Fintech Provider in Payment Sector Must Now Registered at Bank Indonesia

Bank Indonesia issued a policy requiring fintech (financial technology) developer in payment system to register at central bank. The rule will be applied on January 1st, 2018. It’s stated in Bank Indonesia’s regulation (PBI) Number 19/12/17 on the Implementation of Financial Technology.

Bank central expects, with this policy, fintech startups can develop and contribute to push Indonesia’s economic growth by prioritizing risk mitigation aspects.

“BI sees a fast growing fintech can be used to push Indonesia’s economic growth. By innovation, the activities should be better. It also necessary to know the risk of fast growing fintech. The BI rule is a way to balance it,” said Sugeng, Bank  Indonesia’s Deputy Governor on Thursday (12/7).

PBI’s scope consists of registration rule, regulatory sandbox, licensing and approval, also monitoring and supervision.

Furthermore, there are five types of fintech classified by BI. It is payment system, market support, investment and risk management, financial loan and funding provider with other financial services.

Fintech criteria is regulated with five indicators, such as innovative, impactful on products/services/technologies and/or existing financial business model, beneficial for society, be widely used and other criteria set by BI.

Sugeng said, required registration is only for fintech provider which will or has done activities fit to the fintech criteria and under other authority, providing fintech in payment system.

Registered companies (and permitted by other authority) are not required to register. However, providing information regarding their business is sufficient.

“Unless the fintech’s payment, system already got permission as payment system provider (PJSP) by BI.”

Moreover, bank central issued two derivative rules of PBI Fintech as follows, governing board regulation (PADG) Number 19/14/PADG/2017 on fintech’s regulatory sandbox and PADG Number 19/15/PADG/2017 on how to register, deliver information, and monitor fintech’s implementation.

Junanto Herdiawan, BI’s Fintech Office Acting Head added, registered fintech provider will get into regulatory sandbox to see business model side and potential risk generated. Fintech company might go there for six month with a one-time renewal option.

“Later, the result will be seen whether it was working, not working or other status we set,” said Herdiawan, closely called as Iwan.

Immediately set an explicit prohibition regarding bitcoin

The PBI states fintech’s requirements in using Rupiah in every transaction. It means prohibition for any other currency in transaction, including virtual currency like bitcoin.

For Sugeng, the prohibition is basically due to the high-level volatility of virtual currency. It is concerned to have negative impact, then decided as invalid payment instrument.

Bank central is currently finalize the virtual currency prohibition as payment and investment instrument. BI plans to explicitly prohibit the virtual currency by issuing new rule in January 2018.

Unlike bitcoin, blockchain as supporting technology is not prohibited. In fact, BI is exploring ways to apply blockchain’s technology next year.

“Blockchain technology is not prohibited,” said Iwan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Penyelenggara Fintech di Sistem Pembayaran Kini Wajib Terdaftar di Bank Indonesia

Bank Indonesia menerbitkan beleid yang mewajibkan penyelenggaran fintech (teknologi finansial/tekfin) di bidang sistem pembayaran untuk terdaftar di bank sentral. Kewajiban ini mulai berlaku pada 1 Januari 2018. Aturan ini tertuang dalam Peraturan BI (PBI) No.19/12/17 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Bank sentral berharap melalui beleid ini, bisnis fintech tetap dapat berkembang dan berkontribusi demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan tetap mengedepankan aspek mitigasi risiko.

“BI melihat pertumbuhan fintech sangat bagus bisa dimanfaatkan untuk dorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan inovasi, kegiatan inovasi bisa lebih baik. Tapi perlu diketahui bahwa fintech saking berkembangnya bisa timbulkan risiko. Aturan di BI ini adalah cara untuk menyeimbangkannya,” ucap Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng, Kamis (7/12).

Ruang lingkup PBI ini meliputi aturan pendaftaran, regulatory sandbox, perizinan dan persetujuan, dan pemantauan dan pengawasan.

Lebih lanjut, ada lima jenis penyelenggara fintech yang sudah diklasifikasikan BI untuk mendaftar. Yakni, sistem pembayaran, pendukung pasar, manajemen investasi dan risiko, pinjaman pembiayaan dan penyedia modal, dan jasa finansial lainnya.

Kriteria bisnis fintech pun diatur dalam lima indikator seperti, inovatif, dapat berdampak pada produk/layanan/teknologi, dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis, memberikan manfaat bagi masyarakat, bisa digunakan secara luas, dan kriteria lainnya yang ditetapkan BI.

Sugeng mengatakan, kewajiban pendaftaran ini hanya diperuntukkan ke penyelenggara tekfin yang akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria fintech dan berada di bawah kewenangan otoritas lain dan menyediakan tekfin di bidang sistem pembayaran.

