Kebimbangan Seputar TKDN untuk Produk Smartphone Masih Berlanjut

Kembali lagi pemerintah menggegerkan kabar seputar TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) untuk ponsel 4G LTE, kali ini pemerintah membatalkan rencana penerapan lima skema persyaratan TKDN yang sebelum telah diajukan untuk ditaati oleh industri. Lima skema tersebut ialah seputar opsi persentase kandungan software dan hardware yang harus dipenuhi oleh pengusung perangkat smartphone dengan kapabilitas 4G LTE.

Seperti dikutip oleh Kompas, dikonfirmasi langsung oleh Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), I Gusti Putu Suryawirawan, bahwa pembatalan ini lebih dikarenakan kebanyakan industri keberatan dengan skema tersebut, dan terus mendorong pemerintah untuk mengubahnya. Putu mengatakan bahwa supaya lebih tegas, investasi TKDN harus memiliki opsi yang lebih kuat, di bidang hardware saja atau software.

Sebelumnya pernyataan keberatan terhadap peraturan TKDN yang akan diterbitkan pemerintah dilontarkan oleh Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI). Melalui Wakil Ketua AIPTI Lee Kang Hyun disampaikan bahwa inti keberatan tersebut adalah soal keberadaan pilihan 100 persen software. Seperti diketahui lima skema yang ditawarkan pemerintah adalah (1) 100 persen hardware; (2) 75 persen hardware dan 25 persen software; (3) 50 persen hardware dan software; (4) 25 persen hardware dan 75 persen software; (5) 100 persen software.

Pembentukan skema baru, hanya dua opsi, 100 persen hardware atau software

Skema yang baru (100 persen hardware atau software) sampai tahap digodok di biro hukum perindustrian tersebut juga akan menentukan varian produk yang diperbolehkan beredar di pasaran berdasarkan rentang harga. Misalnya, bila investasi hanya di lingkungan software saja, maka vendor tersebut hanya diizinkan untuk mengimpor ponsel 4G LTE di kisaran harga Rp 8 juta. Namun saat ini tiga kementerian yang meliputi Kemenperin, Kementerian Perdagangan (Kemendag), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) masih terus merumuskan skema yang mampu menghasilkan keuntungan rata untuk berbagai pihak.

AIPTI siap menggugat melalui PTUN jika pemerintah tetap merilis pilihan 100 persen software untuk pemenuhan TKDN. Sementara pemerintah beranggapan, seperti disampaikan Menkominfo Rudiantara, bahwa bila industri hanya berkutat di investasi hardware, Indonesia bisa menjadi negara negara buruh. Yang diinginkan adalah tumbuhnya inovasi lokal dari kehadiran dan investasi para industri tersebut.

Kebijakan TKDN sendiri sampai saat ini juga sudah memakan “korban”. Beberapa vendor secara tegas menyatakan berat untuk menjual varian ponsel tertentu di Indonesia, seperti OnePlus dan Huawei misalnya.

Melihat Bagaimana Proses Digital Menumbuhkan Keyakinan

Sebuah pernyataan menarik beberapa waktu lalu disampaikan oleh CEO Yonder Music Adam Kidron. Dalam presentasinya, ia mengungkapkan bahwa orang Indonesia cenderung lebih suke menikmati musik gratis, baik melalui layanan file-sharing ataupun streaming (seperti YouTube), ketimbang membeli musik. Adam juga mempertegas argumennya dengan menyajikan sebuah data bahwa dari total populasi Indonesia, hanya 1 persen yang segan membayar untuk sebuah musik. Industri yang ada saat ini ada begitu gencar memperebutkan angka 1 persen tersebut.

Menurut Adam, yang perlu dilakukan industri musik adalah membuka pangsa pasar yang lebih besar, yakni dengan menghadirkan layanan yang terjangkau. Ia pun memamerkan upaya Yonder untuk menggerus pasar tersebut, yakni dengan memperkuat keterlibatan Axiata Group, di Indonesia melalui XL Axiata, untuk kebutuhan transaksi dan distribusi produk. Dalam presentasinya, Adam juga sempat membandingkan layanan streaming musik yang diusung dengan pemain yang saat ini sedang naik daun di Indonesia, yakni Spotify.

Menurut Adam, biaya yang dikeluarkan untuk berlangganan Yonder lebih murah ketimbang layanan streaming asal Swedia yang mematangkan kemitraan dengan Indosat Ooredoo di Indonesia tersebut. Selain itu Yonder juga dianggap unggul karena memiliki koleksi lebih dari 600.000 lagu dangdut Indonesia.

