Razer Hammerhead True Wireless Pro Hadir Membawa ANC dan Sertifikasi THX

Menyusul kehadiran Razer Hammerhead True Wireless tahun lalu, Razer baru saja memperkenalkan model lain yang lebih superior, yakni Hammerhead True Wireless Pro. Sepintas wujud keduanya kelihatan mirip, akan tetapi ada perbedaan yang signifikan jika kita mengamatinya lebih jauh.

Perbedaan yang saya maksud tentu saja adalah kehadiran eartip silikon pada Hammerhead Pro. Kasusnya kurang lebih sama seperti AirPods dan AirPods Pro, di mana model yang Pro terasa jauh lebih ergonomis (bagi sebagian besar orang) berkat penambahan eartip silikon. Juga mirip adalah fakta bahwa Hammerhead Pro datang membawa teknologi active noise cancellation (ANC).

Kombinasi isolasi suara pasif (dari eartip silikon) dan ANC tentu dapat membantu menyajikan kualitas audio semaksimal mungkin. Namun Razer rupanya tidak puas sampai di situ saja. Hammerhead Pro juga tercatat sebagai perangkat yang mengusung sertifikasi THX, yang berarti kualitas suaranya dijamin oleh reputasi THX selama lebih dari tiga dekade di industri audio.

Hammerhead Pro tentu bukanlah perangkat pertama yang mengunggulkan ANC dan sertifikasi THX, sebab sebelumnya sudah ada Razer Opus yang mengemasnya dalam bentuk headphone tipe over-ear. Selain berbeda bentuk, konektivitas yang diusung pun juga sedikit berbeda: Opus dengan Bluetooth 4.2, Hammerhead Pro dengan Bluetooth 5.1.

Melanjutkan tradisi yang diperkenalkan oleh pendahulunya tahun lalu, Hammerhead Pro juga datang membawa fitur Gaming Mode yang dapat diaktifkan dengan satu sentuhan. Selagi aktif, latency-nya akan diturunkan menjadi 60 milidetik saja, sehingga audio dan video yang ditampilkan bakal selalu sinkron. Kalau menurut Razer, penurunan latency ini juga dapat berujung pada reaksi bermain yang 50% lebih cepat.

Kedua perangkat ini juga cukup identik soal daya tahan baterai. Dalam sekali pengisian, Hammerhead Pro dapat beroperasi selama 4 jam nonstop (sama persis), sedangkan charging case-nya siap menyuplai hingga 16 jam daya baterai ekstra (4 jam lebih lama daripada yang ditawarkan oleh charging case milik Hammerhead standar).

Razer Hammerhead True Wireless Pro saat ini telah dipasarkan dengan harga $200 di Amerika Serikat, atau dua kali lipat harga Hammerhead non-Pro. Kalau Anda bisa memaklumi daya tahan baterainya yang terbilang biasa, ia semestinya dapat menjadi alternatif yang cukup menarik terhadap AirPods Pro, apalagi mengingat harganya juga lebih murah $50.

Sumber: Razer.

Razer Tomahawk Gaming Desktop Resmi Dirilis, Sangat Mungil tapi Dibekali RTX 3080

Pada ajang CES 2020 bulan Januari lalu, Razer memperkenalkan perangkat unik bernama Tomahawk Gaming Desktop. Dibandingkan PC desktop pada umumnya, Tomahawk terkesan begitu ringkas berkat volumenya yang berada di kisaran 10 liter saja.

Namun berbeda dari mayoritas gaming PC berukuran mungil, Tomahawk tidak mengandalkan motherboard tipe mini-ITX. Ia dipersenjatai Intel NUC Compute Element, sebuah modul khusus yang berisikan prosesor, RAM, storage, beserta kipas pendingin. Teknologi yang digunakan pada dasarnya sama persis seperti yang ditawarkan oleh Intel NUC 9 Extreme Kit.

Prosesor yang tertanam adalah Intel Core i9-9980HK, didampingi oleh RAM DDR4 16 GB dan SSD NVMe 512 GB. Razer turut menyertakan HDD berkapasitas 2 TB, dan perangkat masih dibekali slot M.2 kosong yang dapat konsumen jejali dengan satu SSD ekstra.

Untuk urusan grafis, Razer memercayakannya kepada Nvidia GeForce RTX 3080 Founders Edition. Pun begitu, konsumen juga bisa membeli Tomahawk versi ‘polos’ yang tidak dibekali kartu grafis sama sekali, sehingga mereka dapat menggunakan kartu grafisnya sendiri. Melengkapi spesifikasinya adalah PSU berdaya 750 W.

Terkait konektivitasnya, Wi-Fi 6 dan Bluetooth 5.0 merupakan fitur standar yang ditawarkan, demikian pula sepasang port Thunderbolt 3, sepasang port Ethernet, empat port USB 3.2 Gen 2 Type-A, port HDMI 2.0A, dan headphone jack.

