masing pengguna.

Soal desain, frame Level terbuat dari bahan selulosa asetat yang biasanya digunakan untuk film fotografi, lalu diimbuhi aksen stainless steel. Warna yang tersedia ada empat: hitam, abu-abu, classic tortoise dan grey tortoise.

Kekurangan Level menurut saya ada dua. Yang pertama, harganya cukup mahal di angka $270. Kedua, bahkan di AS sendiri perangkat ini bakal sulit didapatkan, mengingat VSP baru akan memasarkannya di segelintir kota besar saja mulai April mendatang.

Sumber: Engadget dan VSP.

Prototipe Kacamata Pintar Intel Sama Sekali Tidak Kelihatan Seperti Gadget

Intel membuat gebrakan dengan menyingkap prototipe kacamata pintar bernama Vaunt. Dipamerkan secara eksklusif kepada The Verge, Vaunt cukup istimewa karena penampilannya benar-benar menyerupai kacamata biasa dan sama sekali tidak kelihatan seperti gadget.

Tidak ada layar yang tertanam pada kedua lensanya. Yang ada hanyalah perpaduan semacam proyektor laser dan reflektor hologram pada lensa sebelah kanan. Perpaduan tersebut menghasilkan konten dalam tampilan monokrom berwarna merah, dengan resolusi sekitar 400 x 150 pixel.

Yang kedengaran begitu canggih, konten tersebut diproyeksikan langsung ke retina, sehingga semuanya akan selalu kelihatan fokus. Bukankah laser berbahaya bagi mata? Dalam kasus ini tidak, sebab laser yang diproyeksikan termasuk kategori Class 1 yang tidak berbahaya dan tidak memerlukan sertifikasi khusus.

Hasil proyeksinya tidak serta-merta muncul tepat di tengah pandangan pengguna, melainkan agak sedikit ke bawah. Menariknya, ketika pengguna sedang tidak melirik ke sana, hasil proyeksinya bakal sirna. Lirik kembali, maka informasi yang ditampilkan bakal kembali kelihatan.

Intel Vaunt smart glasses

Orang-orang di sekitar juga tidak akan menyadari bahwa sedang ada informasi yang diproyeksikan ke retina kanan pengguna Vaunt, terkecuali mereka benar-benar memperhatikan dan menemukan ada bintik kecil merah yang tampak di lensa sebelah kanan. Aspek inilah yang semakin membuat Intel Vaunt tidak terkesan seperti gadget.

Hal ini jelas berbeda dari Google Glass atau Snap Spectacles. Vaunt bahkan tidak dilengkapi kamera. Fungsinya murni untuk menampilkan informasi seperti notifikasi, panduan navigasi, resep masakan, dan lain sebagainya.

Seluruh komponen elektroniknya, termasuk halnya accelerometer dan kompas untuk mendeteksi gerakan kepala, disimpan di sebagian kecil tangkai sebelah kiri dan kanan (di dekat bingkai), sehingga pengguna tak akan merasa berat sebelah. Bobot Vaunt sendiri pun diklaim tidak lebih dari 50 gram, meski di dalamnya tersimpan baterai yang bisa bertahan selama sekitar 18 jam dalam satu kali charge – kalau habis, tentu saja Vaunt masih bisa dipakai sebagai kacamata biasa.

Intel Vaunt smart glasses

Vaunt juga tidak dilengkapi panel sentuh yang bisa membaca gesture jari. Ke depannya, Intel berencana menambahkan mikrofon agar Vaunt dapat menerima perintah suara dan digunakan bersama asisten virtual macam Alexa. Selebihnya, Intel akan mengandalkan AI untuk menyajikan informasi yang sesuai konteks tanpa harus menunggu input dari pengguna.

Contoh pemanfaatan AI ini adalah ketika pengguna sedang berjalan kaki di suatu area yang banyak dihuni rumah makan. Selagi menoleh ke suatu restoran, Vaunt akan menampilkan review konsumen dari Yelp secara otomatis, berdasarkan ke mana arah pandangan pengguna dan data lokasi dari smartphone (Vaunt menyambung via Bluetooth).