Untuk perusahaan yang telah terdaftar dan mendapat izin dari otoritas lain, tidak perlu mendaftar ke BI. Akan tetapi, setidaknya memberikan informasi bisnisnya ke BI.

“Kecuali tekfin sistem pembayaran itu telah mendapatkan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) dari BI.”

Bersamaan dengan itu, bank sentral juga merilis dua aturan turunan dari PBI Fintech yaitu peraturan anggota dewan gubernur (PADG) No.19/14/PADG/2017 tentang ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) tekfin dan PADG No.19/15/PADG/2017 tentang cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan pemantauan penyelenggaraan tekfin.

Plt Kepala Fintech Office BI Junanto Herdiawan menambahkan penyelenggara fintech yang telah terdaftar akan masuk ke regulatory sandbox untuk melihat sisi model bisnis dan risiko yang berpotensi bisa ditimbulkan. Kemungkinan perusahaan fintech akan masuk ke sana selama enam bulan dengan opsi perpanjangan satu kali.

“Nanti dari situ akan dilihat hasilnya apakah berhasil, tidak berhasil, atau status lainnya yang kami tetapkan,” kata Junanto, atau yang lebih akrab disapa Iwan.

Segera buat larangan lebih tegas mengenai bitcoin

Dalam PBI ini juga menetapkan kewajiban penyelenggara fintech untuk mengunakan Rupiah dalam setiap transaksinya. Ini berarti melarang penggunaan mata uang lain dalam bertransaksi, termasuk mata uang virtual seperti bitcoin.

Menurut Sugeng, pelarangan ini pada dasarnya disebabkan mata uang virtual memiliki tingkat volatilitasnya yang tinggi. Dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang negatif, sehingga ditetapkan bukan sebagai alat pembayaran yang sah.

Bank sentral pun saat ini terus mematangkan rencana pelarangan penggunaan mata uang virtual sebagai alat pembayaran dan instrumen investasi. Rencananya BI akan secara tegas melarang mata uang virtual tersebut dengan menerbitkan aturan baru pada Januari 2018.

Meskipun melarang penggunaan bitcoin, blockchain sebagai teknologi pendukungnya tidak dilarang. Malah BI sendiri menjajaki penerapan teknologi blockchain tahun depan.

“Teknologi blockchain sendiri tidak kami larang,” pungkas Iwan.

Bank Indonesia Only Prohibits Bitcoin Usage as Payment Method

Bank Indonesia declares bitcoin prohibition will be limited in closing all transaction using bitcoin. This regulation is to be published on Monday (12/4), after being signed by BI on Wednesday (11/29).

In this regulation, Bank Indonesia confirms bitcoin as non-valid payment method in Indonesia. Some points will be established to close all activities regarding bitcoin payment and so on.

“The point is, we will not accept bitcoin as valid payment. According to plan, there will be a provision to discourage activities that facilitate bitcoin. Discourage means actively prohibiting. Let’s wait for the provisions,” explained Agusman, BI’s Head of Communication Department, in contact with DailySocial on Thursday (11/30).

Furthermore, quoting CNN Indonesia, the regulation will strictly bans bitcoin transaction among individuals. The prohibition has been adjusted in Bank Indonesia Regulation (PBI) Number 18 of 2016 regarding Implementation of Payment Transaction Process. Supposedly a company caught in transaction using bitcoin, the business license will be revoked and sanctioned.

“Supposedly a bank supports bitcoin transaction, there will be tough sanction. However, bitcoin transaction is not using payment system provider. For individuals, we can only prohibit. They can take their own risk,” said Eni Panggabean, BI’s Head Executive Director of Payment System Policy Department.

Industry player’s responses

Bitcoin Indonesia’s CEO Oscar Darmawan, in separate contact with DailySocial, said the business model of Bitcoin Indonesia is not to provide payment using bitcoin. It is a marketplace to provide digital assets such as: bitcoin, ethereum, ripple and others. Thus, when the regulation published, it will not necessarily affect the company.

The company will look forward to the regulation and try to comply with it.

“Personally, I think BI play the role as payment regulator. It makes them authorized in making regulations. We aware of the valid payment in Indonesia is Rupiah. However, to own bitcoin, Singapore or US Dollar is not something to be banned, isn’t it?,” said Darmawan.

Claristy, Luno Indonesia’s Country Analyst, added:

“We aware of Bank Indonesia’s new regulation which prohibits Bitcoin as valid payment instrument. However, we never know any regulation prohibits Bitcoin as investment assets.

Most customers in Luno and other platforms buy Bitcoin as investment assets.