Membawa konsumen ke akses musik yang lebih baik

Saya sengaja memberikan pengantar dengan berita persaingan antara Yonder dengan Spotify di atas. Industri yang sudah membuat orang banyak pesimis ternyata masih bisa untuk dibangun ke arah yang lebih mapan. Beberapa waktu lalu, sebelum hype Spotify hadir di Indonesia, saya pun sudah menuliskan opini yang sama, bahwa melawan pembajakan dengan berusaha menghancurkan akan banyak sia-sianya. Dibentuk satgas, melakukan operasi, melakukan edukasi dan berbagai macam lainnya. Isunya justru kepada kemudahan akses ke layanan legal.

Saat ini, berlangganan membayar ataupun tidak, orang bisa mendengarkan musik secara legal. Kehadiran akses broadband yang makin meluas memberikan keuntungan tersendiri bagi berbagai sektor. Musik pun masuk di dalamnya. Oleh karenanya saya sendiri sering heran ketika mendengar oknum dari berbagai kalangan meminta atau melakukan pemblokiran terhadap layanan tertentu. Akses ke film legal misalnya, harusnya selalu dipikir dari berbagai sisi, bahwa ada industri yang diselamatkan dari kehadiran layanan tersebut.

Kepercayaan diri terhadap digitalisasi

Pola digitalisasi seperti ini saya rasa menjadi sesuatu yang dapat direplikasi, tentu dengan skema yang berbeda. Jika sebelumnya kita berbicara tentang layanan musik, contoh lainnya kita bisa melihat dari maraknya layanan on-demand yang berhasil mengubah pasar, misalnya dengan menghidupkan kembali transportasi publik atau memberikan efisiensi layanan pesan jasa tertentu. Banyak alasan yang seharusnya membuat industri jadi lebih percaya diri dengan digitalisasi.

Seketika saya ingat isu yang terakhir beredar seputar usulan pemblokiran layanan Google dan YouTube, yang menurut saya sama sekali tidak masuk akal. Ini tak jauh beda dengan kebimbangan pemerintah beberapa waktu lalu berniat memblokir Tumblr namun tidak jadi. Sisi buruk memang selalu ada, namun sisi positif yang lebih besar layak menjadi pertimbangan untuk kita memilih jalan memperkecil yang buruk ketimbang menghanguskan sisi positif yang sudah terbangun. Bayangkan saja jika akses Google dan YouTube diblokir, berapa banyak industri yang kalang kabut olehnya.

Harapan untuk tatanan yang lebih baik

Terlalu prematur jika saat ini regulator begitu disibukkan dengan blokir sana-sini dengan dalih menyelamatkan harkat dan mental generasi muda. Konten negatif selalu menjadi kambing hitam, padahal merusak tatanan digital yang sedang bertumbuh sama saja dengan menggunting jembatan transformasi kemajuan yang segera muncul. Tak muluk-muluk untuk berharap, semoga berpikir bijak akan makin membudaya. Semoga.

Pembahasan RPM Menkominfo tentang Kewajiban Layanan OTT di Indonesia

Akhir Maret lalu, Menkominfo menerbitkan Surat Edaran Menkominfo No. 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet (Over The Top) yang bermaksud memberikan para penyedia layanan OTT waktu untuk bersiap-siap menyambut rancangan peraturan Menkominfo mengenai layanan OTT di Indonesia.

Rancangan Peraturan Menkominfo tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet (RPM Menkominfo) telah tersedia untuk uji publik akhir April lalu. Pada kesempatan ini, kita selaku penyedia atau penikmat layanan OTT dapat mengkritisi RPM Menkominfo dan memberikan masukan. Sayangnya, masa uji publik ini sangat terbatas dan jadwalnya bakal berakhir 12 Mei besok.

Melalui artikel ini, kami bermaksud untuk menerangkan isi RPM Menkominfo tersebut. Dalam RPM Menkominfo, dinyatakan bahwa dokumen ini diperlukan supaya:
a. tercipta iklim usaha yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi;
b. mengembangkan industri kreatif dalam negeri di tengah iklim usaha global;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. menciptakan kompetisi yang sehat.

Lebih lanjut, RPM Menkominfo ini juga menyatakan bertujuan melindungi kepentingan masyarakat, penyelenggara telekomunikasi, dan kepentingan nasional. Apa benar demikian?