Meski dimensi Tomahawk sangatlah ringkas (365 x 210 x 150 mm), ia masih punya cukup ruang untuk mengusung sepasang kipas 120 mm di bagian atas. Skenario sirkulasi udaranya kira-kira seperti ini: udara masuk dari samping dan mendinginkan sistem (panel sampingnya bukan lagi kaca seperti prototipe yang dipamerkan di CES), lalu sisa udara panasnya dibuang ke atas oleh kedua kipas tersebut.

Kalau Anda ingat, Oktober lalu Razer sempat meluncurkan casing PC yang juga bernama Tomahawk, dan salah satunya diperuntukkan sistem yang menggunakan motherboard mini-ITX. Tomahawk Gaming Desktop ini bahkan lebih mungil lagi berkat penggunaan modul Compute Element itu tadi, tapi konsekuensinya Anda harus menyediakan modal yang jauh lebih besar.

Di Amerika Serikat, Razer Tomahawk Gaming Desktop dibanderol $2.400 tanpa GPU, atau $3.200 dengan RTX 3080 FE. Bisa kita lihat bahwa harganya tanpa GPU pun sudah lebih mahal daripada harga PC rakitan dengan spesifikasi high-end.

Sumber: Tom’s Hardware.

Razer Luncurkan Wolverine V2, Controller Baru untuk Gamer Xbox Sekaligus PC

Beberapa hari lalu, Valve mengumumkan insight yang cukup menarik: dalam dua tahun terakhir, rata-rata pengguna harian Steam yang memainkan game menggunakan controller naik lebih dari dua kali lipat jumlahnya. Seandainya suatu game memang mendukung penggunaan controller, sekitar 60% pengguna bakal memilih menggunakannya ketimbang mouse dan keyboard.

Pilihan controller yang digunakan jelas beragam, apalagi mengingat PlayStation 5 dan Xbox Series X baru saja dirilis. Anda bisa memakai DualSense, controller bawaan PS5, atau controller milik Xbox Series X jika kurang suka dengan layout yang simetris. Alternatif lainnya bisa dari produsen periferal pihak ketiga, macam Thrustmaster atau Razer.

Dari kubu Razer, mereka belum lama ini memperkenalkan Razer Wolverine V2, versi baru dari controller Xbox yang mereka luncurkan di tahun 2017. Dari segi estetika maupun ergonomi, Wolverine V2 membawa banyak perubahan sekaligus penyempurnaan. Grip-nya yang gemuk kini dilapisi karet bertekstur sehingga controller akan terasa lebih mantap dalam genggaman, sesuatu yang sepenuhnya absen pada versi lama Wolverine.

Dibanding controller bawaan Xbox Series X, Wolverine V2 hadir mengusung sejumlah fitur unik. Salah satunya adalah switch mekanis dengan karakteristik yang taktil pada keempat tombol action sekaligus tombol D-Pad-nya. Menurut Razer, switch ini punya jarak aktuasi hanya 0,65 mm, atau sekitar 35% lebih dangkal daripada switch tradisional bertipe membran.

Berhubung jarak aktuasinya lebih dangkal, masing-masing tombol semestinya bisa terasa lebih responsif, namun di saat yang sama karakternya yang taktil memastikan bahwa setiap klik bisa pengguna rasakan sehingga akurasi pun dapat tetap terjaga dengan baik. Lebih lanjut, Razer turut mengklaim bahwa switch mekanis ini lebih tahan lama karena masih bisa berfungsi secara normal hingga 3 juta klik.

Wolverine V2 turut dibekali sepasang tombol ekstra yang dapat diprogram sesuai kebutuhan. Tombol berlabel “M1” dan “M2” tersebut terletak di sebelah masing-masing tombol trigger. Kustomisasinya sendiri dapat dilakukan via aplikasi Razer Controller Setup for Xbox yang dapat diunduh lewat Microsoft Store.

Di Amerika Serikat, Razer Wolverine V2 saat ini telah dipasarkan seharga $100.

Sumber: PC Gamer.

Headset Wireless Razer Kaira Pro Diciptakan untuk Xbox Sekaligus Perangkat Mobile

Menjelang kedatangan console next-gen tidak lama lagi, produsen periferal seperti Razer langsung tanggap merilis sejumlah produk baru. Kali ini, mereka memperkenalkan dua headset gaming wireless baru yang didedikasikan buat para konsumen Xbox Series X dan Series S, yaitu Razer Kaira dan Razer Kaira Pro.

Kedua headset ini tentu saja mengandalkan konektivitas Xbox Wireless sehingga dapat disambungkan ke console Xbox secara nirkabel tanpa bantuan dongle, atau ke PC dengan bantuan dongle Xbox Wireless Adapter. Namun khusus untuk Kaira Pro, tersedia pula opsi untuk menghubungkannya ke berbagai perangkat via Bluetooth 5.0.