We agree with the regulators on keeping finance industry and digital currency free from criminal acts and money laundering, in Indonesia and all around the globe. We fully support and ready to collaborate if regulators, Bank Indonesia or Financial Services Authority, published the regulations or framework for digital currency industry in Indonesia.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Regulasi Bitcoin: Bank Indonesia Hanya Melarang Transaksi Pembayaran (UPDATED)

Bank Indonesia (BI) menyatakan regulasi mengenai pelarangan bitcoin akan sebatas menutup segala bentuk transaksi yang menggunakan bitcoin sebagai alat pembayaran. Regulasi ini akan terbit pada Senin (4/12), setelah ditandatangani BI pada Rabu (29/11).

Dalam regulasi ini, BI kembali menegaskan tidak diakuinya bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Akan ada poin-poin yang bersifat menutup pintu rapat-rapat untuk segala kegiatan yang memfasilitasi pembayaran dengan bitcoin dan sebagainya.

“Intinya kita tidak akui bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Direncanakan nanti akan ada ketentuan yang dapat men-discourage kegiatan-kegiatan yang memfasilitasi bitcoin. Discourage yang saya maksud ini maksudnya discourage yang aktif dengan melarang. Kita tunggu saja ketentuannya,” terang Kepala Departemen Komunikasi BI Agusman saat dihubungi DailySocial, Kamis (30/11).

Lebih lanjut, dikutip dari CNN Indonesia, dalam aturan nantinya akan mempertegas larangan transaksi penggunaan bitcoin antar individu. Sebab pelarangan bagi penyelenggara jasa keuangan sudah diatur dalam PBI Nomor 18 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Bila perusahaan ketahuan menggunakan bitcoin, maka izin usahanya akan dicabut dan dikenakan sanksi.

“Seandainya bank berani transaksi bitcoin, kami akan kasih sanksi tegas. Tapi yang terjadi adalah bitcoin ini tidak ditransaksikan melalui penyelenggara jasa sistem pembayaran. Jadi kalau untuk individu, kami hanya bisa melarang. Kalau ada risiko ya tanggung sendiri,” ucap Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Eni Panggabean.

Tanggapan pemain industri

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan menyatakan bahwa secara model bisnis, Bitcoin Indonesia bukanlah perusahaan yang menyediakan pembayaran dengan bitcoin. Mereka bertindak marketplace yang menyediakan jual beli aset digital seperti bitcoin, ethereum, ripple, dan lainnya. Bila aturan tersebut terbit, hal itu tidak begitu mempengaruhi bisnis perusahaan.

Pihaknya akan turut serta menunggu aturan yang akan diterbitkan BI dan berusaha mematuhi segala aturan main nantinya.

“Menurut saya pribadi, BI itu bergerak di regulator pembayaran. Jadi kewenangan mereka adalah buat aturan yang mengenai hal tersebut. Kami juga menyadari pembayaran yang sah di Indonesia itu hanya Rupiah. Akan tetapi, apabila orang-orang memiliki bitcoin, Dollar Singapura, atau Dollar AS bukan sesuatu yang tidak boleh dimiliki bukan?,” terang Oscar.

Pemain lain yang beroperasi di Indonesia, Luno, melalui Country Analyst di Indonesia Claristy, berkomentar:

“Kami telah mengetahui peraturan terbaru dari Bank Indonesia yang melarang penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran. Namun, kami belum melihat adanya peraturan yang melarang penggunaan Bitcoin sebagai aset investasi.

Mayoritas pelanggan di platform Luno dan di seluruh dunia membeli Bitcoin sebagai aset investasi.

Kami setuju dengan para regulator bahwa kita perlu menjaga industri keuangan dan mata uang digital bebas dari kegiatan kriminal dan tindakan pencucian uang, baik di Indonesia dan di seluruh dunia. Kami mendukung penuh dan siap berkolaborasi jika regulator, baik BI ataupun OJK, menerbitkan regulasi atau kerangka kerja khusus untuk industri mata uang digital di Indonesia.”

Update: menambahkan pernyataan Luno

Terbentur Kepemilikan Lisensi E-Money, GrabPay Hentikan Fasilitas Pengisian Saldo

Grab secara resmi menghentikan fasilitas pengisian saldo atau top up layanan e-money GrabPay. Ini ditengarai GrabPay tengah dalam antrean di Bank Indonesia untuk mendapatkan izin mengelola lisensi e-money. Penghentian sistem top up GrabPay ini menyusul TokoCash milik Tokopedia dan ShopeePay milik Shopee.

Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Managing Director GrabPay Indonesia Ongki Kurniawan. Ia menyampaikan karena mengikuti salah satu proses dalam mendapatkan izin dari Bank Indonesia.

