Fitur “In-App Chat” Uber Sudah Tersedia di Indonesia

Tren transaksi layanan transportasi berbasis aplikasi di Indonesia, ketika pengemudi telah mengambil pesanan, umumnya akan menghubungi pemesan menanyakan detail lokasi, baik via SMS ataupun telepon. Melihat kecenderungan tersebut, Uber meluncurkan fitur terbaru di aplikasinya, yakni Uber In-App Chat. Saat ini layanan tersebut sudah bisa diakses untuk pengguna Uber di Indonesia setelah memperbarui versi aplikasi di perangkatnya.

Lalu apa kelebihan dibanding dengan cara lama yang digunakan pengemudi? Melalui aplikasi chat bawaan, Uber yakin fitur ini akan memberikan kenyamanan dan keamanan pengguna dalam hal privasi. Fitur terbaru tersebut memungkinkan mitra-pengemudi dan penumpang untuk bertukar pesan singkat di dalam aplikasi Uber secara real-time.

Penumpang dan mitra-pengemudi bisa melihat status pesan mereka, apakah sudah terkirim dan dibaca. Seluruh pembicaraan dalam Uber In-App Chat akan dihapus begitu perjalanan selesai.

Di Indonesia, Uber memang dituntut untuk terus berinovasi demi kenyamanan pengguna. Mereka harus bersaing ketat dengan Grab dan GO-JEK yang memiliki amunisi dana yang kuat dan dukungan inovasi teknologi yang tak kalah kencang. Fitur in-app chat sebelumnya sudah tersedia di Grab.

[Baca juga: Survei layanan on-demand di Indonesia (2017)].

Sebelum In-App Chat untuk pengguna Indonesia, inovasi yang diterapkan Uber meliputi kerja sama dengan TRAFI untuk integrasi transportasi multi-moda, kemudian fitur Hop On untuk pemesanan langsung dari mitra pengemudi terdekat, lalu kerja sama dengan Transit untuk menampilkan jadwal kereta komuter.

Application Information Will Show Up Here

Startup On-Demand “Mjek” Resmi Meluncur, Sajikan Beberapa Pembeda di Layanannya

Layanan on-demand seolah memiliki daya tarik tersendiri bagi sejumlah pelaku startup di Indonesia. Mungkin salah satunya karena populasi dan pengguna internet yang terus meningkat selalu menjadi celah potensi bisnis yang bisa dikembangkan. Kini hadir pemain baru Mjek (Master Jaringan Ekonomi Kerakyatan), startup on-demand meluncur di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada awal Februari 2017.

Sekilas aplikasi ini memiliki layanan seperti GO-JEK dan Grab karena memiliki jasa transportasi motor dan mobil, kurir barang, laundry, pemesanan makanan, belanja di pasar modern, cleaning, dan lainnya. Namun, hal ini ditepis langsung oleh Presiden Direktur Mjek Angga Pramana Jaya.

Menurutnya Mjek memiliki pasar yang berbeda, perusahaan menyasar aplikasi yang lebih mengutamakan rasa keamanan, kenyamanan untuk konsumen, ditunjang oleh aplikasi dengan fitur keamanan terlengkap. Diklaim belum ada layanan yang melakukan hal tersebut, apalagi ketika konsumen hendak mengirim barang berharga.

“Saat ini kebutuhan masyarakat akan aplikasi online cukup tinggi, tapi belum ada yang mengutamakan keamanan. Padahal ini jadi momok paling menyeramkan. Untuk itu Mjek hadir dengan mengutamakan keamanan mulai dari proses rekrutmen harus menempuh berbagai tes, psikologi, latar belakang, hingga dukungan keamanan dalam aplikasi,” terang dia kepada DailySocial.

Perusahaan, sambung Angga, tidak hanya fokus menciptakan aplikasi saja, namun juga membentuk semua sumber daya manusia, termasuk mitra pengemudi demi menciptakan pelayanan terbaik dengan menerapkan total quality management. Tujuannya agar konsumen benar-benar merasa puas dan memilih Mjek sebagai partner delivery dan personal shopper bagi mereka.

Berbagai tes harus ditempuh mitra pengemudi sebelum bergabung, mulai dari tes psikologi, pengamatan latar belakang, tes mengemudi, kelengkapan berkas dan pengecekan standar keamanan kendaraan, wawancara, hingga pelatihan hingga mereka layak dan siap menjadi mitra.

Dari segi aplikasi sebagai alat penunjangnya, Mjek memiliki teknologi timeline tracking, live tracking, tanda tangan digital, dan lainnya.