Juga unik buat Kaira Pro adalah, mikrofonnya dapat dilepas-pasang, dan ketika dilepas, ada mikrofon internal yang mengambil alih secara otomatis sehingga ia dapat berfungsi layaknya headphone Bluetooth pada umumnya.

Belakangan ini memang semakin banyak headset gaming yang turut menawarkan konektivitas Bluetooth. Idenya adalah, konsumen hanya memerlukan satu headset saja untuk menemani sesi gaming sekaligus rutinitasnya yang lain (kecuali mungkin saat berolahraga), dan Kaira Pro sejatinya merupakan jawaban Razer terhadap tren tersebut.

Dalam sekali pengisian, baterai milik Kaira Pro diyakini mampu bertahan hingga 15 jam, atau sampai 20 jam kalau pencahayaan RGB-nya dimatikan. Kaira di sisi lain tidak punya lampu warna-warni sama sekali.

Di luar konektivitas, mikrofon dan pencahayaan RGB, Kaira dan Kaira Pro ibarat pinang dibelah dua. Keduanya sama-sama mengemas rangka berbahan stainless steel dan dilengkapi sederet tombol pengoperasian di earcup sebelah kiri sekaligus kanannya. Masing-masing earcup-nya yang dapat berputar juga dibekali bantalan memory foam yang dilapisi kain breathable demi mencegah telinga kepanasan meski perangkat dipakai cukup lama.

Terkait kualitas suaranya, Kaira dan Kaira Pro mengunggulkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm yang sama persis seperti milik Razer BlackShark V2. Satu hal yang mungkin agak disayangkan adalah absennya active noise cancellation (ANC), termasuk pada Kaira Pro, meskipun ia sebenarnya cukup ideal untuk konteks mobile.

Di Amerika Serikat, Razer Kaira dan Kaira Pro saat ini sudah dipasarkan masing-masing dengan harga $100 dan $150.

Sumber: Razer.

Razer Book 13 Adalah Laptop Non-Gaming dengan Layar 16:10

Kemunculan Razer Pro Click dan Pro Type beberapa bulan lalu menunjukkan ketertarikan produsen periferal gaming untuk menyasar kalangan konsumen yang lebih luas. Tampaknya ini memang sedang menjadi tren. September lalu misalnya, MSI sempat meluncurkan jajaran laptop bisnis, memperlengkap portofolionya yang sebenarnya sudah mencakup laptop untuk kreator konten.

Razer jelas tidak mau kalah. Hari ini mereka memperkenalkan Razer Book 13, sebuah laptop yang difokuskan untuk menunjang produktivitas. Dilihat sepintas, wujudnya nampak seperti Razer Blade Stealth 13 yang sudah dicat ulang dengan warna lain, tapi pada kenyataannya laptop ini punya beberapa perbedaan yang membuatnya lebih ideal untuk bekerja ketimbang bermain game.

Perbedaan yang paling utama terletak pada layarnya. Razer Book 13 mengemas panel 13,4 inci dengan aspect ratio 16:10, membuatnya sedikit lebih tinggi daripada yang aspect ratio-nya 16:9 – 1920 x 1200 pixel dibanding 1920 x 1080 pixel – sehingga bisa memuat lebih banyak konten dalam satu tampilan.

Di sini lagi-lagi kita bisa melihat bagaimana Razer mengikuti tren terkini, sebab Dell XPS 13 generasi terbaru yang diungkap September lalu juga menggunakan aspect ratio yang sama. Selain full-HD, terdapat juga varian Book 13 yang mengusung layar sentuh beresolusi 4K. Pada varian touchscreen ini, Razer tak lupa menambatkan kaca Gorilla Glass 6, lengkap beserta lapisan anti-reflektif.

Secara fisik, Book 13 juga sedikit lebih ringkas daripada Blade Stealth, dengan dimensi 295,6 x 198,5 x 15,2 mm dan bobot cuma 1,4 kg. Mengapit keyboard-nya adalah sepasang speaker yang mendukung teknologi THX Spatial Audio. Keyboard-nya sendiri sudah dilengkapi pencahayaan RGB, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah dilupakan oleh Razer.

Untuk spesifikasinya, Book 13 ditenagai oleh prosesor Intel generasi ke-11, dengan Core i7-1165G7 pada varian termahalnya. Ketimbang mengandalkan GPU terpisah untuk mengolah grafik, Book 13 memercayakan urusan itu sepenuhnya pada GPU terintegrasi Intel Iris Xe, yang sendirinya jauh lebih perkasa daripada chip grafis bawaan prosesor generasi sebelumnya.

