Robot Ini Gantikan Peran Petugas Valet di Salah Satu Bandara Tersibuk di Perancis

Tenaga kerja robot tidak akan sepenuhnya menggantikan manusia, setidaknya dalam waktu dekat ini. Kendati demikian, untuk pekerjaan-pekerjaan repetitif, seperti misalnya menjadi petugas valet, kombinasi robot dan teknologi automasi jauh lebih efisien ketimbang manusia, dan itu sedang dibuktikan oleh bandara tersibuk keempat di Perancis, Lyon–Saint-Exupéry Airport.

Mereka baru saja memulai layanan robot valet secara resmi. Robot yang dipekerjakan merupakan bikinan Stanley Robotics, yang sendirinya sudah menguji robot valet otomatis selama beberapa tahun dan di beberapa bandara. Lyon–Saint-Exupéry Airport merupakan debut perdananya sebagai layanan resmi yang bukan bersifat ujicoba.

Robot-robot yang dijuluki Stan ini pada dasarnya merupakan forklift berteknologi kemudi otomatis. Sebagian besar teknologi yang digunakan sama persis seperti di mobil kemudi otomatis, termasuk kemampuan untuk memonitor lingkungan di sekitarnya dan bereaksi ketika ada rintangan di rutenya.

Stanley Robotics robot valet

Pengunjung bandara yang hendak menggunakan layanan ini cuma perlu menempatkan mobilnya ke semacam hangar khusus, di mana mobilnya akan dipindai guna mengonfirmasi merek dan modelnya. Setelahnya, Stan akan datang dan menarik mobil tersebut menuju ke satu dari 500 lahan parkir yang tersedia – target akhirnya, layanan robot valet ini bakal meng-cover sekitar 6.000 lahan parkir.

Menurut tim pembuatnya, satu unit Stan mampu memarkir dan mengambil kembali hingga 200 mobil per harinya. Bukan cuma itu, Stanley Robotics mengklaim Stan mampu memanfaatkan lahan kosong lebih efisien ketimbang petugas valet manusia; spesifiknya, Stan dapat menjejalkan 50% lebih banyak mobil ke satu area yang sama.

Ini dikarenakan Stan memiliki kemampuan menyetir yang sangat presisi, dan ia tak segan memarkirkan mobil sampai menumpuk berbaris-baris, sebab sistemnya akan terus memonitor waktu kedatangan masing-masing pemilik mobil (berdasarkan info dari boarding pass). Jadi untuk pemilik mobil yang akan menginapkan mobilnya cukup lama, Stan bakal menempatkannya di baris paling ujung sendiri.

Stanley Robotics robot valet

Selama Stan beroperasi, ada sejumlah manusia yang akan selalu mengawasi demi memastikan semuanya aman dan bisa langsung bertindak kala ada malfungsi yang terjadi. Ke depannya, tugas supervisi ini bakal dilangsungkan dari jarak jauh alias secara remote.

Selain menawarkan kepraktisan ekstra kepada konsumen, layanan robot valet ini rupanya juga termasuk ramah kantong. Berdasarkan pantauan The Verge dari situs resmi Lyon–Saint-Exupéry, tarif parkir pribadi selama seminggu di area terjauh dari bandara dipatok 54 euro, sedangkan tarif layanan robot valet ini dipatok 55,80 euro di area parkir yang sama.

Sumber: The Verge.

CleanseBot Adalah Robot Saku Pintar Pembasmi Bakteri

Dengan bertambah sibuknya hidup kita, meningkat pula-lah permintaan terhadap perangkat pembersih otomatis. Electrolux ialah perusahaan pertama yang memperkenalkan robotic vacuum cleaner (tahun 1996), namun jika berbicara teknologi, saat ini orang mungkin lebih memfavoritkan produk-produk iRobot atau Dyson. Berdasarkan laporan 3 tahun lalu, kabarnya 20 persen dari vacuum cleaner yang ada di dunia telah mengusung sistem robotik.

Dyson sendiri bisa dibilang sebagai perusahaan yang paling teliti menanggulangi alergen, telah melakukan berbagai eksperimen demi menghadirkan teknologi-teknologi mutakhir. Namun satu kekurangan yang ada di sana adalah, alat-alat mereka tetap merepotkan jika harus dibawa ketika bepergian – bahkan vaccuum cleaner wireless-nya saja masih terlalu memakan tempat. Lalu bagaimana memastikan tempat tidur hotel Anda betul-betul higienis?