Kewajiban Layanan OTT sesuai dengan RPM Menkominfo

Dalam RPM Menkominfo tersebut, Layanan Aplikasi adalah penggunaan perangkat lunak yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan chatting/instang messaging, serta layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan pengambilan data, mesin pencari, game, jejaring dan media sosial, termasuk turunannya dengan memanfaatkan akses internet.

Sementara Layanan Konten adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, game atau kombinasi darinya, termasuk dalam bentuk yang streaming atau download dengan memanfaatkan akses internet.

Yang disebut sebagai Layanan OTT adalah Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten, jadi baik pembuat aplikasi maupun pembuat konten bisa dikategorikan sebagai layanan OTT.

Penyedia Layanan OTT lokal dapat berbentuk perorangan atau badan usaha. Sementara penyedia Layanan OTT asing wajib berbentuk setidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sebelumnya, kami sudah pernah membahas soal BUT terkait dengan usaha OTT.

Bagaimana kewajiban layanan OTT di Indonesia? Layanan OTT disebutkan wajib melakukan perlindungan dan kerahasiaan data. Kemudian, Layanan OTT juga wajib menggunakan nomor protokol internet Indonesia dan menempatkan sebagian server dalam data center di Indonesia. Data rekaman transaksi dan trafik juga harus disimpan selama minimal 3 bulan. Jika data rekaman tersebut digunakan dalam proses peradilan, maka harus disimpan hingga terdapat putusan pengadilan berkekuatan tetap.

Dalam kegiatannya, Layanan OTT wajib melakukan filter konten dan mekanisme sensor sesuai dengan peraturan di Indonesia. Selain itu, Layanan OTT dapat dilakukan dengan meminta pembayaran atau tidak. Apabila berbayar, Layanan OTT wajib menggunakan payment gateway nasional yang berbadan hukum Indonesia.

Selanjutnya, segala informasi dan/atau petunjuk penggunaan Layanan OTT harus ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, Layanan OTT juga harus menyediakan pusat kontak informasi, dan setiap pertanyaan dan/atau pengaduan harus ditanggapi dalam 1 x 24 jam.

Terdapat beberapa hal yang dilarang disediakan dalam muatan Layanan OTT, di antaranya muatan yang mengandung hate speech, menimbulkan konflik SARA, bertentangan dengan peraturan, menodai agama, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, pornografi, dan lain-lain.

Layanan OTT juga wajib menjamin akses penyadapan informasi secara sah dan pengambilan alat bukti dalam rangka keperluan perkara pidana oleh aparat penegak hukum. Kemudian, penyedia Layanan OTT juga wajib menyampaikan laporan tahunan ke BRTI yang setidaknya memuat informasi jumlah pelanggan dan statistik trafik layanan.

Sehubungan dengan fungsi telekomunikasi Layanan OTT, RPM Menkominfo belum dapat mengambil keputusan dan memiliki beberapa opsi:
a. Penyedia Layanan OTT dapat bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi.

b. Dalam hal Layanan OTT memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, penyedia Layanan OTT wajib bekerja sama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi.

c. Dalam hal Layanan OTT memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, penyedia Layanan OTT wajib menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi.

Tidak dijelaskan seluas apa lingkup dari kerja sama yang dimaksud. Apakah termasuk penentuan profit sharing dan penentuan tarif? Bagaimana jika layanan OTT tersebut tidak memungut biaya, seperti yang ditawarkan oleh layanan messaging saat ini?

Jika RPM Menkominfo disahkan menjadi peraturan yang berlaku secara nasional, Layanan OTT yang sudah ada diberikan waktu 9 bulan untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru ini. Pendirian badan usaha atau BUT di Indonesia tentunya melibatkan instansi pemerintah selain Kementerian Komunikasi dan Informatika. Alangkah baiknya apabila seluruh instansi tersebut dapat bekerja sama supaya kewajiban penyesuaian di atas dapat selesai dalam 9 bulan saja.

RPM Menkominfo ini masih berstatus uji publik dan kita berhak untuk menyampaikan kritik serta saran kepada Menkominfo. Masukan dan tanggapan kita dapat dilayangkan ke [email protected] atau telepon 0815-1898881 hingga 12 Mei 2016.