Melengkapi spesifikasinya adalah RAM hingga 16 GB dan SSD sampai 512 GB. Baterainya tercatat punya kapasitas 55 Wh, dan Razer memastikan bahwa Book 13 sudah memenuhi sertifikasi Intel Evo, yang berarti baterainya bisa tahan sampai setidaknya 9 jam pemakaian (untuk varian dengan layar full HD), serta bisa terisi ulang lebih cepat dari biasanya.

Penggunaan prosesor Intel generasi ke-11 berarti kedua port USB-C yang terdapat pada Book 13 adalah port Thunderbolt 4. Razer pun tak lupa menyertakan port USB-A 3.2 Gen 2, port HDMI 2.0, serta slot kartu microSD. Secara internal, Book 13 hadir membawa dukungan Wi-Fi 6 dan Bluetooth 5.1.

Razer Book 13 saat ini sudah dijual dengan harga mulai $1.200. Varian termahalnya yang mengemas layar sentuh 4K dan prosesor Core i7 tadi dihargai $2.000.

Sumber: Razer.

5 Pengumuman Paling Menarik dari RazerCon 2020

Di saat kita disibukkan dengan undangan pernikahan dan beragam diskon dari platform ecommerce, pada tanggal 10 Oktober 2020 kemarin Razer secara resmi menggelar edisi pertama dari event tahunannya, RazerCon. Tentu saja acara itu diselenggarakan secara online sepenuhnya, dan sempat ada satu juta orang yang menontonnya secara bersamaan.

Dalam ajang tersebut, ada setidaknya lima pengumuman menarik seputar produk-produk terbaru dari Razer, dan kalau di titik ini Anda masih beranggapan bahwa Razer tidak lebih dari sebatas produsen periferal dan laptop, Anda salah besar.

Lewat RazerCon, Razer pada dasarnya membuktikan bahwa mereka tidak segan keluar dari zona nyamannya dan mencoba peruntungannya di ranah yang tergolong cukup niche, seperti misalnya kursi gaming atau casing PC.

Razer Iskur dan Razer Tomahawk

Ya, Razer sekarang punya kursi gaming sendiri bernama Iskur. Sepintas, wujudnya langsung mengingatkan saya terhadap kursi gaming besutan Secretlab. Kebetulan Secretlab memang sama-sama bermarkas di Singapura seperti Razer, akan tetapi kepada The Verge, kedua perusahaan memastikan bahwa Iskur bukanlah hasil kolaborasi mereka.

Satu hal yang paling unik dari kursi seharga $500 ini adalah bagian penopang lumbarnya, yang dapat disesuaikan hingga benar-benar menopang lengkungan tulang punggung secara menyeluruh. Pengaturan posisi yang merinci juga dapat diterapkan pada sandaran tangannya; dinaik-turunkan, dimaju-mundurkan, ditolehkan ke kiri atau kanan, serta dimiringkan ke kiri atau kanan.

Razer tidak lupa mengklaim bahwa lapisan kulit sintetis yang membalut Iskur lebih tahan lama ketimbang material kulit sintetis pada umumnya, sehingga tidak akan mudah mengelupas. Idealnya, kursi ini paling pas buat pengguna yang tingginya berada di kisaran 170-190 cm, dengan bobot tak lebih dari 136 kg.

Dalam kesempatan yang sama, Razer turut memperkenalkan casing PC perdananya, Tomahawk. Sejauh ini Tomahawk tersedia dalam dua varian ukuran: Tomahawk ATX (mid-tower) dan Tomahawk Mini-ITX. Keduanya sama-sama memakai bahan baja setebal 0,8 mm, dan sisi samping kiri beserta kanannya sama-sama mengandalkan tempered glass.

Secara estetika, Tomahawk terbilang sangat minimalis sekaligus elegan. Tanpa harus terkejut, ada pencahayaan RGB yang disematkan di bagian bawahnya, membuatnya sepintas kelihatan seperti mobil yang kerap mengikuti kontes modifikasi ekstrem.

Yang sudah Razer jual saat ini barulah Tomahawk Mini-ITX seharga $180. Tomahawk ATX kabarnya akan menyusul pada musim semi dengan banderol $200.

Razer Blade Stealth (Late 2020)

Razer juga mengumumkan penyegaran spesifikasi untuk Blade Stealth. Ultrabook ini memang baru saja di-upgrade pada bulan April lalu, tapi berhubung prosesor generasi ke-11 Intel Tiger Lake baru saja hadir, Razer pun tidak mau kehilangan momentum. Iterasi terbaru Blade Stealth kini datang mengusung prosesor Intel Core i7-1165G7, menawarkan peningkatan performa produktivitas hingga 20%, atau 2,7x lebih cepat untuk keperluan kreasi konten.