Inilah ide di belakang pengembangan CleanseBot, robot pintar yang dirancang sebagai miniatur dari robovac. Perangkat memiliki diameter 13cm dan tebal 3cm. Ukurannya yang mungil ini memudahkan kita memasukkannya dalam tas atau koper. Walaupun demikian, CleanseBot tak hanya cuma berfungsi untuk memberishkan debu. Ia juga ampuh membunuh kuman dengan tingkat efektivitas 99,99 persen.

CleanseBot bekerja dengan pintar, tanpa mengharuskan Anda melakukan pengaturan terlebih dulu. Kita hanya perlu menekan sebuah tombol lalu menaruhnya di atas kasur atau bagian seprai yang tertutup oleh selimut. Selanjutnya, CleanseBot akan beroperasi secara otomatis selama 30 menit. Untuk memastikan tak ada kuman yang tersisa, Anda dapat mengulang proses ini sekali lagi.

CleanseBot 2

Dalam melakukan pembersihan, robot memanfaatkan empat buah lampu UV-C (ultraviolet C) buat menyapu dari dua sisi secara bersamaan. Itu berarti ia merupakan kabar buruk bagi bakteri, dan diklaim pula mampu mencegah penyebaran virus. CleanseBot dapat mengetahui keadaan di sekelilingnya dan bekerja di area pojok tempat tidur tanpa terjatuh berkat dukungan 18 buah sensor, sistem mapping, serta roda yang sanggup mencengkeram hampir segala permukaan.

CleanseBot 4

Menariknya lagi, CleanseBot ditopang oleh dua mode penggunaan lain. Pertama, Anda bisa memanfaatkan mode handheld buat membersihkan objek-objek berukuran kecil misalnya sakelar lampu, boneka, dudukan toilet, bantal atau remote TV. Tinggal aktifkan dan usapkan bagian lampu UV-C ke benda-benda tersebut. Selain itu, CleanseBot juga bisa berperan menjadi power bank portable dadakan, di dalamnya tersimpan baterai 3.700mAh.

CleanseBot 3

Tim penciptanya memanfaatkan situs crowdfunding Indie Gogo untuk menggalang dana agar CleanseBot bisa sampai di tangan konsumen. Sejauh ini kampanyenya berjalan sangat mulus. Produsen berhasil mengumpulkan modal hampir 40 ribu persen (bukan typo) dari target awal mereka. Produk dijajakan seharga mulai dari US$ 100, rencananya akan didistribuskan di bulan Maret dan April 2019.

Bukan Sebatas Mobil R/C, Sphero RVR Adalah Robot yang Dapat Dikustomisasi Sepenuhnya

Desember lalu, Sphero mengumumkan bahwa mereka sudah berhenti memproduksi robot-robot mainannya hasil kemitraannya bersama Disney. Langkah tersebut merupakan bagian dari upaya Sphero untuk memaksimalkan sumber dayanya di ranah STEM, di samping merilis robot baru bernama Bolt.

Belum ada setahun berselang pasca peluncuran Bolt, Sphero sudah siap dengan robot edukatif lain. Namanya RVR, diambil dari kata rover yang menggambarkan wujud beserta fungsinya. RVR bukan sebatas mobil R/C biasa yang bisa dikendalikan via smartphone, ia benar-benar merupakan sebuah robot yang dapat dikustomisasi sepenuhnya.

Sphero RVR

Di balik sasis semi-transparannya, bernaung sederet sensor: sensor warna, sensor cahaya, infra-merah, magnetometer, accelerometer, gyroscope, dan sensor inersia 9-poros yang memungkinkannya untuk saling bertukar sinyal sekaligus berinteraksi dengan robot Sphero lain.

Sensor-sensor tersebut turut didampingi 10 buah LED yang bisa dikustomisasi secara individu, magnetic encoder beresolusi tinggi, serta gear super-presisi dengan peredam suara dan getaran. Secara keseluruhan, RVR sangatlah kompleks terlepas dari kulit luarnya yang kelihatan simpel.

