[Review] Huawei Mate 30 Pro, Smartphone Kamera dengan OS Android Tanpa Google

Huawei Mate 30 Pro adalah smartphone Android, namun tanpa Google Mobile Services. Artinya, tanpa aplikasi bawaan Google seperti YouTube, Chrome, Drive, Gmail, dan layanan Google lainnya – termasuk toko aplikasi Play Store.

Sebagai gantinya, Mate 30 Pro menggunakan Huawei Mobile Services dan menyediakan AppGallery sebagai toko aplikasinya. Namun, Anda tetap tidak akan menemukan aplikasi Google di sini dan tidak semua aplikasi di Play Store ada di AppGallery.

AppGallery
AppGallery | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Saya ambil contoh aplikasi populer yang sering digunakan seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, Lightroom, Netflix, Spotify, bahkan Gojek dan Grab pun tidak tersedia di AppGallery. Termasuk game-game populer seperti Mobile Legends: Bang Bang, PUBG, dan Call of Duty Mobile.

Ya, kita mungkin bisa mengunduh file APK-nya di website APK mirror misalnya. Namun, kita harus menginstal ulang aplikasi saat ada update aplikasi. Perlu dicatat juga, tanpa Google Mobile Services sejumlah aplikasi mungkin tidak berjalan optimal, beroperasi dengan beberapa keterbatasan, bahkan tidak bisa bekerja sama sekali.

Solusi lain, pengguna Mate 30 Pro bisa mengganti Huawei Mobile Services menjadi Google Mobile Services. Metodenya agak merepotkan bagi sebagian orang, serta mungkin ada resiko keamanan dan tersusup malware.

Kurang lebih itu yang harus kalian dipahami sebelum memutuskan untuk membeli Huawei Mate 30 Pro, konsekuensi berat tanpa dukungan Google. Desain cantik dengan layar melengkung, chipset yang super powerful, dan kemampuan kamera dengan label Leica menjadi beberapa daya tarik smartphone ini. Berikut review Huawei Mate 30 Pro selengkapnya.

Desain

Layar Huawei Mate 30 Pro
Layar Huawei Mate 30 Pro | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Ada beberapa hal yang menonjol pada desain Huawei Mate 30 Pro, mulai dari layar yang melengkung, ukuran notch-nya, dan rakitan kamera belakangnya. Ya, layarnya tumpah ke samping 88 derajat sehingga saat smartphone diletakkan secara datar bezel samping tidak terlihat.

Layar dengan sisi lengkung ini membentang 6,53 inci, menggunakan panel OLED beresolusi 1176×2400 piksel (409 ppi) dalam rasio 18.5:9. Serta, mengemas DCI-P3 dan tampilan HDR10. Tak lupa, ada sensor NFC di body Mate 30 Pro.

Hanya menyisakan satu tombol power di sisi kanan dan Anda tidak akan menemukan tombol volume. Untuk menyesuaikan level suara, kita bisa mengetuk dua kali di atas tombol power dan mengusap ke atas ke bawah yang berlaku di sisi kiri juga. Selain untuk menyesuaikan volume, layar lengkung ini tidak aktif sehingga tak perlu takut kepencet saat memegang smartphone.

Menuju notch, area ini menampilkan kamera depan 32MP dengan aperture f/2.0, kamera TOF 3D yang digunakan untuk efek bokeh dan face recognitian, sensor proximity dan ambient light. Tak ada earpiece, suara dihantarkan lewat getaran di layar. Smartphone ini hanya punya satu speaker yang berada di sisi bawah bersama port USB Type-C, mikrofon, dan SIM Tray.

Unit yang saya review merupakan varian dual SIM dengan dua slot yang bersifat hybrid. Di mana slot kedua bisa dimanfaatkan untuk menyisipakan nano memori card. Lalu, di sisi atas terdapat mikrofon sekunder dan infra merah. Frame-nya sendiri terbuat dari alumunium, serta bagian depan belakang diproteksi oleh Gorilla Glass 6 dan body-nya tahan air dengan sertifikasi IP68.

Desain belakang Huawei Mate 30 Pro
Desain belakang Huawei Mate 30 Pro | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Beralih ke belakang, rakitan triple-camera belakangnya (empat bila kamera ToF 3D dihitung) sangat mencolok dengan bingkai bulat yang menonjol. Tak jauh dari kamera, ada dual-LED flash, light temperature sensor, dan label Leica dengan keterangan lensa VARIO-SUMMILUX-H 1:1.6-2.4/18-80 ASPH. Unit yang saya review berwarna space silver, opsi lain tersedia dalam warna classic black, emerald green, dan cosmic purple.

Layar dan Antarmuka

Huawei Mate 30 Pro masih merupakan smartphone Android dan berjalan di atas Android 10 dengan antarmuka EMUI 10. Namun tanpa dukungan Google Mobile Services, jadi jangan kaget bila Anda tak menjumpai satu pun aplikasi atau layanan Google termasuk Play Store, serta tidak bisa menginstal aplikasi dan game populer.

Secara default, antarmuka EMUI 10 bergaya home screen satu lapis dengan Huawei Assistant di sisi paling kiri dan mengadopsi sistem navigasi berbasis gesture. Misalnya usap sisi kanan atau kiri bagian bawah ke tengah untuk fungsi back, usap dari bawah ke atas sisi bawah untuk ke home screen, serta usap setengah dan tahan dari bawah ke atas sisi bawah untuk menampilkan task switcher.

Layar dengan sisi melengkung Mate 30 Pro menggunakan panel OLED berukuran 6.53 inci dengan resolusi 1176×2400 piksel dalam aspek rasio 18.4:9 yang menyuguhkan tingkat kerapatan 409ppi. Di pengaturan layar, terdapat menu Color & Eye Comfort yang berisi opsi natural tone, color mode & temperature, dan eye comfort termasuk di dalamnya fitur flicker reduction.

Untuk sistem keamanan, smartphone ini dilengkapi optical under-display fingerprint scanner. Selain untuk unlock device, bisa juga dimenfaatkan untuk mengunci file manager dan aplikasi. Terdapat juga metode face unlock dengan kamera ToF yang menggunakan 3D scanner yang jauh lebih aman dibanding sekedar mengandalkan kamera depan.

Kamera dengan Label Leica

Kamera Huawei Mate 30 Pro
Kamera Huawei Mate 30 Pro | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Membawa label Leica dan ranking tinggi di DXOMark, kemampuan foto dan video memang menjadi daya tarik utama Huawei Mate 30 Pro. Smartphone ini mengusung konfigurasi triple camera dan pada mode foto Pro, di mana hasil jepretannya bisa disimpan dalam format Raw.

Menurut saya, dukungan Raw ini sangat penting untuk memaksimalkan potensi setup kamera yang ditawarkan oleh Mate 30 Pro. Kamera utamanya 40MP Quad Bayer 27mm dengan filter RYYB dan dilengkapi OIS. Sensornya berukuran 1/1.7″ dengan aperture f/1.6.

Kamera Huawei Mate 30 Pro
Kamera Huawei Mate 30 Pro | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Kamera kedua juga 40MP Quad Bayer dengan lensa ultra-wide 18mm dan yang menarik ialah ukuran sensor gambarnya terbilang terbesar di kelas smartphone yakni 1.54″ dengan aperture f/1.8. Secara default, hasil bidikannya berada di resolusi 10MP pada aspek rasio 4:3 dan tersedia juga opsi 40MP 4:3 di pengaturan kamera.

Kamera yang ketiga 8MP dengan lensa telephoto 80mm dengan OIS dan aperture f/2.4 yang menyuguhkan fasilitas 3x optical zoom dan hingga 30x digital zoom. Serta, kamera ekstra 3D ToF untuk efek bokeh dan meningkatkan autofocus-nya.

Untuk antarmuka aplikasi kameranya cukup fungsional dan saat memotret dalam posisi landscape, ada tombol rana ekstra di sisi atas sebelah kiri. Pada mode foto, sisi kiri terdapat akses ke pengaturan kamera, picture style, pengaturan flash, Master AI yang mampu mengenali dan mengatur ulang pengaturan kamera hingga 1.500 scene, serta scan shopping.

Review-Huawei-Mate-30-Pro-9

Picture style atau efek yang tersedia adalah Leica standard, Leica vivid, Leica smooth, sentimental, impact, ND, valencia, blue, halo, nostalgia, dan dawn. Slider untuk beralih focal length dari wide sampai 30x zoom digital ada di sisi bawah.

Selain mode photo, mode utama lainnya dari yang paling kiri ada mode aperture, night, portrait, video, Pro, dan sisinya ada di ‘more‘. Ada mode monochrome, HDR, stickers, panorama, light painting, moving picture, dual-view, slow-mo, AR lens, time-lapse, dan documents.

Review-Huawei-Mate-30-Pro-12

Pada mode foto Pro, pengguna Mate 30 Pro diberi sistem kontrol manual layaknya kamera digital. Kita bisa mengatur white balance (2.800-10.000K), mode AF (AF-C, AF-S, dan MF), exposure compensation, shutter speed (1/4000 – 30s), ISO dari 50-6.400, dan metering focus.

Masih di mode Pro, picture style yang bisa digunakan hanya ada tiga yaitu Leica standard, Leica vivid, dan Leica smooth. Lalu, di sini kita bisa menggunakan fungsi zoom secara leluasa – focal length yang tersedia hanya 1x, wide, dan 3x opctical zoom.

Tengok ke pengaturan resolusi kamera, ada opsi untuk menyimpan di format Raw. Kenapa ini penting? Karena foto dalam format ini mengandung semua informasi yang ditangkap oleh kamera, tidak ada yang dikurangi untuk fleksibilitas editing.

Review-Huawei-Mate-30-Pro-10

Lalu, yang menggembirakan lagi adalah mode Pro juga tersedia di opsi perekam video. Kurang lebih sama, bedanya tidak ada opsi shutter speed dan kemampuan zoom bisa sampai 5x. Sementara, di mode video standar bisa menggunakan zoom sebanyak 10x, semua efek picture style bisa digunakan, termasuk mode beauty.

Kamera belakangnya ini sanggup merekam video hingga resolusi 4K pada 60fps dengan kamera utama dan ultra wide. Fitur video stabilization tetap aktif, meskipun tak ada opsi khusus untuk menyalakan dan mematikannya. Sedangkan, kamera depannya sebatas 1080p 30fps. Bagi yang suka bereksplorasi dengan fitur slow-mo, ada opsi 1080p pada 120fps, 240fps, hingga 960fps. Serta, 720p pada 1920fps atau 7680fps.

Review-Huawei-Mate-30-Pro-13

Satu lagi, Leica sendiri memang punya kamera yang hanya menggunakan sensor monochrome atau black & white dan masih digandrungi untuk menciptakan foto dengan nilai seni tinggi. Pada Mate 30 Pro, Huawei juga turut melengkapi mode foto monochrome-nya dengan sejumlah opsi dari mode normal, aperture, portrait, hingga mode Pro.

Berikut hasil foto dari Huawei Mate 30 Pro:

Hardware & Performa

Hasil AnTutu Huawei Mate 30 Pro
Hasil AnTutu Huawei Mate 30 Pro | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Bertenaga chipset HiSilicon Kirin 990 yang dibuat pada proses fabrikasi 7nm, Huawei Mate 30 Pro adalah smartphone dengan performa super powerful yang ada di pasaran saat ini. Di dalam SoC tersebut terdapat CPU octa-core dengan tiga cluster, terdiri dari 2×2.86 GHz Cortex-A76, 2×2.09 GHz Cortex-A76, dan 4×1.86 GHz Cortex-A55.

Pengolahan grafisnya mengandalkan GPU Mali-G76 MP16 (16 core) pada kecepatan 600MHz. Lengkap dengan sepasang dedicated neural processing unit (NPU) untuk menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan kecerdasan buatan.

Lalu, didukung pula RAM 8GB dan penyimpanan UFS 3.0 dengan kapasitas 128GB atau 256GB. Bila kurang, ruang simpan masih bisa diperluas lewat penggunaan standar memori milik Huawei yang disebut nano memory. Tangki baterainya sebesar 4.500 mAh yang mendukung pengisian cepat Huawei SuperCharge dengan adapter bawaan 40W dan 27W wireless charging.

Verdict

Android 10
Android 10 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Huawei Mate 30 Pro adalah smartphone Android flagship tanpa dukungan Google dan ekosistem Android. Jadi, terus terang smartphone ini kurang cocok dijadikan sebagai daily driver utama orang Indonesia. Kecuali kalau Anda suka tantangan atau dijadikan sebagai smartphone kedua.

Ya, sebetulnya ada cara untuk mengganti Huawei Mobile Services menjadi Google Mobile Services sehingga mendukung Play Store dan menginstal aplikasi atau game dengan mudah. Namun, sekali lagi prosesnya repot dan keamanannya pun dipertanyakan.