Komentar

Menurut kami, berdasarkan kajian hukum dan teknologi, apa yang diminta oleh Pemerintah cukup tidak masuk akal. Bayangkan sebuah layanan OTT, misalnya WhatsApp yang merupakan layanan messaging terpopuler di Indonesia saat ini, harus mengakomodasi semua hal yang dicetak tebal di atas. Mereka harus menyediakan data center di Indonesia, membuka akses ke pemerintah ketika dibutuhkan, dan bekerja sama dengan operator seluler lokal karena memiliki fitur menyerupai layanan telekomunikasi. Sesuatu hal yang kemungkinan besar sulit dipenuhi secara keseluruhan oleh WhatsApp sekalipun.

Mungkin yang dimaksud oleh Pemerintah adalah kehadiran aplikasi lokal, yang bisa menyaingi WhatsApp, dan bisa digdaya di negeri sendiri. Jika ternyata WhatsApp tidak mampu, atau tidak mau mengakomodasi semua yang disyaratkan Pemerintah tersebut, apakah WhatsApp akan diblokir? Apakah pengembang lokal, dalam waktu 9 bulan ke depan, mampu menghasilkan sebuah platform messaging dengan kualitas sekelas WhatsApp?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya disampaikan ke pihak pemerintah sebelum masa uji publik berakhir besok.


Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.

Akibat Regulasi Baru, Gerak Uber, GrabCar, dan Go-Car Semakin Dipersulit

Peraturan Menteri Perhubungan baru saja disahkan. Dengan indeks nomor PM 32 Tahun 2016, peraturan ini spesifik mengatur penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek. Bisa dikatakan aturan ini meregulasi layanan transportasi umum seperti taksi dan kendaraan . Lebih spesifik lagi, motifnya bisa dibilang untuk “menertibkan” layanan aplikasi berbasis aplikasi. Mari kita simak aturan yang telah dirilis.

Di luar pembahasan seputar taksi sebagai moda transportasi tidak dalam trayek, dalam pasal 11 dijelaskan seputar detil angkutan orang dengan tujuan tertentu, yakni angkutan yang melayani antar jemput, permikiman, angkutan karyawan, carter dan angkutan sewa. Sebagai kendaraan sewa, layanan Uber, GrabCar dan Go-Car masuk dalam kategori ini.

Pembahasan

Angkutan sewa sendiri diatur khusus dalam pasal 18. Dari aturan tersebut disebutkan beberapa poin yang menjadi kriteria wajib yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa, di antaranya:

  1. Wilayah operasi pelayanan tidak dibatasi oleh wilayah administratif.
  2. Tidak terjadwal.
  3. Pembayaran tarif sesuai dengan perjanjian antara pengguna jasa dengan perusahaan angkutan.
  4. Penggunaan kendaraan harus melalui pemesanan atau perjanjian, tidak menaikkan penumpang secara langsung di jalan.
  5. Wajib memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan.
  6. Menggunakan kendaraan mobil penumpang umum minimal 1.300 cc.

Kriteria tersebut di atas jika diaplikasikan ke layanan transportasi berbasis aplikasi yang saat ini ada secara umum sudah memenuhi. Namun masuk ke aturan yang ditulis pada poin selanjutnya seputar persyaratan angkutan yang digunakan, yakni:

  1. Dilengkapi tanda nomor kendaraan dengan warna dasar plat hitam dengan tulisan putih yang diberi kode khusus.
  2. Dilengkapi dengan tanda khusus berupa stiker.
  3. Dilengkapi dokumen perjalanan yang sah, berupa surat tanda nomor kendaraan atas nama perusahaan, kartu uji dan kartu pengawasan.
  4. Dilengkapi nomor pengaduan masyarakat di dalam kendaraan.

Poin ketiga terasa yang paling memberatkan. Konsep sharing economy dalam tranportasi berbasis aplikasi perusahaan hanya menyediakan platform sebagai perantara antara pemilik kendaraan (pribadi) dengan konsumen. Hampir dibilang sangat tidak memungkinkan untuk kepemilikan surat tanda kendaraan (STNK) atas nama perusahaan.

Meneruskan pada pasal selanjutnya yakni pasal 21, yang mewajibkan seluruh komponen dalam penyedia angkutan tidak dalam trayek untuk mengantongi izin pengelenggaraan. Hal ini juga akan turut membebankan kepada perusahaan dengan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak. Semua penyelenggara wajib berbadan hukum, dalam bentuk:

  1. Badan usaha milik negara.
  2. Badan usaha milik daerah.
  3. Perseroan terbatas.
  4. Koperasi.

Sementara ini layanan transportasi memilih untuk berdiri dalam bentuk koperasi, seperti yang telah dilakukan Grab dan Uber.