Sphero RVR

RVR juga mengemas karakter sebuah rover yang kental. Berkat gardan berlapis bajanya, permukaan terjal maupun jalan menanjak pun siap ia lewati. Sphero bahkan telah melengkapinya dengan roll cage untuk melindungi komponen-komponen sensitif di dalam RVR, semisal baterainya yang dapat dilepas-pasang, serta di-charge via USB-C.

RVR turut dibekali expansion port universal yang kompatibel dengan beragam development board populer, macam Raspberry Pi, Arduino dan Micro:Bit, sehingga para geek dapat memaksimalkan potensinya dengan leluasa. Juga tidak ketinggalan adalah kompatibilitas dengan platform Sphero Edu, dan Sphero pun sudah menyiapkan kurikulum pembelajaran khusus untuk RVR.

Sphero RVR

Satu hal yang tidak biasa bagi Sphero adalah pemasaran RVR. Di sini Sphero memilih memanfaatkan platform crowdfunding Kickstarter sebagai mediumnya, dengan maksud agar lebih mudah menerima masukan dari para backer yang kebagian jatah lebih dulu. Harga termurah yang bisa ditebus adalah $199, lebih murah $50 dari estimasi harga ritelnya.

Sumber: VentureBeat.

Sukses dengan Robot Penghisap Debu, iRobot Kini Garap Robot Pemotong Rumput

Robot penghisap debu bukanlah penemuan baru, akan tetapi belakangan ini kecanggihannya semakin tidak terbayangkan. Lihat saja Roomba i7+ bikinan iRobot, yang mampu mengosongkan dirinya sendiri sekaligus memetakan ruangan secara akurat agar kinerjanya semakin efisien.

Robot pemotong rumput pun juga demikian; bukan barang baru, akan tetapi rupanya masih banyak aspek yang dapat disempurnakan, dan itulah yang coba diwujudkan oleh kreasi terbaru iRobot yang dinamai Terra. Ya, ini adalah pertama kalinya sang dedengkot robot vacuum cleaner membuat suatu robot pemotong rumput.

Tidak seperti kebanyakan robot pemotong rumput yang mengharuskan pemilik rumah untuk menetapkan perimeter menggunakan kabel, Terra hanya memerlukan kita untuk menempatkan wireless beacon di sekitar area yang hendak digarap. Tentunya sebagai sebuah pemotong rumput, Terra dirancang agar benar-benar tahan terhadap cuaca yang tak bersahabat.

Sebelum bisa beroperasi sendiri, Terra harus lebih dulu dinavigasikan secara manual melalui aplikasi pendampingnya di smartphone. Tujuannya adalah supaya Terra dapat mempelajari rute-rute yang harus diambil, sekaligus bagian mana yang harus ia hindari.

iRobot Terra

Lewat aplikasi ini pula pengguna dapat menentukan seberapa tinggi rumput yang hendak disisakan, serta memantau rutenya maupun membuatkan jadwal tersendiri. Satu hal yang berpotensi menjadi kekurangan adalah, Terra memanfaatkan konektivitas Wi-Fi, dan kita tahu lahan depan atau belakang rumah sering kali menjadi zona dengan sinyal Wi-Fi terlemah.

Dalam satu kali charge, Terra mampu beroperasi selama sekitar satu jam. Charging-nya sendiri membutuhkan waktu sekitar dua jam, dan apabila baterainya kritis di saat ia sedang bertugas, Terra bakal bergerak sendiri menuju charging base-nya, lalu setelahnya kembali bekerja melanjutkan dari titik terakhir yang ia tinggalkan.

Hal lain yang menarik adalah detail-detail kecil yang diperhatikan oleh iRobot. Sepasang pemotong milik Terra tak hanya bersifat modular, tapi juga disertai pegas untuk mencegah bilah pemotongnya patah ketika tidak sengaja berjumpa dengan batu maupun objek lain yang keras.

iRobot Terra rencananya akan dipasarkan lebih dulu di Jerman. Produk ini pada dasarnya merupakan bagian dari visi iRobot untuk membangun ekosistem robot yang memungkinkan suatu kediaman untuk ‘merawat’ dirinya sendiri, baik dari luar maupun dari dalam.

Sumber: The Verge.