Respons positif dari pengguna

Sejak pertama kali meluncur di Lombok, kehadiran Mjek mendapat antusiasme positif dari masyarakat meski di sana sudah hadir Go-Jek dan Uber. Angga mengatakan, hal ini dikarenakan Mjek telah memiliki jasa kurir dengan layanan cepat, aman, dan terpercaya. Serta, aplikasi yang lebih mengutamakan keamanan untuk konsumen.

“Kami ingin trial terlebih dahulu di Lombok, sebelum di-launch secara nasional.”

Dari seluruh layanan yang dimiliki Mjek, transaksi terbanyak berasal dari pemesanan makanan, jasa kurir, dan transportasi. Menurut Angga, pengguna banyak memanfaatkan jasa kurirnya untuk keperluan distribusi smartphone, mutiara, emas, dan barang berharga lainnya.

“Banyak yang mengirim barang berharga lewat kami karena mereka merasa nyaman dan tenang menggunakan jasa Mjek dengan jaminan keamanan yang lebih tinggi.”

Siap bersaing dengan tiga pemain besar

Respons yang positif dari merchant maupun konsumen, membuat pihaknya jadi lebih percaya diri untuk bersaing dengan kompetitor. Pihaknya meyakini dengan mengedepankan jasa yang baik berdampak pada hasil lebih baik pula, daripada hanya perang harga. Baginya konsumen saat ini sudah pintar dan cerdas. Pada akhirnya mereka dapat menilai apakah sesuai dengan kebutuhan mereka.

Sadar dengan “nafas” investasi yang besar untuk bermain di segmen on-demand, apalagi bersaing dengan kompetitor besar, saat ini Mjek telah mendapat suntikan tahap awal dari investor dan jumlah yang dirahasiakan. Suntikan tersebut akan untuk mendukung bisnis Mjek ke depannya.

Sejauh ini, Mjek sudah beroperasi di tiga kota, yaitu Lombok, Pontianak, dan Batam. Rencananya pada tahun ini Mjek akan segera mengembangkan sayapnya ke Jakarta.

Angga menyebut, saat ini pengguna aktif Mjek tercatat lebh dari 5 ribu orang, sementara aplikasi Mjek telah diunduh lebih dari 9 ribu kali. Adapun jumlah mitra disebut telah lebih dari 100 orang.

Application Information Will Show Up Here

Investasi Tencent di GO-JEK Mencapai Lebih dari 2 Triliun Rupiah

Sebuah sumber yang dirilis oleh Reuters kembali menegaskan investasi Tencent terhadap startup ride-hailing lokal terbesar GO-JEK. Sumber tersebut menyebutkan bahwa perusahaan internet asal Tiongkok tersebut memberikan suntikan investasi antara US$100 juta – US$150 juta (atau senilai lebih dari Rp2 triliun).

Kabar investasi ini sebenarnya sudah beredar sejak bulan Februari lalu. Setelah sebelumnya Tencent bersuara tengah berminat untuk berinvestasi mengembangkan GO-PAY. Di sisi lain investasi ini memang diperlukan oleh perusahaan rintisan Nadiem Makarim tersebut. Hadirnya Ant Financial dalam joint venture bersama EMTEK untuk mengelola Alipay (dari Alibaba) menghadirkan persaingan baru di lanskap digital payment berbasis layanan.

Penetrasi kuat dilakukan para pemain di bidang teknologi finansial di Indonesia bukan tanpa landasan. Walaupun jika dilihat dari penetrasi kartu kredit atau persentase un-bankable society masih terbilang belum unggul, namun literasi digital yang tinggi menjadi potensi untuk keterbukaan akan penerimaan solusi alternatif. GO-PAY sendiri menjadi salah satu yang tengah membuktikannya, dengan improvisasi yang cukup signifikan akhir-akhir ini.

Bersama dengan GO-JEK bukan pertama kalinya bagi Tencent untuk membuat debut di Indonesia, karena sebelumnya pernah membuat joint venture bersama raksasa media lokal MNC saat membawa aplikasi messenger WeChat. Di sisi lain, pengalaman investasi di bidang ride hailing Tencent juga sudah terpupuk sebelumnya, karena Tencent juga masuk di salah satu jajaran investor Didi Chuxing dan Lyft.

GO-CAR Berekspansi di Sepuluh Kota Baru di Indonesia

Layanan on-demand untuk transportasi mobil GO-CAR mengumumkan langkah ekspansi ke 10 kota baru di Indonesia. Adapun 10 kota baru tersebut termasuk Sidoarjo, Pontianak, Padang, Banjarmasin, Pekanbaru, Jambi, Gresik, Mataram, Sukabumi dan Bandar Lampung.