“Karena memang permintaan untuk GrabPay sangat besar sekarang dan cakupannya sudah cukup luas dan pertumbuhannya juga cukup besar jadi kami sedang melakukan proses perizinan dengan bank Indonesia. Dan sebagai salah satu bagian dari proses itu kami menghentikan fasilitas top up-nya,” terang Ongki.

Hal ini mengacu pada ketentuan mengenai penyelenggaraan uang elektronik telah diatur BI dalam Peraturan BI Nomor 11/12/PBI/2009 dan Surat Edaran BI Nomor 16/11/DKSP tanggal 22 Juli 2014 sebagaimana telah diubah oleh SEBI Nomor 18/21/DKSP tanggal 27 September 2016

Dengan kondisi ini pengguna GrabPay untuk sementara tidak bisa mengisi saldo mereka, namun bagi pengguna yang masih memiliki saldo tersisa di dompet GrabPay mereka layanan masih berjalan seperti biasa dan uang di dompet GrabPay tersebut masih bisa digunakan seperti biasanya.

“[…] GrabPay masih bisa digunakan untuk pengguna yang mempunyai balance di GrabPay, seperti biasa, tidak ada perubahan, mudah-mudahan proses perizinan ini bisa berjalan lancar sehingga masyarakat bisa kembali menggunakan layanan non tunai dari Grab yakni GrabPay,” lanjut Ongki.

Membahas masalah proses perizinan dengan bank Indonesia Ongki menjelaskan, saat ini masih terjadi diskusi intensif pihak Grab dengan Bank Indonesia. Harapannya izin untuk GrabPay segera keluar dan pengguna kembali bisa memanfaatkan GrabPay untuk keperluan mereka sehari-hari.

“Untuk izinnya kita masih dalam proses. Kita diskusi intensif terus dengan bank Indonesia. Tentunya bank Indonesia menghargai inisiatif kami ini. dan melihat juga bahwa ini sejalan dengan misi bank Indonesia kan, yaitu menuju cashless society. Jadi tentunya bank Indonesia memberikan perhatian yang cukup besar untuk bisa dalam proses perizinan ini bagaimana kita menyelesaikan dengan cukup cepat,” jelas Ongki.

Menuju masyarakat non tunai

Diakui atau tidak hadirnya startup yang membawa layanan non tunai masing-masing seperti GrabPay, GO-PAY, TokoCash, dan ShopeePay membantu pemerintah memasyarakatkan penggunaan uang non tunai. Bak gayung bersambut, sejak dicanangkan pada tahun 2014 silam gerakan nasional non tunai diikuti dengan perkembangan bisnis dan teknologi.

GrabPay dan beberapa layanan non tunai lainnya adalah contoh nyata sumbangsih dari pebisnis startup untuk mengedukasi masyarakat tentang keunggulan dan kelebihan penggunaan layanan non tunai. Terlebih startup-startup tersebut mulai mengembangkan bisnis secara horizontal sehingga menyasar lebih banyak segmen. Kemudahan tentu menjadi dasar didorongnya penggunaan uang non tunai. Keunggulan lain yang selama ini digadang-gadang adalah keamanan.

Application Information Will Show Up Here

Urgensi Perombakan Pasal 27 UU ITE

Perbincangan tentang risiko penyalahgunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah bergulir sejak lama, bahkan sejak regulasi itu mencuat ke publik. Setidaknya ada 45 pasal yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 (sebagai pembaruan dari UU No. 11 Tahun 2008) tersebut, sejauh ini Pasal 27 tentang “perbuatan yang dilarang”, seputar konten bermuatan pencemaran nama baik kerap kali dijadikan amunisi untuk menyerang kebebasan berpendapat yang dituangkan dalam jejaring sosial.

Poin-poin pada Pasal 27 UU ITE
Poin-poin pada Pasal 27 UU ITE

Pembaruan regulasi yang disahkan pada 27 Oktober 2016 mengusung beberapa perubahan. Spesifik pada Pasal 27, pembaruan dilakukan untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan yang tercantum pada Ayat 3, sehingga merilis beberapa penegasan di antaranya:

  • Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”.
  • Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
  • Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

Di luar Pasal tersebut, sesuai dengan pertimbangan yang dilansir, urgensinya memang sangat perlu untuk memastikan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam berbagai aspek berjalan sesuai ketentuan. Sebut saja Pasal 9 pada Bab III yang menjelaskan tentang ketentuan pelaku usaha yang menawarkan produk dan jasanya melalui sistem elektronik (digital) harus menyediakan kelengkapan informasi. Dilanjutkan pada pasal selanjutnya tentang sertifikasi usaha dan produk yang menjadi standardisasi, tak lain untuk memberikan rasa nyaman bagi konsumen secara umum.