Amazon Uji Scout, Robot Pengirim Barangnya untuk Jalur Darat

Amazon sudah cukup lama memiliki tim khusus yang bekerja di bidang pengembangan robot. Mereka pun juga sudah lama berharap dapat mengirim barang menggunakan drone, namun mungkin karena regulasi yang ketat dari sejumlah daerah, rencana tersebut tak kunjung terwujud.

Tentunya Amazon tak akan menyerah begitu saja. Mereka justru sudah menyiapkan alternatif yang lebih mudah direalisasikan, yakni sebuah robot pengirim barang yang menempuh jalur darat. Dijuluki Amazon Scout, ia sudah mulai menjalani uji coba di satu area bernama Snohomish County di Washington.

Melihat wujudnya, saya langsung teringat dengan robot serupa bikinan Starship Technologies, akan tetapi Amazon mengaku robot ini sepenuhnya dikembangkan oleh divisi robotiknya sendiri. Bentuk dan ukurannya mirip dengan cooler box yang biasa dibawa bertamasya, dan ia sudah dibekali dengan sederet sensor agar dapat bernavigasi sendiri dengan memanfaatkan energi listrik.

Berdasarkan penjelasan Amazon, tidak ada mekanisme pemesanan yang berbeda agar barang dapat dikirim menggunakan Scout, asalkan alamat tujuannya masih termasuk dalam area pengujian. Selama masa pengujian awal, Scout akan ditemani oleh karyawan Amazon demi memastikan semuanya berjalan dengan lancar.

Sejauh ini Amazon belum mengungkapkan rencananya untuk menggunakan Scout secara luas. Namun ada satu hal menarik yang saya temukan dari blog post resminya mengenai Scout: pada bagian akhir, ada tautan yang akan membawa pengunjung ke laman berisikan daftar lowongan kerja yang berkaitan dengan Amazon Scout.

Mayoritas lowongannya memang untuk profesi engineer, namun menurut saya ini merupakan salah satu cara Amazon untuk meyakinkan publik bahwa eksistensi robot macam Scout tidak harus berarti manusia bakal kehilangan lahan pekerjaan. Tenaga manusia jelas masih dibutuhkan, hanya saja untuk keperluan lain di samping kirim-mengirim barang.

Sumber: TechCrunch dan Amazon.

Tim Ilmuwan Swiss Ciptakan Robot Origami Super-Mungil Buat Dimasukkan ke Pembuluh Darah

Ada bermacam-macam penjelmaan robot, namun berkat film-film sci-fi populer, jenis yang segera muncul di pikiran kita adalah tipe humanoid. Nyatanya, inkarnasi robot sangat beragam. Dan beberapa dari mereka dikembangkan sebagai wujud dari eksplorasi ilmu pengetahuan, dari mulai untuk mempelajari kehidupan hewan di alam liar hingga pendalaman ranah medis.

Ada banyak varian robot pernah DailySocial bahas, namun mungkin belum ada yang seunik kreasi kolaboratif dari ilmuwan di École polytechnique fédérale de Lausanne (EPFL) dan Swiss Federal Institute of Technology Zurich (ETH Zurich). Belum lama ini para peneliti mengungkap proyek pembuatan robot super-mungil berstruktur ala origami elastis yang memperkenankannya mengubah bentuk tubuh sesuai keadaan di sekitarnya.

Seperti pada upaya pengembangan robot sebelumnya, alam kembali menjadi sumber inspirasi para ilmuwan asal Swiss itu. Makhluk mekanis berukuran kecil ini dirancang menyerupai bakteri, dan disiapkan agar bisa masuk serta melakukan navigasi di dalam tubuh atau pembuluh darah. Tugas mereka adalah untuk mendistribusikan obat secara tepat di area yang betul-betul membutuhkan.

Ranah ‘targeted drug delivery‘ belakangan memang menjadi sorotan, dan gagasan mirip microbot kreasi garapan EPFL dan ETH Zurich ini pernah mengemuka sebelumnya. Saat itu konsepnya diungkap oleh Polytechnique Montréal, Université de Montréal serta McGill University, namun mereka memilih bakteri sungguhan sebagai agen buat mengirimkan obat – bukan robot.