Dengan ekspansi ini, artinya GO-CAR telah beroperasi di 24 kota di Indonesia. Secara bertahap layanan lain yang dimiliki GO-JEK juga terus diperlebar jangkauannya. Strateginya selalu dimulai dengan layanan ojek online, lalu layanan yang difasilitasi dengan ojek, dan pada akhirnya layanan transportasi mobil.

Optimalisasi GO-PAY juga terlihat terus digencarkan di setiap kota basis GO-JEK. Selain dengan promo untuk menikmati layanan (seperti GO-FOOD atau GO-LIFE), layanan pembelian tiket online dan transaksi lainnya (termasuk pembelian pulsa dan transfer) juga menjadi salah satu daya tarik yang terus ditawarkan.

Jika dibanding dengan layanan lain, memang GO-JEK terlihat paling cepat manuver ekspansinya. Dua pesaingnya Grab dan Uber di Indonesia cakupannya belum sebanyak GO-JEK. Di kota besar di luar Jabodetabek, seperti Yogyakarta, debut Grab dan Uber masih sangat baru dan sebatas pada layanan dasar mereka, ride hailing.

Application Information Will Show Up Here

Grab Indonesia Resmikan Layanan “Carpooling” Sosial GrabHitch Mobil

Aplikasi ride hailing Grab meresmikan layanan carpooling sosial GrabHitch Mobil di Indonesia, setelah terlebih dahulu memperkenalkan GrabHitch Motor pada Oktober 2016 yang lalu.

Layanan ini menyasar para komuter reguler, seperti kalangan profesional, manajer, eksekutif, dan lainnya sebaga pengemudi yang memiliki kursi ekstra di mobilnya untuk menjemput teman seperjalanan (pemesan) dengan rute yang sama. GrabHitch Mobil baru bisa digunakan pada awal Juni nanti, namun bakal mengaspal di empat kota, yakni Jakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya.

Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengklaim GrabHitch adalah bentuk aksi sosial perusahaan dalam rangka mengurangi jumlah mobil berpenumpang tunggal yang melakukan perjalanan menuju atau dari pusat kota setiap harinya.

Tak hanya itu, Grab ingin mendorong semakin banyak orang untuk bepergian bersama dalam satu kendaraan, sekaligus meningkatkan pengalaman pengguna aplikasi Grab makin mulus.

“Grab berkomitmen untuk senantiasa berinovasi agar dapat membantu memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat Indonesia. [..] Kami tidak melakukan sharing profit [untuk GrabHitch] karena memang tidak ada profit di sini, sekadar mengurangi biaya perjalanan, [GrabHitch] hanya untuk memperluas pemakaian teknologi dari Grab saja,” ujar Ridzki, Rabu (24/5).

[Baca juga: Riset Jana: Grab adalah Aplikasi On-Demand Paling Banyak Dipasang di Indonesia, Go-Jek Paling Aktif Dipakai]

Keempat kota yang dipilih Grab untuk GrabHitch Mobil, menurut laporan dari Global Traffic Scorecard, termasuk kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia. Mengutip dari laporan BPS di 2014, ada 3 juta mobil penumpang yang beredar di Jakarta, dengan pertumbuhan sekitar 8,75% per tahun.

“Kami perkenalkan GrabHitch Mobil sebagai tindak lanjut atas kesuksesan dari peluncuran GrabShare dan GrabHitch Motor, serta dipacu oleh kenyataan bahwa smakin banyak masyarakat yang menggunakan layanan carpool.”

Perbedaan antara GrabHitch dan GrabShare

Untuk membandingkan lebih jauh antara layanan GrabShare yang sebelumnya telah hadir, Ridzki menjelaskan bahwa GrabHitch Mobil diinisiasikan oleh pengemudi itu sendiri yang sebelumnya menentukan rute perjalanan regulernya.

Ketika pengemudi sudah membuat rute, maka sistem akan mencari pemesan dengan rute yang kurang lebih sama. Setiap pengemudi dalam seharinya hanya dapat melayani dua perjalanan dengan masing-masing perjalanan dapat menampung maksimal empat kursi.

“Sementara untuk biaya GrabHitch Mobil sebesar Rp1.500 per km. Biaya indikasi ini akan lebih murah hingga 50% dari layanan on demand seperti GrabCar, yang tarifnya sesuai demand pada saat itu.”

Sedangkan dari segi pengemudi GrabHitch adalah pengemudi reguler yang mendaftarkan diri untuk layanan GrabHitch Mobil dalam aplikasi penumpang Grab.

Untuk pemesanannya harus dilakukan secara di muka, antara 15 menit sampai 7 hari sebelum penjemputan. Adapun sistem pembayarannya, Grab menyediakan dua opsi yakni secara tunai atau memanfaatkan GrabPay.