Termasuk untuk sterelisasi informasi di internet, yang tersaji pada Pasal 28, mengatur tentang larangan penyebaran berita bohong dan informasi yang menimbulkan kebencian. Tentu ini menjadi bagian penting untuk melandasi keragaman yang ada di Indonesia, menghindarkan dari berbagai tindakan provokasi melalui sistem elektronik yang ujungnya memecah-belah bangsa. Menariknya, saat ini masih saja mudah ditemui ujaran kebencian dan sejenisnya di media sosial –yang cenderung banyak dibiarkan.

Detil aturan yang masih multitafsir

Jika berbicara misi perlindungan yang ingin ditegakkan, tidak ada yang salah sama sekali. Konsentrasinya justru ada pada detail, sering kali membuat poin-poin yang tertera disalah artikan. Misalnya pada Pasal 27 Ayat 3, seputar penyebaran informasi yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Revisi di UU ITE terakhir memberikan penjelasan bahwa sebuah informasi dikatakan menghina atau mencemarkan nama baik indikasinya merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) –khususnya pada Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP.

Sejatinya di sana sudah tertera dengan sangat jelas, misalnya tentang tindakan pencemaran nama baik.  Secara umum tindakan tersebut meliputi penistaan, penistaan dengan surat, fitnah, penghinaan ringan, dan pengaduan palsu. Namun masih saja daftar tersebut sering disalah gunakan. Dari kasus yang sudah ada, masalah utamanya adalah sulitnya untuk membedakan mana kritik, mana koreksi dan mana tindakan pencemaran.

Contoh kasusnya sudah banyak sekali, mulai dari kritik surel seorang ibu rumah tangga terhadap sebuah institusi kesehatan yang dikirimkan melalui email, hingga yang terakhir ramai dibincangkan netizen, tentang dikuaknya beberapa klaim sepihak atas prestasi seorang motivator oleh seorang melalui media sosial. Dari banyak kasus yang ada –terakhir yang juga dialami seorang standup comedian yang mengungkapkan keburukan pengembang apartemen—pelapor dalam hal ini pengunggah informasi tersebut menyertakan bukti yang menurutnya valid.

Namun dengan kekuasaan pihak yang merasa dirugikan, justru serangan balik yang lebih kencang dilontarkan, dengan dalih penegakan hukum. Kerap kali netizen geram, yang akhirnya meluluhkan serangan tersebut. Pembuktian atas informasi yang disampaikan –yang dianggap merugikan pihak pelapor—justru bukan menjadi misi utama di awal. Apakah karena proses hukum tindakan yang diambil untuk menutupi?

Urgensi membuat proses hukum lebih akuntabel

Salah satu indikasi efektivitas sebuah aturan adalah ketegasan. Sebaliknya, kegagalannya jika aturan tersebut menjadi sebuah “pasal karet”, bisa elastis mengikuti kepentingan. Kasus yang terjadi di atas, sangat dimungkinkan pangkalnya pada pasal yang masih elastis tersebut. Dari pola kasus yang ada, elastisitas tersebut cenderung mudah dimanfaatkan pihak berkuasa –salah satunya membungkam kebebasan berpendapat, khususnya dalam mengungkap sebuah kekeliruan.

Jadi dalam hal ini tegas mengatakan, bahwa ada urgensi untuk mengulas kembali untuk memberikan sebuah ketegasan dan prosedur yang jelas atas poin-poin yang memiliki kemungkinan untuk disalahartikan.

Mahkamah Agung Cabut Permenhub Terkait Layanan Transportasi Online

Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 (Permenhub) disebutkan beberapa keberatan terkait keberadaan layanan transportasi online (taxi online) di Indonesia. Peraturan yang berisikan tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, menyimpulkan beberapa peraturan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh layanan transportasi online.

Dalam keberatan yang diajukan, angkutan sewa khusus sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) wajib memenuhi pelayanan seperti, wilayah operasi berada di dalam kawasan perkotaan, tidak terjadwal, dari pintu ke pintu, tujuan perjalanan ditentukan oleh jasa, tarif angkutan tertera pada aplikasi berbasis teknologi informasi, penentuan tarif dilakukan berdasarkan tarif batas atas dan batas bawah atas dasar usulan dari Gubernur/Kepala badan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri setelah dilakukan analisa dan masih banyak lagi (pasal 19 ayat 2).

Menanggapi peraturan tersebut, hari ini (22/8) Mahkamah Agung secara resmi mencabut Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang transportasi online. Keputusan tersebut diumumkan Mahkamah Agung langsung melalui situs MA.