Prosesor tersebut masih ditandemkan dengan GPU Nvidia GeForce GTX 1650 pada varian termahalnya. Juga baru adalah opsi pada layarnya; konsumen sekarang bisa memilih antara layar 120 Hz, atau layar OLED yang mendukung 100% spektrum warna DCI-P3. Ukurannya sendiri tetap 13 inci, dan resolusinya juga masih 1080p.

Blade Stealth 13 edisi terbaru ini telah dipasarkan dengan harga mulai $1.800.

Razer Seiren Mini

Sesuai namanya, tinggi Seiren Mini tidak lebih dari 16,3 cm, dan diameter dudukannya juga cuma 8,9 cm, membuatnya ideal untuk setup livestreaming dengan ruang yang terbatas. Meski ringkas, Seiren Mini rupanya masih mengemas unit condenser berukuran 14 mm dengan pickup pattern supercardioid yang sangat efektif menangkap suara yang berasal dari depan selagi meminimalkan suara-suara dari sekitar, seperti misalnya suara dari keyboard.

Namun kalau harus memilih bagian terbaik dari mikrofon USB ini, saya mungkin akan bilang harganya. Dengan banderol $50, Seiren Mini jelas merupakan alternatif yang cukup menarik buat para livestreamer yang baru saja memulai karirnya, atau yang ingin meng-upgrade setup sekarang yang masih mengandalkan mic milik headset. Satu-satunya kelemahan Seiren Mini mungkin adalah absennya tombol mute.

Razer Kraken BT Kitty Edition

Kraken, tapi wireless. Bukan sembarang wireless pula, melainkan Bluetooth 5.0 dengan latency yang rendah di angka 40 milidetik, membuatnya ideal buat kaum hawa yang hobi livestreaming game mobile. Kraken BT Kitty Edition mengunggulkan driver berdiameter 40 mm dengan mikrofon beamforming yang terintegrasi, dan tentu saja ada pencahayaan RGB yang menghiasi.

Baterainya diklaim sanggup bertahan sampai 20 jam, atau 50 jam kalau lampunya dimatikan sepenuhnya. Headset ini sekarang sudah bisa dibeli seharga $100.

Komponen dengan pencahayaan Razer Chroma

Ajang RazerCon turut Razer manfaatkan untuk mengumumkan empat mitra baru yang tergabung dalam program Razer Chroma Connect, yakni WD Black, Seagate Gaming, Yeelight dan Twinkly. Ini berarti ke depannya kita bakal melihat lebih banyak lagi hardware dengan pencahayaan RGB yang bisa dikontrol menggunakan software Razer Synapse.

Hardware yang dimaksud sekarang juga mencakup komponen seperti motherboard. Untuk pertama kalinya, Razer bakal memasarkan motherboard hasil kolaborasinya bersama ASRock. Motherboard ini sejatinya merupakan seri ASRock Taichi dengan chipset AMD X570 atau B550, tapi yang desainnya senada dengan gaya Razer, serta dihiasi lampu RGB di sekujur tubuhnya.

Penting atau tidak, RGB bisa dibilang sudah menjadi bagian fundamental dari kultur gaming, dan kehadiran motherboard Razer Edition ini pada dasarnya bakal semakin memperkuat posisi Razer Chroma sebagai ekosistem pencahayaan RGB terbesar di dunia.

Sumber: Razer.

Razer BlackWidow V3 Meluncur dengan Fisik yang Lebih Kokoh dan Layout Multimedia Baru

Diperkenalkan pertama kali pada tahun 2010, Razer BlackWidow bisa dibilang merupakan mechanical keyboard pertama yang dirancang secara spesifik untuk kebutuhan gaming. Saya masih ingat kala itu generasi pertamanya datang membawa lima tombol macro di sebelah kiri, serta menggunakan switch Cherry MX Blue yang clicky dan berisik.

10 tahun berlalu, sekarang Razer sudah punya BlackWidow V3. Bentuknya seperti yang bisa kita lihat masih sangat khas dengan bagian bawah yang melandai, namun tentu saja rangka aluminiumnya ini dibuat lebih kokoh ketimbang milik versi sebelumnya.

Masih seputar topik ketahanan, BlackWidow V3 hadir membawa keycap dengan bahan double shot ABS. Memang bukan PBT yang secara umum lebih superior, tapi setidaknya teknik double shot mengindikasikan bahwa label huruf, angka, dan simbol pada masing-masing keycap-nya tidak akan pudar sedikit pun meski sudah digunakan sampai ribuan jam.

Di balik setiap tombolnya, bernaung mechanical switch bikinan Razer sendiri. Ada dua pilihan switch yang tersedia untuk BlackWidow V3: Green yang tactile dan clicky, atau Yellow yang linear dan senyap. Razer cukup percaya diri kedua tipe switch ini bisa tahan sampai 80 juta klik.