“Dari segi pengemudi juga berbeda. Kalau GrabShare adalah pengemudi profesional GrabCar Ekonomi yang terdaftar untuk mengoperasikan layanan komersial. [..] Pengguna bisa membandingkan sendiri kedua layanan ini. GrabHitch memang lebih murah, namun tidak fleksibel. Sedangkan GrabCar menang dari sisi elastisitasnya.”

Para pengemudi yang tertarik bergabung, mereka hanya perlu mendaftar melalui aplikasi Grab. Caranya mengklik ikon GrabHitch (Nebeng) Mobil, pilih tombol ‘Be a GrabHitch Driver Now’ dan ikuti instruksi yang tertera.

Dokumen yang perlu dilengkapi di antaranya SIM A, KTP, STNK, dan memiliki mobil pribadi dengan asuransi mobil. Pengemudi juga diharuskan berumur minimal 18 tahun dengan pengalaman mengemudi selama 1 tahun.

Application Information Will Show Up Here

Fitur Hop On di UberMotor Mungkinkan Pengguna Pesan Langsung dari Pengemudi Terdekat

Uber menghadirkan fitur Hop On bagi pengguna layanan UberMotor di Jakarta. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk dapat memulai perjalanan tanpa harus melakukan pemesanan terlebih dahulu, melainkan cukup menghampiri pengemudi UberMotor terdekat.

Untuk proses penggunaannya, setelah menemukan pengemudi terdekat, melalui aplikasi Uber (yang sudah diperbarui), pengguna cukup mengetikkan alamat tujuan pada opsi uberHOP yang tersedia. Kemudian sistem akan memberikan sebuah kode PIN berupa angka untuk selanjutnya diberitahukan kepada si pengemudi. Selanjutnya pengemudi akan menggunakan kode tersebut untuk menerima pemesanan secara langsung.

Selain itu proses tersebut juga bisa dilalui melalui SMS, dengan mengetikkan kode “UBER [spasi] Nomor Hp” dan dikirimkan ke 2000. Selanjutnya akan dikirimkan tautan yang berisi kode untuk ditunjukkan kepada pengemudi guna memulai pesanan. Untuk alamat tujuan akan diinputkan secara pada aplikasi yang dimiliki pengemudi.

Saat ini baru bisa digunakan untuk UberMotor dan pembayaran hanya bisa dilakukan secara tunai.

Application Information Will Show Up Here

Beriringan tapi Tidak Sejalan, Tanggapan Terhadap Permenhub Nomor 32 Tahun 2016

Hari Jumat, (23/3), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kepada media mengatakan bahwa Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek sudah final. Tidak ada akan dilakukan revisi kembali. Hal ini didukung dengan diadakannya sosialisasi kepada pihak yang terkait hari Minggu kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Budi Karya kembali memaparkan bahwa tujuan peraturan tersebut dirilis untuk membangun kesetaraan agar penyaji jasa transportasi online atau berbasis aplikasi dan taksi konvensional dapat berjalan secara beriringan.

Apakah bisa beriringan seperti yang didambakan?

Salah satu kekhawatiran pemain konvensional adalah pasar yang didominasi layanan transportasi berbasis aplikasi. Kematangan strategi digital dan pendanaan besar menjadi formula instan agar para penyedia jasa transportasi on-demand cepat mendapatkan pangsa pasar.

Di balik kemudahan dan transparansi yang diberikan melalui aplikasi, para penyedia layanan on-demand juga memiliki dukungan pendanaan yang sangat kuat.

Sebut saja startup lokal “Go-Jek” yang kini sudah memiliki valuasi $1,3 miliar dan terakhir mendapatkan dana $550 juta (sekitar 7,3 triliun Rupiah). Para investor percaya pada proses bisnis dan potensi yang dimilikinya.

Tak hanya itu, pemain luar (Grab dan Uber) juga turut menimbrung dengan dekengan pendanaan yang sangat besar. Terakhir dikabarkan Grab meraih pendanaan baru senilai 20 triliun Rupiah yang dipimpin Softbank.

Coba kita bandingkan perolehan dana tersebut dengan anggaran transportasi yang dikucurkan di sektor publik Indonesia saat ini secara umum.

Pembangunan MRT (Mass Rapid Transit) tahap pertama di Jakarta membutuhkan dana Rp24,9 triliun setelah ada kenaikan dari perhitungan sebelumnya. Sementara tahun ini, besaran subsidi (bukan biaya operasional) yang diajukan (bukan disetujui) TransJakarta senilai Rp3,2 triliun.