“Menyatakan pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” putus MA, dikutip dari situs resmi MA, Selasa (22/8/2017).

Sedikitnya ada beberapa 14 poin yang tertuang di 14 pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Hal tersebut dilakukan karena berlawanan dengan Undang Undang yang lebih tinggi. Sebelumnya uji materi tersebut didaftarkan oleh enam pengemudi transportasi online.

“Dengan memanfaatkan keunggulan pada sisi teknologi untuk bermitra dengan masyarakat pengusaha mikro dan kecil dengan konsep sharing economy yang saling menguntungkan dengan mengedepankan asas kekeluargaan sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945,” tertulis dalam putusan.

MA mendukung keberadaan “sharing economy” di Indonesia

Hal menarik yang perlu digarisbawahi dalam putusan MA ini adalah adanya keputusan sepihak tanpa melibatkan pihak terkait (stakeholder, komunitas hingga penyelenggara layanan transportasi online) saat perumusan keputusan tersebut disampaikan. Melihat perkembangan dan fakta yang ada, hadirnya layanan transportasi online seperti GO-JEK, Grab hingga Uber, telah membuka lapangan pekerjaan dan membantu masyarakat umum untuk bekerja, sekaligus memudahkan orang banyak mendapatkan transportasi alternatif.

“Seharusnya didasarkan pada asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di bidang jasa transportasi sehingga secara bersama dapat menumbuh kembangkan usaha ekonomi mikro, kecil dan menengah, tanpa meninggalkan asas kekeluargaan,” jelas majelis hakim seperti tertuang dalam lembar putusan.

Pembatasan yang diajukan dalam Permenhub tersebut, menurut MA, bertentangan dengan undang-undang yang kedudukan hukumnya lebih tinggi. Dalam hal ini hakim berpendapat pembatasan untuk transportasi online telah membatasi pertumbuhan usaha mikro dan bertentangan dengan Undang-Undang UMKM.

Yang Diinginkan Pemerintah Agar Tak Lagi Terjadi Pemblokiran Layanan

Masalah pemblokiran situs Telegram menjadi kegaduhan di jagat maya beberapa waktu lalu. Pro-kontra pendapat tentang tindakan pemerintah tersebut bergulir, antara membela dan mengecam. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, DailySocial coba berdiskusi dengan Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam diskusi tersebut dipaparkan tentang konsolidasi yang diinginkan pemerintah dengan para penyedia layanan seperti Telegram atau sejenisnya.

Tiga hal yang menjadi keharusan perusahaan penyedia layanan aplikasi

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian Kemkominfo, dalam hal ini melalui Dirjen Aplikasi Informatika, terkait dengan kehadiran perusahaan penyedia layanan aplikasi. Pertama adalah dibangunnya jalur komunikasi khusus antara pihak perusahaan yang menjalankan bisnis dengan pemerintah. Harapannya bisa melakukan koordinasi yang intensif saat menjalankan kegiatan operasional di Indonesia.

Kedua ialah terkait kebutuhan SOP (Standard Operating Procedure) dan sepaham terkait kaidah dan prinsip konten negatif. Hal ini sejalan dengan antisipasi yang diinginkan pemerintah mencegah terjadinya penyebaran isu sara, terorisme hingga hoax. Kemudian yang ketiga Kemkominfo menginginkan setiap perusahaan tersebut memiliki tim khusus untuk menjalankan SOP tersebut.

Terkait perlunya kantor perwakilan di Indonesia, pemerintah masih menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan, asalkan ketiga hal tersebut di atas dapat dijalankan dengan baik. Namun demikian, jika merujuk pada Surat Edaran Menkominfo No. 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet, penyedia layanan atau konten dapat disediakan oleh badan usaha asing dengan ketentuan wajib mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Tentang mekanisme pemblokiran oleh pemerintah

Secara prosedur, konten atau layanan yang diblokir Kemkominfo berawal dari laporan dari masyarakat dan/atau lembaga penegak hukum/lembaga peradilan/lembaga lainnya. Laporan yang ditindaklanjuti untuk pertimbangan pemblokiran ialah temuan pemuatan konten pornografi, pelanggaran privasi, menyinggung SARA, kegiatan ilegal (biasanya dilaporkan Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan) dan muatan lainnya yang berdampak negatif bagi masyarakat dan negara.

Kondolidasi tetap akan dilakukan sebelum adanya keputusan untuk memblokir situs atau aplikasi tertentu. Sehingga menurut Kemkominfo penyedia layanan atau pemilik konten seperti Telegram perlu memastikan bahwa mereka siap menindaklanjuti laporan yang disampaikan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika mengenai adanya muatan negatif. Lebih jauh, kewajiban penyedia layanan aplikasi dan/atau konten diatur bagian 5.5. pada Surat Edaran Menkominfo No.3 Tahun 2016.