Buat gamer yang memprioritaskan pencahayaan RGB di atas segalanya, kebetulan BlackWidow V3 juga sudah mengikuti tren terbaru di mana switch-nya dikemas dalam wadah yang transparan, sehingga backlight-nya bisa menyala dengan lebih terang dan lebih jelas.

Satu pembaruan yang cukup signifikan adalah penambahan tombol multimedia dan semacam scroll wheel memanjang di ujung kanan atas keyboard. Tentu saja keduanya dapat diprogram sesuai kebutuhan lewat software Razer Synapse, sehingga fungsinya bisa lebih dari sebatas untuk mengatur volume saja. Untuk menambah kenyamanan, BlackWidow V3 turut dibekali wrist rest yang dapat dilepas-pasang.

Di Amerika Serikat, Razer BlackWidow V3 saat ini telah dipasarkan dengan banderol $140. Alternatifnya, BlackWidow V3 juga ditawarkan dalam varian tenkeyless (TKL) yang lebih ringkas sekaligus lebih murah ($100), serta varian wireless ($230) yang mempunyai layout agak berbeda, terutama pada bagian tombol-tombol multimedianya.

Sumber: Razer.

Razer Rilis Trio Periferal Wireless Baru: DeathAdder V2 Pro, BlackShark V2 Pro, dan BlackWidow V3 Pro

Seorang gamer kompetitif pada umumnya akan menghindari periferal wireless dengan alasan performanya kurang bisa diandalkan, terutama perihal latency. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, kita sudah melihat satu demi satu produsen periferal sibuk mengembangkan teknologi wireless-nya sendiri, semua dengan tujuan mengurangi latency sebanyak mungkin sehingga perangkat dapat diandalkan di ranah kompetitif.

Di saat suatu produsen sudah siap dengan teknologi wireless besutannya sendiri, kita tidak perlu heran apabila mereka langsung menerapkan teknologi tersebut pada produk-produk andalannya. Razer adalah salah satunya. Sejauh ini, sejumlah periferal bikinan mereka yang populer sudah dibuatkan versi wireless-nya yang mengemas teknologi Razer HyperSpeed, dan hari ini mereka menambah lagi anggota keluarga gaming gear nirkabelnya.

Tidak tanggung-tanggung, Razer memperkenalkan tiga periferal wireless baru sekaligus: Razer DeathAdder V2 Pro, Razer BlackShark V2 Pro, dan Razer BlackWidow V3 Pro. Namun ketimbang sebatas menyematkan konektivitas wireless begitu saja ke perangkat yang sudah ada, Razer turut merevisi sejumlah aspek dari masing-masing produk.

Razer DeathAdder V2 Pro

Untuk DeathAdder V2 Pro, bisa kita lihat bahwa desainnya nyaris identik dengan DeathAdder V2. Namun kalau kita amati lebih lanjut, samping kiri dan kanannya kini dilapisi karet bertekstur yang jauh lebih luas daripada milik versi berkabelnya. Bobotnya memang bertambah sedikit dari 82 gram menjadi 88 gram, tapi ini tetap sangat ringan untuk ukuran mouse wireless yang mengemas baterai rechargeable, dan yang tidak mengadopsi desain bolong-bolong.

Bicara soal baterai, DeathAdder V2 Pro sanggup beroperasi hingga 70 jam sebelum perlu diisi ulang. Untuk pemakaian kasual dengan koneksi Bluetooth, daya tahan baterainya malah bisa mencapai angka 120 jam. Selagi tersambung kabel, perangkat tetap bisa digunakan seperti biasa.

Sensor yang digunakan DeathAdder V2 Pro sama persis seperti versi standarnya, yakni sensor Focus+ dengan sensitivitas maksimum 20.000 DPI. Yang berubah adalah optical switch-nya, yang Razer bilang merupakan generasi kedua, walaupun ketahanannya tetap tercatat di angka 70 juta klik.

Razer DeathAdder V2 Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $130, nyaris dua kali lipat versi standarnya. Satu hal yang membuat saya penasaran adalah, kenapa namanya bukan “DeathAdder V2 Ultimate”? Well, bisa jadi karena ia hadir setelah Razer Naga Pro.

Razer BlackShark V2 Pro

 

Sesuai namanya, perangkat ini merupakan versi nirkabel dari headset gaming bernama sama yang Razer luncurkan Agustus lalu. Saya tidak melihat ada perubahan dari segi desain, tapi lagi-lagi Razer sudah merevisi jeroannya. Driver yang digunakan tetap driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm, akan tetapi BlackShark V2 Pro turut mengemas satu speaker chamber ekstra.

Bukan cuma itu, mikrofon milik BlackShark V2 Pro juga lebih besar (9,9 mm) daripada milik versi berkabelnya, dan Razer mengklaim ini dapat meningkatkan kemampuannya mengabaikan suara-suara di sekitar yang mengganggu. Sama seperti di versi standarnya, mikrofonnya dapat dilepas saat sedang tidak dibutuhkan.