Intel membayangkan bakal ada desain yang bervariasi ketika Vaunt diluncurkan sebagai produk final nantinya. Namun rencana terdekat mereka adalah merilis produk ini ke tangan para developer terlebih dulu agar mereka bisa bereksperimen dengan fungsionalitasnya.

Sumber: The Verge.

Bukan Smartwatch Hybrid, Amazfit Bip Punya Baterai yang Bisa Bertahan Selama Sebulan Penuh

Setelah sekian tahun, saya masih belum tertarik untuk menggunakan smartwatch. Alasannya sederhana saja: saya tidak mau direpotkan oleh satu gadget ekstra yang harus di-charge setiap satu atau dua hari sekali. Namun produk terbaru Huami berikut ini punya peluang untuk mengubah pikiran saya.

Sub-brand Xiaomi tersebut baru saja memperkenalkan Amazfit Bip, sebuah smartwatch yang diklaim bisa beroperasi selama 30 hari sebelum baterainya perlu diisi ulang. Bahkan kalau beberapa fiturnya dimatikan, daya baterainya ini bisa didongkrak lagi menjadi 45 hari.

Amazfit Bip

30 hari adalah angka yang cukup fenomenal, apalagi jika melihat fitur-fitur yang ditawarkan Bip, yang faktanya bukanlah smartwatch hybrid. Utamanya adalah layar sentuh 1,28 inci yang selalu menyala, lalu ada sensor laju jantung, accelerometer 3-axis, GPS/GLONASS, dan barometer untuk mendeteksi elevasi. Di atas kertas, kemampuan tracking-nya cukup komprehensif.

Fitur esensial lain seperti notifikasi dan kompatibilitas dengan Android serta iOS turut hadir. Satu-satunya kekurangan terbesar Bip adalah absennya app store untuk mengunduh aplikasi pihak ketiga. Namun ini bukan masalah besar apabila yang Anda cari dari smartwatch adalah kemampuan meneruskan notifikasi dan memonitor beragam aktivitas fisik.

Amazfit Bip

Secara fisik Bip tampak seperti hasil kloning Apple Watch, dengan layar persegi dan desain serba minimalis. Bobotnya tidak lebih dari 31 gram, dan ia telah mengantongi sertifikasi ketahanan air IP68. Soal warna, ada empat variasi yang ditawarkan: hitam, putih, merah dan hijau.

Di Indonesia, Amazfit Bip sebenarnya sudah dipasarkan dengan kisaran harga ± 900 ribu rupiah, berdasarkan pantauan pribadi di sejumlah toko online. Kita cukup beruntung mengingat Xiaomi baru-baru ini saja mulai menjualnya di Amerika Serikat seharga $100.

Sumber: Wareable.

Fitbit Umumkan ‘Tanggal Kadaluarsa’ Pebble, 30 Juni 2018

Di titik ini dunia mungkin sudah lupa dengan Pebble – bahkan penciptanya sendiri sudah move on – akan tetapi saya yakin di luar sana masih banyak yang setia menggunakan pelopor kategori smartwatch tersebut, termasuk redaktur kami yang tercinta.

Sekadar mengingatkan, Pebble resmi diakuisisi oleh Fitbit menjelang akhir 2016, dan Fitbit rupanya tidak menyisihkan anggaran belanjanya sedikit pun untuk meminang aset hardware Pebble. Akibatnya, portofolio produk Pebble sama sekali tidak ada yang diteruskan.

Sejak itu loyalitas konsumen Pebble ibarat diuji oleh Fitbit. Sebagian bertanya dalam hati apakah smartwatch-nya bakal berhenti berfungsi secara tiba-tiba. Namun update yang dirilis pada bulan April tahun lalu memberikan sedikit titik terang: smartwatch Pebble masih bisa digunakan seperti biasa, hanya saja app store dan jaringan cloud-nya sudah tiada.

Pebble Time / Pebble
Pebble Time / Pebble

Saya bilang sedikit karena tidak ada yang tahu sampai kapan ini bakal dipertahankan selain Fitbit sendiri. Namun baru-baru ini Fitbit memberanikan diri untuk buka suara. Lewat sebuah blog post, Fitbit mengumumkan bahwa mereka akan berhenti memberikan dukungan atas Pebble pada 30 Juni 2018.