Lalu harus diakui, Huawei Mate 30 Pro adalah smartphone kamera sejati dan sudah dijelaskan di atas kebolehannya. Namun, kebanyakan smartphone flagship kompetitor juga mengedepankan kemampuan kamera juga. Sebagai penutup, balik lagi ke poin pertama – apa kalian siap tanpa Google?

Sparks

  • Layar OLED dual-curved yang cantik
  • Punya fingerprint reader under display optical dan 3D face recognition
  • Body tahan air dengan sertifikasi IP68
  • Smartphone kamera, bawa label Leica dan dukungan format Raw
  • Rekaman 4K 60fps dengan video stabilization aktif
  • Chipset Kirin 990 yang powerful

Slacks

  • Smartphone Android 10, tapi tanpa Google Mobile Services
  • Ketersediaan aplikasi dan game di AppGalerry sangat terbatas
  • Rentan terjangkit malware bila menginstal APK aplikasi

 

[Review] OPPO A31, Smartphone Basic Untuk Pemula

Branding masif yang dilakukan oleh OPPO telah mengantarkannya ke posisi puncak sebagai raja smartphone di Indonesia menurut lembaga riset Canalys. Namun pada tahun 2020 ini, OPPO tak mau hanya dikenal sebagai vendor smartphone melainkan ingin dicap sebagai perusahaan teknologi.

Saat ini, OPPO memiliki tiga lini produk smartphone. Dari flagship Find series, kelas menengah dan premium Reno series, serta kelas entry-level A series. Di artikel ini, saya akan mengulas smartphone terbaru lini A series.

Ya, smartphone yang dimaksudkan adalah OPPO A31 yang belum lama ini diam-diam tersedia di Indonesia. Dibanderol seharga Rp2.599.000, berikut cerita review OPPO A31 selengkapnya.

Desain dan Layar

Tampak depan, OPPO A31 didominasi oleh layar 6,6 inci bergaya waterdrop screen. Di mana ada notch kecil di ujung layar guna menadah kamera depan 8MP dan memiliki bezel samping yang tipis.

Resolusi layarnya masih di HD+ (720×1600 piksel), kepadatannya sekitar 270 ppi, dalam aspek rasio 20:9. Tampilan konten masih tersaji dengan cukup baik, meskipun tidak istimewa.

Layar resolusi HD+ ini boleh dibilang standar paling bawah pada sebuah smartphone. Sisi positifnya, konsumsi dayanya lebih rendah dan meringankan beban yang harus ditanggung oleh CPU dan GPU yang berujung pada kestabilan performa dan baterai 4.230 mAh sanggup bertahan lebih lama.

Beralih ke bagian punggungnya, terlihat konfigurasi triple camera di pojok kiri atas dan tak jauh dari situ terdapat area sensor pemindai sidik jari. Meski bagian belakang dan frame-nya dari plastik polikarbonat atau OPPO lebih suka menyebutnya dengan material komposit berjenis tempered glass.

Smartphone dengan dimensi 163.9×75.5×8.3 mm dan bobot 180 gram ini tersedia dalam pilihan warna baru fantasy white dan warna klasik myestery black. Build quality-nya memang bagus, konstruksinya solid, dan cukup terasa premium di telapak tangan.

Soal kekompletan atributnya, tombol power diletakkan di sisi kanan. Sisi kirinya terdapat tombol volume, serta SIM tray berisi dua slot nano SIM dan satu slot microSD. Sisi atas kosong, sisanya di bawah ada jack audio 3.5mm, microphone, port yang masih micro USB, dan speaker.

Antarmuka dan Kamera

Review OPPO A31

OPPO A31 masih terjebak di sistem operasi Android 9 Pie dengan ColorOS 6.1. Secara default, antarmukanya menggunakan mode home screen satu lapis dan sudah terintegrasi dengan fitur smart sidebar untuk akses pintas ke sejumlah aplikasi. Bagi yang tak rela kehingan app drawer, opsi dua lapis bisa ditemukan di pengaturan.

Selain smart sidebar, ColorOS versi 6.1 ini juga sudah dilengkapi dengan beberapa mode navigasi. Dari standar tombol virtual, ada opsi tiga tombol atau tombol dan bisa disembunyikan. Serta mode navigasi berbasis gerakan, ada opsi usap dari samping untuk fungsi kembali atau usap dari bawah ke atas.

Review OPPO A31

Soal fotografi, OPPO A31 memiliki total empat kamera yang terdiri dari tiga kamera belakang dan satu kamera depan. Kamera utamanya beresolusi 12MP dengan aperture f/1.8 dan hasilnya tidak mengecewakan di kondisi cahaya cerah.

Kemudian kamera keduanya 2MP (f/2.4) dengan lensa macro 27mm dan karena resolusinya sebatas 2MP saja maka hasilnya memang tidak tajam. Satu lagi, 2 MP (f/2.4) juga sebagai depth sensor. Sedangkan, kamera depannya 8 MP (f/2.0).

Perekam videonya, baik kamera depan maupun belakang bisa merekam video 1080p 30fps. Uniknya, OPPO A31 sudah dibekali aplikasi edit video Soloop di OPPO A31. Cara kerja Soloop sangat simpel, ada empat menu utama yang disediakan yaitu trim, filter, subtitle, dan music. Lalu, hasilnya bisa disimpan dalam opsi aspek rasio 1:1, 4:3, 3:4, 16:9, dan 9:16.

Hardware

Review OPPO A31

Kekuatan bukan aspek yang diutamakan oleh OPPO A31, performa smartphone ini tidak berbanding lurus dengan harganya. Sebab ia masih mengandalkan MediaTek Helio P35, chipset yang sama terdapat pada smartphone murah OPPO tahun lalu; OPPO A5s.

Bukan berarti performa OPPO A31 buruk, terlebih mendapat dukungan RAM 4GB dan penyimpanan internal sebesar 128GB yang masih bisa diperluas lewat microSD. Untuk penggunaan kasual, performanya cukup untuk memenuhi kebutuhan basic ber-smartphone sehari-hari.

Hanya saja sebagai smartphone yang dirilis pada tahun 2020 dan harganya mencapai Rp2,6 juta, OPPO A31 ketinggalan jauh di belakang. Utamanya bila dibandingkan dengan para kompetitor pada rentang harga yang sama, bahkan saudara dekatnya Realme C3 yang dibanderol Rp1.699.000 datang dengan Mediatek Helio G70.

MediaTek Helio P35 sendiri adalah chipset yang diproduksi dengan proses 12nm. Dalamannya mengemas delapan intri Cortex-A53, di mana empat inti beroperasi pada 1.8GHz dan sisanya pada 2.3GHz. Untuk mengimbanginya, duduk grafis PowerVR GE8320 yang berlari dengan kecepatan 680MHz.

Menurut aplikasi benchmark AnTuTu, OPPO A31 memperoleh nilai 104.999 poin. Lalu, pada PCMark mendapatkan 5.657 poin, 3DMark Sling Shot 785 poin, serta Geekbench 4 single-core 157 poin dan multi-core 884 poin.

OPPO A31 juga sudah dilengkapi dengan aplikasi Game Space yang mengumpulkan semua game dan pengaturan terkait gaming dalam satu tempat. Saya mencobanya untuk bermain PUBG Mobile, level grafisnya mentok di balance dan frame rate medium.

Verdict

Review OPPO A31

Fitur dan spesifikasi OPPO A31 tidak begitu menonjol, serba ‘pas-pasan’ untuk ukuran smartphone yang dirilis tahun 2020 dan dibanderol Rp2 jutaan. Sebaliknya, mungkin kekuatan brand OPPO itu sendiri yang menjadi nilai jual utama.

Sudah pasti hal ini merupakan bagian dari strategi OPPO dan BBK Electronics Corporation. Pasar yang dituju oleh OPPO A31 sangat segmented, yaitu untuk para pemula yang baru beralih dari feature phone atau smartphone yang sudah jadul dan tinggal di kota kecil atau daerah.

Sparks

  • Desain menarik dengan build quality baik
  • Triple rear camera
  • Dibekali aplikasi Soloop dan Game Space

Slacks

  • Resolusi layar hanya HD+
  • Harga relatif mahal
  • Fitur dan spesifikasinya pas-pasan

 

[Review] Canon EOS M200, Mirrorless Ringkas dan Mudah Digunakan

Setelah sebelumnya me-review Canon EOS M6 Mark II dan Canon PowerShot G7 X Mark III, kali ini saya akan me-review Canon EOS M200. Kamera mirrorless entry-level penerus EOS M100 ini dibanderol seharga Rp7.975.000.

Dibanding pendahulunya, Canon EOS M200 sanggup merekam video hingga resolusi 4K dan mendukung perekaman video secara vertikal. EOS M200 masih mengandalkan sensor APS-C CMOS 24,1MP, namun kinerja sistem AF Dual Pixel-nya meningkat, punya titik fokus lebih banyak (143 area AF), dilengkapi Eye Detection AF, dan ditenagai prosesor gambar terbaru Digic 8. Berikut cerita review Canon EOS M200 selengkapnya.

Desain dan Build Quality

Desain Canon EOS M200
Desain Canon EOS M200 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Wujud dari Canon EOS M200 serupa dengan pendahulunya, dengan layar 3 inci yang bisa dilipat 180 derajat ke atas dan flash dengan mekanisme pop up. Sangat simpel dengan body ringkas dan kontrol yang mudah.

Kamera ini masih tanpa viewfinder, tak punya hot shoe, maupun port microphone eksternal. Canon hanya sedikit melakukan perubahan, yaitu menata ulang tombol perekam video. Pada M100, tadinya terletak di bagian atas dan kini dipindahkan ke belakang kamera menggantikan tombol WiFi yang berada persis di samping tombol menu.

Bagian Belakang Canon EOS M200
Bagian Belakang Canon EOS M200 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Body-nya yang sangat ringkas dengan dimensi 108x67x35 mm dan berbobot 299 gram, bahkan berpasangan dengan lensa kit 15-45mm F3.5-6.3, tampilan EOS M200 masih terlihat agak ‘kebanting’. Mungkin akan cocok bila dipasangkan dengan lensa pancake EF-M 22mm f/2 STM.

Build quality-nya sendiri sangat baik, kontruksi body utamanya dari logam dengan plastik polikarbonat di beberapa bagian dan terasa sangat solid di genggaman tangan. Sayangnya, EOS M200 ini memang tak memiliki grip sama sekali untuk tangan kita mencengkram kamera.

Untuk atributnya, di sisi atas ada tombol rana bersama satu-satunya dial atau roda kontrol. Lalu, ada tombol power bersama tombol mode pengambilan gambar yang opsinya cuma ada tiga, yaitu mode auto, mode foto, dan video. Serta, flash dengan mekanisme pop up di kiri atas.

Bagian belakang, layar 3 incinya hanya bisa ditarik ke atas sampai 180 derajat yang berguna untuk pemoretan low-angle dan vlogging. Lalu, terdapat tombol menu, tombol perekam video, navigasi empat arah di mana tombol atas untuk exposure compensation atau hapus, bawah untuk info, sisi kanan untuk pengaturan flash, dan kiri untuk AE lock atau FE lock. Di tengahnya ada tombol Quick Controll dan di bawahnya lagi ada tombol playback.

Bagian kanan kosong, port microUSB belum Type-C, micro HDMI, dan sebuah slot SD card berada di sisi kiri. Slot baterai di area bawah, menggunakan jenis LP-E12 yang menurut rating CIPA sanggup menyuguhkan 315 jepretan. Pengisian dayanya masih menggunakan adaptor charger khusus bawaannya.

Sistem Kontrol

Sistem Kontrol Canon EOS M200
Sistem Kontrol Canon EOS M200 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Ya, Canon EOS M200 hanya memiliki satu roda kontrol putar yang secara default berfungsi untuk mengatur shutter speed. Roda ini juga bisa digunakan untuk menyesuaikan aperture dan ISO, opsi tersebut harus dipilih dulu lewat layar sentuhnya.

Di pojok kiri atas, tersedia beragam mode foto. Dari yang standar seperti manual exposure, aperture priority AE, shutter priority AE, dan program AE. Serta, opsi mode otomatis sesuai kondisi tertentu seperti self portrait, smooth skin, landscape, sports, close-up, food, night portrait, dan banyak lagi.

Sistem menu kameranya memang agak ramai, namun Canon telah melengkapi quick menu yang bisa diakses di pojok kanan atas. Di sini kita bisa mendapatkan akses cepat ke sejumlah fitur penting seperti white balance, picture style, creative filters, aspect ratio, AF method, AF operation, metering mode, drive mode, image quality, dan movie rec. size.