Microbot mempunyai tubuh yang sangat fleksibel, mampu berenang dalam cairan secara efektif serta mengubah wujud badan, memperkenankannya melewati lorong-lorong pembuluh darah yang sempit dan tetap bisa bermanuver lincah. Robot-robot tersebut terbuat dari bahan hydrogel nanocomposite (berarti sebagian besar tubuhnya ialah cairan), dengan elemen nanoparticle magnetik di tengahnya sehingga robot dapat dikendalikan menggunakan medan elektromagnetik. Lalu, struktur origaminya sangat esensial bagi masing-masing robot buat meregang atau memadatkan diri.

Tantangan terbesar dari pembuatan robot ini adalah mencari cara untuk memprogram bentuk tubuh sehingga mereka dapat melewati lingkungan berbeda. Kabar baiknya, tim berhasil menemukan cara buat menanamkan ‘kecerdasan’ agar robot bisa beradaptasi – tanpa memanfaatkan metode pemrograman tradisional.

“Robot-robot kami mempunyai komposisi dan konstruksi yang istimewa, memungkinkan mereka beradaptasi sesuai jenis cairan di sekitarnya. Misalnya, jika robot mendeteksi perubahan kekentalan, ia segera memodifikasi bentuk tubuh demi menjaga kecepatan laju serta keleluasaan manuver,” jelas Selman Sakar yang ditunjuk sebagai salah satu pimpinan proyek ini.

Sumber: EPFL.

Sphero Berhenti Produksi Robot BB-8, Lightning McQueen dan Spider-Man

Meski fokus utamanya adalah di bidang pendidikan, nama Sphero mungkin lebih dikenal sebagai produsen miniatur robot BB-8 dari Star Wars yang ‘bernyawa’. Sayangnya, mainan yang mendongkrak reputasinya itu justru bakal segera dipensiunkan.

Kepada The Verge, Paul Berberian selaku CEO Sphero mengonfirmasi bahwa mereka sudah tidak lagi memproduksi BB-8 dan hanya tinggal menunggu stoknya habis. Bukan cuma BB-8, produk lain yang merupakan hasil kolaborasinya dengan Disney macam Sphero Lightning McQueen dan Sphero Spider-Man juga akan ikut dipensiunkan.

Sphero Lightning McQueen

Ada tiga alasan di balik keputusan berat yang diambil Sphero. Yang pertama, kemitraannya dengan Disney memang cuma untuk jangka waktu tiga tahun saja. Kedua, modal yang dibutuhkan untuk memproduksi mainan berlisensi ini kelewat besar jika dibandingkan dengan laba yang didapat, sebab Disney juga selalu mengambil sebagian dari hasil penjualannya.

Yang dimaksud modal sebenarnya bukan terbatas pada biaya lisensi saja. Sphero Lightning McQueen misalnya, membutuhkan biaya pengembangan yang besar sebab Sphero juga harus membayar pengisi suara karakter aslinya. Tidak hanya itu, tim Sphero juga harus bekerja sama dengan tim Pixar guna meracik ekspresi wajah sekaligus pergerakan tubuh yang tepat buat robot tersebut.

Sphero Spider-Man

Alasan yang ketiga, mainan-mainan semacam ini sangat bergantung terhadap hype. Penjualannya terbukti laris ketika film yang bersangkutan dirilis, namun seiring waktu minat konsumen pun terus menurun. Sebagai contoh, meski Sphero BB-8 laku hingga jutaan unit, data yang diberikan Sphero menunjukkan bahwa pembelinya hanya menggunakannya sebentar saja.

Menurut Paul, hampir semua penggemar Star Wars sudah membeli Sphero BB-8, jadi bisa dibilang konsumen mereka sudah habis, setidaknya sampai ada film Star Wars baru yang dirilis. Ini berbanding terbalik dengan robot edukatif bikinan Sphero, yang menurut Paul justru bertambah populer dari tahun ke tahun.

Sumber: The Verge.

Startup Logistik Postmates Perkenalkan Robot Pengirim Barang Buatannya Sendiri

Robot pengirim barang sudah bukan lagi sebatas wacana yang belum terwujudkan, meski mungkin implementasinya masih serba terbatas, terutama terkait regulasi pemerintah yang berbeda-beda di setiap daerah. Terlepas dari itu, prospek yang dimiliki robot sejenis ini terlihat cerah, terutama di mata perusahaan logistik.