Dan untuk memperoleh perizinan juga dikenakan syarat (tercantum pada pasal 23), yakni:

  1. Memiliki paling sedikit 5 kendaraan dengan dibuktikan dengan STNK atas nama perusahaan dan surat tanda bukti lulus uji berkala kendaraan bermotor.
  2. Memiliki tempat penyimpanan kendaraan.
  3. Menyediakan failitas pemeliharaan kendaraan.
  4. Mempekerjakan pengemudi yang memiliki SIM Umum sesuai golongan kendaraan.

Perizinan tersebut akan diberikan berupa beberapa dokumen sebagai berikut (tertuang pada pasal 24):

  1. Surat izin penyelenggaraan angkutan.
  2. Surat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi kewajiban melayani angkutan sesuai dengan izin yang diberikan.
  3. Kartu pengawasan.

Seputar pemanfaatan aplikasi sendiri diatur dalam pasal 40. Penggunaan aplikasi dalam sistem transportasi diperbolehkan. Di pasal 41 diterangkan pada poin pertama, bahwa perusahaan penyedia aplikasi wajib bekerja sama dengan perusahaan angkutan umum yang telah memiliki izin penyelenggaraan. Karena perusahaan aplikasi tidak diperbolehkan bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum, sehingga tidak diperbolehkan untuk melakukan beberapa hal berikut:

  1. Menetapkan tarif dan memungut bayaran.
  2. Merekrut pengemudi.
  3. Menentukan besaran tarif pengemudi.

Sedangkan untuk kendaraan yang tidak dalam trayek juga harus mengikuti ketentuan pasal 21, 22 dan 23, yang artinya harus tetap bekerja sama dengan pihak yang berizin. Misalnya kendaraan operasional harus dengan STNK atas nama perusahaan.

Kesimpulan

Layanan Uber, GrabCar dan Go-Car harus merevolusi proses bisnis yang ada saat ini untuk dapat beroperasi di atas naungan regulasi yang benar. Konsep sharing economy tidak bisa benar-benar melibatkan komponen perorangan secara pribadi, karena kendaraan diwajibkan ber-STNK atas nama perusahaan jasa transportasi.

Sudah jelas, bahwa aturan manis ini memang didesain untuk mematikan konsep layanan transportasi berbasis aplikasi yang saat ini ada. Kecuali tiba-tiba aturan ini dicabut, seperti yang sudah terjadi saat dua polemik sebelumnya, mitra pengemudi Uber, GrabCar, dan Go-Car hanya bisa mengemudikan mobil yang terdaftar atas nama perusahaan penyewaan atau koperasi.

Pajak Cuma-cuma Tunjukkan Pemerintah Terlalu Gegabah Hadapi Ekonomi Digital

Baru-baru ini pemerintah dikabarkan sedang mewacanakan mengenai kebijakan pajak cuma-cuma terhadap model bisnis e-commerce, di antaranya model classified ads, marketplace, daily deals dan online retail. Pajak cuma-cuma ini konsepnya pemerintah akan mengenakan pajak (dalam bentuk PPN) kepada model bisnis yang disebutkan tadi.

Jika regulasi ini benar-benar diterapkan, artinya ketika ada orang yang akan mengiklankan produknya di layanan iklan baris digital atau online marketplace, seperti OLX atau Tokopedia misalnya, maka akan dikenakan pajak. Padahal selama ini proses tersebut gratis.

Sontak hal ini mendapatkan pertentangan keras dari hampir semua pemain di industri digital. Salah satunya diutarakan Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum Asosiasi eCommerce Indonesia (idEA) sekaligus CEO OLX Indonesia. Daniel mengutarakan bahwa pajak cuma-cuma tak cocok diterapkan di bisnis online.

Semangat kemunculan internet adalah memberikan efisiensi, salah satunya memberikan layanan gratis untuk berbagai hal, termasuk mengiklan. Berbeda dengan bisnis konvensional, semuanya dilakukan dalam step yang panjang, sehingga memerlukan transaksi di sana-sini, yang bisa saja dikenakan pajak.

Hal serupa disampaikan CEO Bhinneka Hendrik Tio. Menurutnya pajak cuma-cuma ini ujung-ujungnya akan membuat para pemain e-commerce bingung. Dalam pernyataannya ia tegas mengungkapkan, bahwa para pemain e-commerce siap untuk membayar pajak, dengan dasar hukum yang jelas dan alokasi yang tepat.