Kemampuan Foto

Sensor Kamera Canon EOS M200
Sensor Kamera Canon EOS M200 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Canon EOS M200 mengusung sensor CMOS APS-C 24MP dengan sistem autofocus Dual Pixel dan memiliki titik fokus lebih banyak dari 49 menjadi 143. Lengkap dengan fitur face dan eye detection yang bekerja secara gesit dan konsisten mengunci objek bergerak.

Kamera ini mengandalkan prosesor gambar terbaru Digic 8 yang mengangkat kinerja kamera secara keseluruhan. Sanggup memotret beruntun 6.1fps (4fps dengan AF) dan mendukung perekaman video sampai resolusi 4K.

Terlepas dari desainnya yang simpel dan posisinya sebagai kamera entry-level, tetapi kualitas gambarnya tak perlu diragukan lagi. Hasil bidikan dapat disimpan dalam format JPEG, Raw, atau CRaw dalam pilihan aspek rasio 3:2, 4:3, 16:9, dan 1:1.

Lensa EF-M 55-200mm f/4.5-6.3 IS STM
Lensa EF-M 55-200mm f/4.5-6.3 IS STM | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Untuk awal penggunaan, menurut pengalaman saya lensa kit EF-M 15-45mm F3.5-6.3 IS STM yang setara dengan 24-72mm di 35mm ini sudah cukup mumpuni dan mencakup banyak skenario penggunaan. Pada kesempatan review Canon EOS M200 kali ini saya juga menggunakan lensa EF-M 55-200mm f/4.5-6.3 IS STM yang setara dengan 88-320mm di 35mm, perlu diingat sensor APS-C yang digunakan oleh Canon memiliki crop factor 1,6x.

Lensa zoom telephoto ini memungkinkan kita menangkap objek yang sangat jauh. Namun, saya lebih merekemendasikan Anda memiliki lensa kedua dengan focal lenght tetap (fix lens) seperti Canon EF-M 32mm F1.4 STM, Canon EF-M 28mm F3.5 Macro IS STM, atau trio lensa 16mm, 30mm, dan 56mm F1.4 dari Sigma untuk penggunaan di kondisi low light dan mendapat bokeh cantik.

Kamera ini sudah dilengkapi dengan konektivitas WiFi dan Bluetooth, jadi hasil jepretannya bisa dengan mudah ditransfer ke smartphone lewat aplikasi Canon Camera Connect. Uniknya koneksi Bluetooth pada EOS M200 ini dapat mempertahankan koneksi dengan smartphone bahkan saat kamera dimatikan. Jadi, tidak perlu menghubungkan ulang setiap kali membuka aplikasi.

Kemampuan Video

Kemampuan Video Canon EOS M200
Kemampuan Video Canon EOS M200 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Sistem autofocus Dual Pixel yang dapat diandalkan, lengkap dengan Eye Detection AF dan layar 3 inci yang bisa dilipat 180 derajat menghadap ke depan, tentunya kita bisa membuat setup vlogging yang ringkas dengan Canon EOS M200. Kamera ini juga sudah mendukung video dalam posisi vertikal.

Pasang tripod mini dan untuk audio-nya kita bisa menggunakan clip-on yang terhubung ke aplikasi recorder di smartphone. Apakah repot menggunakan audio terpisah? Tidak sama sekali, bila hasilnya video tersebut diedit menggunakan Adobe Premiere Pro, ada fitur synchronize yang akan otomatis menyamakan ritme suara.

Pada sistem NTSC, kamera dapat merekam video 4K 23,98fps, FHD 29,97fps, FHD 59,94fps, HD 59,94fps, dan slow motion HD 119,9fps. Sementara di sistem PAL, EOS M200 dapat merekam video 4K 25fps, FHD 25fps, FHD 50fps, HD 50fps, dan HD 100fps.

Sayangnya adalah kita harus kompromi dengan crop sebanyak 1,7x saat menggunakan video 4K. Sehingga sulit untuk mendapatkan wide-angle dengan lensa kit. Untuk A-Roll biasanya resolusi FHD memang sudah cukup, opsi lain bisa berinvestasi membeli lensa Canon EF-M 11-22mm f/4-5.6 IS STM.

Verdict

Kemudahan penggunaan merupakan salah satu elemen utama yang ditawarkan oleh Canon EOS M200. Kamera ini memiliki sistem kontrol yang user-friendly dan body ringkas yang sangat mudah untuk dibawa-bawa.

Kamera yang sederhana dan tampil low profile. Namun, sensor CMOS APS-C 24MP di dalamnya memastikan Anda dapat memperoleh foto berkualitas, lengkap dengan kemampuan perekama video 4K.

Kisaran harganya yang hampir mencapai Rp8 juta, membuat posisinya cukup sulit sebagai kamera entry-level. Canon EOS M200 cocok buat Anda yang benar-benar mencari kamera kecil dan kasual, bukan untuk dijadikan sebagai mesin utama untuk membuat konten.

Sparks

  • Sistem kontrol yang mudah
  • Peningkatan sistem AF Dual Pixel dengan Eye Detection 
  • Perekam video 4K
  • Mendukung video vertikal

Slacks

  • Video 4K dengan kompromi crop sebesar 1,7x
  • Belum memiliki port USB Type-C
  • Harga hampir Rp8 juta, posisinya yang sulit sebagai kamera entry-level

 

[Review] Samsung Galaxy A71, Versi Plus dari Galaxy A51

Setelah me-review Samsung Galaxy A51, kali ini Dailysocial telah didatangi smartphone Galaxy A series kedua Samsung di tahun 2020. Adalah Samsung Galaxy A71, saudara tua atau versi ‘Plus’-nya dari Galaxy A51 yang juga merupakan penerus Galaxy A70 yang dirilis tahun lalu.

Keduanya dibalut dalam desain serupa, mengemas Inifinity O display atau punch hole seperti yang terdapat pada Galaxy S10 dan Note10 series. Serta, desain kamera baru yang dibingkai kotak persegi panjang yang juga dapat ditemukan pada Galaxy Note10 Lite dan S10 Lite yang belum lama ini dirilis oleh Samsung Indonesia.

Lalu, apa perbedaan antara Galaxy A51 dan A71? Smartphone terbaru Samsung ini masing-masing dijual seharga Rp4.099.000 dan Rp6.099.000. Jadi, ada selisih uang sebesar Rp2 juta dan berikut cerita review Samsung Galaxy A71 selengkapnya.

Samsung Galaxy A51 Vs Galaxy A71

Dari aspek layar, Galaxy A71 menawarkan ukuran layar sedikit lebih luas yakni 6,7 inci dengan panel Super AMOLED Plus. Sementara, Galaxy A51 menggunakan Super AMOLED saja 6,5 inci dengan tingkat resolusi FHD+ (1080×2400 piksel) dan aspek rasio 20:9 yang sama.

Super AMOLED Plus ini juga diadopsi oleh Galaxy S10 Lite, di mana panel layarnya lebih tipis dan ringan memakai teknologi flexible OLED guna membuat desain smartphone menjadi lebih ergonomis. Imbasnya meski Galaxy A71 membawa tangki baterai 4.500 mAh (A51 4.000 mAh), tapi ketebalan body-nya lebih tipis yakni 7,7 mm (A51 7,9 mm).

Perbedaan besar lainnya terletak pada kemampuan foto dengan kamera utama kini 64MP. Lalu, memiliki dapur pacu lebih kencang dengan chipset Snapdragon 730G berpadu RAM 8GB.

Hal ini membuat Galaxy A71 menjadi smartphone yang cukup ideal untuk kegiatan gaming. Ditambah lagi, kapasitas baterainya lebih besar dan dilengkapi dengan pengisian daya lebih cepat.

Mengenai desain, tampilan Galaxy A71 kembaran sama A51 dengan profil sedikit lebih tinggi. Bagian depan sama-sama menyajikan Infinity O display berlapis Corning Gorilla Glass 3.

Bagian belakangnya memiliki bentuk kamera baru yang dibingkai kotak persegi panjang dengan posisi kamera seperti huruf L. Tak ketinggalan ada pola unik yang bentuknya sedikit berbeda dengan yang dimiliki A51 dan tetap menyuguhkan efek bias pelangi bila dipandang pada sudut tertentu.

Hadir dengan dimensi 163,6×76 mm dengan ketebalan 7,7 mm dan bobot 179 gram. Sesungguhnya saya masih dapat menggenggam smartphone ini dengan nyaman, meskipun jempol saya hanya bisa menjangkau setengah area layar 6,7 incinya.

Layout atributnya, tombol power dan volume ditempatkan di sisi kanan dan SIM tray di sisi sebrangnya. Ada tiga slot, dua nano SIM dan satu slot microSD. Bagian atas ada mikrofon sekunder, sisanya seperti jack audio 3.5mm, port USB type-C, mikrofon utama, dan speaker bertempat di sisi bawah.

Android 10; One UI 2

PSX_20200211_170600

Samsung Galaxy A71 sudah menjalankan sistem operasi Android 10 dengan One UI versi 2. Antarmuka anyar ini memiliki visual yang disederhanakan sehingga mudah dioperasikan dan membantu para penggunanya fokus pada hal terpenting.

Samsung mengintegrasikan dengan Edge Screen yang memberikan akses cepat ke aplikasi favorit. Kemudian ada asisten Bixby yang mempelajari hal yang sering dilakukan oleh penggunanya, sistem gesture baru untuk mengontrol smartphone, dan sejumlah aplikasi bawaan Samsung lainnya.

Fitur andalan yang ada pada Galaxy A51 seperti dark mode, NFC, serta sistem biometrik seperti on-screen fingerprint scanner dan face recognition juga tersedia pada Galaxy A71.

Quad Camera dengan Kamera Utama 64MP

Konfigurasi empat kamera belakang dengan kamera utama menggunakan sensor ISOCELL Bright GW1 64MP (f1.8) menjadi salah satu unique selling point dari Samsung Galaxy A71. Menggunakan teknologi penggabungan piksel Tetracell, di mana empat piksel bergabung menjadi satu.

Secara default foto bidikannya beresolusi 16MP dengan ukuran per piksel 1,6 μm. Sementara, mode foto 64MP dengan piksel 0,8 μm bisa dipilih dengan mengganti aspek rasio ke 4:3H yang sebaiknya hanya digunakan pada kondisi pencahayaan yang benar-benar terang.

Mode 64MP tersebut tetap didukung oleh fitur Scene Optimizer yang secara otomatis akan mengenali subjek atau adegan dan sistem akan menyesuaikan pengaturan sesuai situasi. Namun, fitur HDR tidak bekerja pada mode 64MP.

Adapun kamera keduanya 12MP (f/2.2) dengan lensa ultrawide 12mm yang memberikan bidang pandang seluas 123 derajat. Kamera ultrawide ini juga dapat bekerja di mode panorama dan mode video, serta digunakan untuk fitur video super steady untuk mengkompensasi gerakan kamera dengan crop signifikan.

Berikutnya kamera 5MP dengan aperture f/2.2 sebagai depth sensor dan manfaatnya bisa langsung dirasakan pada mode foto live focus. Di kondisi cahaya ideal, secara mengejutkan mampu menghasilkan foto dengan latar belakang bokeh yang cukup rapi dan intensitas bokehnya bisa diatur lagi setelah memotret.

Lalu yang terakhir, pendatang baru kamera 5MP (f/2.4) dengan lensa macro. Kebanyakan smartphone dengan quad camera saat ini hanya mengandalkan kamera macro 2MP saja. Pemotretan jarak dekat ini tersedia dalam mode macro yang terpisah dari mode foto utama.

Saat berangkat kerja, saya mencoba foto bunga yang dihinggapi oleh lebah dengan hembusan angin lembut yang membuat bunga tersebut menjadi labil. Dengan percobaan berkali-kali, akhirnya saya mendapatkan beberapa foto macro dengan fokus yang cukup tajam meski kebanyakan foto lainnya out of focus.

Untuk aktivitas seperti selfie atau vlog, video call, dan metode pengaman smartphone face unlock, Galaxy A71 mengandalkan kamera depan 32MP (f/2.2) mengunakan sensor gambar Samsung S5KGD1. Di mana secara default menghasilkan foto 8MP dengan piksel berukuran 1,6 μm dan mode 32MP dengan ukuran per piksel 0,8 μm.

Untuk perekaman video, kamera utamanya mampu merekam video 1080p dan 4K 30fps. Serta resolusi 1080p bila menggunakan kamera ultrawide, termasuk saat menggunakan fitur super steady. Sedangkan, kamera depannya juga mendukung perekaman 4K 30fps. Namun, fitur filter dan beauty hanya bisa digunakan pada resolusi 1080p.

Video dapat direkam dalam aspek rasio 16:9, full (20:9), dan 1:1. Serta, mendukung teknologi video codec format HEVC yang bisa diaktifkan bila ingin menghemat penggunaan memori.