Lewat tanggal tersebut, perangkat besutan Pebble memang masih bisa berfungsi, tapi tidak untuk fitur-fitur berikut: Pebble App Store, Pebble Forum, fitur pengenal suara, fitur untuk membalas email dan SMS, timeline pin dari aplikasi pihak ketiga, dan CloudPebble development tool.

Aplikasi pendamping Pebble di Android dan iOS juga tidak akan lagi menerima update. Ini berarti aplikasinya masih bisa berfungsi, untuk sekarang. Seandainya ke depan ada versi baru Android atau iOS dan aplikasi Pebble tak lagi kompatibel, maka fitur notifikasi pun otomatis juga berhenti berfungsi.

Fitbit Ionic / Fitbit
Fitbit Ionic / Fitbit

Ya, Fitbit pada dasarnya telah menetapkan tanggal kadaluarsa untuk Pebble. Mereka berharap konsumen Pebble bisa memanfaatkan waktu sampai akhir Juni tersebut untuk lebih mengenal produk-produk Fitbit, hingga akhirnya ikut hijrah ke platform Fitbit.

Sebagai bentuk apresiasi, Fitbit bakal menawarkan potongan harga sebesar $50 bagi konsumen Pebble yang hendak membeli smartwatch Fitbit Ionic, yang belum lama ini kedatangan app store-nya secara resmi. Syarat yang harus dipenuhi cuma satu: tanggal beli perangkat Pebble tidak boleh lewat 7 Desember 2016, tanggal di mana Pebble resmi diakuisisi.

Sumber: The Verge dan Fitbit.

Berwujud Sepatu, Footbeat Ialah Perangkat Wearable Untuk Menjaga Kesehatan Tubuh

Kedua kaki kita adalah pilar penting penunjang aktivitas sehari-hari, tapi karena terletak di bagian terbawah tubuh, seringkali kondisinya kita abaikan. Padahal, area kaki sudah lama menjadi fokus dari pengobatan alternatif karena dipercaya terhubung ke organ-organ lain. Dan berdasarkan studi yang dilakukan AVEX LLC, kesehatan kaki sangat memengaruhi sistem sirkulasi darah.

Inilah alasan yang mendorong perusahaan medis asal Kolorado itu mengembangkan Footbeat, yaitu perangkat yang memadukan teknologi wearable dan ranah fisiologi untuk memastikan penggunanya hidup lebih sehat. Dengan mengenakan Footbeat, waktu pemulihan dari sakit berjalan lebih cepat, kemudian teknologi ini juga mampu meminimalisir terciptanya laktat, serta membantu penyembuhan melalui percepatan sirkulasi di tubuh bagian bawah.

Footbeat tersedia berupa aksesori sol, atau satu set sepatu lengkap. Sistemnya terdiri dari sebuah ‘mesin’ plantar venous plexus yang diposisikan di tengah telapak kaki. Bagian ini dimaksudkan untuk memberikan tekanan secara berulang-ulang ke area lengkungan kaki. Jangan khawatir, hal ini tak akan membuat Anda merasa tidak nyaman atau mengurangi kelincahan gerak.

Perangkat wearable ini akan menghasilkan pijatan ke kaki dalam jeda yang konsisten. Sensasinya hampir serupa ketika Anda berlari atau berjalan. Dua model Footbeat yang disediakan oleh AVEX LLC punya interval denyutan berbeda. Footbeat Health berdenyut setiap 35 detik, sedangkan Footbeat Sport menekan telapak kaki per 20 detik. Bagian tersebut menekan selama dua detik sebelum kembali ke posisi normal.

Footbeat 1

Tekanan pada lengkungan di kaki efektif buat mempercepat laju peredaran darah sebanyak empat kali. Implementasi di sana membuat tubuh kita meresponsnya dengan melepas zat-zat kimia yang dapat memperlebar pembuluh darah (efeknya ialah menurunkan tekanan darah), mengurangi rasa sakit dan mencegah trombosit terkumpul di satu tempat. Efek langsungnya adalah kaki jadi terasa lebih ringan.