Terkait pajak cuma-cuma sendiri Hendrik menyampaikan bahwa itu sama saja tidak adil. Menurutnya proses bisnis iklan digital atau marketplace ini dari ujung ke ujung sudah gratis, artinya dari konsumen ke konsumen dalam mengiklan tidak ada yang ditarik biaya, maka tidak ada pajak yang seharusnya dibayarkan.

CEO Bukalapak Achmad Zaky turut menanggapi seputar wacana pajak cuma-cuma ini. Menurutnya jika pemerintah menerapkan peraturan tersebut, maka para pelapak (sebutan bagi pengiklan di portal marketplace Bukalapak) menjadi kurang kompetitif. Mereka bisa saja kembali ke model underground, misalnya kembali melalui Facebook atau BBM. Model seperti itu akan kembali membawa pasar pada proses jual beli yang kurang terstruktur, karena tidak ada perantara yang memastikan transaksi aman dan nyaman.

Masyarakat sudah teredukasi sejak hype internet muncul bahwa ia menawarkan berbagai layanan gratis. Hal tersebut yang ditekankan oleh Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya. William mengungkapkan:

“Harapan kami jika ada pajak baru, aturan tersebut tidak sampai membunuh model bisnis tertentu yang sangat dinamis di industri internet dan memberikan ruang inovasi bagi pemain lokal agar mampu bersaing di era internet yang borderless dan global. Harapan ke depannya, Indonesia tidak hanya menjadi negara pasar, namun mampu mengambil peran dalam potensi ekonomi digital yang ditargetkan pemerintah tercapai pada 2020.”

Sebagai perantara antara pemain industri digital dan kreatif dengan pemerintah, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pun turut menyayangkan wacana pemerintah ini. Ketua Bekraf Triawan Munaf menyampaikan bahwa sejatinya pemerintah perlu melakukan diskusi lebih intensif dengan para pemain industri. Menurutnya kebijakan yang kurang pas bisa mematikan para pemula. Tugas pemerintah adalah mendukung bertumbuhnya perusahaan rintisan, bukan mengganggunya.

“Jangan sampai ekonomi kreatif yang masih bertumbuh dihambat oleh peraturan yang sebenarnya masih bisa diubah, peraturan harus dapat disesuaikan dengan perubahan zaman,” ujar Triawan.

Pemikiran konvensional tak cocok regulasikan dinamika digital

Startup men-disrupt model bisnis konvensional dan menghasilkan pemasukan besar dengan inovasi. Pemerintah men-disrupt tatanan bisnis yang sedang bertumbuh dengan regulasi yang kurang tepat sasaran.

Ungkapan itu mungkin cocok jika pajak cuma-cuma memang benar-benar diterapkan. Pola pikir yang lebih segar penting untuk menjadi bagian dalam perumusan kebijakan. Terlebih untuk mewadahi sebuah proses bisnis yang dinamis.

Regulator harus paham betul mengenai dinamika pasar yang ada. Tak bisa begitu saja menyamaratakan antara model bisnis konvensional dan digital. Internet banyak menghadirkan cara-cara baru yang memicu masyarakat untuk bisa lebih mandiri.

Kembali ke pajak cuma-cuma. Harus dilihat lebih dekat sebenarnya siapa yang menjalankan model bisnis gratis yang akan dipajaki tersebut. Ya, para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). UMKM terangkat produknya berkat kemajuan internet. Mereka dengan mudah memasarkan produk mereka tanpa harus memikirkan jangkauan pasar, platform dan juga proses transaksi yang berbelit.

Masyarakat sudah dihadapkan dengan persaingan global yang tanpa batas. Jika inovasi dalam negeri banyak dihambat dengan aturan yang mempersulit, bagaimana UMKM kita, perusahaan rintisan kita, wirausahawan kita bisa tenang bersaing dan berkuasa di pasar dunia?

OJK Patok Suntikan Modal Minimum Angel Investor 1 Miliar Rupiah

Salah satu tren yang mengikuti pertumbuhan startup digital di Indonesia adalah hadirnya berbagai jenis investasi yang memberikan suntikan dana untuk pengembangan produk dan pangsa pasar. Salah satu model investasi yang sedang disorot oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah angel investor. Salah satu poin yang disoroti OJK seputar angel investor ialah modal minimal yang digelontorkan untuk startup, yakni Rp 1 miliar Rupiah, sementara jumlah startup yang boleh didanai oleh satu angel investor adalah 4 startup.