Fitur kamera lain yang tersedia ialah Bixby vision, AR emoji, night, panorama, PRO, super slow-mo, slow motion, hyperlapse, dan food. Mode PRO bisa digunakan pada resolusi 16MP dan 64MP, pengaturan yang bisa disesuikan ialah ISO, white balance, exposure compensation, dan metering focus.

Snapdragon 730G Mobile Platform

Mari bahas jeroan Samsung Galaxy A71, SoC Snapdragon 730G ini dirancang untuk menyuguhkan powerful gaming experience. Kemampuan olah grafisnya disebut 15 persen lebih baik dibanding Snapdragon 730 versi standar dan Qualcomm menambahkan fitur gaming yang disebut Jank Reducer yang secara signifikan mencegah terjadinya lag.

Dari segi spesifikasi, keduanya tidak berbeda dan sama-sama diproduksi menggunakan proses 8nm. Dengan CPU octa-core yang terdiri dari dual-core 2.2 GHz Kryo 470 Gold dan hexa-core 1.8 GHz Kryo 470 Silver. Berpadu dengan GPU Adreno 618, ditunjang RAM 8G dan penyimpanan internal 128GB yang bisa ditambah dengan menyisipkan microSD.

Sedikit informasi, Samsung Galaxy A series dan utamanya Galaxy A71 adalah official smartphone di kompetisi esports Piala Presiden Esports 2020. Layar luas, baterai tahan lama, dan yang fitur AI Gaming Booster memperkaya pengalaman live gaming para penggunanya.

Semua hal terkait ‘gaming‘ telah dikumpulkan pada satu tempat bernama game launcher. Pusat kontrol permainan ini terintegrasi dengan Discord dan memiliki pengaturan mode game performance.

Lewat game launcher ini kita bisa menemukan game-game yang diinstal ke smartphone, lengkap dengan statistik, history, dan tips bermain dengan suguhan video Youtube. Sayangnya, saya tidak menemukan fitur untuk merekam gameplay dari game yang sedang dimainkan. Padahal fitur tersebut hadir pada game launcher di Galaxy A51.

Screenshot_20200211-183754_NxB-NV

Kapasitas baterai 4.500 mAh memastikan bahwa smartphone ini dapat mengakomodasi waktu bermain cukup lama. Untuk penggunaan normal kegiatan sehari-hari, bisa bertahan dari pagi sampai sore. Hal yang penting lagi, smartphone ini sudah didukung fast charging 25W yang mempersingkat waktu pengisian daya.

Verdict

Performa cukup powerful dan kemampuan kamera untuk foto maupun video memadai ialah dua aspek unggulan Samsung Galaxy A71. Smartphone ini menjadi ‘opsi’ bagi yang merasa kurang dengan yang ditawarkan oleh Galaxy A51 tapi budgetnya juga belum sampai untuk memperoleh smartphone flagship.

Harus diakui harganya yang mencapai Rp6.099.000, posisinya cukup sulit karena berada diantara batas atas smartphone kelas menengah dan tak jauh dari smartphone flagship atau kita bisa menyebutnya sebagai smartphone premium.

Sebagai informasi, Samsung baru-baru ini telah merilis Galaxy S10 Lite dengan chipset Snapdragon 855 dan Galaxy Note10 Lite dengan Exynos 9810 yang masing-masing dibanderol Rp8.999.000 dan Rp8.199.000. Keduanya merupakan turunan smartphone flagship, tapi mereka bukanlah flagship yang sebenarnya atau mungkin kita bisa menyebutnya sebagai smartphone high-end.

Sparks

  • Super AMOLED Plus 6,7 inci
  • Quad camera dengan kamera utama 64MP
  • SoC Snapdragon 730G Mobile Platform
  • RAM 8GB + ROM 128 + slot microSD
  • Baterai 4.500 mAh dengan fast charging 25W

Slacks

  • Harga Rp6 jutaan, posisinya sulit – terlalu dekat dengan smartphone flagship
  • Build quality baik, namun material yang digunakan kurang premium

 

 

[Review] Samsung Galaxy A51, Desain Baru & Kamera Meningkat

Samsung Electronics Indonesia mengawali tahun 2020 dengan menghadirkan dua smartphone Galaxy A series yang baru. Diawali dengan Galaxy A51 yang dibanderol dengan harga Rp4.099.000 dan diikuti Galaxy A71 dengan harga Rp6.099.000.

Samsung Galaxy A51 adalah smartphone kelas menengah dan penerus dari Galaxy A50s. Dibanding pendahulunya, aspek kamera dengan quad camera dan desain Infinity-O Display atau punch hole menjadi sajian utama Galaxy A51. Namun, masih diperkuat dengan chipset yang sama. Langsung saja, berikut ini review Samsung Galaxy A51 selengkapnya.

Super AMOLED Infinity-O Display

Selamat tinggal Infinity U display atau notch, Galaxy A51 ini sudah mengemas Infinity O display atau punch hole seperti yang terdapat pada flagship Galaxy Note 10 dan Galaxy S10 series. Jadi, sudah tidak ada lagi area hitam yang mengganggu di sekitar kamera depannya.

Panel Super AMOLED-nya membentang 6,5 inci dengan resolusi Full HD+ (1080×2400 piksel) dalam aspek rasio 20:9 yang sedikit lebih panjang dari 19.5:9. Perubahan aspek rasio ini tidak membuat A51 lebih panjang, tingginya masih sama persis 158.5mm seperti A50s. Hal ini bisa dicapai karena Samsung telah memperkecil bezel layar di sisi bawah atau dagu smartphone.

Perubahan mencolok lain ialah desain kamera belakangnya tampil kekinian dengan bingkai kotak persegi panjang. Namun yang lebih penting, Samsung menambahkan satu kamera ekstra 5MP dengan lensa macro dan kamera dengan lensa wide-angle ditingkatkan dari 8MP menjadi 12MP.

Secara garis besar rancangan utamanya masih identik seperti smartphone Galaxy A series lainnya. Desainnya simple dan slim dengan pola dan efek pelangi di bagian punggungnya, meski material yang digunakan masih plastik polikarbonat dan bagian mukanya berlapis Corning Gorilla Glass 3.

Untuk penempatan atributnya, tombol power dan volume berada di sisi kanan. SIM card ada di sisi seberangnya, dengan dua slot nano SIM dan satu slot microSD. Sementara, jack audio 3.5mm, port USB Type-C, mikrofon utama, dan speaker di sisi bawah dan disi atas hanya ada mikrofon sekunder.

On-Screen Fingerprint scanner & NFC

PSX_20200203_172540

Samsung Galaxy A51 telah mengoperasikan OS Android 10 dengan antarmuka One UI versi 2.0. Dari visual memang tidak begitu tampak perubahannya, tapi Samsung terus berupaya agar One UI bisa digunakan lebih mudah bahkan dengan satu tangan. Misalnya sistem gesture baru dan folder aplikasi di mana letak daftar aplikasinya agak ke bawah sehingga mudah dijangkau oleh jempol. Selain itu, fitur dark mode kini terintegrasi dengan lebih baik dengan sistem dan bekerja di lebih banyak aplikasi.

Untuk sistem keamanan biometrik, Galaxy A51 mengandalkan metode on-screen fingerprint scanner dan face recognition yang praktis dan cepat dalam mengenali pemiliknya. Perangkat ini juga dilengkapi dengan platform keamanan Samsung Knox.

Satu lagi, fitur yang bagi sebagian orang sangat berguna terutama bagi mereka yang tinggal di Ibu Kota dan menggunakan transportasi umum untuk aktivitas sehari-hari. NFC, dengan fitur ini kita tak perlu khawatir kehabisan saldo e-money – karena kita mengisi ulang uang elekronik langsung lewat smartphone.

Quad Camera with Super Steady

PSX_20200203_172606

Peningkatan paling besar yang terjadi pada Samsung Galaxy A51 dibanding pendahulunya adalah kemampuan kameranya. Di mana Samsung menambah satu kamera ekstra, 5MP (f/2.4) dengan lensa macro 40mm. Kebanyakan smartphone lain hanya punya kamera macro sebatas 2MP saja. Pemotretan jarak dekat ini tersedia secara terpisah dari mode foto, idealnya jarak objeknya sekitar 3-5 cm.

Kamera utamanya masih sama, 48 MP (f/2.0) Quad Bayer dengan ukuran per piksel 0.8µm dan secara default menghasilkan foto 12MP (1.6µm). Mode foto 48MP bisa dipilih dengan mengganti aspek rasio foto menjadi 4:3H.

Peningkatan lainnya, kamera dengan lensa ultrawide ditingkatkan dari yang sebelumnya 8MP menjadi 12MP (f/2.2) dan menyuguhkan bidang pandang 123 derajat. Fitur wide-angle ini tersedia di mode foto maupun video, caranya dengan mengklik ikon tiga pohon yang berada tepat di atas tombol rana.

Satu lagi, 5MP (f/2.2) sebagai depth sensor yang digunakan pada mode foto live focus untuk menghasilkan efek bokeh dramatis. Intensitas bokeh-nya bisa diatur dari level 1 sampai 7. Mode lain yang tersedia ialah panorama, food, night, super slow-mo, slow motion, hyperlapse, dan Pro.

Sayangnya, di mode Pro kita hanya bisa mengatur ISO dari 100-800, white balance, dan exposure compensation. Tak ada opsi untuk mengatur shutter speed dan manual fokus. Tak lupa, Galaxy A51 dilengkapi fitur scene optimizer dan HDR otomatis. Berikut hasil foto dari Samsung Galaxy A51:

Buat keperluan selfie, Galaxy A51 juga sangat memadai dengan kamera depan 32 MP (f/2.2). Lengkap dengan dukungan filter, mode beauty, mode wide-angle, live focus, dan AR emoji.

Perekaman videonya, kamera belakangnya mampu merekam video 4K UHD 30fps dan 1080p 30fps pada kamera depan. Fitur yang Samsung tonjolkan ialah Super Steady, berguna untuk meredam goyangan saat merekam video. Namun fitur ini hanya bekerja pada resolusi 1080p, video 4K tidak didukung.

Hardware & Performance

PSX_20200203_172700

Bagian yang satu ini tidak ada perubahan, Galaxy A51 masih digerakkan oleh chipset Exynos 9611 (10nm) yang sama seperti pada A50s. SoC ini berisi CPU octa-core yang terdiri dari quad-core 2.3 GHz Cortex-A73 dan quad-core 1.7 GHz Cortex-A53. Serta GPU Mali-G72 MP3 dan konfigurasi memori RAM 6GB dengan penyimpanan 128GB.

Kabar baiknya, SoC ini terbilang cukup kuat untuk menangani multitasking tugas-tugas harian. Namun bakal sedikit megap-megap bila Anda berniat menjadikannya sebagai mesin gaming, Galaxy A71 dengan Snapdragon 730 lebih ideal untuk kebutuhan gaming.

Meski begitu, game launcher sudah tersemat di Galaxy A51 yang mengumpulkan game diinstall dan pengaturan gaming. Seperti profil ‘focus on performance‘ untuk memastikan smartphone mengeluarkan potensi terbaiknya dan Anda bisa merekam aksi dalam permainan hingga resolusi 1080p.

Satu lagi, sebagai smartphone yang dirancang untuk live generation – daya tahan baterai menjadi aspek yang diperhatikan dengan baik. Galaxy A51 hadir dengan baterai berkapasitas cukup besar, 4.000 mAh. Lengkap dengan kemampuan pengisian daya fast charging 15W.

Verdict

PSX_20200203_172731

Saat artikel review Samsung Galaxy A51 diterbitkan, tercatat Samsung sudah mengeluarkan tiga smartphone baru di tahun 2020. Galaxy A51 di segmen Rp4 jutaan, Galaxy A71 di rentang Rp6 jutaan, dan Galaxy Note 10 Lite di kelas Rp8 jutaan. Kemungkinan Samsung masih akan meluncurkan penerus dari Galaxy A10s, A20s, dan A30s untuk mengisi semua segmen tanpa celah.

Galaxy A51 merupakan awal yang sangat baik, hadir dengan desain baru Infinity O display atau punch hole. Serta, kemampuan kamera lebih baik dengan konfigurasi quad camera belakang yang dibingkai apik. Dua perubahan ini kemungkinan juga akan menjadi elemen desain utama Galaxy A series baru lainnya.

Sparks

  • Kamera dengan lensa ultrawide meningkat menjadi 12MP dari 8MP
  • Tambah satu kamera dengan lensa macro 5MP
  • Desain baru Infinity O display atau punch hole seperti flagship Samsung
  • NFC, on screen fingerprint scanner, dan Android 10
  • Baterai 4.000 mAh dengan fast charging 15W

Slacks

  • Masih ditenagai SoC Exynos 9611 yang sama seperti pendahulunya
  • Fitur Steady On tidak bekerja di video 4K dan mode wide-angle

[Review] Fujifilm X-Pro3; Kamera Mirrorless Modern Rasa Analog

Fujifilm X100f sejauh ini masih menjadi kamera idaman yang membuat banyak para fotografer penasaran, termasuk saya. Tak diragukan lagi, kamera ini mampu menciptakan foto menawan dengan user experience yang unik.