Hal lain yang mungkin juga bakal terasa berbeda adalah terkait kenyamanannya. BlackShark V2 Pro lebih berat 58 gram daripada BlackShark V2. Tidak mengejutkan mengingat ia harus mengusung modul baterai, dan kabar baiknya, baterai ini bisa tahan sampai 24 jam pemakaian.

Razer BlackShark V2 Pro sekarang telah dijual dengan banderol $180, selisih $70 dibanding versi standarnya. Harga yang cukup masuk akal untuk headset gaming pertama yang dibekali konektivitas Razer HyperSpeed, yang secara teknis mendukung transmisi audio dengan kualitas lossless.

Razer BlackWidow V3 Pro

Namanya mungkin agak menipu, akan tetapi BlackWidow V3 Pro merupakan versi wireless dari BlackWidow Elite yang dirilis dua tahun silam. Satu fakta yang agak mengejutkan adalah, ini merupakan keyboard gaming wireless pertama dari Razer – kecuali Anda menghitung Razer Turret, yang secara spesifik ditujukan bagi pengguna Xbox One.

Layout yang digunakan oleh BlackWidow V3 Pro sama persis seperti BlackWidow Elite, dengan tiga tombol multimedia dan kenop untuk mengatur volume. Kendati demikian, pencahayaan RGB di BlackWidow V3 Pro bisa menyala lebih terang berkat kemasan switch yang transparan. Masing-masing keycap-nya juga diklaim lebih tangguh berkat penggunaan material Doubleshot ABS.

Switch-nya sendiri merupakan switch mekanis dengan dua varian yang berbeda – Green yang clicky, atau Yellow yang linear – bukan optical switch seperti milik seri Razer Huntsman. Seperti halnya DeathAdder V2 Pro tadi, keyboard ini juga dapat disambungkan via dongle Razer HyperSpeed atau Bluetooth. Dalam sekali pengisian, baterainya tahan sampai 200 jam, tapi ini tentu tergantung seberapa terang lampu RGB-nya menyala.

Buat yang tertarik meminang Razer BlackWidow V3 Pro, silakan siapkan modal sebesar $230. Agak mahal memang, tapi setidaknya Anda masih dapat wrist rest yang empuk demi kenyamanan ekstra.

Sumber: Razer.

Razer Naga Pro Adalah Mouse Wireless dengan Panel Modular untuk Semua Jenis Gamer

Setelah lama menjadi salah satu mouse kepercayaan para pemain MMORPG, sekitar tiga tahun lalu Razer Naga berevolusi menjadi mouse multi-fungsi untuk semua jenis gamer. Sekarang, mouse tersebut telah disempurnakan lebih lanjut menjadi sebuah mouse wireless yang sangat adaptif.

Dijuluki Razer Naga Pro, ia kembali hadir dengan panel samping yang modular. Seperti halnya Naga Trinity, ada tiga buah panel yang dapat dilepas-pasang secara magnetis. Panel yang pertama dilengkapi 12 tombol dengan layout ala kalkulator, didesain spesifik untuk mengakomodasi kebutuhan para penggemar game MMO maupun RTS.

Panel yang kedua adalah yang paling berbeda dari sebelumnya. Ketimbang mengemas 7 tombol dengan formasi melingkar, panel keduanya memiliki enam tombol yang dibagi menjadi dua baris, cocok untuk permainan MOBA maupun battle royale. Di bawah keenam tombol tersebut, ada lapisan karet untuk membantu memantapkan genggaman.

Terakhir, ada panel berisikan dua tombol besar layaknya milik Razer DeathAdder. Kalau ditotal, jumlah tombol yang programmable pada Naga Pro bisa mencapai 20 buah jika memakai panel pertamanya. Bahkan scroll wheel-nya pun bisa merangkap peran sebagai tiga tombol yang berbeda layaknya Razer Basilisk V2.

Selain penyempurnaan dari segi desain, jeroannya juga sudah dirombak total kalau dibandingkan sebelumnya. Teknologi HyperSpeed Wireless tentu sudah Razer sematkan pada Naga Pro, mewujudkan koneksi nirkabel yang minim latency sekaligus lebih irit daya daripada biasanya.

Dalam sekali pengisian, baterai Naga Pro diprediksi bisa tahan sampai 100 jam pemakaian kalau tersambung via dongle 2,4 GHz, atau sampai 150 jam kalau terhubung via Bluetooth. Selagi di-charge, Naga Pro tetap bisa digunakan seperti biasa, dan Razer cukup berbaik hati untuk menyertakan kabel SpeedFlex yang sangat lentur pada paket penjualannya.