Diungkapkan Deputi Pengawas Komisioner Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Dumoly F. Pardede, seperti dikutip dalam koran Kontan (10/3), disebutkan bahwa rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang mengatur angel investor ditargetkan rampung pada Juni 2016 mendatang.

Misi OJK menerapkan rancangan ini ialah untuk memastikan seluruh aktivitas kegiatan usaha keuangan harus memiliki legalitas. Awalnya OJK menentukan minimal modal sebesar Rp 50 miliar, namun para investor keberatan dengan nominal tersebut.

[Baca juga: Umumkan Sebelas Investor Baru, ANGIN Fokuskan Bangun Ekosistem Startup]

Dengan ketentuan minimum suntikan dana oleh angel investor tersebut, nantinya setiap penambahan startup yang didanai, angel investor terkait wajib menambah modal sebesar Rp 1 miliar. Jika total perusahaan yang dibiayai mencapai 20 startup, maka angel investor tersebut harus menjadi venture capital.

Selain itu saat ini OJK juga sedang berembuk dengan Kementerian Keuangan unttuk merumuskan insentif pajak bagi angel investor. OJK hendak mengarahkan pungutan pajak bagi angel investor lebih kecil, dan mengacu pada ketentuan pajak bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Hal ini dilandasi bahwa tren investasi oleh angel investor memang ditargetkan untuk kalangan UKM atau startup.

Dalam kesempatan bertemu dengan OJK, angel investor juga meminta untuk dibuatkan pasar modal khusus. Pembuatan pasar modal kedua (secondary board) bertujuan agar angel investor bisa memiliki wadah untuk melakukan divestasi ketika ingin menjual startup yang dikelola.

[Baca juga: Jaringan Investor Angel eQ Ingin Dorong Gairah Investor Indonesia Berinvestasi di Startup Teknologi]

Kendati OJK sudah berdialog dengan para angel investor dan mencapai kesepakatan nilai investasi, menurut Kamar Dagang dan Industri Indonesia, dalam hal ini disampaikan oleh Chris Kanter selaku Wakil Ketua, rencana OJK mengatur kegiatan angel investor sebenarnya belum mendesak. Menurut Chris yang juga menjabat sebagai Chairman Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI) ini angel investor masih hal baru di Indonesia. Setidaknya saat ini ada dua asosiasi angel investor di Indonesia, pertama adalah ANGIN yang digagas GEPI, yang kedua adalah Angel eQ.

Menyorot Berbagai Regulasi Pemerintah dalam Perspektif Ekonomi Digital

Tak dipungkiri bahwa ketidaksigapan regulasi pemerintah akan kehadiran berbagai layanan baru (digital) menimbulkan gejolak yang cukup berimbas di industri digital. Beberapa contoh telah membuktikan, sebelumnya di pertengahan tahun lalu Kementerian Perdagangan sempat merilis RPP E-Commerce. Salah satu pasal yang dirumorkan di RPP tersebut adalah bagaimana siapapun yang ingin menjadi penjual ataupun pembeli online, harus melalui tahap verifikasi atau yang biasa disebut KYC (Know Your Customer). Sontak rumusan ini membuat industri resah, karena justru akan mempersulit dalam melebarkan pangsa pasar. Namun dewasa ini rumusan tersebut tak berlanjut, kini sudah ditindaklanjuti dengan lebih bijak dengan rancangan Roadmap E-Commerce yang tengah digulirkan oleh pemerintah.

Tak hanya di ranah e-commerce, sebelumnya keputusan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan juga menyulut kemarahan publik. Berlandaskan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan, pihaknya melarang layanan transportasi berbasis aplikasi ala Go-Jek, Grab Bike, Uber, dan lain-lain, untuk beroperasi. Kemarahan rakyat membuat presiden akhirnya turun tangan untuk meluruskan masalah yang ada. Dua hal ini setidaknya sudah dapat menjadi contoh bagaimana sikap pemerintah yang masih harus dibenahi dalam mengayomi industri digital yang sedang bertumbuh di tanah air.