Meski begitu Fujifilm X100f bukanlah untuk semua orang, ini bukan kamera mainstream yang menawarkan fungsi hybrid foto dan video. Sebaliknya, Fujifilm X100f merupakan kamera compact premium, tidak bisa gonta-ganti lensa, dan ditujukan untuk fotografer genre tertentu.

User experience unik pada Fujifilm X100 series juga terdapat pada Fujifilm X-Pro series. Fungsinya lebih luas sebagai kamera interchangeable-lens, bahkan X-Pro3 lebih totalitas. Saya sudah menggunakan kamera ini sekitar tiga minggu dan explore street photography, berikut cerita review Fujifilm X-Pro3 selengkapnya.

Hybrid Viewfinder dan Dual Screen

Bila dibandingkan dengan X100F dan pendahulunya X-Pro2, X-Pro3 ini lebih totalitas. Sebab selain mewarisi hybrid viewfinder tipe optical dan electronic, perubahan besar yang terjadi pada X-Pro3 ialah penggunaan dual screen. Di mana panel LCD utamanya menghadap ke belakang dan perlu dibalik untuk menggunakannya. Sementara, layar yang di depan menggunakan teknologi E Ink berwarna berukuran 1,28 inci.

Ada dua mode informasi yang tampil di sepotong layar ini, pertama setelah melepas pasang baterai kamera, maka yang tampil ialah info lokasi SD card di slot satu atau dua, estimasi jumlah foto yang bisa diambil dari sisa kapasitas SD card, dan level baterai. Lalu, setelah digunakan memotret, layar sekunder akan menampilkan informasi white balance, film simulation yang dipilih, dan ISO.

Bentuk jendela bidiknya bulat dan ukurannya cukup besar, dengan panel OLED beresolusi 3,69 juta dot yang nyaman dan jelas saat digunakan bahkan bagi saya yang menggunakan kaca mata. Di samping kiri terdapat roda diopter adjustment, jadi kita bisa melepas kaca mata dan menggeser fokus lensa viewfinder agar sesuai dengan kondisi spesifik mata kita. Untuk beralih dari viewfinder optical ke electronic atau sebaliknya, ada tuas khusus yang berada di samping kanan mount lensa.

Unit review Fujifilm X-Pro3 saya berpasangan dengan lensa Fujinon XF 35mm f/2 R WR yang mana 53.5mm equivalent di full frame (35mm). Saat memotret menggunakan viewfinder optical, area pemotretannya tidak begitu lebar. Hasilnya akan lebih sempit lagi bila menggunakan lensa 50mm (75mm equivalent di sensor 35mm) dan sebaiknya beralih ke jendela bidik electronic.

Layar sentuh 3 inci beresolusi 1,62 juta dot bisa digunakan setelah kita membaliknya setengah 90 derajat atau sepenuhnya ke bawah 180 derajat. Ini adalah perubahan besar yang sangat berani, saya yakin kebanyakan fotografer saat ini sangat bergantung pada layar untuk framing atau mencari komposisi saat memotret.

PSX_20200129_182912

Fujifilm tampaknya ingin mendorong para pengguna X-Pro3 menggunakan jendela bidik. Terus terang, awalnya saya agak frustrasi. Sebab, kita membutuhkan layar ini untuk preview hasil foto dan video, serta menjelajahi dan menyesuaikan pengaturan kamera lebih lanjut.

Di sisi lain, saya juga mendapatkan pengalaman menyenangkan saat memotret menggunakan jendela bidik dan seolah muncul kebanggaan tersendiri. Walaupun saya mengaku tidak sepenuhnya bisa lepas dari penggunaan layar untuk framing.

Perlu dicatat juga, memotret menggunakan jendela bidik ini bisa dilakukan dengan memegang kamera pada posisi normal pada ambang batas mata atau ‘eye-level position’. Untuk low angle bisa jongkok dan tiarap atau cara yang lebih praktis menggunakan layarnya, sedangkan untuk high angle hanya bisa mengandalkan ‘feeling‘.

Desain dan Sistem Kontrol

Fujifilm X-Pro3 mengusung desain bergaya rangefinder retro seperti halnya kamera analog jaman dulu, tampil artistik dan unik. Dimensi body-nya agak bongsor dan mungkin terlalu mencolok untuk street photography.

Build quality-nya sangat baik, pelat atas dan bawahnya kini terbuat dari bahan titanium. Kamera ini juga tersedia dalam varian dengan lapisan khusus Duratect yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap goresan.

Ukuran grip-nya minimalis, ada di depan dan belakang. Kita masih memungkinkan memotret pakai jendela bidik, baik dalam posisi vertikal atau portrait dengan nyaman menggunakan satu tangan. Dengan catatan, sebaiknya menyempatkan tali kamera di leher. Sebab, bobot kamera ini tidak ringan dan takut selip saat tangan berkeringat.

Photo by Lukman Azis/ Dailysocial
Photo by Lukman Azis/ Dailysocial

Sekarang saya akan bahas sistem kontrol kamera ini. Sebelumnya saya sudah me-review Fujifilm X-T30, jadi harusnya sudah cukup akrab dengan sistem kontrolnya. Setelah saya jemput kamera ini di kantor Fujifilm Indonesia, hal pertama yang dilakukan adalah mempelajari kontrol manual segitiga eksposur dan saya tidak menemukan cara untuk mengatur ISO secara manual.

Saya sampai tanya-tanya untuk mengetahui bahwa roda kontrol putar shutter speed berfungsi ganda. Ada ring yang bisa ditarik ke atas dan putar untuk mengatur nilai ISO yang pada saat itu berada di mode A atau otomatis.

Satu lagi yang agak menggelikan, bagaimana cara merekam video menggunakan kamera ini? Ya, X-Pro3 tidak memiliki roda kontrol mode pengambilan gambar dan juga tanpa tombol rana video. Setelah mengubek-ubek, ternyata mode perekam videonya tersembunyi di tombol drive.

Setelah dua hal tadi terpecahkan, saya masih harus berjuang beradaptasi memotret menggunakan viewfinder dengan kontrol manual segitiga eksposur. Saya ingin menekan nilai ISO sekecil mungkin untuk mendapatkan kualitas bidikan terbaik yang berujung pada terlalu sibuk sendiri.

Akhirnya saya ambil jalan tengah, untuk foto yang melibatkan orang-orang saya cenderung menggunakan ISO otomatis dengan sedikit penyesuaian pada shutter speed dan aperture sesuai kondisi cahaya. Sementara, untuk foto arsitektur atau landscape menggunakan layar dan kontrol manual penuh.

Mengenai kelengkapan atributnya, di bagian atas terdapat hot shoe, roda kontrol putar shutter speed dan juga ISO, roda kontrol putar exposure compensation, tombol Fn, dan tombol rana bersama tuas on/off.

Lanjut, di sisi kanan ada dua slot SD card yang mendukung UHS-II. Lalu, di sisi kiri terdapat port USB 3.1 Gen 1 Type-C untuk mengisi daya dan port mikrofon 2.5mm. Baterai di sisi bawah, menggunakan tipe NP-W126S 8.7Wh yang menurut CIPA mampu melepaskan 370 jepretan menggunakan viewfinder electronic dan melonjak 440 jepretan bila menggunakan viewfinder optical.

Bagian depan kamera ada mount lensa dan tombol untuk melepas lensa, tuas untuk beralih ke mode single autofocus, continue autofocus, dan manual fokus. Serta, tombol Fn2 bersama tuas untuk beralih jenis viewfinder.

Sementara, bagian depan selain viewfinder dan layar terdapat focus stick atau joystick untuk menentukan titik fokus terutama saat memotret menggunakan viewfinder dan bisa juga digunakan untuk navigasi. Kemudian ada tombol drive/delete, tombol AE-L/AF-L, roda putar yang secara default untuk mengatur shutter speed, menu/ok, play, disp, Fn3, dan tombol Q atau quick menu. Default-nya quick menu menampilkan 16 shortcut dan Anda bisa mengubahnya menjadi 12, 8 atau 4 di pengaturan.

Kemampuan Foto

Fujifilm X-Pro3 mengusung sensor gambar generasi keempat, BSI X-Trans CMOS 4 APS-C dengan resolusi 26MP dan prosesor X-Processor 4 yang sama seperti yang ada di body flagship Fujifilm X-T3. Hasil fotonya dapat disimpan dalam format JPEG kualitas fine atau normal dan Raw uncompressed atau lossless compressed dalam aspek rasio 3:2, 16:9, atau 1:1.

Kamera ini mampu memotret beruntun 11 fps dan sistem phase detection autofocus-nya dapat bekerja di level cahaya rendah -6 EV. Performa fitur face/eye detection-nya konsisten untuk membantu menangkap portrait yang sempurna dan yang baru ada fitur AF range limiter, di mana kita menentukan sendiri jarak autofocus-nya misalnya 2 atau 5 meter.

Saya pernah berbincang seru dengan seorang tour guide, salah satu alasannya menggunakan kamera Fujifilm ialah karena resep film simulation-nya. Di mana hasil foto JPEG-nya memiliki warna yang sangat bagus sehingga memungkinkan untuk langsung mengirimnya ke klien dan hanya perlu sedikit sentuhan editing.

Saya setuju, mode film simulation ini mampu menyajikan warna yang khas, unik, dan mampu mengeluarkan ekspresi lebih kuat dibandingkan dengan picture style standar pada kamera lain. Meski kembali lagi pada selera, karena mungkin bagi sebagian orang sedikit berlebihan.

Fujifilm menambahkan efek film simulation baru bernama Classic Neg. dengan warna yang kontras untuk menambah kedalaman foto. Totalnya kini ada sebelas mode film simulation, dari Provia (standard), Velvia (vivid), Astia (soft), Classic Chrome, PRO Neg. Hi, PRO Neg. Std, Eterna buat yang suka foto ala cinematic, Acros dan Monochrome dengan opsi STD, Ye, R, dan G, serta Sepia untuk dengan nuansa jadul.

Meski saya sangat menikmati warna yang disuguhkan oleh mode film simulation tersebut, semua aktivitas memotret juga saya simpan dalam format Raw. Dengan bit depth 14 bit dan pilih tanpa kompresi kita bisa menangkap warna dan gradasi terang gelap yang lebih kaya, bisa bermain-main dengan Lightroom dan meningkatkan lagi kualitas foto kita.

Selain penambahan efek baru di mode film simulation, Fujifilm juga menyempatkan mode pengambilan foto baru yakni mode HDR. Fitur ini sudah hadir di kamera smartphone, tapi merupakan hal baru untuk kamera mirrorless.

Cara kerjanya kamera akan mengambil gambar secara beruntun sebanyak tiga kali, lalu kemudian menyelaraskan dan menggabungkan menjadi satu file JPEG dengan rentang dinamis tinggi. Misalnya akan bermanfaat pada saat memotret sunset atau sunrise, di mana kamera akan mengangkat bayangan dan memulihkan sorotan terang langsung dari kamera.

Perekam Video

Kamera ini jelas tidak dirancang untuk videografi. Jadi meski kita mendapatkan kualitas foto yang identik seperti X-T3, namun X-Pro3 tidak dibekali fitur-fitur video sebaik X-T3.

Sebagai pembanding, X-T3 mampu merekam video 4K UHD dan DCI 60fps dengan bit rate 400Mbps. Sementara, X-Pro3 hanya bisa merekam 4K UHD dan DCI pada 30fps dengan bit rate 200Mbps. X-Pro3 kehilangan kemampuan output video 10-bit 4:2:2 melalui HDMI, karena memang tak punya port HDMI.

Selain itu, mode perekam videonya terpisah dengan mode pengambilan gambar dan tersembunyi di menu drive. Fitur video lainnya X-Pro3 mampu merekam 1080p hingga 120fps, didukung film simulation, F-Log, face/eye detection, zebra, dan movie silent control.

Sebagai tambahan, kamera ini memiliki port mikrofon 2.5mm yang artinya Anda bakal perlu adaptor ke 3.5mm, dual slot SD card, dan hot shoe untuk menempatkan mikrofon atau flash. Namun perlu diingat, kita tidak bisa menggunakan layar utama tanpa membalik ke bawah dan layar akan mentok tidak lebih dari 90 derajat saat dipasang pada tripod atau gimbal.

Verdict

PSX_20200129_184400

Mekanisme layar baru pada Fujifilm X-Pro3 tampak seperti perubahan kecil, namun secara dramatis akan mengubah ‘kebiasaan’ cara memotret para penggunanya. Misalnya kebiasaan mengambil gambar lewat layar dan preview langsung setelah foto diambil.