Kendati demikian, rupanya ada startup logistik yang justru memilih untuk mengembangkan robot kurirnya sendiri ketimbang mengandalkan pihak lain. Mereka adalah Postmates, yang bisa kita anggap sebagai ekuivalen Go-Send untuk warga Amerika Serikat.

Baru-baru ini, Postmates memamerkan robot pengirim barang bikinannya sendiri yang dinamai Serve. Penampilannya sengaja dibuat lugu demi menghindari stigma jelek robot kurir di kawasan San Francisco, yang kerap kali mengganggu para pejalan kaki. Namun di balik ‘wajahnya’ yang polos, tersimpan teknologi automasi mutakhir.

Postmates Serve

Untuk bernavigasi secara otomatis, Serve mengandalkan Lidar bikinan Velodyne, serta prosesor Nvidia Xavier – dua nama yang tidak asing di telinga pabrikan otomotif yang mengembangkan sistem kemudi otomatis. Baterainya pun diposisikan di bawah agar center of gravity-nya rendah, sehingga robot tidak mudah terjungkal selagi bertugas.

Sepasang mata yang disematkan pada Serve bukan sebatas kosmetik, tapi juga berfungsi sebagai indikator ke mana ia bakal bergerak terhadap orang-orang di sekitarnya. Harapannya, Serve bisa lebih tidak mengganggu aktivitas para pejalan kaki daripada robot-robot sejenis lainnya.

Pada bagian atasnya, kita bisa melihat ada sebuah layar sentuh. Layar ini, dipadukan dengan sebuah tombol “Help”, dimaksudkan agar pelanggan atau orang di sekitarnya bisa berkomunikasi dengan karyawan Postmates. Ya, meski Serve bisa bernavigasi dengan sendirinya, Postmates memastikan selalu ada seseorang yang mengawasi secara remote dan siap mengambil alih kendali ketika ada masalah.

Postmates Serve

Batas kargo maksimum Serve berada di kisaran 22 kg, dan baterainya cukup untuk menempuh jarak sekitar 40 km. Buat Postmates, spesifikasi ini diperkirakan cukup untuk mengantarkan barang sebanyak 12 kali dalam sehari. Selain barang secara umum, Serve juga bisa bertugas sebagai pengantar makanan, khususnya di area-area padat.

Dalam skenario ini, Serve hanya ditugaskan untuk mengambil makanan dari restoran yang bersangkutan, lalu membawanya menuju salah satu cabang Postmates. Dari situ ada kurir manusia yang mengambil alih dan mengantarkannya ke pemesan.

Juga menarik adalah rencana Postmates untuk menghadirkan dua macam layanan pengiriman. Layanan yang pertama mematok tarif cukup terjangkau, dan yang bertugas adalah robot Serve. Lalu layanan yang kedua dipatok lebih mahal, akan tetapi yang ditugaskan adalah kurir manusia.

Ide ini menarik karena, di saat dunia khawatir lapangan pekerjaan bakal diambil alih robot, Postmates justru berpikiran bahwa robot semestinya dapat menjadi pekerja kelas bawah untuk layanan bertarif murah, sedangkan level di atasnya tetap didominasi oleh tenaga kerja manusia.

Sumber: TechCrunch dan Postmates.

Robot Anki Vector Bakal Kedatangan Kepribadian Baru dalam Wujud Integrasi Alexa

Salah satu kelebihan utama robot Anki Vector dibandingkan pendahulunya adalah kemampuannya untuk memahami perintah suara yang diberikan orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut jelas membuatnya sangat ideal untuk berperan sebagai asisten, dan pengembangnya sadar betul akan itu.

Sebulan pasca pemasaran Vector, Anki merilis teaser yang mempertontonkan integrasi Amazon Alexa pada robot mungil tersebut. Alexa pada robot seharga $250 itu ibarat kepribadian keduanya. Saat pengguna memanggil “Alexa”, seketika itu juga Vector akan berhenti melakukan apapun yang sedang ia kerjakan, lalu ganti Alexa yang mendengarkan ucapan sang pengguna.