5.5 Kewajiban Penyedia Layanan Over The Top

5.5.1 Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, perdagangan, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, penyiaran, perfilman, periklanan, pornografi, anti terorisme, perpajakan; dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
5.5.2   Melakukan perlindungan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.|
5.5.3   Melakukan filtering konten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.5.4   Melakukan mekanisme sensor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.5.5   Menggunakan sistem pembayaran nasional (national payment gateway) yang berbadan hukum Indonesia;
5.5.6   Menggunakan nomor protokol internet Indonesia;
5.5.7  Memberikan jaminan akses untuk penyadapan informasi secara sah (lawful interception) dan pengambilan alat bukti bagi penyidikan atau penyelidikan perkara pidana oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
5.5.8    Mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan layanan dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

Induk Bisnis Fastpay dan WinMarket Peroleh Izin Penerbitan E-Money dari BI

Satu lagi penyedia layanan e-money mendapatkan perizinan resmi penyelenggara uang elektronik dari Bank Indonesia (BI). Tepatnya per 14 Juni 2017 lalu, dengan nomor izin 19/467/DKSP/Srt/B, PT Bimasakti Multi Sinergi (BM) resmi terdaftar.

BM dikenal sebagai perusahaan ritel yang mengoperasikan beberapa unit digital. Salah satunya WinMarket, sebuah layanan e-commerce yang menyasar segmentasi khusus pasar UMKM di Indonesia. Selain itu BM juga menjadi perusahaan penggerak layanan e-payment Fastpay.

Total ada 10 unit bisnis digital yang dikelola BM, yakni: Fastpay, BebasBayar, SpeedCash, FastTravel, TiketKAI.com, JadiPergi.com, RajaBiller, GigaPulsa, WinMarket dan PlasaMall.

Kami sudah mencoba menghubungi tim komunikasi BM untuk mendapatkan informasi seputar visi e-money dalam platform yang mereka miliki. Jika melihat spesifikasi unit bisnis yang dimiliki, kemungkinan besar akan ada semacam integrasi antara satu layanan dengan lainnya melalui Fastpay.

Penerbitan izin ini menambah jajaran perusahaan e-money lokal yang berizin resmi, setelah sebelumnya penggarap GudangVoucher juga mendapatkan perizinan dari BI.

[Baca juga: Angin Segar dari Bank Indonesia tentang Lisensi Uang Elektronik]

Jika berbicara tentang bisnis finansial secara umum, saat ini memang dominasi penetrasi masih banyak dikuasai oleh sistem pembayaran dan p2p lending. Menariknya keduanya kini telah mendapatkan dukungan oleh regulator, kaitannya dengan izin operasi. Salah satu fungsinya untuk memastikan kredibilitas setiap layanan, karena walau bagaimanapun apa yang disuguhkan berdampak langsung pada perputaran finansial di masyarakat.

Berbicara tentang data potensi uang elektronik di Indonesia, data statistik dari BI sepanjang tahun 2016 menerangkan jumlah uang elektronik beredar mencapai 51,2 juta kartu, tumbuh 49,22% secara year-on-year (YOY). Sementara dari segi volume transaksi 683,13 juta tumbuh 27,6% dengan nominal transaksi tumbuh 33,69% senilai Rp7,06 triliun.

Dari sebuah survei yang melibatkan lebih dari 1000 responden di kalangan konsumen pada awal tahun 2017 lalu menunjukkan statistik  52,49% dari responden survei menyatakan bahwa siap untuk beralih ke layanan pembayaran digital di waktu mendatang.

Saat berbicara spesifik terhadap generasi millennials (menyurvei 689 responden dari seluruh wilayah Indonesia), 63% di antaranya sudah mulai memanfaatkan layanan pembayaran digital.

Beriringan tapi Tidak Sejalan, Tanggapan Terhadap Permenhub Nomor 32 Tahun 2016

Hari Jumat, (23/3), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kepada media mengatakan bahwa Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek sudah final. Tidak ada akan dilakukan revisi kembali. Hal ini didukung dengan diadakannya sosialisasi kepada pihak yang terkait hari Minggu kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Budi Karya kembali memaparkan bahwa tujuan peraturan tersebut dirilis untuk membangun kesetaraan agar penyaji jasa transportasi online atau berbasis aplikasi dan taksi konvensional dapat berjalan secara beriringan.

Apakah bisa beriringan seperti yang didambakan?