Footbeat 2

Dampak positif Footbeat pada tubuh sudah dibuktikan oleh para ahli kesehatan dan olahragawan profesional. Laju pembersihan asam laktat berjalan lebih cepat, lalu alat ini juga meningkatkan performa olahraga. Footbeat telah digunakan oleh banyak atlet terkenal – satu contohnya adalah juara dunia triathlete Ellen Hart. Dan layaknya perangkat wearable, fungsi dan fitur Footbeat bisa diakses dari smartphone via app.

Footbeat sudah dapat dipesan. Satu paket lengkapnya dijual seharga US$ 450.

Harganya itu memang terbilang mahal, namun jika Footbeat betul-betul seefektif klaim AVEX LLC dalam memperlancar peredaran darah, maka ia bisa sangat bermanfaat bagi pekerja yang harus menghabiskan berjam-jam sehari untuk mengetik di depan komputer (contohnya kami para penulis di media teknologi).

Kacamata Pintar eSight Bisa Mengembalikan Penglihatan Penderita Kebutaan

Saat ini ada 250 juta orang di dunia yang tidak mendapatkan berkah penglihatan normal. Angkanya memang menurun drastis dibanding tahun 90-an, tetapi kini mayoritas populasi penderita terkonsentrasi di negara-negara berkembang. Hal tersebut memberikan dampak ekonomi di wilayah itu: para penderita tidak bisa bekerja optimal dan sulit bagi mereka buat mendapatkan pengobatan karena biaya.

Satu tim inovator ingin memberikan solusi terhadap problem tersebut. Di CES 2018 kemarin, mereka memamerkan ujung tombak dari kampanye ‘menghapuskan kebutaan di tahun 2020’, yaitu sebuah perangkat unik bernama eSight. eSight adalah wearable device yang memungkinkan penderita gangguan visual untuk bisa melihat normal kembali. Solusi tersebut praktis, ‘hands-free’, dan sama sekali tidak memerlukan operasi.

eSight 1

eSight merupakan visor berpenampilan seperti versi kecil PlayStation VR. Seperti smart glasses atau head-mounted display, ia didesain untuk dikenakan di kepala. Jika dibutuhkan, produsen juga bisa membubuhkan lensa di bagian dalam. Sebuah kamera berkecepatan tinggi di luar bertugas ‘melihat’ dunia di sekitar sang pengguna, lalu gambar tersebut diproyeksikan ke sepasang layar OLED.

eSight 3

Kacamata pintar ini dibekali software khusus yang berfungsi untuk mempertajam dan membersihkan gambar-gambar. Para developer-nya berjanji tidak akan ada lag/keterlambatan antara image yang dilihat kamera dengan output di layar, lalu hasilnya pun tidak terlihat seperti gambar digital. Lalu karena bagian visor bisa dinaik-turunkan (dinamai sistem Bioptic Tilt), kita tidak kehilangan kemampuan melihat keadaan di sekitar.

eSight 4

eSight turut dilengkapi unit kendali terpisah, memungkinkan Anda menyesuaikan posisi visor serta mengaktifkan fitur zoom. Di sana bahkan tersedia port HDMI untuk menyambungkan perangkat ini ke unit player. Berkat kapabilitas ini, pengguna bisa menikmati serial TV atau film seperti saat mengaksesnya dari headset virtual reality.

Device ini memperkenankan para penderita gangguan penglihatan buat beraktivitas sehari-hari, melakukan kegiatan edukasi (mengikuti kelas di sekolah hingga kuliah), hingga bekerja secara normal. Dan berbeda dari perangkat wearable immersive sejenis, absennya latency memastikan sang user tidak merasa mual ketika mengenakannya serta tidak menyebabkan masalah ketidakseimbangan saat berjalan.

Kendala terbesar bagi tim eSight buat menghilangkan kebutaan adalah ongkos produksi yang sangat mahal. Untuk memiliki satu unit kacamata pintar ini, Anda harus mengeluarkan uang sebesar US$ 10 ribu. Itulah alasannya mereka melangsungkan program Make Blindness History by 2020. Di sana, Anda bisa berpartisipasi demi membantu sejumlah individu yang di-highlight oleh eSight.

Via Digital Trends. Sumber: eSight.