Perihal akurasi, Naga Pro telah dibekali sensor Focus+, sensor terunggul Razer sejauh ini yang punya sensitivitas maksimum 20.000 DPI. Razer pun tidak lupa menanamkan optical switch pada Naga Pro, yang tak cuma menawarkan peningkatan responsivitas, tapi juga ketahanan sampai 70 juta kali klik. Kehadiran dua komponen ini sejatinya membuat Naga Pro selevel dengan Razer Viper Ultimate maupun Basilisk Ultimate yang sama-sama wireless.

Razer Naga Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $150, persis di tengah-tengah banderol Viper Ultimate dan Basilisk Ultimate.

Sumber: Razer.

Esports Director Razer Bicarakan Soal Nasib Ekosistem Selama Masa Pandemi

Situasi pandemi telah mengubah banyak aspek kehidupan masyarakat di tahun 2020. Perubahan berdampak pada berbagai lini kehidupan, termasuk juga kepada industri digital, yang di dalamnya termasuk industri esports. Industri ini mungkin ‘baik-baik’ saja karena ekosistem digital yang berdiri di atas jaringan internet. Namun demikian hal tersebut bukan berarti industri esports berjalan mulus tanpa tantangan selama pandemi.

Beberapa bagian ekosistem juga tetap mengalami kerugian karena situasi ini, membuat masa depan industri esports dan game di kala pandemi jadi dipertanyakan. Tetapi dari sisi lain, salah satu perusahaan peripheral gaming ternama, yaitu Razer, berhasil menghadapi situasi pandemi dengan cukup baik. Malahan Razer berhasil menerima pemasukan sebesar 447 juta dollar AS pada Q1 2020, yang merupakan peningkatan sebesar 25% dibanding dengan Q1 2019.

Sumber: Razer Official
Tidak hanya berkembang sebagai menyajikan gaming peripheral, Razer kini bisa dibilang juga menjadi salah satu motor perkembangan esports di Asia Tenggara. Sumber: Razer Official

Mengutip dari The Esports Observer, David Tse, Global Esports Director dari Razer, menceritakan bagaimana perusahaan asal Amerika Serikat tersebut bisa bertahan dalam situasi berat ini. Ia mengatakan bahwa esports dan gaming secara online yang membuat gamers jadi belanja lebih banyak perlengkapan gaming mumpuni– terbilang jadi salah satu alasan Razer bertahan dalam keadaan ini.

“Kami merasa beruntung sekali, karena gaming berdiri di atas platform elektronik, sehingga komunitas tidak memiliki kesulitan untuk beradaptasi dengan keadaan, dan mengubah cara bermain menjadi online saja.” David mengawali pembahasannya.

“Razer bisa dibilang menjadi salah satu garda terdepan atas perubahan tersebut lewat penyelenggaraan Razer Invitational SEA qualifiers secara online, sehingga para atlet esports bertanding secara aman sentosa dari rumah mereka masing-masing. Penonton esports selama ini tidak terlalu masalah soal offline atau online dalam hal penyajian turnamen, sehingga saya percaya komunitas esports tidak kesulitan beradaptasi dalam kehidupan normal baru yang mengutamakan interaksi online. Lewat keterlibatan sosok ternama seperti caster atau streamer ternama, saya percaya esports bisa terus berdiri di garda terdepan, yang mana keadaan ini juga akan memperkuat jumlah serta keterlibatan penonton secara online.”

Sumber: Razer Official Documentation
David Tse, Global Esports Director dari Razer. Sumber: Razer Official Documentation

David Tse lalu melanjutkan pembahasan dengan opininya soal bagaimana esports dan gaming yang justru akan berkembang semakin besar dan kuat pasca situasi pandemi. “Pada dasarnya, industri esports terbentuk dari pertumbuhan serta pola konsumsi para penontonnya. Dalam situasi pandemi kita melihat sendiri, bagaimana penonton esports beberapa game ternama seperti Dota 2 dan League of Legends, justru bertumbuh dan bertambah loyal. Saya juga percaya pola konsumsi penonton kasual ataupun enthusiast akan berubah lagi di masa depan, yang salah satunya didorong oleh kehadiran koneksi 5G. Saya berpendapat kehadiran 5G akan semakin memudahkan akses masyarakat terhadap gaming dan esports, sehingga nantinya akan ada lebih banyak lagi orang yang berpartisipasi ke dalamnya.”

Menarik melihat opini David Tse terhadap perkembangan ekosistem esports dan gaming. Satu yang tidak bisa dipungkiri mungkin adalah, akses masyarakat terhadap jaringan internet, dan devices untuk bermain game sebagai dua faktor penting dalam perkembangan ekosistem esports. Jadi jika di masa depan ada lebih banyak orang yang bisa akses internet, teknologi berkembang semakin canggih yang membuat jaringan internet semakin cepat, ada kemungkinan yang sangat besar bagi esports utnuk bertumbuh lebih cepat lagi.