Keduanya memiliki perbandingan yang sama kuat untuk memberikan solusi terhadap kebutuhan transportasi publik di Indonesia. Tidak untuk dibandingkan secara apple-to-apple, angka tersebut di atas menunjukkan keseriusan dan kekuatan jasa transportasi online.

Konsumen menentukan pilihan akhir

Keberpihakan konsumen pada akhirnya tetap akan berujung pada kenyamanan mereka menggunakan jasa yang ada. Permenhub No 32 Tahun 2016 di media sosial cenderung mendapatkan sentimen negatif. Mengapa layanan transportasi on-demand dipilih? Sederhananya karena mudah digunakan dan relatif lebih murah jika dibandingkan layanan konvensional, meskipun bisa dimengerti karena layanan konvensional mengklaim ada beberapa komponen tarif tambahan yang memberatkan.

Baru saja DailySocial merilis sebuah survei tentang layanan on-demand di Indonesia. Dalam survei tersebut dapat disimpulkan beberapa hal. Secara umum masyarakat bereaksi positif terhadap artinya aplikasi on-demand.

Terkait “gangguan” yang ditimbulkan layanan on-demand, tak sedikit pula yang menyatakan tidak takut bahwa ragam layanan yang muncul akan mengubah sistem dalam kehidupannya sehari-hari, karena tendensinya justru memberikan efisiensi dan efektivitas. Terakhir masyarakat merasa beruntung dengan kehadiran layanan on-demand, karena memunculkan banyak kesempatan untuk bekerja.

On-Demand 1

Di sisi lain, konsumen pun menuntut para penyedia jasa untuk melakukan improvisasi, di sisi teknis ataupun non teknis, mulai dari kejelasan unsur legal, kualitas aplikasi, pilihan pembayaran, variasi kanal pembayaran (dalam hal ini kerja sama dengan bank), hingga perluasan jangkauan layanan.

Berkali-kali sudah dinyatakan bahwa modernisasi adalah sebuah proses yang tak akan berujung. Selalu akan ada pembaruan. Hadirnya layanan on-demand adalah salah satu pembaruan yang hadir di sektor transportasi. Dinamika penolakan layanan on-demand seperti ini memberikan ketidaknyamanan tersendiri soal kestabilan ekonomi, yang bisa berujung ditahannya investasi dari luar negeri.

Menunggu dampak

Pemerintah sudah memastikan peraturan tersebut  akan berlaku mulai awal bulan depan. Poin-poin penting aturan itu meliputi:

  • Pengemudi taksi online harus memakai tanda khusus berupa stiker.
  • Jumlah kendaraan yang beredar harus disesuaikan dengan kebutuhan.
  • Ada batasan tarif atas dan tarif bawah.
  • Akses dashboard perusahaan taksi harus diketahui oleh pemerintah.
  • Penempatan pusat data di Indonesia untuk perusahaan luar yang menyediakan jasa on-demand.

Dalam beberapa hari ke depan, kita lihat bagaimana dampak berlakunya peraturan baru ini terhadap pertumbuhan layanan online di Indonesia, khususnya di sektor transportasi. Jangan sampai kondisi beriringan yang diharapkan pemerintah tidak berjalan.

Berharap Gemuruh Pertentangan Taksi Online Berakhir Lewat Revisi PMP Nomor 32/2016

Pemerintah akhirnya menjawab akan segera melakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PMP) Nomor 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, pasca aksi demonstrasi yang terjadi baru-baru ini di berbagai daerah.

Revisi ini rencananya akan diketuk palu pada 1 April 2017. Dalam aturan tersebut, nantinya akan ada 11 poin penting yang patut diperhatikan oleh perusahaan transportasi berbasis aplikasi (Grab, Uber dan Go-Car), serta mitra pengemudinya. Mulai dari perubahan definisi, tarif, kuota kendaraan, STNK berbadan hukum, kapasitas mesin kendaraan hingga pemberian sanksi.

Semangat yang ingin disampaikan oleh pemerintah sebenarnya cukup baik, yakni meredakan perselisihan dengan menyediakan aturan yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan kedua belah pihak.

Aturan main tersebut kini bisa dibilang jadi lebih jelas untuk perusahaan transportasi berbasis aplikasi, mengingat sudah ada payung hukum yang akan selalu memantau seluruh pergerakan mereka.

Beberapa aturan yang harus dipatuhi misalnya pengemudi taksi online diharuskan memakai stiker khusus berbentuk bulat sebagai simbol dari roda dan di dalamnya terdapat huruf T yang merupakan tanda dari kata Taksi.