Sebaliknya kita didorong untuk memotret melalui jendela bidik dan memperlakukan X-Pro3 layaknya kamera analog, yang mana hanya menawarkan jendela bidik untuk memotret dan tidak memungkinkan kita untuk preview hasilnya sampai film diproses.

Di sisi lain, kita bisa fokus memotret tanpa gangguan dan memeriksa hasil bidikannya di rumah lewat laptop. Setidaknya dengan sistem kontrol fisiknya, kita sudah bisa mengatur segitiga eksposur dan memilih film simulation. Meskipun untuk menyasuaikan white balance dan pengaturan lainnya tetap harus membuka layar.

Dari aspek fitur dan spesifikasinya, Fujifilm X-Pro3 adalah kamera modern rasa analog yang bisa dikatakan memiliki kemampuan setara dengan flagship kamera mainstream Fujifilm X-T3. Keterbatasan mekanisme layarnya membuatnya menjadi kamera yang terfokus untuk fotografi dan menawarkan pengalaman nostalgia seperti menggunakan kamera film lengkap dengan kontrol manualnya.

Sparks

  • Hybrid viewfinder, optical dan elecronic
  • Desain retro yang cantik
  • Film simulation mengurangi tahapan editing
  • Cocok sebagai kamera street photography
  • Perekaman video 4K 30fps
  • Pengisian daya lewat port USB Type-C

Slacks

  • Bukan kamera hybrid, kurang cocok untuk videografi
  • Mekanisme layar baru akan mentok saat dipasang tripod atau gimbal

[Review] ASUS ZenBook 13 UX334, Cocok Buat Mendongkrak Produktivitas

Body ringkas dengan performa powerful, ultrabook memang ideal dijadikan sebagai daily driver. Saya sendiri telah menggunakan ASUS ZenBook 13 UX334FLC sekitar satu setengah bulan dan ada kelebihan pasti ada kekurangannya juga.

Satu hal yang pasti laptop ini sangat cocok untuk para kalian yang ingin mendongkrak produktivitasnya kerjanya. Apalagi yang bermobilitas tinggi dan harus bekerja secara mobile kapan pun di mana pun.

Laptop premium keluarga ZenBook Classic series ini dibanderol dengan harga mulai Rp15.299.000 untuk varian dengan prosesor Intel Core i5-10210U (8G/512G PCIe), Rp19.299.000 dengan prosesor Intel Core i5-10210U (MX250/8G/1T PCIe), dan Rp 22.999.000 dengan prosesor Intel Core i7-10510U (MX250/16G/1T PCIe). Berikut review ASUS ZenBook 13 UX334FLC selengkapnya:

3D IR Camera

3D IR Camera | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
3D IR Camera | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Sebelumnya saya selalu menggunakan metode password untuk mengunci laptop. Namun tak disangka fitur face unlock dengan 3D IR camera dan Windows Hello pada ZenBook 13 UX334FLC berakhir menjadi salah satu fitur favorit saya.

Satu setengah bulan lamanya dan entah sudah berapa banyak buka tutup laptop, proses masuk ke sistem Windows memang lebih cepat dan praktis. Kamera infra merah pada laptop ini mampu mengenali wajah penggunanya secara konsisten, bahkan dalam kondisi temaram sekalipun. Tetapi bukan berarti tak pernah gagal, beberapa kali saya harus mengetik PIN untuk login.

Dimensi Ringkas

Tampilan depan ASUS ZenBook UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Tampilan depan ASUS ZenBook 13 UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Hadir dengan dimensi 30.2×18.9×1.83 cm dan bobot 1.27 kg, ukuran body-nya memang terbilang sangat ringkas. Meskipun dari aspek ketebalan bukan yang tertipis di kelasnya, tapi setidaknya baterai 50Wh yang tertanam cukup untuk menunjang kerja seharian.

Bentukan compact juga berarti tak makan ruang banyak saat disimpan di dalam tas, serta bobot yang cukup ringan tersebut tidak membebani pundak. Portable dan asik dibawa bepergian, meskipun perlu saya tekankan lagi bahwa laptop sedikit agak tebal.

Tampilan belakang ASUS ZenBook UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Tampilan belakang ASUS ZenBook 13 UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Unit yang saya review berwarna royal blue, yang tampil elegan dengan tutup terukir pola concentrik circle khas ZenBook. Layar dengan bezel samping tipis dan sasis dari logam membuat ZenBook 13 UX334 enak dipandang dan terasa premium di tangan. Laptop ini juga bisa dibuka dengan satu tangan, meskipun perlu tenaga ekstra untuk membukanya.

Sisi kanan ASUS ZenBook 13 UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Sisi kanan ASUS ZenBook 13 UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Kelengkapan konektivitasnya cukup memadai untuk ukuran laptop 13 inci, di sisi kanan terdapat jack audio combo 3.5mm, port USB 2.0, dan slot microSD card reader. Sementara, di sisi kiri ada port DC-in untuk pengisian daya, port HDMI, port USB 3.1 Gen 2, dan port USB-C 3.1 Gen 2.

Sisi kiri ASUS ZenBook 13 UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Sisi kiri ASUS ZenBook 13 UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Sayangnya, ASUS masih belum memberikan port yang dilengkapi dengan teknologi Thunderbolt 3. Lalu, untuk dukungan konektivitas nirkabel ada Wi-Fi 6 (802.11 ax (2×2)) dan Bluetooth 5.0.

Keybard ASUS ZenBook 13 UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Keybard ASUS ZenBook 13 UX334 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Seperti laptop anyar ASUS lainnya, ZenBook 13 UX334 ini juga menggunakan mekanisme engsel ErgoLift yang mengangkat posisi keyboard sehingga lebih nyaman untuk diketik. Keyboard-nya sendiri dilengkapi dengan full-size backlit dan punya key travel 1.4mm, mengetik cepat bisa ditangani dengan baik dan tuts-nya membal saat ditekan.

ScreenPad 2.0

ScreenPad 2.0 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
ScreenPad 2.0 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Fitur ini menjadi salah satu pembeda dari pendahulunya, di mana ASUS menyempatkan ScreenPad versi 2.0 yang ukurannya sedikit lebih besar dan lebih multi fungsi. Ini adalah touchpad yang juga merupakan sebuah layar sekunder touchscreen berukuran 5.65 inci.

Singkatnya, layar sekunder ini bisa menampilkan konten untuk mendukung pekerjaan di layar utama. Beberapa fungsi default yang tersemat antara lain, number key, hardwriting, quick key, slide xpert, doc xpert, sheet xpert, appdeals, myASUS, dan Spotify. Tentu saja, Anda dapat menyeret shortcut aplikasi favorit atau konten yang sedang dibuka pada layar utama ke layar kedua.

ScreenPad 2.0 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
ScreenPad 2.0 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Untuk mengaktifkan atau menonaktifkan fitur ScreenPad ini cukup dengan menekan tombol F6 atau Fn + F6. Di sana terdapat pilihan ScreenPad mode, traditional touchpad mode, dan toucpad is disabled. Lalu, untuk mengatur mode ScreenPad sebagai layar kedua cukup menekan tombol F8 atau Fn + F8. Pilih mode extend untuk memungkinkan menyeret konten utama ke layar kedua.

Layar 13.3 Inci

Layar 13,3 inci | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Layar 13,3 inci | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Layar NanoEdge 13.3 incinya ini punya bezel samping yang tipis; hanya 2.8mm. Dengan screen-to-body ratio mencapai 95 persen, menurut ASUS dibanding generasi sebelumnya (ZenBook 13 UX331), ZenBook UX334 ini 14 persen lebih kecil.

Panel LED-backlit 60Hz tersebut beresolusi FHD (1920×1080 piksel) dengan dukungan NTSC 72 persen, sRGB 100 persen, dan teknologi WideView 178 derajat. Meskipun resolusinya belum 4K, layar 13 inci FHD ini sudah menyuguhkan kualitas yang sangat baik.

Performa dengan Prosesor Intel Core Generasi Ke-10

Unit ASUS ZenBook 13 UX334FLC yang saya review merupakan varian tertinggi. Tiba dengan prosesor Intel generasi terbaru yakni Intel Core i7-8565U Comet Lake generasi ke-10, dengan prosesor 4 core 8 thread dan thermal design power 15 Watt.

Di samping unit integrated graphics Intel HD Graphics 620, ASUS juga membenamkan discrete graphics card NVIDIA GeForce MX250 dengan 2GB GDDR3. Kemudian besaran RAM-nya 16GB LPDDR3 menggunakan mode dual channel guna mengoptimalkan kinerja dari spesifikasi yang ada, serta tak lupa penyimpanan berbasis SSD PCIe dengan kapasitas 1TB.

Ya, berkat daftar spesifikasi tersebut performa yang disuguhkan ASUS ZenBook 13 UX334FLC ini sangat kencang. Tugas-tugas standar harian, bahkan software editing foto dan video bisa berjalan dengan mulus.

Beberapa kali saya juga mengedit video 1080p menggunakan software Adobe Premiere Pro di laptop ini dengan beberapa footage beresolusi 4K. Meski layar 13.3 incinya termasuk kekecilan untuk kebutuhan tersebut, tapi dengan beberapa trik – mengedit video di ZenBook 13 UX334FLC masih bisa dilakukan dengan baik.

Verdict

ASUS ZenBook 13 UX334 Royal Blue | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
ASUS ZenBook 13 UX334 Royal Blue | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Faktor bentukan ringkas dalam desain premium, layar bezel-less dengan opsi layar kedua (ScreenPad 2.0), serta daya tahan baterai lama dengan performa powerful. Laptop ini menawarkan apa yang dibutuhkan oleh penggunanya, utamanya bagi yang ingin meningkatkan produktivitas yang mungkin menjadi salah satu resolusi di tahun 2020 bagi beberapa orang atau mereka yang dituntut bekerja secara mobile.

Tentunya tak harus mengejar varian tertinggi, varian dasar dengan prosesor Intel Core i5-10210U (8G/512G PCIe) dengan harga Rp15.299.000 terbilang kompetitif dan performanya juga masih cukup powerful untuk menangani beragam tugas pekerjaan.

Sparks

  • Dimensinya ringkas dan build quality premium
  • ScreenPad 2.0 yang multi fungsi, layarknya punya monitor mini ekstrenal
  • Performanya terbilang powerful
  • Daya tahan baterai lama

Slacks

  • Profil body agak tebal
  • Perlu tenaga ekstra untuk membuka laptop

[Review] Canon EOS M6 Mark II, Pertama dengan Resolusi 32.5MP

Bentrokan kamera mirrorless full frame di segmen profesional dari sederet produsen kamera papan atas seperti Sony, Canon, Nikon, dan Panasonic menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan pada tahun 2019.

Namun, persaingan kamera mirrorless dengan sensor berukuran APS-C juga tak kalah menarik. Tercatat pada tahun lalu, Sony meluncurkan trio A6100, A6400, dan A6600. Fujifilm dengan X-T30, X-A7, dan X-Pro 3. Serta, Canon dengan EOS M200 dan EOS M6 Mark II.

Jajaran mirrorless APS-C ini kini punya kemampuan perekaman video yang sangat baik, kinerja autofocus cepat, dan menawarkan resolusi lebih tinggi. Canon EOS M6 Mark II misalnya, ia mengusung sensor CMOS baru APS-C beresolusi mencapai 32.5MP, lengkap dengan sistem Dual Pixel autofocus yang cekatan, dan perekaman video 4K/30p tanpa crop.

Saya telah memotret dan syuting menggunakan kamera yang dibanderol Rp12.650.000 untuk body only ini selama beberapa pekan. Berikut kesan dan review Canon EOS M6 Mark II selengkapnya.

Desain

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada PT. Datascrip selaku distributor produk Canon di Indonesia yang telah meminjamkan Canon EOS M6 Mark II. Unit yang saya review berwarna silver yang berpadu dengan warna hitam, tampil klasik dalam desain modern.

Seperti pendahulunya, EOS M6 II tidak memiliki viewfinder bawaan. Bila membutuhkan jendela bidik, kita bisa memasang aksesori viewfinder opsional yakni Canon EVF-DC2 pada dudukan hot shoe. Sayang tak disertakan dalam paket penjualan dan bila membelinya sendiri harganya cukup mahal.

LCD 3 inci touchscreen yang dibawanya bisa dimiringkan ke atas hingga 180 derajat dan 45 derajat ke bawah. Membuatnya ideal sebagai kamera vlogging untuk para solo content creator yang berjuang membuat konten seorang diri.

Perlu dicatat, posisi hot shoe di tengah akan membuat layar tertutup oleh mikrofon eksternal. Salah satu solusinya bisa menggunakan aksesori cold shoe relocation plate, L plate, atau rig plate yang mungkin nanti bakal tersedia di pasaran.