Video di bawah menunjukkan bagaimana pengguna dapat mengontrol beragam perangkat smart home melalui Vector yang menjadi ‘rumah’ baru buat Alexa. Anki mengaku bahwa integrasi Alexa ini merupakan salah satu fitur yang paling banyak diminta oleh konsumennya, dan Anki sudah siap mewujudkannya sebelum musim liburan tiba tidak lama lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Anki juga merilis update yang membawa sejumlah penyempurnaan untuk Vector. Yang paling utama adalah tambahan ratusan animasi dan reaksi yang bisa diterapkan oleh Vector, termasuk ketika merespon frasa-frasa seperti “good robot”, “good morning”, “I love you”, dan “be quiet”.

Terakhir, performa Vector turut dibenahi lewat update ini, spesifiknya kemampuannya untuk mendeteksi ujung meja, sehingga ia bisa langsung mundur dan tidak terjatuh dari atas meja. Dibandingkan sebelumnya, Vector kini dapat bereaksi dengan lebih sigap berkat algoritma pemetaan ruang yang lebih baik.

Sumber: VentureBeat.

Kebun Indoor dengan Tenaga Kerja Robot Sebagai Solusi Atas Menurunnya Jumlah Pekerja Bidang Agrikultur

Bicara soal pemanfaatan teknologi di industri agrikultur, yang kita ingat mungkin hanya sebatas bertambah banyaknya drone komersial yang dirancang khusus untuk membantu para petani dan pemilik kebun. Namun siapa yang menyangka pembahasan ini sebenarnya bisa berlanjut ke bidang automasi alias tenaga kerja robot.

Visi tersebut tengah diwujudkan oleh sebuah startup asal Amerika bernama Iron Ox. Terus menurunnya jumlah tenaga kerja bidang agrikultur di AS memaksa mereka untuk bereksperimen dengan bidang robotik demi merealisasikan kebun otomatis yang bisa beroperasi sendiri tanpa bantuan tangan manusia.

Meski belum sepenuhnya berhasil, upaya mereka sudah mulai kelihatan hasilnya. Mereka baru saja membuka kebun hidroponik indoor di kota San Carlos. Luas fasilitas itu memang cuma sekitar 750 m², akan tetapi kapasitas produksinya bisa mencapai 26.000 bonggol sayur per tahun, setara kebun outdoor yang luasnya lima kali lebih besar.

Iron Ox automated farm

Dua jenis robot yang diperkerjakan di antaranya adalah robot besar yang bertugas memindah bak demi bak berisi tanaman, serta robot yang bertugas untuk memindah bonggol demi bonggol sayur ke bak yang baru sesuai dengan usia perkembangannya.

Agar robot-robot tersebut bisa saling membantu satu sama lain, dibutuhkan software yang mengatur semuanya. Iron Ox mengembangkannya sendiri dan menjulukinya “The Brain”. Beberapa tugasnya antara lain adalah memonitor kadar nitrogen, suhu, serta lokasi tiap-tiap robot.

Hampir semua pekerjaan di kebun Iron Ox ini ditangani oleh robot. Untuk sekarang, yang belum adalah tahap pembibitan dan pengolahan hasil panen. Ke depannya, Iron Ox berharap tahap-tahap ini juga bisa diautomasi dengan robot.

Iron Ox automated farm

Hasil panen dari kebun Iron Ox juga belum dijual selagi mereka masih bernegosiasi dengan restoran dan pedagang setempat. Puluhan ribu bonggol selada yang dihasilkan untuk sementara baru disimpan di gudang makanan setempat, sekaligus dijadikan santapan di kantin karyawan Iron Ox sendiri.

Apa yang dilakukan Iron Ox ini sejatinya bisa menjadi contoh bahwa tidak selamanya robot atau AI harus menjadi momok buat tenaga kerja manusia. Permintaan akan sayuran terus naik, sedangkan jumlah pekerjanya turun; peran automasi dan robot di sini tidak lain dari membantu mengatasi masalah.

Di samping itu, Iron Ox juga ingin mempersingkat waktu perjalanan sayuran dari kebun ke konsumen, sehingga yang mereka dapat adalah sayuran yang lebih segar. Berhubung yang diperkerjakan adalah robot, Iron Ox pun tidak harus memusingkan masalah standar gaji kawasan perkotaan yang lebih tinggi daripada daerah pinggiran.

Sumber: MIT Technology Review.