Jumlah kendaraan beredar pun juga akan dibatasi sesuai kebutuhan daerah setempat. Kapasitas akan ditentukan dan terbuka kemungkinan untuk evaluasi berkala secara tahunan.

Dari sisi tarif, pemerintah menerapkan batas atas dan batas bawah agar terjadi keseimbangan dengan mode transportasi publik konvensional. Besaran tarif akan bergantung pada masing-masing Pemda setelah menampung aspirasi dari pengusaha angkutan kota dan mitra transportasi online.

Prediksi saya ada beberapa poin yang mungkin akan memberatkan perusahaan transportasi berbasis aplikasi dalam revisi ini. Yang pertama mengenai pajak dengan salah satu persyaratan yang menetapkan bahwa mereka harus mempunyai/menguasai server atau pusat data yang berdomisili di Indonesia.

Yang kedua adalah akses dashboard yang bisa diakses oleh pemerintah untuk memantau operasional pelayanan angkutan dalam pengawasan dan pembinaan operasional. Pemerintah meminta aplikasi dashboard paling sedikit memuat profil perusahaan, data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data seluruh kendaraan dan pengemudi, dan layanan pelanggan berupa telepon, email, dan alamat kantor perusahaan.

Kedua aturan ini mungkin kurang cincai bagi perusahaan transportasi online. Pasalnya, perusahaan yang notabenenya berasal dari pemain luar umumnya menempatkan pusat datanya di luar negeri, mungkin yang terdekat di Singapura. Sepengetahuan saya, masih jarang perusahaan teknologi yang menempatkan pusat datanya di lokal mengingat belum terjaminnya keamanan komputasi awan.

Belum lagi aturan mengenai akses dashboard. Mau tak mau perusahaan tersebut harus membuka diri dengan menyerahkan data-data pentingnya kepada pemerintah untuk dipantau terus sistem operasionalnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dalam revisi ini pemerintah sudah mengajak diskusi dengan seluruh stakeholder dari kedua belah pihak? Apakah seluruh poin dari revisi ini mencerminkan seluruh kebutuhan yang memang benar-benar dibutuhkan? Bila pemerintah tidak melakukan ini, bisa jadi memicu gemuruh lainnya bukannya malah meredakan.

Jawaban pemerintah yang terlambat

Pemerintah lagi-lagi bisa dikatakan terlambat dalam menanggulangi konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Asal tahu saja, konflik ini sudah mencuat sejak aplikasi transportasi online berhamburan di Indonesia pada 2015.

Aksi penolakan terus terjadi hingga kini meski terkadang diwarnai aksi anarkis, mungkin kejadian yang cukup disesalkan adalah memakan korban seperti terjadi di Tangerang.

Pemerintah sudah semestinya untuk lebih cepat tanggap dalam menjawab konflik sosial, apalagi kejadiannya tidak hanya di Jakarta saja tapi sudah merembet ke kota lainnya.

Di satu sisi, inovasi yang dihadirkan perusahaan seperti Uber, Grab, dan Go-Car merupakan jawaban dari pergerakan zaman yang kini sudah mengarah ke digital. Mereka bisa dibilang menjadi “pahlawan” bagi orang-orang Indonesia yang sudah terlampau lelah dengan kemacetan jalanan.

Kehadiran mereka sangat disyukuri, belum lagi tarif yang ditawarkan jauh lebih murah. Toh, strategi “bakar duit” masih dipakai oleh perusahaan demi menarik banyak pengguna.

Tentu saja tidak semua masyarakat memiliki pandangan yang sama. Itu maklum saja. Menjadi pengemudi angkutan umum atau ngojek adalah pekerjaan yang sudah ada dan dilakoni sejak puluhan tahun. Hal inilah yang mungkin jadi penyebab berbedanya pola pikir setiap orang untuk terbuka pada perkembangan zaman.

Saya pribadi berharap semoga revisi ini jadi pengakhir konflik. Semua pihak bisa menunjukkan komitmennya untuk mematuhi aturan main ini dan tidak bertindak culas.

Pemerintah juga harus menunjukkan komitmen untuk tegas dalam praktiknya ketika aturan diresmikan. Siapapun yang melanggar aturan harus ditindak tegas, jangan sampai ada bias.

Toh, ini semua demi kepentingan bersama. Seluruh orang bisa mencari rezeki lebih nyaman dan penumpang pun jadi aman, sebab rezeki tiap orang itu sudah di tangan Tuhan.

Karena yang Ditenggelamkan, Tetap Bisa Kembali Mengapung

Bagai sebuah genderang yang ditabuh kencang, penolakan terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi kembali mencuat. Tak tanggung-tanggung, di hampir semua basis bisnis utama pemain jasa on-demand tersebut mendapatkan protes keras dari para pelayan transportasi konvensional. Di Bandung, Malang, Yogyakarta, Tangerang bahkan Medan dalam kurun waktu berdekatan semua kembali menentang keberadaan layanan modern tersebut.