Soal kontruksi body-nya cukup solid, terbuat dari paduan metal, serta plastik dan lapisan karet di beberapa bagian. Saat berpasangan dengan lensa kit EF-M 15-45mm, dimensi kamera ini terbilang compact. Namun, tetap nyaman saat digunakan berkat ukuran grip-nya yang agak besar.

Dalam pengujian, saya turut menggunakan lensa EF 50mm F1.4 USM (harga baru lensa ini sekitar Rp5 jutaan) dengan mount adapter Canon EF-EOS M ke EOS EF/EF-S. Hasil fotonya benar-benar sangat mengesankan, warnanya cantik dengan background bokeh yang creamy.

Meski begitu, bunyi suara autofocus lensa EF 50mm memang agak kasar dan bakal membuat kamera lebih bongsor. Terus terang saya jadi penasaran, bagaimana hasilnya bila dipasangkan dengan lensa ring merah Canon.

Karena sudah dibekali konektivitas WiFi dan Bluetooth, hasil tangkapan foto mapupun videonya bisa langsung dikirim secara instan ke smartphone melalui aplikasi Canon Camera Connect.

Mengenai daya tahan, baterai LP-E17 yang digunakan mampu melepaskan 305 jepretan sekali charge. Untuk pengisian daya, kita harus melepas baterai dari body kamera dan menggunakan adapter charger khusus. Meski kamera ini sudah dibekali port USB Type-C, tapi saya tidak bisa mengisi daya langsung ke kamera menggunakan charger smartphone.

Sistem Kontrol

Sistem kontrol kamera pada EOS M6 II sangat ramah bagi penggunanya, tombol kontrol fisik lengkap dan sangat intuitif. Untuk mengatur exposure secara manual, di sisi atas terdapat dua roda kontrol untuk menyesuaikan shutter speed dan aperture.

Lalu, kita bisa set roda kontrol navagasi yang berada di depan untuk ISO. Dengan kontrol segitiga exposure ini, bakal sangat memudahkan para penggunanya untuk mengontrol kamera dengan cepat dan tepat.

Selain itu, user interface layar sentuhnya juga mudah dimengerti. Canon melengkapinya dengan quick control yang bisa diakses di pojok kanan atas layar atau tombol kontrol Q Set. Di mana kita bisa dengan mudah mengakses fitur-fitur penting seperti mode autofocus, kualitas gambar, aspek rasio, resolusi video, white balance, hingga picture style.

Satu hal lagi yang sangat saya suka dari kamera Canon ialah mode foto dan videonya memiliki pengaturan terpisah. Bakal sangat berguna bagi yang sering membuat video sekaligus mengambil foto, sebab pengaturan kedua mode tersebut memang berbeda. Misalnya di mode video, saat kondisi cahaya kurang bersahabat kita tidak bisa menekan shutter speed lebih rendah – sebaliknya kita harus meningkatkan ISO untuk mendapatkan exposure yang pas.

Kemampuan Foto

Pengaturan kamera Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Pengaturan kamera Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Canon EOS M6 Mark II dapat mengambil gambar dengan resolusi maksimal 32MP (6960×4640 piksel) dalam pilihan aspek rasio 3:2, 4:3, 16:9, dan 1:1. File foto bisa disimpan dalam format JPEG, Raw, dan CRaw. Sensor tersebut tetap menggunakan low pass filter yang lebih aman dari efek moire.

Dari banyak foto yang telah saya ambil, satu foto 32MP dalam format JPEG – paling kecil memakan ruang 4MB dan 12MB paling besar. Sementara dalam format Raw, paling kecil memakan ruang 21MB dan 41MB paling besar.

Raw burst mode Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Raw burst mode Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Ditenagai prosesor DIGIC 8, kamera ini dapat memotret beruntun 14fps, 30 fps dengan crop pada lebarnya menjadi 88 persen, dan mode Raw burst 30fps hingga 70 frame dengan crop 75 persen yang menghasilkan foto 18MP.

Sejauh ini, sistem Dual Pixel autofocus bekerja cepat meskipun bukan yang tercepat di kelasnya. Ada empat mode area fokus otomatis yang dapat dipilih, Face + Tracking, Spot AF, 1-point AF, dan Zone AF. Fitur face detection dan eye detection juga bekerja cukup baik, terutama untuk foto portrait.

Lensa kit Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Lensa kit Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Untuk pilian lensanya, jajaran lensa native EF-M dari Canon memang jumlahnya tidak banyak. Meski sebetulnya sudah cukup lengkap, dari yang terbaru berikut daftarnya:

  • 32mm F1.4 STM
  • 18-150mm F3.5-6.3 IS STM
  • 28mm F3.5 Macro IS STM
  • 15-45mm F3.5-6.3 IS STM
  • 55-200mm f/4.5-6.3 IS STM
  • 11-22mm f/4-5.6 IS STM
  • 18-55mm f/3.5-5.6 IS STM
  • 22mm f/2 STM

Dengan mount adapter Canon EF-EOS M, kita bisa memasangkannya dengan lensa Conon EF/EF-S yang tak hanya variasinya banyak tapi juga dari sisi kualitas optiknya. Opsi lain datang dari Sigma, lensa fix buatannya dari 16mm, 30mm, dan 56mm F1.4 juga tersedia di sistem EOS-M dan harganya cukup terjangkau. Berikut hasil foto dari Canon EOS M6 Mark II:

Perekam Video

Canon EOS M6 Mark II ideal untuk vlogging. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Canon EOS M6 Mark II ideal untuk vlogging. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Selain resolusi kameranya yang meningkat, aspek perekaman video juga mendapatkan update signifikan. Kamera ini mampu merekam video hingga 4K/30p (3840×2160 piksel) full tanpa crop dan sistem Dual Pixel autofocus-nya juga masih bekerja.

Kita memiliki pilihan mode area AF yang sama seperti mode foto dan saat merekam video, kita bisa mengganti titik fokus dengan menyentuh layar dan ada juga opsi untuk beralih dari autofocus ke manual focus atau sebaliknya. Lalu, ada dua opsi electronic image stabilization dua tingkat, tentunya dengan sedikit crop sebagai gantinya.

Pengaturan video Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Pengaturan video Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Hal menarik lainnya ialah ketersediaan mode high frame rate 1080p 120fps, di samping opsi 1080p 60fps dan 1080p 30fps. Saat ini belum tersedia 1080p pada 24fps tapi dari yang saya baca-baca bakal tersedia dalam update firmware mendatang.

Fitur video penting lainnya ialah ketersediaan port mikrofon eksternal dan mode HDR video yang sepenuhnya otomatis. Sayangnya dibanding para kompetitor direntang harga yang sama, kamera ini belum dibekali dengan dukungan picture profile untuk fleksibilitas color grading dan tidak memiliki fitur peringatan zebra.

Verdict

Sensor APS-C 32.5MP Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Sensor APS-C 32.5MP Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Menurut saya, persaingan kamera mirrorless APS-C pada rentang harga Rp10-20 juta tak kalah panas dengan mirrorless full frame di segmen atas. Sebab, full frame masih bukan untuk semua kalangan karena harga body kamera dan lensanya relatif sangat mahal.

Melihat fitur dan harganya, Canon EOS M6 Mark II bakal bertempur secara kompetitif melawan Sony A6400, Fujifilm X-T30, dan Panasonic Lumix G95 dengan sensor MFT. Meski dalam hal kemampuan perekaman video dan sistem autofocus bukan yang terbaik, tapi unggul pada resolusi sensornya yang mencapai 32.5MP – di mana para pesaingnya masih menawarkan 24MP.

Sparks

  • Kamera mirrorless APS-C Canon pertama dengan 32.5MP
  • Fitur dan harga sangat kompetitif dengan kompetitornya
  • Punya LCD 3 inci touchscreen 180 derajat dan port microphone eksternal yang idal untuk content creator
  • Sistem kontrol fisik intuitif dan lengkap
  • Mampu merekam 4K 30fps tanpa crop dan sistem Dual Pixel AF tetap bekerja
  • Punya mode high frame rate 1080p 120fps

Slacks

  • Tanpa dukungan picture profile
  • Tanpa port headphone untuk memonitor audio
  • Belum punya IBIS
  • Isi daya baterai harus menggunakan adapter khusus

 

[Review] Vivo S1 Pro, Smartphone Stylish Untuk Anak Muda

Pada akhir bulan November lalu, Vivo menghadirkan varian Pro dari ‘S1’ di Indonesia. Smartphone Vivo S1 Pro ini menjadi penutup tahun 2019 dan Vivo sendiri berakhir di urutan kedua sebagai brand smartphone terbesar di Indonesia pada kuartal ketiga menurut laporan IDC Indonesia.

Saya sudah menggunakan Vivo S1 Pro selama beberapa minggu, smartphone yang ditujukan untuk anak muda ini dibanderol Rp3.999.000 (sekarang Rp3.699.000). Berikut kesan dan review Vivo S1 Pro selengkapnya.

Desain

Style” menjadi elemen utama smartphone Vivo S series dan bagian paling menarik dari S1 Pro ialah kecantikan desain kamera belakangnya. Vivo menyebutnya “Diamond Shape Design” dan baru diterapkan pada S1 Pro.

Desain berbentuk berlian ini mengemas empat kamera dan dibalut dalam warna yang elegan yakni crystal blue dan glowing black. Modul kamera belakangnya ini agak menonjol, untuk mengurangi resiko permukaan lensa tergores – sebaiknya gunakan case yang terdapat dalam paket penjualannya.

Sementara, bagian depan masih terdapat notch di pucuk layar. Tidak ada mekanisme pop up kamera depan seperti yang ditemukan pada Vivo V17 Pro. Hal ini bisa dimaklumi mengingat posisi smartphone S series ini memang berada satu level di bawah Vivo V series.

Layarnya sudah menggunakan jenis AMOLED dan mendukung fitur sidik jari di bawah permukaan layar alias Screen Touch ID. Panelnya berukuran 6,38 inci dengan resolusi 1080×2340 piksel dalam rasio 19.5:9 yang nyaman untuk nonton video maupun bermain game.

Soal kelengkapan atributnya, di sisi atas terdapat lubang jack audio 3.5mm dan mikrofon sekunder. Menurut saya penempatan jack audio di bagian atas merupakan posisi yang paling ideal bagi yang masih menggunakan headphone kabel, karena tidak mengganggu pegangan smartphone.

Port USB Type-C, mikrofon utama, dan speaker berada di sisi bawah. Sisi kanan terdapat tombol power dan volume, serta SIM Tray di sisi kiri dengan slot berbentuk hybrid.

Kamera

PSX_20200106_161414

Kamera utama Vivo S1 Pro beresolusi 48MP menggunakan sensor Samsung GM1 dengan ukuran tiap piksel 0.8µm dan aperture f/1.8. Seperti kebanyakan smartphone dengan kamera 48MP lainnya, secara default kamera S1 Pro menjepret pada resolusi 12MP sehingga ukuran per pikselnya menjadi lebih besar yakni 1,6μm yang membuatnya ideal untuk bermacam-macam kondisi pencahayaan.

Bagi penikmat fotografi langscape, Vivo menyediakan mode AI 48MP terpisah. Lalu, ada mode Pro yang memberi keleluasaan untuk exposure value, ISO, shutter speed, white balance, dan manual fokus. Sayangnya, kita tidak bisa menggunakan resolusi 48MP di mode Pro dan mode malam juga absen.

Yang cukup disayangkan lagi, kemampuan perekam video S1 Pro hanya sebatas resolusi 1080p 30fps saja. Tidak ada opsi untuk 1080p 60fps maupun 4K 30fps, padahal SoC-nya mendukung.

Lanjut ke kamera kedua, resolusinya 8MP dengan lensa ultrawide 13mm yang menyuguhkan bidang pandang 108 derajat. Kabar baiknya, mode ultra wide-angle tersebut bisa digunakan pada mode foto maupun video. Tentunya tak lepas dari efek distorsi yang sebetulnya cukup parah, tapi bisa menghasilkan foto yang unik di tangan kreatif. Berikut hasil foto dari kamera belakang S1 Pro:

Sisanya, masing-masing 2MP dengan lensa macro dan sebagai depth sensor. Serta, kamera depannya beresolusi 32MP dengan beragam fitur kecantikan. Ya, desain kamera diamond pada S1 Pro hanya memberikan nilai lebih pada estetika, tidak mempengaruhi hasil bidikan kamera belakangnya.

Performa

Smartphone Android 9.0 Pie dengan sentuhan Funtouch versi 9.2 ini diotaki oleh SoC Qualcomm Snapdragon 665, kinerja S1 Pro secara keseluruhan tidak buruk sama sekali. Ditambah dukungan RAM sebesar 8GB dan penyimpanan lapang 128GB, kebutuhan ber-smartphone dan aktivitas gaming pun bisa dijalankan dengan baik.