Salah satu kekhawatiran pemain konvensional adalah pasar yang didominasi layanan transportasi berbasis aplikasi. Kematangan strategi digital dan pendanaan besar menjadi formula instan agar para penyedia jasa transportasi on-demand cepat mendapatkan pangsa pasar.

Di balik kemudahan dan transparansi yang diberikan melalui aplikasi, para penyedia layanan on-demand juga memiliki dukungan pendanaan yang sangat kuat.

Sebut saja startup lokal “Go-Jek” yang kini sudah memiliki valuasi $1,3 miliar dan terakhir mendapatkan dana $550 juta (sekitar 7,3 triliun Rupiah). Para investor percaya pada proses bisnis dan potensi yang dimilikinya.

Tak hanya itu, pemain luar (Grab dan Uber) juga turut menimbrung dengan dekengan pendanaan yang sangat besar. Terakhir dikabarkan Grab meraih pendanaan baru senilai 20 triliun Rupiah yang dipimpin Softbank.

Coba kita bandingkan perolehan dana tersebut dengan anggaran transportasi yang dikucurkan di sektor publik Indonesia saat ini secara umum.

Pembangunan MRT (Mass Rapid Transit) tahap pertama di Jakarta membutuhkan dana Rp24,9 triliun setelah ada kenaikan dari perhitungan sebelumnya. Sementara tahun ini, besaran subsidi (bukan biaya operasional) yang diajukan (bukan disetujui) TransJakarta senilai Rp3,2 triliun.

Keduanya memiliki perbandingan yang sama kuat untuk memberikan solusi terhadap kebutuhan transportasi publik di Indonesia. Tidak untuk dibandingkan secara apple-to-apple, angka tersebut di atas menunjukkan keseriusan dan kekuatan jasa transportasi online.

Konsumen menentukan pilihan akhir

Keberpihakan konsumen pada akhirnya tetap akan berujung pada kenyamanan mereka menggunakan jasa yang ada. Permenhub No 32 Tahun 2016 di media sosial cenderung mendapatkan sentimen negatif. Mengapa layanan transportasi on-demand dipilih? Sederhananya karena mudah digunakan dan relatif lebih murah jika dibandingkan layanan konvensional, meskipun bisa dimengerti karena layanan konvensional mengklaim ada beberapa komponen tarif tambahan yang memberatkan.

Baru saja DailySocial merilis sebuah survei tentang layanan on-demand di Indonesia. Dalam survei tersebut dapat disimpulkan beberapa hal. Secara umum masyarakat bereaksi positif terhadap artinya aplikasi on-demand.

Terkait “gangguan” yang ditimbulkan layanan on-demand, tak sedikit pula yang menyatakan tidak takut bahwa ragam layanan yang muncul akan mengubah sistem dalam kehidupannya sehari-hari, karena tendensinya justru memberikan efisiensi dan efektivitas. Terakhir masyarakat merasa beruntung dengan kehadiran layanan on-demand, karena memunculkan banyak kesempatan untuk bekerja.

On-Demand 1

Di sisi lain, konsumen pun menuntut para penyedia jasa untuk melakukan improvisasi, di sisi teknis ataupun non teknis, mulai dari kejelasan unsur legal, kualitas aplikasi, pilihan pembayaran, variasi kanal pembayaran (dalam hal ini kerja sama dengan bank), hingga perluasan jangkauan layanan.

Berkali-kali sudah dinyatakan bahwa modernisasi adalah sebuah proses yang tak akan berujung. Selalu akan ada pembaruan. Hadirnya layanan on-demand adalah salah satu pembaruan yang hadir di sektor transportasi. Dinamika penolakan layanan on-demand seperti ini memberikan ketidaknyamanan tersendiri soal kestabilan ekonomi, yang bisa berujung ditahannya investasi dari luar negeri.

Menunggu dampak

Pemerintah sudah memastikan peraturan tersebut  akan berlaku mulai awal bulan depan. Poin-poin penting aturan itu meliputi:

  • Pengemudi taksi online harus memakai tanda khusus berupa stiker.
  • Jumlah kendaraan yang beredar harus disesuaikan dengan kebutuhan.
  • Ada batasan tarif atas dan tarif bawah.
  • Akses dashboard perusahaan taksi harus diketahui oleh pemerintah.
  • Penempatan pusat data di Indonesia untuk perusahaan luar yang menyediakan jasa on-demand.

Dalam beberapa hari ke depan, kita lihat bagaimana dampak berlakunya peraturan baru ini terhadap pertumbuhan layanan online di Indonesia, khususnya di sektor transportasi. Jangan sampai kondisi beriringan yang diharapkan pemerintah tidak berjalan.