Kendati terjadi di waktu berdekatan, jika ditelisik secara detail permasalahan terhadap transportasi berbasis aplikasi ada dua jenis. Pertama yang menentang adanya taksi online berpelat nomor hitam, seperti yang riuh di Bandung dan Yogyakarta. Yang kedua menentang transportasi online secara umum, baik itu berupa ojek online dan taksi online. Ini terjadi di Tangerang, Medan dan Malang.

Hal ini sebenarnya bukan masalah baru. Sejak awal hype kemunculan layanan on-demand, isu tersebut tak pernah absen dipersoalkan, bahkan sempat terjadi demo besar di ibukota.

Di tengah hingar-bingar demonstrasi belakangan ini, kasus di Malang membawakan cerita menarik. Ketika masyarakat justru tampak kurang respect dengan aksi mogok yang dilakukan para sopir angkot, mereka secara sukarela menjadi relawan penyedia jasa transportasi bagi mereka yang terlantar kesulitan mencari transportasi, seperti anak sekolah. Hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa masyarakat pun kini lebih memandang manfaat yang diberikan layanan transportasi berbasis aplikasi.

Dijejali “perang inovasi”

Selain pemberitaan penolakan di sana-sini, kabar baik justru sering disajikan para pemain yang bersaing di Indonesia. Setidaknya sejak pertengahan tahun lalu, perusahaan penyedia platform aplikasi terus memacu inovasi produk, baik mematangkan portofolio e-wallet yang dimiliki, meluncurkan program loyalitas pelanggan, ekspansi, hingga peluncuran ragam produk baru.

Tak hanya itu, kerja sama pun secara intensif dilakukan dengan berbagai mitra strategis. Beberapa waktu lalu Go-Jek mengumumkan bahwa kini pemesanan taksi BlueBird dapat dilakukan melalui Go-Car.

Selebaran promosi Go-Jek yang menampilkan keterangan dukungan Pemkot Bandung
Selebaran promosi Go-Jek yang menampilkan keterangan dukungan Pemkot Bandung

Keributan itu hanya terpendam sejenak, karena nyatanya mamang belum ada win-win solution yang dihasilkan dari aksi-aksi pro-kontra yang dilakukan sebelumnya. Pun demikian dari pihak pemerintah, selain arahan “halus” dan janji negosiasi, sejauh ini belum ada kesepakatan tegas yang mampu meregulasi, karena transportasi ojek sendiri tidak masuk dalam poin regulasi jasa angkutan darat, namun membudaya dengan sendirinya.

Lalu apakah ini harus menjadi justifikasi modernisasi secara penuh aturan yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?

“Sama rata” antara dua jenis layanan transportasi tidak menjadi solusi yang pas

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengeluarkan Permen No. 32 Tahun 2016 yang mengatur transportasi berbasis aplikasi online, salah satunya berbenah soal tarif dan kelengkapan pengemudi jasa transportasi berbasis aplikasi. Tampaknya aturan tersebut tidak bisa berjalan beriringan dengan apa yang diteriakkan oleh penentang layanan on-demand.

Akar permasalahannya dapat didefinisikan secara sederhana. Katakan saja tarif diatur dengan plafon tertentu, lantas apakah akan menyamakan derajat antara layanan konvensional dan berbasis aplikasi? Tentu jawabannya tidak, karena ada komponen lain yang senantiasa diunggulkan, baik di sisi produk ataupun layanan, oleh penyedia moda transportasi modern.

Demand layanan transportasi berbasis aplikasi yang terus meningkat diimbangi dengan supply yang tak kalah banyak. Di sisi konsumen, jika mereka berhak memilih, nyatanya banyak yang beralih ke moda transportasi modern. Artinya lebih banyak memberikan kepuasan lebih ketimbang apa yang diberikan oleh moda transportasi konvensional.

Perusahaan penyedia sedemikian rupa menyulap aplikasi yang diterbitkan sebagai sebuah all-in-one platform yang memenuhi berbagai jenis kebutuhan dengan medium berupa alat transportasi, layanan belanja, kebersihan, pesan makanan, cuci mobil dan lainnya yang dikemas dalam skema online.

Pernyataan Walikota Bandung Ridwan Kamil soal isu transportasi berbasis aplikasi belakangan ini cukup menohok:

“Jangan selalu nyalahin sistem, tapi perilaku angkot sendiri banyak mengecewakan masyarakat yang akhirnya berpindah ke opsi online.”