Dari hasil aplikasi benchmark, Vivo S1 Pro meraih nilai 183.572 poin di AnTuTu. Sementara, di PCMark mendapat skor 6.452 poin. Lalu, Sling Shot Extreme – OpenGL ES 3.1 meraih 1.128 dan Vulkan 1.037. Serta, di Geekbench mendapatkan 312 poin untuk single-core dan 1.391 poin untuk multi-core.

Catatan bagi yang bermain PUBG Mobile, unit Vivo S1 Pro yang saya review hanya mendukung sampai grafis balance dengan frame rate medium. Padahal chipset Snapdragon 665 dan GPU Adreno 610 seharusnya bisa mencapai setidaknya grafis HD dengan frame rate high. Semoga saja, masalah ini bisa diatasi dalam update firmware atau update game PUBG Mobile mendatang.

Verdict

Anak muda yang stylish sekali lagi menjadi target pasar smartphone Vivo, sama halnya seperti V series. Namun smartphone S1 Pro ini tak punya pop up kamera, kamera depannya ditempatkan pada notch. Sisanya sama, dikemas dalam tampilan premium, bersama fitur-fitur kekinian, kamera bagus, dan spesifikasi yang cukup powerful.

Sementara bagi yang hobi bermain game, Vivo juga menyediakan Z series yang lebih cocok untuk kebutuhan gaming dengan SoC lebih baik.

Sparks

  • Desain kamera belakang baru, diamond shape design
  • Punya konfigrasi empat kamera belakang
  • Panel AMOLED Screen Touch ID
  • SoC Snapdragon 665 dengan RAM & storage lapang

Slacks

  • Belum layar penuh, masih punya notch
  • Belum mampu merekam video 4K

[Review] ASUS ROG Phone II; Spek Lebih Dewa, Harga Merakyat

Bagi Anda yang mencari perangkat khusus untuk bermain game dan mendahulukan aspek kinerja daripada yang lain. Saat ini sudah ada beberapa judul smartphone gaming yang tersedia di Indonesia, salah satunya adalah ASUS ROG Phone II.

Dukungan ekosistem yang kuat dengan sederet aksesori gaming eksklusif merupakan satu dari banyak keunggulan yang dimilikinya. Namun satu hal yang mengguncang hati saya dan mungkin para gamer lainnya ialah harganya.

Untuk ROG Phone II Elite Gamer Package dijual seharga Rp8.499.000. Sebagai perbandingan, tahun lalu ROG Phone pertama dijual seharga Rp13 juta (namun tak jadi dipasarkan). Sementara, kompetitor terdekatnya; Black Shark 2 Pro dibanderol Rp9 juta.

Saya telah mengajaknya begadang beberapa malam, berikut review ASUS ROG Phone II selengkapnya.

Layar AMOLED dengan Refresh Rate 120Hz

PSX_20191218_134640

Aspek utama yang membedakan smartphone gaming dengan smartphone mainstream ialah teknologi layarnya. ROG Phone II sudah mengusung panel AMOLED dengan refresh rate 120Hz. Pengaturannya bisa ditemukan di Settings > Display > Refresh Rate, terdapat pilihan 60Hz, 90Hz, dan 120Hz.

Singkatnya semakin tinggi refresh rate maka jumlah frame yang dapat ditampilkan semakin banyak. Semakin banyak frame yang ditampilkan maka tampilan visual dan pergerakan animasi akan terlihat lebih smooth, memanjakan mata dan tidak bikin pusing.

Bukan hanya itu, layar 6,59 inci beresolusi 1080×2340 piksel dalam rasio 19.5:9 ini memiliki response time 1ms. Dengan response time yang rendah, tentunya akan mengurangi fenomena input lag. Di mana tembakan atau skill terlambat keluar, padahal perasaan yakin sudah menekan tombol cepat-cepat. Bagi yang bermain game-game kompetitif, response time tentunya berperan meningkatkan peluang untuk menang.

Layarnya juga memiliki tingkat reproduksi warna di color space DCIP-3 hingga 111,8 persen dengan Delta E<1 dan mendukung tampilan 10-bit HDR. Lewat fitur Splendid yang berada di Settings > Display, kita bisa meyesuaikan color temperature dan color mode seperti natural, optimal, cinematic, standard, dan customized.

Judul game yang sudah mendukung refresh rate sampai 120Hz sendiri memang jumlahnya masih sedikit, tapi pasti akan terus bertambah. ASUS juga sudah membuat daftar game yang mendukung 120Hz dan yang telah optimal dengan aksesori TwinView, GamePad, dan fitur AirTriggers di aplikasi Armoury Crate.

Sistem Kontrol Permainan

PSX_20191218_134725

Bahkan tanpa perlu kita menyematkan aksesori ROG Kunai Gamepad, sistem kontrol permainan pada ROG Phone II lebih unggul dibanding smartphone standar. Kuncinya pada fitur AirTrigger II, di mana ASUS melengkapinya dengan tiga sensor ultrasonic di samping body. Dua di samping kanan bagian atas dan bawah, satu lagi di samping kiri bagian bawah untuk fitur squeeze gesture.

Ya, memang tidak semua game memerlukan kontrol tambahan ini. Tapi khusus game bergenre shooter, kita ambil contoh PUBG Mobile atau CoD Mobile. Dengan menggunakan AirTrigger II, artinya kita memiliki kontrol yang lebih presisi seperti “nge-cheat” atau sama halnya seperti main lewat emulator di laptop. Tidak menjamin menjadi last man standing, tapi meningkatkan peluang  winner2x chicken dinner.

Perlu diketahui juga, beberapa turnamen esports untuk game mobile juga sudah menerapkan standar seperti maksimal ukuran layar smartphone. Mungkin ada ketentuan khusus saat menggunakan smartphone gaming untuk kompetisi.

Untuk pengaturan AirTrigger II bisa ditemukan di Settings > Advanced dan juga di aplikasi Armoury Crate. Level sensitivity-nya bisa disesuaikan dari 1 hingga 11, dengan input latency 20ms, punya dual vibration, dan kontrol sliding gesture baru.

Armoury Crate

PSX_20191218_134751

Untuk mengelola fitur dan pengaturan terkait gaming, ASUS mengumpulkannya di satu tempat yakni Armoury Crate. Ada dua menu utama, pertama Game Library – di sini daftar game yang diinstall akan muncul dan profil tiap-tiap game bisa disesuaikan lebih jauh.

PSX_20191218_134758

Lalu, menu kedua Console – pusat kendali yang menampilkan informasi sistem seperti CPU, GPU, memory used, storage used, dan remaining time. Lalu, ada opsi untuk mengaktifkan dan menonaktifkan X mode, pengaturan terkait fitur Game Genie, AirTriggers, fan speed bila menggunakan aksesori kipas AeroActive Cooler II, dan system lighting.

Game Genie dapat diakses saat kita menjalankan game, caranya dengan swipe dari kiri ke kanan pada bagian kiri layar smartphone untuk menampilkan game toolbar. Ada banyak tool yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kenyamanan bermain game, seperti mapping AirTriggers, memblokir notifikasi, panggilan telepon, mengunci tingkat kecerahan layar, menggunakan data-only, dan speed up untuk mengoptimalkan performa smartphone. Selain itu, informasi seperti CPU, GPU, level baterai, temperature, dan FPS juga bisa ditampilkan secara real-time.

Bila Anda ingin membuat konten, ASUS telah melengkapi ROG Phone II dengan fitur screen recorder bawaan. Anda bisa merekam keseruan gameplay dari game yang dimainkan hingga resolusi 1080p, bahkan bisa live streaming ke channel YouTube atau Twitch hingga resolusi 1080p juga.

Desain

Tampang ROG Phone II segarang pendahulunya, sangat kental dengan nuansa gaming dan juga tampil futuristik. Di bagian belakang, terpampang logo ROG dengan lampu RGB yang efeknya bisa mengintimidasi teman atau lawan saat ‘mabar’.

Desain smartphone ini dirancang agar nyaman digunakan di posisi landscape. Menurut ASUS, layar 6.59 inci dengan rasio 19.5:9 dengan lebar 7,8 cm dan tinggi 17,1 cm adalah ukuran maksimum untuk membuat grip ROG Phone II tetap nyaman di tangan.

Layarnya diproteksi oleh Gorilla Glass 6 dan punya speaker stereo di depan dengan aksen warna orange-nya yang khas. Kontruksi body-nya sendiri terbuat dari paduan kaca dan logam, dengan ketebalan 9,5 mm dan bobot 240 gram.

Atribut lainnya, di sisi kiri terdapat port untuk khusus untuk aksesori dan port USB Type-C ekstra yang memungkinkan Anda bisa melanjutkan permainan sambil mengisi daya. Lalu, tombol power dan volume di sisi kanan. Sementara, port USB Type-C satu lagi dan jack audio 3.5mm di sisi bawah.

Hardware dan Performa

PSX_20191218_134935

Smartphone Android 9 Pie dengan opsi antarmuka ROG UI atau Zen UI ini diotaki oleh Mobile Platform Qualcomm Snapdragon 855 Plus dengan CPU clock speed hingga 2,96GHz yang memang dirancang untuk menangani tuntutan gaming.

Menggunakan jenis RAM dan storage versi terbaru. RAM LPDDR4X dengan kapasitas 8GB atau 12GB, serta penyimpanan UFS 3.0 dengan kapasitas 128GB atau 512GB. Kinerjanya tak perlu diragukan lagi, sudah pasti bisa menangani hampir semua game yang ada di Google Play Store dengan setting rata kanan.

Apa gunanya RAM besar jika sistem operasinya sangat agresif? Pada ROG Phone II, aplikasi atau game yang kita buka akan standby di background – sehingga proses multitasking berjalan sangat mulus.

Saat bermain game dengan X mode aktif, body smartphone ini memang terasa agak panas. ASUS memberikan solusi dengan sistem pendingin berlapis yakni GameCool II dengan 3D vapor-chamber hingga active cooling berupa aksesori kipas AeroActive Cooler II. Jadi, potensi Snapdragon 855+ tidak terhambat dan menjaga kinerja keseluruhan tetap optimal.

Baterai berkapasitas 6.000 mAh memastikan Anda dapat bermain game dalam sesi waktu yang lama. Untuk penggunaan standar dengan X mode dan lampu RGB dinonaktifkan, seenggaknya smartphone bisa bertahan dua hari. Proses pengisian dayanya juga cepat berkat teknologi ROG HyperCharge 30W dan Quick Charge 4.0.

Kamera

PSX_20191218_135008

Seorang gamer pun bukan berarti tidak membutuhkan kamera, meski ditujukan untuk bermain game – kemampuan kamera ROG Phone II selevel dengan flagship mainstream ASUS Zenfone 6. Meskipun masih mengandalkan konfigurasi dual-camera, kebanyakan smartphone baru saat ini sudah mengemas triple bahkan quad-camera.

Kamera utamanya menggunakan sensor Sony IMX586 beresolusi 48MP (f/1.8) dengan ukuran per piksel 0.8 µm dan memiliki filter warna Quad Bayer 2×2 piksel. Singkatnya, ouput 12MP didukung dengan ukuran piksel 1,6 μm yang ideal untuk berbagai skenario foto.

Kamera sekundernya juga menggunakan sensor Sony, 13MP (f/2.4) dengan lensa ultrawide 11mm yang menyuguhkan bidang pandang 125 derajat. Menariknya, fitur wide-angle ini bisa digunakan di mode photo, night, pro, dan video. Berikut hasil foto dari kamera ASUS ROG Phone II:

Lalu, untuk kamera depannya 24MP (f/2.2) dan bisa merekam video 1080p hingga 60 fps. Sementara, kamera belakangnya mampu merekam video 4K hingga 60 fps dan slow-mo 1080p 120 fps atau 240 fps.

Review-ASUS-ROG-Phone-2-22

Verdict

PSX_20191218_135044

Harga dasar untuk ROG Phone II Elite Gamer Package dengan konfigurasi memori 8GB + 128GB dibanderol seharga Rp8.499.000, menurut saya ini benar-benar harga yang pantas untuk sebuah smartphone gaming premium yang selevel dengan smartphone flagship Android ataupun iOS yang ada saat ini.

Desain khas ROG-nya mungkin tidak untuk semua orang. Namun deretan fitur gaming seperti layar dengan refresh rate 120Hz serta response time 1ms, sensor ultrasonic AirTrigger II, dan dukungan aksesoris eksklusif – semua yang dibutuhkan untuk pengalaman bermain game mobile terbaik disajikan di sini.

Sparks

  • Panel AMOLED dengan refresh rate 120Hz
  • Punya dua port USB Type-C
  • Baterai 6.000 mAh dengan Quick Charge 4.0
  • Dukungan ekosistem aksesori gaming yang cukup lengkap

Slacks

  • Tidak mendukung wireless charging
  • Body smartphone tidak tahan air