Kendati masih sering terjadi keributan terkait regulasi dan layanan digital sampai saat ini, namun sejatinya pemerintah menginginkan tatanan yang baik dalam lanskap digital nasional. Sebagai salah satu wujud dari dukungan tersebut, pada pemerintahan sekarang ini secara khusus presiden membentuk Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang ditugaskan untuk mengakomodir industri kreatif dan digital, termasuk bertugas menjembatani komunikasi antara pemain industri dengan pemerintah sebagai penyusun regulasi. Hasilnya cukup efektif, beberapa terobosan mulai terlihat matang, salah satunya terkait dengan HKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Kepada DailySocial, secara khusus Deputi Bidang Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Hari Santosa Sungkari pernah menyampaikan bahwa pihaknya ingin selalu mendorong startup dan industri kreatif lainnya untuk memperhatikan tentang HKI. Bahkan inisiatif tersebut kini menjadi salah satu program unggulan yang sedang digencarkan oleh Bekraf.

Dukungan pemerintah terhadap industri startup saat ini masih menjadi diskusi menarik. Penting bagi kita pelaku industri untuk mendapatkan wawasan tentang bagaimana pandangan pemerintah selaku penentu regulasi untuk mendukung industri yang sedang berkembang. Hal inilah salah satu yang ingin diangkat dalam diskusi workshop yang akan diselenggarakan idEA (Asosiasi E-Commerce Indonesia) menghadirkan para regulator (Kemenkominfo dan Bekraf) serta industri digital (idEA dan DailySocial). Mengangkat tema besar “Investasi di E-Commerce Menyorot Berbagai Regulasi Pemerintah”, bersama para pakar akan diperbincangkan tentang nasib industri digital di tangan pemerintah.

Diawali dengan pengantar materi dari asosiasi industri dan media yang menyoroti industri digital (dalam hal ini menggunakan studi khasus e-commerce), workshop akan dibuka dengan menggali kondisi industri dan regulasi yang ada saat ini. Dilanjutkan dengan memahami poin-poin penting yang dapat dijadikan pembelajaran dari kegiatan industri dan penyusunan e-commerce yang telah berjalan. Dan akan dilengkapi dengan tanggapan pemerintah seputar pandangan dan dukungan yang akan diberikan untuk industri terkait, termasuk dalam kaitannya dengan perizinan, konten dan investasi.

Menjadi sebuah kesempatan baik bagi para pelaku, pecinta dan pemerhati industri digital untuk turut serta dalam diskusi ini, sembari memberikan masukan yang pas untuk pemerintah dari perspektif industri digital untuk dijadikan pertimbangan dalam rumusan regulasi yang digarapnya. Data dan fakta yang ada di industri juga akan menjadi sebuah insight menarik untuk meneropong sejauh mana industri digital nasional berkembang.

Workshop ini, yang merupakan bagian dari rangkaian acara IESE (Indonesia E-Commerce Summit and Expo 2016), akan diadakan pada hari Kamis, 10 Maret 2016 pada jam 16.00 – 18.00 bertempat di Kaffeine Cafe & Resto, The Foundry No. 8, Zone A – SCBD Lot 8, Jl. Jend. Sudirman Kav 52 Jakarta.

Informasi lebih lanjut seputar workshop dan pendaftaran dapat dilihat melalui tautan berikut ini: http://bit.ly/publikworkshopidea.

Rudiantara: Less regulation is good regulation

Rudiantara doesn't want to overregulate startup / Shutterstock

Minister of Communication and Informatics Rudiantara said recently that “less regulation is good regulation” when it came to the startup industry. “The government should not over regulate [startups] because the industry is still in the infancy stage. We should even preferably loosen up regulations [for this industry] for the next 3 or 5 years,” he added.

Continue reading Rudiantara: Less regulation is good regulation

Not About Uber: Regulations Should Grow With Us, Not Against Us

Regulations, i.e. made by the government to apply in a certain country, are meant to regulate the way things are for the benefit of the many (and in most cases, the country as well). We are in a time where technology is increasingly often challenging rules and creating regulatory problems, since when problems have not existed before, how can they be regulated (or prevented)?

Continue reading Not About Uber: Regulations Should Grow With Us, Not Against Us

Indonesia’s Ministry of Trade May Have Banned Foreign Investment for E-Commerce Companies

The Ministry of Trade apparently has issued a new directive which extends the negative investment list from offline businesses to online business, according to Remco Lupker, president of Ambient Digital Indonesia, on his blog post tonight. This, he says, effectively cuts off foreign investment for anything to do with direct sales to consumer. Lupker also outlined the effects it may have on the local e-commerce companies and how they can manage to comply with this new policy.

Continue reading Indonesia’s Ministry of Trade May Have Banned Foreign Investment for E-Commerce Companies