Penyelesaian masalah

Secara kasat mata, permasalahan pro-kontra transportasi online versus transportasi konvensional ini tak akan pernah usai, kecuali adanya perombakan pola pikir. Secara kontinu perkembangan digital akan terus menggerus banyak hal dalam kehidupan. Masyarakat sudah nyaman dengan efektivitas layanan yang diberikan.

Disadari betul, komponen masyarakat saat ini dalam mengadopsi layanan online sangat divergen. Ada digital immigrant dan digital native. Demografi masyarakat yang paling konsumtif didominasi digital native.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah, para pemangku bisnis di bidang terkait, dan masyarakat? Semua perlu berperan. Sebagai regulator pemerintah harus selalu jeli menyikapi permasalahan yang ada. Dalam permasalahan transportasi online, keberadaan sistem tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Regulasi yang membendung justru akan sia-sia selama masyarakat justru menikmatinya. Selama ini pemerintah mencoba meregulasi dari sisi penyedia layanan online, mungkin bisa dicoba untuk dibalik? Yang diregulasi justru dari sudut pemain konvensional.

Bentuknya banyak hal, mulai dari penyelenggaraan badan khusus untuk mengedukasi mereka (penyedia jasa konvensional), atau menyediakan sebuah sub-sistem yang lebih terakomodasi sehingga mereka tidak enggan untuk beralih ke sistem modern. Faktanya dari sisi pendapatan pun lebih menjamin dengan sistem online, di sisi lain sistem yang diberikan lebih tertata dan transparan baik bagi para driver ataupun konsumen.

Diperlukan keseriusan dalam menyelesaikan masalah ini. Bagai bola salju yang terus berputar, isu pro-kontra layanan transportasi online akan semakin membesar tanpa penyelesaian, lebih tepatnya capaian kesepakatan antar pihak yang saling berkepentingan. Jika hanya ditenggelamkan seperti yang sudah-sudah, masalah itu akan kembali muncul kapan pun ia mau, karena yang ditenggelamkan, tetap bisa kembali mengapung.

Mantan Kapolri Badrodin Haiti Konfirmasi Tak Jadi Menjabat Komisaris Utama Grab Indonesia

Setelah sebelumnya diumumkan melalui rilis resmi Grab Indonesia, tentang bergabungnya mantan Kapolri Jendral Badrodin Haiti, akhirnya yang bersangkutan memberikan klarifikasi. Ada dua hal yang disampaikan, pertama bahwa belum terjadi kesepakatan antara Badrodin dengan Grab Indonesia secara resmi (hitam di atas putih) untuk penunjukannya sebagai komisaris utama perusahaan dan baru sebatas diskusi. Yang kedua Badrodin mengatakan ia tidak jadi menjabat komisaris utama Grab Indonesia.

Alasan yang disampaikan Badrodin terkait etika. Pasalnya terlebih dulu ia telah dipercaya menjadi komisaris utama di salah satu perusahaan pengembang Waskita Karya. Kendati tidak ada aturan yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menjabat komisaris utama di dua perusahaan, namun bagi Badrodin hal tersebut kurang tepat dilakukan.

Sebelumnya dalam rilis resmi Grab Indonesia, seperti yang diungkapkan Ridzki Kramadibrata selaku Managing Director, hadirnya mantan Kapolri di tubuh perusahaannya akan memantau dan menjaga tata kelola serta kelangsungan jangka panjang perusahaan melalui peran pengawasan terhadap kinerja dewan direksi. Pemilihan Badrodin dilatarbelakangi pengalaman yang luas dalam bekerja bersama pemangku kepentingan, untuk menyelaraskan kepentingan yang beragam.

Perekrutan tokoh berpengaruh untuk mengakselerasi bisnis tidak hanya dilakukan oleh Grab. Uber sebagai pesaingnya juga melakukan pendekatan yang sama sejak awal popularitasnya mencuat. Kala itu salah satu mantan adivsor presiden Obama direkrut menjadi salah satu penanggung jawab perusahaan untuk komunikasi hukum dan politik. Strategi seperti ini dilakukan –sedikit bisa dikorelasikan–untuk menekan gejolak sosial yang terjadi dalam lingkup kerja perusahaan transportasi on-demand tersebut.

Kendati sudah sangat jarang terdengar, isu penolakan terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi pernah terdengar. Di Indonesia bahkan pernah menjadi isu yang serius. Melibatkan komponen besar dalam dunia politik bisa jadi memberikan arahan yang tepat untuk meluruskan laju atau koordinasi bisnis sejalan dengan ketentuan (regulasi) yang berlaku.